Anda di halaman 1dari 20

Journal Reading

Erritromisin Poudrage Vs Eritromisin Slurry Pada Pengobatan


Pneumothorax Spontan Yang Sulit Diatasi

Pembimbing:

dr. Taufan Hidayat, Sp. B, M.Si.Med

Disusun oleh:

Meghantari Putri G4A016089

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

Erritromisin poudrage Vs eritromisin slurry pada pengobatan pneumothorax


spontan yang sulit diatasi

Disusun oleh :

Meghantari Putri G4A016089

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di


bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal Juli 2018

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Taufan Hidayat, Sp. B, M.Si.Med


Erritromisin Poudrage Vs Eritromisin Slurry Pada Pengobatan
Pneumothorax Spontan Yang Sulit Diatasi

Latar belakang : Pneumothorax spontan yang sulit diatasi (baik sering berulang
maupun persisten) dengan tingkat kekambuhan yang tinggi membutuhkan
pengobatan baik dengan drainase dada berkelanjutan (continous chest drainage)
maupun dengan pendekatan intervensional. Pleurodesis dengan menggunakan
agen sklerotik telah menjadi terapi yang penting pada pengobatan pneumothorax
spontan yang sulit diatasi (RSP) karena tingginya tingkat keamanan serta
efisiensinya. Meskipun begitu, efisiensi, keamanan, serta jenis pemberian dari
eritromisin intrapleural pada pleurodesis untuk pengobatan RSP masih belum
dipahami dengan baik.
Metode : percobaan dilakukan untuk membandingkan torakoskopi eritromisin
poudrage dengan eritromisin slurry via chest tube pada pasien dengan riwayat
RSP. 57 pasien dengan RSP diberikan perlakuan pada penelitian ini dengan 30
diantaranya diberikan eritromisin poundrage dan 27 pasien lagi dengan
eritromisin slurry. Respon terhadap pleurodesis, komplikasi, maupun
kekambuhannya juga turut didokumentasikan. Variabel berkelanjutan
dibandingkan menggunakan uji T-test. Uji chisquare dilakukan untuk
membandingkan variabel kategorik dan test fisher exact digunakan untuk sampel
yang kecil.
Hasil : 24 pasien pada kelompok eritromisin poundrage/EP (80%) dan 60 pasien
pada kelompok eritromisin slurry/ES (59,26%) menjalani pluerodesis yang
berjalan dengan baik dalam kurun waktu 5 hari (P=0,087). Pasien-pasien pada
kelompok EP memiliki durasi drainase chest tube postprosedural yang lebih
pendek (6,23 ± 3,04 hari) dibandingkan dengan pasien pada kelompok ES
(10,67±9,81) (P=0,032). Selama follow up, tidak ada perbedaan tingkat
kekambuhan yang signifikan secara statistik antara dua kelompok. Reaksi
merugikan dari tindakan yang paling sering terjadi adalah demam, nyeri dada,
yang tidak ada bedanya antar dua kelompok.
Kesimpulan : eritromisin adalah agen sklerotik yang efektif dan aman untuk
tindakan pleurodesis pada tatalaksana RSP. Kedua metode ini termasuk aman,
namun EP lebih efektif dari pada ES.

1
Kata kunci : Refractory spontaneuous pneumothorax (RSP), eritromisin,
pundrage, slurry

I. PENDAHULUAN

Pneumothorax spontan (SP) merupakan masalah yang berarti, dengan


insidensi sebesar 24.00 per 100.000 orang pertahun (pria) dan 9,80 per 100.000
orang pertahun pada wanita di inggris. Tingkat kekambuhan yang tinggi
ditemukan dalam kurun waktu dua tahun setelah serangan pneumothorax yang
pertama kalinya. Tingkat kekambuhan SP ipsilateral setelah serangan pertama
adalah 20-60% tanpa digunakannya alat pencegahan. Tingkat kekambuhan
selanjutnya meningkat perlahan, mulai dari 62% pada kekambuhan kedua dan
83% pada kekambuhan ketiga. Tiga faktor penting yang berhubungan dengan
kekambuhan penumothorax adalah rasio tinggi/berat, adanya penyakit paru yang
mendasari, dan tidak digunakannya agen pleurodesis. Pneumothorax spontan yang
sulit diatasi (RSP) termasuk kekambuhan SP (pneumothorax unilateral ≥2 kali
atau pnuemothorax bilateral ≥ 3 kali) dan SP persisten (kebocoran udara persisten
setelah drainase chest tube >7 hari, dan tidak adanya re-ekspansi pada rontgen
dada), dan keduanya membutuhkan alat pengkoreksi dan/ atau pencegahan dari
pada sekedar drainase pleural.
Pilihan terapi untuk RSP termasuk drainase dada kontinua dan
pendekatan intervensi, seperti torakotomi dengan pleurektomi dan reseksi bulla
atau operasi menggunakan video-thorakoskopi (VATS) dengan reseksi bullae plus
abrasi pleura. Pleurodesis menggunakan agen skerotik telah menjadi terapi yang
penting pada pengobatan RSP karena efisiensi serta keamanannya. Selain itu,
beberapa penelitian melaporkan bahwa, pemberian agen sklerotik intrapleural
setelah drainase via chest tube atau torakoskopi adalah metode yang efektif dan
dapat menurunkan kekambuhan SP secara signifikan.
Eritromisin pertama kali diketahui sama efektifnya dengan tetrasiklin
(TCN) untuk pleurodesis pada kelinci, berdasarkan penelitian oleh Carvalho.
Sejak itu, beberapa penelitian pada model binatang menunjukkan bahwa
eritomisin ideal digunakan sebagai agen sklerotik, yang mampu membuat fibrosis
difus tanpa reaksi inflamasi yang signifikan. Rangkaian penelitian klinis telah
banyak dipublikasikan, yang menganjurkan pemberian eritromisin via chest tube

2
(eritromisin slurry) sebagai teknik pada pengobatan SP yang sederhana dan
efektif. dimasukkannya eritromisin dengan Torakoskopi (eritromisin poundrage),
yang diteliti oleh Hong B serta mencoba mencari tahu bahwa eritromisin
poundrage via toracoscpi merupakan metode yang efisien untuk SP. Namun,
mode pemberian eritromisin sebagai agen sklerotik yang lebih berguna masih
belum diketahui dan tidak ada penelitian terkait yang ditemukan hingga sekarang.
Kami melakukan penelitian ini untuk membandingkan eritromisin
poundrage dibawah thorakoskopi dengan ES melalui chest tube, sambil meneliti
efisiensi serta keamanannya pada pengobatan RSP.

3
II. METODE

Pasien

Total 57 pasien yang didiagnosis dengan RSP pada Departemen


Respiratory Medicine of Shandong Provincial Hospital yang tergabung dengan
Universitas Shandong mulai tahun 2004 hingga 2016 untuk chest tube dan adhesi
pleural dimasukkan ke dalam penelitian ini. Pada semua pasien ini, 41
diantaranya memiliki SP yang kambuh kambuhan dan 16 pasien sisanya memiliki
SP yang persisten. Semua pasien menolak untuk dilakukan operasi bedah sebagai
upaya pengobatan untuk pertama kalinya. Kriteria ekslusi : pasien yang hamil, dan
pasien dengan gangguan pembekuan, riwayat alergi eritromisin, aritmia jantung,
insufisiensi ginjal, disfungsi hepar, dan gangguan elektrolit. Data berikut yang
tersedia pada masing masing pasien diantaranya : Pemeriksaan umum,
Laboratorium, evaluasi rontgen dada (CXR) atau CT scan dada.
The etchics committee dari Shandong Provincial Hospital yang
tergabung dengan Universitas Shandong menyetujui protokol penelitian ini yang
dilakukan berdasarkan prinsip “expressed” pada Deklarasi Helskinki. Semua
pasien setuju dengan dilakukannya inform consent secara tertulis. Variabel klinis
berikut yang didokumentasikan, diantaranya : Data demografi, Tipe SP, Hasil
prosedural, Komplikasi terkait prosedur, Durasi drainase chest tube post
prosedural, Waktu perawatan di rumah sakit post prosedural, dan outcome selama
follow up.
Teknik
Eritromisin poundrage dilakukan dibawah torakoskopi medis (MT)
dengan rangkaian endoskopi dan lingkungan yang aseptik. Semua pasien
mendapatkan oksigen via nasal kateter sebesar 4 liter/menit dengan
elektrokardiograf kontinua dan monitoring oximetri perkutan. Pasien ditempatkan
pada posisi lateral dekubitus dengan sedasi sadar menggunakan diazepam atau
benzodiazepine. Area lateral dada disterilkan dan dibungkus, dan 10 ml lidocain
1% (silver lake shiyao pharmaceutical co.ltd yuncheng, shanxi province, china)
dengan 0,5 mg epinefrin [GrandPharma (China) Co., Ltd.; Wuhan, Hubei

4
Province] diberikan pada ruang interkostal yang telah ditentukan untuk dilakukan
anestesi lokal. Trokar 11 mm (Olympus; Germany; WA58365S) dimasukkan
kedalam ruang interkostal, torakoskop yang kaku (olympus,jerman) dilekatkan ke
video kamera, dan monitor (sony coporation;china) diinduksi melalui trocar
untuk mengispeksi seluruh kavitas pleura (gambar 1). Insisi kedua dipilih
berdasarkan kondisi intrathorax, dan trokar kedua (5.5 mm diameter, Olympus;
Germany; A5948) dilakukan dibawah lapang pandang dari torakoskopi.
Kemudian sebanyak 1 gram eritromisin yang steril (Hunan Kelun Pharmaceutical
Co., Ltd; Hunan, China) dimasukkan kedalam kavitas pleura dengan kateter dan
syringe bulb, yang terdistribusi secara merata (gambar 2). Chest tube berukuran
28F dimasukkan dan dihubungkan dengan 20 cm/alat penghisap H2O sampai
tidak ada lagi udara bebas yang tumpah. Saat itu juga, chest tube diklem selama
24 jam dan rontgen dada dilakukan untuk mengevaluasi ekspansi paru kembali
(re-expansion). Chest tube dihilangkan, dan waktu saat chest tube dilepaskan juga
direkam. Kriteria dari suksesnya prosedur diilai berdasarkan radiografi dada,
sebagai berikut : re-ekspansi total dari paru dan tidak ada gas residual di ruang
pleural.
ES dilakukan pada sisi tempat tidur. Kemudian, 5-10 ml dari lidokain 1%
diinjeksikan kedalam kavitas pleura melalui chest tube berukuran 20F, diikuti
dengan infus eritromisin 1 gram pada 40 ml cairan glukosa 5% kedalam kavitas
pleura. chest tube diklem selama 24 jam, dan pasien dipindahkan ke posisi yang
berbeda. Ketika pasien merasa sesak nafas atau tidak nyaman, drain harus dibuat
tetap terbuka setelah prosedur dilakukan. Setelah 24 jam, chest tube
disambungkan dengan suction 20 cmH2O, dan dipantau setiap hari untuk
menghentikan kebocoran udara. Pada saat itu, chest tube diklem selama 24 jam
dan rotngen dada dilakukan untuk memastikan bahwa ekspansi paru terjadi
sebelum dilepaskannya chest tube. Waktu saat dilepaskannya chest tube juga
direkam.
Follow up dilakukan selama 3 tahun dan secara lengkap hingga desember
2016. Pasien pasien ini secara teratur dilihat saat kunjungan rawat jalan.
Rontgenogram dada dilakukan 1 bulan setelah prosedur dan tiap bulannya selama
kurun waktu 3 bulan, dan setiap 6 bulan dalam kurun waktu 2 tahun. Kekambuhan

5
Pneumothorax/ pneumothorax berulang diidentifikasi berdasarkan laporan kasus
dan temuan radiologi. Pneumothorax rekuren didefinisikan sebagai pnuemothorax
pada temuan rontgen dada yang lebih besar dari 10% pada hemothorax ipsilateral
dan waktu kekambuhannya juga dicatat.

Analisis Statistik
Analisis deskriptif digambarkan sebagai frekuensi dan rata rata ± SD.
Variabel kontinua didistribusikan secara normal dan dibandingkan dengan analisis
T -test. Tes chisqure dilakukan untuk membandingkan variabel perbandingan
kategorikal dan test fisher exact digunakan pada sampel yang kecil. P<0,05
ditetapkan sebagai nilai P yang signifikan secara statistik. Data dianalisis
menggunakan perangkat lunak SPSS 19.

6
III. HASIL

Penelitian ini terdiri terdiri dari 57 pasien dengan 30 pasien diantaranya


menjalani EP dan 27 nya menjalani ES. Data demografi pasien ditunjukkan pada
tabel 1. 52 pria dan 5 wanita dengan usia rata rata 51,84 tahun (± 14,67 tahun)
dimasukkan ke dalam penelitian ini. Kekambuhan SP ditemukan pada 41 pasien
(71,93%) dengan frekuensi lebih dari 2 kali per orang, dimana hanya satu pasien
yang mengalami SP berulang sebanyak 12 kali. Durasi dari SP Yang baru terjadi
dinilai dari adanya penumothorax yang baru terjadi sampai dilakukannya
pleurodesis, berdasarkan radiogram dada. 35 pasien yang menjalani drainase dada
selama 3-58 hari sebelum dirawat di rumah sakit, dengan hasil adanya kebocoran
udara persisten. Klasifikasi SP dibagi menjadi :

7
<20%, 20-50%, dan >50%, yang mana hal ini dinilai berdasarkan jarak
rata rata intrapleural yang didapat dari ujung frontal hingga ke lateral rontgen
dada.

8
Tabel 2 : merupakan ringkasan data demografi dan klinis dari dua
kelompok pasien, dan tidak ada perbedaan yang ditemukan antara manifestasi
klinis pasien kelompok EP maupun ES.

9
Tidak ada perbedaan antara dua kelompok metode pengobatan
eritromisin pada tingkat keberhasilan pleurodesis (P=0,087,tabel 3). Pada pada 24
pasien (80%) kelompok EP, air bubling post prosedural berhenti dalam kurun
waktu 5 hari, 6 pasien EP mengalami kebocoran udara pada setidaknya 6 hari dan
semuanya mengalami kekambuhan SP. Pasien-pasien ini menolak untuk
dilakukan operasi pembedahan, dan ditatalaksana dengan draniase dada kontinua.
Sebanyak 16 dari 27 dari pasien yang menjalani metode ES (59,26%), bubling
posprosedural berhenti dalam kurun waktu 5 hari. Pada 11 pasien ES, kebocoran
udara post prosedural bertahan dalam waktu 6 hari atau lebih, namun
diberhentikan dengan mengunakan drainase thorasic kontinua. chest tube
dihilangkan setelah 6.23 ± 3.04 hari pada pasien EP dan setelah 10,67±9,81 hari
pada pasien ES (P=0,032,tabel 3). Tidak ada mortalitas terkait prosedural yang
ditemukan pada kedua teknik pengobatan. Keefektifan pada kedua kelompok
tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, merokok, penyakit paru yang
mendasari, episode penumothorax, temuan radiologi serta klasifikasi SP pada
rontgen dada.

Tabel 4, berisi kesimpulan dari komplikasi yang umum terjadi setelah


kedua prosedur dan tidak ada perbedaan yang ditemukan pada kedua kelompok
ini. Komplikasi posprosedural yang paling sering terjadi adalah nyeri dada, yang
terjadi pada 23 pasien EP (76,67%) dan 17 pasien ES (62,96%) dengan nilai
P=0,259. Pada kelompok EP, 17 pasien diberikan obat analgetik dan nyeri dada
berkurang dalam kurun waktu 2 hari. Pada kelompok pasien ES, semua pasien

10
yang merasakan nyeri dada diberikan obat analgetik dan perbedaan secara statistik
signifikan ditemukan pada dua kelompok P=0,03. 22 dari 30 pasien EP (73,33%)
mengalami demam dengan suhu >37,5 0C disaat 18 pasien (66,67%) pada
kelompok ES memiliki suhu >37,5 0C (P=0,583). 6 pasien pada kelompok EP dan
4 pasien pada kelompok ES memiliki suhu >38,5 0C dan suhu kembali normal
dengan menggunakan obat hormon NSAID. Sesak nafas terkait pleurodesis
ditemukan pada 5 dari 30 pasien EP (16,67%) dan 8 dari 27 pasien ES (29,63%),
P=0,244. Sesak nafas pada pasien dikurangi dengan pemberian oksigen
menggunakan kateter nasal pada 3-5 L/menit. Kebocoran udara yang lebih lama
(>2 hari) terjadi pada 15 pasien (50%) pada kelompok EP dan 18 pasien (66,67%)
pada kelompok ES (P-0,230). Kebocoran udara dihentikan dengan pengobatan
yang efektif sebelum pasien-pasien ini dilepas dari perawatan rumah sakit. 2
pasien EP (10%) dan 4 pasien ES (14,81%) mengalami empisema subkutan,
namun tidak menjalani intervensi bedah P=0,882. 2 pasien (6,67%) pada
kelompok EP dan 5 pasien (18,52%) pada kelompok ES mengalami batuk namun
berkurang tanpa pengobatan P=0.339. tidak ada mortalitas terkait prosedural yang
ditemukan pada kedua kelompok.

Outcome dari follow up serta perbandingan antara dua kelompok ES dan


EP ditunjukkan pada tabel 5. Tidak ada perbedaan secara signifikan yang tampak
pada dua teknik yang dilakukan saat pleurodesis. Setelah 1 bulan, tidak ada
pneumothorax rekuren yang ditemukan pada kedua kelompok pasien. Setelah 2
bulan, tidak ada pnuemothorax rekuren yang ditemukan pada kelompok EP, di
saat pneumothorax rekuren terjadi pada 1 pasien di kelompok ES (P=0,4). Setelah

11
12 bulan, dua pasien mengalami pnuemothorax rekuren pada kelompok EP dan
satu pasien alami pnuemothorax rekuren pada kelompok ES (P=1.0). 24 bulan
setelah prosedur, 3 pasien pada kelompok EP dan 3 pasien pada kelompok ES
mengalami pnuemothorax rekuren (P=0,928). Diakhir follow up, pnuemothorax
rekuren ditemukan pada 5 dari 24 pasien EP dan 5 dari 16 pasien ES P=0,709.
Tidak ada mortalitas selama follow up.

IV. DISKUSI

Pengobatan RSP telah menjadi masalah penting, baik oleh dokter


maupun ahli bedah. Tujuan terapi pada pasien dengan RSP ini adalah untuk
mencapai ekspansi ulang paru dan mencegah kekambuhan pneumothorax. Dengan
teknologi yang terus berkembang pesat, kemanan serta efisiensi terapi intervensi
telah menjadi kondisi yang esensial bagi pasien dengan RSP. Pleurodesis
merupakan tindakan yang efektif dan aman untuk memecahkan masalah-masalah
diatas. Beberapa laporan mengatakan bahwa tingkat kekambuhan SP menurun
sejak diberikannya agen sklerotik intrapleural.
Pada penelitian ini, 57 pasien dengan RSP menjalani Pleurodesis dengan
eritromisin. Tingkat keberhasilan adalah 80% pada kelompok EP dan 59,26%
pada kelompok ES serta angka kekambuhannya adalah sebesar 12,5% pada
kelompok EP dan 18,75% pada kelompok ES setelah 2 tahun, dimana hal ini
mirip dengan hasil percobaan dan laporan kasus sebelumnya.
Zeng et al pertama kali mengevaluasi fungsi eritromisin sebagai agen
sklerosan pleural pada pasien dengan SP. Pada penelitian tersebut, 1 gr eritromisin
dalam 50 ml cairan 90% diinjeksikan kedalam kavitas pleural pada 47 pasien
dengan SP. Setelah pengobatan, tingkat respon total adalah 85,10%, dan setelah
injeksi pertama, tingkat efisiensinya adalah 57,40%. Tingkat kekambuhan setelah
12-24 bulan adalah 10,30%, dan efek samping yang paling sering terjadi adalah
nyeri dada (42,50%). Sejak saat itu, beberapa penelitian menemukan angka
keberhasilan pada pleurodesis dengan eritromisin tipe slurry untuk pertama
kalinya pada RSP adalah mulai dari 52,70% hingga 53,10%, dan tingkat

12
keberhasilan mulai dari 81,30% hingga 84,40%, dengan angka kekambuhan
sebesar 10,40 hingga 11.10% setelah 1 tahun (19,20); pada penelitian ini, efisiensi
ES pada RSP untuk pertama kalinya adalah 59,26%, dan angka kekambuhan
setelah di follow up satu tahun adalah 6,25%, yang mana lebih baik dari artikel
sebelumnya.
Pleurodesis dibawah MT telah digunakan secara luas karena
memungkinkan sklerosan terdistribusi secara merata pada seluruh lapang pleura.
Penelitian yang dilakukan oleh Hong et al, yang melakukan tindakan tersebut
pada 31 pasien dengan RSP yang diobati dengan EP melalui thorakoskopi.
Hasilnya menunjukkan efisiensi sebesar 76,67% tanpa efek samping yang
signifikan, dan angka kekambuhan setelah 24 bulan adalah sebesar 13,33%. Selain
itu, kami menemukan bahwa angka kesuksesan pada kelompok EP adalah sebesar
80% dan angka kekambuhan setelah 24 bulan adalah 12,5%, yang hampir mirip
dengan penelitian sebelumnya. untuk pengetahuan kita, penentuan mode
pemberian eritromisin, yang mana yang lebih baik pada pengobatan RSP, belum
pernah ada penelitian yang melakukannya sebelumnya.
Penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan angka keberhasilan
antara kelompok EP dan kelompok ES. Meskipun begitu, pasien pada kelompok
EP memiliki durasi drainase chest tube postprosedural yang lebih pendek
P=0,032. Kami mempertimbangkan bahwa EP lebih efisien dari pada ES. Hal ini
dapat dijelaskan karena EP memungkinkan eritromisin untuk terdistribusi secara
merata pada seluruh kavum pleura dan menghasilkan reaksi perlekatan yang lebih
kuat. Selain itu, cairan eritromisin pada ES mungkin terdrainase dari kavitas
pleura dan memperlambat waktu pelepasan chest tube.
Selama follow up, tidak ada mortalitas yang terjadi, dan tidak ada
perbedaan yang tampak secara signifikan antara kelompok ES maupun EP. Pada
kelompok EP, pnuemotorax rekuren terjadi pada 5 pasien dan waktu kekambuhan
terjadi setelah kurun waktu 4,5,18,26, dan 34 bulan setelah prosedural. Semua
pasien memiliki penyakit paru yang mendasari/ada sebelumnya dan didiagnosis
dengan pneumothorax melalui gambaran radiologi dada. 5 pasien yang menjalani
ES mengembangkan pnuemothorax setelah di follow up dan 3 pasien memiliki
riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya. hal ini menunjukkan bahwa

13
angka kekambuhan mungkin lebih tinggi pada pnuemothorax spontan yang kedua
kalinya, seperti yang dijelaskan oleh beberapa penelitian sebelumnya.
Mekanisme yang sebenarnya terjadi pada pleurodesis dengan eritormisin
masih belum diketahui. Xie et al, melakukan percobaan untuk meneliti bagaimana
mekanisme prosedural pleurodesis dengan eriromisin bekerja. Mereka
menemukan bahwa sel mesoteliat pleura manusia (HPMC) dilukai oleh
eritromisin sesuai dengan dosis—terkait waktu. Dan hasilnya, tindakan ini
merangsang sekresi dari TNF-α dan TGF-β1. Selain itu, eritromisin meurunkan
kadar konnexin43 pada HPMC, yang mana akan mempengaruhi respon HPMC
terhadap pleurodesis dengan eritromisin.
Beberapa efek samping berbahaya akibat pengunaan ertiromisin oral
maupun IV memang sangat jarang terjadi. Beberapa penelitian melaporkan
adanya takikardia ventrikular dan reaksi alergi. Kehilangan pendengaran yang
reversible biasanya terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan pada pasien
yang mendapatkan eritromisin dosis tinggi, berdasarkan laporan yang diisolasi.
Meskipun begitu, tidak adanya efek samping yang terjadi pada penelitian ini,
seperti yang disebutkan diatas. Komplikasi post prosedural didominasi dengan
adanya demam, nyeri dada dan kebocoran udara yang terjadi lebih lama sesuai
dengan yang ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. tidak ada
perbedaan insidensi komplikasi pada kedua kelompok ini. Meskipun begitu, nyeri
dada pada kelompok ES terlihat lebih berat. Alasannya mungkin karena
eritromisin tidak terdistribusi secara merata pada kavitas pelura, dan tingginya
konsentasi eritromisin mungkin menstimulasi pleura parietalis dan menginduksi
nyeri dada yang sangat berat. Nyeri dada, baik yang berasal dari agen sklerotik
maupun dari chest tube, keduanya dapat dikurangi dengan pengobatan narkotik
sistemik. Kami menemukan bahwa bila kami menambahkan anestesi lokal pada
slurry (<10 ml dari 1% lidokain), nyeri post pluerodesis mungkin dapat
berkurang. Pada kebanyakan pasien, nyeri dada berlangsung singkat, dan mudah
untuk diatasi. Meskipun demam >37,5 0C terjadi dalam kurun waktu 48 jam pada
6 pasien (20%) kelompok EP dan 4 pasien (14,81%) kelompok ES, kejadian
empiema post prosedural tidak ditemukan, dan demam dapat dikontrol dengan
pemberian penurun demam dan NSAID. Kongesti dada masih ringan dengan

14
SpO2 nya >90%, yang mana tidak mempengaruhi prosedural. Hal ini dapat
dikurangi dengan cepat menggunakan oksigen melalui nasal kateter. Insidensi
empiema subkutan yang diteliti pada penelitian ini tidak banyak, dan komplikasi
minor yg terjadi karena adanya batuk selama manipulasi pleura parietal, dapat
membaik tanpa adanya intervensi. Hal ini mungkin terjadi karena pemberian 1%
lidokain kedalam ruang pleura diawal dimasukkannya trokar, sehingga mencegah
terjadinya reaksi yang merugikan ini.
Meskipun EP lebih efektif dari pada ES, mode pemberian eritromisin
untuk pasien RSP tergantung beberapa pertimbangan. Dibandingkan dengan ES,
EP menurut beberapa pasien memiliki harga yang lebih mahal, waktu pengobatan
yang lebih lama, dan keamanan medis yang lebih besar, yang mungkin
mempengaruhi pertimbangan pengobatan pada pasien yang memiliki perhatian
berlebih terhadap kualitas hidup. Selain itu, ES pada sisi tempat tidur/bedside
dirasa lebih sederhana dan prosedurnya tidak terlalu invasif dengan harga yang
lebih murah. Kami menyadari memang sampel kami termasuk kecil. Oleh karena
itu, penelitian yang lebih besar, prospektif dan randomisasi terkontrol selanjutnya,
dibutuhkan untuk memverifikasi hasil penelitian kami. Selain itu, mekanisme
bagaimana eritromisin ini bekerja pada pengobatan pneumothorax juga masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Kesimpulannya : eritromisin merupakan agen sklerotik yang efisien
untuk pleurodesis pasien dengan RSP. Baik ES maupun EP merupakan tekonologi
yang aman dan efektif. Selain itu, EP lebih efisien dibandingkan dengan ES.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Gupta D, Hansell A, Nichols T, et al. Epidemiology of pneumothorax in


England. Thorax 2000;55:666-71.
2. Sadikot RT, Greene T, Meadows K, et al. Recurrence of primary spontaneous
pneumothorax. Thorax 1997;52:805-9.
3. Chiu CY, Chen TP, Wang CJ, et al. Factors associated with proceeding to
surgical intervention and recurrence of primary spontaneous pneumothorax in
adolescent patients. Eur J Pediatr 2014;173:1483-90.
4. Elfeldt RJ, Schroder DW, Thies J. Long-term follow-up of different therapy
procedures in spontaneous pneumothorax. J Cardiovasc Surg (Torino)
1994;35:229-33.
5. Krasnik M, Stimpel H, Halkier E. Treatment of primary spontaneous
pneumothorax with intrapleural tetracycline instillation or thoracotomy.
Follow-up of management program. Scand J Thorac Cardiovasc Surg
1993;27:49-51.
6. Vernejoux JM, Raherison C, Combe P, et al. Spontaneous pneumothorax:
pragmatic management and long-term outcome. Respir Med 2001;95:857-62.
7. Guo Y, Xie C, Rodriguez RM, et al. Factors related to recurrence of
spontaneous pneumothorax. Respirology 2005;10:378-84.
8. Tschopp JM, Brutsche M, Frey JG. Treatment of complicated spontaneous
pneumothorax by simple talc pleurodesis under thoracoscopy and local
anaesthesia. Thorax 1997;52:329-32.
9. Baumann MH, Strange C, Heffner JE, et al. Management of spontaneous
pneumothorax: an American College of Chest Physicians Delphi consensus
statement. Chest 2001;119:590-602.
10. Henry M, Arnold T, Harvey J. BTS guidelines for the management of
spontaneous pneumothorax. Thorax 2003;58 Suppl 2:ii39-52.
11. Cardillo G, Carleo F, Giunti R, et al. Videothoracoscopic talc poudrage in
primary spontaneous pneumothorax: a single-institution experience in 861
cases. J Thorac Cardiovasc Surg 2006;131:322-8.

16
12. Cardillo G, Facciolo F, Giunti R, et al. Videothoracoscopic treatment of
primary spontaneous pneumothorax: a 6-year experience. Ann Thorac Surg
2000;69:357-61; discussion 361-2.
13. Chen JS, Chan WK, Tsai KT, et al. Simple aspiration and drainage and
intrapleural minocycline pleurodesis versus simple aspiration and drainage
for the initial treatment of primary spontaneous pneumothorax: an open-label,
parallel-group, prospective, randomised, controlled trial. Lancet
2013;381:1277-82.
14. Olavarrieta JR, Coronel P. Expectations and patient satisfaction related to the
use of thoracotomy and video-assisted thoracoscopic surgery for treating
recurrence of spontaneous primary pneumothorax. J Bras Pneumol
2009;35:122-8.
15. Carvalho P, Knight LL, Olson RD, et al. Effects of erythromycin on the
rabbit pleura: its potential role as a pleural sclerosant. Am J Respir Crit Care
Med 1995;151:1228-32.
16. Hashemzadeh S, Hashemzadeh K, Mamaghani K, et al. Pleurodesis by
erythromycin, tetracycline, Aerosil™ 200, and erythromycin plus Aerosil™
200 in a rat model: a preliminary study. Daru 2012;20:79.
17. Miller Q, Meschter C, Neumaster T, et al. Comparison of pleurodesis by
erythromycin, talc, doxycycline, and diazepam in a rabbit model. J Surg Educ
2007;64:41-5.
18. Zeng M, Xie CM, Wu JF. The value of erythromycin pleurodesis in the
treatment of spontaneous pneumothorax. Chin J Respir Crit Care Med
2004;3:110-2.
19. Fang WJ. The value discussion of erythromycin pleurodesis in the treatment
of refractory pneumothorax. Pract Clin Med 2009;10:51-2.
20. Wei J, Liu QZ. The study of erythromycin pleurodesis in the treatment of
refractory pneumothorax. Pract Clin Med 2009;10:30.
21. Hong B, Huang LH. Clinical observation of erythromycin power pleurodesis
under thoracoscope in the treatment of refractory spontaneous pneumothorax.
Chongqing Med J 2015;44:1964-6.
22. Zhai CC, Lin XS, Yao ZH, et al. Pneumothorax. Asvide 2018;5:086.
Available online: http://asvidett.amegroups. com/article/view/22884
23. Zhai CC, Lin XS, Yao ZH, et al. Erythromycin poudrage. Asvide 2018;5:087.
Available online: http://asvidett. amegroups.com/article/view/22885
24. Rhea JT, DeLuca SA, Greene RE. Determining the size of pneumothorax in
the upright patient. Radiology 1982;144:733-6.
25. Li C. Erythromycin-induced pleural adhesions in the treatment of refractory
spontaneous pneumothorax. J Trop Med 2008;8:828-9.
26. Zhou CY. The value of erythromycin pleurodesis in the treatment of obstinate
desease of pleura. J Clin Pulm Med 2007;12:595-6.
27. Light RW, O'Hara VS, Moritz TE, et al. Intrapleural tetracycline for the
prevention of recurrent spontaneous pneumothorax. Results of a Department
of Veterans Affairs cooperative study. JAMA 1990;264:2224-30.
28. Archer GJ, Hamilton AA, Upadhyay R, et al. Results of simple aspiration of
pneumothoraces. Br J Dis Chest 1985;79:177-82.

17
29. Xie C, Huang JQ, Light RW. The effects of erythromycin on the viability and
the secretion of TNF-alpha and TGF-beta1 and expression of connexin43 by
human pleural mesothelial cells. Respirology 2005;10:567-71.
30. Gitler B, Berger LS, Buffa SD. Torsades de pointes induced by erythromycin.
Chest 1994;105:368-72.
31. Balassoulis G, Sichletidis L, Spyratos D, et al. Efficacy and safety of
erythromycin as sclerosing agent in patients with recurrent malignant pleural
effusion. Am J Clin Oncol 2008;31:384-9.
32. Liu XH, Pan XJ, Yang ZH. Effect of erythromycin on persistent air-leak
Spontaneous Pneumothorax. J Clin Pulm Med 2008;13:187-8.
33. Nezu K, Kushibe K, Tojo T, et al. Thoracoscopic wedge resection of blebs
under local anesthesia with sedation for treatment of a spontaneous
pneumothorax. Chest 1997;111:230-5.

18

Anda mungkin juga menyukai