Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN ANALISIS JURNAL

HIGH QUALITY CPR: AVOID EXCESSIVE VENTILATION

BLOK 4.1
KELOMPOK 8
ANGGOTA:
NO
NAMA
1. NIA ANGGRAENI

NIM
15235

NO
NAMA
7. NANANG ARIF K

NIM
15257

2.

ROCHMA DWI R

15237

8.

REDITA ELVA F

15262

3.

RIZKY FADHILAH

15240

9.

WAHYU NITARI

15264

4.

RATNA DWI W

15244

10.

LEILA NH

15269

5.

YUNINDA K

15246

11.

NUR FIRDA S

15270

6.

JEKI RAHMAWATI

15255

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2015

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan teknik pertolongan pertama yang
dapat digunakan jika seseorang tidak dapat bernafas dengan baik atau jika terjadi
henti jantung (NHS, 2014). Henti jantung merupakan penghentian secara tiba-tiba
aktivitas pompa jantung efektif yang mengakibatkan penghentian sirkulasi (Muttaqin,
2009). World Health Organization (WHO, 2015) menyebutkan bahwa pada 2012
penyakit kardiovaskuler menjadi peringkat ke-1 penyebab kematian di dunia. Namun
pada orang yang mengalami henti jantung apabila dilakukan penanganan segera
dengan RJP dapat memberikan kesempatan pada pasien untuk bertahan hidup
(American Heart Association, 2015). Pemberian RJP terdiri dari bantuan sirkulasi
(kompresi dada dan monitor denyut nadi) dan napas (mempertahankan jalan nafas
dan pemberian nafas buatan jika dibutuhkan) (Davey, 2006). Apabila tindakantindakan tersebut dilakukan tidak tepat dapat menimbulkan hal lain yang berpotensi
merugikan pasien.
Tujuan dari pemberian RJP adalah untuk mempertahankan pembagian substrat
sementara, sehingga memberikan waktu untuk pemulihan fungsi jantung dan paru
secara spontan (Damayanti, Pitiriani, Ardhiyanti, 2015). Dalam memenuhi tujuan
tersebut maka diperlukan teknik RJP yang cepat, tepat, dan berkualitas.
Pemberian RJP berkualitas diperlukan bantuan ventilasi. Hal ini penting dilakukan
untuk memastikan kecukupan pemberian oksigen. Memberikan oksigen yang cukup
ke dalam darah tanpa menghambat perfusi merupakan upaya untuk memenuhi kadar
oksigen pada otak dan jantung dalam mengembalikan aktivitasnya (Meaney, Bobrow,
Mancini, Christenson, Caen, Bhanji, Abella, Kleinman, Edelson, Berg, Aufderheide,
Menon, & Leary, 2013; ). Akan tetapi, dalam pemberian bantuan ventilasi tidak boleh
terlalu berlebihan. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan RJP, perfusi sistemik dan
paru berkurang, padahal hubungan perfusi-ventilasi yang normal dapat dipertahankan
dengan ventilasi yang jauh lebih rendah daripada normal. Hal ini juga dikarenakan,

saat pemberian ventilasi, tekanan dalam rongga dada akan meningkat yang
cenderung akan menghambat aliran darah, padahal yang lebih dibutuhkan adalah
terjaganya aliran darah ke organ-organ penting (Fitantra, 2015). Kelebihan tekanan
ventilasi ataupun voolume tidal beresiko adanya tekanan pembukaan esofageal yang
mempengaruhi pada inflasi gaster, potensi timbulnya regurgitasi, dan dampak lainnya
(Miller, Erickson, Fleisher, 2014).
Berdasarkan data yang disebutkan di atas, maka penting untuk memberikan
bantuan ventilasi yang cukup tanpa berlebihan pada saat melakukan RJP. Maka dari
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai cara-cara yang memungkinkan dapat
untuk dilakukan dalam menghindari bantuan pemberian ventilasi yang berlebihan saat
dilakukan pemberian RJP.
B.

Rumusan Masalah
1. Mengapa perlu menghindari ventilasi berlebih pada pemberian resusitasi jantung
2.

paru yang berkualitas?


Bagaimana cara menghindari ventilasi berlebih pada pemberian resusitasi jantung
paru yang berkualitas?

C.

Tujuan
1. Memahami pentingnya menghindari ventilasi berlebih pada pemberian resusitasi
2.

jantung paru yang berkualitas


Untuk mengetahui cara menghindari ventilasi yang berlebihan pada pemberian
resusitasi jantung paru yang berkualitas.

BAB II
ISI JURNAL

A. Jurnal 1
Judul

: Metronome improves compression and ventilation rates during CPR on


manikin in a randomized trial

Tahun

: 2010

Penulis

: Karl B. Kern, Ronald E. Stickney, Leanne Gallison, Robert E. Smith

Analisis

Pentingnya mengurangi risiko hambatan dalam melakukan RJP kini mulai


diperhatikan. Bukti menunjukkan bahwa ventilasi tekanan positif yang berlebihan
selama

RJP dapat

merugikan

hemodinamika

dan

outcomes

dari

resusitasi.

Hiperventilasi yang tidak sengaja yang dilakukan oleh penolong RJP profesional pun
masih umum terjadi di rumah sakit. Penggunaan audible metronome untuk memandu
tingkat kompresi dada adalah salah satu strategi untuk meningkatkan efektivitas
kompresi dada.
Tujuan dari jurnal ini adalah untuk mengkaji keefektifan dari kompresi atau ventilasi
dengan pemakaian metronome pada sebelum dan sesudah pengamanan jalan nafas.
Penelitian ini merupakan penelitian prospective, randomized, dan parallel group design
yang melibatkan 34 pasang pemadam kebakaran dan emergency medical technicians
(EMTs) untuk melakukan two-rescuer CPR pada manikin Laerdal Skill Reporter Resusci
Anne, dengan berpedoman pada metromone dan tidak berpedoman pada metronome.
Tiap sesi CPR terdiri dari 30:2 CPR dengan jalan nafas yang tidak dijaga selama 2
menit, lalu 4 menit CPR dengan jalan nafas yang dijaga (kompresi 100x/ menit dengan
8-10 ventilasi/ menit), dan diulang setelah penolong bertukar peran. Metronome
memberikan tock prompts pada kompresi, transition prompts antara kompresi dan
ventilasi, serta spoken ventilate prompts.
Penelitian ini merupakan yang pertama dalam mengevaluasi pedoman metronome
dalam kompresi dada dan ventilasi, baik sebelum dan sesudah intubasi endotrakeal.
Kombinasi nada dan suara dari prompt audio guidance cukup efektif dalam mengatur
tingkat kompresi dada pada pasien dan menghindari masalah-masalah hiperventilasi
ketika dilakukan CPR oleh penolong profesional. Tanpa pedoman yang audible, tingkat
kompresi dada bervariasi antara 75-160 kali per menit. Tanpa pedoman metronome, 29
dari 34 (85%) pasangan penolong profesional melakukan kompresi dada di luar jarak

90-110 kali per menit, dan 24 dari 34 (71%) melakukannya di luar jarak 90-120 kali per
menit. Sebagian besar kompresi dilakukan sebanyak lebih dari 120 kali per menit.
Tingkat kompresi yang terlalu cepat maupun terlalu lambat akan menimbulkan masalah
baru. Tingkat kompresi yang terlalu cepat akan menimbulkan masalah pada aliran darah
koroner yang terjadi karena pemendekan periode diastolik secara signifikan. Tingkat
kompresi yang terlalu sedikit akan mengakibatkan resusitasi hemodinamik dan outcome
tidak optimal. Setelah dilakukan CPR dengan berpedoman metronome, tingkat
kompresi berada di antara 85-115x/ menit, dengan 32 pasang responden melakukannya
diantara 95-105 kali per menit.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi kompresi dada dan ventilasi dengan
audible metronome bisa menghindari risiko hiperventilasi oleh EMS professional dengan
menggunakan advanced airway (setelah intubasi endotrakeal). Tanpa pedoman
metronome, mean tingkat ventilasi adalah 104 (median = 10), dengan pernafasan
sekitar 6-25 kali per menit. Meskipun begitu, pada 11 dari 34 pasang responden (32%)
terjadi hiperventilasi. Saat menggunakan metronome, tidak ada perbedaan pada mean
dan median tingkat ventilasi (100, median = 10), dan tidak ada yang mengalami
hiperventilasi. Pada feedback-nya, 32 pasangan responden menyatakan bahwa
keberadaan metronome sangat berguna dalam melakukan CPR meski 2 orang
menyatakan kesulitan dalam mengikuti irama nada dan suaranya, namun tingkat
kompresi mereka hanya meleset sekitar 10 kali per menit.

B. Jurnal 2
Judul

: Capnography and chest wall impedance algorithms for ventilation detection


during cardiopulmonary resuscitation

Penulis

: Dana P. Edelson, Joar Eilevstjnn, Elizabeth K. Weidman, Elizabeth


Retzer, Terry L. Vanden Hoek, danBenjamin S. Abellae.

Tersedia

: Pada 1 Maret 2011 di PMC dengan format: Resuscitation. 2010 March


81(3): 317322. doi:10.1016/j.resuscitation.2009.11.003.

Analisis

Hiperventilasi sering terjadi selama resusutasi jantung paru (RJP) yang dilakukan di
rumah sakit ataupun di luar rumah sakit, bahkan oleh penolong yang terlatih sekalipun.
Menurut panduan resusitasi dianjurkan untuk melakukan ventilasi pada pasien 8-10 kali
per menit. Bahkan tiga penelitian klinis telah mencatat ventilasi sebanyak 30 kali per
menit menunjukkan adanya kegagalan dalam hemodinamik dan memperburuk outcome
pada hewan yang diujicobakan.
Penelitian observasi prospektif dari serangan jantung yang terjadi di rumah sakit
dikumpulkan dari bulan Juli 2007 sampai Januari 2008. Penelitian ini dilaksanakan di
fasilitas perawatan level tiga dengan setidaknya 600 tempat tidur yang ditempati pasien.
Semua pasien dewasa yang mengalami serangan jantung diberikan kesempatan yang
sama untuk dianalisis.
Telah dikumpulkan 95 kejadian serangan jantung pada 75 pasien di rumah sakit.
Dari semua kasus ini, 58 tidak digunakan karena gelombang kompresi, ventilasi dan
capnografi tidak dicatat dengan tepat. 37 kasus yang resisa dari 33 pasien
menghabiskan 438 menit data dengan kompresi dada terus menerus dan pencatatan
bersamaan baik data CWI (impedansi dinding dada) atau capnografi. Representasi
cohort pasien pada sample ini secara umum sama dengan studi populasi yang
sebelumnya. Kembalinya sirkulasi spontan dicapai pada 15/37 (40%) kasus, dan 3/33
(9,1%) pasien bertahan dan keluar dari rumah sakit.
Penelitian ini mengembangkan algoritma untuk mengukur respiratory rate melalui
sinyal capnografi selama cardiac arrest terjadi dan membandingkan dengan algoritma
yang berdasarkan impedansi dinding dada (CWI). Dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua algoritma tersebut dapat menurunkan ventilation rates dan dengan
menggabungkan kedua algoritma tersebut dapat menghasilkan sinyal yang lebih kuat
untuk deteksi hiperventilasi. Pengukuran ventilation rate masih kurang baik karena
keterbatasan metode yang dilakukan secara klinis.

CWI adalah metode yang menarik untuk mengukur ventilation rate secara otomatis,
karena secara teori bisa dilakukan selama resusitasi apapun dengan menggunakan
bantalan defibrilasi yang adesif. Namun, ada beberapa faktor yang memengaruhi
sensivitas CWI untuk deteksi ventilasi. Dua masalah paling sering yang kami observasi
menggunakan sinyal impedansi dinding dada adalah kebisingan (kemungkinan karena
kompresi dada dan/atau ketika penanganan pasien) dan perubahan impedansi yang
kecil (kemungkinan karena ventilasi volume yang rendah atau body habitus pasien).
Selain itu, reliabilitas CWI bisa dipengaruhi oleh posisi bantalan dan/atau adhesi yang
buruk dari bantalan defibrillator, yang akan menurunkan pengukuran impedansi.
Capnografi, dapat mengukur langsung ventilasi, namun masih sangat terbatas.
Sinyal ini juga dapat menunjukkan efek dari kompresi atau kebisingan dan bisa
dipengaruhi oleh darah atau sekresi di endotracheal tube, hal ini merupakan hal yang
paling umum selama resusitasi. Selain itu, saat ini masih sedikit capnografi yang
tersedia selama resusitasi karena memerlukan instrumen tambahan selain bantalan
defibrillator. Dikarenakan capnografi bergantung pada perfusi dan metabolisme, maka
risiko terlalu rendah dalam menunjukkan perubahan yang akan menunjukkan indikasi
diperlukan ventilasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menggabungkan algoritma sinyal impedansi
dan capnografi dapat meningkatan deteksi ventilasi, karena sinyal dipengaruhi oleh efek
waktu yang bersamaan. Selain itu, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan.
Pertama, gold standard deteksi ventilasi, yang membandingkan deteksi CWI dan
capnografi, tidak terlepas dari pengukuran-pengukuran tersebut. Peneliti menggunakan
reviewer independen untuk merekam masing-masing ventilasi secara manual, dengan
dua tambahan reviewer menyelesaikan perbedaan keragaman deteksi ventilasi yang
untuk meminimalkan error. Kedua, peneliti melaporkan hanya satu algoritma untuk
masing-masing kumpulan data, yang keduanya perlu disempurnakan. Hal ini penting
untuk diingat bahwa pengukuran impedansi defibrillator pada awalnya hanya sebagai
deteksi hubungan bantalan defibrillator, dengan deteksi ventilasi hanya sebagai

pengembangan sekunder. Selanjutnya penulis tidak menjelaskan karakteristik tingkat


resusitasi seperti penempatan bantalan defibrillator dan adhesi, body habitus, dan
cairan endotracheal tube yang bisa memengaruhi pengukuran.
Tujuan penting dari meminimalkan hiperventilasi selama RJP yaitu membutuhkan
metode deteksi ventilasi yang kuat, namun saat ini penerapan metode impedansi
dinding dada memiliki keterbatasan yang mengakibatkan menurunnya deteksi ventilasi.
Penggunaan capnografi atau pengukuran tekanan, secara klinis tersedia dalam
berbagai monitor/defibrillator dan alat stand alone, yang memungkinkan untuk
meningkatkan algoritma deteksi ventilasi. Tindakan yang terbaik yang dapat dilakukan
adalah menggunakan kombinasi kumpulan data dari beberapa alat.
C. Jurnal 3
Judul

: Precise Minute Ventilation Delivery Using a Bag-Valve Mask And Audible


Feedback

Penulis

: Jung Soo Lim MD, Yong Chul Cho MD, O Yu Kwon PhD, Sung Pil Chung
MD, Kwoen Yu PhD, SeungWhan Kim MD

Tahun

: 2012

Analisis

Penelitian dalam jurnal ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan ventilasi buatan
modifikasi rate and volume-adjusted BVM (RVBVM) dengan Bag-Valve Mask (BVM)
konvensional untuk memaksimalkan waktu pemberian ventilasi pada penderita henti
jantung dan meminimalkan ventilasi berlebih (excessive ventilation). Seperti yang
diketahui bahwa salah satu komponen penting dari CPR yang berkualitas adalah
mencegah terjadinya excessive ventilation (AHA, 2013). Excessive ventilation menjadi
salah satu komplikasi yang sering muncul saat melakukan CPR dan dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan pada jalan nafas, inflasi gastrik, hingga
kematian. Pemberian ventilasi yang tepat dapat menyelamatkan seseorang dengan
henti jantung. Pada pasien dewasa, pemberian ventilasi 8-10 kali per menit sudah
cukup membantu mempertahankan pernafasan korban (AHA, 2013). Dalam penelitian

ini, peneliti melakukan modifikasi pada bag-valve mask yang biasa digunakan untuk
membantu pernafasan korban dengan diberikan alarm yang akan berbunyi setiap 5
detik. Alarm menjadi penanda seberapa banyak ventilasi yang telah diberikan pada
korban selama resusitasi. Oleh peneliti, penggunaan bag-valve mask dengan alarm ini
dibandingkan dengan BVM konvensional tanpa alarm. Penelitian dilakukan dengan
melibatkan 52 peserta yang diberikan demontrasi terlebih dahulu selama 30 menit.
Setelah itu, dilakukan uji coba selama 2 menit untukmemberikan bantuan pernafasan 810 kali per menit dengan BVM konvensional. Satu jam berikutnya, uji coba yang kedua
dilakukan dengan proporsi waktu yang sama namun menggunakan BVM modifikasi.
Hasilnya, pemberian bantuan pernafasan dengan RVBVM modifikasi lebih efektif
dan menunjukkan hasil yang konstan untuk pengukuran ventilasi tidal yang diberikan
yaitu antara 8-10 kali per menit sedangkan BVM konvensional menunjukkan
ketidakteraturan dalam pemberian bantuan pernafasan pada manikin yang telah
disetting henti jantung. Dalam kondisi emergensi sangat memungkinkan terjadinya
excessive ventilation karena BVM konvensional tidak memiliki penanda untuk
mengetahui banyak ventilasi yang telah diberikan dan hanya mengandalkan ketepatan
dari penolong. Pada penolong tunggal penggunaan ventilasi bag-valve mask
konvensional dapat berpotensi menimbulkan excessive ventilation (Lambert et al.,
2015). Oleh karena itu, penggunaan ventilasi buatan modifikasi BVM dengan alarm ini
diharapkan dapat mengurangi excessive ventilation dan meningkatkan angka harapan
hidup pada seorang dengan henti jantung.
4.

Jurnal 4
Judul

: Mouth-to-mouth ventilation is superior to mouth-to-pocket mask and bag


valvemask ventilation during lifeguard CPR: A randomized study

Tahun

: 2011

Penulis

: Kasper Adelborg, Christian Dalgas, Erik Lerkevang Grove, Carsten


Jrgensene, Rozh Husain Al-Mashhadi, Bo Lfgren

Analisis

Administrasi ventilasi memainkan peran penting dalam resusitasi cardiopulmonary


(CPR), terutama di serangan jantung asphyxial. Orang awam dianjurkan untuk
menggunakan mouth-to-mouth ventilation (MMV), sedangkan profesional kesehatan
menyediakan bag-valve-mask ventilation (BMV) selama CPR. Mouth to- Pocket Mask
ventilation (MPV) adalah alternatif yang efektif. Dalam resusitasi korban tenggelam,
penjaga pantai dianjurkan menggunakan MPV. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
membandingkan efek MMV, MPV dan BMV pada kualitas CPR oleh penjaga pantai.
Dalam penelitian ini respondennya adalah penjaga pantai berusia 18 tahun dan
sudah profesional. Peserta secara acak dibagi menjadi 6 kelompok dan masing-masing
melakukan tiga sesi CPR dengan menggunakan 3 metode ventilasi yaitu MMV, MPV
dan BMV. Setiap sesi berdurasi 3 menit dan istirahat 5 menit.
Sebanyak 63 orang penjaga pantai diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian
namun 2 orang menolak untuk berpartisipasi. Dari 61 orang secara acak, satu
dikeluarkan karena malam tiba, karena tidak mungkin untuk menyelesaikan rekaman
video pada malam hari. Informasi demografis ditampilkan (rata-rata usia: 25,4 tahun,
laki-laki: 67% dan perempuan: 33%).
Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok
(MMV: 8,9 1,6 s, MPV: 10,7 3,0 s dan BMV: 12,5 3,5 s). MMV (91%) menghasilkan
proporsi signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan MPV (79%, P <0,001) dan BMV
(59%, P <0,001). Waktu inspirasi MMV (0,7 0,2 s) dan MPV (0,7 0,2 s) dibandingkan
dengan BMV (0,5 0,2 s). Volume tidal BMV secara signifikan lebih rendah (0,4 0,2 L)
dibandingkan dengan MMV (0,6 0,2 L) dan MPV (0,6 0,3 L), sedangkan tidak ada
perbedaan yang signifikan ketika membandingkan MMV dan MPV. Tidak ada
perbedaan dalam waktu untuk memulai kompresi ditemukan (MMV: 21,1 8,7 s, MPV:
23,1 10,2 dan BMV: 23,7 13,4 s). Perbandingan kedalaman kompresi (MMV32.1
8.9mm, MPV 31,7 8.7mmand BMV 31,5 9.0mm) dan tingkat kompresi (MMV 112
13 menit-1, MPV 110 13-min 1, BMV 112 14 min 1)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mouth-to-mouth ventilation (MMV) secara


signifikan meminimalkan interupsi saat melakukan CPR dan menghasilkan proporsi
yang lebih tinggi untuk ventilasi yang efektif dibandingkan dengan mouth-to-pocket
mask ventilation (MPV) dan bag-valve-mask ventilation (BMV). Melakukan CPR
sebelum EMS datang dengan melakukan rasio kompresi-ventilasi (30:2), penggunaan
MMV mengurangi total waktu aliran sebesar 50 dan 94 detik dibandingkan dengan MPV
dan

BMV.Penelitian

ini

juga

menunjukkn

bahwa

menggunakan

MMV

(tidak

menggunakan MPV dan BMV) dapat mengurangi waktu. Selain itu, penelitian ini telah
menunjukkan bahwa proporsi ventilasi yang efektif lebih tinggi bila menggunakan MMV.
Ventilasi yang efektif masih tetap merupakan bagian penting dari CPR.
Pemberian ventilasi kepada korban tidak diberikan terlalu kuat ataupun cepat.
Dalam penelitian ini, waktu inspirasi menggunakan teknik ventilasi terlalu pendek (0,50,7 detik) dibandingkan dengan pedoman, dan secara signifikan lebih pendek bila
menggunakan BMV. Menurut American Heart Association (2010) penyelamatan napas
dapat disiapkan sekitar 1 napas setiap 6-8 detik (sekitar 8-10 napas/menit). Ventilasi
yang berlebihan harus dihindari. Hal ini menunjukkan bahwa risiko inflasi lambung dan
cedera paru-paru lebih besar bila menggunakan BMV.
Berdasarkan American

Heart

Association

(2010),

tekanan

krikoid

adalah

memberikan tekanan pada tulang rawan krikoid korban untuk mendorong trakea
posterior dan kompres kerongkongan terhadap tulang leher. Tekanan krikoid dapat
mencegah inflasi lambung dan mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi selama
menggunakan bag-mask ventilation, tetapi juga dapat menghambat ventilasi. Tujuh
penelitian secara acak menunjukkan bahwa tekanan krikoid dapat menunda atau
mencegah penempatan jalan napas yang maju.
Yang penting bahwa dengan MMV tidak membutuhkan perangkat atau alat apapun,
tetapi terdapat risiko transmisi penyakit antara penyelamat awam. Meskipun
membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, secara teoritis jumlah oksigen yang cukup
dapat diberikan dengan menggunakan efektif MMV dikombinasikan dengan aliran tinggi

oksigen (misalnya kateter nasal). Jadi, MMV lebih unggul dibandingkan MPV dan BMV
selama simulasi penyelamat CPR tunggal, karena mengurangi waktu-aliran dan hasil
ventilasi yang lebih efektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
MPV dan BMV, kualitas CPR ditingkatkan dengan menggunakan MMV.

BAB III
KESIMPULAN

1.

Melakukan pemberian RJP berkualitas mermerlukan bantuan ventilasi. Hal ini penting
dilakukan untuk memastikan kecukupan pemberian oksigen dalam darah tanpa

menghambat perfusi guna memenuhi kadar oksigen pada otak dan jantung demi
mengembalikan aktivitasnya.
2.

Kombinasi unik antara tock dan suara metromone cukup efektif bagi relawan dan
EMTs untuk menunjukkan tingkat kompresi dada dan ventilasi yang benar baik sebelum
maupun sesudah intubasi, serta menghindari terjadinya hiperventilasi.

3.

CWI (impendensi dinding dada) merupakan metode yang menarik untuk mengukur
ventilation rate secara otomatis, karena secara teori bisa dilakukan selama resusitasi
apapun dengan menggunakan bantalan defibrilasi yang adesif. Menggabungkan
algoritma sinyal impedansi dan capnografi dapat meningkatan deteksi ventilasi, karena
sinyal dipengaruhi oleh efek waktu yang bersamaan.

4.

Pemberian bantuan pernafasan dengan rate and volume-adjusted Bag Valve Mask
(RVBVM) modifikasi lebih efektif yaitu dapat mengurangi excessive ventilation dan
meningkatkan angka harapan hidup pada seorang dengan henti jantung, sedangkan
BVM

konvensional

menunjukkan

ketidakteraturan

dalam

pemberian

bantuan

pernafasan pada manikin yang telah disetting henti jantung.


5.

Mouth-to-mouth ventilation (MMV) secara signifikan meminimalkan interupsi saat


melakukan CPR dan menghasilkan proporsi yang lebih tinggi untuk ventilasi yang efektif
dibandingkan dengan mouth-to-pocket mask ventilation (MPV) dan bag-valve-mask
ventilation (BMV).

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2010. Hihglights Of The 2010 American Heart Association.
www.heart.orgw.heart.org/cpr
Damayanti, I. P., Pitriani, R., Ardiyanti, Y. 2015. Panduan Lengkap Keterampilan Dasar

Kebidanan II. Yogyakarta: Deepublish


Davey, P. 2006. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Fitantra, J. B. 2015. Henti Jantung Algoritma Tatalaksana Henti Jantung pada Dewasa.
Available

at:

http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/kegawatdaruratan/henti-

jantung-algoritma-tatalaksana-henti-jantung-pada-dewasa/ diakses pada 9 Oktober


2015
Kompasiana. 2015. Sudden Cardiac Arrest dan Bulan Jantung Amerika. Available at:
http://www.kompasiana.com/sugiantoparuliansimanjuntak/sudden-cardiac-arrest-danbulan-jantung-amerika_55007d4fa333111d72510f2d diakses pada 9 Oktober 2015
Meaney, P. A., Bobrow, B. J., Mancini, M. E., Christenson, J., Caen, A. R. De., Bhanji, F.,
Abella, B. S., Kleinman, M. E., Edelson, D. P., Berg, R. A., Aufderheide, T. P., Menon,
V., & Leary, M. 2013. AHA Consensus Statement CPR Quality: Improving Cardiac
Resuscitation Outcomes Both Inside and Outside the Hospital, 120.
doi:10.1161/CIR.0b013e31829d8654
Miller, R. D., Cohen, N. H., Eriksson, L. I., Fleisher, L. A., Wienner-Kronish, J. P., Young, W.
L. 2014. Millers Anesthesia 8thed. Elsevier
Muttaqin, A. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika
NHS. 2014. First Aids-CPR. UK. Available at: http://www.nhs.uk/Conditions/Accidents-andfirst-aid/Pages/cpr.aspx diakses pada 8 Oktober 2015
Soo, J., Chul, Y., Kwon, O. Y., & Pil, S. (2012). Precise minute ventilation delivery using a
bag-valve mask and audible feedback. American Journal of Emergency Medicine,
30(7), 10681071. doi:10.1016/j.ajem.2011.07.003

Anda mungkin juga menyukai