BLOK 4.1
KELOMPOK 8
ANGGOTA:
NO
NAMA
1. NIA ANGGRAENI
NIM
15235
NO
NAMA
7. NANANG ARIF K
NIM
15257
2.
ROCHMA DWI R
15237
8.
REDITA ELVA F
15262
3.
RIZKY FADHILAH
15240
9.
WAHYU NITARI
15264
4.
RATNA DWI W
15244
10.
LEILA NH
15269
5.
YUNINDA K
15246
11.
NUR FIRDA S
15270
6.
JEKI RAHMAWATI
15255
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan teknik pertolongan pertama yang
dapat digunakan jika seseorang tidak dapat bernafas dengan baik atau jika terjadi
henti jantung (NHS, 2014). Henti jantung merupakan penghentian secara tiba-tiba
aktivitas pompa jantung efektif yang mengakibatkan penghentian sirkulasi (Muttaqin,
2009). World Health Organization (WHO, 2015) menyebutkan bahwa pada 2012
penyakit kardiovaskuler menjadi peringkat ke-1 penyebab kematian di dunia. Namun
pada orang yang mengalami henti jantung apabila dilakukan penanganan segera
dengan RJP dapat memberikan kesempatan pada pasien untuk bertahan hidup
(American Heart Association, 2015). Pemberian RJP terdiri dari bantuan sirkulasi
(kompresi dada dan monitor denyut nadi) dan napas (mempertahankan jalan nafas
dan pemberian nafas buatan jika dibutuhkan) (Davey, 2006). Apabila tindakantindakan tersebut dilakukan tidak tepat dapat menimbulkan hal lain yang berpotensi
merugikan pasien.
Tujuan dari pemberian RJP adalah untuk mempertahankan pembagian substrat
sementara, sehingga memberikan waktu untuk pemulihan fungsi jantung dan paru
secara spontan (Damayanti, Pitiriani, Ardhiyanti, 2015). Dalam memenuhi tujuan
tersebut maka diperlukan teknik RJP yang cepat, tepat, dan berkualitas.
Pemberian RJP berkualitas diperlukan bantuan ventilasi. Hal ini penting dilakukan
untuk memastikan kecukupan pemberian oksigen. Memberikan oksigen yang cukup
ke dalam darah tanpa menghambat perfusi merupakan upaya untuk memenuhi kadar
oksigen pada otak dan jantung dalam mengembalikan aktivitasnya (Meaney, Bobrow,
Mancini, Christenson, Caen, Bhanji, Abella, Kleinman, Edelson, Berg, Aufderheide,
Menon, & Leary, 2013; ). Akan tetapi, dalam pemberian bantuan ventilasi tidak boleh
terlalu berlebihan. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan RJP, perfusi sistemik dan
paru berkurang, padahal hubungan perfusi-ventilasi yang normal dapat dipertahankan
dengan ventilasi yang jauh lebih rendah daripada normal. Hal ini juga dikarenakan,
saat pemberian ventilasi, tekanan dalam rongga dada akan meningkat yang
cenderung akan menghambat aliran darah, padahal yang lebih dibutuhkan adalah
terjaganya aliran darah ke organ-organ penting (Fitantra, 2015). Kelebihan tekanan
ventilasi ataupun voolume tidal beresiko adanya tekanan pembukaan esofageal yang
mempengaruhi pada inflasi gaster, potensi timbulnya regurgitasi, dan dampak lainnya
(Miller, Erickson, Fleisher, 2014).
Berdasarkan data yang disebutkan di atas, maka penting untuk memberikan
bantuan ventilasi yang cukup tanpa berlebihan pada saat melakukan RJP. Maka dari
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai cara-cara yang memungkinkan dapat
untuk dilakukan dalam menghindari bantuan pemberian ventilasi yang berlebihan saat
dilakukan pemberian RJP.
B.
Rumusan Masalah
1. Mengapa perlu menghindari ventilasi berlebih pada pemberian resusitasi jantung
2.
C.
Tujuan
1. Memahami pentingnya menghindari ventilasi berlebih pada pemberian resusitasi
2.
BAB II
ISI JURNAL
A. Jurnal 1
Judul
Tahun
: 2010
Penulis
Analisis
RJP dapat
merugikan
hemodinamika
dan
outcomes
dari
resusitasi.
Hiperventilasi yang tidak sengaja yang dilakukan oleh penolong RJP profesional pun
masih umum terjadi di rumah sakit. Penggunaan audible metronome untuk memandu
tingkat kompresi dada adalah salah satu strategi untuk meningkatkan efektivitas
kompresi dada.
Tujuan dari jurnal ini adalah untuk mengkaji keefektifan dari kompresi atau ventilasi
dengan pemakaian metronome pada sebelum dan sesudah pengamanan jalan nafas.
Penelitian ini merupakan penelitian prospective, randomized, dan parallel group design
yang melibatkan 34 pasang pemadam kebakaran dan emergency medical technicians
(EMTs) untuk melakukan two-rescuer CPR pada manikin Laerdal Skill Reporter Resusci
Anne, dengan berpedoman pada metromone dan tidak berpedoman pada metronome.
Tiap sesi CPR terdiri dari 30:2 CPR dengan jalan nafas yang tidak dijaga selama 2
menit, lalu 4 menit CPR dengan jalan nafas yang dijaga (kompresi 100x/ menit dengan
8-10 ventilasi/ menit), dan diulang setelah penolong bertukar peran. Metronome
memberikan tock prompts pada kompresi, transition prompts antara kompresi dan
ventilasi, serta spoken ventilate prompts.
Penelitian ini merupakan yang pertama dalam mengevaluasi pedoman metronome
dalam kompresi dada dan ventilasi, baik sebelum dan sesudah intubasi endotrakeal.
Kombinasi nada dan suara dari prompt audio guidance cukup efektif dalam mengatur
tingkat kompresi dada pada pasien dan menghindari masalah-masalah hiperventilasi
ketika dilakukan CPR oleh penolong profesional. Tanpa pedoman yang audible, tingkat
kompresi dada bervariasi antara 75-160 kali per menit. Tanpa pedoman metronome, 29
dari 34 (85%) pasangan penolong profesional melakukan kompresi dada di luar jarak
90-110 kali per menit, dan 24 dari 34 (71%) melakukannya di luar jarak 90-120 kali per
menit. Sebagian besar kompresi dilakukan sebanyak lebih dari 120 kali per menit.
Tingkat kompresi yang terlalu cepat maupun terlalu lambat akan menimbulkan masalah
baru. Tingkat kompresi yang terlalu cepat akan menimbulkan masalah pada aliran darah
koroner yang terjadi karena pemendekan periode diastolik secara signifikan. Tingkat
kompresi yang terlalu sedikit akan mengakibatkan resusitasi hemodinamik dan outcome
tidak optimal. Setelah dilakukan CPR dengan berpedoman metronome, tingkat
kompresi berada di antara 85-115x/ menit, dengan 32 pasang responden melakukannya
diantara 95-105 kali per menit.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi kompresi dada dan ventilasi dengan
audible metronome bisa menghindari risiko hiperventilasi oleh EMS professional dengan
menggunakan advanced airway (setelah intubasi endotrakeal). Tanpa pedoman
metronome, mean tingkat ventilasi adalah 104 (median = 10), dengan pernafasan
sekitar 6-25 kali per menit. Meskipun begitu, pada 11 dari 34 pasang responden (32%)
terjadi hiperventilasi. Saat menggunakan metronome, tidak ada perbedaan pada mean
dan median tingkat ventilasi (100, median = 10), dan tidak ada yang mengalami
hiperventilasi. Pada feedback-nya, 32 pasangan responden menyatakan bahwa
keberadaan metronome sangat berguna dalam melakukan CPR meski 2 orang
menyatakan kesulitan dalam mengikuti irama nada dan suaranya, namun tingkat
kompresi mereka hanya meleset sekitar 10 kali per menit.
B. Jurnal 2
Judul
Penulis
Tersedia
Analisis
Hiperventilasi sering terjadi selama resusutasi jantung paru (RJP) yang dilakukan di
rumah sakit ataupun di luar rumah sakit, bahkan oleh penolong yang terlatih sekalipun.
Menurut panduan resusitasi dianjurkan untuk melakukan ventilasi pada pasien 8-10 kali
per menit. Bahkan tiga penelitian klinis telah mencatat ventilasi sebanyak 30 kali per
menit menunjukkan adanya kegagalan dalam hemodinamik dan memperburuk outcome
pada hewan yang diujicobakan.
Penelitian observasi prospektif dari serangan jantung yang terjadi di rumah sakit
dikumpulkan dari bulan Juli 2007 sampai Januari 2008. Penelitian ini dilaksanakan di
fasilitas perawatan level tiga dengan setidaknya 600 tempat tidur yang ditempati pasien.
Semua pasien dewasa yang mengalami serangan jantung diberikan kesempatan yang
sama untuk dianalisis.
Telah dikumpulkan 95 kejadian serangan jantung pada 75 pasien di rumah sakit.
Dari semua kasus ini, 58 tidak digunakan karena gelombang kompresi, ventilasi dan
capnografi tidak dicatat dengan tepat. 37 kasus yang resisa dari 33 pasien
menghabiskan 438 menit data dengan kompresi dada terus menerus dan pencatatan
bersamaan baik data CWI (impedansi dinding dada) atau capnografi. Representasi
cohort pasien pada sample ini secara umum sama dengan studi populasi yang
sebelumnya. Kembalinya sirkulasi spontan dicapai pada 15/37 (40%) kasus, dan 3/33
(9,1%) pasien bertahan dan keluar dari rumah sakit.
Penelitian ini mengembangkan algoritma untuk mengukur respiratory rate melalui
sinyal capnografi selama cardiac arrest terjadi dan membandingkan dengan algoritma
yang berdasarkan impedansi dinding dada (CWI). Dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua algoritma tersebut dapat menurunkan ventilation rates dan dengan
menggabungkan kedua algoritma tersebut dapat menghasilkan sinyal yang lebih kuat
untuk deteksi hiperventilasi. Pengukuran ventilation rate masih kurang baik karena
keterbatasan metode yang dilakukan secara klinis.
CWI adalah metode yang menarik untuk mengukur ventilation rate secara otomatis,
karena secara teori bisa dilakukan selama resusitasi apapun dengan menggunakan
bantalan defibrilasi yang adesif. Namun, ada beberapa faktor yang memengaruhi
sensivitas CWI untuk deteksi ventilasi. Dua masalah paling sering yang kami observasi
menggunakan sinyal impedansi dinding dada adalah kebisingan (kemungkinan karena
kompresi dada dan/atau ketika penanganan pasien) dan perubahan impedansi yang
kecil (kemungkinan karena ventilasi volume yang rendah atau body habitus pasien).
Selain itu, reliabilitas CWI bisa dipengaruhi oleh posisi bantalan dan/atau adhesi yang
buruk dari bantalan defibrillator, yang akan menurunkan pengukuran impedansi.
Capnografi, dapat mengukur langsung ventilasi, namun masih sangat terbatas.
Sinyal ini juga dapat menunjukkan efek dari kompresi atau kebisingan dan bisa
dipengaruhi oleh darah atau sekresi di endotracheal tube, hal ini merupakan hal yang
paling umum selama resusitasi. Selain itu, saat ini masih sedikit capnografi yang
tersedia selama resusitasi karena memerlukan instrumen tambahan selain bantalan
defibrillator. Dikarenakan capnografi bergantung pada perfusi dan metabolisme, maka
risiko terlalu rendah dalam menunjukkan perubahan yang akan menunjukkan indikasi
diperlukan ventilasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menggabungkan algoritma sinyal impedansi
dan capnografi dapat meningkatan deteksi ventilasi, karena sinyal dipengaruhi oleh efek
waktu yang bersamaan. Selain itu, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan.
Pertama, gold standard deteksi ventilasi, yang membandingkan deteksi CWI dan
capnografi, tidak terlepas dari pengukuran-pengukuran tersebut. Peneliti menggunakan
reviewer independen untuk merekam masing-masing ventilasi secara manual, dengan
dua tambahan reviewer menyelesaikan perbedaan keragaman deteksi ventilasi yang
untuk meminimalkan error. Kedua, peneliti melaporkan hanya satu algoritma untuk
masing-masing kumpulan data, yang keduanya perlu disempurnakan. Hal ini penting
untuk diingat bahwa pengukuran impedansi defibrillator pada awalnya hanya sebagai
deteksi hubungan bantalan defibrillator, dengan deteksi ventilasi hanya sebagai
Penulis
: Jung Soo Lim MD, Yong Chul Cho MD, O Yu Kwon PhD, Sung Pil Chung
MD, Kwoen Yu PhD, SeungWhan Kim MD
Tahun
: 2012
Analisis
Penelitian dalam jurnal ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan ventilasi buatan
modifikasi rate and volume-adjusted BVM (RVBVM) dengan Bag-Valve Mask (BVM)
konvensional untuk memaksimalkan waktu pemberian ventilasi pada penderita henti
jantung dan meminimalkan ventilasi berlebih (excessive ventilation). Seperti yang
diketahui bahwa salah satu komponen penting dari CPR yang berkualitas adalah
mencegah terjadinya excessive ventilation (AHA, 2013). Excessive ventilation menjadi
salah satu komplikasi yang sering muncul saat melakukan CPR dan dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan pada jalan nafas, inflasi gastrik, hingga
kematian. Pemberian ventilasi yang tepat dapat menyelamatkan seseorang dengan
henti jantung. Pada pasien dewasa, pemberian ventilasi 8-10 kali per menit sudah
cukup membantu mempertahankan pernafasan korban (AHA, 2013). Dalam penelitian
ini, peneliti melakukan modifikasi pada bag-valve mask yang biasa digunakan untuk
membantu pernafasan korban dengan diberikan alarm yang akan berbunyi setiap 5
detik. Alarm menjadi penanda seberapa banyak ventilasi yang telah diberikan pada
korban selama resusitasi. Oleh peneliti, penggunaan bag-valve mask dengan alarm ini
dibandingkan dengan BVM konvensional tanpa alarm. Penelitian dilakukan dengan
melibatkan 52 peserta yang diberikan demontrasi terlebih dahulu selama 30 menit.
Setelah itu, dilakukan uji coba selama 2 menit untukmemberikan bantuan pernafasan 810 kali per menit dengan BVM konvensional. Satu jam berikutnya, uji coba yang kedua
dilakukan dengan proporsi waktu yang sama namun menggunakan BVM modifikasi.
Hasilnya, pemberian bantuan pernafasan dengan RVBVM modifikasi lebih efektif
dan menunjukkan hasil yang konstan untuk pengukuran ventilasi tidal yang diberikan
yaitu antara 8-10 kali per menit sedangkan BVM konvensional menunjukkan
ketidakteraturan dalam pemberian bantuan pernafasan pada manikin yang telah
disetting henti jantung. Dalam kondisi emergensi sangat memungkinkan terjadinya
excessive ventilation karena BVM konvensional tidak memiliki penanda untuk
mengetahui banyak ventilasi yang telah diberikan dan hanya mengandalkan ketepatan
dari penolong. Pada penolong tunggal penggunaan ventilasi bag-valve mask
konvensional dapat berpotensi menimbulkan excessive ventilation (Lambert et al.,
2015). Oleh karena itu, penggunaan ventilasi buatan modifikasi BVM dengan alarm ini
diharapkan dapat mengurangi excessive ventilation dan meningkatkan angka harapan
hidup pada seorang dengan henti jantung.
4.
Jurnal 4
Judul
Tahun
: 2011
Penulis
Analisis
BMV.Penelitian
ini
juga
menunjukkn
bahwa
menggunakan
MMV
(tidak
menggunakan MPV dan BMV) dapat mengurangi waktu. Selain itu, penelitian ini telah
menunjukkan bahwa proporsi ventilasi yang efektif lebih tinggi bila menggunakan MMV.
Ventilasi yang efektif masih tetap merupakan bagian penting dari CPR.
Pemberian ventilasi kepada korban tidak diberikan terlalu kuat ataupun cepat.
Dalam penelitian ini, waktu inspirasi menggunakan teknik ventilasi terlalu pendek (0,50,7 detik) dibandingkan dengan pedoman, dan secara signifikan lebih pendek bila
menggunakan BMV. Menurut American Heart Association (2010) penyelamatan napas
dapat disiapkan sekitar 1 napas setiap 6-8 detik (sekitar 8-10 napas/menit). Ventilasi
yang berlebihan harus dihindari. Hal ini menunjukkan bahwa risiko inflasi lambung dan
cedera paru-paru lebih besar bila menggunakan BMV.
Berdasarkan American
Heart
Association
(2010),
tekanan
krikoid
adalah
memberikan tekanan pada tulang rawan krikoid korban untuk mendorong trakea
posterior dan kompres kerongkongan terhadap tulang leher. Tekanan krikoid dapat
mencegah inflasi lambung dan mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi selama
menggunakan bag-mask ventilation, tetapi juga dapat menghambat ventilasi. Tujuh
penelitian secara acak menunjukkan bahwa tekanan krikoid dapat menunda atau
mencegah penempatan jalan napas yang maju.
Yang penting bahwa dengan MMV tidak membutuhkan perangkat atau alat apapun,
tetapi terdapat risiko transmisi penyakit antara penyelamat awam. Meskipun
membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, secara teoritis jumlah oksigen yang cukup
dapat diberikan dengan menggunakan efektif MMV dikombinasikan dengan aliran tinggi
oksigen (misalnya kateter nasal). Jadi, MMV lebih unggul dibandingkan MPV dan BMV
selama simulasi penyelamat CPR tunggal, karena mengurangi waktu-aliran dan hasil
ventilasi yang lebih efektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
MPV dan BMV, kualitas CPR ditingkatkan dengan menggunakan MMV.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Melakukan pemberian RJP berkualitas mermerlukan bantuan ventilasi. Hal ini penting
dilakukan untuk memastikan kecukupan pemberian oksigen dalam darah tanpa
menghambat perfusi guna memenuhi kadar oksigen pada otak dan jantung demi
mengembalikan aktivitasnya.
2.
Kombinasi unik antara tock dan suara metromone cukup efektif bagi relawan dan
EMTs untuk menunjukkan tingkat kompresi dada dan ventilasi yang benar baik sebelum
maupun sesudah intubasi, serta menghindari terjadinya hiperventilasi.
3.
CWI (impendensi dinding dada) merupakan metode yang menarik untuk mengukur
ventilation rate secara otomatis, karena secara teori bisa dilakukan selama resusitasi
apapun dengan menggunakan bantalan defibrilasi yang adesif. Menggabungkan
algoritma sinyal impedansi dan capnografi dapat meningkatan deteksi ventilasi, karena
sinyal dipengaruhi oleh efek waktu yang bersamaan.
4.
Pemberian bantuan pernafasan dengan rate and volume-adjusted Bag Valve Mask
(RVBVM) modifikasi lebih efektif yaitu dapat mengurangi excessive ventilation dan
meningkatkan angka harapan hidup pada seorang dengan henti jantung, sedangkan
BVM
konvensional
menunjukkan
ketidakteraturan
dalam
pemberian
bantuan
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. 2010. Hihglights Of The 2010 American Heart Association.
www.heart.orgw.heart.org/cpr
Damayanti, I. P., Pitriani, R., Ardiyanti, Y. 2015. Panduan Lengkap Keterampilan Dasar
at:
http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/kegawatdaruratan/henti-