Anda di halaman 1dari 56

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN YANG MENGALAMI

STRIKTUR URETRA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah (KPA 1420)

oleh
Kelompok 10

Dosen Pembimbing : Murtaqib, S. Kp., M. Kep.


NIP. 198401022015041002

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
2018
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN YANG MENGALAMI
STRIKTUR URETRA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah (KPA 1420)

oleh
Febria Marfuatul Fadhilah NIM 162310101136
Dwi Linda Aprilia A NIM 162310101150
Nabila Cindy Anggraeni NIM 162310101165
Vio Nadya Permatasari NIM 162310101173

Dosen Pembimbing : Murtaqib, S. Kp., M. Kep.


NIP. 198401022015041002

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS KEPERAWATAN
2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan YME, atas limpahan rahmat dan berkah-Nya,
sehingga Makalah Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Mengalami Striktur
Uretra dapat terselesaikan. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah
Pembuatan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah
memberikan dan membantu penyelesian makalah. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada :

1. Ns. Lantin Sulistyorini, S.Kep. M. Kes.


2. Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB
3. Murtaqib, S.Kp., M.Kep.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang telah
kami susun. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun.

Jember, 19 Maret 2018

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...........................................................................................................v
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Epidemiologi............................................................................................2
BAB 2. KONSEP DASAR PENYAKIT
2.1 Pengertian/ Definisi ................................................................................4
2.2 Etiologi .....................................................................................................4
2.3 Patofiologi ................................................................................................5
2.4 Pathway ...................................................................................................6
2.5 Manifestasi Klinis ...................................................................................7
2.6 Klasifikasi ................................................................................................7
2.7 Prosedur Diagnostik ...............................................................................8
2.8 Penatalaksanaan Medis ..........................................................................8
2.9 Teori Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Sirosis Hati .........10
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus ......................................................................................................31
3.2 Pengkajian .............................................................................................31
3.3 Analisa Data ..........................................................................................39
3.4 Diagnosa Keperawatan (NANDA) ......................................................41
3.5 Intervensi Keperawatan (NIC) ............................................................42
3.6 Implementasi Keperawatan (NOC) ....................................................45
3.7 Evaluasi Keperawatan .........................................................................47
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................................49
4.2 Saran ......................................................................................................49

v
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................50
LAMPIRAN .............................................................................................................

vi
BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Striktur uretra merupakan penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan
parut dan kontraksi. Penyebab striktur uretra umumnya adalah karena cedera,
cedera akibat peregangan dan cedera yang berhubungan dengan kecelakaan mobil,
uretritis gonorhea yang tidak ditangani dan abnormalitas kongenital. ( Smeltzer C.
Suzanne, 2002: 1468; Purnomo, Basuki, 2003). Dampak dari striktur yang paling
sering dirasakan oleh klien adalah rasa nyeri yang hebat pada daerah supra pubik.
Hal ini dikarenakan retensi urine, dimana terjadinya penumpukan urine pada buli-
buli yang melebihi kapasitas. Selain itu pengeluaran urine menjadi terganggu yang
dipengaruhi oleh derajat penyempitan uretra. Semakin berat derajat penyempitan
uretra maka semakin sulit urine untuk keluar, bahkan sampai tidak keluar sama
sekali. (Purnomo, Basuki. B, 2003:154 )
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah Businasi
(dilatasi) dengan busi logam dilakukan secara hati – hati, hal ini bisa digunakan
sebagai antisipasi untuk mencegah terjadinya striktur uretra maupun terjadinya
kambuh kembali striktur uretra ( Hidayat, De Yong, 2005). Untuk mencegah
terjadinya kekambuhan, pasien penderita striktur uretra perlu mengetahui tindakan
-tindakan yang harus dilakukannya, untuk itu perawat perlu memberikan penjelasan
tentang perawatan terhadap penyakit yang diderita pasien serta upaya yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Hal ini didasari oleh
pernyataan bahwa Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
terbentuknya tindakan seseorang ( Overt Behavior ) . Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan yang positif akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan positif ( Notoatmodjo , 2003).
Salah satu penyebab striktur uretra adalah pemasangan kateter dalam waktu
yang cukup lama. Pola penyakit striktur uretra yang ditemukan di Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung menyebutkan sebagian besar pasien (82%) masuk dengan
retensi urin. Penyebab utama terjadinya striktur adalah manipulasi uretra (44%) dan
trauma (33%) (Sugandi, Suwandi, 2003). Studi yang dilakukan di India

1
menyebutkan penyebab dari striktur uretra meliputi trauma pelvis (54%), post-
kateterisasi (21,1%), infeksi (15,2%), dan post-instrument (5,6%). Study ini
menunjukkan kesimpulan bahwa etiologi diatas menentukan prognosis dari
penatalaksanaan striktur uretra (Mathur. Rajkumar. et al, 2011). Studi yang
dilakukan oleh Lumen,et all (2009) juga mendapatkan hasil sebanyak 45,5%
striktur uretra disebabkan iatrogenik yang didalamnya termasuk reseksi
transuretral, kateterisasi uretra, cystoscopy, prostatectomy, brachytherapy, dan
pembedahan hypospadias.

1.2 Epidemiologi
Kejadian striktur uretra telah didokumentasikan sejak 600 tahun sebelum
masehi. Menurut pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria dewasa
pernah mengalami striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris 16.000 pria
dirawat di rumah sakit karena striktur uretra dan lebih dari 12.000 dari mereka
memerlukan operasi dengan biaya 10 juta euro. Estimasi prevalensi di inggris
sendiri adalah 10/100.000 pada masa dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada
umur 55 sedangkan pada umur 65 tahun menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat
terus untuk pasien tua sampai 100/100.000. Hal yang sama juga dilaporkan di
Amerika Serikat (Mundy, Anthony R. and Andrich, Daniela E, 2010).
Sebuah studi di Nigeria melaporkan pola striktur uretra. Dalam studi ini
menyebutkan delapan puluh empat pasien (83 laki-laki dan 1 perempuan) dengan
striktur uretra dilihat dalam sebuah periode dengan usia rata-rata 43,1 tahun.
Trauma bertanggung jawab untuk 60 (72,3%) kasus, dengan kecelakaan lalu lintas
sebanyak 29 orang (34,9%), dengan trauma iatrogenik sebesar 17 (20,5%) dari
semua kasus striktur uretra. Pemasangan kateter uretra bertanggung jawab pada 13
pasien (76,5%) dari kasus iatrogenik. Uretritis purulen bertanggung jawab untuk 22
(26,5%) kasus. Lima puluh (60,2%) kasus terletak di uretra anterior sedangkan dua
puluh tiga (39,8%) berada di posterior. Lima puluh tujuh pasien dilakukan
urethroplasty dengan kekambuhan 14% dan 8 pasien mengalami dilatasi uretra
dengan kekambuhan 50% pada 1 tahun (Tijani KH, Adesanya AA, Ogo CN.,2009).

2
3
BAB II: KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 Pengertian/Definisi
Striktur Uretra adalah berkurangnya diameter dan atau elastisitas uretra akibat
digantinya jaringan uretra dengan jaringan ikat yang kemudian mengerut sehingga
lumen uretra mengecil (Mansjoer, Arif. 2000).
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut
dan kontraksi (C. Smeltzer, Suzanne. 2002).
Striktur uretra adalah penyempitan atau penyumbatan dari lumen uretra sebagai
akibat dari pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut pada uretra dan atau pada
daerah peri uretra). (Nursalam. 2008).
Striktur uretra adalah suatu kondisi penyempitan lumen uretra. Striktur uretra
menyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai dari aliran berkemih yang kecil
sampai tidak dapat mengeluarkan urin keluar dari tubuh. (Muttaqin, Arif. 2012).
Menurut kelompok kami, striktur uretra adalah kondisi yang terjadi pada
saluran uretra yang mengalami penyempitan akibat adanya jaringan parut dan dapat
mengganggu proses berkemih sehingga aliran berkemih akan mengecil ataupu tidak
dapat berkemih.

2.2 Etiologi
Kongenital, uretritis gonore atau non gonore, ruptur uretra anterior atau
posterior secara iatrogenik maupun bukan. Pada wanita umumnya disebabkan
radang kronis. Biasanya wanita tersebut berusia di atas 40 tahun dengan sindrom
sistitis berulang (Mansjoer, Arif. 2000).
Penyebab striktur umumnya adalah cedera uretral (akibat insersi peralatan
bedah selama operasi transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sistoskopi),
cedera akibat peregangan dan cedera yang berhubungan dengan kecelakaan mobil,
uretritis gonorheal yang tidak ditangani, dan abnormalitas kongenital (Brunner &
Suddarth. 2002).
Striktur uretra dapat disebabkan oleh setiap radang kronik atau cedera. Radang
karena gonore merupakan penyebab penting tetapi radang lain yang kebanyakan

4
disebabkan penyakit kelamin lain. Kebanyakan striktur terletak dipars
membranasea walaupun juga terdapat di tempat lain, trauma internal maupun
eksternal pada uretra, kelainan bawaan (Nursalam. 2008).
Penyebab umum suatu penyempitan uretra adalah akibat traumatik atau
iatrogenik. Penyebab lainnya adalah inflamasi, proses keganasan, dan kelainan
bawaan pada uretra (Muttaqin, Arif. 2012).

2.3 Patofisiologi
Pada keadaan kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat hingga sampai
pada suatu saat kemudian akan melemah, otot kandung kemih semula menebal
sehingga terjadi trabekulasi pada fase kompensasi. kemudian timbul sakulasi
(penonjolan mukosa masih di dalam otot) dan divertikel (menonjol ke luar) pada
fase dekompensasi. Pada fase ini akan timbul residu urin yang memudahkan
terjadinya infeksi. Tekanan di dalam kandung kemih yang tinggi akan
menyebabkan refluks sehingga urin masuk kembali ke ureter, bahkan sampai ke
ginjal. Infeksi dan refluks dapat menyebabkan pielonefritis akut atau kronik yang
kemudian menyebabkan gagal ginjal. (Mansjoer, Arif. 2000).
Lesi pada epitel uretra atau putusnya kontinuitas, baik oleh proses infeksi
maupun akibat trauma, akan menimbulkan terjadinya reaksi peradangan dan
fibroblastik. Iritasi dan urin pada uretra akan mengundang reaksi fibroblastik yang
berkelanjutan dan proses fibrosis makin menghebat sehingga terjadilah
penyempitan bahkan penyumbatan dari lumen uretra serta aliran urin mengalami
hambatan dengan segala akibatnya. Ekstravasasi urin pada uretra yang mengalami
lesi akan mengundang terjadinya peradangan periuretra yang dapat berkembang
menjadi abses periuretra dan terbentuk fistula uretrokutan (lokalisasi pada penis,
perineum dan atau skrotum). (Nursalam, 2008).
Striktur uretra dapat diakibatkan dari proses peradangan, iskemik, atau
traumatik. Apabila terjadi iritasi uretra, maka akan terjadi proses penyembuhan cara
epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan ikat yang tidak sama
dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang

5
memberikan manifestasi hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra.
(Muttaqin, Arif. 2012)

2.4 Pathway

Kongenital Didapat infeksi, spasme otot,


Anomali saluran tekanan dari luar tumor, cedera
kemih yang lain uretra, cedera peregangan,
uretritis gonorhoe

Jaringan parut

Striktur uretra

Penyumbatan total Penyempitan lumen uretra

Obstruksi saluran kemih Kekuatan pancaran dan


yang bermuara ke VU jumlah urine berkurang

Refluk urin Perubahan pola eleminasi

Hidroureter Peningkatan tekanan VU

Hidronefrosis
Penebalan dinding VU Gangguan rasa
nyaman: nyeri
Pyelonefritis
Penuruan kontraksi otot
VU Defisiensi pengetahuan
Gagal ginjal
kronik
Kesulitan berkemih Ansietas

Resiko infeksi Retensi urin Sitostomi

6
Gangguan pola
Nyeri akut Luka Insisi
tidur

2.5 Manifestasi Klinis


Sumbatan pada uretra dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat
menyebabkan imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari
striktur. Gejala yang khas adalah pancaran miksi kecil dan bercabang. Gejala yang
lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria, kadang-kadang
dengan infiltrat, abses dan fistel. Gejala lanjut adalah retensio urin. (Mansjoer, Arif.
2000).
Kekuatan pancaran dan jumlah urin berkurang dan gejala infeksi dan retensi
urinarius terjadi. Sriktur menyebabkan urin mengalir balik dan mencetuskan sistitis,
prostatitis, dan pielonefritis. Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan
hambatan arus kemih dan kemudian timbul sindrom lengkap obstruksi leher
kandung kemih seperti digambarkan pada hipertrofia prostat. Striktur akibat radang
uretra sering agak luas dan mungkin multiple. (C. Smeltzer, Suzanne. 2002).
Keluhan: kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran mengecil,
pancaran bercabang dan menetes sampai retensi urin. Pembengkakan dan getah atau
nanah di daerah perineum, skrotum dan terkadang timbul bercak darah di celana
dalam. Bila terjadi infeksi sistemik penderita febris, warna urin bisa keruh
(Nursalam, 2008).

2.6 Klasifikasi
Menurut Basuki B. Purnomo (2000) Striktur Uretra dibagi menjadi beberapa
klasifikasi
1. Ringan: jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen.
2. Sedang: oklusi 1/3 s.d 1/2 diameter lumen uretra.
3. Berat: oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra. Ada derajat berat
kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal

7
dengan spongiofibrosis.

2.7 Prosedur Diagnostik


Analisis urin dan kultur untuk mencari adanya infeksi. Ureum dan kreatinin
darah untuk melihat fungsi ginjal. Diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi
retrograd (untuk melihat uretra anterior) atau antegrad (untuk melihat uretra
posterior). Dapat pula dilakukan uroflowmetri dan uretroskopi. (Mansjoer, Arif
2000).
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk pelengkap pelaksanaan
pembedahan. Selain itu, beberapa dilakukan untuk mengetahui adanya tanda-
tanda infeksi melalui pemeriksaan urinalisis dan kultur urin.
2. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran
urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya
proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan
pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal
menandakan adanya obstruksi.
3. Radiologi
Diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi sehingga dapat melihat letak
penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih
lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan sistouretrografi yaitu
memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd
dari uretra. Dengan pemeriksaan ini, panjang striktur dapat diketahui sehingga
penting untuk perencanaan terapi atau operasi (Muttaqin, Arif. 2012).

2.8 Penatalaksanaan Medis


Pada pasien yang datang dengan retensio urin harus dilakukan sistostomi
kemudian baru dilakukan pemeriksaan uretrografi untuk mengetahui adanya
striktur uretra. Pada pasien dengan infiltrat urin atau abses dilakukan insisi,
sistostomi, baru kemudian dilakukan uretrografi.

8
Bila panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau terdapat fistula uretrokutan,
atau residif, dapat dilakukan urethroplasty. Bila panjang striktur kurang dari 2 cm
dan tidak ada fistel maka dilakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse. Untuk
striktur uretra anterior dapat dilakukan otis uretrotomi. (Mansjoer, Arif.2000)
Tidak ada terapi medis untuk mengobati penyakit striktur uretra. Intervensi
utama untuk mengatasi masalah striktur uretra adalah dengan pembedahan.
Beberapa jenis pembedahan yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Pelebaran uretra, baik secara uretrotomi internal atau pemasangan stent
uretra
2. Bedah rekonstruksi (Muttaqin, Arif. 2012).
Penanganan dapat mencakup dilatasi secara bertahap terhadap area yang
menyempit (menggunakan logam yang kuat atau bougies) atau secara bedah. Jika
striktur menghambat pasase kateter, ahli urologi menggunakan beberapafiliform
bougies untuk membuka jalan. Ketika salah satu bougie mampu mencapai kandung
kemih, maka dilakukan fiksasi, dan urin akan didrainase dari kandung kemih. Jalan
yang telah terbuka tersebut kemudian didilatasi dengan memasukkan alat
pendilatasi yang mengikuti filiform sebagai petunjuk. Setelah dilatasi, rendam
duduk menggunakan air panas dan analgesik non-narkotik diberikan untuk
mengendalikan nyeri. Medikasi antimikrobial diresepkan untuk beberapa hari
setelah dilatasi untuk mencegah infeksi. Eksisi bedah atau uretroplasti mungkin
diperlukan untuk kasus yang parah. Sistostomi suprapubis mungkin diperlukan
untuk beberapa pasien.
Metode diversi urin yang jarang dilakukan adalah sistostomi suprapubis.
Kateter khusus biasanya dimasukkan ke kandung kemih melalui insisi dinding
abdomen bawah atau melalui pungsi dengan trokar. Umumnya, sistostomi
dilakukan pada pasien yang mengalami obstruksi pada bagian bawah kandung
kemih ( obstruksi prostatik ) yang menyebabkan kateter uretral tidak dapat
dimasukkan. Sistostomi dapat bersifat sementara ( sampai bedah korektif
dilakukan ) atau permanen.
Pasien sistostomi memerlukan sejumlah besar cairan untuk mencegah
encrustacion (pengerasan) di sekitar kateter. Masalah lain mencakup pembentukan

9
batu kandung kemih, infeksi akut dan kronik, dan masalah dalam pengumpulan
urin. Saran dan bantuan ahli terapi enterostoma diperlukan pasien dalam memilih
kantong urin yang paling sesuai serta cara pemakaiannya. (Brunner & Suddarth.
2002)

2.9 Teori Asuhan Keperawatan Klien Striktur Uretra


Proses keperawatan yaitu serangkaian tindakan sistematis berkesinambungan,
yang meliputi tindakan mengidentifikasi masalah kesehatan individu atau
kelompok, baik yang aktual maupun potensial kemudian merencanakan tindakan
untuk menyelesaikan, mengurangi, atau mencegah terjadinya masalah baru dan
melaksanakan tindakan atau menugaskan orang lain untuk melaksanakan tindakan
keperawatan serta mengevaluasi keberhasilan dari tindakan yang dikerjakan.
(Rohmah, N & Saiful, W. 2014).
2.9.1 Pengkajian
Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi pada penis didapatkan adanya
suatu kelainan akibat fibrosis di uretra, infiltrat, abses, atau terbentuknya suatu
fistula.
Pengkajian keperawatan pada pasien sirosis hepatis meliputi hal-hal di
bawah ini (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2002).
1. Demografi
a. Usia : diatas 40 tahun
b. Laki-laki beresiko lebih besar daripada perempuan karena uretranya
lebih panjang
2. Keluhan Utama
Pada striktur uretra bervariasi sesuai dengan derajat penyempitan
lumen pada uretra. Keluhan utama yang lazim adalah pancaran urin
kecil dan bercabang. Keluhan lain biasanya adalah berhubungan dengan
gejala iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria,
inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang
membengkak, infiltrat, abses, dan fistel. Keluhan yang lebih berat
adalah tidak bisa mengeluarkan urin atau tidak bisa miksi (retensi urin).

10
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah
frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak
lampias/ puas sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi
memenjang dan akhirnya menjadi retensio urine.
b. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan,
misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit
kronis yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan
yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi.
c. Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang menderita
DM, asma, atau hipertensi.
4. Pola Fungsional
a. Pola aktivitas: biasanya klien mengalami penurunan aktivitas.
b. Pola nutrisi: biasanya tidak ada masalah.
c. Pola eliminasi: biasanya frekuensi BAK klien menurun akibat striktur
uretra.
d. Pola istirahat: biasanya tergangg karena nyeri
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi terhadap bagian sistem tubuh, maka akan ditemukan hal-hal sebagai
berikut : Keadaan umum pada klien post operasi striktur uretra perlu dilihat
dalam hal : keadaan umumnya meliputi penampilan, kesadaran, gaya bicara.
Pada post operasi striktur uretra mengalami gangguan pola eliminasi BAK
(Buang Air Kecil) sehingga dilakukan pemasangan kateter tetap.
6. Pemeriksaan Penunjang
Berikut data pemeriksaan penunjang menurut (Marilynn E. Doengoes,
2000):

11
1. Sirkulasi, Tanda: Peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
2. Makanan dan cairan, Gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat
badan.
3. Eliminasi, Gejala: penurunan kekuatan atau aliran urin,
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan
lengkap, dorongan dan frekuensi berkemih, nokturia, disuria, hematuria.
Tanda: adanya massa atau sumbatan pada uretra.
4. Nyeri / kenyamanan : Nyeri suprapubik
5. Keamanan : Demam

7. Pengkajian Penunjang
a. Sistem pernafasan, perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya
sakit pada lubang hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu
bernafas, kesimetrisan gerakan dada pada saat bernafas, auskultasi bunyi
nafas dan gangguan pernafasan yang timbul. Apakah bersih atau ada
ronkhi, serta frekuensi nafas. Hal ini penting karena imobilisasi
berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi secret pada jalan
nafas.
b. Sistem kardiovaskuler, mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada
tidaknya peninggian vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi
jantung pada dada dan pengukuran tekanan darah dengan palpasi dapat
dihitung frekuensi denyut nadi.
c. Sistem pencernaan, yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu
makan, peristaltik usus, dan BAB (Buang Air Besar). Tujuan pengkajian
ini untuk mengetahui secara dini penyimpangan pada sistem ini.
d. Sistem genitourinaria, dapat dikaji dari ada tidaknya pembengkakan dan
nyeri pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen
bawah untuk mengetahui adanya retensi urin dan kaji tentang keadaan
alat-alat genitourinaria bagian luar mengenai bentuknya ada tidaknya
nyeri tekan dan benjolan serta bagaimana pengeluaran urinnya, lancar
atau ada nyeri waktu miksi, serta bagaimana warna urin.

12
e. Sistem muskuloskeletal, yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat
Range of Motion dari pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota
gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan klien waktu
bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada
otot harus dikaji juga, karena klien imobilitas biasanya tonus dan
kekuatan ototnya menurun.
f. Sistem integument, yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut
dan kuku, pemeriksaan kulit meliputi: tekstur, kelembaban, turgor, warna
dan fungsi perabaan.
g. Sistem neurosensori, yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf
cranial, fungsi sensori serta fungsi refleks.
8. Prosedur Diagnostik
Menurut Basuki B. Purnomo (2000) hal 126 dan Doenges E. Marilynn,
(2000) hal 672 prosedur diagnostik yang dapat digunakan adalah:
a. Kultur urin: adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella,
pseudomonas, e.coli
b. Uretrografi: adanya penyempitan atau penyumbatan uretra. Untuk
mengetahui panjangnya penyempitan uretra dibuat foto bipolar
sistouretrografi.
c. Uroflowmetri: untuk mengetahui derasnya pancaran saat miksi.
d. Uretroskopi : Untuk mengetahui pembuntuan lumen uretra
2.9.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah penilaian atau kesimpulan yang diambil
dari pengkajian keperawatan, menjelaskan status kesehatan, masalah aktual,
maupun resiko yang dapat di prioritaskan. Diagnosa keperawatan yang muncul
menurut Muttaqin, Arif. 2012 :
1. Gangguan eliminasi urin b.d retensi urin, obstruksi uretra sekunder
dari penyempitan lumen uretra.
2. Nyeri akut b.d peregangan dari terminal saraf, disuria, resistensi otot
prostat, efek mengejan saat miksi sekunder dari obstruksi uretra,
nyeri pasca bedah.

13
3. Risiko infeksi b.d luka pasca bedah.
4. Risiko trauma b.d kerusakan jaringan pasca prosedur pembedahan.
5. Ansietas b.d prognosis pembedahan, tindakan diagnostik invasif.
6. Defisiensi pengetahuan b.d rencana pembedahan, prognosis
penyakit.
7. Gangguan konsep diri (gambaran diri) b.d risiko kerusakan organ
seksual.

14
2.9.3 Intervensi
No Diagnosa Tujuan/kriteri hasil Intervensi Rasional
1. Gangguan eliminasi Setelah diberikan asuhan Perawatan retensi urin: 1. Mencegah bertambah
urin keperawatan selama 1x 24 jam, 1. Lakukan pengkajian parahnya kondisi
diharapkan 1. Eliminasi Urin komprehensif sistem malnutrisi
(0503) klien dapat dipertahankan perkemihan fokus terhadap 2. Menjaga status nutrisi
pada poin 3 dan ditingkatkan inkontinensia klien untuk beraktivitas
pada poin 5dengan kriteria hasil: 2. Lakukan pemasangan kateter 3. Mengetahui kadar
a. Retensi Urin (2) sementara, sesuai kebutuhan albumin, gula darah, dan
b. Pola Eliminasi (2) 3. Stimulasi refleks kandung amonia.
c. Inkontinensia berkemih (2) kemi dengan membasahi
d. Jumlah urin (2) abdomen dengan air dingin,
memberikan sentuhan pada
paha bagian dalam atau air
yang mengalir.
4. Berikan waktu yang cukup
untuk pengosongan kandung
kemih (10 menit)
5. Monitor intake dan output.

15
Manajemen nyeri:
1. Kaji secara komprehensif
terhadap nyeri termasuk
lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi
ketidaknyaman secara
nonverbal
3. Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologi (teknik
relaksasi nafas dalam dan
hypnosis)
4. Gunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk
mengungkapkan pengalaman
nyeri dan penerimaan klien
terhadap respon nyeri

16
Perawatan selang: perkemihan
1. Jaga sistem drainase kemih
tertutup, steril dan tidak
terkoyak
2. Monitor terkait adanya
distensi kandung kemih
3. Bersihkan daerah sekitar
kulit secara berkala
4. Kosongkan alat drainase urin
secara berkala dengan
interval tertentu

Monitor cairan:
1. Tentukan jumlah dan jenis
asupan cairan serta kebiasaan
eliminasi
2. Berikan cairan dengan tepat
3. Perbaiki alat medis yang
bermasalah pada pasien yang

17
mengalami berhenti
mendadak mengeluarkan urin
4. Rekam inkontinensia pada
pasien yang membutuhkan
asupan dan pengeluaran
akurat
2. Nyeri akut Setelah diberikan asuhan Manajemen nyeri: 1. Pembatasan cairan guna
keperawatan selama 1x 24 jam, 1. Kaji secara komprehensif mencegah adanya asites
diharapkan 1. Pemulihan terhadap nyeri termasuk 2. Pemberian albumin
pembedahan: penyembuhan lokasi, karakteristik, durasi, diharapkan tekanan
(2304) klien dapat dipertahankan frekuensi, kualitas, intensitas onkotik dapat
pada poin 3 dan ditingkatkan nyeri dan faktor presipitasi dipertahankan sehingga
pada poin 5 dengan kriteria 2. Observasi reaksi cairan dalam intravaskular
hasil: ketidaknyaman secara dapat bertahan
a. Keluaran urin (2) nonverbal 3. Pasien selalu dimonitor
b. Ambulasi (2) 3. Ajarkan penggunaan teknik TTV, berat badan, lingkar
c. Nyeri (2) nonfarmakologi (teknik perut, dan balance cairan
relaksasi nafas dalam dan guna mengetahui
hypnosis)

18
4. Gunakan strategi komunikasi keefektifan terapi diuretik
terapeutik untuk dalam mengatasi asites
mengungkapkan pengalaman
nyeri dan penerimaan klien
terhadap respon nyeri

Manajemen Obat:
1. Berikan obat sesuai indikasi.
2. Monitor efek samping obat
3. Pantau kepatuhan mengenai
regimen obat
4. Fasilitasi perubahan
pengobatan oleh dokter

Bantuan Perawatan diri:


1. Monitor kemampuan
perawatan diri secara mandiri

19
2. Berikan bantuan sampai
pasien mampu melakukan
perawatan diri mandiri
3. Dorong pasien untuk
melakukan aktivitas normal
sehari-hari sampai batas
kemampuan
4. Lakukan pengulangan yang
konsisten terhadap rutinitas
kesehatan yang dimaksudkan
untuk membangun perawatan
diri
5. Ciptakan rutinitas aktivitas
perawatan diri

Pengaturan posisi:
1. Dorong klien untuk terlibat
dalam perubahan posisi

20
2. Posisikan pasien untuk
meningkatkan drainase urin
3. Kembangkan jadwal tertulis
terkait dengan reposisi tubuh
pasien
4. Tempatkan barang secara
berkala dalam jangkauan
pasien
3. Risiko Infeksi Setelah diberikan asuhan Manajemen elektrolit/ cairan: 4. Melihat adanya ulkus
keperawatan selama 1x 24 jam, 1. Ukur masukan dan keluaran dekubitus
diharapkan 1. Kontrol resiko cairan 5. Menghindari adanya luka
(2304) klien dapat dipertahankan 2. Timbang berat badan tiap akibat tekanan area
pada poin 3 dan ditingkatkan hari penonjolan
pada poin 5 dengan kriteria 3. Kaji derajat edema 6. Menghindari adanya
hasil: 4. Batasi natrium dan cairan infeksi
a. Elastisitas tidak terganggu sesuai indikasi
b. Lesi pada kulit sedikit 5. Pantau nilai albumin serum
terganggu dan elektrolit

21
c. Integritas kulit tidak 6. Beri albumin/plasma
terganggu ekspander
d. Penebalan kulit tidak ada
Pengecekan kulit:
1. Lihat permukaan kulit/titik
tekanan secara rutin
(gunakan lotion dan pijat
area tubuh yang tertekan
terus menerus atau pada area
yang terlihat jelas penonjolan
tulangnya)
2. Ubah posisi pada jadwal
teratur dibantu dengan
latihan rentang gerak
aktif/pasif
3. Tinggikan ekstremitas bawah
4. Monitor warna, kehangatan,
bengkak, pulsasi tekstur

22
5. Monitor sumber tekanan dan
gesekan

Monitor TTV:
1. Monitor nadi, tekanan darah,
suhu, dan status pernafasan
2. Monitor suara paru-paru
3. Monitor israma dan tekanan
jantung
4. Monitor warna kulit, suhu
dan kelembaban

Pengaturan posisi:
1. Dorong pasien untuk terlibat
dalam perubahan posisi
2. Pertahankan posisi dan
integritas traksi
3. Minimalisir gesekan dan
cedera ketika memposisikan

23
dan membalikkan tubuh
pasien
4. Ketidakefektifan pola napas Setelah diberikan asuhan Monitor pernafasan: 1. Mengetahui frekuensi,
keperawatan asuhan 1. Awasi karakteristik kedalaman, dan upaya
keperawatan selama 1x 24 jam, pernapasan (frekuensi, pernapasan
diharapkan status pernafasan kedalaman, dan upaya 2. Mengetahui adanya bunyi
dengan kriteria hasil: pernapasan) tambahan didaerah thorax
a. Frekuensi pernafasan tidak 2. Auskultasi bunyi napas 3. Melatih klien saat merasa
ada deviasi dari kisaran 3. Pertahankan kepala tempat sesak nafas
normal tidur tinggi 4. Mengetahui kondisi suhu
b. Irama pernafasan pernafasan 4. Dorong latihan napas dalam tubuh klien
tidak ada deviasi dari kisaran dan batuk
normal 5. Beri oksigen tambahan
c. Kedalaman inspirasi deviasi sesuai indikasi
ringan dari kisaran normal
d. Perasaan kurang istirahat Monitor TTV:
dalam skala normal 1. Monitor nadi, tekanan darah,
suhu, dan status pernafasan
2. Monitor suara paru-paru

24
3. Monitor israma dan tekanan
jantung
4. Monitor warna kulit, suhu
dan kelembaban

Manajemen Obat:
5. Berikan obat sesuai indikasi.
6. Monitor efek samping obat
7. Pantau kepatuhan mengenai
regimen obat
8. Fasilitasi perubahan
pengobatan oleh dokter

Manajemen nyeri:
e. Kaji secara komprehensif
terhadap nyeri termasuk
lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri dan faktor presipitasi

25
f. Observasi reaksi
ketidaknyaman secara
nonverbal
g. Gunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk
mengungkapkan pengalaman
nyeri dan penerimaan klien
terhadap respon nyeri
h. Tentukan pengaruh
pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup( napsu makan,
tidur, aktivitas,mood,
hubungan sosial)
5. Risiko cedera Setelah diberikan asuhan Pencegahan perdarahan: 1. Mencegah terjadinya
keperawatan asuhan 1. Kaji adanya tanda dan gejala perdarahan saluran cerna
keperawatan selama 1x 24 jam, perdarahan saluran cerna 2. Pasien dan keluarga
diharapkan kontrol resiko (melena, hematemesis) memahami dan melakukan
dengan kriteria hasil: tindakan untuk mencegah
trauma sehingga tidak

26
a. Mengidentifikasi faktor 2. Observasi adanya perdarahan terjadi penambahan cedera
risiko sering terlihat bawah kulit (ekimosis, (hematom yang sudah ada
b. Monitor faktor risiko ptekie) pada perut klien),
individu sering terlihat 3. Gunakan jarum kecil saat 3. Mencegah pasien masuk
c. Mengenali perubahan status penyuntikan ke tahap ensefalopati
kesehatan sering terlihat 4. Informasikan pasien untuk hepatikum.
d. Berkomitmen akan strategi menggunakan sikat gigi
kontrol risiko sering terlihat berbulu halus dan
menghindari tusuk gigi
5. Lakukan kompres dingin jika
ada perdarahan bawah kulit

Manajemen Obat:
1. Berikan obat sesuai indikasi
(vitamin k, laksatif).
2. Monitor efek samping obat
3. Pantau kepatuhan mengenai
regimen obat

27
4. Fasilitasi perubahan
pengobatan oleh dokter

Manajemen tekanan:
1. Monitor mobilitas dan
aktivitas pasien
2. Monitor status nutrisi pasien
3. Monitor sumber tekanan dan
gesekan
4. Lakukan tindakan untuk
mencegah trauma
(pertahankan lingkungan
yang aman
5. Informasikan pasien untuk
tidak mengorek hidung atau
bila pilek membuang ingus
secara perlahan

28
6. Konfusi akut Setelah diberikan asuhan Latihan memori: 1. Mengetahui adanya
keperawatan asuhan 1. Biarkan pasien menulis nama perubahan perilaku pada
keperawatan selama 2x 24 jam, secara periodik dan kien
diharapkan orientasi kognitif pertahankan catatan ini untuk 2. Memberikan ketenangan
dengan kriteria hasil: perbandingan pada klien
a. Mengidentifikasi diri sendiri 2. Observasi perubahan 3. Menghindari adanya
sedikit terganggu perilaku dan mental, catat infeksi karena personal
b. Mengidentifikasi orang- adanya asterik/ fetor hygien kurang
orang yang signifikan sedikit hepatikum/ kejang 4. Meringankan sesak nafas
terganggu 3. Tanyakan pada orang yang dialami klien
c. Mengidentifikasi tempat saat terdekat tentang perubahan
ini sedikit terganggu perilaku pasien
d. Mengidentifikasi peristiwa 4. Orientasikan klien pada
saat ini yang signifikan realita, beri periode istirahat
sedikit terganggu dan ciptakan lingkungan
yang tenang

Manajemen nyeri:

29
1. Kaji secara komprehensif
terhadap nyeri termasuk
lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi
ketidaknyaman secara
nonverbal
3. Gunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk
mengungkapkan pengalaman
nyeri dan penerimaan klien
terhadap respon nyeri
4. Tentukan pengaruh
pengalaman nyeri terhadap
kualitas hidup( napsu makan,
tidur, aktivitas,mood,
hubungan sosial)

30
Monitor TTV:
1. Monitor nadi, tekanan darah,
suhu, dan status pernafasan
2. Monitor suara paru-paru
3. Monitor israma dan tekanan
jantung
4. Monitor warna kulit, suhu
dan kelembaban

31
BAB III. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus
Tn. A usia 54 tahun tinggal di Bengkulu datang ke rumah sakit dengan keluhan
nyeri ketika BAK. Tn. A didiagnosa mengalami stricture uretra dan sudah dioperasi.
Tn. A mengatakan ketika BAK mengejan, setelah BAK klien merasa tidak puas dan
diikuti oleh pancaran urine yang lemah, dipertengahan BAK seringkali berhenti
kemudian memancar lagi. Tn. A mengeluh sering berkemih terutama pada malam
hari. Tn. A mengeluh nyeri ketika BAK dan perut bagian bawah. Klien tampak
lemah, kesadaran composmentis. Tn. A tampak cemas dan gelisah. Tn.A
mengatakan merasa takut jika operasinya kemarin tidak berhasil. Tn. A mengatakan
nafsu makannya menurun. Tn. A mengatakan dahulu memiliki penyakit kencing
manis dan tidak ada riwayat hipertensi. Tekanan darah 140/80 mmHg; nadi 82
x/menit; RR 24 x/menit; dan suhu 36,8°C; Hb 12, 2 g/dl; leukosit 10.900/mm 3;
trombosit 308.000/mm3.

3.2 Pengkajian
a. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Matahari No 05 Bengkulu
No RM : xxxxxx
Pekerjaan : Wiraswata
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 15 Mei 2018
Tanggal Pengakjain : 15 Mei 2018 pukul 11.00
Sumber Informasi : Klien, Keluarga, dan Rekam Medis

32
b. Riwayat Kesehatan
1. Diagnosa Medis
Pasien didiagnosa dengan kondisi Strikture uretra
2. Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri ketika BAK setelah menjalani operasi.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengeluh nyeri ketika BAK diikuti oleh pancaran urine yang
lemah, dipertengahan BAK seringkali berhenti kemudian memancar
lagi, klien mengeluh sering berkemih terutama pada malam hari.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengatakan dahulu pernah memiliki penyakit kencing manis.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan tidak ada keluarganya yang pernah mengalami
penyakit strikture uretra sebelumnya.

c. Pengkajian: Pola Gordon, NANDA


1. Pola persepsi dan penanganan kesehatan : Tuan A pernah memiliki
riwayat kencing manis (deabetes) sebelumnya. Selain itu, klien mengira
setelah melakukan operasi sakitnya selesai. Namun, klien mengalami
nyeri setelah operasi.
2. Pola nutrisi/ metabolic : Nafsu makan Tn. A menurun setelah operasi
yang menimnulkan rasa nyeri ketika BAK. Selain itu, konsumsi untuk
minum juga mengalami penurunan.
3. Pola Eliminasi : Klien mengalami gangguan ketika BAK,klien
mengeluh nyeri ketika BAK diikuti oleh pancaran urine yang lemah,
dipertengahan BAK seringkali berhenti kemudian memancar lagi, klien
mengeluh sering berkemih terutama pada malam hari.
4. Pola Aktivitas : Tuan A menyatakan bahwasaannya pada saat
berartivitas merasakan lelah dan lemah. Pada saat melakukan aktifitas
berat rasa nyeri yang dialami tuan A semakin meningkat/ parah.

33
5. Pola Istirahat Tidur : Tuan A menyatakan bahwasaannya karena nyeri
dan sering berkemih terutama pada malah hari mengakibatkan
kesulitan untuk tidur pada malam hari.
6. Pola kognitif- persepsi : Tuan A mengatakan bahwasaannya indra
penglihatan, perasa dan pembaunya berfungsi dengan normal.
7. Pola peran dan hubungan : Karena sesak dan batuk yang diderita Tuan
A cukup parah, Tuan A menyatakan karena hal tersebut mempengaruhi
pekerjaannya sehingga tuan A sering ijin tidak bekerja yang membuat
peran Tuan A sebagai Kepala Keluarga terganggu.
8. Pola Seksualitas/Produksi : Tuan A mengatakan kebutuhan
seksualitasnya menjadi terganggu karena penyakitnya.
9. Pola koping toleransi Stress : Tuan A meyatakan karena penyakitnya
yang tak kunjung sembuh tuan A sempat kawatir karena ia tidak mampu
menjalankan perannya sebagai kepala keluarga tetapi tuan A
mengatakan bahwasannya istrinya tidak mempermasahkannya dan
mendukung tuan A untuk melakukan pengobatan supaya sembuh dari
penyakitnya.
10. Pola keyaninan Nilai : Tuan A memiliki keyakinan bahwasannya
penyakit datangnya dari tuhan dan dapat disembuhkan sehingga tuan A
meminum obat ataupun pergi kerumah sakit untuk menyembuhkan
penyakitnya.
11. Pola konsep diri : Tuan A merasa bersalah terhadap keluarganya karena
penyakit yang ia derita menyebabkan pekerjaannya terganggu sehingga
taun A tidak dapat bekerja secara optimal.

d. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum:
a) Kesadaran composmentis
b) Lemah
c) Cemas dan gelisah
2. Tanda – tanda vital:

34
a) RR : 24x/menit
b) N : 82x/menit
c) TTD : 140/80 mmHg
d) S : 36, 8°C

e. Pengkajian Fisik Head To Toe


1. Kepala
a) Inspeksi : Rambut hitam, tidak ada ketombe , kulit kulit berwarna
coklat, lembab tidak ada jaringan parut, berwarna hitam, tebal agak
panjang kering, tidak rontok
b) Palpasi : arteri temporalis teraba, tidak ada nyeri tekan pada daerah
sinus maksilaris dan sinus frontalis
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
2. Mata
a) Inspeksi : Kedua mata sembab, kedua kelopak mata bawah terlihat
hitam, kedua mata simetris, konjungtiva tidak anemis , sklera tidak
ikterik, tidak menggunakan alat bantu penglihatan, diameter pupil
3 mm per 3 mm, simetris, reflek pupil terhadap cahaya + , reflek
berkedip +, lapang pandang normal 150°, tidak ada Lesi
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada daerah sekitar mata, tidak
terdapat massa pada daerah sekitar mata.
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
3. Hidung
a) Inspeksi : Lubang hidung simetris, tidak ada polip, bersih tidak ada
sekret dan dapat mencium bau dengan baik , mukosa lembab, tidak
ada rasa nyeri saat mengunyah, warna kulit sama seperti bagian
kulit yang lain,
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada hidung, tidak teraba massa,
nostril kembali saat ditekan.

35
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
4. Mulut
a) Inspeksi : Daerah bibir pucat, pucat pada membran mukosa, gigi
tampak berwarna kekuningan
b) Palpasi : -
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
5. Telinga
a) Inspeksi : Simetris, bersih tidak ada serumen, tidak menggunakan
alat bantu pendengaran, berminyak tidak ada lesi
b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada daerah aurikel dan tragus
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
6. Leher
a) Inspeksi : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada nyeri
telan, otot leher tampak menonjol
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada leher, terdapat distensi vena
jugularis selama ekspirasi
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
7. Paru-paru
a) Inspeksi : Simetris, pengembangan dada kanan dan kiri sama, tidak
ada lesi
b) Palpasi : Vokal fremitus paru sebelah kanan dan kiri normal
c) Perkusi : Fremitus pada seluruh bidang paru normal
d) Auskultasi : Tidak ada bunyi pernafasan ronki pada paru saat
bernafas
8. Jantung
a) Inspeksi : Simetris, ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : Ictus cordis teraba, teratur dan tidak terlalu kuat

36
c) Perkusi : Bunyi pekak, tidak ada pelebaran
d) Auskultasi : Bunyi jantung murni, tidak ada suara tambahan
9. Abdomen
a) Inspeksi : Simetris, tidak ada luka bekas operasi , warna sama rata
dengan warna kulit yang lain,umbilikus bersih
b) Auskultasi : Peristaltik usus 8 kali per menit
c) Perkusi : Timpani
d) Palpasi : Ada nyeri tekan dibawah perut
10. Pemeriksaan genetalia
a) Inspeksi : Terdapat luka bekas operasi
b) Palpasi : Terdapat rasa nyeri tekan
c) Perkusi : -
d) Auskultasi : -
11. Ekstremitas
a) Ekstremitas atas
1) Inspeksi: Tidak ada atrofi, kekuatan otot normal dengan nilai
100% melawan grafitasi dengan pertahanan penuh,
ekstermitas kanan dapat bergerak bebas,ekstermitas kiri
terpasang infus RL 20 tpm, ekstremitas bawah tidak ada
edema, bergerak bebas
2) Palpasi: Akral hangat, apillary refill kembali dalam waktu 2
detik
3) Perkusi: -
4) Auskultasi: -
b) Ekstremitas bawah
1) Inspeksi: Bentuk simetris, tidak ada benjolan, tidak ada jejas,
tidak terdapat edema pada kaki,
2) Palpasi: Tidak terdapat edema, tidak terdapat nyeri tekan pada
ekstremitas bawah, akral dingin
3) Perkusi: -
4) Auskultasi: -
12. Sistem persyarafan:

37
a. Inspeksi : Tidak terdapat gangguan pada sistem persyarafan
pasien
b. Palpasi : -
c. Perkusi : -
d. Auskultasi : -

f. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium


1. Pemeriksaan Darah Rutin
Hb : 12,2 g/dl (L: 14-18 g/dl)
Ht : 36 vol% (L: 40-48 vol%)
Leukosit : 10.900/mm3 (L: 5000-10.000/mm3)
Trombosit : 308.000/mm3 (200.000-500.000/mm3)
Hitung Jenis : 0/8/0/68/20/4
2. Kimia Klinik
BSS : 97 mg/dl
Ureum : 35 mg/dl (15-39 mg/dl)
Creatinin : 1,2 mg/dl (L: 0,9-1,3 mg/dl P: 0,6-1,0 mg/dl)
Natrium : 136 mmol/l (135-155)
Kalium : 3,6 mmol/l (3,5-5,5)
3. Urinalisa
Sel epitel : Positif (+)
Leukosit : 4-6/ LPB
Eritrosit : 8-10/ LPB
Silinder bakteri : ++
4. Radiologi
a) Bipolar Urethocystogram
- Foto polos AP pelvis dan uretra: normal
- Buli-buli : chronic cystitis (+)
- Uretrogram: tampak striktur multipel di uretra pars posterior
b) USG TUG
- Kesan: Cystitis

38
39
3.3 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


.
1. DS: Striktur Uretra Nyeri Akut
1. Tn. A mengeluh nyeri ketika BAK dan ↓
perut bagian bawah. Pembedahan
2. Tn. A mengatakan nafsu makannya ↓
menurun Luka Insisi
DO: ↓
1. Klien tampak lemah Nyeri Akut
2. Tekanan darah
140/80 mmHg;
3. RR 24 x/menit;
2. DS: Peningkatan tekanan vesika Retensi Urin
1. Tn. A mengatakan ketika BAK mengejan, urinaria
setelah BAK klien merasa tidak puas dan ↓
diikuti oleh pancaran urine yang lemah, Penebalan dinding VU
(kandung kemih)

40
dipertengahan BAK seringkali berhenti ↓
kemudian memancar lagi. Penurunan kontraksi otot VU
2. Tn. A mengeluh sering berkemih terutama ↓
pada malam hari. Kesulitan berkemih
DO: - ↓
Retensi Urine
3. DS: Luka Insisi Ansietas
1. Tn.A mengatakan merasa takut jika ↓
operasinya kemarin tidak berhasil. Nyeri
DO: ↓
1. Tn. A tampak cemas dan gelisah Perubahan Status Kesehatan
2. Tekanan darah 140/80 mmHg; ↓
3. RR 24 x/menit; Sumber informasi tidak
adekuat

Koping Tidak Efektif

Ansietas

41
3.4 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d luka insisi post op d.d nyeri ketika BAK dan perut bagian
bawah.
2. Retensi urin b.d penurunan kontraksi otot VU (kandung kemih) d.d
BAK dengan pancaran lemah dan dipertengahan sering berhenti.
3. Ansietas b.d koping tidak efektif d.d rasa takut jika operasinya tidak
berhasil.

42
3.5 Intervensi Keperawatan

No Hari, Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Paraf


Tanggal
1. Nyeri akut b.d luka insisi Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri: €
post op d.d nyeri ketika keperawatan 2x24 jam. 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif
Ns. Cindy
BAK dan perut bagian Kontrol nyeri (1605) yang meliputi lokasi, karakteristik, durasi,
bawah. dapat dipertahankan pada frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya
poin 3 dan ditingkatkan nyeri dan faktor pencetus.
pada poin 5 dengan 2. Implementasikan tindakan yang beragam
kriteria hasil: (farmakologi, non farmakologi,
1. Nyeri dapat berkurang interpersonal) untuk memfasilitasi
dengan menggunakan penurunan nyeri sesuai kebutuhan.
tindakan tanpa analgesik. 3. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri.
2. Dapat menunjukkan 4. Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan
secara konsisten kapan menangani nyerinya dengan tepat.
nyeri terjadi. 5. Dorong pasien untuk mendiskusikan
3. Melaporkan perubahan pengalaman nyeri.
terhadap gejala nyeri

43
pada profesional 6. Informasikan anggota keluarga mengenai
kesehatan. strategi non farmakologi yang digunakan
4. Dapat untuk manajemen nyeri.
menunjukkan/mengenali
apa yang terkait dengan
gejala nyeri.

1.
2. Retensi urin b.d penurunan Setelah dilakukan asuhan Perawatan Retensi Urine: €
kontraksi otot VU keperawatan 3x24 jam. 1. Lakukan pengkajian komprehensif sistem
Ns. Cindy
(kandung kemih) d.d BAK Eliminasi urine (0503) perkemihan fokus terhadap inkontinensia
dengan pancaran lemah dapat dipertahankan pada (urine output, pola berkemih, masalah
dan dipertengahan sering poin 3 dan ditingkatkan saluran perkemihan sebelumnya).
berhenti. pada poin 5 dengan 2. Monitor intake dan output.
kriteria hasil: 3. Stimulasi reflek kandung kemih dengan
1. Pola eliminasi urine membasahi abdomen dengan air dingin,
tidak terganggu. memberikan sentuhan pada paha bagian
dalam atau menggunakan air yang mengalir.

44
2. Mengosongkan 4. Anjurkan pasien atau keluarga untuk
kandung kemih mencatat urine output.
sepenuhnya. 5. Bantu toileting pada interval yang reguler.
3. Mengenali keinginan 6. Berikan waktu yang cukup untuk
untuk berkemih. pengosongan kandung kemih (10 menit).
4. Tidak ada nyeri saat
berkemih.
2. Ansietas b.d koping tidak Setelah dilakukan asuhan Pengurangan Kecemasan: €
efektif d.d rasa takut jika keperawatan 2x24 jam. 1. Dorong verbalisasi perasaan persepsi dan
Ns. Cindy
operasinya tidak berhasil. Tingkat kecemasan ketakutan pasien.
(1211) dapat 2. Berikan informasi faktual terkait
dipertahankan pada poin diagnosis, perawatan, dan prognosis.
3 dan ditingkatkan pada 3. Kaji tanda verbal dan non verbal pasien
poin 5 dengan kriteria mengenai kecemasan.
hasil:
1. Tidak ada perasaan
gelisah.

45
2. Tidak ada rasa takut
yang disampaikan
secara lisan.
3. Tidak ada rasa cemas
yang disampaikan
secara lisan.

3.6 Implementasi Keperawatan

No. Hari/tanggal Diagnosa Waktu Implementasi Paraf

1. Kamis, 17 Mei Nyeri Akut 08.00 1. Melakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi
£
2018 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
atau beratnya nyeri dan faktor pencetus. Ns.Vio
08.45 2. Mengimplementasikan tindakan yang beragam
(farmakologi, non farmakologi, interpersonal) untuk
memfasilitasi penurunan nyeri sesuai kebutuhan.
09.30 3. Mengajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri.

46
10.00 4. Mendorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani
nyerinya dengan tepat.
10.30 5. Mendorong pasien untuk mendiskusikan pengalaman
11.30 nyeri.
6. Menginformasikan anggota keluarga mengenai strategi
non farmakologi yang digunakan untuk manajemen nyeri.
2. Kamis, 17 Mei Retensi Urine 15.00 1. Melakukan pengkajian komprehensif sistem perkemihan
£
2018 fokus terhadap inkontinensia (urine output, pola berkemih,
masalah saluran perkemihan sebelumnya). Ns.Vio
15.30 2. Memonitor intake dan output.
16.00 3. Menstimulasi reflek kandung kemih dengan membasahi
abdomen dengan air dingin, memberikan sentuhan pada paha
bagian dalam atau menggunakan air yang mengalir.
16.30 4. Menganjurkan pasien atau keluarga untuk mencatat urine
output.
17.00 5. Membantu toileting pada interval yang reguler.
17.30 6. Memberikan waktu yang cukup untuk pengosongan
kandung kemih (10 menit).

47
3. Kamis, 17 Mei Ansietas 19.00 1. Mendorong verbalisasi perasaan persepsi dan ketakutan
£
2018 pasien.
20.00 2. Memberikan informasi faktual terkait diagnosis, Ns.Vio
perawatan, dan prognosis.
20.30 3. Mengkaji tanda verbal dan non verbal pasien mengenai
kecemasan.

3.7 Evaluasi Keperawatan

No. Hari/Tanggal Diagnosa Evaluasi Paraf

1. Kamis, 17 Mei Nyeri Akut S : Pasien mengatakan nyerinya sudah terkontrol dan nafsu
£
2018 makan sudah membaik
O: Ns.Vio
1. Pasien tampak membaik
2. Tekanan darah normal 120/90 mmHg
3. RR : 20x/menit
A : Intervensi Tercapai Sebagian
P : Lanjutkan Intervensi

48
2. Kamis, 17 Mei Retensi Urine S:
£
2018 1. Pasien mengatakan BAK sudah terkontrol
2. BAK memancar normal Ns.Vio
3. Pasien tidak mengeluh sering berkemih pada malam
hari
O:-
A : Intervensi Tercapai
P : Lanjutkan Intervensi
3. Kamis, 17 Mei Ansietas S : pasien mengatakan sudah tenang.
£
2018 O:
1. pasien sudah tidak cemas dan gelisah, Ns.Vio
2. Tekanan darah normal 120/90 mmHg
3. RR : 20x/menit
A : Intervensi tercapai
P : Hentikan Intervensi

49
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Striktur urethra merupakan penyakit atau kelainan yang berupa


penyempitan atau konstriksi dari lumen urethra akibat adanya obstruksi . Striktur
urethra di sebut juga penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik
(jaringan parut) pada urethra atau daerah urethra.
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui
proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.

4.2 Saran

Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan


terhadap klien striktur uretra. Perawat juga harus mampu berperan sebagai
pendidik. Dalam hal ini melakukan penyuluhan mengenai pentingnya hal-hal yang
dapat memperparah penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara
melakukan pengobatan dengan baik

50
DAFTAR PUSTAKA

51

Anda mungkin juga menyukai