Anda di halaman 1dari 50

perpustakaan.uns.ac.

id

digilib.uns.ac.id

HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


DENGAN KADAR ENZIM TRANSAMINASE PADA PASIEN
TUBERKULOSIS KASUS BARU DI RSUD TEMANGGUNG

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Ike Pramastuti
G0008107

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2011

commit1 to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

ii

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 22 Desember 2011

Ike pramastuti
NIM : G0008107

iii

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Ike Pramastuti, G0008107, 2011. Hubungan antara Pemberian Obat Anti


Tuberkulosis (OAT) dengan Kadar Enzim Transaminase pada Pasien
Tuberkulosis Kasus Baru di RSUD Temanggung

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan antara pemberian Obat Anti


Tuberkulosis (OAT) dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis
kasus baru di RSUD Temanggung.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental kuasi one
group before and after intervention design atau one group pre and post test design.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Oktober 2011. Jumlah sampel
yang dipakai pada penelitian ini sebanyak 27 orang yang diambil dengan cara
purposive sampling. Pemeriksaan kadar transaminase dilakukan sebelum pasien
mendapat terapi dan 4 minggu setelah terapi dimulai. Data transaminase diolah
dengan uji t menggunakan SPSS 17.0 for Windows. Signifikansi yang digunakan
adalah p < 0,05.
Hasil Penelitian: Rata-rata kadar transaminase pada pasien meningkat setelah
diberikan terapi dibanding sebelum diberi terapi. Jumlah pasien yang mengalami
peningkatan SGOT adalah 20 dari 27 pasien dengan p = 0,008, dan pasien yang
mengalami peningkatan SGPT sebesar 22 dari 27 pasien dengan p = 0,000.
Simpulan Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang diberi Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) mengalami peningkatan dibandingkan sebelum diberi obat
anti tuberkulosis. Peningkatan tersebut signifikan secara statistik.

Kata kunci: Obat Anti Tuberkulosis (OAT), kadar transaminase, tuberkulosis

iv

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Ike Pramastuti, G0008107, 2011. Correlation between Anti Tuberculosis (ATT)


Drugs Therapy and Transaminase Level in New Case Tuberculosis Patients in
Local General Hospital of Temanggung
Objective: To study the Correlation between Anti Tuberculosis (ATT) Drugs
Therapy and Transaminase Level in New Case Tuberculosis Patients in Local
General Hospital of Temanggung.

Methods: This is a quasi-experiment study, one group before and after intervention
design or one group pre and post test design. This study was carried out from April to
October 2011. A total of 27 new case tuberculosis patients aged 18 years or greater
selected through purposive sampling. Serum transaminase was measured before
4 weeks after therapy started. Transaminase data was proceed with
paired sample t test using SPSS 17.0 for Windows. Significance was set at p < 0,05.
Results: T
4 weeks after Anti tuberculosis therapy
start increase compared before therapy . Elevation of SGOT was found in 20 from 27
patients with p = 0,008, while elevation of SGPT was found in 22 from 27 patients
with p = 0,000.
Conclusions: The study showed that there was an elevation in transaminase level of
patients given Anti tuberculosis therapy. This elevation was statistically significant.

Keyword: Anti Tuberculosis Therapy (ATT), transaminase level, tuberculosis

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang
Hubungan antara Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Kadar
Enzim Transaminase pada Pasien Tuberkulosis Kasus Baru di RSUD Temanggung
Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik atas bantuan,
bimbingan, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim skripsi Fakultas Kedokteran
Unversitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Yusup Subagyo Sutanto, dr., Sp.P (K), selaku pembimbing utama
4. Harsini, dr., Sp.P, selaku pembimbing pendamping
5. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P, selaku penguji utama
6. Supriyanto Kartodarsono, dr., Sp.PD, selaku penguji pendamping
7. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Surakarta, Mbak Eny dan Mas Nardi
8. Artiyono, dr., M.Kes, selaku direktur RSUD Temanggung
9. Budi Rahardjo Sardjoeni, dr., Sp.PD-FINASIM, selaku Dokter Spesialis Dalam
RSUD Temanggung
10. Seluruh staf rekam medik dan laboratorium RSUD Temanggung
11. Ayah dan Ibu yang telah memberi dukungan baik moral maupun material
12. Gilar Rizki yang selalu memberi dorongan
13. Segenap pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi dunia kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya.

Surakarta, 22 Desember 2011

Ike Pramastuti
vi

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

PRAKATA ............................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... x
BAB I.

PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4

BAB II.

LANDASAN TEORI............................................................................. 5
A. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 5
1. Tuberkulosis ............................................................................... 5
2. Pengobatan Tuberkulosis ............................................................ 7
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ................................................... 9
4. Anatomi dan Fisiologi Hepar ...................................................... 13
5. Transaminase ............................................................................. 16
6. Hepatotoksisitas ......................................................................... 17
7. Hubungan Pemberian OAT dengan Peningkatan Ezim
Transaminase ............................................................................. 20
vii

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 22


C. Hipotesis .......................................................................................... 23
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 24
A. Jenis Penelitian................................................................................. 24
B. Lokasi Penelitian .............................................................................. 24
C. Subjek Penelitian.............................................................................. 24
D. Teknik Sampling dan Jumlah Sampel ............................................... 25
E. Identifikasi Variabel Penelitian......................................................... 26
F. Skala Variabel Penelitian.................................................................. 26
G. Definisi Operasional Variabel .......................................................... 26
H. Rancangan Penelitian ....................................................................... 30
I. Instrumentasi dan Bahan Penelitian .................................................. 30
J. Teknik Analisis Data ........................................................................ 31
BAB IV. HASIL PENELITIAN ............................................................................ 32
BAB V. PEMBAHASAN .................................................................................... 36
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 41
LAMPIRAN .......................................................................................................... 44

viii

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Dosis OAT yang Digunakan Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(PDPI)
Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Tuberkulosis
Tabel 2. Distribusi Peningkatan SGOT Menurut Jenis Kelamin
Tabel 3. Distribusi Peningkatan SGPT Menurut Jenis Kelamin
Tabel 4. Distribusi Usia Pasien Tuberkulosis
Tabel 5. Distribusi Peningkatan SGOT Menurut Usia
Tabel 6. Distribusi Peningkatan SGPT Menurut Usia
Tabel 7. Perbedaan Mean SGOT dan SGPT Sebelum dan Sesudah Pemberian OAT

ix

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kadar Transaminase Pasien Tuberkulosis Kasus Baru Sebelum dan


Sesudah Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Lampiran 2. Hasil Uji Analisis Kadar SGOT dan SGPT

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (Price, 2006). Tuberkulosis merupakan masalah
kesehatan yang penting di Indonesia. Indonesia menjadi negara dengan
prevalensi tuberkulosis tertinggi ke-5 di dunia setelah Bangladesh, China, Korea,
dan India. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total
jumlah pasien tuberkulosis di dunia. Setiap tahunnya diperkirakan terdapat
528.000 kasus tuberkulosis baru, dengan angka kematian sekitar 91.000 orang.
Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100/100.000
penduduk dan 70 % diantaranya merupakan pasien dalam usia produktif (WHO,
2010).
Sejak tahun 1995, Indonesia menerapkan strategi pengobatan yang
direkomendasikan

WHO,

yaitu

strategi

Directly

Observed

Treatment

Shortcourse (DOTS). Implementasi strategi DOTS ini terbukti dapat menurunkan


angka kematian tuberkulosis (Depkes, 2010). Meskipun pengobatan tuberkulosis
yang efektif sudah tersedia, namun kasus tuberkulosis masih menjadi fokus
perhatian dunia, ditunjukkan dengan dideklarasikannya tuberkulosis sebagai
Global Health Emergency.

commit1 to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Dalam terapi tuberkulosis, ada dua prinsip dasar, yaitu :


1. Terapi tuberkulosis memerlukan dua macam obat dimana basil tuberkulosis
peka terhadap obat tersebut, dan salah satu obat harus memiliki sifat
bakterisid.
2. Perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeliminasi basil yang
persisten (Amin dan Bahar, 2006).
Dengan adanya prinsip tersebut, terapi tuberkulosis pada umumnya
adalah dengan metode multidrug. Namun, Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
mempunyai efek samping terhadap hepar, kulit, saraf, dan dapat menyebabkan
kelainan gastrointestinal. Efek serius yang menjadi fokus saat ini adalah efek
obat anti tuberkulosis terhadap hepar, yaitu menyebabkan hepatotoksisitas, yang
dikenal dengan istilah Antituberculosis Drug-induced Hepatotoxicity (ATDH)
(Tostmann et al., 2008).
Hepatotoksisitas merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada
dalam pengobatan. Hal itu dikarenakan fungsi hati sebagai pusat disposisi
metabolik dari semua obat dan zat asing dalam tubuh. Dalam hepatosit, obat
diubah menjadi lebih hidrofilik, sehingga dapat larut air dan dapat diekskresikan
ke dalam urin atau empedu. Jejas hepar yang ditimbulkan karena obat anti
tuberkulosis merupakan reaksi hepatoseluler yang mempunyai efek langsung,
yaitu dengan produksi kompleks enzim-obat. Kompleks ini kemudian akan

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

menyebabkan disfungsi sel, disfungsi membran, dan respon sitotoksik sel T


(Bayupurnama, 2006).
Tes yang dapat dilakukan untuk menilai fungsi hepar terkait
hepatotoksisitas antara lain pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase
hepar yang
mengarah pada perlukaan hepatoseluler atau inflamasi adalah pemeriksaan kadar
transaminase (Amirudin, 2006). Peningkatan kadar transaminase tanpa gejala
merupakan hal yang umum pada pemakaian obat anti tuberkulosis, namun efek
ini dapat menjadi fatal jika tidak dikenali lebih awal (Tostmann et al., 2008).

B. Perumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD
Temanggung?

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui apakah ada

hubungan antara pemberian Obat

Anti

Tuberkulosis (OAT) dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis


kasus baru di RSUD Temanggung

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

D. Manfaat penelitian
1. Aspek Teoritis
Dapat

memberikan

informasi

bahwa

pemberian

Obat

Anti

Tuberkulosis (OAT) dapat meningkatkan kadar enzim transaminase pada


pasien tuberkulosis kasus baru.
2. Aspek Aplikatif
a. Dengan dipantaunya kadar enzim transaminase secara rutin, maka
pengobatan tuberkulosis dapat lebih efektif.
b. Dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengobatan tuberkulosis di
waktu yang akan datang.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis berbentuk
batang dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 m dan
panjang 1-4 m. Penyusun utama dinding sel bakteri ini adalah asam mikolat,
lilin kompleks, trehalosa dimikolat, dan mycobacterial sulfolipid (Aditama,
2006).
Tuberkulosis

paru

ditularkan

melalui

inhalasi

droplet

yang

mengandung basil tuberkel dari seorang pasien terinfeksi. Gumpalan basil


tuberkel yang terinhalasi tersebut masuk ke dalam ruang alveolus, kemudian
membangkitkan reaksi dari leukosit polimorfonuklear. Leukosit tersebut
memfagosit bakteri, namun tidak menghancurkannya, dan dalam beberapa
hari akan digantikan oleh makrofag (Price, 2006).
Sel strain tuberkulosis paru mampu masuk ke dalam makrofag. Di
dalam makrofag, bakteri ini memanipulasi endosom dengan cara mengubah
pH dan menghentikan pematangan endosom. Dengan berubahnya pH maka
pembentukan fagolisosom yang efektif akan terganggu, sehingga bakteri ini
dapat berproliferasi tidak terkendali (Kumar, 2007).

commit5 to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

Basil tuberkel yang telah hidup dan berkembang biak dalam


sitoplasma makrofag dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain. Sedangkan
kuman yang tetap berada di jaringan paru, akan membentuk fokus primer
yang disebut fokus ghon (Amin dan Bahar, 2006).
Klasifikasi tuberkulosis paru menurut tipe pasiennya adalah sebagai
berikut :
a. Kasus baru, yaitu pasien tuberkulosis yang belum pernah mendapat terapi
OAT sebelumnya, atau pernah mendapat pengobatan kurang dari satu
bulan.
b. Kasus kambuh / relaps, yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat terapi OAT dan dinyatakan sembuh, kemudian kembali
didiagnosis tuberkulosis.
c. Kasus drop-out, yaitu pasie

bulan dan berhenti minum obat selama 2 bulan atau lebih sebelum masa
pengobatan selesai.
d. Kasus gagal, yaitu pasien dengan BTA positif atau kembali menjadi positif
pada bulan ke-5 pengobatan atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik, yaitu pasien dengan pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

f. Kasus bekas tuberkulosis, yaitu :


1) Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA negatif, foto toraks menunjukkan
lesi tuberkulosis tidak aktif, dan ada riwayat pengobatan dengan anti
tuberkulosis.
2) Pasien dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan anti tuberkulosis 2 bulan, serta foto toraks ulang tidak ada
perubahan (Adhitama, 2006).
2. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis paru terdiri dari 2 fase, yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Obat utama (lini 1) yang diberikan dalam
pengobatan tuberkulosis paru adalah isoniazid (H), rifampicin (R),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomicin (S). Sedangkan obat
tambahan (lini 2) yang diberikan antara lain kuinolon, kanamicin, dan
amikasin (Amin dan Bahar, 2006).
Pengobatan tuberkulosis paru dibagi menjadi :
a. Tuberkulosis kasus baru diberikan terapi 2 RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE
atau 2RHZE/4R3H3.
Panduan pengobatan tersebut dianjurkan untuk :
1) Tuberkulosis kasus baru dengan BTA (+)
2) Tuberkulosis kasus baru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi lesi
luas

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

b. Tuberkulosis paru kasus baru, BTA negatif, gambaran radiologi lesi


minimal diberikan terapi 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3.
c. Tuberkulosis paru kasus kambuh diberikan terapi 2RHZES/1RHZE jika
belum dilakukan uji resistensi. Bila tidak ada uji resistensi dapat diberikan
5RHE.
d. Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan diberikan terapi lini 2 sebelum
ada uji resistensi. Bila tidak ada uji resistensi dapat diberikan 5RHE.
e. Tuberkulosis paru kasus putus berobat
Pengobatan akan dimulai kembali sesuai dengan kriteria berikut :
1)
a) Jika BTA negatif, klinis dan radiologi tidak aktif, maka pengobatan
dihentikan
b) Jika BTA negatif, klinis dan radiologi aktif, maka pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
lebih lama
c) Jika BTA positif, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka lebih lama
2) Berobat

4 bulan

a) Jika BTA positif, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan
obat yang lebih kuat dan jangka lebih lama

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

b) Jika BTA negatif, maka gambaran foto toraks positif : pengobatan


diteruskan
f. Tuberkulosis paru kasus kronik diberikan RHZES apabila belum ada uji
resistensi. Jika telah dilakukan uji resistensi, maka diberikan obat sesuai
dengan uji resistensi ditambah dengan obat lini 2, minimal 18 bulan. Jika
tidak mampu, dapat diberikan INH seumur hidup (Aditama, 2006).
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Isoniazid
Isoniazid merupakan obat utama pada kemoterapi tuberkulosis paru.
Semua pasien dengan penyakit yang disebabkan karena infeksi galur basil
tuberkulosis harus diberi obat ini jika mereka dapat menoleransinya
(Gilman, 2008). Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan
tuberkulosid. Efeknya menghambat pembelahan bakteri, terutama untuk
bakteri yang sedang aktif membelah. Mekanisme kerja isoniazid belum
diketahui secara pasti, namun ada pendapat bahwa isoniazid bekerja
dengan menghambat biosintesis asam mikolat, yaitu unsur penting
penyusun dinding sel bakteri. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam
dari bakteri dan menurunkan kadar lemak terekstraksi methanol yang
dihasilkan oleh bakteri (Istiantoro dan Setibudy, 2007).
Isoniazid segera diabsorbsi dari saluran pencernaan. Konsentrasi
puncak plasma dicapai dalam 1-2 jam dengan pemberian dosis biasa yaitu
5 mg/kg/hari (Jawetz, 2004). Isoniazid mudah berdifusi ke seluruh cairan di

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

10

sel tubuh. Konsentrasi terbesar obat ini adalah di dalam pleura dan ascites.
Mula-mula konsentrasi isoniazid lebih tinggi dalam plasma dan jaringan
otot daripada di jaringan yang terinfeksi, namun jaringan yang terinfeksi
mampu menahan obat ini lebih lama dalam jumlah yang dibutuhkan untuk
bakteriostatis. Sebagian besar metabolit isoniazid dieksresi dalam urin
dalam waktu 24 jam (Gilman, 2008).
Efek samping isoniazid bergantung pada lama dan dosis pemberian.
Reaksi alergi terhadap isoniazid yang sering terjadi adalah demam dan kulit
kemerahan. Sedangkan efek toksik yang paling sering terjadi pada sistem
saraf pusat dan perifer berkaitan dengan defisisensi piridoksin. Isoniazid
juga berkaitan dengan hepatotoksisitas. Pada pasien diketahui dapat
menyebabkan uji fungsi hepar abnormal, penyakit kuning, dan nekrosis
multilobular (Jawetz, 2004).
b. Rifampicin
Rifampicin
Mycobacterium

secara

tuberculosis.

in

vitro

menghambat

Mekanisme

kerja

pertumbuhan

rifampicin

adalah

menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari bakteri. Sama halnya


seperti isoniazid, rifampicin aktif pada bakteri yang sedang aktif membelah
(Istiantoro dan Setibudy, 2007). Bila rifampicin diberikan bersama dengan
isoniazid, rifampicin bersifat bakterisidal dan mensterilisasi jaringan yang
terinfeksi, rongga, dan sputum (Jawetz, 2004).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

11

Rifampicin

diabsorbsi

baik

dengan

pemberian

oral

dan

diekskresikan melalui hepar ke dalam empedu selanjutnya obat ini akan


mengalami sirkulasi enterohepatik (Jawetz, 2004). Selama sirkulasi
tersebut, rifampicin mengalami deasetilasi secara progresif, sehingga
setelah 6 jam hampir semua antibiotik di empedu ditemukan dalam bentuk
terdeasetilasi. Ekskresi terbesar obat ini adalah melalui feses, yaitu sebesar
60 % (Gilman, 2008).
Efek samping rifampicin yang sering terjadi adalah ruam kulit,
demam, mual, muntah, dan ikterus. Hepatitis jarang terjadi pada pasien
dengan fungsi hepar normal. Pada pasien dengan penyakit hepar kronik dan
alkoholisme, risiko terkena ikterus meningkat. Efek samping yang
berhubungan dengan sistem saraf antara lain rasa lelah, mengantuk , sakit
kepala, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan
kelemahan otot. Selain itu terdapat efek samping lain yang kaitannya
dengan reaksi hipersensitifitas diantaranya demam, pruritus, urtikaria, dan
eosinofilia (Istiantoro dan Setibudy, 2007).
c. Etambutol
Etambutol menekan pertumbuhan kuman yang telah resisten
terhadap isoniazid dan streptomicin. Mekanisme kerja etambutol adalah
menghambat pembentukan metabolit sel yang menyebabkan kematian sel
(Istiantoro dan Setibudy, 2007).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

12

Sekitar 75-80 % dosis etambutol yang diberikan secara oral diserap


dengan baik dari saluran gastrointestinal. Kadar maksimum dalam plasma
dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah obat diminum, sedangkan waktu
paruh etambutol adalah 3-4 jam. Tiga perempat dosis etambutol akan
dieksresi dalam urin dengan bentuk yang utuh dalam waktu 24 jam
(Gilman, 2008).
Penurunan ketajaman penglihatan, neuritis optik, dan rusaknya
retina merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemakaian
etambutol. Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat terapi etambutol
selama beberapa bulan, perlu dilakukan tes tajam penglihatan secara
berkala. Efek tersebut bisa membaik jika pemakaian obat dihentikan
(Jawetz, 2004).
d. Pirazinamid
Pirazinamid memiliki efek tuberkulostatik dengan mekanisme
hidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat. Efek
tuberkulostatik pirazinamid hanya bekerja efektif pada media yang asam
(Istiantoro dan Setibudy, 2007).
Pirazinamid diabsorbsi dengan baik di saluran gastrointestinal dan
didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat ini menembus cairan serebrosipnal
dengan baik. Waktu paruh pirazinamid pada orang dengan ginjal normal
adalah 9-10 jam. Obat ini dieksresi terutama melalui glomerulus ginjal.
Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian pirazinamid

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

13

adalah cedera hepar. Pada pemberian oral 40-50 mg/kg, sekitar 15 %


pasein akan menunjukkan tanda-tanda cedera hepar. Efek lain dari
pirazinamid adalah terhambatnya ekskresi garam urat, pirai, mual, muntah,
anoreksia, disuria, lesu, dan demam (Gilman, 2008).
e. Streptomicin
Secara in vitro, streptomicin bersifat bakteriostatik dan bakterisid
terhadap kuman tuberkulosis. Sedangkan secara in vivo, streptomicin
berfungsi

sebagai

supresi.

Hal

ini

dibuktikan

dengan

adanya

mikroorganisme yang hidup dalam abses dan kelenjar limfe regional serta
hilangnya efek obat setelah beberapa bulan pengobatan (Istiantoro dan
Setibudy, 2007).
Karena telah tersedia obat lain yang lebih efektif, maka
streptomicin jarang digunakan untuk terapi tuberkulosis. Streptomicin
dikombinasikan dengan obat lain pada pengobatan bentuk-bentuk
tuberkulosis yang telah menyebar atau meningitis. Efek samping yang
ditimbulkan karena pemakaian streptomicin antara lain ruam, gangguan
fungsi pendengaran, dan gangguan fungsi vestibular pada saraf kranial
kedelapan (Gilman, 2008).
4. Anatomi dan Fisiologi Hepar
Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh dengan berat rata-rata
1,5 kg pada orang dewasa. Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus, yang
berbentuk silindris. Lobulus terbentuk dari banyak lempeng sel hepar. Hepar

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

14

mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus, dimana setiap lobulus


dipisahkan oleh septum fibrosa. Lobulus terbentuk mengelilingi vena
sentralis, yang mengalirkan darah ke vena hepatica kemudian ke vena cava
(Guyton, 2007).
Tiap-tiap sel hepar berdekatan dengan beberapa kanalikuli biliaris
yang akan bermuara pada duktus biliaris. Kanalikuli biliaris merupakan
saluran dimana empedu yang dihasilkan hepatosit diekskresikan. Beberapa
duktus biliaris akan bergabung melalui duktus interlobulus untuk membentuk
duktus hepatikus kanan dan kiri. Selanjutnya, kedua duktus hepatikus tersebut
bergabung di luar hepar membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus
hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus menjadi duktus
koledokus yang akan bermuara di duodenum. Duktus sistikus bermuara dalam
kantung empedu (Ganong, 2003).
Fungsi utama dari hepar adalah mengekskresikan empedu. Setiap hari
hepar mengekskresi empedu sebanyak satu liter ke dalam usus halus. Selain
itu, hepar juga menyimpan hasil metabolisme monosakarida dalam bentuk
glikogen. Proses ini disebut dengan glikogenesis. Glikogen yang telah
tersimpan dalam hepar, akan diubah menjadi glukosa dan disuplai ke dalam
darah secara konstan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Proses ini disebut
dengan glikogenolisis. Fungsi hepar yang lain adalah sebagai tempat
metabolisme protein dan lemak. Hepar menghasilkan protein plasma berupa
albumin, protrombin, fibrinogen dan faktor pembekuan lain. Fungsi hepar

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

15

dalam metabolisme lemak adalah sebagai penghasil lipoprotein, kolesterol,


fosfolipid, dan asam asetoasetat (Amirudin, 2006).
Selain fungsi metabolisme lemak dan protein, hepar juga merupakan
tempat metabolisme obat. Dalam empedu yang dihasilkan hepatosit, terdapat
enzim yang berguna dalam metabolisme obat. Beberapa obat bersifat larut
lemak dan dipengaruhi oleh garam empedu dalam usus (Fox, 2004).
Untuk mengetahui fungsi normal hepar, dapat dilakukan beberapa tes,
antara lain adalah :
a. Bilirubin total digunakan untuk menilai ikterus.
b. Bilirubin tak terkonjugasi digunakan untuk menilai hemolisis.
c. Alkalin fosfatase digunakan untuk mendiagnosis kolestasis dan penyakit
infiltratif.
d. Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT) atau Aminotransferase
Aspartat (AST) digunakan untuk mengetahui gangguan hepatoseluler.
e. Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), atau Aminotransferase
Alanin (ALT) dibandingkan dengan hasil SGOT untuk menilai fungsi
hepar.
f. Albumin digunakan untuk menilai tingkat jejas hepar.
g. Gamma globulin untuk mengetahui hepatitis autoimun, atau kenaikan yang
khas terjadi pada pasien sirosis.
h. Prothrombin time after vitamin K digunakan untuk menilai derajat penyakit
hepar.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

16

i. Antimitokondrial antibodi digunakan untuk diagnosis utama sirosis biliaris


(Mehta, 2010).
5. Transaminase
a. Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)
Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), atau sering disebut
Aminotransferase Alanin (ALT) merupakan enzim yang ditemukan dalam
hepar dan spesifik ditemukan pada kasus perlukaan hepar. Selain itu SGPT
juga ditemukan dalam jumlah sedikit di jantung, ginjal, dan otot rangka.
Pada penentuan diagnosis, hasil SGPT sering dibandingkan dengan hasil
SGOT. Peningkatan kadar SGPT khas terjadi pada nekrosis hepar,
sedangkan peningkatan SGOT khas terjadi pada nekrosis miokard. Kadar
normal SGPT pada orang dewasa adalah sebesar 4-36 U/I (Kee, 2008).
b. Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase (SGOT)
Serum

Glutamic

Oxaloacetat

Transaminase

(SGOT)

atau

Aminotransferase Aspartat (AST) dapat ditemukan dalam jumlah besar di


dalam jantung. Jika terjadi serangan infark miokard kadarnya akan naik
dalam waktu 24 jam, kemudian akan turun secara bertahap dalam waktu 46 hari jika tidak terjadi infark susulan. Dalam kadar sedang, SGOT juga
dapat ditemukan di dalam ginjal, otot rangka, dan pankreas. Nilai normal
SGOT adalah 8-38 U/l (Kee, 2008).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

17

6. Hepatotoksisitas
Hepatotoksisitas didefinisikan sebagai perlukaan hepar karena
pemakaian obat. Kejadian hepatotoksisitas ini terhintung jarang, yaitu 1 tiap
10.000 penduduk. Namun demikian, bila tidak terdeteksi secara dini, angka
tersebut akan meningkat. Tidak ada pengobatan tertentu yang efektif untuk
hepatotoksisitas kecuali menghentikan pengobatan. Berdasarkan konfrensi
FDA (Food and Drug Association) tahun 2001, kenaikan transaminase lebih
dari 3 kali nilai normal dan kenaikan bilirubin lebih dari 2 kali nilai normal,
dapat

menjadi

acuan

adanya

abnormalitas

fungsi

hepar

terkait

hepatotoksisitas. Gejala dan tanda hepatotoksisitas yang mendukung temuan


laboratorium antara lain kelelahan, anoreksia, mual, urin yang berwarna lebih
gelap, dan rasa ketidaknyamanan pada perut kuadran kanan atas (Navarro,
2006).
Faktor risiko terjadinya hepatotoksisitas antara lain :
a. Ras

: terkait dengan enzim P-450 yang mengontrol


metabolisme, dimana tiap ras dapat mengalami
perbedaan

b. Umur

: pada orang tua risikonya lebih tinggi karena turunnya


fungsi hepar dan aliran daran ke hepar, serta interaksi
antar obat yang satu dengan yang lain

c. Jenis kelamin

: dengan sebab belum diketahui, hepatotoksisitas lebih


sering ditemukan pada wanita daripada pria

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

18

d. Alkohol

: alkohol menyebabkan seseorang rentan terhadap


hepatotoksisitas karena penipisan gluthatione yang
bersifat hepatoprotektif

e. Penyakit hepar

: penyakit kronik hepar meningkatkan risiko terjadinya


hepatotoksisitas

f. Faktor genetik

: dikaitkan dengan gen yang mengkode protein P-450

g. Faktor komorbiditas : misalnya

pada

penyakit

AIDS

penyimpanan

gluthation sedikit
h. Sifat obat

: obat

dengan

sifat

long-acting

lebih

berisiko

meyebabkan hepatotoksisitas daripada obat yang


bersifat short-acting (Mehta, 2010)
Mekanisme hepatotoksisitas imbas obat tidak bisa ditinjau hanya dari
satu sisi. Terdapat beberapa mekanisme penyebab hepatotoksisitas, yaitu
sebagai berikut :
a. Ikatan kovalen antara enzim P-450 dan obat dikenali oleh sistem imun
sebagai antigen, sehingga timbul reaksi imun berupa pengaktifan sel T
sitolitik. Akibat reaksi tersebut terjadilah kematian sel.
b. Karena ikatan kovalen obat dengan protein intraseluler , kadar ATP akan
turun dan menyebabkan gagguan pada aktin. Kerusakan pada fibrin aktin
mengakibatkan membran sel ruptur.
c. Metabolit obat yang toksik akan merusak epitel saluran empedu, sehingga
pengeluaran empedu terganggu.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

19

d. Produksi energi beta-oxidasi dan penghambatan sintesis nicotinamide


adenine dinucleotide serta flavin adenine dinukleotide menyebabkan
penurunan produksi ATP. Penurunan ATP tersebut dapat menggaggu
fungsi mitokondrial.
e. Obat yang mempengaruhi transport protein pada kanalikuli dapat
menyebabkan terganggunya aliran empedu (Navarro, 2006).
Hepatotoksisitas akibat pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
terjadi melalui berbagai mekanisme. Di dalam hepar, isoniazid diasetilasi
menjadi acetylisoniazid, kemudian dihidrolisis menjadi acetylhydrazine dan
dihidrolisis kembali membentuk hydrazine. Diketahui bahwa hydrazine
merupakan metabolit toksik isoniazid yang mempunyai efek merusak sel
hepar. Hydrazine mengaktivasi sitokrom P450 sehingga terbentuk ikatan
kovalen enzim-obat. Ikatan ini dikenal sebagai antigen oleh sel T sitolitik dan
berakibat kematian sel (Tostmann et al., 2007).
Mekanisme hepatotoksisitas rifampicin belum diketahui secara pasti.
Namun beberapa berpendapat bahwa mekanisme hepatotoksisitas terjadi
melalui pengaktifan sitokrom P450. Begitu pula mekanisme hepatotoksisitas
pirazinamid sampai saat ini belum diketahui. Pirazinamid diketahui
menyebabkan iskemik sel hepar (Tostmann et al., 2007).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

20

7. Hubungan

Pemberian

Obat

Anti

Tuberkulosis

(OAT)

Dengan

Peningkatan Enzim Transaminase


Hepar merupakan pusat disposisi metabolik dari semua obat dan zat
yang masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu, perlukaan hepar karena obat
sangat mungkin terjadi. Tidak terkecuali pada pemakaian obat anti
tuberkulosis, yaitu isoniazid, pirazinamid, dan rifampicin (Bayupurnama,
2006).
Pemakaian

isoniazid

untuk

terapi

tuberkulosis

paru

dapat

menyebabkan kerusakan hepar karena terjadi nekrosis multilobular. Gangguan


fungsi hepar diperlihatkan oleh peningkatan enzim transaminase yang terjadi
pada 4-8 minggu pengobatan. Peningkatan enzim transaminase hingga 4 kali
nilai normal terjadi pada 10-20 % pasien. Peningkatan kadar enzim ini juga
dipengaruhi oleh umur penderita, dimana semakin tua penderita, maka risiko
peningkatan ini semakin besar. Kerusakan fungsi hepar jarang terjadi pada
usia di bawah 35 tahun (Istiantoro dan Setibudy, 2007).
Dari studi kasus baik pada hewan maupun manusia, ditunjukkan
bahwa hepatotoksisitas akibat isoniazid bermanifestasi steatosis hepatoseluler
dan nekrosis. Metabolit isoniazid berikatan kovalen dengan makromolekul sel.
Hydrazine merupakan metabolit toksik dari isoniazid yang dalam penelitian
terbukti menyebabkan steatosis, vakuolasi hepatosit dan deplesi glutathione
(Tostmann et al., 2007).

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

21

Rifampicin dapat menyebabkan perubahan hepatoseluler, nekrosis


sentrilobuler, dan terkait dengan kolestasis (Tostmann et al., 2007). Dengan
pemakaian rifampicin intermiten, dapat terjadi kenaikan kadar enzim
transaminase, namun kejadian hepatitis karena pemakaian rifampicin jarang
ditemukan (Istiantoro dan Setibudy, 2007).
Efek samping dari pirazinamid yang paling serius adalah kerusakan
hepar. Bila pirazinamid diberikan 3 g/hari, maka kelainan hepar yang muncul
adalah sebesar 3 % (Istiantoro dan Setibudy, 2007). Peningkatan kadar
transaminase dalam plasma merupakan abnormalitas awal yang diakibatkan
oleh pemberian pirazinamid (Gilman, 2008).
Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, dari 339 pasien yang
diberi pengobatan dengan antituberkulosis, 67 pasien mengalami kenaikan
SGOT dan SGPT. Dari 67 pasien tersebut, 38 pasien mengalami peningkatan
kadar SGOT 3-5 kali batas normal, 15 pasien meningkat 10-15 kali batas
normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari 10 kali batas normal. Sedangkan
pada kadar SGPT sebanyak 38 pasien meningkat 2-5 kali batas normal, 15
pasien meningkat 5-10 kali batas normal, dan 14 pasien meningkat lebih dari
10 kali batas normal (Mahmood et al., 2007)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

22

B. Kerangka Pemikiran
Pasien
Tuberkulosis
Obat Anti
Tuberkulosis

Isoniazid

Rifampicin

Pirazinamid

Desacetylrifampicin

Pyrazinoic
acid

3-formyl
rifampicin

5-hydroxy
pirazinoic

Streptomicin

Etambutol

asetilase
acetylisoniazid

Tidak hepatotoksik

Hidrolisis
acetylhydrazine
Hidrolisis
Hydrazine

Aktivasi sitokrom P450

Ikatan kovalen enzym-obat

Iskemik
dan
hipoksia
sel hepar

Nekrosis
sel hepar

Aktivasi sel T sitolitik

Kematian sel hepar

Tes fungsi hati (SGOT dan SGPT)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

23

C. Hipotesis
Ada hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD
Temanggung. Hubungan tersebut berupa peningkatan kadar enzim transaminase.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental kuasi model one group
before and after intervention design atau one group pre and post test design.
Dalam penelitian ini digunakan satu kelompok yang akan diamati sebelum dan
sesudah pemberian intervensi (Taufiqurrohman, 2004).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUD Temanggung
C. Subjek Penelitian
1. Populasi target : Pasien tuberkulosis kasus baru di kabupaten Temanggung
2. Populasi aktual : Pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD Temanggung
3. Kriteria Inklusi:
a. Pasien tuberkulosis kasus baru
b. Pasien tuberkulosis berusia dewasa
saat pengambilan sampel)
c. Pasien direncanakan akan menjalani pengobatan dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) selama lebih dari 4 minggu
d. Pemeriksaan

enzim

Transaminase

antituberkulosis dalam batas normal

24to user
commit

sebelum

pemberian

obat

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

25

4. Kriteria Eksklusi :
a. Pengguna alkohol
b. Menderita penyakit Immunocompromise
c. Memiliki riwayat penyakit hepar
D. Teknik Sampling dan Jumlah Sampel
Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling. Dari penelitian
sebelumnya diketahui bahwa simpang baku kadar transaminase adalah sebesar 8
U/I. perbedaan > 5 U/I ditetapkan sebagai perbedaan yang bermakna secara
klinis. Bila diambil nilai

%, maka jumlah

sampel yang dibutuhkan adalah sesuai perhitungan berikut:

Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 27 sampel.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

26

E.

Identifikasi Variabel Penelitian


1. Variabel Bebas

: Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

2. Variabel Terikat : Kadar enzim transaminase


3. Variabel luar
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan :
Umur pasien, jenis kelamin
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan :
Kadar albumin
F.

Skala Variabel
1. Pemberian Obat Anti Tuberkulosis

: Nominal

2. Kadar enzim transaminase

: Rasio

G. Definisi Operasional Variabel


1. Variabel Bebas
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Definisi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) merupakan kombinasi obat yang digunakan
untuk penderita tuberkulosis. Obat yang digunakan untuk pengobatan
pasien tuberkulosis kasus baru adalah :
1)

Isoniazid (H)

2)

Rifampicin (R)

3)

Pirazinamid (Z)

4)

Streptomicin (S)

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

27

5)

Etambutol (E)

Regimen pengobatan tuberkulosis paru kasus baru adalah sebagai berikut:


1) 2 RHZE/4RH, atau
2) 2RHZE/6HE, atau
3) 2RHZE/4R3H3
Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tabel 1. Dosis OAT yang Digunakan Menurut Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI)
Dosis
Obat

(mg/kg
BB/hr)

Dosis yang

Dosis

dianjurkan

maks.

Harian

Intermiten

Dosis (mg) / BB (kg)

40

40-60

60

8-12

10

10

600

300

450

600

4-6

10

300

150

300

450

20-30

25

35

750

1000

1500

15-20

15

30

750

1000

1500

15-18

15

15

Sesuai

750

1000

1000

BB
(Adhitama, 2006)
b. Skala Pengukuran

: Nominal

c. Metode Pengukuran

: Anamnesis dan Rekam medik

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

28

2. Variabel Terikat
Enzim transaminase
a. Definisi
Enzim transaminase merupakan enzim yang dilepaskan di aliran
darah karena adanya proses kerusakan hepar, jantung, pankreas, otot, dan
ginjal. Enzim transaminase terdiri dari Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (SGPT) dan Serum Glutamic Oxaloacetat Transaminase
(SGOT). Nilai normal dari SGPT adalah 4-36 U/I, sedangkan nilai normal
SGOT adalah 8-38 U/I.
b. Skala Pengukuran : Rasio
c. Metode Pengukuran
Pemeriksaan

enzim

transaminase

dilakukan

dengan

cara

mengambil darah vena dari pasien kemudian diperiksa dengan


spektrofotometer.
3. Variabel Luar
a. Pasien tuberkulosis kasus baru
1) Definisi
Pasien tuberkulosis kasus baru yaitu pasien yang didiagnosis
oleh dokter penyakit dalam RSUD Temanggung sebagai pasien
tuberkulosis yang belum pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
sebelumnya.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

29

2) Skala Pengukuran : Nominal


3) Metode Pengukuran
Penegakan diagnosis tuberkulosis paru kasus baru dilakukan
oleh dokter spesialis penyakit dalam RSUD Temanggung.
b. Usia
1) Definisi :
Usia adalah selisih tahun wawancara dengan tahun kelahiran
(Mulyono et al., 2003).
2) Skala Pengukuran

: Rasio

3) Metode Pengukuran

: Anamnesis

c. Pengguna alkohol
1) Definisi
Seseorang yang mengkonsumsi alkohol selama minimal 6 bulan.
Dikatakan bukan pengguna alkohol jika sama sekali belum pernah
mengkonsumsi alkohol atau sudah berhenti menggunakan alkohol
1 bulan (Ismail et al., 2008).
2) Skala Pengukuran

: Nominal

3) Metode Pengukuran : Anamnesis


d. Immunocompromise
1) Definisi
Status dimana sistem pertahanan tubuh seseorang melemah, bahkan
tidak ada.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

30

2) Skala Pengukuran

: Nominal

3) Metode Pengukuran : Anamnesis dan Rekam Medis

H. Rancangan Penelitian
One group before and after intervention

O1

O2

Bandingkan
dengan uji
paired sample
t test

O1 = Pengamatan sebelum pemberian Obat Anti Tuberkulosis


O2 = Pengamatan setelah

nti Tuberkulosis

X = Pemberian Obat Anti Tuberkulosis


I.

Instrumentasi dan Bahan Penelitian


Alat yang dipakai untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah hasil
pemeriksaan laboratorium SGOT dan SGPT pasien tuberkulosis kasus baru di
RSUD Temanggung

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

31

J.

Teknik Analisis Data


Data dianalisis secara statistik dengan uji paired sample t test, yaitu uji t
= 0,05. Uji t

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis


(OAT) dengan kadar enzim transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru
dilakukan di RSUD Temanggung dengan jumlah sampel sebanyak 27 pasien. Data
diambil dari bulan April 2011 sampai Oktober 2011 dengan metode purposive
sampling. Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Tuberkulosis


Jenis Kelamin

Jumlah (orang)

Presentase (%)

Laki-laki

11

40,74

Perempuan

16

59,26

Jumlah

27

100

Tabel 2. Distribusi Peningkatan SGOT Menurut Jenis Kelamin


Jenis Kelamin

Meningkat

Menurun

Jumlah

Laki-laki

7 (63,64 %)

4 (36,36 %)

11

Perempuan

13 (81,25 %)

3 (18,75 %)

16

32to user
commit

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

33

Tabel 3. Distribusi Peningkatan SGPT Menurut Jenis Kelamin


Jenis Kelamin

Meningkat

Menurun

Jumlah

Laki-laki

9 (81,82 %)

2 (18,18 %)

11

Perempuan

13 (81,25 %)

3 (18,75 %)

16

Tabel 4. Distribusi Usia Pasien Tuberkulosis


Umur (tahun)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

19-29

11

40,74

30-39

22,22

40-49

22,22

50-59

14,82

Jumlah

27

100

Tabel 5. Distribusi Peningkatan SGOT Menurut Usia


Umur (tahun)

Meningkat

Menurun

Jumlah (orang)

19-29

7 (63,64 %)

4 (36,36 %)

11

30-39

5 (83,33 %)

1 (16,67 %)

40-49

5 (83,33 %)

1 (16,67 %)

50-59

3 (75 %)

1 (25 %)

Jumlah

20

27

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

34

Tabel 6. Distribusi Peningkatan SGPT Menurut Usia


Umur (tahun)

Meningkat

Menurun

Jumlah (orang)

19-29

8 (72,73 %)

3 (27,27 %)

11

30-39

5 (83,33 %)

1 (16,67 %)

40-49

5 (83,33 %)

1 (16,67 %)

50-59

4 (100 %)

0 (0 %)

Jumlah

22

27

Tabel 7. Perbedaan mean SGOT dan SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT
Transaminase

Sebelum pemberian OAT

Setelah pemberian OAT

SGOT

24,89 6,1

28,06 6,2

SGPT

19,29 7,08

23,50 6,7

Tampak adanya perbedaan rata-rata kadar enzim transaminase pada pasien


sebelum dan sesudah pemberian obat anti tuberkulosis yang ditunjukkan pada tabel 7.
Kadar transaminase pasien yang diberi obat anti tuberkulosis mengalami peningkatan
yang secara statistik signifikan dibandingkan sebelum diberi obat anti tuberkulosis.
Untuk mengetahui kemaknaan perbedaan kadar transaminase tersebut,
dilakukan analisis statistik dengan menggunakan SPSS 17.0, dengan metode paired
sample t test. Syarat utama untuk menggunakan paired sample t-test sebagai uji
hipotesis adalah data yang diolah harus memiliki sebaran normal dan homogen.
Untuk mengetahui sebaran data, maka digunkan Normality Test, sedangkan untuk

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

35

mengetahui homogenitas data, digunakan Homogenity Test. Dari kedua uji tersebut,
data SGOT dan SGPT baik sebelum maupun sesudah pemberian Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) memiliki sebaran data yang normal dan homogen. Sehingga
kedua syarat untuk melakukan paired sample t test terpenuhi.
Dari uji hipotesis yang dilakukan, didapatkan nilai signifikansi untuk SGOT
sebesar p = 0,008 (p < 0,05). Artinya, probabilitas dalam menarik simpulan salah,
yaitu tidak ada peningkatan kadar SGOT sebelum dan sesudah pemberian OAT,
adalah 8 kesalahan dari 1000 kesempatan. Sedangkan nilai signifikansi untuk SGPT
adalah sebesar p = 0,000 (p < 0,05). Dengan demikian, probabilitas dalam menarik
simpulan salah, yaitu tidak ada peningkatan kadar SGPT sebelum dan sesudah
pemberian OAT, adalah 0 kesalahan dari 1000 kesempatan.
Dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima,
yaitu ada peningkatan kadar enzim transaminase sebelum dan sesudah pemberian
Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD

Temanggung.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

BAB V
PEMBAHASAN

Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 27 pasien didapatkan jumlah pasien


laki-laki adalah 11 orang yaitu sebesar 40,74 % dan perempuan 16 orang yaitu
sebesar 59,26 %. Peningkatan SGOT pada pasien laki-laki adalah 63,64 % dan
perempuan 81,25 %, sedangkan untuk peningkatan SGPT pasien laki-laki adalah
81,82 % dan pasien perempuan 81,25 %. Dari penelitian yang dilakukan oleh Anand
et al. (2006) dan Niazi et al. (2010), insidensi peningkatan transaminase tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Ditinjau dari usia, dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang menjalani
pengobatan Obat Anti Tuberkulosis paling banyak adalah usia 19-29 tahun.
Walaupun jumlah pasien dalam kelompok umur 50-59 tahun tidak banyak, namun
persentase peningkatan SGOT dan SGPT relatif besar. Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Khadka et al. (2009) ditunjukkan bahwa persentase terbesar
peningkatan SGOT dan SGPT adalah pada kelompok usia 41-60 tahun, dengan
persentase 45,1 %, sedangkan untuk kelompk 21-40 tahun sebesar 31,1 %. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Niazi et al. (2010) menunjukkan bahwa peningkatan
transaminase lebih besar pada kelompok pasien usia tua yaitu 9,57 % daripada usia
muda yaitu 2,56 %.

36 to user
commit

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

37

Pada tabel 7 ditunjukkan bahwa rata-rata SGOT dan SGPT mengalami


peningkatan. Jumlah pasien yang mengalami peningkatan SGOT sebesar 20 dari 27
orang, dan pasien yang mengalami peningkatan SGPT sebesar 22 dari 27 orang.
Peningkatan SGOT dan SGPT pada semua pasien dalam penelitian ini masih dalam
batas normal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Khadka et al. (2009), dari 114
pasien, 96 (84 %) pasien mengalami peningkatan SGOT yang masih dalam batas
normal dan 18 (16 %) pasien mengalami peningkatan di atas batas normal ( > 35
IU/L). Sedangkan untuk SGPT, 92 (81 %) pasien mengalami peningkatan SGOT
yang masih dalam batas normal, dan 22 (19 %) mengalami peningkatan di atas batas
normal ( > 40 IU/L). Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang
dilakukan oleh Sudarmadi (2009), yaitu didapatkan hasil peningkatan kadar SGOT
pada 12 orang dari 30 orang sampel, sedangkan peningkatan SGPT dijumpai pada 15
orang dari 30 orang.
Mekanisme naiknya kadar transaminase tersebut belum diketahui secara pasti,
namun diduga berasal dari metabolit toksik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
menyebabkan jejas hepatoseluler. Metabolit toksik isoniazid yang telah diketahui
dapat menyebabkan kerusakan hati irreversibel adalah Hydrazine. Isoniazid
mengalami metabolisme berupa asetilasi menjadi asetilisoniazid, kemudian
dihidrolisis menjadi asetilhidrazin dan asam nikotinik. Asetilhidrazin kemudian
dihidrolisis menjadi hydrazine dan diasetilasi menjadi diasetilhidrazin. Sedangkan
sebagian kecil dari isoniazid langsung mengalami metabolisme menjadi asam
nkikotinik dan hydrazine. Hydrazine mempengaruhi aktivitas sitokrom CYP2E1,

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

38

yaitu sitokrom yang diduga mempengaruhi hepatotoksisitas imbas obat. Sehingga


dengan terinduksinya sitokrom tersebut, produksi hepatotoksin meningkat. Di
samping itu, isoniazid juga menghambat aktivitas dari sitokrom CYP1A2 yang
berperan dalam detoksifikasi isoniazid. Mekanisme toksisitas dari isoniazid terjadi
akibat salah satu atau kedua proses inhibisi ataupun induksi tersebut (Tostmann et al.,
2008).
Metabolisme rifampicin dimulai dari deasetilasi rifampicin

menjadi

deasetilrifampicin, kemudian dihidrolisis menjadi 3-formyl rifampicin. Namun tidak


ada bukti bahwa mekanisme hepatotoksik oleh rifampicin berasal dari metabolitnya.
Walaupun demikian, pemakaian rifampicin menginduksi aktivitas CYP450.
Penggunaan rifampicin bersama isoniazid dapat meningkatkan risiko hepatotoksisitas
(Khadka et al, 2009).
Mekanisme pirazinamid dalam menyebabkan toksisitas belum diketahui
secara jelas. Berdasarkan uji yang dilakukan pada mencit, pirazinamid menghambat
CYP450, khususnya CYP2B, CYP2C, CYP2E1, dan CYP3A. Sedangan untuk
etambutol dan sterptomicin diketahui tidak menyebabkan hepatotoksisitas (Tostmann
et al., 2008).
Faktor-faktor

yang

mempengaruhi kejadian hepatotoksisitas

menurut

Tostmann, et al. (2008) adalah ras, umur, penggunaan alkohol, faktor komorbid
seperti HIV, penyakit hepar, dan status asetilator obat. Dalam penelitian ini, semua
kemungkinan faktor perancu yang mempengaruhi peningkatan SGOT dan SGPT
telah dikendalikan dengan kriteria restriksi. Dengan demikian, peningkatan rata-rata

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

39

kadar transaminase pada pasien kemungkinan besar adalah karena terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT).
Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, didapatkan hasil peningkatan ratarata SGOT dan SGPT yang signifikan. Nilai signifikansi untuk SGOT sebesar p =
0,008 (p < 0,05). Artinya, probabilitas dalam menarik simpulan salah, yaitu tidak ada
peningkatan kadar SGOT sebelum dan sesudah pemberian OAT, adalah 8 kesalahan
dari 1000 kesempatan. Sedangkan nilai signifikansi untuk SGPT adalah sebesar p =
0,000 (p < 0,05). Dengan demikian, probabilitas dalam menarik simpulan salah, yaitu
tidak ada peningkatan kadar SGPT sebelum dan sesudah pemberian OAT, adalah 8
kesalahan dari 1000 kesempatan.
Dengan hasil uji hipotesis tersebut, maka hipotesis kerja (H1) yang berbunyi
ada peningkatan kadar enzim transaminase sebelum dan sesudah pemberian Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) diterima, dan hipotesis nol (H0) yang berbunyi tidak ada
peningkatan kadar enzim transaminase sebelum dan sesudah pemberian Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) ditolak.

commit to user

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kadar
SGOT dan SGPT pada pasien yang diberi terapi Obat Anti Tuberkulosis
(OAT). Peningkatan kadar SGOT dan SGPT telah diuji secara statistik dengan
hasil peningkatan kadar SGOT dan SGPT tersebut signifikan, maka ada
hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar
enzim transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru di RSUD
Temanggung.

B. SARAN
1. Perlunya pemeriksaan kadar enzim transaminase secara berkala, baik
sebelum, saat, maupun sesudah pemberian terapi Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) dengan atau tanpa indikasi, untuk pengobatan yang lebih efektif.
2. Perlunya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan jumlah sampel
yang lebih besar.

40 to user
commit

Anda mungkin juga menyukai