Anda di halaman 1dari 87

JURNAL ILMIAH KEPERAWATAN

Diterbitkan oleh STIKES Hang Tuah Surabaya bekerjasama dengan Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) Propinsi Jawa Timur dan Asosiasi Institusi Pendidikan
Tinggi Tenaga Kesehatan (AIPTINAKES) wilayah Jawa Timur.

Pelindung
dr. H. Moch. Djumhana, Sp.M
Penanggung Jawab
Ns. Nuh Huda, M.Kep, Sp.KMB
Pemimpin Redaksi
Meiana Harfika, S.KM
Sekretaris
Taufan Agung Prasetya, S.Sos
Bendahara
Nenny Andriani, SE
Anggota Redaksi
Ns. Setiadi, M.Kep
Ns. Diyah Arini, M.Kes
Ns. Dhian Satya Rahmawati, M.Kep
Ns. Diyah Sustrami, M.Kes
Lela Nurlela, S.Kp
Promosi dan Distribusi
Ns. Christina Yuliastuti, S.Kep
Ns. Antonius Catur Sukmono, S.Kep
Ns. Ninik Ambar Sari, S.Kep
Jadual Penerbitan
Terbit tiga kali dalam setahun
Penyerahan Naskah
Naskah merupakan hasil penelitian dan kajian pustaka Ilmu Keperawatan yang belum
pernah dipublikasikan/diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun terakhir. Naskah dapat
dikirim melalui e-mail atau diserahkan langsung ke Redaksi dalam bentuk rekaman
Compact Disk (CD) dan print-out 2 eksemplar, ditulis dalam MS Word atau dengan
program pengolahan data yang kompatibel. Gambar, ilustrasi, dan foto dimasukan
dalam file naskah.
Penerbitan Naskah
Naskah yang layak terbit ditentukan oleh Dewan Redaksi setelah mendapat
rekomendasi dari Mitra Bestari. Perbaikan naskah menjadi tanggung jawab penulis dan
naskah yang tidak layak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis
Alamat Redaksi
STIKES Hang Tuah Surabaya
d/a Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Jl. Gadung No. 1 Surabaya
Telp. (031) 8411721, 8404248, 8404248, Fax (031) 8411721

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN


KEPADA :

Prof. Dr. Hj. Rika Soebarniati, dr, S.KM


Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Ketua Umum Assosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Tenaga Kesehatan (AIPTINAKES)
Jawa Timur
Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons)
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Airlangga
Manajer Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga

Dr. Bambang Widjanarko Otok, M.Si


Staf Pengajar dan Kepala Laboratorium Statistika Sosial dan Bisnis Jurusan Statistika
Fakultas MIPA Institut Tekhnologi Surabaya

Ah. Yusuf, S.Kp, M.Kes


Ketua PPNI Provinsi Jawa Timur
Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

Selaku penelaah (Mitra Bestari) dari Jurnal Ilmiah Keperawatan


STIKES Hang Tuah Surabaya

KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Ilmiah
Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya yang memuat hasil penelitian-penelitian
dalam bidang keperawatan telah selesai di cetak.
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat cepat.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi khususnya dalam bidang keperawatan
sangat di tentukan oleh hasil kajian dan penelitian secara ilmiah. Penelitian dalam
bidang keperawatan yang dilakukan dengan baik, cermat dan akurat dimana kemudian
hasilnya disusun dengan sistematika yang benar dan disebarluaskan tentunya menjadi
stimulus terhadap perkembangan ilmu keperawatan itu sendiri.
Bertolak dari pandangan diatas maka STIKES Hang Tuah Surabaya merasa
perlu memberikan wadah bagi para Dosen/Peneliti dalam bidang keperawatan baik
dosen STIKES Hang Tuah sendiri maupun dari dosen luar untuk menyebarluaskan hasil
penelitiannya.
Diharapkan Jurnal Ilmiah Keperawatan yang diterbitkan oleh STIKES Hang
Tuah ini mampu menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan dan
menambah motivasi bagi para Dosen dosen yang lain agar melakukan penelitian.
Atas nama civitas akademika STIKES Hang Tuah Surabaya saya mengucapkan
selamat atas terbitnya Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya,
semoga Jurnal ini bermanfaat bagi kita semua.

Surabaya, Desember 2011


STIKES Hang Tuah Surabaya
Ketua,

dr. Moch. Djumhana, Sp.M


Kolonel Laut (Purn)

DAFTAR ISI
Jurnal Ilmiah Keperawatan.....................................................................................i
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan.................................................................ii
Kata Pengantar........................................................................................................iii
Daftar Isi .................................................................................................................vii
Persepsi Perawat Terhadap Pengkajian Resiko Luka Tekan
Metode Braden Dan Waterlow Di Unit Perawatan Bedah
Pujiarto...................................................................................................................1
Hubungan Lama Menstruasi Terhadap Perubahan HB Mahasiswi
Stikes Hang Tuah Surabaya Yang Tinggal Di Asrama
Moch. Djumhana ....................................................................................................11
Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Otot Terhadap Kecukupan Tidur
Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budhi Luhur Yogyakarta
Merry Kristiana, Abdul Majid, Thomas Aquino E. Amigo......................................21
Hubungan Antara Komunikasi Teraupetik Perawat Dan Tingkat Kecemasan
Pada Klien Pre Operasi Di Ruang Pre Med ICU Anestesi RUMKITAL
Dr. Ramelan Surabaya
Nuh Huda................................................................................................................27
Kualitas Hidup Perempuan Yang Mengalami Histerektomi Serta
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Di Wilayah DKI Jakarta:
Study Grounded Theory
R. Khairiyatul Afiyah, Setyowati , Imalia Dewi Asih..............................................34

Pemberian Jambu Merah Terhadap Peningkatan Trombosit


Pada Anak DHF
Setiadi .....................................................................................................................42
Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah Terhadap Proses Penyembuhan
Ulkus Diabetik Di Wilayah Banten Tahun 2010
Indah Wulandari, Krisna Yetti, Rr.Tutik Sri Hayati...............................................52
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Kanker Payudara
Pada Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dalam Deteksi Dini (SADARI)
Dya Sustrami ..........................................................................................................61

Karakteristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Inap


Penyakit Dalam Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang
Meiana Harfika.......................................................................................................73

PERSEPSI PERAWAT TERHADAP PENGKAJIAN RESIKO LUKA


TEKAN METODE BRADEN DAN WATERLOW
DI UNIT PERAWATAN BEDAH
Pujiarto

Abstract : The focus of this study how the nurses perception in assessment risk of the pressure
ulcers Braden and Waterlow Method at surgery care unit Dr. Hi. Abdul Moeloek Hospital
Lampung Province.This research uses pre-experiment postest only design with 30 nurses. They
have been given training about study of the pressure ulcers risks using Braden and Waterlow
Method, before answered the questionnaire. Perception base on the Braden Method that is
perceived difficult are sensory perception and humidity, while perception according to
Waterlow Method description and category score are ratio weight to high, neurogical deficit,
drugs, skin type, and risk area which is seen. The statistical test result by Chi square show
p value = 0.201 with = 0.05, therefore it can be concluded that there is no differentiation in
the nurses perceptions base on Braden and Waterlow Methods. Both are perceived as easy.
Key words : Nurse perception, assesment risk pressure ulcer, Braden Method, Waterlow
Method, surgical care unit.

Latar Belakang
Luka tekan (Pressure Ulcers)
adalah kerusakan pada kulit pada posisi
tidur yang lama yang disebabkan oleh
tekanan, perlukaan dan gesekan atau
dari gabungan penyebab tersebut
(European Pressure Ulcer Advisory
Panel, 1998 dalam Kottner, 2009).
Langkah utama pencegahan terjadinya
luka tekan adalah keakuratan
pengkajian resiko terjadinya luka tekan
sehingga perawat dapat menetapkan dan
melaksanakan
intervensi
untuk
pencegahan (Bergstrom, Demuth, &
Braden, 1987 dalam Kottner 2009).
Biaya yang dibutuhkan untuk
penyembuhan luka tekan sangat tinggi,
dikarenakan perawatan dirumah sakit
yang lama, yang tentunya memiliki

konsekuensi sosial dan ekonomi


bagi
seluruh
keluarga
pasien,
kemungkinan terburuk adalah pasien
dapat meninggal karena septikemia
(Morison, 2004). Berdasarkan hasil
survey di Amerika Serikat biaya yang
dibutuhkan untuk perawatan pasien
yang menderita luka tekan berkisar
antara $ 500 400.000 ( Rp. 5000.000
400.000.000 ), jumlah ini bervariasi
tergantung dari derajat luka tekan dan
komplikasi yang dialami pasien (Curtis,
Allman & Hill, 2007). Sedangkan biaya
yang dibutuhkan untuk tindakan
pencegahan luka tekan tidak mencapai
setengah dari biaya yang dipakai untuk
mengobati luka tekan tersebut. Pasien
yang mengalami luka tekan dapat
menuntut pertanggung jawaban dari
rumah sakit karena kelalaian dalam
perawatan pasien, ganti rugi 100.000
dapat diberikan kepada seorang
1

penuntut yang dikabulkan tuntutannya


(Silver, 1987 dalam Morison, 2004).
Luka tekan merupakan masalah
yang sering terjadi di rumah sakit di
Amerika Serikat yaitu berkisar 3 11%
pada unit perawatan akut dan 24% pada
unit perawatan jangka panjang (Ayello,
2003). Menurut Port (2005, dalam Le
Mone 2008) insiden luka tekan di
rumah sakit mencapai 8% dan insiden
luka tekan di unit perawatan jangka
panjang berkisar 2,4 23%. Kejadian
luka tekan pada pasien yang dirawat di
ruang ICU rumah sakit di Pontinak
mencapai
33%
(Suriadi,
2007),
kemudian angka kejadian luka tekan
periode November sampai dengan
Desember 2009 di Rumah Sakit Umum
daerah Dr. Hi. Abdul Moeloek
(RSUDAM) Propinsi Lampung pada
unit perawatan bedah : Ruang mawar
(bedah wanita 50%, Ruang gelatik
(bedah orthopedic) 48%, dan ruang
kutilang (bedah pria) 12,8%.
Identifikasi pasien yang beresiko
tinggi mengalami luka tekan sangat
penting untuk
efektifitas
dalam
penatalaksanaan luka tekan karena
sangat menentukan strategi
dan
tindakan yang digunakan dalam
pencegahan terjadinya luka tekan.
Untuk mendukung pengkajian resiko
luka tekan diharapkan menggunakan
panduan pengkajian dengan skala yang
direkomendasikan untuk
dapat
diaplikasikan pada praktikal klinik
(Stechmiller et al., 2008).
Metode pengkajian resiko luka
tekan yang sering digunakan antara lain
adalah metode Braden dan Waterlow.
Metode
waterlow
pertama
kali
diperkenalkan di Inggris tahun 1985,
terdiri dari 10 item yaitu : jenis kelamin
dan umur, perbandingan bentuk/berat
badan dan tinggi badan, kontinen atau

eliminasi, resiko khusus/malnutrisi


jaringan, mobilitas, deficit neurologis,
obat-obatan, jenis kulit dan daerah
resiko yang terlihat, bedah atau trauma
mayor, nafsu makan. Setiap item
mempunyai nilai antara 0 sampai
dengan 8 total score antara 2 sampai
dengan 69, kesimpulan dari penilaian
bila score diatas 10 resiko , score
diatas 15 resiko tinggi, dan score
diatas 20 sangat resiko tinggi
(Waterlow, 1985). Metode waterlow
dirancang pertama kali untuk upaya
menyempurnakan skala Norton dengan
memasukkan lebih banyak parameter
didalamnya antara lain memasukkan
factor nutrisi, pengkajian tipe kulit,
predisposisi penyakit, dan gangguan
kardiovaskuler, yang dapat ikut
mendorong terjadinya iskemia jaringan
(Morison , 2004).
Metode Braden pertama kali
diperkenalkan di Amerika serikat tahun
1987 terdiri dari 6 item yaitu : persepsi
sensori, kelembaban, aktivitas,
mobilitas, nutrisi, gesekan. Setiap item
mempunyai nilai antara 1 sampai
dengan 4 total score antara 6 sampai
dengan 23, kesimpulan dari penilaian
bila score 18-15 resiko ringan , score
14-13 resiko sedang, score 12-10
resiko tinggi dan score 9 atau kurang
sangat beresiko
( Ayello dan Braden, 2002 ).
.
Berdasarkan beberapa hasil
penelitian tentang validitas instrumen
pengkajian resiko luka tekan antara lain
untuk skala Braden diruang ICU
mempunyai sensitivitas 83% dan
spesifitas 90% dan di nursing home
mempunyai sensitivitas 46% dan
spesifitas 88% (Bergstrom et al., 1994
dalam Bell J, 2009), sedang di unit
orthopepedic mempunyai sensitivitas
64% dan spesifitas 87% (Langemo et
al., 1991 dalam Bell J, 2009), dan di

unit Cardiothorasic
mempunyai
sensitivitas 73% dan spesifitas 91%
(Barnes et al., 1993 dalam Bell J, 2009).
Skala
Waterlow
mempunyai
sensitivitas 73% dan spesifitas 38%
(Smith, 1989 dalam Bell J, 2009). Skala
Norton di unit orthopedic mempunyai
sensitivitas 50% dan spesifitas 31%
(Smith, 1989 dalam Bell J, 2009).
Instrumen pengkajian resiko
luka tekan dengan metode Braden dan
Waterlow merupakan alat yang baru,
sebagai alat yang baru digunakan
adanya kecanggungan penggunaannya
adalah hal yang mungkin dapat terjadi
dan kondisi tersebut dapat menurunkan
efektifitas alat tersebut, sehingga
mendorong peneliti untuk meneliti
bagaimana penilaian perawat terhadap
pengkajian resiko luka tekan dengan
metode Braden dan Waterlow
pada
unit perawatan bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Dr, Hi. Abdul Moeloek
Propinsi Lampung.
Tujuan penelitian adalah untuk
mengidentifikasi
persepsi
perawat
terhadap pengkajian resiko luka tekan
Metode
Braden
dan
Waterlow,
Mengidentifikasi persepsi perawat
terhadap deskripsi kategori pengkajian
resiko luka tekan
Metode Braden
danWaterlow, Mengidentifikasi persepsi
perawat terhadap penetapan skor pada
setiap butir kategori dan skor akhir
pengkajian resiko luka tekan Metode
Braden dan Waterlow, Mengidentifikasi
perbedaan persepsi perawat terhadap
pengkajian resiko luka tekan Metode
Braden dan Waterlow.

Bahan dan Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan
desain pra-eksperimen postest only
design. Dalam rancangan ini perlakuan
atau intervensi yang dilakukan (Xi),
kemudian
dilakukan
pengukuran
observasi atau postest (Oii). Rancangan
ini sering juga disebut The one shot
case study, untuk meneliti persepsi
perawat terhadap pengkajian resiko luka
tekan Metode Braden dan Waterlow.
Perawat yang bekerja diunit perawatan
bedah RSUDAM berjumlah 60 perawat
dan yang memenuhi kriteria inklusi
penelitian adalah 54 perawat, untuk
mengambil 30 responden peneliti
menggunakan tekhnik pengambilan
sampel simple random sampling yaitu
dengan cara mengundi kelima puluh
empat perawat dengan menuliskannya
kedalam kertas dan digulung kemudian
dimasukkan kedalam gelas yang
tertutup kemudian dikeluarkan sebanyak
30, kemudian 30 perawat yang terambil
dijadikan sampel pada penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Hi.
Abdul Moeloek Propinsi Lampung yang
merupakan rumah sakit daerah di
Propinsi Lampung. Penelitian dilakukan
di unit perawatan penyakit bedah dari
tanggal 3 Mei 5 Juni 2010.
Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan
2
jenis
lembar
pengumpulan data dalam bentuk
kuisioner yaitu : Kuisioner 1 : Tentang
persepsi perawat terhadap Metode
Braden, yaitu berisi pertanyaan tentang
persepsi tentang deskripsi kategori,
menilai skor, dan menilai skor akhir dan
kesimpulan yang bersisi 13 pertanyaan.
Kuisioner 2 : Tentang persepsi perawat
terhadap Metode Waterlow, yaitu berisi
pertanyaan tentang persepsi tentang
deskripsi kategori, menilai skor, dan

menilai skor akhir dan kesimpulan yang


berisi 21 pertanyaan.
Analisis yang digunakan pada
penelitian adalah analisis univariat
digunakan
untuk
menggambarkan
distribusi frekuensi dan proporsi dari
persepsi perawat terhadap Metode
Braden dan Waterlow. Analisis bivariat
dengan menggunakan Chi Square untuk
mengetahui apakah ada perbedaan
persepsi perawat terhadap pengkajian
resiko luka tekan Metode Braden dan
Waterlow.

Hasil
Penelitian
Pembahasan

dan

3.1. Persepsi perawat terhadap Deskripsi


kategori Metode Braden
Tabel 3.1 Distribusi Persepsi perawat terhadap
deskripsi kategori Metode Braden

Terlihat pada tabel 3.1 persepsi perawat


terhadap deskripsi kategori Metode
Braden, persepsi persepsi terhadap
deskripsi kategori yang dipersepsikan
sulit oleh perawat adalah kategori
persepsi sensori, yaitu persepsi sensori
dipersepsikan sulit oleh 16 responden
(53,3%) dan yang mempesepsikan
mudah adalah 14 responden (46,7%),
sedangkan kategori kelembaban, nutrisi,
mobilitas, aktifitas, dan gesekan lebih
dari 50% responden mempersepsikan
mudah.
Menurut teori luka tekan dapat
disebabkan karena pasien tidak mampu
merasakan atau mengkomunikasikan
nyeri yang dirasakan akibat tekanan
cenderung untuk mengalami luka tekan,
pada pasien yang mengalami gangguan
status mental karena stroke, trauma
kepala,
penyakit
otak
organic,
Alzheimer desease, atau masalah
kognitif lainnya beresiko untuk
terjadinya luka tekanan namun mereka
tidak bisa mengatakan pada orang lain

untuk membantu mereka merubah


posisi bahkan ada yang tidak mampu
merasakan
nyeri
atau
tekanan
(Ignatavicius dan Workman, 2006).
Menurut Stuart dan Sundeen (1995),
ada lima faktor yang mempengaruhi
persepsi, yaitu : (1) Perhatian yang
selektif, (2) Ciri-ciri rangsang atau
stimulus, (3) Nilai-nilai dan kebutuhan
individu, (4) Pengalaman terdahulu, (5)
Kebutuhan dan status emosional.
Persepsi sulit 53,3% terhadap
kategori sensori persepsi dikarenakan
perawat
sulit
untuk
melakukan
pengkajian rasa nyeri pasien, pasien
tidak bisa mengkomunikasikannya
kepada perawat, factor lain bisa karena
pengalaman
terhadap
pengkajian
persepsi sensori karena dari tiga
ruangan, hanya satu ruangan yang
banyak
pasiennya
mengalami
penurunan kesadaran karena cidera
kepala
yaitu
diruang
bedah
N Deskripsi kategori
o Metode Braden

Persepsi
perawat

1 Deskripsi kategori Persepsi


sensori
2 Deskripsi kategori
Kelembaban
3 Deskripsi kategori Nutrisi

Sulit
Mudah
Sulit
Mudah
Sulit
Mudah
Sulit
Mudah
Sulit
Mudah
Sulit
Mudah

4 Deskripsi kategori
Mobilitas
5 Deskripsi kategori
Aktifitas
6 Deskripsi kategori
Gesekan

Fre
kuensi
(n)
16
14
14
16
2
28
1
29
2
28
3
27

Pro
sentase
(%)
53,3
46,7
46,7
53,3
6,7
93,3
3,3
96,7
6,7
93,3
10
90

pria/kutilang.
3.2 Persepsi perawat terhadap Skor kategori
Metode Braden
Tabel
3.2Distribusi Persepsi perawat
terhadap skor kategori Metode Braden
No

Skor kategori
Metode Braden

Skor kategori
Persepsi sensori
Skor kategori
Kelembaban
Skor kategori
Nutrisi
Skor kategori
Mobilitas

2
3
4

Persep
si
peraw
at
Sulit
Mudah
Sulit
Mudah
Sulit
Mudah
Sulit
Mudah

Frekue
nsi
(n)

Prosenta
se (%)

18
12
17
13
2
28
1
29

60
40
56,7
43,3
6,7
93,3
3,3
96,7

5
6

Skor kategori
Aktifitas
Skor kategori
Gesekan

Sulit
Mudah
Sulit
Mudah

1
29
2
28

3,3
96,7
6,7
93,3

Terlihat pada tabel 3.2 persepsi perawat


terhadap skor kategori Metode Braden,
persepsi
skor
kategori
yang
dipersepsikan sulit adalah persepsi
sensori dan kelembaban. Persepsi
terhadap skor kategori persepsi sensori
dipersepsikan sulit oleh 18 responden
(60%) dan dipersepsikan mudah oleh 12
responden (40). Persepsi skor kategori
kelembaban dipersepsikan sulit oleh 17
responden (56,7%) dan dipersepsikan
mudah oleh 13 responden (43,3%),
sedangkan skor kategori lainnya
dipersepsikan mudah oleh perawat.
Skor kategori persepsi sensori
adalah
1 Tidak dapat merasakan
nyeri, 2 Gangguan sensori pada
setengah
permukaan
tubuh,
3
Gangguan sensori pada 1 atau 2
ekstremitas, 4 Tidak ada gangguan
sensori dipersepsikan cukup sulit oleh
perawat karena pasien mungkin tidak
bisa
mengkomunikasikan
kepada
perawat, beberapa factor lain yang dapat
mempengaruhi persepsi perawat antara
lain perhatian terhadap kategori,
kurangnya pengalaman dalam menilai
persepsi sensori, atau latar belakang
pendidikan perawat.
Skor
kategori
kelembaban
adalah 1 Selalu terpapar oleh keringat
atau urine (kulit basah), 2 Kulit
lembab,
3
Kulit kadang-kadang
lembab, 4 Kulit kering. Penetapan
skor kelembaban dipersepsikan perawat
karena sulit membadakan antara kulit
lembab dan kulit kadang-kadang
lembab, dari wawancara dengan
beberapa responden perawat sulit saat
membedakan pada skor kulit lembab
dan skor kulit kadang-kadang lembab
hal ini dikarenakan pengalaman perawat

dalam mengkaji
pasien.

kelembaban

kulit

3.3 Persepsi perawat terhadap Skor akhir


dan kesimpulan Metode Braden
Tabel 3.3 Distribusi Persepsi perawat terhadap
Metode Braden menetapkan skor akhir dan
kesimpulan
No Menetapkan
Persepsi
Frek
Pro
skor
perawat
uensi senta
akhir dan
(n)
se
kesimpulan
(%)
Metode Braden
1
Menetapkan skor
Sulit
1
3,3
akhir dan
Mudah
29
96,7
kesimpulan

Terlihat pada tabel 3.3 persepsi perawat


dalam menetapkan skor akhir dan
kesimpulan Metode Braden dipersepsi
mudah oleh perawat yaitu 96,7%.
3.4 Persepsi perawat terhadap Deskripsi
kategori Metode Waterlow
Tabel 3.4Distribusi Persepsi perawat terhadap
deskripsi kategori Metode Waterlow
No Deskripsi kategori
Persepsi
Fre
Metode Waterlow
perawat
kue
nsi
(n
)
1
Deskripsi kategori
Sulit
3
Jenis kelamin dan
Mudah
27
umur
2
Deskripsi kategori
Sulit
18
Perbandingan berat
Mudah
12
badan terhadap tinggi
badan
3
Deskripsi kategori
Sulit
11
Inkontinensia
Mudah
19
4
Deskripsi kategori
Sulit
5
Mobilitas
Mudah
25
5
Deskripsi kategori
Sulit
14
Resiko
Mudah
16
khusus/malnutrisi
jaringan
6
Deskripsi kategori
Sulit
16
Defisit neurologis
Mudah
14
7
Deskripsi kategori
Sulit
16
Obat - obatan
Mudah
14
8
Deskripsi kategori
Sulit
17
Jenis kulit dan daerah Mudah
13
resiko yang terlihat

Prose
ntase
(%)

10
90
60
40

36,7
63,3
16,7
83,3
46,7
53,3

53,3
46,7
53,3
46,7
56,7
43,3

10

Deskripsi kategori
Bedah atau trauma
mayor
Deskripsi kategori
Nafsu makan

Sulit
Mudah

8
22

Sulit
Mudah

4
26

Terlihat pada tabel 3.4 diatas persepsi


perawat terhadap deskripsi kategori
Metode Waterlow, kategori yang
dipersepsikan sulit oleh perawat adalah
perbandingan berat badan terhadap
tinggi badan, deficit neurologis, obatobatan, dan jenis kulit dan daerah resiko
yang terlihat. Perbandingan berat badan
terhadap tinggi badan dipersepsikan
oleh 18 responden (60%) dan yang
mempersepsikan mudah 12 responden
(40%), deficit neurologis dipersepsikan
sulit oleh 16 responden (53,3%) dan
yang mempersepsikan mudah 14
responden
(46,7%),
obat-obatan
dipersepsikan sulit oleh 16 responden
(53,3%) dan yang mempersepsikan
mudah 14 responden (46,7%), jenis
kulit dan daerah resiko yang terlihat
dipersepsikan sulit oleh 17 responden
(56,7%) dan yang mempersepsikan
mudah
13
responden
(43,3%),
sedangkan
kategori
lainnya
dipersepsikan mudah oleh perawat.
Menurut Vangilder et al., (2008)
melakukan penelitian untuk melihat
hubungan antara prevalen luka tekan,
indek masa tubuh dan berat badan
survey ini dilakukan dengan melihat
laporan kejadian luka tekan di Amerika
Serikat tahun 2006-2007 hasil penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi luka
tekan lebih tinggi pada pasien dengan
indek masa tubuh rendah, dan juga pada
pasien yang berat badan kurang dan
berat badan lebih.
Kategori perbandingan berat
badan
terhadap
tinggi
badan
dipersepsikan sulit oleh perawat karena
untuk mengetahui perbandingan berat
badan terhadap tinggi badan harus

menghitung terlebih dahulu sedangkan


alat hitung seperti kalkulator tidak
tersedia di ruangan. Hal lain bisa karena
13,3
perawat dan tingkat
86,7 pengalaman
pendidikan.
26,7
73,3

Kategori deficit neurologis


dipersepsikan sulit oleh perawat karena
dalam pengkajian perawat kurang
memahami kondisi pasien yang
mengalami
gangguan
neurologis
terutama pada ruang bedah wanita dan
ruang orthopedic yang sedikit pasiennya
mengalami deficit neurologis.
Kategori
obat-obatan
dipersepsikan sulit oleh perawat
dimungkinkan karena dalam pengkajian
perawat kurang memahami jenis obatobatan yang diberikan ke pasien karena
obat-obatan dalam instrument ini jarang
diberikan pada pasien di unit perawatan
ini.
Kategori Jenis kulit dan daerah
resiko yang terlihat dipersepsikan sulit
oleh perawat dimungkinkan karena
kesulitan
dalam
melihat
atau
membedakan
jenis
kulit
dan
kelembabannya disini perawat harus
melihat dan mempalpasi langsung kulit
pasien.
3.5 Persepsi perawat terhadap Skor kategori
Metode Waterlow
Tabel 3.5 Distribusi Persepsi perawat terhadap
Skor kategori Metode Waterlow
No Skor kategori
Persepsi Fre
Metode Waterlow
perawat kue
nsi
(n)
1
Skor kategori Jenis
Sulit
4
kelamin dan umur
Mudah
26
2
Skor kategori
Sulit
17
Perbandingan berat
Mudah
13
badan terhadap
tinggi badan
3
Skor kategori
Sulit
12
Inkontinensia
Mudah
18
4
Skor kategori
Sulit
4

Pro
sent
ase
(%)
13,3
86,7
56,7
43,3

40
60
13,3

6
7
8

10

Mobilitas
Skor kategori
Resiko
khusus/malnutrisi
jaringan
Skor kategori
Defisit neurologis
Skor kategori Obat
- obatan
Skor kategori Jenis
kulit dan daerah
resiko yang terlihat
Skor kategori
Bedah atau trauma
mayor
Skor kategori Nafsu
makan

Mudah
Sulit
Mudah

26
13
17

86,7
43,3
56,7

Sulit
Mudah
Sulit
Mudah
Sulit
Mudah

17
13
16
14
18
12

56,7
43,3
53,3
46,7
60
40

Sulit
Mudah

9
21

30
70

Sulit
Mudah

4
26

13,3
86,7

Terlihat pada tabel 3.5 diatas persepsi


perawat terhadap skor kategori Metode
Waterlow, persepsi terhadap skor
kategori yang dipersepsikan sulit oleh
perawat adalah perbandingan berat
badan terhadap tinggi badan, deficit
neurologis, obat-obatan, dan jenis kulit
dan daerah resiko yang terlihat.
Perbandingan berat badan terhadap
tinggi badan dipersepsikan oleh 17
responden
(56,7%)
dan
yang
mempersepsikan mudah 13 responden
(43,3%),
deficit
neurologis
dipersepsikan sulit oleh 17 responden
(56,7%) dan yang mempersepsikan
mudah 13 responden (43,3%), obatobatan dipersepsikan sulit oleh 16
responden
(53,3%)
dan
yang
mempersepsikan mudah 14 responden
(46,7%), jenis kulit dan daerah resiko
yang terlihat dipersepsikan sulit oleh 18
responden
(60%)
dan
yang
mempersepsikan mudah 14 responden
(40%),, sedangkan skor kategori lainnya
dipersepsikan mudah oleh perawat.
Skor kategori perbandingan berat badan
terhadap tinggi badan adalah Rata rata
( 20 24,9) (0), Diatas rata rata (25
29,9) (1), Obesitas (>30) (2),
Dibawah rata rata (<20) (3).
Penentuan skore perbandingan berat
badan terhadap tinggi badan adalah
dipersepsikan cukup sulit oleh perawat

karena dalam penentuan skornya


perawat harus menghitung terlebih
dahulu perbandingan berat badan tinggi
badan pasien.
Skor kategori deficit neurologis adalah
Diabetes, MS, CVA, Motorik/sensorik
paraplegi (4-6). Penentuan skore deficit
neurologis adalah dipersepsikan cukup
sulit oleh perawat karena dalam
penentuan skornya perawat harus
menentukan kapan memberikan skor
nilai 4-6 pada kategori tersebut.
Skor kategori obat-obatan adalah pasien
mendapat terapi Sitotoksik, steroid, anti
inflamasi, anti koagulan (4). Penentuan
skore obat-obatan adalah dipersepsikan
cukup sulit oleh perawat karena dalam
penentuan skornya perawat harus
memahami obat-obatan yang diberikan
ke pasien.
Skor kategori Jenis kulit dan daerah
resiko yang terlihat adalah Sehat
(0), Tipis (1), Kering (1), Edema (1),
Lembab atau demam (1), Pucat (Luka
tekan stage 1) (2), Luka tekan stage 2,
3, atau 4 (3). Penentuan skore kulit dan
daerah resiko yang terlihat adalah
dipersepsikan cukup sulit oleh perawat
karena dalam penentuan skornya
perawat harus memahami kondisi
pasien dan skor setiap item tidak
berurutan.
3.6 Persepsi perawat terhadap Skor akhir
dan kesimpulan Metode Waterlow
Tabel 3.6 Distribusi Persepsi perawat terhadap
Metode Waterlow dalam menetapkan skor akhir
dan kesimpulan
No Menetapkan
Persepsi Frek Prose
skor
perawat uensi ntase
akhir dan
(n)
(%)
kesimpulan
Metode
Waterlow
1
Menetapkan
Sulit
12
40
skor
Mudah
18
60
akhir dan
kesimpulan

Jum
lah

Terlihat pada table 3.6 diatas persepsi


perawat dalam menetapkan skor akhir
dan kesimpulan Metode Braden
dipersepsi mudah oleh perawat yaitu
60%.
Persepsi perawat terhadap Metode
Braden dan Waterlow
Tabel 3.7 Distribusi Persepsi perawat terhadap
Metode Braden dan Waterlow
No Metode
Persepsi
Frek Prosen
Pengkajian
perawat
uensi
tase
(n)
(%)
1
Metode
Sulit
12
40
Braden
Mudah
18
60
2
Metode
Sulit
13
43,3
Waterlow
Mudah
17
56,7

3.8 Persepsi perawat terhadap


perbedaan Metode Braden dan
Waterlow
Tabel 3.8 Distribusi perbedaan persepsi perawat
terhadap Metode Braden dan Waterlow
Persepsi Waterlow
Total
OR
Persep
(95
Sulit
Mudah
si
Braden n
%
% n
%
n
%
CI)

Suli
t

Mu
dah

10

25

75

12

100

55,6

44,4

18

100

43,3

17

56,7

30

100

Terlihat pada tabel 3.8 hasil analisis


perbedaan persepsi Metode Braden dan
Waterlow diperoleh bahwa Metode
Braden dan Metode Waterlow samasama dipersepsikan mudah oleh perawat
unit perawatan bedah. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,201 maka dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan
persepsi perawat terhadap Metode
Braden dan Waterlow. Dari hasil
analisis diperoleh pula nilai OR = 0,267,
artinya persepsi perawat terhadap
Metode Braden mempunyai peluang
0,267 kali lebih mudah dibandingkan
dengan Metode Waterlow.

3.7

Terlihat pada tabel 3.7 persepsi perawat


terhadap
Metode
Braden
yang
mempunyai persepsi sulit adalah 12
responden (40%) sedangkan yang
mempunyai persepsi mudah adalah 18
responden (60%). Persepsi perawat
terhadap Metode Waterlow yang
mempunyai persepsi sulit adalah 13
responden (43,3%) sedangkan yang
mempunyai persepsi mudah adalah 17
responden (56,7%). Metode Braden dan
Metode Waterlow sama sama
dipersepsikan mudah oleh perawat di
unit perawatan bedah.

13

Implikasi Hasil Penelitian


Hasil penelitian ini sangat bermanfaat
bagi perawat di unit perawatan bedah
untuk melakukan pengkajian resiko luka
tekan pada pasien-pasien yang beresiko
mengalami
luka
tekan
dengan
menggunakan metode Braden maupun
Waterlow,
metode
Braden
dipersepsikan relative lebih mudah
dibanding dengan metode Waterlow,
metode braden yang dipersepsikan lebih
mudah oleh perawat dapat menjadi
standar dalam melakukan pengkajian
resiko luka tekan khususnya di unit
perawatan bedah. Selain itu, hasil
penelitian ini juga dapat digunakan
untuk mengembangkan ilmu dalam
bidang
keperawatan,
khususnya
P masalah pengkajian resiko luka tekan.
va
lu Simpulan
e

perawat terhadap Metode


dan Waterlow sama-sama
0,05 2 dipersepsikan mudah oleh perawat,
diperoleh nilai p value = 0,201 dengan

= 0,05 maka dapat disimpulkan tidak


1,32
ada perbedaan persepsi perawat
0,26

Persepsi

0, Braden

terhadap Metode Braden dan Waterlow,


kedua metode sama-sama dipersepsikan
mudah oleh perawat Dalam penelitian
ini ada beberapa deskripsi kategori dan
skor kategori dari masing masing
metode pengkajian resiko luka tekan
yang dipersepsikan sulit oleh perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode
sampel
pada
penelitian
kesehatan. Depok : Jurusan
Biostatistik dan Kependudukan
FKM UI. Tidak dipublikasikan.
Ayello,

E.A. (2003). Predicting


pressure ulcer risk. Diambil dari
:
http://www.medscape.com/view
article/450041.
tanggal
20
Januari 2010

Craven, F.R, & Hirnle, J.C. (2007).


Fundamentals
of
nursing:
Human health and function.(5 th
ed). Philadelphia: Lippincott
william & Wilkins.
Curtis, A.R., Allman, R., & Hill, Ci.
(2007).
Pressure
ulcer
prevention
and
treatment.
Diambil dari :
http://www.alabamacme.uab.edu
/courses/geriatric/pressure
ulcer/D0416 G.html. tanggal 22
Januari 2010.
Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L.
(2006).
Medical
surgical
nursing ; Critical thinking for
collaborative care. 5th edition.
Philadelphia ; W.B. Sounders
Company.
Knox,

Bergstrom, N., Demuth, Pj., & Braden.


Bj. (1988). A clinical trial of the
braden scale for predicting
pressure sore risk. Diambil dari
:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pu
bmed/3594150
tanggal
21
Januari 2010

D.M., (1999). Care body


temperature, skin temperature
and interface pressure :
Relationship to skin integrity in
nursing home resident. Diambil
dari
:
http://findarticles.com/p/articles/
mi_9a
3964/13_199906/oi_48857776.
tanggal 23 Januari 2010

Braden. Bj., (2001). Braden scale for


predicting pressure sore risk.
Diambil
dari
:
http://rgp.toronto.on.ca/toronto
best practice/bradenscale for
predictingpressuresorerisk.pdf.
tanggal 20 Januari 2010

Kottner, J., Dassen. T., Tannen, A.,


(2008). Inter- and intrarater
reliability of the Waterlow
pressure sore risk scale: A
systematic review. Diambil dari :
http://www.sciencedirect.com.
Tanggal 20 Januari 2010

Bryant. R.A. (2000). Acute & chronic


wounds. Nursing management.
2nd edition. USA. Mosby Inc.

Kottner, J., Dassen. T., (2009). Pressure


ulcer risk assessment in critical
care: Interrater reliability and
validity studies of the Braden
and Waterlow scales and
subjective ratings in two
intensive care units Diambil dari

www. Elsevier.com/ijns Tanggal


20 januari 2010.
Le Mone, P., & Burke,
Medical surgical
Critical thinking in
4th edition. USA
prentice hall

K. (2008).
nursing ;
client care.
; Pearson

Morison. J., (2004). Manajemen luka.


Edisi 1. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Potter.

P.,
Perry.
A.,
(1997)
Fundamental of nursing :
concepts, Process, and Practice.
(4 th ed). St. Louis. CV. Mosby Year
Company
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L.,
& Cheever, K.H., (2008). Text
book of medical surgical nursing9
; Brunner & Sudarths. 11th
edition. Philadelphia ; Lippincott
Williams & Wilkins

Staf Pengajar Akademi Keperawatan


Panca Bhakti, Bandar Lampung

HUBUNGAN LAMANYA MENSTRUASI TERHADAP


PERUBAHAN HB
MAHASISWI STIKES HANG TUAH SURABAYA
YANG TINGGAL DI ASRAMA
Moch. Djumhana
Abstract: Woman's monthly menstrual period, menstrual blood expenditure experience by
women is different. The amount of menstrual blood out of every woman is generally between
25-60 ml, it can affect the change of Hb value, it is checked prior to menstruation and post Hb
menstruation. The purpose of this study is investigate the changes of Hb on the respondents
before and after menstruation on Hang Tuah Surabaya STIKES students who live in a
dormitory.
The research design uses a type of observational analytic cohort, the population is students
STIKES Hang Tuah who live in the dormitory, by a probability sampling technique that is used
simple random sampling, with a total sample of 42 respondents. The measurement use in this
study are observation sheets and Hb-meter. Pearsons test is used for analysis with meaning
degree P value < 0,005.
The results obtained shows that the duration of menstruation at almost half the respondents is 7
days with 1 change Hb. The result has shows that it is no significant relationship between
duration of menstruation with a change in Hb with a value of 0.000 ( <0.005).
The duration of menstruation affects Hb recommend for menstruating women to consume a
nutrious food so Hb level remains normal.

Keywords: Menstruation, Haemoglobin.

Latar Belakang
Menstruasi adalah pelepasan
dinding rahim (endometrium) yang
disertai dengan perdarahan dan terjadi
setiap bulannya kecuali pada saat
kehamilan. Menstruasi yang terjadi
terus menerus setiap bulannya disebut
sebagai
siklus
menstruasi
(BiohealthIndonesia, 2007). Menstruasi
biasanya dimulai antara umur 10 dan 16
tahun, tergantung pada berbagai faktor,
termasuk kesehatan wanita, status
nutrisi, dan berat tubuh relatif terhadap
tinggi tubuh. Jumlah darah menstruasi
yang keluar pada setiap wanita berbedabeda namun umumnya antara 25-60 ml
(Dita Andira, 2010:30).

Wanita yang berumur kurang dari pada


35 tahun akan kehilangan darah lebih
banyak berbanding wanita yang
berumur 35 tahun ke atas (Aulia, 2009:
23). Dari semua golongan wanita
terutama remaja mempunyai resiko
paling tinggi menderita anemia, karena
pada masa ini terjadi peningkatan
kebutuhan serta adanya menstruasi
(Tarwoto, Wasdinar, 2007: 12).
Perkiraan prevelensi anemia di
Indonesia menurut Husaini, dkk dalam
buku asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan sistem hematologi
(Wiwik Handayani, Andi Sulistyo
Haribowo, 2008: 38). Anak prasekolah
30-40%, anak usia sekolah 25-35%,
dewasa tidak hamil 30-40%, hamil 50-

70%, Laki-laki dewasa 20-30%, pekerja


berpenghasilan rendah 30-40%. Untuk
angka prevelensi anemia di dunia sangat
bervariasi, bergantung pada geografi
dan taraf sosial ekonomi masyarakat.
Dari hasil studi pendahuluan pada
mahasiswi STIKES Hang Tuah
Surabaya tentang hubungan lamanya
menstruasi terhadap perubahan Hb
diketahui dari 4 orang mahasiswa yang
mengalami menstruasi pada bulan
januari (2010), didapatkan hasil: Nn.S
saat menstruasi Hb 12,3g/dl dan setelah
menstruasi Hb12,2g/dl, Nn.Il saat
menstruasi Hb 11g/dl dan setelah
menstruasi Hb11g/dl, Nn. Dm saat
menstruasi Hb 10g/dl dan setelah
menstruasi Hb 9,5g/dl, dan Nn. M saat
menstruasi Hb 10g/dl dan setelah
menstruasi Hb 9g/dl, dan mereka ratarata mengalami penurunan Hb pada saat
menstruasi.
Menstruasi atau haid mengacu
kepada pengeluaran secara periodik
darah dan sel-sel tubuh dari vagina yang
berasal dari dinding rahim wanita.
Menstruasi merupakan bagian dari
proses reguler yang mempersiapkan
tubuh wanita setiap bulannya untuk
kehamilan. Daur ini melibatkan
beberapa tahap yang dikendalikan oleh
interaksi hormon yang dikeluarkan oleh
hipotalamus, kelenjar dibawah otak
depan, dan indung telur. (Keikos.Biz
women stuffs, 2007). Sel darah merah
yang matang mengandung 200-300 juta
hemoglobin (Tarwoto, Wasdinar, 2007:
16). Zat besi merupakan unsur utama
hemoglobin, pada tubuh orang dewasa
kira-kira mengandung sebanyak 50 mg
besi per 100 ml darah. Total kebutuhan
zat besi kira-kira antara 2-6 gr,
tergantung berat badan dan kadar
Hbnya (Tarwoto,Wasdinar, 2007: 27).
Selama masa haid kehilangan zat besi
rata-rata 24 mg, kekurangan zat besi
mengakibatkan kekurangan hemoglobin
(Hb), kadar hemoglobin dalam darah

yang rendah dikenal dengan istilah


anemia (Tarwoto, Wasdinar, 2007: 12).
Remaja memeliki resiko tertinggi
terkena anemia hal ini disebabkan
ketidakseimbangan antara asupan gizi
dan aktifitas yang dilakukan, pola hidup
remaja putri berubah dari yang semula
serba teratur menjadi kurang teratur,
misalnya sering terlambat makan atau
kurang tidur dan kehilangan darah yang
disebabkan oleh perdarahan menstruasi
(Eli, Neil, and Paul, 2008). Ada banyak
penyebab anemia diantaranya yang
paling sering adalah perdarahan, kurang
gizi, gangguan sumsum
tulang,
pengobatan
kemoterapi
dan
abnormalitas
hemoglobin
bawaan
(Nurudin Jauhari, 2008). Manifestasi
klinis tergantung dari kecepatan
kehilangan darah akut atau kronik
anemia, umur dan ada tidaknya
penyakit.
Kadar
Hb
biasanya
berhubungan dengan manifestasi klinis,
bila Hb 10-12 g/dl biasanya tidak ada
gejala, manifestasi klinis biasanya
terjadi apabila Hb antara 6-10 g/dl
diantaranya
dyspnea
(kesulitan
bernapas, napas pendek), palpitasi,
keringat banyak, keletihan dan apabila
Hb kurang dari 6 g/dl manifestasi klinis
seperti keadaan umum pucat, keletihan
berat, kelemahan, nyeri kepala, demam,
dispnea, dan lain-lain. (Tarwoto,
Wasdinar, 2007: 38-39).
Anemia merupakan kejadian
yang paling banyak diantara gangguan
dari darah terutama terjadi pada negaranegara berkembang dan negara miskin
hal ini sangat berkaitan dengan tingkat
konsumsi gizi masyarakat, penyerapan
zat besi yang tidak optimal dan
kehilangan darah yang disebabkan oleh
perdarahan menstruasi yang banyak,
perdarahan akibat luka, perdarahan
karena penyakit tertentu. Manifastasi
anemia juga bermacam-macam untuk
mencegah agar tidak terjadi anemia
pada wanita terutama pada remaja

12

dengan mengkonsumsi makanan yang


bergizi, atau memperbaiki menu
makanan, konsumsi bahan makanan
tinggi zat besi, seperti susu, daging, dan
sayuran hijau harus ditingkatkan,
memberikan konseling untuk membantu
memilih bahan makanan dengan kadar
besi yang cukup secara rutin pada usia
remaja,
memberikan
pengetahuan
(kognitif) seperti tindakan petugas
pemberi pendidikan kesehatan dalam
meningkatkan
pengetahuan
klien
diantaranya
adalah
menjelaskan,
memberikan informasi, menyarankan,
mendiskusikan masalah kesehatan klien
tentang pentingnya gizi, memenuhi
kebutuhan zat besi yang optimal.
Mengubah atau memperbaiki perasaan
(afektif), perubahan afektif misalnya
adanya perubahan sikap, pendapat,
keyakinan dan nilai-nilai yang dimiliki
klien. Meningkatkan keterampilan
(psikomotor),
kegiatan
untuk
meningkatkan keterampilan seperti
mendemonstrasikan, bermain peran,
simulasi latihan kerja. Dengan latar
belakang diatas, maka perlu dilakukan
penelitian guna mengetahui kadar
hemoglobin (Hb) pada wanita terutama
remaja
saat
mengalami
siklus
menstruasi.

Bahan
dan
Penelitian

Metodologi

Desain penelitian merupakan


rencana penelitian yang disusun
sedemikian rupa sehingga peneliti dapat
memperoleh
jawaban
terhadap
pertanyaan peneliti (Setiadi, 2007: 127).
Pada penelitian ini menggunakan
metode penelitian observasional analitik
dengan jenis cohort yaitu penelitian non
eksperimen yang paling baik dalam
mengkaji hubungan antara faktor resiko
dengan efek (Setiadi, 2007: 142).
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh mahasiswi yang tinggal

di asrama sebanyak 47 orang (tahun


2010). Sampel dalam penelitian ini
adalah sebagian mahasiswi yang tinggal
di asrama sebanyak 47 orang (tahun
2010). Pada penelitian ini teknik
sampling yang digunakan adalah
probability sampling yakni simple
random sampling. Random sampling
adalah pengambilan sampel dilakukan
secara acak (Setiadi, 2007: 182).
Variabel dalam penelitian terdiri
dari 2 yatu variabel independent dan
dependen. Variabel independent adalah
variable yang nilainya menentukan
variabel lain, suatu kegiatan stimulus
yang dimanipulasi oleh peneliti
menciptakan suatu dampak pada
variabel dependen (Nursalam, 2003:
102). Dalam penelitian ini variabel
independennya adalah lamanya siklus
menstruasi. Dalam penelitian ini
variabel dependennya adalah perubahan
Hb.
Instrumen
penelitian
yang
digunakan dalam penelitian adalah
lembar observasi dan Hb meter (sahli).
Lembar observasi pada penelitian ini
ada 2 macam yaitu lembar demografi
yang terdiri dari beberapa pertanyaan
yang harus dijawab dengan cara
membubuhkan tanda contreng ( ) pada
salah satu jawaban yang terjadi pada
responden dan lembar observasi yang
diisi oleh peneliti sendiri. Hb meter
(sahli) digunakan untuk mengukur Hb
pada saat sebelum menstruasi dan
sesudah menstruasi, pemeriksaan kadar
hemoglobin (Hb) yang dilakukan
dengan cara membandingkan secara
visual warna dengan alat standar.
Data dari hasil pemeriksaan Hb
yang telah terkumpul diperiksa ulang
untuk mengetahui kelengkapannya .
Setelah
data
lengkap
data
dikelompokkan
dan
di
tabulasi
berdasarkan sub variabel yang diteliti.
Untuk menguji hipotesa digunakan uji
Korelasi Pearsons dengan tingkat

13

kemaknaan 5%. Apabila P < 0,05


artinya Ho ditolak dan H1 diterima yang
berarti ada hubungan antara lamanya
menstruasi terhadap perubahan Hb pada
mahasiswi STIKES Hang Tuah
Surabaya yang tinggal di Asrama..

Hasil Penelitian
1.

Lamanya Menstruasi

Tabel 1

No

Distribusi Nilai Lamanya


Menstruasi Responden
Jumlah

Lamanya
Menstruasi
4

Prosentas
e
2.4%

7.1%

16.7%

30

71.4%

2.4%

Jumlah

42

100%

Dari tabel 1 menunjukkan


bahwa
sebagian
besar
lamanya
menstruasi pada responden adalah 7
hari sebanyak 30 orang (71.4%),
sedangkan responden yang lama
menstruasinya 6 hari sebanyak 7 orang
(16.7%), lama menstruasinya 5 hari
sebanyak 3 orang (7.1%), lama
menstruasinya 4 hari sebanyak 1 orang
(2.4%), dan yang lama menstruasinya 8
hari sebanyak 1 orang (2.4%).
Perubahan Hb (Sebelum dan
Sesudah Menstruasi)
Tabel 2 Distribusi Perubahan Hb
Sebelum
dan
Sesudah
Menstruasi

6
7
8

Jumlah
2
1
4
1
27

3.

4.8%
9.5%
2.4%
100%

Hubungan
antara Lamanya
Menstruasi Dan Perubahan Hb

Tabel 3 Hubungan Lamanya Menstruasi


Terhadap Perubahan Hb
Perubahan Hb
N
o

Lama
Menst

4 hari

5 hari

6 hari

7 hari

Prosentase
4.8%
2.4%
9.5%
2.4%
64.3%

2
4
1
42

Dari tabel 2 diatas terlihat


bahwa dari 42 responden di dapatkan
nilai Hb sebelum menstruasi pada
responden adalah 12 gr/dl sebanyak 17
orang, 11 gr/dl 10 orang, 10 gr/dl
sebanyak 6 orang, 12.5 gr/dl sebanyak 5
orang, 14 gr/dl sebanyak 2 orang, 10.5
gr/dl sebanyak 1 orang, dan 11.5 gr/dl
sebanyak 1 orang. Sedangkan nilai Hb
sesudah menstruasi pada responden di
dapatkan 11 gr/dl sebanyak 14 orang,
10 gr/dl sebanyak 12 orang, 9 gr/dl
sebanyak 5 orang, 11.5 gr/dl sebanyak 3
orang, 9.5 gr/dl sebanyak 2 orang, 9.2
gr/dl sebanyak 1 orang, 10.2 gr/dl
sebanyak 1 orang, 10.5 gr/dl sebanyak 1
orang, 11.3 gr/dl sebanyak 1 orang, 12
gr/dl sebanyak 1 orang, dan 12.3 gr/dl
sebanyak 1 orang. Dan perubahan Hb
pada responden didapatkan perubahan
Hb 1 sebanyak 27 orang, perubahan Hb
0,5 sebanyak 4 orang, perubahan Hb 2
sebanyak 4 orang, perubahan Hb 0.2
sebanyak 2 orang, perubahan Hb 1.5
sebanyak 2 orang, perubahan Hb 0.3
sebanyak 1 orang, perubahan Hb 0.8
sebanyak 1 orang, perubahan Hb 5
sebanyak 1 orang.

2.

N Perubaha
o
n Hb
1
0.2
2
0.3
3
0.5
4
0.8
5
1

1.5
2
5
Jumlah

0
,
2

0,
3

0,
5

0
,
8

1,
5

%
2 5

1
1

1
3

2
2
4

2,4
%
7,1
%
16,7
%
71,4
%

14

8 hari

Jumlah

2,4
%
100
4 1
%
1

2
7

Nilai uji korelasi o\ = 0,000

Dari tabel 5.3 diatas terlihat


bahwa dari 42 responden didapatkan
sebagian besar lamanya menstruasi
adalah 7 hari dengan perubahan Hb 1
sebanyak 24 orang, perubahan Hb 2
sebanyak 4 orang, perubahan Hb 1,5
sebanyak 2 orang. Lama menstruasi 6
hari dengan perubahan Hb 0,5 sebanyak
3, perubahn Hb 1 sebanyak 2 orang,
perubahn Hb 0,2 sebanyak 1 orang,
perubahn Hb 0,8 sebanyak 1 orang.
Lama menstruasi 5 hari dengan
perubahn Hb 0,2 sebanyak 1orang,
perubahn Hb 0,3 sebanyak 1 orang,
perubahan Hb 0,5 sebanyak 1 orang.
Lama menstruasi 4 hari dengan
perubahn Hb 1 sebanyak 1 orang. Dan
lama menstruasi 8 hari dengan perubahn
Hb 5 sebanyak 1 orang.
Setelah dilakukan uji statistik
dengan menggunakan uji korelasi
pearsons untuk mengetahui seberapa
besar hubungan yang terjadi diantara
dua veriabel ditemukan hasil = 0,000
(P value < 0,05) yang berarti H1
diterima, sehingga terdapat hubungan
antara
lamanya
menstruasi
dan
perubahan nilai Hb pada mahasiswi
STIKES Hang Tuah Surabaya yang
tinggal di Asrama Putri.

Pembahasan
1. Lamanya Siklus Menstruasi
Hasil
penelitian
dari
42
responden menunjukkan sebagian besar
lamanya menstruasi pada responden
adalah 7 hari sebanyak 30 orang
(71.4%), sedangkan responden yang
lama menstruasinya 6 hari sebanyak 7
orang (16.7%), lama menstruasinya 5
hari sebanyak 3 orang (7.1%), lama

menstruasinya 4 hari sebanyak 1 orang


(2.4%), dan yang lama menstruasinya 8
hari sebanyak 1 orang (2.4%).
Menstruasi berlangsung kirakira sekali sebulan sampai wanita
mencapai usia 45-50 tahun, sekali lagi
tergantung
pada
kesehatan
dan
pengaruh-pengaruh lainnya. Panjang
rata-rata daur menstruasi adalah 28 hari,
panjang daur dapat bervariasi pada satu
wanita selama saat-saat yang berbeda
dalam hidupnya dan bahkan dari bulan
ke bulan bergantung pada berbagai hal
termasuk kesehatan fisik seperti pada
kehamilan, kelelahan, sindrom turner,
penyakit-penyakit
pada
ovarium
(indung telur), berat badan turun dengan
cepat, olah raga berat, minum obat-obat
tertentu, selain itu pada penyakit
kejiwaan seperti anorexia nervosa (pada
wanita dewasa yang takut gemuk),
emosi, dan nutrisi wanita yang
bersangkutan (Annia Kissanti, 2008:
15). Menstruasi sangat dipengaruhi
oleh
hormon,
hormon-hormon
reproduksi berperan penting dalam
proses pematangan dan pengeluaran sel
telur. Jika kadar hormon tidak
seimbang, maka sel telur yang matang
tidak ada, dan seorang perempuan tidak
akan mengalami menstruasi.
Penting bagi wanita untuk selalu
mempertahankan pola makan yang
sehat untuk mengurangi efek negatif
yang sering dialami saat menstruasi. Hal
ini didukung dengan data hasil
penelitian didapatkan bahwa nafsu
makan mahasiswi yang tinggal di
asrama selama menstruasi tidak
mengalami perubahan sebanyak 18
orang (43%), dan frekuensi pola makan
responden hampir seluruhnya adalah 3
kali sehari sebanyak 34 orang (81%).
Menurut Sinsin (2008: 5) yang dimana
siklus menstruasi yang normal adalah
lamanya antara 3-7 hari. Jumlah darah
menstruasi yang keluar pada setiap
wanita pun berbeda, namun umumnya

15

antara 25-60 ml (Dita Andira, 2010:


30). Sementara mereka yang mengalami
menstruasi yang lebih berat akan
kehilangan darah lebih banyak,
Sementara dalam darah yang terbuang
terkandung zat besi yang sangat
dibutuhkan tubuh. Jika seseorang
mengalami kekurangan zat besi maka
gejala yang umum timbul berupa lelah,
pucat, rambut rontok, mudah marah,
lemah, dan gangguan fungsi pertahanan
tubuh. Untuk mencegahnya, sebaiknya
setiap wanita mecukupinya dengan
mengonsumsi
makanan
yang
mengandung zat besi.
Sebagian
besar
lamanya
menstruasi pada mahasiswi STIKES
Hang Tuah Yang tinggal di asrama
adalah 7 hari yang didukung dengan
data yaitu sebanyak 30 orang
mengalami siklus menstruasi sebanyak
7 hari. Pengeluaran darah menstruasi ini
terdiri dari fragmen-fragmen kelupasan
endometrium yang bercampur dengan
darah yang banyaknya tidak tentu,
biasanya darah yang keluar adalah
darah cair tetapi apabila kecepatan
aliran darahnya terlalu besar bekuan
dengan
berbagai
ukuran
sangat
mungkin, bila perdarahan disertai
gumpalan darah menunjukkan terjadi
perdarahan banyak yang dimana
keadaan tersebut merupakan keadaan
yang abnormal pada menstruasi dan
pengeluaran darah yang banyak
biasanya terjadi pada hari ke dua dan
ketiga menstruasi, hari ke empat tambah
berkurang dan pada hari berikutnya
akan bertambah berkurang, menstruasi
dianggap berhenti jika tidak ada lagi
kesan darah merah yang keluar dari
rahim. Dari data yang didapatkan bahwa
umur
pertama
kali
menstruasi
(menarce) responden adalah berumur 13
- 15 tahun pada umur tersebut hormon
yang dominan adalah estrogen yang
dimana hormon estrogen tersebut sangat

penting karena menyebabkan terjadinya


pertumbuhan dan perkembangan tanda
seks sekunder.
2. Nilai Perubahan Hemoglobin (Hb)
Sebelum dan Sesudah Menstruasi
Hasil penelitian dari 42
responden di dapatkan nilai Hb sebelum
menstruasi pada responden adalah 12
gr/dl sebanyak 17 orang, 11 gr/dl 10
orang, 10 gr/dl sebanyak 6 orang, 12.5
gr/dl sebanyak 5 orang, 14 gr/dl
sebanyak 2 orang, 10.5 gr/dl sebanyak 1
orang, dan 11.5 gr/dl sebanyak 1 orang.
Sedangkan nilai Hb sesudah menstruasi
pada responden di dapatkan 11 gr/dl
sebanyak 14 orang, 10 gr/dl sebanyak
12 orang, 9 gr/dl sebanyak 5 orang, 11.5
gr/dl sebanyak 3 orang, 9.5 gr/dl
sebanyak 2 orang, 9.2 gr/dl sebanyak 1
orang, 10.2 gr/dl sebanyak 1 orang, 10.5
gr/dl sebanyak 1 orang, 11.3 gr/dl
sebanyak 1 orang, 12 gr/dl sebanyak 1
orang, dan 12.3 gr/dl sebanyak 1 orang.
Dan perubahan Hb pada responden
didapatkan perubahan Hb 1 sebanyak
27 orang, perubahan Hb 0,5 sebanyak 4
orang, perubahan Hb 2 sebanyak 4
orang, perubahan Hb 0.2 sebanyak 2
orang, perubahan Hb 1.5 sebanyak 2
orang, perubahan Hb 0.3 sebanyak 1
orang, perubahan Hb 0.8 sebanyak 1
orang, perubahan Hb 5 sebanyak 1
orang.
Menurut Eli Neil dan Paul,
2008. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kadar Hb turun pada
remaja yaitu kurangnya zat besi dalam
makanan yang dikonsumsi, pola hidup
remaja putri berubah dari yang semula
serba teratur menjadi kurang teratur,
misalnya sering terlambat makan atau
kurang tidur. Beberapa faktor kebiasaan
dan sosial budaya turut memperburuk
kondisi anemia di kalangan perempuan
Indonesia, antara lain kebiasaan diet
untuk mengurangi berat badan, budaya

16

atau kebiasaan di keluarga sering


menomor duakan perempuan dalam hal
makanan (Detiksport.com, 2009).
Ada perbedaan nilai Hb pada
responden dari sebelum menstruasi dan
sesudah menstruasi sebagian besar
mereka mengalami penurunan Hbnya 1,
Komponen-komponen dari Hb adalah
protein dan hem, dimana komponen
hem ini akan di pecah menjadi besi dan
bilirubin, besi banyak terdapat pada
makanan yang berasal dari sumber
hewani seperti daging, ikan, unggas,
makanan laut, sayur-sayuran hijau dan
buah-buah.
Namun
dari
hasil
wawancara sebagian
besar para
responden mengaku bahwa mereka
lebih sering mengkonsumsi makanan
dari luar yang dimana nilai zat besinya
kurang, hal ini mungkin disebabkan
karena rasa yang ada pada makanan
yang disediakan oleh asrama kurang
cocok dengan lidah mereka walaupun
nilai gizinya baik, serta terkadang
mereka merasa bosan dengan makanan
yang disediakan asrama dan ingin
mengkonsumsi makanan dari luar, hal
ini mungkin salah satu penyebab kadar
Hb responden mengalami penurunan
yang diakibatkan kurangnya diet yang
mengandung zat besi.
3. Hubungan
Antara
Lamanya
Menstruasi dan Perubahan Hb
Dari hasil uji statistik dengan
menggunakan uji korelasi Pearsons
dinyatakan dengan nilai signifikansi =
0,000 dengan kemaknaan P < 0,05 yang
menunjukkan ada hubungan lamanya
menstruasi terhadap perubahan Hb.
Menstruasi merupakan bagian
dari proses regular yang mempersiapkan
tubuh wanita setiap bulannya untuk
kehamilan,
daur
ini
melibatkan
beberapa tahap yang dikendalikan oleh
interaksi hormon yang dikeluarkan oleh
hipotalamus kelenjar dibawah otak

depan dan indung telur (Annia Kissanti,


2008: 15).
Pengeluaran darah menstruasi
terdiri dari fragmen-fragmen kelupasan
endrometrium yang bercampur dengan
darah yang banyaknya tidak tentu.
Biasanya darahnya cair, tetapi apabila
kecepatan aliran darahnya terlalu besar,
bekuan dengan berbagai ukuran sangat
mungkin
ditemukan.
Terdapat
perbedaan antara wanita satu dan yang
lainnya, pada hari pertama menstruasi
tidak keluar begitu banyak, pada hari
selanjutnya hari kedua dan ketiga
bertambah banyak, pada hari keempat
tambah berkurang dan pada hari kelima
hampir kering, pada hari keenam darah
kering langsung. Akan tetapi perlu
diingat, kadang sering kali keluarnya
lendir bercampur sedikit darah berwarna
coklat mungkin berlarut selama
beberapa hari, hal ini biasa terjadi.
Menstruasi dianggap berhenti jika tidak
ada lagi kesan darah merah yang keluar
dari rahim (Aulia. 2009: 23). Jumlah
darah menstruasi yang keluar pada
setiap wanita berbeda-beda namun
umumnya antara 25-60 ml, sebanyak
apapun darah yang keluar asalkan masih
dalam batas normal hal ini tidak akan
menyebabkan anemia (Dita Andira,
2010: 30). Konsentrasi Hb normal 14
gr/dl dan kandungan besi Hb 3,4 mg per
g, volume darah ini mengandung 12-29
mg
besi
dan
menggambarkan
kehilangan darah yang sama dengan 0,4
sampai 1,0 mg besi untuk setiap hari
siklus tersebut atau 150 sampai 400 mg
per tahun.
Dalam setiap bulannya wanita
mengalami menstruasi yang dimana
pengeluaran darah menstruasi itu dapat
mempengaruhi kadar Hb, jumlah darah
menstruasi yang keluar pada setiap
wanita juga berbeda-beda, hemoglobin
merupakan protein berpigmen merah
yang terdapat dalam sel darah merah,
hemoglobin (Hb) yang terdapat dalam

17

sel darah merah merupakan protein


yang mengandung zat besi, jika wanita
mengalami menstruasi yang lama secara
tidak langsung wanita tersebut akan
mengeluarkan darah yang banyak,
untuk setiap kali siklus menstruasi
digambarkan bahwa wanita akan
mengalami kehilangan besi antara 0,4-1
mg untuk setiap hari siklus, apabila
wanita mengalami siklus menstruasi
yang lama wanita tersebut akan semakin
banyak besi yang dikeluarkan dengan
semakin
banyaknya
besi
yang
dikeluarkan
akan
menyebabkan
perubahan kadar Hb mengingat Hb
merupakan protein yang mengandung
zat besi, bila saat menstruasi wanita
tidak mengkonsumsi diet yang banyak
mengandung zat besi maka wanita
tersebut akan mengalami kekurangan
zat besi, jika keadaan tersebut dibiarkan
akan berbahaya untuk itu dianjurkan
wanita-wanita
yang
mengalami
menstruasi untuk selalu mengkonsumsi
diet yang mengandung banyak zat besi
sehingga kadar Hb tetap normal. Hal
ini dapat diartikan bahwa semakin
lamanya menstruasi responden semakin
banyak pula darah yang dikeluarkan
akibatnya perubahan nilai Hb semakin
turun.

Simpulan
Berdasarkan data analisis dari
verifikasi hipotesis, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Lamanya
menstruasi
pada
mahasiswi STIKES Hang Tuah
Surabaya yang tinggal di asrama
adalah sebagian besar 7 hari.
2. Nilai perubahan Hb sebelum dan
sesudah menstruasi pada mahasiswi
STIKES Hang Tuah Surabaya yang
tinggal di asrama adalah sebagian
besar perubahan Hbnya adalah 1.
5. Ada hubungan lamanya menstruasi
terhadap perubahan Hb pada

mahasiswi STIKES Hang Tuah


Surabaya yang tinggal di asrama,
hal ini berdasarkan hasil uji statistik
korelasi Pearsons dengan = 0,000
dengan tingkat kemaknaan < 0,05.

Saran
1.

Responden
a. Untuk mahasiswi STIKES
Hang Tuah diharapkan untuk
tetap santai dalam menghadapi
kuliah terutama saat ujian agar
tidak mengalami gangguan
dalam siklus menstruasi
b. Dianjurkan bagi mahasiswi
yang mengalami menstruasi
untuk mengkonsumsi diet yang
mengandung nutrisi sehingga
kadar Hb tetap normal

2.

Institusi
Lebih
meningkatkan
kualitas
makanan yang ada di asrama baik
komposisi makanan, rasa dari
makanannya maupun pengaturan
menu makanan..
Peneliti Selanjutnya
Perlu adanya penelitian lanjut
tentang mengidentifikasi asupan
makanan selama 24 jam pada
mahasiswi STIKES Hang Tuah
Surabaya yang tinggal di Asrama
dengan siklus menstruasi.

3.

DAFTAR PUSTAKA
Agus. (2009). Pertumbuhan Somatik
Remaja,
http://www.Agusjakaswaras
Blog.com. Tanggal di akses: 7
Maret 2009: 20.00
Andira, Dita. (2010). Seluk Beluk
Kesehatan Reproduksi Wanita,
Jogjakarta: A+ Plus Books.

18

Anonimity. (2009). Pertumbuhan Dan


Perkembangan Masa Remaja,
http//www.
Dolter-Medis
Blog.com. Tanggal Di Akses: 8
Maret 2009: 20.00
Aulia. (2009). Wjib Diketahui Semua
Wanita
Kupas
Tuntas
Menstruasi Dari A Sampai Z,
Yogyakarta : Milestone.
Biohealthworld.
(2009).
Siklus
Menstruasi Wanita. Error!
Hyperlink reference not valid..
Tanggal di akses: 27 Juli 2009:
10.00
Buku

Kompetensi
I.
(2006).
Pembelajaran Praktik Klinik
Keperawatan Kebutuhan Dasar
Mahasiswa
Tidak
Di
Publikasikan.
Surabaya:
STIKES Hang Tuah.

Handayani, Wiwik., dan Andi Sulistyo,


H. (2008). Asuhan Keperawatan
Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Hematologi, Jakarta :
Selamba Medika.
Hestiantoro, Andon., Et All. (2008).
Masalah Gangguan Haid Dan
Infertilitas, Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Kissanti, Annia. (2008). Buku Pintar
Wanita
Kesehatan
Dan
Kecantikan, Jakarta: Araska.
Manuaba, Ida Bagus Gde. (1999).
Memahami
Kesehatan
Reproduksi Wanita, Jakarta:
Arcan.
Neil, Eli dan Paul. (2008). Remaja Putri
Dan Anemia, http://www.Blogat
Wordpress.com. Tanggal di
akses: 27 juli 2009: 13.00.
Nurudin Jauhari. (2008), Hemoglobin.
http://www.BlogDokter.com.

Tanggal di akses: 27 juli 2009:


10.00
Nursalam. (2003). Konsep Dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis Dan
Instrumen
Penelitian
Keperawatan, Jakarta : Salemba
Medika.
Notoatmodjo,
Soekidjo.
(2005).
Metodologi
Penelitian
Kesehatan, Jakarta: Rineka
Cipta.
Qittun.

(2009).
Konsep
Dasar
Menstruasi.
http://www.QittunBlog.com.
Tanggal di akses: 27 Juli 2009:
10.06

Rabe, Thomas. (2003). Buku Saku Ilmu


Kandungan,
Jakarta
:
Hipokrates.
Saryono., dan Waluyo, Sejati. (2009).
Sindrom
Premenstruasi
Mengungkap Tabir Sensitifitas
Perasaan
Menjelang
Menstruasi, Yogyakarta : Nuha
Medika.
Setiadi. (2007). Konsep & Penulisan
Riset Keperawatan, Yogyakarta
: Graha Ilmu.
Sisin, Iis. (2008). Masa Kehamilan Dan
Persalinan, Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Soebroto, Ikhsan. (2009). Cara Mudah
Mengatasi Problem Anemia,
Yogyakarta: Bangkit!.
Soetjiningsih.
(2004).
Tumbuh
Kembang
Remaja
Dan
Permasalahannya, Jakarta: CV.
Sagung Seto.
Tarwoto., dan Wasdinar. (2007). Buku
Saku Anemia Pada Ibu hamil

19

Konsep Dan Penatalaksanaan,


Jakarta : Trans Info Media.
Yuliarti, Nurheti. (2009). A to Z Woman
Health Beauty Panduan Sehat
Dan Cantik Bagi Wanita,
Yogyakarta: C.V Andi Offset
(penerbit ANDI).

Dosen Program Studi Ilmu


Keperawatan STIKES Hang Tuah
Surabaya

20

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI PROGRESIF OTOT


TERHADAP KECUKUPAN TIDUR LANSIA DI PANTI SOSIAL
TRESNA WERDHA UNIT BUDHI LUHUR YOGYAKARTA
Merry Kristiana1, Abdul Majid2, Thomas Aquino E. Amigo3
Abstract : Elderly is a closing period of life, i.e. a period characterized by the departing of
someone from useful times. It is predicted that on 2010 the number of elders in Indonesia is 24
people (9.77%) (WHO, 2010), while in Yogyakarta it is 14%the highest throughout the
country after Central Java (11.6%) and South Celebes (9.05%). During the aging, a sleeping
pattern among the elders undergoes typical changes differentiating it from that of younger
people, i.e. 6 hours a day. According to Nugroho (2000), the age group of 40 years old is only
found in 7% of cases on sleeping problems (they can only sleep no more than 5 hours a day).
However, the age group of 70 years is found in 22% of the same cases.Objective of this study is
to find out the effect of muscle progressive relaxation technique on sleeping adequacy among
elders in Social House Tresna Werdha of Budhi Luhur Unit, Yogyakarta. The study used a
quantitative method with a quasi-experimental design and one-group pre- and post-test design.
The sample used was collected by using a simple random sampling with the number of sample
62
people.
The
instrument
of
collecting
data was questionnaire. Data analysis was carried out using the t-test analysis, i.e. a paired ttest.The level of sleeping adequacy among elders before they were given the muscle progressive
relaxation technique was in a moderate category of 67.7% and after they were given the muscle
progressive relaxation technique increased to be 93.5%. Result of the t-test indicates that
p=0.0001. There was a significant effect of the muscle progressive relaxation technique on
sleeping adequacy among elders in Social House Tresna Werdha of Budhi Luhur Unit,
Yogyakarta, with a significance level of 0.0001.
Keywords: Muscle progressive relaxation technique, sleeping adequacy, elder

Latar Belakang
Usia tua adalah fase akhir dari
rentang kehidupan. Segmen lansia dari
total populasi Amerika terus tumbuh
lebih cepat dibanding populasi lainnya.
Proyeksi Biro Sensus Amerika
Serikat menunjukan bahwa pada tahun
2030 akan terdapat lebih banyak lansia
yang berusia diatas 65 tahun (22%)
dibanding berusia 18 tahun (21%).
Dengan peningkatan populasi lansia,

berarti lebih banyak orang yang hidup


sangat tua (Smeltzer, 2001)
Pada tahun 2000, kira-kira 10%
dari penduduk dunia berusia 60 tahun
atau
lebih.
Berdasarkan
proyek
kependudukan United Nations Medium
Variant, turunnya angka fertilitas dan
mortalitas menyebabkan peningkatan
populasi penduduk hingga 20% pada
tahun 2050. Ini berarti bahwa 400 juta
orang lanjut usia tinggal di negaranegara maju dan lebih dari 1,5 milyar
berada di negara-negara yang kurang
maju. (WHO, 2003). Jumlah lansia di
Indonesia pada tahun 2006 mencapai

19 juta yaitu sekitar 8,90% dari total


penduduk Indonesia (Oktovida, 2009).
Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah
lansia di Indonesia sebanyak 24 juta
jiwa atau 9,77% (WHO, 2010). Jumlah
lansia di Yogyakarta pada akhir 2007
adalah sebanyak 48.092 orang atau
10,59% dari jumlah penduduk kota
Yogyakarta sebanyak 453.925 jiwa.
Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah
lansia di Daerah IstimewaYogyakarta
(DIY) mencapai 14% yang merupakan
tertinggi se-Indonesia setelah Jawa
Tengah (11,6% dan Sulsel 9,05%).
Selama penuaan, pola tidur pada
lansia mengalami perubahan-perubahan
yang khas yang membedakannya
dengan orang yang lebih muda.
Perubahan-perubahan
tersebut
mencakup kelatenan tidur, terbangun
pada dini hari, dan peningkatan jumlah
tidur siang. Jumlah waktu yang
dihabiskan untuk tidur yang lebih dalam
juga menurun. Terdapat suatu hubungan
antara peningkatan terbangun selama
tidur dengan jumlah total waktu yang
dihabiskan untuk terjaga dimalam hari
(Stanley, 2002).
Menurut
Nugoroho
(2000)
bahwa kelompok usia 40 tahun, hanya
dijumpai 7% kasus yang mengeluh
mengenai masalah tidur (hanya dapat
tidur tidak lebih dari 5 jam sehari), akan
tetapi kelompok usia 70 tahun dijumpai
sebanyak 22% kasus yang sama.
Temuan lainnya bahwa pada kelompok
lanjut usia ternyata lebih banyak
mengeluh terbangun lebih awal dari
pukul 05.00 pagi dan terdapat 30%
kelompok usia 70 tahun yang banyak
terbangun pada malam hari. Angka
tersebut ternyata tujuh kali lebih besar
dibandingkan dengan kelompok usia 20
tahun.
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk memperoleh istirahat dan tidur
yang
cukup.
Dalam
kesehatan

komunitas
dan
rumah,
perawat
membantu
klien
mengembangkan
perilaku yang kondusif terhadap
istirahat dan relaksasi (Perry, 1999).
Latihan relaksasi dapat menimbulkan
perasaan sehat dan bugar dengan
menciptakan keadaan rileks yang
sebenarnya menghambat kekhawatiran
dan reaksi stress negative (Goliszel,
2005).
Di PSTW jumlah lansia pada
bulan Januari 2011 sebanyak 73 orang
yang rata-rata lansia yang berumur 60
tahun atau lebih. Lanjut usia yang
berjenis kelamin perempuan berjumlah
57 orang dan lansia yang berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 16 orang.
Setelah dilakukan studi pendahuluan
salah satu perawat mengatakan bahwa
lansia di PSTW tersebut hampir semua
mengalami gangguan pada kecukupan
tidurnya. Hal tersebut disebabkan pada
usia lanjut terjadi penurunan berbagai
fungsi
baik
secara
fisiologi
(seperti:sistem neurologis) maupun
psikologi (kecemasan).

Bahan
dan
Penelitian

Metodelogi

Penelitian menggunakan jenis


penelitian kuantitatif dengan desain
penlitian eksperimental design jenis
Pre-Experimental
Design
dengan
rancangan One-group pre-post tes
design, yaitu mengungkapkan hubungan
sebab akibat yang dilaksanakan pada
satu kelompok dengan melakukan
observasi sebelum dilakukan intervensi,
kemudian diobservasi setelah intervensi
untuk mengetahui akibat dari perlakuan
(Sugiyono, 2008).
Penelitian dilakukan pada bulan
29 Mei- 20 Juni 2011 di PSTW Unit
Budhi Luhur Yogyakarta. Teknik
pengambilan sampel menggunakan
metode simple random sampling.
Sampel yang diambil adalah 62 orang.

22

Sampel yang dikehendaki adalah bagian


dari populasi terjangkau yang diteliti
secara langsung dan sesuai dengan
kriteria inklusi dan ekslusi. Sampel
yang diambil adalah lansia yang
memenuhi kriteria inklusi, yaitu:
1. Besar sampel yang akan diambil
dalam penelitian ini Lansia yang berusia
45 tahun atau lebih ( 45 tahun)
2. Lansia yang tinggal di lingkungan
PSTW
3. Lansia yang bersedia menjadi
responden
Sampel yang tidak diambil
adalah yang memenuhi kriteria eksklusi
yaitu: lansia yang sedang sakit.
Variabel penelitian adalah fakta
dan angka yang dapat dijadikan bahan
untuk menyusun suatu informasi,
informasi adalah hasil pengolahan data
yang
dipakai
untuk
keperluan
(Arikunto, 2009). Variabel penelitian
terbagi atas 3 yaitu:
a. Variabel independen atau bebas
adalah variabel yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variable
dependen. Variabel ini dikenal
dengan nama variabel bebas yang
artinya bebas dalam memengaruhi
variabel lain. Variabel independen
pada penelitian ini adalah teknik
relaksasi progresif. Alat ukur yang
digunakan adalah lembar kerja teknik
relaksasi progresif yang diadopsi dari
Fitri (2010).
b. Variabel dependen adalah variabel
yang dipengaruhi atau menjadi akibat
karena variabel bebas. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah
kecukupan tidur. Alat ukur yang
digunakan
adalah
kuesioner
menggunakan skala Guttman yang
terdiri dari 13 item pertanyaan
dengan kategori 1=Ya dan 0 =Tidak
yang dikategorikan Ya (Cukup) dan
Tidak (Tidak cukup). Skor dan
jumlah
yang
diperoleh
13
menunjukan
kecukupan
tidur

terpenuhi . Skala pengukuran adalah


rasio.
Cara pengolahan data untuk
memperoleh data mengenai pengaruh
teknik relaksasi progresif otot terhadap
kecukupan tidur lansia menggunakan
kuesioner dengan pertanyaan tertututp
sebanyak 13 item pertanyaan (berisi
tentang kecukupan tidur). Untuk
memperoleh data mengenai teknik
relaksasi progresif otot menggunakan
lembar kerja teknik relaksasi progresif
otot yang diadopsi dari Fitri (2010).
Pengolahan dan analisa data
dilakukan dengan editing, coding,
transferring, dan tabulating. Kemudian
dilanjutkan dengan analisa univariat dan
bivariat yang menggunakan rumus
paired t-test.

Hasil Penelitian
Hasil
yang diperoleh dari
pengaruh teknik relaksasi progresif otot
terhadap kecukupan tidur lansia di
PSTW Unit Budhi Luhur Yogyakarta.
Diagram 4.1. Distribusi Frekuensi Kecukupan Tidur Lansia
Pada Saat Pre Test di Panti Sosial Tresna Werdha Unit
Budhi Luhur Yogyakarta Tahun 2011.

RQKRO
D

cukup
tidur
UVKVO
D

tidak
cukup
tidur

Berdasarkan
diagram
4.1,
menunjukkan bahwa sebagian besar
responden mempunyai tidur yang cukup
yaitunsebanyak 67,7% (42 orang),
sedangkan responden yang tidak cukup
tidur sebanyak 32,2% (20 orang).

23

Diagram 4.2. Distribusi Frekuensi Kecuk


cukupan Tidur Lansia
Pada Saat Post Test di Panti Sosial Tr
Tresna Werdha Unit
Budhi Luhur Yogyakarta Tahun 2011..

UKTODO
O

cukup
tidur

23
tidak
cukup
tidur

XRKTO
D

Berdasarkan
diagr
diagram
4.2,
menunjukkan bahwa seba
ebagian besar
responden mengalami tidur
dur yang cukup
sebanyak 93,5% (58 orang
ang) dan 6,5%
ng tidak cukup
(4 orang) responden yang
teknik relaksasi
tidur setelah melakukan tekni
progresif.
riat
dalam
Analisis
bivaria
nakan analisia
penelitian ini menggunaka
ncari pengaruh
paired t-test guna menca
otot terhadap
teknik relaksasi progresiff ot
kecukupan tidur lansia di PSTW Unit
Hasil analisis
Budhi Luhur Yogyakarta.. H
lansia adalah
kecukupan tidur pada la
sebagai berikut:
aruh Teknik Relaksasi
Tabel 4.2 Distribusi Responden Pengaru
idur Lansia di PSTW
Progresif Otot Terhadap Kecukupan Tid
Unit Budhi Luhur Yogyakarta.
Kecukupan
Ratan
S
Standar
p
tidur
rata
D
Deviasi
Pre Test

9,29

62

Post Test

7,74

62

2,99

0,00
01

Berdasarkan hasil
sil uji paired ttes pada data kecukupann ttidur pre test
dan post test pada pelaksa
ksanaan teknik
relaksasi progresif otot m
menunjukkan
bahwa nilai rata-rata kecukupa
ecukupan tidur
lansia pada saat pre ttest sebesar
9,29(tidak cukup) dan ni
nilai rata-rata
kecukupan tidur lansia pa
pada saat post
test adalah sebesar 7,74 (cukup
cukup). Nilai p
value sebesar 0,0001 lebi
ebih kecil dari
0,05 (p<0,05), sehingga Ho ditolak. Hal
ini berarti bahwa ada penga
pengaruh yang
signifikan pelaksanaan tekni
eknik relaksasi
progresif otot terhadap kec
ecukupan tidur
lansia di PSTW Unit B
Budhi Luhur
Yogyakarta.

Pembahasan
Penelitian ber
bertujuan untuk
mengetahui pengaruh
uh tteknik relaksasi
progresif otot terhadapp kkecukupan tidur
lansia di PSTW Unit
nit Budhi Luhur
Yogyakarta.
Berdasarkan
hhasil
pretest
diperoleh data sebany
anyak 67,7% (42
orang) lansia yangg cukup tidur,
tidak cukup tidur
sedangkan lansia yangg ti
20 or
orang). Hal ini
sebanyak 32,2% (20
asih banyak lansia
menunjukan bahwa masi
cukup yang salah
yang tidurnya belum cu
bnya adalah karena
satu faktor penyebabnya
ksanakan teknik
lansia belum melaks
otot, namun selain
relaksasi progresif otot
juga
dapat
itu
faktor
yangg
ukupan tidur adalah
mempengaruhi kecukup
Faktor usia bisa
karena faktor usia. Fa
cukupan
tidur
mempengaruhi
kecu
usia semakin tua
seseorang karena saatt us
nurunan fungsi dari
maka akan terjadi penuru
dalah fungsi saraf
tubuh salah satunya ada
pengurangan tidur
sehingga terjadi pengur
gelombang lambat tterutama pada
babkan gelombang
stadium 4 yang disebab
bih cepat sehingga
otak akan bergerak lebih
tidur kurang dari
gelombang delta pada ti
ng akan bermimpi
50% dan tidur seseorang
gelombang alfa
(tidak nyenyak), ge
ngkatnya frekuensi
menurun, dan meningk
alam hari atau
terbangun pada mala
ntasi.
meningkatnya fragmenta
hasil post test atau
Berdasarkan hasi
teknik relaksasi
setelah dilakukan te
progresif kecukupan tidur pada lansia
besar responden
diketahui sebagian be
mengalami tidur yangg ccukup sebanyak
93,5% (58 orang) dann 66,5% (4 orang)
dak cukup tidur
responden yang tidak
dengan p=0,0001 yangg berarti terdapat
teknik relaksasi
pengaruh pemberiann te
kecukupan tidur
progresif terhadap ke
nit Budhi Luhur
lansia di PSTW Unit
Yogyakarta. Hasil ini menunjukkan
tidak cukup tidur
bahwa lansia yang tida
yang berarti yaitu
mengalami penurunann ya

24

hanya sebesar 6,5% dari total


responden.
Adanya penurunan gangguan
tidur yang dirasakan oleh lansia,
menunjukkan gangguan tidur semakin
sedikit dirasakan dan dialami lansia. Hal
ini merupakan hasil dari tercapainya
tingkat relaksasi otot dan kondisi fisik
yang baik pada lansia. Salah satu faktor
yang berpartisipasi dalam penurunan
angka ketidakcukupan tidur adalah
dengan pemberian teknik relaksasi
progresif otot pada lansia yang
dilakukan menggunakan posisi yang
disesuaikan dengan kondisi lansia.
Hasil analisis uji paired t-test
diperoleh nilai p value sebesar 0,0001
lebih kecil dari 0,05 (p<0,05), hal ini
berarti bahwa ada pengaruh yang
signifikan teknik relaksasi progresif otot
terhadap kecukupan tidur lansia di
PSTW Unit Budhi Luhur Yogyakarta.
Hasil
ini
menunjukkan
bahwa
kecukupan tidur yang dialami lansia
merupakan hasil dari teknik relaksasi
progresif otot yang diberikan kepada
lansia.

Simpulan
Berdasarkan analisa univariat dan
bivariat serta pembahasan pada Bab IV,
dapat disimpulkan bahwa :
1. Berdasarkan hasil pretest, masih
banyak lansia yang tingkat
kecukupan tidur dalam kategori
tidak cukup yaitu sebanyak 32,2%
(20 orang)
2. Setelah dilakukan post test
pelaksanaan
teknik
relaksasi
progresif otot, maka angka
kecukupan tidur lansia dalam
kategori cukup yang ditandai
dengan jumlah lansia yang tidak
cukup tidur yaitu 6,5% (4 orang).
3. Ada pengaruh yang signifikan
teknik relaksasi progresif otot
terhadap kecukupan tidur lansia di

PSTW
Unit
Yogyakarta.

Budhi

Luhur

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S. C. 2001. Buku Ajar
Keperawatan medical Bedah
Edisi 8. EGC. Jakarta
Oktovida, D. 2003. Hubungan Antara
Lingkungan Rumah sakit Dengan
Pemenuhan Kebutuhan Istitahat
Tidur Anak Prasekolah Yang
Dirawat Inap di Instalasi
Kesehatan Anak RS DR Sardjito
Yogyakarta. Skripsi, FK, UGM.
Yogyakarta
Stanley, M., Beare, Patricia Gaunlett.
2007. Buku Ajar keperawatan
Gerontik. EGC. Jakarta.
Nugroho, W,. 2000. Keperawatan
Gerontik Edisi 2. EGC. Jakarta
Perry & Potter. 2005. Fundamental
Keperawatan. EGC. Jakarta
Goliszel, A., 2005. 60 Second
Manajemen Stres. PT Bhuana
Ilmu Populer. Jakarta
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif dan
R&D. Alfabeta. Bandung
Arikunto,S.,
2009.
Manajemen
Penelitian, Rineka Cipta. Jakarta.
Fitri, N, N., 2010. Pengaruh Teknik
Relaksasi Progresif Terhadap
Insomnia Pada Lanjut Usia di
Dusun Blunyah Gede Kelurahan
Sinduadi Kecamatan Mlati
Kabupaten Sleman Yogyakarta.,
Skripsi, FK, UGM. Yogyakarta

25

Mahasiswa S 1 Keperawatan
Universitas Respati Yogyakarta
Dosen Poltekes Yogyakarta
Dosen Universitas Respati Yogyakarta

26

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT


DAN TINGKAT KECEMASAN PADA KLIEN PRE OPERASI
DI RUANG PRE MED ICU ANESTESI RUMKITAL
Dr. RAMELAN SURABAYA
Nuh Huda

Abstract : Anxiety is signal awaking human being, anxiety warn danger existence menacing
and enabling somebody to overcome threat. Anxiety a lot of met of client experiencing
inspection, client and treatment to experience operation To lessen anxiety one of them is with
therapeutic communications by nurse. The target of this Research to know relation existence
between terapeutc communications by nurse and mount anxiety of client pre operate for

The research design use method Cross Sectional, sampling method used is the Non
Random Sampling, the samples taken as much 19 responder that is client pre operate for
in Pre Med ICU Anaesthesia room of Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Research
consisted by two variable that is free variable is therapeutic communications and
veriable nurse trussed is anxiety. This Elite data is analysed by using test Spearman
Corelation with the significant level meaning < 0,05.
Result of this research express therapeutic communications by nurse goodness that is as much
10 client (53%) from 19 responder. While level of anxiety responder experience of light anxiety
level as much 11 client (58%) from 19 responder. From obtained statistical test of result there is
relation between therapeutic communications nurse and mount anxiety at client pre operate for
in Pre Med ICU Anaesthesia room of Rumkital Dr. Ramelan Surabaya with level signifikan
0,05 ( < 0,00) and r = 0,913 meaning there is relation which significant.
See this research hence need effective communications use improvement existence by nurse in
assisting minimization mount anxiety.
Keyword : communications terapeutik, mount anxiety

Latar Belakang
Kecemasan adalah suatu sinyal
yang menyadarkan manusia, kecemasan
memperingatkan adanya bahaya yang
mengancam dan memungkinkan seseorang
mengambil tindakan untuk mengatasi
ancaman. Sensasi cemas sering dialami
oleh hampir semua manusia. Perasaan
tersebut ditandai rasa ketakutan yang
difus, tidak menyenangkan dan samar
samar, seringkali disertai oleh gejala

otonomik. Kumpulan gejala tertentu yang


ditemukan selama kecemasan cenderung
bervariasi dari orang ke orang (Ayub Sani
Ibrahim, 2003 : 30). Kecemasan banyak
ditemui pada klien yang menjalani
pemeriksaan dan perawatan dalam bidang
kesehatan (Ayub Sani Ibrahim, 2003 : 20).
Salah satunya kecemasan yang terjadi
pada klien Pre Operasi di Ruang Pre Med
ICU Anestesi Rumkital
Dr. Ramelan
Surabaya, klien umumnya mengalami

cemas terhadap segala hal yang


berhubungan dengan operasi.
Secara
signifikan
kecemasan
mempengaruhi 5 7% populasi umum dan
25% atau lebih pada populasi klien dalam
bidang medis, pada waktu yang tidak
ditentukan (Ayub Sani Ibrahim, 2003 :
76). Data yang didapat dari ruang Pre Med
ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya klien pre operasi pada tahun
2007 bulan Januari sebanyak 333 klien,
Februari sebanyak 271 klien dan Maret
sebanyak 290 klien.
Data tersebut
disimpulkan hanya dari kecemasan
penyakit klien dan kecemasan yang timbul
dari segi komunikasi perawat tidak terdata
dengan nominal. Kesimpulan yang didapat
dari wawancara perawat dan klien, rata
rata semua klien mengalami kecemasan
terhadap
pembedahan
yang
akan
dilakukan, rasa sakit yang akan dirasakan
selama
dan
sesudah
dilakukan
pembedahan,
adanya
infeksi
dan
kemungkinan
komplikasi
yang
ditimbulkan akibat pembedahan bahkan
kematian bisa terjadi dimeja operasi. Hal
ini terjadi pada klien yang baru pertama
kali ataupun yang kedua kali dilakukannya
pembedahan. Dari studi pendahuluan yang
dilakukan dengan cara acak pada 10 klien
Pre operasi di ruang Pre Med ICU
Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
Pada tanggal 4 Juni 2006 didapatkan data
yang menunjukkan cemas berat ada 2 klien
dengan diagnosa Fraktur Colles dan
Tumor Mammae sinistra, cemas sedang
ada 6 klien dengan diagnosa Fraktur Digiti
Manus II Dextra, Criptomanus, Fibrotik
Penis, Struma Nodusa, Hemorroid dan
Neurofibrom, sedangkan cemas ringan ada
2 klien dengan tindakan AV Shunt.
Orang berbeda pandangan dalam
menanggapi bedah sehingga responnya
berbeda beda pula. Cemas Anestesi
biasanya adalah maut, tidur terus dan
tidak bangun lagi (Barbara C. long, 1996
: 6). Faktor faktor yang dapat
mempengaruhi timbulnya kecemasan

biasanya bersumber dari : Adanya


ancaman terhadap keselamatan diri,
misalnya tidak menemukan integritas diri,
tidak menemukan status dan prestise, tidak
memperoleh pengakuan dari orang lain,
serta ketidaksesuaian pandangan diri
dengan lingkungan nyata. Manifestasi
gejala perifer dari kecemasan yang
ditimbulkan oleh klien pre operasi adalah
seperti ; mual, muntah, diare, pusing
melayang,
tensi
meningkat,
nadi
meningkat, hiperhidrosis, hiperrefleksia,
palpitasi, midriasis pupil, gelisah, sinkop,
rasa gatal di anggota gerak, tremor,
frekwensi urine yang tidak terkontrol,
gangguan tidur. (Ayub Sani Ibrahim, 2003
: 32). Dengan adanya komunikasi yang
efektif
oleh
perawat
diharapkan
kecemasan klien dapat berkurang salah
satunya berupa pemberian pengertian dan
informasi melalui komunikasi terapeutik.
Situasi operasi merupakan situasi
yang diwarnai suasana cemas, baik bagi
klien dan kelurganya. Sehingga peran
perawat dan tenaga kesehatan lain perlu
memberi
perhatian
dalam
upaya
mengurangi
kecemasan
sekaligus
menurunkan resiko operasi yang dapat
timbul karena klien tidak kooperatif. Oleh
karena itu, adanya komunikasi selama
masa operasi terutama pre operasi sangat
diperlukan bagi klien. Dalam hal ini
perawat memakai dirinya secara terapeutik
dengan menggunakan tehnik komunikasi
agar perilaku klien berubah kearah yang
positif seoptimal mungkin. Komunikasi
yang kurang antara petugas kesehatan dan
klien
dapat
mengakibatkan
kesalahpahaman, pemahaman yang rendah
tentang operasi, peningkatan kecemasan
dan ketakutan, serta partisipasi klien dan
keluarga yang rendah pada situasi operasi
(Ayub Sani Ibrahim, 2003 : 98). Melalui
komunikasi terapeutik diharapkan perawat
dapat
menghadapi,
mempersepsikan,
bereaksi dan menghargai keunikan klien
(Mundakir, 2006 : 115).

28

Bahan dan Metodologi Penelitian


Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah korelasional dengan
tujuan untuk mengungkapkan hubungan
antara variabel yang mengacu pada
kecenderungan bahwa variasi suatu
variabel diikuti oleh variabel yang lain
(Nursalam dan S. Pariani, 2001) dengan
pendekatan cross sectional yaitu penelitian
untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor faktor resiko efek, dengan
cara
pendekatan
observasi
atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu
saat (PointTime Approach) artinya setiap
subjek penelitian hanya diobservasi sekali
saja dan pengukuran dilakukan terhadap
suatu karakter atau variabel subyek pada
saat pemeriksaan (Notoatmojo, 2002 : 145
146).
Variabel Dalam penelitian ini
terdiri dari dua variabel yaitu variabel
bebas dan variabel terikat. variabel
independennya
adalah
komunikasi
terapeutik perawat di ruang Pre Med ICU
Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
variabel dependennya adalah tingkat
kecemasan klien Pre Operasi diruang Pre
Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya
Dalam penelitian ini populasinya
adalah semua klien yang dirawat di ruang
Pre Med ICU Anestesi Rumkital dr.
Ramelan Surabaya pada periode Juli 2007.
Sampel yang diambil adalah sebagian
klien dirawat di ruang Pre Med ICU
Anestesi Dr. Ramelan Surabaya, Juli 2007.
Tehnik pengambilan sampel
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah non
probability sampling dengan purposive
sampling yaitu dengan tehnik penetapan
sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik
populasi (Nursalam, 2001: 98).

Tingkat
kecemasan
Tidak cemas
Cemas ringan
Cemas
sedang
Cemas berat
Total

Frekwensi

Persentase

0
11
7
1

0%
58%
37%
5%

19

100%

Alat pengumpul data dengan


kuesioner tertstruktur berdasarkan konsep
teori. Untuk mengetahui hubungan dalam
penelitian ini peneliti menggunakan uji
korelasi spearman dengan tingkat
kemaknaan p < 0,05 artinya bila 0,05
Ho ditolak dan H1 diterima yang berarti
ada
hubungan
antara
komunikasi
terapeutik dan tingkat kecemasan klien pro
perasi di ruang ICU Anestesi Rumkital Dr.
Ramelan Surabaya.

Hasil Penelitian
1. Komunikasi Terapeutik perawat
Tabel

1 Distribusi Frekwensi Komunikasi


Terapeutik perawat di Pre Med ICU
Anestesi Rumkital

Komunikasi
Terapeutik
perawat
Baik
Cukup
Kurang
Total

Frekwensi

Persentase

10
8
1

53 %
42%
5%

19

100%

Pada tabel 1 diatas didapatkan


bahwa 10 responden (53%) menyatakan
komunikasi perawat baik, 8 responden
(42%) menyatakan bahwa komunikasi
perawat cukup dan 1 responden (5%)
menyatakan komunikasi perawat kurang.
2. Tingkat Kecemasan
Tabel 2 Distribusi Frekwensi Tingkat
Kecemasan Responden di Ruang
Pre Med ICU Anestesi Rumkital

29

Pada hasil penelitian pada tabel 2


diatas
didapatkan
bahwa
tingkat
kecemasan sebagian besar mengalami
kecemasan ringan sebanyak 11 responden
(58%), sebanyak 7 responden (37%)
mengalami cemas sedang dan sebanyak 1
responden (5%) mengalami cemas berat
sedangkan tidak ada responden yang tidak
cemas.
3. Hubungan
antara
komunikasi
terapeutik perawat dan tingkat
kecemasan klien
Tabel 3 Hubungan Antara Komunikasi
Terapeutik
Perawat
dan
Tingkat
Kecemasan
Komunikas
i terapeutik

baik
cukup
kurang

kecemasan

pada klien mengalami cemas berat


sebanyak 1 responden (5%).
Berdasarkan uji statistik korelasi
spearman di dapatkan adanya hubungan
antara komunikasi terapeutik perawat dan
tingkat kecemasan klien pre operasi.
Probabilitas yang diperoleh sebesar =
0,05 yang lebih kecil dari < 0,05 yang
berarti hipotesa nol ditolak dan hipotesa
kerja diterima dengan koefisien sebesar
0,913 yang berarti terdapat hubungan yang
signifikan antara komunikasi terapeutik
perawat dan tingkat kecemasan klien pre
operasi di ruang pre med ICU Anestesi
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

Pembahasan

Total

1.
cemas
ringan
10

cemas
sedang
0

cemas
berat
0

10

53%

0%

0%

53

5%

37%

0%

42

0%

0%

5%

5%

Total

11

19

37%
Spear
man

5%

Hasil

58%
Uji
Korelasi

100%
=
0.913

P = 0.05

Dari hasil diatas berdasarkan


distribusi frekwensi hubungan antara
komunikasi terapeutik perawat dan tingkat
kecemasan klien pre operasi di ruang Pre
Med ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya
terlihat
bahwa
perawat
melakukan komunikasi terapeutik yang
baik pada responden mengalami cemas
ringan ada 10 responden (53%), perawat
yang melakukan komunikasi terapeutik
yang cukup pada responden mengalami
cemas ringan ada 1 responden (5%), yang
mengalami cemas sedang ada 7 responden
(37%),
sedangkan
perawat
yang
melakukan komunikasi terapeutik kurang

Komunikasi Terapeutik Perawat


Berdasarkan
hasil
penelitian
diperoleh bahwa komunikasi terapeutik
perawat baik sebanyak 10 responden
(53%), komunikasi terapeutik perawat
cukup sebanyak 8 responden (42%) dan
komunikasi terapeutik perawat kurang
hanya 1 responden (5%).
Melihat hasil diatas diketahui
bahwa komunikasi perawat sangat penting
dalam membantu memberikan informasi
tentang hal hal yang tidak di ketahui
klien dan membantu mengatasi masalah
klien karena pada dasarnya komunikasi
terapeutik merupakan komunikasi yang di
rencanakan secara sadar bertujuan dan
kegiatannya
di
pusatkan
untuk
kesembuhan klien (Heri Purwanto, 2003).
Hubungan terapeutik antara perawat dan
klien adalah hubungan kerja sama yang di
tandai dengan tukar menukar perilaku,
perasaan, pikiran dan pengalaman dalam
membina hubungan yang terapeutik.
Banya factor yang mempengaruhi proses
komunikasi antara lain : usia, jenis
kelamin dan pendidikan.
Tingkat
pengetahuan
akan
memperngaruhi komunikasi yang di
lakukan
(Nurjannah, 2001 : 36).

30

Sedangkan menurut Notoraharjo yang di


kutip oleh Nursalam (2001) mengatakan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang akan semakin baik pula
pengetahuannya dan akan lebih mudah
untuk menerima informasi tentang
keadaannya sehingga seseorang akan lebih
mengerti tentang cara penatalaksanaan
terhadap penyakitnya baik hal yang akan
memperberat
maupun
hal
untuk
mengendalikan kecemasannya dengan
mekanisme
koping
yang
efektif,
sebaliknya seseorang dengan pendidikan
rendah akan sulit menerima atau merespon
informasi
dan
pertanyaan
yang
mengandung bahasa verbal dengan tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi. Untuk itu
perawat
perlu
mengetahui
tingkat
pengetahuan klien sehingga perawat dapat
berinteraksi dengan baik dan akhirnya
dapat memberikan asuhan keperawatan
yang tepat pada klien.
2.

Tingkat Kecemasan
Klien pre operasi di ruang Pre Med
ICU Anestesi Rumkital Dr. Ramelan
Surabaya paling banyak mengalami
kecemasan tingkat ringan ini ditunjukkan
pada tabel 5.2 dengan prosentase 58% (11
responden), megalami kecemasan sedang
sebanyak 37% (7 responden), sedangkan
yang mengalami
kecemasan
berat
sebanyak 5% (1 responden).
Seseorang yang merasa cemas
biasanya dikaitkan dengan kondisinya,
lingkungan
yang
baru,
kurangnya
informasi, pola pengobatan serta biaya
pengobatan. Seseorang yang mengalami
kecemasan
sedang
masih
dapat
melaksanakan aktivitas hidup sehari hari.
Dan yang perlu diperhatikan adalah
mencegah jangan sampai klien berada
dalam kecemasan berat maupun panic
karena tingkat pada tingkat ini wawasan
individu terhadap lingkungan sangat
menurun dan sudah tidak mampu
mengontrol dirinya (Ibrahim, 2003 : 58).

Respon seseorang terhadap stress


memiliki tingat adaptasi yang berbeda
sehingga jika ia tidak mampu mengatasi
masalah maka akan timbul respon mal
adaptif yang berupa kecemasan. Akan
tetapi setiap orang berbeda dalam
menyesuaikan dirinya terhadap stress, hal
tersebuit dapat dipengaruhi oleh usia, jenis
kelamin
dan
tingkat
pengetahuan
(Maramis, 2004 : 69).
Dari faktor pendidikan menurut
Boewer yang di kuitp oleh Nursalam
(2001), pendidikan seseorang sangat
menentukan kecemasan. Klien dengan
pendidian tinggi akan lebih mampu
mengatasi
kecemasan
dengan
menggunakan koping yang efektif dan
konstruktif daripada seseorang dengan
pendidikan rendah. Faktor yang dapat
menimbulkan
kecemasan
adalah
lingkungan. Lingkungan dapat membantu
seseorang mengintegrasikan pengalaman
yang menimbulkan stress dan mengadopsi
strategi koping yang berhasil. Hal ini dapat
dipahami karena dirawat di rumah sakit
merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan bagi tiap individu sehingga
dapat menimbulkan suatu kecemasan.
3.

Hubungan Komunikasi Terapeutik


Perawat dan Tingkat Kecemasan.
Dari hasil pengolahan data pada
sub bab 5.1.4 tabel 5.3 diperoleh hasil
bahwa hubungan komunikasi terapeutik
dan tingkat kecemasan menunjukkan
tingkat kemaknaan ( < 0,00) dengan
koefisien korelasi = 0,913, artinya ada
hubungan yang kuat antara komunikasi
terapeutik perawat terhadap tingkat
kecemasan klien.
Dalam
memberikan
asuhan
keperawatan, komunikasi secara terapeutik
memegang peranan penting dalam
membantu memecahkan masalah klien,
karena komunikasi yang ditujukan untuk
kesembuhan klien sehingga dalam
pelaksanaanya proses komunikasi dapat
memberikan informasi dan membantu

31

klien untuk mengatasi persoalan yang


dihadapi pada tahap perawatan.
Komunikasi terapeutik perawat
mempengaruhi tingkat kecemasan klien
pre operasi. Hal ini disebabkan karena
klien pre operasi membutuhkan informasi
dan penjelasan tentang keadaanya dan
tindakan yang akan dilakukan oleh
perawat. Kecemasan yang terjadi pada
klien yang ada di ruang pre med ICU
Anestesi Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
terjadi karena adanya suatu ancaman
terhadap
diri
klien
seperti
ketidakberdayaan dan kehilangan kendali
pada diri klien dan kecemasan semacam
ini akan terus berkelanjutan dan
menyebabkan klien pre operasi salah
menafsirkan status kesehatan mereka.
Untuk membantu meningkatkan perasaan
pengendalian diri pada klien salah satunya
dapat melalui pemberian informasi dan
penjelasan. Pemberian informasi ini dapat
dilakukan dengan baik apabila didukung
oleh pelaksanaan komunikasi yang efektif
oleh perawat.
.

Saran

Simpulan

Ayub Sani Ibrahim (2003), Panik Neurosis dan


Gangguan Cemas, Jakarta : PT. Dua As
As

Dari hasil penelitian ini dapat di


simpulkan bahwa :
1. Rata rata komunikasi perawat di ruang
Pre Med ICU Anestesi Rumkital Dr.
Ramelan Surabaya adalah baik
2. Rata rata klien Pre Operasi di Ruang
Pre Med ICU Anestesi Dr. Ramelan
Surabaya mengalami cemas sedang.
3. Hasil Uji statistic korelasi Spearman
menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan
antara
komunikasi
terapeutik perawat dan tingkat
kecemasan klien Pre Operasi di Ruang
Pre Med ICU Anestesi Dr. Ramelan
Surabaya.

1. Diharapkan
perawat
mampu
melaksanakan komunikasi terapeutik
secara efektif terhadap klien pre
operasi dalam memberikan asuhan
keperawatan secara professional
2. Diharapkan Rumah Sakit senantiasa
meningkatkan
mutu
pelayanan
kesehatan yang dilakukan perawat
khususnya sikap dan komunikasi
terapeutik perawat.
3. Bagi
peneliti
selanjutnya
agar
penelitian ini dapat dijadikan suatu
gambaran
dalam
penelitian
selanjutnyaguna mendapatkan hasil
yang lebih baik karena hasil penelitian
ini tidak bisa mewakili populasi, hanya
mewakili sampel yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA
Arwani
(2002),
Komunikasi
Keperawatan, Jakarta: EGC.

Dalam

Anas Tansuri (2006), Buku Saku Komunikasi


Dalam Keperawatan, Jakarta : EGC
Barbara C. Long (1996), Perawatan Medikal
Bedah I, Bandung : Yayasan IKAPI
Barbara J, Gruendemann (2005), Buku Ajar
Keperawatan Perioperatif, Volume 1,
Jakarta: EGC.
H.

Syamsuri Adam (1998), Praktek


Keperawatan Medikal Bedah, Bandung
: Yayasan LAPK

Hudak dan Gallo (1997), Keperawatan Kritis,


pendekatan Holistik, Jakarta : EGC
Keliat, Budi Ana (1996), Hubungan Perawat
dan Klien. Jakarta :EGC
Monica Ester (2005), Pedoman Perawatan
Pasien, Jakarta: EGC.

32

Mundakir (2006), Komunikasi Keperawatan


Aplikasi Dalam Pelayanan. Yogyakarta
: Graha Ilmu
Notoatmojo (2002), Metodologi Penelitian
Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
Notoatmojo, (2005),. Metodologi Penelitian
Kesehatan Edisi Revisi V, Jakarta :
Rineka Cipta
Nursalam & S. Pariani (2001), Metodologi
Penelitian, Jakarta : Sagung Seto
Oswari E. (1993), Bedah dan Perawatannya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Setiadi (2007), Konsep dan Penulisan Riset
Keperawatan, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suryani (2005), Komunikasi
Jakarta :EGC

Terapeutik,

Stuart & Sundeen (1998), Keperawatan Jiwa


Buku Saku, Edisi 3, Jakarta : Balai
Pustaka
Sugiono (2001), Statistika Untuk Penelitian,
Bandung : CV Alfa Beta

Staf Dosen Departemen Medikal Bedah


Stikes Hang Tuah Surabaya

33

KUALITAS HIDUP PEREMPUAN YANG MENGALAMI


HISTEREKTOMI SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYADI WILAYAH DKI JAKARTA:
STUDY GROUNDED THEORY
R. Khairiyatul Afiyah1, Setyowati2 , Imalia Dewi Asih3

Abstract : Hiysterctomy is a surgery that cutting out the uterus. It causes physical, psychology
and social effects. The purpose of this research is to develop a new concept of quality of life
amongst women with hysterectomy. The grounded theory method was used with ten
participants that recruited through a purposive sampling method. The result shows that there are
internal and external factors that influence the quality of life and perceptions of women make
them feel better in biological, psychological, social and spiritual aspects of their lifes. This
research recommends to that nurses to apply biological, psiychological, social, spiritual support
for women with hysterectomy as an aspect of nursing service.
Keywords : Hysterectomy,

Latar Belakang
Histerektomi
adalah
suatu
tindakan pengangkatan uterus dengan
cara pembedahan (Hickey & Lumsden,
2000). Histerektomi bukan merupakan
satu-satunya tindakan yang dilakukan
untuk mengatasi permasalahan pada
organ reproduksi, terutama bagi
perempuan yang masih menginginkan
anak. Namun tindakan
ini adalah
tindakan yang tepat dan terbaik untuk
mengatasi
penyakit
pada
organ
reproduksi secara permanen (Bobak &
Jensen, 2005).
Data dari bagian Obstetri
Ginekologi
Rumah
Sakit
Cipto
Mangunkusumo Jakarta menunjukkan
bahwa setiap tahun kurang lebih 230
tindakan histerektomi dilakukan dengan
bermacam-macam
tujuan
seperti
mengatasi perdarahan dan kanker

serviks (Gozali, Junisaf &


Santoso, 2002). Histerektomi banyak
dialami oleh wanita usia produktif. Usia
wanita yang mengalami histerektomi
berada dalam rentang usia 20-49 tahun
(Berek, 1996). Dampak histerektomi
pada perempuan yang mengalaminya
yaitu pada fisik, psikologi dan sosial.
Beberapa dampak tersebut
saling
mempengaruhi
karena
dengan
histerektomi
perempuan
akan
kehilangan organ reproduksi yang
sangat berharga. Kehilangan tersebut
akan mempengaruhi keadaan psikologi
mereka seperti cemas, ketakutan dan
akhirnya mengalami depresi. Perasaan
depresi yang diakibatkan oleh hilangnya
simbol
kewanitaanya
membuat
perempuan mengalami perasaan yang
tidak jelas sehingga dapat mengancam
perannya terutama didalam masyarakat
tradisional yang sangat menghargai
terhadap nilai seorang perempuan

(Farooqi, 2007; Carlson, 1997; Bayram


& Beji, 2009).
Perasaan dan anggapan kurang
sempurna sebagai perempuan karena
histerektomi
akan
menimbulkan
permasalahan dan dilema yang sangat
pelik dan bersifat patologis yang akan
terjadi
disepanjang
kehidupannya.
Salah satu permasalahan yang banyak
ditakutkan adalah perpisahan dengan
pasangannya. Keadaan ini merupakan
langkah terberat dan penyebab depresi
yang dialami oleh perempuan pasca
histerektomi khusunya bagi perempuan
yang belum pernah melahirkan seorang
anak (Hickey & Lumsden, 2000).
Depresi merupakan dampak
tersering karena histerektomi. Salah
satu penyebabnya adalah karena
kehilangan fungsi reproduksi dan
infertil.
Beberapa
perempuan
mengatakan merasa sedih setelah
tindakan histerektomi, ini dibuktikan
oleh beberapa perempuan yang terlihat
menangis tanpa diketahui penyebabnya
setelah empat hari sampai satu minggu
pasca histerektomi (Flory,. et al, 2005;
Katz, 2002).
Dampak dari histerektomi akan
memberikan pengaruh besar terhadap
kualitas hidup, ini dapat terlihat
bagaimana
perempuan
dalam
menjalankan kehidupannya seperti
bagaimana individu dalam beraktivitas,
berhubungan sosial dan berinteraksi
terhadap lingkungannya. Semua hal
tersebut dapat menyebabkan perubahan
perilaku sehari-hari yaitu perubahan
gambaran diri akan mengakibatkan rasa
tidak percaya diri, perilaku menarik diri,
tidak percaya terhadap Tuhan dan
akhirnya perilaku melukai diri sendiri
(Farooqi, 2005; Flory., et al,. 2005;
Uzun., et al, 2009).

Pada
umumnya
tindakan
histerektomi berdampak
terhadap
kualitas hidup, pernyataan ini diperkuat
oleh penelitian dari Bayram & Beji,
(2009) yang mengidentifikasi bahwa
tindakan histerektomi memberikan
dampak kecil
pada peningkatan
kualitas hidup yang lebih baik dalam
waktu yang lama termasuk kesehatan
mental.
Kualitas hidup perempuan yang
mengalami histerektomi memberikan
hasil berbeda pada setiap individu hal
tersebut seperti yang dikatakan Bayram
& Beji, (2009) menyatakan bahwa
dampak histerektomi terhadap kualitas
hidup perempuan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu; seberapa besar
keluhan yang dirasakan sebelum
tindakan histerektomi, hasil tindakan
histerektomi yaitu hasil yang baik akan
meningkatkan kualitas hidup serta
kualitas personal yaitu fisik, psikologis,
hubungan sosial dan lingkungan yang
baik dapat meningkatkan kualitas hidup.

Bahan
dan
Penelitian

Metodelogi

Penelitian
menggunakan
pendekatan kualitatif dengan desain
grounded theory dengan tujuan
mengembangkan suatu konsep tentang
kualitas hidup pada perempuan yang
mengalami histerektomi serta faktorfaktor
yang
mempengaruhinya.
Prosedur sampling yang digunakan
purposive sampling, jumlah partisipan
10 orang, menggunakan tekhnik
wawancara dan observasi dengan
analisa data dari Strauss & Corbin
(1998).

35

Hasil Penelitian
Setelah peneliti memperoleh
data penelitian yang teridentifikasi dari
hasil wawancara, observasi perilaku,
catatan lapangan dan telaah literatur,
peneliti kemudian menganalisanya dan
memperoleh sepuluh tema. Adapun
sepuluh tema yang diperoleh dalam
penelitian ini tentang kualitas hidup
perempuan
yang
mengalami
histerektomi serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya adalah :
Persepsi tentang histerektomi.
Histerektomi yang dikemukakan oleh
sebagian besar partisipan adalah bahwa
dengan histerektomi menghilangkan
semua keluhan-keluhan utama seperti
perdarahan, nyeri, anemia. Hal tersebut
sesuai dengan konsep dari Rock &
Jones III (2008), Hickey & Lumsden,
2000 tentang tujuan dari histerektomi
adalah mengurangi keluhan dan
meningkatkan kesehatan.
Berikut
ini
beberapa
ungkapan
partisipan :
Keluhan-keluhan yang dulu sebelum
histerektomi sudah tidak terasa (P-1).
.
Keluhan awal pasca histerektomi.
Penurunan produksi hormon estrogen
dapat
menyebabkan
gejala
premenopause yaitu merasa kedinginan,
produksi keringat meningkat, palpitasi,
sakit kepala, nyeri otot, kelelahan,
insomnia. penurunan respon seksual
karena bekas luka pada jaringan saat
operasi dapat mengganggu aliran darah
ke organ genital dan banyak syaraf
disekitar organ genital mengalami
kerusakan saat operasi sehingga
mengakibatkan gangguan pada saat
berhubungan sek (Yongkin & Davis,
2004).

Gejala gangguan psikologi yang sering


terjadi setelah histerektomi adalah
depresi dan stres, karena beberapa
perempuan beranggapan bahwa uterus
adalah sumber perasaan dan anggapan
tersebut dapat mempengaruhi kesehatan
mental (Katz, 2002).
Berikut
ini
beberapa
ungkapan
partisipan:
yang paling dirasakan 3 bulan
aktivitas hubungan suami istri tidak
berani,4 bulan setelah pasca operasi
baru berhubungan suami istri tapi
sakitnya luar biasa ( P-1).
Keluhan lanjut pasca histerektomi.
Dampak psikologis dari tindakan
histerektomi adalah pada umumnya
reaksi perempuan
yang mengalami
histerektomi akan merasakan suatu
kehilangan
yang
diikuti
reaksi
kesedihan. Secara umum dampak dari
histerektomi
adalah pada fisik,
psikologi, dan sosial senada yang
dikatakan Rock & Jones III (2008)
tentang efek tindakan histerektomi yang
memberikan dampak yang sangat
kompleks pada individu.
Berikut ini adalah beberapa ungkapan
dari partisipan :
BB meningkat sampai 10 kg, keringat
keluar banyak, berhubungan suami
isteri tapi sakitnya luar biasa, terasa
serret (P-1)
Aktivitas
sehari-hari
berjalan
normal.
setelah
mengalami
tindakan
histerektomi aktivitas sehari-hari tidak
mengalami perubahan yang artinya
tidak ada masalah apapun yang
berkaitan dengan bagaimana aktivitas
sehari-hari dirumah ataupun ditempat
kerja pada perempuan yang mengalami
histerektomi senada yang dikatakan
oleh Hennesy., et al (2006) salah satu

36

dimensi dari kualitas hidup adalah


kemampuan fungsional yang berari
bagaimana
individu
dapat
memfungsikan dirinya dalam kehidupan
sehari-hari
yang
diaplikasikan
bagaimana indivdu melakukan aktivitas
baik dirumah, lingkungan serta ditempat
kerja.
Beberapa ungkapan dari partisipan
sebagai berikut :
rutin tiap hari masuk pagi..bisanya
tiap hari ada saja rapat, .tapi anehnya
saya tuh gak merasakan apa-apa
bagaimanan gitu capek-capek gitu
malah sekarang saya agak maruk
kerja ya (P-9)
Peningkatan kesejahteraan spiritual.
Peningkatan spiritual sebagai salah satu
mekanisme koping yang efektif dalam
menerima suatu masalah. Peningkatan
spiritual yang dilakukan seseorang atau
sumber spiritual yang berasal dari orang
lain
merupakan
modal
dalam
memberikan dukungan dan kekuatan
untuk menghadapi menghadapi situasi
atau masalah dalam kehidupan termasuk
peristiwa kehilangan. Dengan adanya
kekuatan tersebut seseorang mempunyai
suatu harapan, semangat
dalam
menghadapi hidupnya.
Berikut beberapa ungkapan dari
parisipan :
Malah saya lebih enak saya bisa
beribadah kapanpun, bisa puasa penuh
selama tiga taun akhir-akhir ini, bisa
beribadah dengan penuh(P-8
Hubungan sosial baik.
Hal ini terlihat dari ungkapan yang
dinyatakan oleh partisipan adalah
sebagai berikut :
Tapi kita kalau ada undangan kalau
ada waktu pasti kita datang yang
penting silaturrahmi tetep dengan
tetangga (P-4)
Orientasi masa depan.

Beberapa partisipan yang mengatakan


saat ini dirinya sangat dibutuhkan
pasen-pasen
diruangan
ditempat
partisipan bekerja, hal tersebut sesuai
dengan konsep Hennesy,.et al (2006),
salah satu dari dimensi kualitas hidup
adalah orientasi masa depan.
Beberapa ungkapan dari partisipan
sebagai berikut :
Saya ingin hidup saya bermanfaat
untuk orang lain meski sudah gak
punya rahim ( P-2)
pasen-pasen saya masih sangat
membutuhkan saya (P-9)
Hubungan interepersonal baik.
Lima
dari
sepuluh
partisipan
mengatakan hubungan seksual dengan
suami tidak ada masalah, namun dua
dari sepuluh partisipan mengatakan
penurunan hasrat untuk berhubungan
seksual. Hal tersebut sesuai dengan
konsep dari Hennesy., et al. (2006),
tentang salah satu dimensi kualitas
hidup adalah kehidupan seksual yang
termasuk gambaran terhadap dirinya
sendiri.
Berikut beberapa ungkapan partisipan:
Sekarang ya, setelah HT itu gairah
seksual saya semakin gila (P-8)
biasanya liburan kita sering ke
Bandung(P-8)
Faktor internal dan faktor eksternal
yang mempengaruhi kualitas hidup pada
perempuan
yang
mengalami
histerektomi. Faktor internal yang
mempengaruhi kualitas hidup pada
perempuan
yang
mengalami
histerektomi adalah komitmen dan sikap
optimis
dan
adaptasi
terhadap
perubahan pasca histerektomi. Faktor
eksternal yang mempengaruhi kualitas
hidup pada perempuan yang mengalami
histerektomi adalah dukungan sosial
dan informasi kesehatan tentang
histerektomi dan permasalahannya.

37

Berikut beberapa ungkapan partisipan :


pengen kualitas hidup saya lebih
baik,ya kesehatan jasmani dan rohani
(P-5).
tapi tidak seelastis dulu ya...sudah
berkurang,,,tapi bisa menggunakan
trik-trik
suami
isteri
tanpa
menggunakan obat apapun (P-7).
Beberapa ungkapan yang ditunjukkan
oleh partisipan :
saya ini kan mau operasi...harusnya
kan mereka ngupas dulu bagaimana
tindakannya nanti (P-6)
kalau ini memang yang terbaik buat
isteri saya, ya dilakukan.,kalau suami
pokoknya apapun yang penting saya
sehat (P-3).

Skema Hasil penelitian Grounded Theory; Kualitas hidup


perempuan yang mengalami histerektomi serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya
Faktor internal yang
mempengaruhi kualitas hidup
pasca histerektomi :
Komitmen dan
sikap optimis

Faktor eksternal yang


mempengaruhi kualitas
hidup pasca histerektomi
:
Dukungan
sosial

Adaptasi terhadap
perubahan pasca

Keluhan
awal pasca
histerektomi

Persepsi
tentang
histerektomi

Aktivitas seharihari berjalan


normal
Peningkatan
kesejahteraan
spiritual
Hubungan
sosial baik

Keluhan
lanjut pasca
histerektomi

Informasi

Hubungan
interpersonal
dalam keluarga
baik

Orientasi
masa
depan

Pembahasan
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan keluhan awal yang
dirasakan
perempuan
pasca
hiterektomi adalah adanya gangguan
pada fisik dan gangguan pada
psikologi, gangguan-gangguan yang
dialaminya
berkaitan
dengan
gangguan terhadap kebutuhan dasar
manusia, seperti gangguan eliminasi
alvi, sehingga hal tersebut dapat
mempengaruhi kualitas hidupnya
saat itu.
Penelitian ini menunjukkan
hasil bagaimana kualitas hidup
perempuan
yang
mengalami
histerektomi. Kualitas hidup yang
ditunjukkan oleh perempuan yang
mengalami
histerektomi setelah
satu tahun sampai saat ini adalah
dalam kondisi baik, perempuan
yang mengalami kondisi yang baik
pasca histerektomi, merasakan
bahwa keluhan-keluhan utama yang
dirasakan sebelum histerektomi
seperti nyeri perut, perdarahan
banyak saat menstruasi, nyeri saat
berhubungan seksual dengan suami
sudah tidak pernah dirasakan lagi.

Kualitas hidup pada perempuan


yang mengalami histerektomi akan
mempengaruhi
bagaimana
persepsinya. Persepsi yang baik
didapatkan dalam penelitian ini,
yang ditunjukkan oleh sebagian
besar partisipan bahwa histerektomi
yang
dialami
partisipan
meningkatkan status kesehatan dan
menghilangnya keluhan utama.
Semua yang dialami partisipan
setelah
histerektomi
akan
memberikan
suatu
gambaran
terhadap
histerektomi.
Senada
dengan hasil penelitian dari
38

Silverstein,
(2002)
yang
menunjukkan bahwa histerektomi
meningkatkan kenyamanan hidup
pasien.
Kondisi kesehatan yang
dialami pada perempuan pasca
histerektomi dalam penelitian ini
akan mempengaruhi bagaimana
perempuan
dapat
berinteraksi
dengan baik terhadap lingkungan
sosialnya serta aktivitas sehari-hari.
Dalam penelitian ini sebagian besar
partisipan masih aktif berhubungan
dengan
lingkungan
sekitarnya
seperti masih aktif kumpul dengan
tetangga hanya untuk ngobrolngobrol
saja
dan
mengikuti
pengajian rutin dan
yasinan
bersama-sama dengan tetangga.
Hubungan
interpersonal
yang
teridentifikasi dalam penelitian ini
adalah hubungan interpersonal
partisipan dengan pasangannya yang
berkaitan dengan hubungan seksual
dengan suaminya. Teridentifikasi
dalam penelitian ini bahwa sebagian
besar partisipan mengungkapkan
hubungan seksual dengan suaminya
berjalan normal tidak ada gangguan,
cenderung meningkat namun ada
sebagian kecil partisipan yang
mengatakan mengalami penurunan
hasrat untuk berhubungan seksual.
Hubungan
kehangatan
dalam
keluarga dirasakan oleh sebagian
besar partisipan pasca histerektomi.
Tindakan histerektomi yang dialami
perempuan dalam penelitian ini
memberikan dampak positif pada
aspek spiritual dalam bentuk
peningkatan kesejahteraan spiritual.
Selain hubungan spiritual yang
berkaitan dengan sang pencipta,
partisipan juga mengatakan bahwa
saat ini lebih sabar, lebih pasrah dan

menyadari bahwa Tuhan masih


sayang pada dirinya dan partisipan
juga
menganggap
bahwa
histerktomi yang dialaminya adalah
jalan untuk lebih dekat kepada
Tuhan. Peningkatan spiritual yang
berhubungan
dengan
sesama
manusia tergambar pada sikap
dengan membagi dan memberikan
kebahagiaan dan kasih sayang
kepada keluarga dan orang lain
partisipan
meyakini
bahwa
hidupnya saat ini harus bermanfaat
buat orang lain.
Namun, kualitas hidup baik yang
sudah dirasakan oleh perempuan
yang
mengalami
histerektomi
sampai saat ini, disertai juga dengan
dirasakannya
keluhan-keluhan
ringan yaitu keluhan lanjut pada
fisik
dan
psikologi
pasca
histerektomi. Keluhan-keluhan yang
dirasakan dianggap oleh partisipan
sebagai efek dari menopause dan
proses menua.
Faktor
eksternal
yang
mempengaruhi kualitas hidup pada
perempuan
yang
mengalami
histerektomi dalam penelitian ini
adalah
pemberian
pendidikan
kesehatan tentang histerektomi dan
permasalahannya dan dukungan
sosial.
Informasi tentang histerektomi dan
permasalahannya sangat dibutuhkan
pada
semua
individu
yang
mengalami
histerektomi
tanpa
melihat latar belakang pendidikan
dan
pekerjaan,
hal
tersebut
ditunjukkan
oleh
karakteristik
partisipan dalam penelitian ini yang
sebagian besar adalah perawat dan
bidan, kenyataannya mereka masih
belum mengerti tentang histerktomi
dan mereka mengungkapkan bahwa

39

pada saat divonis untuk histerektomi


mereka
sangat
membutuhkan
informasi tersebut.
Taylor, 1999) menyatakan bahwa
dukungan sosial adalah informasi
dari orang lain bahwa ia dicintai dan
diperhatikan, memiliki harga diri
dan dihargai serta merupakan bagian
dari jaringan komunikasi dan
kewajiban bersama. Sumber dan
bentuk dukungan yang biasa
ditunjukkan
adalah
bagaimana
orang lain yang akan berinteraksi
dengan individu sehingga individu
tersebut
dapat
merasakan
kenyamanan secara psikologis dan
fisik.
Komitmen dan sikap optimis serta
adaptasi terhadap perubahan pasca
histerektomi merupakan faktor
internal
yang
mempengaruhi
kualitas hidup pada perempuan yang
mengalami histerektomi. Komitmen
dan sikap yang ditunjukkan
partisipan adalah bagaimana dapat
mempertahankan atau meningkatkan
kualitas hidupnya dengan didasari
oleh harapan hidup yang dimilik
oleh partisipan. Harapan hidup yang
diungkapkan
sebagian
besar
partisipan dalam penelitian ini
adalah ingin lebih baik dan lebih
sehat. Hal tersebut sesuai dengan
konsep tentang dimensi kualitas
hidup Jennifer, et all (1999) yaitu
bahwa dimensi kualitas hidup yang
baik adalah bagaimana orientasi
masa depan individu, kehidupan
seksual,
termasuk
gambaran
terhadap diri sendiri dan fungsi
dalam bekerja.
Komitmen dan sikap optimis akan
mempengaruhi proses adaptasi
individu terhadap perubahan yang
dialaminya akibat histerektomi.
Proses adaptasi ditunjukkan oleh

partisipan dengan cara melakukan


upaya yang berasal dari kesadaran
diri serta melakukan suatu perilaku
lebih baik yang bersifat mengurangi
dampak yang lebih besar serta
bersifat pencegahan dengan tujuan
kualitas hidup perempuan yang
mengalami histerektomi tetap baik.

Kesimpulan
Histerektomi
adalah
pengangkatan uterus dengan cara
pembedahan. Ini menyebabkan
dampak pada fisik, psikologi dan
sosial. Tujuan penelitian ini adalah
untuk
mengembangkan
suatu
konsep baru tentang kualitas hidup
pada perempuan yang mengalami
histerektomi.
Penelitian
ini
menggunakan metode grounded
theory
dengan 10 partisipan,
pengambilan partisipan dengan cara
purposive sampling. Hasil penelitian
menunjukkan adanya faktor internal
dan eksternal yang mempengaruhi
kualitas
hidup
dan
persepsi
perempuan yang membuat mereka
merasa lebih baik pada biopsiko,
sosial
dan
spiritual
didalam
kehidupan mereka. Penelitian ini
merekomendasikan pada perawat
untuk mengaplikasikan dukungan
biopsiko, sosial dan spiritual dalam
kasus ini yaitu sebagai bentuk
pelayanan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Bayram, G.O,. & Beji, N.K. (2009).
Psychosexual adaptation and
quality
of
life
after
hysterectomy.
Original
paper. DOI 10.1007/s11195009-9143-y.
http://www.springerlink.com/
diperoleh tanggal 23 Februari,
2010.
40

Berek, J.S. (1996). Novaks


gynecology. (12th ed).
Pennsylvania: Pierce Graphic
Services, Inc.
Bobak, Lowdermik, Jensen, (2003).
Maternity Nursing. (4ed).
Mosby: Year Book, Inc.
Carlson, K.J. (1997). Outcomes of
hysterectomy.
The
New
England
Journal
of
Medicine.Volume 347: 13601362.
Clark, C.R. & Smith, A. (1998).
Womens health: A primary
health
care
approach.
Philadelphia.
Maclenan+Petty.
Farooqi, Y.N. (2005). Depression
and anxiety in patients
undergoing
hysterectomy.
Journal
of
Pakistan
Psiychiatric Society. Vol 2
(1):13-6.
Flory, N,. Bissonnette, F,. Binih,
Y.M. (2005). Psychososial
effect
of
hysterectomy.
Journal Psychosom. Res. Vol
5 (10-13).
Ghozali, S., & Junizaf, et al. (2004).
Perangai
seksual
pasca
histerektomi total. Indonesia
J. Obstet Gynecol.24(2):8284.
Hickey, M. & Lumsden, M.A.
(2000). Complete womens
health.
London:
Hammersmith.
Katz, A. (2002). Sexuality after
hysterectomy. JOGNN. 31
(22-23)
Uzun, R,. Savas, A,. Ertunc, D,.
Tok, E., Dilek, S; The effect
abdominal
hysterectomy
perfomed
for
uterine
leiomyoma on quality of live.
Turkiye
Klinikleri
J.
Gycinecol. Obstet. 9(1), 1-6.

Silverstein, D.K. (2002) :


Hysterectomy status and life
satisfaction in older women.
Journal of womens health &
gender-based medicine.
Volume 11, Number 2.
ihttp://web.ebscohost.com/.
diperoleh tgl 2 juli 2010
Strauss, A. & Corbin, J, (1998).
Basics of qualitative research
techniques and procedures
for developing grounded
theory. (2nd ed). New Delhi:
SAGE Publication, Inc.
Yongkin, E.Q. & Davis, M.S.
(2004). Womens health a
primary care clinical guide.
New Jersey: Pearson.
1

: Staf pengajar Stikes Yarsi


Surabaya
2
: Staf Dosen Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
3
SKp.,MSN3: Staf Dosen Fakultas
Ilmu
Keperawatan
Universitas
Indonesia

41

PEMBERIAN JAMBU MERAH TERHADAP PENINGKATAN


TROMBOSIT PADA ANAK DHF
Setiadi

Abstract : Dengue hemoragic fever is an infection diseases caused by aedes aegepty.


There are various methods for medication and treatment dengue hemoragic, farmocologis
and non pharrmacological method. There are two of treatment non pharrmacological red
guava juice. This research had the purpose to know the trombocyte increase in the patient
who administered with the red guava juice.
Design of this research was the quasy experiment with control time design using
purposive sampling nonprobabilty approach. The population proportion of 20 respondents
with 10 groups of control and 10 intervention group, statistical analysis using t-test and tindependen.
From the result of the research it was obtained that did not administered with red guava
juice the average was trombocyte, 14.300, while the increase average administered red
guava
juice
was
76.100,
the
result
of
test 0,00 ( <0,05). That is there was effect of red guava administering to the trombocyte
number increase on the DHF sufferes.
Implication of the research was that the red guava administering can be use one of drink
choicces can be consumen to increase trombocyte numbers in the DHF sufferer.
Keyword:DHF,RedGuavaJuice,trombocyte.

Latar belakang
DHF adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue
tipe 1-4, sifat dari virus dengue
antara lain berbentuk batang,
termolabil,
sensitif
terhadap
inaktivasi, stabil pada suhu 700
celcius. Dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes Aegpty dan
beberapa spesies lainnya. Virus ini
masuk kedalam pembuluh darah dan
menyerang bagian dinding pembuluh

darah. Pada penderita DHF terjadi


peningkatan sistem komplemen
akibat aktivasi kompleks antigen
virus-antibodi.
DHF banyak di
jumpai di masyarakat penyakit ini
dapat menyerang semua orang
(Soegeng, 2006). Dari data awal
didapatkan pada tahun 2010 di
puskesmas Sedati Sidoarjo sejumlah
99 orang menderita DHF
Pengobatan
DHF
berkonsentrasi pada peningkatan
trombosit
dengan
cara
mengembalikan
permeabilitas
vaskuler ke kondisi normal lagi.
Salah satu pengobatan yang dapat
meningkatkan
trombosit
yaitu
dengan menggunakan ekstrak jambu

merah (Soegeng, 2004 : 121).


Berbagai penelitian menunjukkan
ekstrak daun jambu merah dan jambu
merah bisa menekan aktivasi
komplemen.
Angka kesakitan DHF di
Indonesia cenderung meningkat,
mulai 50 kasus per 100.000
penduduk dengan kematian sekitar 12% (Kompas, 2010). Tahun 2004
DHF mengalami insiden peningkatan
yang cukup tinggi sehingga pada
bulan februari 2004 pemerintah
menetapkan keadaan luar biasa
(KLB) pada kasus DHF. DHF
merupakan penyakit musiman dan
penyakit yang berbahaya. (Somarmo,
2000). Berdasarkan data yang
didapat dari dinas kesehatan Sidoarjo
pada tahun 2009 dengan jumlah
penduduk 1.705.528 terdapat 172
penderita DHF pada anak dan 11
penderita
DHF meninggal
sedangkan pada tahun 2010 dengan
jumlah penduduk 1. 778.221 terdapat
404 penderita DHF pada anak,
penderita yang meninggal pada tahun
2010 sebanyak 10 orang. Pada tahun
2010 terdapat peningkatan jumlah
penderita DHF . Sedangkan di
puskesmas
sedati
kecamatan
gedangan kabupaten Sidoarjo pada
tahun 2010 jumlah penderita DHF
terdapat 99 penderita tahun 2011
bulan januari terdapat 9 penderita
DHF.
Virus dengue ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegepty dan masuk kedalam
pembuluh darah. Trombosit dan
endotel diperkirakan mempunyai
peran penting dalam patogenesis,
berdasarkan kenyataan bahwa pada
DHF terjadi trombositopenia disertai
peningkatan permeabilitas kapiler.
Trombositopenia (jumlah trombosit
< 100.000/L) merupakan salah satu
kriteria
laboratoris
disamping

peningkatan hematokrit >20% dari


kriteria diagnosis DHF menurut
WHO
(2007).
Para
peneliti
menyebutkan
bahwa
derajat
trombositopenia pada penderita
demam
berdarah
cenderung
berhubungan
dengan
beratnya
penyakit . Manifestasi klinis dari
infeksi virus dengue yang paling
ditakutkan
adalah
terjadinya
perdarahan dan kebocoran plasma.
yang dapat menyebabkan syok.
Perdarahan dapat terjadi akibat
adanya
trombositopenia
dan
gangguan fungsi trombosit. Peneliti
lain menyebutkan adanya gangguan
fungsi
trombosit.
Ditemukan
komplek
imun
dipermukaan
trombosit diduga sebagai penyebab
terjadinya agregasi trombosit yang
kemudian akan dimusnakan oleh
sistem retikuloendotelia, terutama
dalam limpa dan hati.
Pengobatan
DHF
pada
dasarnya masih bersifat supportif
atau simtomatis berdasarkan kelainan
utama yang terjadi yaitu berupa
perembesan plasma akibat dari
meningkatnya
permeabilitas
vaskuler. Cairan awal sebagai
pengganti volume plasma dapat
diberikan garam isotonik atau ringer
laktat. Belum ada usaha pengobatan
yang bersifat kuratif, baik dalam
mengatasi terjadinya perdarahan atau
trombositophenia maupun dalam
mengatasi kebocoran plasma. Jambu
merah merupakan salah satu
alternatif
dalam
percepatan
penyembuhan penyakit DHF.
Kandungan dalam jambu
merah salah satunya senyawa
quarcentin golongan flavonoid,
sitokin yang berfungsi meningkatkan
kekenyalan
pembuluh
darah.
Senyawa yang diduga berperan
penting adalah quarcentin dari
golongan flavonoid. Senyawa ini

43

bekerja
meningkatkan
jumlah
sitokin. Di dalam tubuh sitokin
berperan meningkatkan kekenyalan
pembuluh
darah
sekaligus
meningkatkan sistem pembekuan
darah. Menurut Prof dr Sumali
kepala pusat studi bahan alam, di
mana quarcentin bekerja dengan cara
menghambat enzim pembentuk RNA
virus dengue. RNA berperan dalam
sintesis protein. Jika pembentukan
virus RNA terganggu, virus dapat
mati sehingga
jumlah trombosit
dalam darah dapat meningkat.
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan dan beberapa tahun
terakhir penggunaan jambu merah
dan ekstrak daun jambu biji untuk
pengobatan DHF terutama dalam
meningkatkan jumlah trombosit
mulai banyak digunakan baik oleh
masyarakat maupun dikalangan
dunia kedokteran. Hal ini bisa
disampaikan
kepada
tenaga
kesehatan, penderita DHF, dan
keluarga penderita bahwa jambu
merah dapat digunakan sebagai
pengobatan
DHF
dan
terapi
tambahan.
Pemberian
terapi
tambahan jambu merah pada
penderita DHF dengan memberikan
demonstrasi tentang cara pengolahan
serta konsumsi sehingga penderita
dapat dengan mudah memanfaatkan
buah
jambu
merah
untuk
meningkatkan trombosit. harganya
relatif murah karena bahannya
mudah didapat, efek sampingnya
hampir tidak terasa. Salah satu
tanaman yang mempunyai efek
meningkatkan trombosit adalah
jambu merah.

Bahan
dan
Penelitian

Metodelogi

Penelitian ini menggunakan


rancangan
Quasy-Experimental

dengan metode control time desain


untuk
mengetahui
pengaruh
pemberian jambu merah terhadap
peningkatan trombosit pada anak
DHF Penelitian ini terdapat dua
responden
yaitu
kelompok
eksperimen yang diberikan intervensi
dan kelompok kontrol yang tidak
diberikan
intervensi.
Pemilihan
kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dipilih secara tidak random
dan sesuai dengan keinginan peneliti.
Pengukuran dilakukan kepada kedua
kelompok diawali dengan pre-test
setelah itu diberikan perlakuan
kemudian dilakukan pengukuran
kembali (post-test).
Metode
time desain
dapat
digambarkan sebagai berikut(Aziz,
2010: 43).
Populasi dalam penelitian ini
adalah keseluruhan penderita DHF
anak yang (+) menderita DHF pada
periode bulan april sampai dengan
bulan juni sejumlah 20 orang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Notoatmodjo
(2010) yang mengatakan bahwa
seluruh populasi adalah keseluruhan
objek penelitian atau objek yang
diteliti tersebut adalah populasi
penelitian. Sampel dari penelitian ini
adalah sebagian penderita DHF pada
anak,
sejumlah
20 orang di
Puskesmas Sedati Sidoarjo. Teknik
sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Nonprobability
sampling dengan metode purposive
sampling yaitu teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu
sesuai yang dikehendaki peneliti
(Setiadi, 2007: 183)
Pada penelitian ini terdapat
dua
variabel
yaitu
variabel
independent dan variabel dependent.
Variabel indipendent nya adalah
pemberian jus jambu merah pada
kelompok perlakuan dan kelompok
intervensi. Variabel dependent nya

44

adalah jumlah trombosit sebelum dan


sesudah perlakuan baik pada
kelompok intervensi maupun pada
kelompok kontrol.
Instrumen pengumpulan data
dalam penelitian ini yang digunakan
adalah cek laboratorium pada
pengukuran
trombosit.
Untuk
pemberian
jus
jambu
merah
menggunkan gelas ukur, dan lembar
observasi
yang
dikembangkan
berdasarkan
jumlah
normal
trombosit.
Setelah didapatkan sampel,
dibagi menjadi dua kelompok sesuai
dengan
kriteria
inklusi
yaitu
kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Kedua kelompok didata
jumlah trombosit awal (pre test) satu
hari sebelum diberikan intervensi
jambu merah yaitu pada bulan april
2011. pengukuran jumlah trombosit
awal (pre test) dilakukan pagi hari
pukul 08.00-09.00 WIB. Kemudian
pada bulan april 2011 kelompok
perlakuan diberikan jus
jambu
merah selama tiga hari dengan
frekuensi dua kali sehari (pagi, sore).
Setelah
dilakukan
intervensi
pemberian jus jambu merah selama 3
hari maka diteruskan dengan
pengukuran jumlah trombosit dengan
cek darah akhir (post test) pada
pukul 08.00-09.00 WIB..
Untuk mengetahui hubungan
atau derajat kerataan antara variabel
pemberian jus jambu merah terhadap
peningkatan trombosit pada anak
DHF digunakan uji t test. Tujuan dari
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui pengaruh pemberian
jambu merah terhadap peningkatan
trombosit pada penderita DHF di
Puskesmas Sedati Sidoarjo. Untuk
variabel status trombosit, data yang
diperoleh akan dikelompokkan dan
ditabulasi frekuensi dalam bentuk
mutlak dan angka korelatif %. Data

yang sudah dianalisa diuji dengan


menggunakan data Uji-t dua sampel
berpasangan uji ini memiliki fungsi
untuk
mengetahui
perbedaan
sebelum & sesudah
dilakukan
perlakuan
sampel/kelompok
perlakuan. Hasilnya uji-t sampel
berpasang adalah = 0,05 maka ada
perbedaan jumlah trombosit sebelum
dan
sesudah
dilaksananakan
pemberian jus jambu merah. Untuk
uji-t
sampel
bebas
untuk
mengetahui perbedaan pada dua
sampel/kelompok perlakuan hasilnya
uji homogen varians = 0,05 , maka
varians homogen, maka uji t-2
sampel bebas adalah liat baris
pertama adalah 0,05 maka jus
jambu merah efektif terhadap
peningkatan trombosit pada anak
DHF.
Variabel penelitian meliputi
jumlah trombosit kelompok yang
tidak diberikan jus jambu merah dan
kelompok yang diberikan jus jambu
merah .

Hasil Penelitian
Variabel penelitian meliputi
jumlah trombosit kelompok yang
tidak diberikan jus jambu merah dan
kelompok yang diberikan jus jambu
merah .
1. Jumlah Trombosit Kelompok
Yang diberikan jus jambu merah
Tabel 1 Jumlah Trombosit pada
kelompok Yang diberikan jus jambu
merah Jambu Merah

No
resp

Jumlah trombosit
Pre
Post

Selisih
jumlah
trombosit

Mean
peningk
atan
trombos
it

45

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

90.000
67.000
40.000
90.000
99.000
95.000
84.000
98.000
99.000
74.000

240.000
160.000
200.000
150.000
150.000
150.000
122.000
150.000
125.000
150.000

150.000
93.000
160.000
60.000
51.000
55.000
38.000
52.000
26.000
76.000

76.100

Dari tabel 1 menunjukkan


jumlah peningkatan trombosit pada
kelompok yang diberikan jus jambu
merah, peningkatan mulai dari
jumlah trombosit terendah 26.000
sampai dengan 160.000 dengan
rata-rata
peningkatan
jumlah
trombosit 76.100. Pada kelompok
yang diberikan jus jambu merah
semua
responden
mengalami
peningkatan jumlah trombosit.
2. Jumlah Trombosit Kelompok
Yang tidak diberikan jus jambu
merah
Tabel 2 Jumlah Trombosit pada
Kelompok yang tidak diberikan jus
jambu merah
Jumlah trombosit
No
resp

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Pre

98.000
68.000
86.000
84.000
95.000
90.000
100.000
90.000
100.000
84.000

Post

150.0
00
122.0
00
95.00
0
84.00
0
99.00
0
90.00
0
101.0
00
98.00
0
100.0
00
99.00
0

Selisih
jumlah
trombosi
t

52.000
54.000
9.000
0
4000
0
1000
8000
0
15.000

Mean
peningkatan
trombosit

14.30

Dari tabel 5.2 menunjukkan


jumlah peningkatan trombosit pada
kelompok yang tidak diberikan jus
jambu merah yaitu dari yang tidak
mengalami peningkatan samapai
dengan
peningkatan
54.000.
Dengan rata-rata peningkatan jumlah
trombosit 14.300. Sebanyak 7
responden dari 10 sampel kelompok
yang tidak diberikan jus jambu
merah yang mengalami peningkatan
jumlah trombosit dan 3 responden
dari 10 sampel kelompok yang tidak
diberikan jus jambu merah tidak
mengalami peningkatan jumlah
trombosit.
3. Pengaruh
Jambu
Merah
terhadap peningkatan Trombosit
Tabel 3 Group Statistik Trombosit
Trombosit

Mean

SD

Yang tidak
diberikan jus
14.300
20.60
jambu merah
Yang
diberikan jus
76.100
45.53
jambu merah
t- independent: = 0,00 ( <0,05)

SE

6.51

10

14.53

10

Pada tabel 3 rata-rata jumlah


trombosit pada kelompok yang
diberikan jus jambu merah adalah
76.100 dengan Standart Deviation
45.537408,
sedangkan untuk
kelompok yang tidak diberikan jus
jambu merah
jumlah rata-rata
trombosit 14.300 dengan Standart
Deviation 20.609868. hasil uji t-test
dan t-independen statistik dihasilkan
= 0,00 ( < 0,05 ) artinya ada
perbedaan signifikan rata-rata jumlah
trombosit pada pasien yang diberikan
jambu merah dengan yang tidak
diberikan.

46

Pembahasan
1.

Jumlah Trombosit Kelompok


Yang Diberikan Jus Jambu
Merah
Pada
kelompok
yang
diberikan jus jambu merah sebelum
dilakukan intervensi
jumlah
trombosit nilai terendahnya 40.000
dan nilai tertingginya 240.000.
sedangkan setelah diberikan jus
jambu merah jumlah trombosit nilai
terendahnya 125.000 dan nilai
tertingginya 240.000 hasil penelitian
pada kelompok intervesi terdapat 10
responden klien DHF didapatkan
data, nilai rata-rata peningkatan
jumlah trombosit adalah 76.100.
Kenaikan jumlah trombosit
pada responden yang diberikan jus
jambu merah
dipengaruhi oleh
banyak faktor yaitu pada kelompok
yang diberikan jus jambu merah
penderita telah mendapatkan jus
jambu merah 2 kali sehari 1000 ml
selama
3-4
hari,
jumlah
peningkatannya tinggi dibandingkan
dengan kelompok yang tidak
diberikan jus jambu merah , dapat
dilihat
dari
rata-rata
jumlah
trombosit yang tidak diberikan jus
jambu merah dan yang diberikan jus
jambu merah peningkatan rata-rata
trombosit pada kelompok yang
diberikan jus jambu merah 76.100.
sedangkan rata-rata pada
kelompok yang tidak diberikan jus
jambu merah
adalah 14.300
sehingga dapat disimpulkan antara
kelompok yang tidak diberikan jus
jambu merah
dengan kelompok
yang diberikan jus jambu merah
peningkatannya lebih tinggi dan
lebih cepat kelompok yang diberikan
jus jambu merah
dibandingkan
dengan kelompok yang tidak
diberikan jus jambu merah .

2.

Jumlah Trombosit Kelompok


Yang Tidak Diberikan Jus
Jambu Merah
Pada kelompok yang tidak
diberikan jus jambu merah jumlah
trombosit nilai terendahnya 68.000
dan nilai tertingginya 100.000.
sedangkan
setelah
dilakukan
observasi pada kelompok yang
tidak diberikan jus jambu merah
didapatkan hasil penelitian pada
kelompok yang tidak diberikan jus
jambu merah dengan 10 responden
klien DHF didapatkan data, nilai
jumlah trombosit yang tidak
mengalami peningkatan atau tetap
dan nilai peningkatan trombosit
tertinggi 54.000 dengan nilai ratarata peningkatan pada kelompok
yang tidak diberikan jus jambu
merah
rata-rata peningkatan
trombosit 14.300.
Kenaikan jumlah trombosit
pada responden kelompok yang
tidak diberikan jus jambu merah
dipengaruhi oleh banyak faktor
terutama pada DHF nonsyok DHF
grade I dan grade II, sedangkan
pada grade III dan grade IV tidak
terjadi
perbedaan.
Hal
ini
disebabkan karena pada kondisi
syok akan terjadi hipoksia jaringan,
sehingga
akan mempengaruhi
proses absorsi dan distribusi dari
obat yang diberikan peroral pada
klien, pada klien grade III dan
Grade IV proses kerusakan
endotelium vaskuler dan kebocoran
plasma lebih berat sehingga
trombosit yang terbentuk banyak
terpakai di endotel pembuluh darah
( Soegeng, 2006).
Ada banyak hal penyebab
terjadinya DHF berdasarkan hasil
penelitian para peneliti sebelumnya
menunjukkan adanya hubungan
perubahan
iklim,
kelembapan,
kepadatan larve Aedes Agepty,

47

perilaku bersih dan sehat


yang
belum terwujud dan lingkungan
hidup yang belum memadai.
Mengendalikan lingkungan dengan
pemberantasan sarang nyamuk,
pengelolaan
sampah
padat,
modifikasi
tempat
perkembangbiakan nyamuk dan
perbaikan desain rumah seperti
menguras bak mandi sekurangkurangnya satu minggu sekali,
menutup dengan rapat tempat
penampungan air.
Hasil uji t-independen
yang
didapatkan
menunjukkan
bahwa terdapat perbedaaan jumlah
trombosit antara kelompok yang
tidak diberikan jus jambu merah dan
yang diberikan jus jambu merah
jumlah trombosit pada kelompok
yang tidak diberikan jus jambu
merah Sebelum yang diberikan jus
jambu merah
jumlah trombosit
antara kelompok yang diberikan jus
jambu merah dan kelompok yang
tidak diberikan jus jambu merah
tidak terdapat perbedaaan, tetapi
setelah diberikan jus jambu merah
selama 3 hari terdapat perbedaan
pada
kedua
kelompok.
Pada
kelompok yang tidak diberikan jus
jambu
merah
menunjukkan
peningkatan
jumlah
trombosit
dengan rata-rata 14.300 sedangkan
pada kelompok yang diberikan jus
jambu merah menunjukkan rata-rata
peningkatan 76.100. Setelah yang
diberikan jus jambu merah antara
kelompok yang tidak diberikan jus
jambu merah dan kelompok yang
diberikan
jus
jambu
merah
menghasilkan = 0,00 ( <0,05) dari
hasil uji t-tes independen ada
perbedaan yang diberikan jus jambu
merah
jambu merah terhadap
peningkatan
trombosit
pada
penderita DHF Di Puskesmas Sedati
Sidoarjo.

3.

Pengaruh Pemberian Jambu


Merah Terhadap Peningkatan
Trombosit
Berdasarkan hasil uji t- test
independent
menunjukkan nilai
=0.00 ( <0,05) artinya secara
statistik pemberian jus jambu merah
berpengaruh terhadap peningkatan
trombosit. Analisa perbandingan
kedua kelompok, yaitu yang tidak
diberikan jus jambu merah dan yang
diberikan jus jambu merah jumlah
rata-rata trombosit pada kelompok
yang diberikan jus jambu merah
lebih besar dari pada kelompok yang
tidak diberikan jus jambu merah
hanya 14.300. Pada kelompok yang
diberikan
jus
jambu
merah
didapatkan hasil rata-rata trombosit
76.100. Padahal kedua kelompok
mendapatkan terapi cairan yang
sama.
Pemberian jambu merah
didapatkan
bahwa
tanin
dan
quarcentin yang terkandung dalam
buah dan daun jambu biji merah
dapat meningkatkan proliferasi dan
deferensiasi megakariosit dalam
sumsum tulang. Buah jambu biji
merah
mengandung
senyawa
quarcentin dari golongan flavonoid
senyawa yang diduga berperan
penting. Senyawa ini bekerja dalam
meningkatkan senyawa sitokin. Di
dalam tubuh, sitokon berperan
meningkatkan kekenyalan pembuluh
darah sekaligus mengaktifkan sistem
pembekuan darah. Menurut prof Dr
sumali, quarcentin bekerja dengan
cara menghambat enzim pembentuk
RNA virus dengue, RNA berperan
sintesis protein. Jika pembentukan
RNA virus terganggu, virus mati
sehingga jumlah trombosit dapat
meningkat. Kadar quarcentin di daun
jambu biji lebih banyak dari pada
dibuahnya.

48

Pada
penderita
demam
berdarah terjadi peningkatan sistem
komplemen akibat aktivasi komplek
antigen virus-antibodi. Peningkatan
ini
menyebabkan
lepasnya
anafilaktosin suatu mediator kuat
terjadinya peningkatan permeabilitas.
Peningkatan permaebilitas vaskuler
dan
gangguan
hemostasis.
Peningkatan permeabilitas vaskuler
menyebabkan terjadinya kebocoran
plasma dan dapat menimbulkan
syok. Hal ini yang paling ditakutkan
sehingga
pengobatan
DHF
berkonsentrasi
pada
cara
mengembalikan
permeabilitas
vaskuler
kekondisi normal lagi.
Oleh karena itu, aktivasi komplemen
yang berlebihan harus di tekan.
Berbagai penelitian menunjukkan
buah dan daun jambu biji merah
dapat menekan aktivasi komplemen.
(Soegeng, 2004).
Jambu biji mengandung
berbagai mineral dan vitamin,
Kandungan vitamin C jambu biji 100
gram 2-3 kali lebih tinggi dari jeruk
dengan berat yang sama. Buah jambu
merah
bermanfaat
untuk
memperbaiki kapiler supaya tidak
terjadi kebocoran. Oleh karena itu
pencegahan pecahnya kapiler dapat
dilakukan dengan minum jus jambu
biji secara rutin jika sudah muncul
kecurigaan, bahwa demam berdarah
sedang beraksi di dalam tubuh.
Likopen dalam jambu biji lokal
merah mempunyai banyak manfaat
karena bersifat antioksidan.
Jambu
biji merah adalah suatu
bentuk terapi herbal yang dapat
meningkatkan trombosit pada DHF.
Yang diberikan jus jambu merah
jambu biji merah yang diberikan
dalam bentuk jus yang dapat
menimbulkan peningkatan trombosit.
Buah jambu biji digunakan untuk
meningkatkan
trombosit
darah,

sehingga banyak digunakan untuk


melawan DHF (Dengue hemoragic
fever). Berdasarkan hasil penelitian,
telah berhasil diisolasikan suatu zat
flavonoid dari daun jambu biji dan
buah jambu biji
yang dapat
memperlambat
penggandaan
(replika) human immunodeficiency
virus (HIV) penyebab penyakit
AIDS. Zat ini bekerja dengan cara
menghambat pengeluaran enzim
reserved transriptase yang dapat
mengubah RNA virus menjadi DNA
di dalam tubuh manusia.

Simpulan
Berdasarkan
hasil
temuan
penelitian dan hasil pengujian pada
pembahasan
yang dilaksanakan,
maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Peningkatan jumlah trombosit
pada kelompok yang diberikan jus
jambu merah rata-rata jumlah
trombosit 76.100 pada penderita
DHF
Di Puskesmas Sedati
Sidoarjo.
2. Peningkatan jumlah trombosit
pada kelompok yang tidak
diberikan jus jambu merah ratarata jumlah trombosit 14.300
pada penderita DHF
Di
Puskesmas Sedati Sidoarjo.
3. Ada pengaruh pemberian jambu
merah
terhadap
peningkatan
jumlah trombosit pada penderita
DHF Di Puskesmas Sedati
Sidoarjo.

Saran
Berdasarkan
temuan
hasil
penelitian, beberapa saran yang
disampaikan pada pihak terkait
adalah sebagai berikut:

49

1. Bagi masyarakat
Jambu merah dapat digunakan
sebagai
pencegahan
dan
pengobatan Dengue Hemorgic
Fever.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Jambu merah merupakan terapi
tambahan, sehingga terapi dasar
yaitu pemberian replacement
cairan harus tetap diberikan sesuai
dengan protap yang ada. Dan
masih diperlukan penelitian yang
lebih lanjut.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Disarankan
bagi
peneliti
selanjutnya untuk mengambil
judul perbandingan percepatan
peningkatan jumlah tromboit
dengan pemberian jambu merah
dan sari kurma pada penderita
DHF.

Emma W. (2008). Jus buah dan


sayuran. Jakarta: Penebar
Swadaya.

DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, S.(2010). Metodologi


Penelitian Kesehatan. Jakarta :
PT.Rineka Cipta.

Ainul, R. K. (2010). Sayur Buah


Sehat
Mengenal
Kandungan`Dan
Khasiat
Untuk Menjaga Kesehatan
Tubuh. Yogyakarta: Pionor
Media.
Alimul, A.H. (2010). Metode
Penelitian
Kesehatan
Paradigma
Kuantitatif.
Surabaya:
Health
Books
publising.
Arikunto, S. (2002). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek.
Jakarta:
Rineka
Cipta.
Boedina, S. K. (2010). Imunologi
Diagnosis
Dan
Prosedur
Laboratorium Edisi Kelima.
Jakarta: Fakultas Kedokteran
Indonesia
UniversitasIndonesia

Hadinegoro,
SR.
(2000).
Imunopatogenesis
Demam
Berdarah Degue. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Herliana, L.F. (2010). 33 Macam
Buah-Buahan
Untuk
Kesehatan. Bandung: Alfabeta
Hoffbrand. A.V. (2005). Kapita
selekta hematologi. Jakarrta:
EGC
Nasirudin, M. (2005). Pengaruh
Pemberian Ekstrak Daun
Jambu
Biji
Terhadap
Peningkatan
Jumlah
Trombosit Kasus Demam
Berdarah Dengue Pada Anak.
Universitas Airlangga

Nursalam. (2009). Konsep Dan


Penerapan Metode Penelitian
Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemmba Medika.
Soegijanto, S. (2006). Demam
berdarah dengue edisi kedua.
Surabaya:
Airlangga
university.
Setiadi. (2007). Konsep Dan
Penulisan Riset Keperawatan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Universitas Indonesia. (2007). Ilmu
kesehatan
anak.
Jakarta:
Infomedika.
Sumarmo, PS (2000). Masalah
Demam
Berdarah
Di
Indonesia. Dalam: Sri Rezeki
HH, Hindra Is. Demam

50

Berdarah Dengue. Jakarta:


Universitas Indonesia.
Suwarno, A. (2010). 9 Buah Dan
Sayur
Tangkal
Penyakit.
Jakarta: Liberpus.
Tim editor EGC. (1996). Kamus
Kedokteran Dorlan. Jakarta:
EGC
Utami, P. (2009). Solusi sehat.
Tanggerang: Agro Media
Pustaka.
Sebagian
daftar
pustaka nya aa yang blum
masuk

Dosen Program Studi Ilmu


Keperawatan STIKES Hang Tuah
Surabaya

51

PENGARUH ELEVASI EKSTREMITAS BAWAH


TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN ULKUS DIABETIK
DI WILAYAH BANTEN TAHUN 2010
Indah Wulandari1, Krisna Yetti2, Rr.Tutik Sri Hayati3

Absract : One of Diabetes Mellitus complications, is ulcer. Process of diabetical ulcus


healing influenced by internal factors and external factors. The internal factors are age,
nutrition,
some
chronic
diseases,
blood
glucose,
growth
factor, blood cholesterol, and circulation. The external factor are able to influence like
infection, diabetes history, smoking, and hypertension history. This research is aim to get a
description about influence of elevation of lower extremity to diabetic ulcer healing process
in Banten". This research using quasi experiment method with nonequivalent control group
design approach. Sample in this research were diabetes mellitus patients with ulcer, consist of
7 respondents as control group and 6 respondent as intervention group. Univariat analysis
showed that score of healing process between group with elevation more better than group
without elevation. The result of bivariat analysis showed that lower extremity elevation were
significantly associated with diabetic ulcer healing process (p value 0,003). Nurse should be
elevate the lower extremity with diabetic ulcer at around 10 minutes after activity more than
15 minutes. Summary of this research are the average of healing process of ulcus diabetic at
group without elevation is higher to elevation group. Besides that, there are not related
between vascularisation, blood glucose rate, infection, nutrition, diabetes history, and
smoking history to healing process of diabetic ulcus.
Keywords:

Lower

extremity

elevation,

Latar Belakang
Diabetes mellitus adalah suatu
kelompok penyakit metabolik dengan
hiperglikemia akibat defek sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya
(American
Diabetic
Association,
2007). Komplikasi jangka panjang dari
diabetes melitus salah satunya adalah
ulkus diabetik (15%) (ADA, 2007;
Clayton, 2009) dan 85% merupakan
penyebab terjadinya amputasi pada
pasien diabetes melitus (Clayton,
2009). Lebih lanjut Clayton (2009),
Jeffcoate (2003) dan Frykberg (2000)

diabetic

ulcer,

wound

healing

process.

mengungkapkan bahwa komplikasi


lanjut ulkus diabetik adalah terjadinya
infeksi.
Salah satu penyebab terjadinya
ulkus diabetik adalah akibat penurunan
sirkulasi ke perifer yang dipengaruhi
oleh tingginya kadar glukosa dalam
darah dan penyakit arterial perifer
yaitu aterosklerosis (Sumpio, 2000;
Jeffcoate, 2003; Clayton, 2009).
Penurunan
perfusi
ke
perifer
menyebabkan kematian (nekrosis)
jaringan dan menyebabkan iskemik
perifer dan beresiko kejadian ulkus
diabetik
serta
mempengaruhi
penyembuhan ulkus (Sumpio, 2000).
Hipoperfusi perifer menyebabkan
penurunan suplai oksigen, nutrient, dan

mediator pelarut yang membantu


proses penyembuhan ulkus dan
terjadinya gangren (Sumpio, 2000).
Evaluasi proses penyembuhan ulkus
dilakukan setiap kali ganti balutan
dengan menilai luas dan kedalaman
ulkus serta eksudasi dari ulkus
(Frykberg, 2002; Jeffcoate, 2003;
Delmas, 2006; Kruse, 2006; Clayton,
2009). Evaluasi dilakukan untuk
menilai bagaimana kemajuan proses
penyembuhan ulkus.
Pengukuran
kemajuan proses penyembuhan ulkus
dapat dilakukan dengan menggunakan
healing
index
yaitu
dengan
membandingkan hasil pengukuran hari
pertama dengan hari berikutnya yang
diikuti selama proses penyembuhan
ulkus terjadi (Bozan et al, 2006).
Semakin tinggi healing index, maka
semakin besar kemajuan proses
penyembuhan ulkus.
Penatalaksanaan ulkus diabetik
diperlukan agar fase penyembuhan
ulkus dapat difasilitasi dengan baik.
Terdapat
tiga
prinsip
utama
manajemen ulkus diabetik yaitu
debridement, off-loading, dan kontrol
infeksi (Jeffcoate, 2003; Delmas, 2006;
Kruse, 2006; Clayton, 2009) dan
istirahat (Frykberg, 2002; Cavanagh,
2005). Lebih lanjut Frykberg (2002)
dan Simon, et al (2004) menambahkan
elevasi ekstremitas bawah yang
mengalami ulkus sebagai salah satu
manajemen ulkus diabetik.
Elevasi ekstremitas bawah
bertujuan agar sirkulasi perifer tidak
menumpuk di area distal ulkus
sirkulasi
dapat
dipertahankan
(Frykberg, 2002). Elevasi ekstremitas
bawah dilakukan setelah pasien
beraktivitas atau turun dari tempat
tidur. Saat turun dari tempat tidur,
walaupun kaki tidak dijadikan sebagai
tumpuan, namun akibat efek gravitasi
menyebabkan aliran darah akan
cenderung menuju perifer terutama
kaki yang mengalami ulkus. Elevasi
ekstremitas bawah dilakukan untuk

mengatasi efek tersebut (Frykberg,


2002).
Selain elevasi ekstremitas
bawah, manajemen ulkus lain yang
dapat
mempengaruhi
proses
penyembuhan ulkus adalah
offloading.
off-loading adalah upaya
mencegah stress mekanikal akibat
tekanan pada ulkus (Slater, 2001).
Tujuan off-loading adalah mencegah
penekanan
pada
ulkus
dan
meredistribusikan tekanan dari ulkus
ke area yang lebih luas (Keast, 2000).
Tekanan yang berlebih pada ulkus
akan menyebabkan terhambatnya fase
penyembuhan ulkus sehingga ulkus
sulit sembuh dan berkembang menjadi
gangrene (Frykberg, 2002; Kruse,
2006). Saat terjadi ulkus pasien tidak
diperbolehkan menggunakan kaki yang
mengalami ulkus sebagai tumpuan
berjalan atau beraktivitas. Salah satu
metoda yang digunakan untuk offloading adalah penggunaan kruk atau
kursi roda saat beraktivitas (Jeffcoate,
2003; Delmas, 2006; Kruse, 2006;
Clayton, 2009).
Manajemen
ulkus diabetik
kaki diabetik salah satunya adalah
elevasi ekstremitas bawah yang
mengalami ulkus. Elevasi ekstremitas
bawah
bertujuan
mengembalikan
sirkulasi perifer akibat efek gravitasi
saat kaki diturunkan dari tempat tidur.
Elevasi ekstremitas bawah seperti apa
yang diperulkusn agar penyembuhan
ulkus dapat terjadi merupakan hal yang
akan diteliti lebih lanjut.
Menilik hal di atas, maka masalah
dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah
pengaruh elevasi
ekstremitas bawah terhadap skor
healing index perkembangan ulkus
diabetik di Wilayah Banten?.

Bahan dan Metode Penelitian


Desain
penelitian
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
kuasi eksperimen dengan pendekatan

53

nonequivalent control group design.


Desain kuasi eksperimen merupakan
desain penelitian untuk mengetahui
penyebab
dan
efek
intervensi
(LoBiondo-Wood & Haber, 2006)
terhadap variabel dependen setelah
memanipulasi variabel independen
(Polit
&
Hungler,
1999).
Nonequivalent control group design
digunakan untuk membandingkan dua
kelompok subjek penelitian, yaitu
kelompok kontrol dan kelompok
intervensi (Polit & Hungler, 1999).
Besar sampel didapatkan berdasarkan
waktu penelitian selama 6 minggu
dengan tehnik pengambilan sampel
menggunakan nonprobability sampling
dengan metoda convenience sampling.
Total sampel di akhir penelitian adalah
13 responden dengan perincian 7
responden masuk kelompok kontrol
dan 6 responden masuk kelompok
intervensi.
Selama proses penelitian, peneliti
memberikan perlakukan yang sama
kepada semua responden (right to
justice dan right to fair treatment).
Walau pada kelompok kontrol pada
awal penelitian tidak dilakukan elevasi
kaki, namun setelah penelitian
tindakan tersebut diberikan setelah
melihat hasil yang signifikan pada uji
statistik (beneficence). Data responden
dijaga kerahasiaannya dan disimpan
dalam file computer yang hanya bisa
diakses oleh peneliti (right to privacy).

Hasil Penelitian
Jumlah
responden
yang
tidak
dilakukan elevasi ekstremitas bawah
sebanyak 7 orang (53,8%) dan
responden yang dilakukan elevasi
ekstremitas bawah sebanyak 6 orang
(46,2%). Rerata proses penyembuhan
ulkus diabetik pada pasien diabetes
melitus di kelompok intervensi lebih
besar dibandingkan di kelompok

kontrol. Pada kelompok intervensi


rerata skor healing index sebesar 0,213
dengan standar deviasi 0,082. Pada alfa
5% diyakini bahwa rerata skor healing
index antara 0,127 sampai dengan
0,299. P value pada
uji statistik
menunjukkan nilai 0,003 yang berarti
terdapat perbedaan yang signifikan
antara proses penyembuhan ulkus
diabetik pada kelompok dengan elevasi
ekstremitas bawah dan kelompok tanpa
elevasi ekstremitas bawah.
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Proses Penyembuhan
Ulkus Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus
di Wilayah Banten Tahun 2010 (n1=7, n2=6)
Kelompok

Mean

SD

Tanpa
elevasi
Elevasi

0,083

0,039

0,213

0,082

MinMak
0,020,15
0,110,32

95%
CI
0,0460,119
0,1270,299

Jika dilihat dari klasifikasi ulkus


kelompok intervensi dan kelompok
kontrol bervariasi dari derajat 2 sampai
derajat 4. Proses penyembuhan ulkus
diabetik tertinggi pada kelompok
kontrol yang dinilai dengan healing
index sebesar 0,15. Hasil pengamatan
ulkus menunjukkan perbaikan proses
penyembuhan ulkus terutama pada
kelompok intervensi, walaupun pada
setiap kelompok mengalami perubahan
skor healing index. Pada kelompok
intervensi, edema dan nyeri yang
dirasakan di awal menurun di akhir
penelitian .
Tabel 2
Pengaruh Elevasi Ekstremitas Bawah terhadap
Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik di
Wilayah Banten Tahun 2010 (n1=7, n2=6)
Kelompok
Tanpa
elevasi
ekstremitas
bawah
Dengan elevasi
ekstremitas
bawah

Me
an
0,0
83
0,2
13

SD

SE

0,03
9

0,0
15

0,08
2

0,0
34

p
Value

n
7

0,003
6

54

Gambar 1.
Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik dengan
Nilai Healing Index Terbesar
pada Kelompok Tanpa Elevasi
Hari
rawat Hari
rawat
pertama
ketujuh
7 mei 2010
14 Mei 2010

Gambar 2
Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik dengan
Nilai Healing Index Terbesar
pada Kelompok Elevasi
Hari rawat pertama
Hari
rawat
ketujuh
24 Mei 2010
31 Mei 2010

Hasil penelitian juga menunjukkan


tidak
terdapat
hubungan
yang
bermakna antara variabel perancu
vaskularisasi perifer, kadar glukosa
darah, infeksi, status nutrisi, riwayat
diabetes, dan riwayat merokok dengan
proses penyembuhan ulkus. Walaupun
terdapat perubahan kadar glukosa
darah serta nutrisi pada awal dan akhir
penelitian, namun saat dicari hubungan
dengan proses penyembuhan ulkus
tidak didapatkan. Hal ini terjadi
kemungkinan karena jumlah sampel
yang sedikit dengan kekuatan uji 1,1 %
sehingga tidak didapatkan hasil yang
signifikan.

Pembahasan
Frykberg (2002) mengungkapkan
bahwa
salah
satu
intervensi
mengembalikan perfusi setelah pasien

diabetes dengan ulkus beraktivitas


adalah elevasi ekstremitas bawah. Pada
penelitian ini, kelompok intervensi
dipantau selama 3 kali shift dinas oleh
peneliti dan asisten peneliti dalam
pelaksanaan
elevasi
ekstremitas
bawahnya. Semua responden pada
kedua kelompok dapat melakukan
mobilisasi ke kamar mandi.
Dalam mobilisasi ditekankan
agar responden tidak memberikan
tekanan berlebih pada kaki yang
mengalami ulkus dan diharuskan
menggunakan kursi roda, kruk, atau
bantuan
keluarga.
Dalam
pelaksanaannya ada juga responden
yang tidak optimal melakukan offloading dengan alasan sulit bergerak
atau tidak biasa atau karena
keterbatasan alat. Namun setelah
dimotivasi sebagian besar responden
mau menggunakan alat bantu gerak
Untuk mengantisipasi kekurangan alat
peneliti
menyarankan
responden
menggunakan tongkat.
Elevasi ekstremitas bawah berguna
untuk mengembalikan aliran darah dan
mengurangi tekanan di bagian distal
ekstremitas (Seeley, 2004). Aktivitas
>15 menit dapat meningkatkan tekanan
ke distal sebesar 20% sehingga
meningkatkan resiko terjadinya edema
perifer. Edema akan meningkatkan
tekanan area distal dan mengurangi
perfusi akibat penekanan arterial.
Dengan elevasi ekstremitas bawah,
tekanan tersebut dapat dikurangi.
Hasil penelitian tersebut tidak
sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan Park, et al (2010) tentang
apakah elevasi ekstremitas bawah
merupakan posisi optimal terhadap
penyembuhan ulkus diabetik. Pada
penelitian
tersebut
Park
membandingkan penyembuhan ulkus
diabetik yang dengan posisi elevasi
ekstremitas
bawah
menggunakan
empat bantal dengan merendahkan

55

posisi kaki 30-35 cm di samping


tempat tidur.
Hasil
penelitiannya
menunjukkan penyembuhan ulkus
diabetik antara merendahkan posisi
kaki lebih baik dibandingkan posisi
elevasi ekstremitas bawah. Penilaian
Park dengan menggunakan transcutaneous partial oxygen tension
(TcpO2)
sebelum
dan
setelah
intervensi.
Hal
yang
mempengaruhi
perbedaan hasil antara penelitian Park
dengan penelitian di Banten salah
satunya adalah pemilihan evaluasi
dalam menilai variabel independen.
Pada penelitian di Banten, variabel
independennya adalah skor healing
index yang digunakan untuk menilai
proses pe nyembuhan ulkus diabetik.
Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan Park, et al (2010) yang
menjadi acuannya adalah tekanan
oksigen perifer sebelum dan setelah
penelitian.
Pada kasus
ulkus diabetik,
penyebab terbesar adalah masalah pada
vena yaitu sekitar 80-85% (Simon, et
al, 2004). Namun pada diabetes
melitus, penyebab umumnya adalah
karena penyakit arterial perifer dan
campuran antara masalah di vena dan
arterial (mix ulcer) (Obermeyer, et al,
2008). Oklusi yang timbul di vena
akibat thrombus dari arterial maupun
murni akibat gangguan pembekuan
darah menyebabkan refluks vena
massif dan menghambat penyembuhan
ulkus. Penelitian oleh Obermeyer, et al
(2008) menunjukkan bahwa masalah
arterial dapat menyebabkan masalah di
vena yang ditunjukkan dengan nilai
ABI yang < 0,8.
Terdapat beberapa hal yang didapat
dari penelitian terkait kadar glukosa
darah adalah persepsi yang salah
tentang diet dan kecemasan responden
selama perawatan. Sebagian besar
responden baik pada kelompok kontrol
maupun kelompok intervensi tidak

mau makan. Alasannya mereka takut


gluksoa darahnya meningkat dan
akhirnya ia lama menjalani perawatan.
Padahal menurut Clayton (2009) dan
Lemone & Burke (2004), asupan diet
yang tidak adekuat menyebabkan
terpicunya
sekresi
glucagon,
meningkatnya
glukoneogenesis,
sehingga meningkatkan kadar glukosa
darah.
Variabel perancu lain yang
tidak mempunyai signifikansi dengan
proses perkembangan ulkus diabetik
adalah kadar glukosa darah. Hasil uji
statistik menunjukkan nilai p sebesar
0,144. Artinya tidak terdapat hubungan
antara kadar glukosa darah dengan
perkembangan ulkus diabetik. Hal ini
tentunya berbeda dengan hasil
penelitian Margolis (2000) yang
memasukkan kadar glukosa darah
sebagai salah satu variabel yang
menghambat penyembuhan ulkus.
Demikian pula dengan artikel yang
ditulis Keast (2000), Falanga (2005),
atau Pearson (2006) yang juga
mengaitkan hiperglikemi sebagai salah
satu faktor penghambat penyembuhan
ulkus.
Hal
ini
kemungkinan
disebabkan oleh karena jumlah
responden yang kecil yang tidak
menggambarkan
hasil
yang
sesungguhnya. Selain itu fluktuasi
kadar glukosa darah antar kelompok
dan adanya rentang nilai glukosa darah
yang besar antara nilai terendah dan
tertinggi mungkin menyebabkan hasil
uji statistik yang demikian.
Terdapat beberapa hal yang
didapat dari penelitian terkait kadar
glukosa darah adalah persepsi yang
salah tentang diet dan kecemasan
responden selama perawatan. Sebagian
besar responden baik pada kelompok
kontrol maupun kelompok intervensi
tidak mau makan. Alasannya mereka
takut gluksoa darahnya meningkat dan
akhirnya ia lama menjalani perawatan.
Padahal menurut Clayton (2009) dan
56

Lemone & Burke (2004), asupan diet


yang tidak adekuat menyebabkan
terpicunya
sekresi
glucagon,
meningkatnya
glukoneogenesis,
sehingga meningkatkan kadar glukosa
darah.
Variabel perancu lain yang
tidak mempunyai signifikansi dengan
proses perkembangan ulkus diabetik
adalah kadar glukosa darah. Hasil uji
statistik menunjukkan nilai p sebesar
0,144. Artinya tidak terdapat hubungan
antara kadar glukosa darah dengan
perkembangan ulkus diabetik. Hal ini
tentunya berbeda dengan hasil
penelitian Margolis (2000) yang
memasukkan kadar glukosa darah
sebagai salah satu variabel yang
menghambat penyembuhan ulkus.
Demikian pula dengan artikel yang
ditulis Keast (2000), Falanga (2005),
atau Pearson (2006) yang juga
mengaitkan hiperglikemi sebagai salah
satu faktor penghambat penyembuhan
ulkus.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
karena jumlah responden yang kecil
yang tidak menggambarkan hasil yang
sesungguhnya. Selain itu fluktuasi
kadar glukosa darah antar kelompok
dan adanya rentang nilai glukosa darah
yang besar antara nilai terendah dan
tertinggi mungkin menyebabkan hasil
uji statistik yang demikian.
Terdapat beberapa hal yang didapat
dari penelitian terkait kadar glukosa
darah adalah persepsi yang salah
tentang diet dan kecemasan responden
selama perawatan. Sebagian besar
responden baik pada kelompok kontrol
maupun kelompok intervensi tidak
mau makan. Alasannya mereka takut
gluksoa darahnya meningkat dan
akhirnya ia lama menjalani perawatan.
Padahal menurut Clayton (2009) dan
Lemone & Burke (2004), asupan diet
yang tidak adekuat menyebabkan
terpicunya
sekresi
glucagon,
meningkatnya
glukoneogenesis,

sehingga meningkatkan kadar glukosa


darah.
Variabel
status
nutrisi
juga
menunjukkan hasil tidak signifikan
dengan proses perkembangan ulkus
diabetik.
Hasil
uji
statistik
menunjukkan nilai p sebesar 0,195
sebelum penelitian dan 0,211 setelah
penelitian. Artinya tidak terdapat
hubungan antara status nutrisi dengan
skor healing index perkembangan
ulkus diabetik. Hal ini tidak sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh
MacKay & Miller (2003) atau
Kempest, et al (2010), yang
menyatakan bahwa penyembuhan
ulkus sangat dipengaruhi oleh status
nutrisi.
Jika dianalisa lebih lanjut, hasil uji
statistik menunjukkan rerata nilai IMT
pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi > 20. Nilai ini termasuk
kategori normal. Namun jika melihat
nilai CI 95%, nilai terendah pada
kelompok kontrol maupun kelompok
intervensi masuk dalam kategori
malnutrisi karena nilai IMT < 20. Hal
ini terjadi kemungkinan karena jumlah
sampel yang kecil dan tidak
menggambarkan kondisi sebenarnya.
Selain itu terdapat nilai ekstrim baik
pada kelompok kontrol maupun
kelompok intervensi.
Pada penelitian ini juga tidak melihat
komponen nutrien yang mengalami
perubahan dikarenakan keterbatasan
peneliti. Walaupun pada kenyataannya
status nutrisi dapat dilihat melalui
beberapa indikator seperti kadar Hb,
kadar albumin, kadar asam folat,
vitamin A, vitamin C, Zinc, atau
glukosamin.
Peneliti
hanya
menggunakan IMT sebagai indikator
status nutrisi namun tidak melihat
komponen nutrien dalam penelitian ini.
Variabel infeksi menunjukkan hasil uji
statistik nilai p sebesar 0,175. Hasil
menunjukkan infeksi tidak signifikan

57

terhadap
skor
healing
index
perkembangan ulkus diabetik. Hal ini
bertentangan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Emerson (2010).
Jika dilihat rerata, rerata responden
dengan kultur positif lebih besar
(0,166) dibandingkan dengan rerata
responden dengan kultur negatif
(0,106). Kemungkinan hal tersebut
disebabkan karena pada kelompok
kontrol maupun kelompok intervensi
skor healing index mengalami
perbaikan. Peneliti berasumsi bahwa
hal ini terkait dengan faktor lain yang
dikontrol dalam penelitian ini yaitu
off-loading dan perawatan ulkus
dengan metoda moist.
Pearson
(2006)
mengungkapkan
pemilihan balutan dan jenis perawatan
ulkus
mempengaruhi
proses
penyembuhan
ulkus.
Metoda
perawatan ulkus dengan konsep moist
menyebabkan suasana lembab tetap
terjaga sehingga eksudat dapat terserap
lebih baik (Pearson, 2006; Benbow,
2010). Selain itu tindakan nekrotomi
yang
berkala
juga
membantu
membuang jaringan nekrotik yang
menghambat penyembuhan ulkus.
Implikasi Penelitian
Saat penelitian, peneliti menemukan
bahwa respon responden cukup
antusias saat melihat kondisi lukanya
yang menjadi lebih baik. Namun di sisi
lain,
pengetahuan
akan
penatalaksanaan ulkus diabetik di
kalangan petugas kesehatan belum
terlihat baik. Salah satu tindakan yang
dapat dilakukan perawat di lapangan
adalah melakukan tindakan elevasi
ekstremitas bawah pada pasien
diabetes melitus dengan ulkus setiap
kali pasien mobilsiasi >15 menit.
Elevasi dapat dilakukan dengan alat
khusus elevasi ekstremitas bawah atau
menggunaan sumber daya yang ada
seperti tumpukan bantal atau selimut
untuk menopang pangkal paha.

Penerapan metoda moist di lain pihak,


tidak dijadikan pilihan utama saat
menemukan pasien dengan kondisi
ulkus yang buruk. Alasan utamanya
adalah efesiensi biaya tidak mungkin
dijangkau
oleh
pasien
dengan
karakteristik tertentu. Padahal manfaat
yang didapatkan cukup besar. Pada
pelaksanaan off-loading pun tidak
diketahui banyak oleh petugas
kesehatan di pelayanan. Pasien
seringkali tidak diperhatikan apakah ia
menggunakan kursi roda dalam
aktivitasnya, walaupun alat tersebut
tersedia di ruangan. Karena itu
penggunaan metoda sederhana elevasi
ekstremitas
bawah
dengan
penggunaan balutan moist dan tanpa
elevasi aktivitas merupakan hal yang
perlu
diperhatikan
dalam
penatalaksanaan ulkus diabetik.

Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan rerata
proses perkembangan ulkus diabetik
pada kelompok intervensi lebih tinggi
sebesar 0,213 dibandingkan dengan
kelompok kontrol yaitu 0,083.
Pelaksanaan elevasi ekstremitas bawah
menunjukkan hasil yang signifikan (P
value
0,003)
terhadap
proses
penyembuhan luka. Perawat sebaiknya
melakukan elevasi pada ekstremitas
bawah yang mengalami ulkus diabetik
selama 10 menit setiap pasien
melakukan aktivitas > 15 menit.
Selain itu perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut terhadap faktor perancu
yang dapat mempengaruhi proses
penyembuhan ulkus diabetik. Dalam
melaksanakan elevasi ekstremitas
bawah, perlu pula diperhatikan offloading dan memilih metoda moist
dalam perawatan ulkus diabetik.

58

DAFTAR PUSTAKA
American
Diabetes
Association.
(2007).
Diagnosis
and
classification
of
diabetes
mellitus. Diabetes Care.
Armstrong,
D.G.,
Lavery, L.A.,
Bushman, T.R. (1998). Peak
foot pressures influence the
healing time of diabetic foot
ulcers treated with total contact
casts. Journal of Rehabilitation
Research
and
Development, 35(1), 1-5. Maret
5, 2010, from Academic
Research Library. (Document
ID: 26709923).
A.Yu. Modin. (2003). Effect of gravity
on blood distribution and flow
in large vessels of healthy
humans. Human Physiology.
April 1, 2010.
Baranoski, S. (2008). Choosing a
wound dressing part 1. April 11,
2010. www.nursing2008.com
Benbow, M. (2010). Wound Swabs
and Chronic Wounds. Practice
Nurse.
Bozan, M.E., Altinel. L., I Kuru,
Maralcan., G. & et al. (2006).
Factors that affect the healing
index
of
metacarpal
lengthening: a retrospective
study. Journal of Orthopaedic
Surgery, 14(2), 167-71. Maret
5, 2010, from ProQuest Health
and
Medical
Complete.
(Document ID: 1155936311).
Bryant, R., Nix, D. (2007). Acute and
Chronic
Wounds:
Current
Management
Concept.
3rd
Edition. St. Louis: Mosby
Elsevier.

Brunner & Suddarths. (2005).


Textbook of Medical-Surgical
Nursing. 10th Edition. E-Book.
Cavanagh, P.R., Lipsky, B.A.,
Bradbury, A.W., Botek, G.
(2005). Treatment for Diabetic
Foot Ulcers. Lancet. Februari 10
Februari, 2010
Clayton, W. Jr. (2009). A Review of
The
Pathophysiology
,
Classification, and Treatment of
Foot Ulcers in Diabetic Patients.
Januari, 27 2010 melalui
ProQuest Health and Medical
Complete.
Craven, R. F., Hirnle, C.J. (2000).
Fundamentals
of
Nursing
Human health and Function.
Philadelphia:
Lippincott
William & Wilkins
Dealey, C. (2005). The Care of Wound:
A Guide Corners. 3rd Ed.
Australia: Blackwell.
Dix, F.P., Reily, David, M.C., et al.
(2005). Effect of leg elevation,
venous velocity, and ambulatory
venous pressure in venous
ulceration. Phlebology. London:
The Royal Society of Medicine
Press.
Emerson, E. (2010). Healing Slowed
by Bacteria Talk. Science News.
Washington. Juni 27, 2010.
Falanga, V. (2005). Wound Healing
and Its Impairment in The
Diabetic
Foot.
Boston:
thelancet.
Farnsworth, J., & Paulman, P. (2005).
Diabetic Foot Ulcer and Poor
Compliance: How would you
treat? . Family Medicine Grand
Rounds.
June
22,
2010.

59

http://stg.jfponline.com/pdf%2F
5409%2F5409JFP_FMGrandRo
unds.pdf
Frykberg, R.G, Armstrong, D., Giurini,
J., et al. (2000). Diabetic Foot
Disorders A Clinical Practice
Guideline. The Journal of Foot
and Ankle Surgery.
Grenon, S.M., Gagnon, J., Hsiang, Y.
(2009). Ankle-brachial index for
assessment of peripheral arterial
disease. The New England
Journal of Medicine. April 6,
2010. www.nejm.org

http://www.pilonidal.org/pdfs/Pr
inciples-of-Wound-Healing.pdf.

Penulis adalah dosen Program


Studi Ilmu Keperawatan STIKES
Faletehan Serang Banten
Penulis adalah dosen Program
Studi FIK UI
Penulis adalah dosen Program
Studi FIK UI

Hunt, D. (2007). Diabetes: Foot Ulcers


and Amputations. BMJ. Januari
12,
2010.
http://clinicalevidence.bmj.com/
ceweb/conditions/dia/0602/0602
_background.jsp.
Jeffcoate, W.J., Harding, K.G. (2003).
Diabetic
Foot
Ulcers.
Departement od Diabetes and
Endrocrinology, City Hospital,
Nottingham : The Lancet.
Online Published February,
2003. February 10, 2010.
Keast, D., & Orsted, H. (2008). The
Basic Principles of Wound
Healing. Journal of Poediatry.
February
10,
2010.

60

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN


TENTANG KANKER PAYUDARA
PADA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DALAM DETEKSI
DINI (SADARI)
Dya Sustrami

Abstract : Breast cancer is one of the most attacking cancer in women who ranked
second. Breasts ca are able to be cured at an early stage, but in fact breast cancer is usually
found at an advanced stage. One way to do that early detection efforts to find early-stage
cancers that are still to be cured, so it can reduce mortality by BSE but still much less
known breast cancer and BSE detection techniques. For that researchers want to
investigate "The Effect of Health Education About Breast Cancer In Science And Attitude
Mother In Early Detection (BSE) IN West Randu RT 05 RW 12 Gang II" This study used
experimental design techniques quasy sampling using probability sampling simple random
sampling, sample size was of 44 respondents. Kesahatan independent variable is health
education. Dependent variable is the knowledge and attitudes. Data were analyzed using
willcoxon signed rank test and Mann Whitney test with significance level 0.05. The
results showed no significant effect of health education on knowledge (p = 0.000 and z =4.130a) and attitude (p = 0.000 and z = - 2.72a) from Wilcoxon signed rank test test and
test results reinforced with whiney mann post-test resulted in knowledge (p = 0.000 and z
= -4938) and attitude (p = 0.000 and z = -4692). From the results of her study is expected
to increase knowledge about breast cancer and the importance of BSE in a way to follow
health counseling, seek information through print and electronic media.
Key words: Health education, knowledge, attitudes, early detection of breast cancer

(BSE)

Latar Belakang
Payudara merupakan salah satu
organ yang sangat penting, baik dari
segi fungsinya maupun estetika. Akan
tetapi bagian tubuh ini berpotensi
terjangkit oleh kanker. Kanker
payudara merupakan salah satu kanker
yang paling banyak menyerang pada
kaum perempuan yang menduduki
peringkat kedua setelah kanker
leher rahim.
Namun diprediksi pada 20-30
tahun ke depan, penderita kanker
payudara di Indonesia akan meningkat,
sebaliknya kanker leher rahim akan

menurun angka kejadiannya. Sehingga


penyakit ini menimbulkan rasa takut
yang amat besar bagi kebanyakan
perempuan, terutama bagi mereka yang
mengeluhkan ada benjolan pada
payudaranya. (Wibisono, 2009 : 72)
Kanker adalah kelompok penyakit,
dimana sel-sel tubuh yang bergenerasi
mengalami pemisahan dan mati ketika
sel menua sehingga digantikan sel-sel
baru. Tetapi ketika sel-sel baru terus
tumbuh, jumlahnya tidak terkendali
sehingga membentuk tumor. Jika
tumor itu semakin besar dan ganas itu
dapat digolongkan sebagai kanker.
Kanker dapat tumbuh dibagian

manapun, terutama bagian yang


mempunyai banyak jaringan sel. Salah
satunya adalah payudara.
Kanker payudara terjadi karena
adanya
pertumbuhan
dan
perkembangan sel abnormal yang
muncul pada jaringan payudara.
Payudara terdiri dari dua tipe jaringan
yaitu jaringan glandular (kelenjar) dan
jaringan stromal (penopang). Jaringan
kelenjar mencangkup kelenjar susu
(lobules) dan saluran susu (the milk
passage, milk duct). Sedangkan
jaringan penopang meliputi jaringan
lemak dan jaringan serat konektif.
Payudara juga dibentuk oleh jaringan
lymphatik, sebuah jaringan yang berisi
sistem kekebalan yang bertugas
mengeluarkan cairan kotoran selular
(Putri, 2009 : 38).
Jumlah penderita kanker payudara
di dunia terus mengalami peningkatan,
baik pada daerah dengan insiden tinggi
di Negara-negara Barat, maupun pada
insiden rendah seperti di banyak
daerah di Asia. Satu laporan penelitian
pada tahun 1993 memperkirakan
bahwa jumlah kasus baru di dunia pada
tahun 1985 mencapai 720.000 orang,
terdiri atas 422.000 di Negara maju
dan 298.000 di Negara berkembang.
Angka insiden tertinggi dapat
ditemukan pada beberapa daerah di
Amerika Serikat (mencapai di atas
100/100.000 ; berarti ditemukan lebih
100 penderita dari 100.000 orang).
Kemudian diikuti dengan beberapa
negara Eropa Barat (tertinggi Swiss
73,5/100.000). Untuk Asia, masih
sekitar antara 10-20/100.000 (contoh
pada daerah tertentu di Jepang 17,6 /
100.000 ; Kuwait 17,2/100.000 ; dan
Cina 9,5/100.000) yang menarik angka
ini akan berubah bila populasi dari
daerah
dengan
insiden
rendah
melakukan migrasi ke daerah dengan
insiden yang lebih tinggi, suatu bukti
bahwa faktor lingkungan juga berparan
pada proses terjadinya kanker.
(Purwoastuti, 2008 : 13)

Di Indonesia, kanker payudara


merupakan salah satu kanker yang
paling banyak menyerang pada
perempuan yang menduduki peringkat
kedua setelah kanker leher rahim.
Menurut data angka dari Poli Onkologi
Satu Atap (POSA) RSU dr. Soetomo
juga merangkak naik pada tahun 2004,
sebanyak
4.675
pasien
kanker
payudara mengunjugi POSA, tahun
2005 jumlahnya melonjak menjadi
5.597 pasien dan pada tahun 2006
dengan beberapa bulan masih tersisa
angkanya sudah mencapai 5.652 pasien
oleh sebab itu, SADARI sangat
penting dianjurkan kepada masyarakat
karena hampir 86% benjolan di
payudara ditemukan olah penderita
sendiri (www.acehforum.or.id/perangikanker-payudra dikutip pada safitri dan
afiyah, 2008 : 15). Pada tahun 2004 di
Randu Barat RT 05 RW 12 Gang II
Surabaya didapatkan jumlah penderita
kanker payudara sebanyak 1 pasien.
Ada beberapa perempuan, yang
mempunyai resiko terkena kanker
payudara. Faktor
resiko terkena
kanker payudara. Faktor resiko ini bisa
berasal dari dalam atau luar. Faktor
dari dalam adalah adanya riwayat pada
keluarga yang menderita kanker
payudara. Faktor lainnya, hormon
estrogen yang berlebihan dalam tubuh,
menstruasi pertama terlalu dini, yaitu
kurang dari 12 tahun, melahirkan
pertama diatas 30 tahun, tidak
menikah, tidak menyusui, menopause
yang terlambat, terapi hormon yang
berlebihan. Sedangkan faktor resiko
dari luar diantaranya terlalu banyak
mengkonsumsi lemak, pola makanan
tidak baik, merokok, minum alkohol,
polusi dan lain-lain. (Wibisono, 2009 :
73)
Untuk menentukan lokasi tumor,
payudara dibagi menjadi 4 (empat)
kuadran dan 1 daerah sentral, sebagai
berikut:
1. Kuadran lateral (pinggir) atas
merupakan lokasi yang paling
62

sering terkena 44%.


2. Kuadran lateral bawah sekitar 16%.
3. Kuadran medial (tengah) atas
sekitar 15%.
4. Kuadran medial bawah merupakan
lokasi yang paling jarang terkena
4%.
5. Dearah sentral adalah sekitar
putting susu (areola) sekitar 21%.
(Purwoastuti, 2008 : 19)
Jadi bila ditemukan benjolan
disekitar payudara, sebaiknya sesegera
mungkin dikonsultasikan ke dokter.
Hal ini perlu dilakukan karena tidak
semua benjolan yang timbul disekitar
payudara adalah kanker. Semakin
cepat dikonsultasikan ke dokter maka
dapat teridentifikasi hasilnya sehingga
dapat diketahui benjolan tersebut
adalah kanker atau bukan. Sehingga
dapat dilakukan pengobatan secara
dini. Tapi bila terlambat untuk
mendeteksi dini dan sudah diketahui
dalam stadium terakhir maka tidak
menutup kemungkinan akan berakhir
pada kematian.
Untuk
mencegah
terjadinya
penyakit kanker payudara dapat
dilakukan dengan cara : pengobatan
atau terapi yang dilakukan tergantung
pada stadium kanker yang akan
diobati/diterapi; bisa dilakukan dengan
cara operasi, radiasi,
pemberian
kemoterapi , radioterapi (penyinaran),
maupun hormon (Purwoastuti, 2008 :
20). Namun demikian usaha-usaha
untuk penemuan dini (early detection)
dapat dilakukan dengan baik dengan
mengikutsertakan masyarakat melalui
dengan cara memberikan penyuluhan .
Karena masyarakat masih belum tahu
tentang kanker payudara dan resiko
dari kanker payudara bila tidak segera
diatasi akan berakibat pada kematian.
Apabila
kanker
payudara
ditemukan dalam stadium dini dan
mendapatkan terapi secara tepat
sehingga kanker payudara itu dapat
diatasi dengan cara melakukan
tindakan
pemeriksaaan payudara

sendiri (SADARI) yang sangat


bermanfaat bagi kaum perempuan.
Untuk itu SADARI ini harus
diterapkan serta diharapkan akan lebih
banyak kasus dapat di cegah dalam
stadium lebih dini. Fenomena diatas
melatarbelakangi penelitian dengan
judul Pengaruh Pendidikan Kesehatan
Tentang Kanker Payudara Pada
Pengetahuan Dan Sikap Ibu Dalam
Deteksi Dini (SADARI) Di Randu
Barat RT 05 RW 12 Gang II Surabaya.

Bahan dan Metode Penelitian


Pada
penelitian
ini
menggunakan eksperimen semu (quasy
- experiment) yaitu untuk mencari
pengaruh variabel bebas (independen
variable) dan variabel tergantung
(dependen
variable)
pada
dua
kelompok,
dimana
pada
suatu
kelompok
perlakuan
diberikan
pendidikan
kesehatan
sedangkan
kelompok kontrol tidak. Pada kedua
kelompok akan diawali dengan pre
test, dan setelah pemberian perlakuan
diadakan pengukuran kembali post
test.
K-A 01
P
02
K-B 01
02
Keterangan :
K-A : Subjek (Ibu) Perlakuan
K-B : Subjek (Ibu) kontrol
: Tidak diberi perlakuan
P
: Perlakuan
01
: Pengukuran pertama (sebelum
perlakuan pendidikan kesehatan)
02
: Pengukuran kedua (setelah
perlakuan pendidikan kesehatan)
Dalam penelitian ini akan
diambil sampel dengan target Ibu-ibu
yang sudah menikah dengan usia 20
60 tahun, berpenduduk tetap di Randu
Barat RT 05 RW 12 Gang II Surabaya,
ibu-ibu yang tidak terkena tumor atau
kanker payudara, bisa membaca dan
63

menulis, bersedia untukk diteliti dan


kooperatif sehinggga da
dapat disebut
populasi homogen.
Teknik
sampli
pling
yang
digunakan
pada
pene
penelitian
ini
menggunakan Probability
lity Sampling
dengan metode Simpl
mple Random
mbilan sampel
Sampling yaitu pengambi
ara ini dipakai
dilakukan secara acak. Car
dianggap
jika
anggota
populsi
182).
homogen. (Setiadi,, 2007 : 182
dalah kegiatan
Analisa data adala
kna pada data
pemberian arti dan makna
memecahkan
yang terkumpul guna m
dari kuesioner
masalah penulis. Data da
kan diperiksa
yang telah dikumpulka
hui kelengkapan
ulang untuk mengetahui
lengkap, data
isinya. Setelah data leng
ditabulasi
dikumpulkan
dan
bel yang diteliti
berdasarkan sub-variabel
penghitungan
kemudian dilakukan pe
m SPSS 16,0
dengan bantuan program
kan uji statistik
for windows menggunakan
dan
Wilcoxon Signed Rankk Test
uk mengetahui
Mann Whitney untuk
seberapa pengaruhnyaa pendidikan
nker payudara
kesehatan tentang kanke
sikap ibu dalam
pada pengetahuan dan sika
deteksi dini (SADARI) di Randu Barat
dengan tingkat
RT 05 RW 12 Gang II de
kemaknaan p < 0,05.

Hasil Penelitian
Tingkat Pengetahuan Ibu Dalam
RI) Sebelum
Deteksi Dini (SADARI
an Pendidikan
Dan Sesudah Diberikan
Kanker
Kesehatan
Tentangg
Payudara
huan
a. Tingkat
Pengetahua
n.
Kelompok Perlakuan.

Pada

Gambar 1: Diagram sili


silinder distribusi
frekuensi sampel menu
nurut perbedaan
pendidikan
kesehata
hatan
terhadap
perubahan tingkat pen
pengetahuan ibu
tentang kanker payudara
udara dalam deteksi
dini (SADARI)

Kesimpulan dari atas m


menggambarkan
bahwa tingkat penge
ngetahuan pada
kelompok perlakuann menunjukkan
nnya meningkat.
tingkat pengetahuanny
ihat dari hasil
Hal ini dapat diliha
ang menunjukkan
prosentase pre test yang
ya masih cukup
tingkat pengetahuannya
gkan dari hasil
sebesar 41% sedangka
st menunjukkan
prosentase post test
huannya
yang
tingkat
pengetahuan
penilaiannya baik
mempunyai kreteria pen
renakan sebelum
sebesar 91 % dikaren
terlebih dahulu
dilakukan post test te
nsi dengan cara
diberikan intervensi
uluhan
tentang
memberikan
penyulu
m ddeteksi dini.
kanker payudara dalam

64

b. Tingkat
Pengetahua
ahuan
kelompok Kontrol.

pada

Sikap Ibu Dalam Deteksi Dini


(SADARI) Sebelum D
Dan Sesudah
kan Kesehatan
Diberikan Pendidikan
ayudara
Tentang Kanker Payud
pok Perlakuan.
a. Sikap Pada Kelompo

Gambar 2: Diagram silinde


linder distribusi
frekuensi sampel menur
nurut tingkat
pengetahuan pada kelom
ompok kontrol
sudah diberikan
sebelum dan sesudah
tentang kanker
pendidikan kesehatan tent
payudara

dari
atas
Kesimpulan
da
bahwa
pada
menggambarkan
bahw
menunjukkan
kelompok
kontrol
m
tingkat pengetahuan pre ttest dan post
test tidak mengalamii perubahan,
masih kurang.
kreteria penilaiannya ma
babkan pada
Hal ini dapat diseba
dak diberikan
kelompok kontrol tidak
ukan post test.
intervensi sebelum dilakuka

silinder distribusi
Gambar 3: Diagram sili
nurut sikap pada
frekuensi sampel menur
kelompok perlakuann sebelum dan
sesudah
diberikann
pendidikan
kesehatan tentang kanke
nker payudara

Dari kesimpulann diatas bahwa


sikap pada kelompo
pok perlakuan
menunjukkan peningka
gkatan. Hal ini
dapat dilihat dari hasil
sil prosentase pre
test dan post test yang
ng menunjukkan
sikap yang kebanyakann dalam kategori
baik prosentase pre test
st sebanyak 50%
sedangkan post test ssebanyak 95%
dikarenakan sebelum ddilakukan post
test
terlebih
dahul
hulu
diberikan
intervensi dengan cara
ara memberikan
penyuluhan tentang ka
kanker payudara
dalam deteksi dini.
b. Sikap pada kelompok
pok Kontrol.

65

Gambar 4: Diagram silinde


linder distribusi
frekuensi sampel menurut
nurut sikap pada
kelompok perlakuan se
sebelum dan
sesudah
diberikan
pendidikan
kesehatan tentang kankerr pa
payudara

Hal ini dapat diseba


sebabkan pada
kelompok kontrol tidak
dak diberikan
ukan post test.
intervensi sebelum dilakuka

Pembahasan
Tingkat Pengetahuan Ibu Dalam
Deteksi Dini (SADARI
RI) Sebelum
Dan Sesudah Diberikan
an Pendidikan
Kesehatan
Tentangg
Kanker
Payudara
Pada
tabel
m
menunjukkan
tingkat pengetahuan Ibuu deteksi dini
dan sesudah
(SADARI) sebelum da
diberikan
pendidikann
kesehatan
yudara. Pada
tentang kanker payuda
kelompok perlakuan pre test sebelum
kebanyakan
dilakukan
intervensi
ori cukup dan
nilainya dalam kategori
ol pa
pada pre test
pada kelompok kontrol
kebanyakan nilainya dala
alam kategori

ukuran pre test


kurang. Pada penguku
ngkat pengetahuan
dengan kuesioner tingka
masalah yang
peneliti menemukann m
dimengerti oleh
paling banyak belum di
getahuan kanker
responden pada penget
dini
payudara
dalam
ddeteksi
(SADARI) antara llain masalah
an, tanda-tanda
mengenai pengertian,
ndakan pencegahan
tahap awal serta tindaka
nker payudara,
pada penyakit kank
sien pada stadium
keluhan yang oleh pasien
kit kanker yang
lanjut, urutan penyakit
sering diderita olehh kaum wanita,
lamanya cara
mengenai berapa la
radioterapi,
pengobatan
secaraa
dalam tindakan
pengertian BCT dal
pengobatan kanker ppayudara, dan
RI
meliputi
tentang
SADARI
nnya, dan cara
kepanjangan, tujuanny
pemeriksaannnya.
ompok perlakuan
Sedangkan pada kelom
setelah diberikan
pada post test sete
tan mengalami
pendidikan kesehatan
kebanyakan nilai
peningkattan yaitu keb
dalam kategori baikk karena dalam
pendidikan
materi
penyuluhann
kanker payudara
kesehatan tentang kan
(SADARI)
dalam
deteksi
dini
pertanyaan dari
mencakup tentang pe
etahuan sehingga
kuesioner dalam pengeta
njawabnya dengan
responden dapat menjaw
dengan kelompok
benar, dibandingkan den
kontrol post test yangg ttidak diberikan
an kebanyakan
pendidikan kesehatan
kategori kurang
nilainya masih dalam ka
masih sama pada ppre test dan
nyak responden
permasalahannya bany
ang pengetahuan
belum mengerti tentang
lam deteksi dini
kanker payudara dalam
(SADARI).
tersebut bahwa
Berdasarkan hasil ter
ibu
yang
tingkat
pengetahuann
kesetahan pada
diberikan pendidikann ke
kelompok perlakuann hasil nilainya
ndingkan dengan
lebih baik dibandingka
kelompok kontrol yangg ttidak diberikan
n. Pengetahuan
pendidikan kesehatan.
ri tahu dan ini
merupakan hasil dari
ang melakukan
terjadi setelah orang
dap suatu objek
penginderaan terhadap
66

tertentu (Notoatmodjo, 1997). Adapun


beberapa
faktor-faktor
yang
mempengeruhi
pada
kelompok
perlakuan yang diberikan pendidikan
kesehatan meliputi :
1) Umur dapat
mempengaruhi
pengetahuan dari 22 responden
menunjukkan bahwa yang kebanyakan
berusia 41 50 tahun sebayak 9 orang
(41%), 7 orang (32%) berusia 31- 40
tahun dan 11 orang (25%) berusia 2030 tahun. Pada usia responden yang
kebanyakan 41-50 tahun yang apabila
diberikan penyuluhan pendidikan
kesehatan masih dapat menerima atau
merespon materi yang diberikan
dengan baik. Seiringnya dengan
pertambahan usia dalam cara berpikir
pun bertambah. Sehingga kemampuan
seseorang untuk mengembangkan
pengetahuan pun akan meningkat. Usia
merupakan
tingkat
kebiasaan
seseorang semakin bertambah usia
seseorang maka kebutuhan mereka
meningkat. Karena pengetahuan yang
didapatkan, bukan hanya berasal dari
lingkungan, tingkat pendidikan tetapi
pengalaman pun dapat menghadapi
realita kehidupan yang menuju
pematangan pikiran.
2) Pendidikan dapat mempengaruhi
tingkat pengetahuan dengan tingkat
pendidikan terakhir pada responden
yang
kebanyakan
responden
berpendidikan SLTA sebanyak 50%
(11 orang), berpendidikan SD 32% (7
orang), SLTP 9% (2 orang), dan
Perguruan Tinggi 9% (2 orang). Pada
pendidikan terakhir responden yang
kebanyakan adalah SLTA sehingga
dalam
pemberiaan
pendidikan
kesehatan tentang materi yang
diberikan sesuai dengan tingkat
pendidikan
yang dimiliki
oleh
kebanyakan
responden
tersebut.
Tentunya
dapat
mempengaruhi
seseorang dalam membuka cakrawala
pengetahuannya.
Menurut
Kuntjoroningrat yang dikutip Mubarak
(2007) bahwa makin tinggi pendidikan

seseorang semakin mudah pula mereka


menerima informasi, dan pada
akhirnya
makin
banyak
pula
pengetahuan
yang
dimilikinya.
Pengetahuan sangat erat kaitannya
dengan pendidikan dimana dengan
seseorang yang berpendidikan tinggi
diharapkan orang tersebut semakin
luas pula pengetahuannya, tetapi perlu
ditekankan bahwa bukan berarti
seseorang yang berpendidikan rendah,
mutlak berpengetahuan rendah pula.
Jadi
sangatlah
penting
suatu
pendidikan bagi setiap orang untuk
mendapatkan informasi.
3)
Pekerjaan
responden
juga
mempengaruhi
dengan
tingkat
pengetahuan
yang
kebanyakan
responden tidak bekerja sebesar 50%
(11 orang), pekerjaan yang sebagai
pengawai swasta 41% (12 orang),
buruh/pengawai tidak tetap 9% (2
orang), dan PNS 0%. Sehingga banyak
responden yang tidak bekerja dapat
dihubungkan dengan mempunyai luang
waktu banyak untuk mencari dan
membaca tentang informasi tentang
kanker payudara.
4)
Informasi,
juga
dapat
mempengaruhi
pengetahuan
berdasarkan
Cara
Mendapatkan
Informasi Tentang Kanker Payudara
pada kelompok perlakuan dari 22
responden
menunjukknan
bahwa
mayoritas dapat innformasi dari tenaga
kesehatan sebesar 36% (8 orang).
Infomasi adalah kemudahan kita untuk
memperoleh suatu informasi dapat
membantu mempercepat seseorang
untuk memeperoleh pengetahuan yang
baru.
Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa
setelah
ibu
diberikan
pendidikan kesehatan tentang kanker
payudara
dalam
deteksi
dini
(SADARI)
terjadi
peningkatan
pengetahuan menjadi lebih baik
dibandingkan kelompok yang tidak
diberikan
pendidikan
kesehatan.
Dengan demikian semakin tinggi
67

tingkat pengetahuan seseorang tentang


kanker payudar maka diharapkan akan
mempengaruhi perubahan sikap dalam
deteksi
dini
kanker
payudara
(SADARI).

Sikap Ibu Dalam Deteksi Dini


(SADARI) Sebelum Dan Sesudah
Diberikan Pendidikan Kesehatan
Tentang Kanker Payudara
Pada tabel menunjukkan sikap Ibu
deteksi dini (SADARI) sebelum dan
sesudah
diberikan
pendidikan
kesehatan tentang kanker payudara.
Pada kelompok perlakuan pre test
sebelum
dilakukan
intervensi
kebanyakan
dalam
kategori
penilaiannya baik sebanyak 11 sampel.
Pada kelompok kontrol pada pre test
kebanyakan
dalam
kategori
penilaiannya sikap cukup. Pada
pengukuran pre test kedua kelompok
dengan kuesioner peneliti menemukan
masalah yang sama paling banyak
belum dimengerti oleh responden
dalam pengambilan sikap yang benar
tentang
kanker payudara dalam
deteksi dini (SADARI) yaitu masalah
mengenai
bagaimana
cara-cara
pemeriksaan payudara sendiri dengan
benar sedangkan pada kelompok
perlakuan pada post test setelah
diberikan
intervensi
mengalami
peningkattan pada banyaknya sampel
yang nilainya dalam kategori baik
sehingga ibu dapat mengambil sikap
yang benar tentang kanker payudara
dalam deteksi dini (SADARI),
dibandingkan
dengan
kelompok
kontrol post test yang tidak diberikan
intervensi kebanyakan penilaiannya
masih dalam kategori cukup masih
sama
pada
pre
test
dan
permasalahannya banyak responden
belum mengerti tentang pengambilan
sikap yang benar tentang kanker
payudara
dalam
deteksi
dini
(SADARI).

Berdasarkan hasil tersebut bahwa sikap


ibu yang
diberikan pendidikan
kesetahan pada kelompok perlakuan
hasil nilainya lebih baik dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak
diberikan pendidikan kesehatan. Hal
tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan
ibu yang baik sehingga sikap yang
ditampilkan juga baik. Faktor-faktor
yang menpengaruhi meliputi :
1) Infomasi adalah kemudahan kita
untuk memperoleh suatu informasi dari
media dapat membantu mempercepat
seseorang
untuk
memperoleh
pengetahuan yang baru sehingga sikap
juga mempengaruhi.
2) Status Pekerjaan Ibu yang mayoritas
tidak
berkerja
(50%)
dapat
dihubungkan dengan banyak luang
waktu untuk membaca dan mencari
informasi tentang kanker payudara.
Berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh
Saifuddin
Azwar
(2009)
menyatakan bahwa pembentukan sikap
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
1)
Pengalaman pribadi, individu
sebagai
orang
yang
menerima
pengalaman, orang yang melakukan
tanggapan atau penghayatan, biasanya
tidak akan melepaskan pengalaman
lain yang terdahulu, yang relevan.
2) Faktor budaya yang dianut oleh
Ibu. Budaya yang dianut oleh Ibu
mempengaruhi
dalam
teknik
melakukan detaksi dini kanker
payudara (SADARI).
3)
Pengaruh media masa sebagai
sarana
komunikasi
mempunyai
pengaruh besar pada pembentukan
opini dan kepercayaan seseorang.
Adanya informasi yang baru dapat
memberikan landasan kognitif baru
bagi terbentuknya sikap terhadap hal
tersebut.
4)
Lembaga agama dan lembaga
pendidikan sebagai suatu system yang
mempunyai
pengaruh
dalam
pembentukan sikap karena merupakan

68

dasar pengertian dan konsep moral


serta konsep pengetahuan dalam diri
seseorang yang dianggap penting.
Sikap Ibu dalam teknik melakukan
deteksi
dini
kanker
payudara
(SADARI)
dipengaruhi
oleh
pengetahuan ibu yang baik, dan
pengalaman ibu yang akan bereaksi
membentuk pola sikap tertentu
terhadap berbagai objek yang dihadapi.

Perbedaan Pengetahuan Dan Sikap


Ibu Dalam Deteksi Dini (Sadari)
Sebelum Dan Sesudah Diberikan
Pendidikan Kesehatan Tentang
Kanker Payudara
Uji wilcoxon signed rank-test
pada kelompok kontrol dengan
membandingkan tingkat pengetahuan
sebelum intervensi (pre-test) dengan
setelah
intervensi
(post
test)
menghasilkan p = 0,109. Dan pada
sikap sebelum intervensi pre-test
dengan
setelah
post-test
yang
menghasilkan p = 0,785. Sedangkan
Uji wilcoxon signed rank-test pada
kelompok
perlakuan
dengan
menghubungkan tingkat pengetahuan
sebelum intervensi pre-test dengan
setelah intervensi post-test yang
menghasilkan p = 0,000. Dan pada
sikap sebelum intervensi pre-test
dengan
setelah
post-test
yang
menghasilkan p = 0,000. Hal ini
menunjukkan bahwa ada perbedaan
pada tingkat pengetahuan dan sikap
pada kelompok perlakuan pre test dan
post test yang diberi intervensi dengan
cara memberikan penyuluhan tentang
kanker payudara dalam deteksi dini
(SADARI) pada kelompok perlakuan.
Hasil penelitian ini diperkuat dengan
hasil pengujian statistik lain yang
berfungsi untuk mengetahui apakah
ada
perbedaan
antara
tingkat
pengetahuan
dan
sikap
antara
kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol yaitu dengan uji mann whitney.

Hasil uji mann whitney pada kelompok


perlakuan post-test setelah intervensi
dengan membandingkan kelompok
kontrol post-test setelah intervensi
menghasilkan p = 0,000 pada tingkat
pengetahuan. Sedangkan pada sikap
dengan menggunakan uji mann
whitney pada kelompok perlakuan
post-test setelah intervensi dengan
membandingkan kelompok kontrol
post-test
setelah
intervensi
menghasilkan p = 0,000. Hal ini
menunjukkan
bahwa
terdapat
perbedaan pada tingkat pengetahuan
dan sikap setelah perlakuan dengan
cara memberikan penyuluhan tentang
kanker payudara dalam deteksi dini
(SADARI) pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol post-test.
Dalam tabel 5.4 tersebut juga dapat
dilihat bahwa pengetahuan Ibu
sebelum
diberikan
pendidikan
kesehatan pada kelompok perlakuan
berada dalam kategori cukup dan pada
kelompok kontrol dalam kategori
kurang. Pada kelompok perlakuan
mengalami
peningkatan
setelah
diberikan
pendidikan
kesehatan
menjadi baik dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang tidak diberikan
pendidikan kesehatan tidak terdapat
peningkatan hasil yaitu peningkatan
pengetahuan yang kurang. Berdasarkan
hasil tersebut, hal tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain :
1) Peningkatan pengetahuan yang
diberikan
melalui
pendidikan
kesehatan yang optimal dengan
pemberian materi yang terdiri dari
pengertian, faktor-faktor resiko, tanda
dan gejala, cara pencegahan, cara
pengobatan,
cara
teknik-teknik
SADARI.
2) Metode yang digunakan yaitu
ceramah, Tanya jawab, demontrasi.
3) Media yang dipakai melalui
penyebaran leaflet, pemberian materi
melalui LCD, Laptop.
4) Subyek sasaran yang latar
belakangnya pendidikan relatife baik
69

yaitu sebagian besar SLTA/sederajat


(43%).
Pengetahuan merupakan dominan yang
sangat penting untuk terbentuknya
sikap seseorang, karena apabila
penangkapan sikap baru melalui proses
yang didasari oleh pengetahun maka
sikap tersebut akan menjadi lebih baik.
Dalam
melakukan
pencapaian
pengetahuan didapatkan dari media
cetak,media elektronik, dan tenaga
kesehatan dimana permasalahan pokok
yaitu pada input yang merupakan
masalah menyangkut subyek atau
sasaran dengan berbagai latar belakang
seperti tingkat pendidikan dari sasaran.
Tingkat pengetahuan seseorang akan
mempengaruhi sikap dimana apabila
pengetahuan dipahami, maka akan
timbul suatu sikap seseorang yang
tinggi kesadaran untuk berperan serta.
Pada dalam tabel 5.5 mnenunjukkan
bahwa sikap Ibu sebelum diberikan
pendidikan kesehatan pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol
berada dalam kategori baik. Pada
kelompok
perlakuan
mengalami
peningkatan
setelah
diberikan
pendidikan kesehatan menjadi sangat
baik dibandingkan dengan kelompok
kontrol
yang
tidak
diberikan
pendidikan kesehatan tidak terdapat
peningkatan masih dalam sikap yang
baik. Hal tersebut ditandai dengan 1)
Ibu yang dipilih menjadi kelompok
perlakuan dapat mengikuti kegiatan
pendidikan kesehatan dari awal sampai
akhir dengan penuh perhatian (100%
antusias terhadap materi penyuluhan
dan
tidak
ada
peserta
yang
meninggalkan tempat), 2) Ibu mampu
menjawab pertanyaan yang diberikan
oleh pemberi materi pada sesi evaluasi
(dari 10 pertanyaan 100% dapat
dijawab secara sederhana), pada sesi
tanya jawab yang disediakan oleh
pemberi materi banyak pertanyaan
yang disampaikan berkenaan dengan
masalah yang dihadapi tentang kanker
payudara
dalam
deteksi
dini

(SADARI) (dari 22 peserta yang hadir


5 orang peserta (ibu) mengajukan
pertanyaan).
Menurut
Depkes
RI
(1990:7)
mendeskripsikan bila pengetahuaan
telah dipahami maka akan timbul
sikap untuk berpartisipasi. Dalam
proses pendidikan kesehatan dapat
terjadi perubahan sikap dalam berbagai
tindakan: 1) Menerima (receiving)
yaitu subjek mau memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
2) Merespon (responding) yaitu
memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan.
3) Menghargai (valuing) mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah, 4)
bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang dipilihnya dengan segala resiko
(Notoatmodjo, 2003: 126). Adanya
informasi yang baru memberikan
landasan
kognitif
baru
bagi
terbentuknya sikap terhadap hal
tersebut.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
setelah Ibu-Ibu diberikan pendidikan
kesehatan tentang kanker payudara
dalam deteksi dini (SADARI) terjadi
peningkatan pengetahuan dan sikap
menjadi lebih baik dibandingkan
kelompok yang tidak diberikan
pendidikan
kesehatan.
Hal
ini
disebabkan karena melalui pendidikan
kesehatan yang merupakan upaya
untuk mempengaruhi mengajak IbuIbu agar lebih memahami konsep
tentang kanker payudara dalam deteksi
dini (SADARI) dengan menggunakan
media dan metode sebagai penunjang
pendidikan
kesehatan
akan
meningkatkan pengetahuan, yang
dimana semakin banyak pengetahuan
diharapkan semakin baik sikap Ibu
dalam
melakukan
teknik-teknik
SADARI.

70

Simpulan
1. Pengetahuan Ibu dalam deteksi
dini (SADARI) tentang kanker
payudara di Randu Barat RT 05
RW 12 Gang II Surabaya.
Sebelum diberikan pendidikan
pada kelompok perlakuan berada
dalam kategori cukup dan
kelompok kontrol berada dalam
kategori kurang. Setelah diberikan
pendidikan
kesehatan
pada
kelompok perlakuan mengalami
perubahan
menjadi
baik
dibandingkan dengan kelompok
kontrol yang tidak diberikan
pendidikan
kesehatan
tidak
mengalami perubahan.
2. Sikap Ibu dalam deteksi dini
(SADARI)
tentang
kanker
payudara di Randu Barat RT 05
RW 12 Gang II Surabaya. Ibu
sebelum diberikan pendidikan
pada kelompok perlakuan berada
dalam kategori sikap yang baik
sedangkan kelompok kontrol
berada dalam kategori sikap yang
cukup.
Setelah
diberikan
pendidikan kesehatan mengalami
peningkatan jumlah responden
pada kelompok perlakuan sikap
yang baik dibandingkan dengan
kelompok kontrol yang tidak
diberikan pendidikan kesehatan
tidak mengalami perubahan hasil.
3. Pendidikan kesehatan
kanker
payudara memberikan perbedaan
pada pengetahuan dan sikap ibu
dalam deteksi dini (SADARI). Hal
ini dapat dikatakan secara tidak
langsung pendidikan kesehatan
berpengaruh pada pengetahuan
dan sikap ibu dalam deteksi dini
(SADARI).

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. (1999). Psikologi sosial,
Jakarta : Rineka Cipta

Arikunto, S. (2006).
Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, Jakarta : Rineka Cipta
Brunner, Suddarth. (2002). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8, Jakarta : Arcan
Mardiana, L. (2004). Kanker Pada
Wanita : Pencegahan dan
Pengobatan dengan Tanaman
Obat, Jakarta : Penebar
Swadaya
Mubarak, W. I , Bambang A. S,
Khoirul R, Siti P. (2006). Ilmu
Keperawatan Komunitas 2,
Jakarta : CV Sagung Seto
Mubarak, W. I . (2007).Promosi
Kesehatan Sebuah Pengantar
Proses
Belajar
Mengajar
dalam Pendidikan, yogyakarta :
Graha Ilmu
Mubarak, W. I ,Nurul C. (2009). Ilmu
Keperawatan
Komunitas
pengantar dan teori, Jakarta :
Salemba Medika.
Nazir,

M.
(2005).
Metodologi
Penelitian, Jakarta : Ghalia
Indonesia

Niven, N. (2000). Psikologi Kesehatan


: Pengantar untuk Perawat dan
Profesional Kesehatan lain,
Jakarta : EGC
Nursalam. (2008). Konsep dan
Penerapan
Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan,
Jakarta : Salemba Medika
Nursalam dan Ferry E. (2008).
Pendidikan
dalam
Keperawatan,
Jakarta
:
Salemba Medika

71

Puswoastuti, E. (2008). Kanker


Payudara
:
Pencegahan
Deteksi Dini, Yogyakarta :
Kanisius
Putri, N. (2009). Deteksi Dini Kanker
Payudara, Yogyakarta : Aura
Medika
Riduwan, Akdon. (2006). Rumus dan
data dalam Aplikasi Statistika,
Bandung : Alfabeta
Roeskoprodjo, S, Aryo, D. P,
Darmawan.
K,
E.U
Hutagalung,
Rochani.
S,
Chaula. L.S, Muclis. R,
Kukuh.B.R, Murzinal. D .
(1995). Kumpulan Kuliah Ilmu
Bedah, Jakarta : Binarupa
Aksara

Wibisono, N. (2009). Melawan Kanker


Payudara : Pencegahan dan
Pengobatan, Jakarta : Restu
Agung
Widayatun, T.R. (1999). Ilmu
Perilaku, Jakarta : CV. Sagung
Seto.

Dosen Program Studi Ilmu


Keperawatan STIKES Hang Tuah
Surabaya

Soesanto,W.
(2008).
Biostatistik
Penelitian
Kesehatan
Biostatistik dengan Komputer
(SPSS 16 For Windows).
Surabaya : Perc. Duatujuh
Suliha, U, Herawani, Sumiati, Yeti. R .
(2001). Pendidikan Kesehatan
dalam Keperawatan, Jakarta :
EGC
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk
Keperawatan, Jakarta : EGC

72

KARAKTERISTIK PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2


DI INSTALASI RAWAT INAP PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Meiana Harfika

Abstract : Diabetes melitus adalah salah satu penyakit degeneratif yang menjadi ancaman
kesehatan penduduk dunia pada saat ini. Jumlah penderita diabetes terus meningkat seiring
dengan berubahnya pola makan dan gaya hidup. Pada tahun 2000, jumlah penduduk dunia
yang menderita diabetes 171 juta jiwa dan diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat
menjadi 366 juta pada tahun 2030. Penelitian yang dilakukan antara tahun 2001 dan 2005 di
daerah Depok dan di Makasar didapatkan prevalensi diabetes tipe 2 yang cukup fantastik.
Dengan mengambil sampel dari populasi diabetes di Rawat Inap Bagian Penyakit Dalam
RSMH Palembang Periode 1 Januari 2007 31 Desember 2007, dilakukan suatu penelitian
deskriptif untuk mengetahui karakteristik penderita diabetes dan terapi yang sering diberikan
pada penderita dibetes tipe 2 di RSMH Palembang. Penelitian dilakukan pada bulan januari
juni 2008. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data dari rekam medis.
Dari hasil penelitian pada 86 sampel didapatkan distribusi penderita diabetes tipe 2
terbanyak pada usia 45-59 tahun yaitu 40 orang (46,51%) dan lebih banyak perempuan yakni
57 orang (66,28%). Distribusi kadar gula darah yang terbanyak yaitu 200 mg/dL sebanyak
66 orang (76,74%). Distribusi IMT yang terbanyak yakni pada kelompok berat badan lebih
dengan resiko sebanyak 36 orang (41,86%). Komplikasi yang tersering adalah gangren
diabetik yaitu sebanyak 36 orang (41,86%). Dan Insulin merupakan terapi yang paling sering
diberikan yakni sebanyak 57 orang (66,27%).
Diperlukan adanya program penyuluhan mengenai diabetes oleh pihak terkait kepada
masyarkat menekan kenaikan jumlah penderita diabetes serta dapat mencegah komplikasi dan
menurunkan angka kematian.
Kata kunci : Karakteristik, Diabetes Melitus

Latar Belakang
Diabetes melitus adalah salah
satu penyakit degeneratif yang menjadi
ancaman kesehatan penduduk dunia
pada saat ini.
Jumlah penderita diabetes terus
meningkat seiring dengan berubahnya
pola makan dan gaya hidup. Pada
tahun 2000, jumlah penduduk dunia
yang menderita diabetes 171 juta jiwa
dan diperkirakan jumlah ini akan terus

meningkat menjadi 366 juta pada tahun


2030.
Untuk
Indonesia,
WHO
memprediksikan kenaikan jumlah
penderita diabetes dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 2,3 juta
pada tahun 2030.2 Jumlah ini
menjadikan
Indonesia menempati urutan
terbesar ke-4 dalam jumlah penderita
diabetes melitus setelah India, China
dan Amerika Serikat.1

Penelitian yang dilakukan


antara tahun 2001 dan 2005 di daerah
Depok didapatkan prevalensi diabetes
tipe 2 sebesar 14,7%. Demikian juga
di Makasar didapatkan prevalensi
diabetes yang mencapai 12,5% pada
akhir tahun 2005.3 Angka ini cukup
fantastik dan butuh perhatian khusus.
Diabetes melitus tipe 2 terjadi
karena kegagalan relatif sel dan
resistensi insulin.4 Sebenarnya diabetes
tipe 2 tidak terlalu berbahaya apabila
kadar glukosa darah dapat terkontrol
dengan baik. Tetapi apabila tidak
terkontrol dengan baik maka akan
menimbulkan banyak komplikasi yang
cukup fatal. Diabetes tipe ini sering
menjadi penyebab kebutaan, amputasi,
gagal ginjal, penyakit jantung koroner,
bahkan dapat menyebabkan kematian.
Melihat
jumlah penderita
diabetes melitus yang tinggi dan terus
meningkat akhir-akhir ini terutama
diabetes tipe 2 serta komplikasi yang
ditimbulkannya maka perlu diadakan
penelitian
tentang
karakteristik
diabetes melitus tipe 2 dan terapinya
untuk mendapatkan gambaran yang
lebih jelas sehingga dapat menekan
kenaikan jumlah penderita diabetes
serta dapat mencegah komplikasi dan
menurunkan angka kematian.
Diabetes Melitus adalah suatu
kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. (ADA
2005)
Diabetes melitus tipe 2 atau
Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus
(NIDDM)
disebabkan
kegagalan relatif sel dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan
perifer
dan
untuk
menghambat produksi glukosa oleh

hati. Sel tidak mampu mengimbangi


resistensi insulin ini sepenuhnya,
artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari
berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, maupun pada
rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti
sel pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glikosa.4
Faktor Resiko Diabetes2
a.Faktor resiko
dimodifikasi

yang

tidak

bisa

Ras dan etnik


Riwayat keluarga dengan diabetes
(anak penyandang diabetes).
Bila salah satu orang tua mendrita
diabetes
maka
kemungkinan
diturunkannya penyakit diabetes ke
anak-anaknya 1:20.5
Umur
Resiko untuk menderita intoleransi
glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia 45 tahun
harus dilakukan pemeriksan diabetes
melitus.
Dalam studi epidemiologi, baik yang
dilakukan
secara
cross-sectional
maupun longitudinal, menunjukkan
prevalensi diabetes maupun gangguan
toleransi glukosa naik bersama
bertambah umur, dan membentuk
suatu plateau dan kemudian menurun.
Patofisilogi diabetes yang timbul pada
usia lanjut belum dapat diterangkan
seluruhnya, namun dapat didasarkan
atas 4 faktor yang muncul oleh proses
menunya sendiri. Faktor yang pertama
karena adanya perubahan komposisi
tubuh yaitu penururnan jumlah masa
otot dari 19% menjadi 12%, disamping
peningkatan jumlah jaringan lemak
dari 14% menjadi 30%, mengakibakan
menurunnya jumlah serta sensitivitas
reseptor insulin. Faktor yang kedua
adalah turunnya aktivitas fisik yang
74

akan mengakibatkan penurunan jumlah


reseptor insulin yang siap berikatan
dengan insulin sehingga kecepatan
translokasi GLUT-4 juga menurun.
Kedua hal tersebut akan menurunkan
baik kecepatan maupun jumlah
ambilan glukosa. Faktor yang ketiga
yaitu perubahan life-style dan faktor
yang keempat adalah perubahan neurohormonal, khususnya
insulin-like
growth
factor-1
(IGF-1)
dan
dehydroepandrosteron
(DHEAS)
plasma.6
Riwayat melahirkan bayi dengan
berat badan lahir bayi > 4000 gram
atau riwayat pernah menderita DM
gestasional (DMG).
Riwayat lahir dengan berat badan
rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang
lahir dengan berat badan rendah
mempunyai resiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi lahir dengan
berat badan normal.
b. Faktor
resiko
dimodifikasi

yang

bisa

Berat badan lebih (IMT > 23


kg/m2).
Risiko
diabetes
melitus
akan
meningkat secara linier sesuai dengan
peningkatan IMT. Berat badan lebih
akan meningkatkan angka kejadian
diabetes melitus 3-4 kali dibandingkan
orang dengan IMT normal.7
Pada penelitian yang dilakukan di
Amerika
pada
11.400
wanita
menunjukkan bahwa wanita dengan
IMT antara 25-26,9 kg/m2 berisiko
menderita diabetes melitus tipe 2
delapan kali lebih besar diabandingkan
dengan wanita dengan IMT < 22
kg/m2.
Diabetes pada orang yang obesitas
didasari oleh resistensi insulin. Pada
pasien obesitas, terjadi gangguan
kepekaan jaringan terhadap insulin
akibat kurangnya reseptor insulin yang

terdapat pada membran sel yang


responsif terhadap insulin.
Kurang aktivitas fisik.
Hipertensi ( 140/90 mmHg).
Dislipidemia (HDL 35 mg/dL
dan atau trigliserida 250 mg/dL).
Diet tak sehat (unhealthy diet).
Diet dengan tinggi gula dan rendah
serat akan meningkatkan resiko
mnderita prediabetes dan DM tipe
2.
Pada dasarnya, pengelolaan DM
dimulai dengan pengaturan makan
disertai dengan latihan jasmani yang
cukup selama beberapa waktu (2-4
minggu). Bila setelah itu kadar glukosa
darah masih belum dapat memenuhi
kadar
sasaran
metabolik
yang
diinginkan, baru dilakukan intervensi
farmakologik dengan obat-obat anti
diabetes oral atau suntikan insulin
sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi
metabolik
berat,
misalnya ketoasidosis, DM dengan
stres berat, berat badan yang menurun
dengan cepat, insulin dapat segera
diberikan.
Edukasi
Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia
dewasa, suatu periode dimana telah
terbentuk kokoh pola gaya hidup dan
perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes
secara
optimal
membutuhkan
partisipasi aktif pasien dalam merubah
perilaku yang tidak sehat. Tim
kesehatan harus mendampingi pasien
dalam perubahan perilaku tersebut,
yang berlangsung seumur hidup.
Keberhasilan
dalam
mencapai
perubahan perilaku, membutuhkan
edukasi, pengembangan keterampilan
(skill), dan motivasi yang berkenaan
dengan:
Makan makanan sehat;
Kegiatan jasmani secar teratur;

75

Menggunakan obat diabetes secara


aman, teratur, dan pada waktuwaktu yang spesifik;
Melakukan pemantauan glukosa
darah mandiri dan memanfaatkan
berbagai informasi yang ada;
Melakukan perawatan kaki secara
berkala;
Mengelola diabetes dengan tepat;
Mengembangkan
sistem
pendukung
dan
mengajarkan
keterampilan;
Dapat mempergunakan fasilitas
perawatan kesehatan.
Edukasi
(penyuluhan)
secara
individual dan pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah merupakan inti
perubahan perilaku yang berhasil.
Perubahan perilaku hampir sama
dengan
proses
edukasi
dan
memerlukan penilaian, perencanaan,
implementasi,
dokumentasi,
dan
evaluasi.
Untuk penentuan status gizi, dipakai
Body Mass Index = Indeks Massa
Tubuh (IMT).
IMT = BB(kg)/TB(m2)

Klasifikasi IMT (Asia Pasific)


Klasifikasi
IMT
(Asia
Pasific)

Lingkar Perut

<90cm
>90cm
(pria)
(pria)
<80cm
>80cm
(wanita) (wanita)
Risk of comorbidities
BB Kurang
Rendah
Rata<18,5
Rata-rata rata
BB
Mening
Normal
Meningk kat
18,5-22,9
at
BB
Sedang
Sedang
Lebih>23,0
Berat
Berat
Sangat
- Dengan
berat
risiko : 23,024,9
- Obes

I
:
25,0-29,9
- Obes II
: 30

Untuk kepentingan klinik praktis, dan


menghitung jumlah kalori, penentuan
status gizi memanfaatkan rumus Broca,
yaitu:
Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) 10%

Status gizi:
BB kurang, bila BB < 90% BBI
BB normal, bila BB 90-110% BBI
BB lebih, bila BB 110-120% BBI
Gemuk,
bila
BB
>120%
BBI

Bahan dan Metode Penelitian


Penelitian yang dilakukan adalah
penelitian deskriptif yang bersifat
retrospektif.
Penelitian dilakukan di lembaga
rekam medik Rumah Sakit Mohammad
Hoesin Palembang.
Penelitian dilakukan pada bulan
Mei 2008 sampai dengan Juni 2008.
Data yang digunakan dalam
penelitian adalah data sekunder yang
berasal dari rekam medik yang
dikumpulkan
secara
retrospektif
terhadap semua penderita diabetes
melitus tipe 2 yang dirawat di instalasi
rawat inap penyakit dalam Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Selama periode 1 Januari 2007 sampai
31 Desember 2007 berdasarkan rekam
medik.
Populasi dari penelitian ini tidak
seluruhnya dijadikan sampel. Hal ini
dikarenakan ketidaklengkapan data
rekam
medik
dan
mengingat
keterbatasan waktu. Dari 592 penderita
diabetes melitus tipe 2 yang dirawat
76

instalasi rawat inap RSMH Palembang


periode 1 Januari 31 Desember 2007
diambil sampel dengan menggunakan
formula sehingga didapatkan 86 orang
untuk jumlah sampel yang akan
diteliti. Pengambilan sampel penelitian
dilakukan dengan menggunakan teknik
random sampling.

Hasil dan Pembahasan


Populasi dari penelitian ini tidak
seluruhnya dijadikan sampel. Hal ini
dikarenakan ketidaklengkapan data
rekam
medik
dan
mengingat
keterbatasan waktu yang dimiliki oleh
peneliti. Dari 592 penderita diabetes
melitus tipe 2 yang dirawat di instalasi
rawat inap RSMH Palembang periode
1 Januari 31 Desember 2007 diambil
sampel dengan menggunakan formula
sehingga didaptkan 86 orang untuk
jumlah sampel yang akan diteliti.
Pengambilan
sampel
penelitian
dilakukan dengan menggunakan teknik
random sampling.
Karakteritik Sosiodemografi

dan membentuk suatu plateau dan


kemudian menurun.
Patofisilogi diabetes yang timbul pada
usia lanjut belum dapat diterangkan
seluruhnya, namun dapat didasarkan
atas 4 faktor yang muncul oleh proses
menunya sendiri. Faktor yang pertama
karena adanya perubahan komposisi
tubuh yaitu penururnan jumlah masa
otot dari 19% menjadi 12%, disamping
peningkatan jumlah jaringan lemak
dari 14% menjadi 30%, mengakibakan
menurunya jumlah serta sensitivitas
reseptor insulin. Faktor yang kedua
adalah turunnya aktivitas fisik yang
akan mengakibatkan penurunan jumlah
reseptor insulin yang siap berikatan
berikatan dengan insulin sehingga
kecepatan translokasi GLUT-4 juga
menurun. Kedua hal tersebut akan
menurunkan baik kecepatan maupun
jumlah ambilan glukosa. Faktor yang
ketiga yaitu perubahan life-style dan
faktor yang keempat adalah perubahan
neuro-hormonal, khususnya insulinlike growth factor-1 (IGF-1) dan
dehydroepandrosteron
(DHEAS)
plasma.

Usia
Tabel 1. Distribusi Penderita Diabetes Tipe
2 Berdasarkan Usia (n=86)
Kelompok
Jumlah
Persentase
Usia (tahun)
30 44
11
12,79

Jenis Kelamin

Laki-laki

29

33,72

45 59
> 60
Jumlah

Perempuan

57

66,28

Jumlah

86

100

40
35
86

46,51
40,70
100

Hal ini sesuai dengan faktor risiko


diabetes yang disebutkan dalam
kepustakaan yang menyebutkan bahwa
kelompok usia 45 tahun mempunyai
risiko yang besar untuk mengalami
intoleransi glukosa. Dalam studi
epidemiologi, baik yang dilakukan
secara
cross-sectional
maupun
longitudinal, menunjukkan prevalensi
diabetes maupun gangguan toleransi
glukosa naik bersama bertambah umur,

Tabel 2. Distribusi Penderita Diabetes Tipe


2 Berdasarkan Jenis Kelamin (n=86)
Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase

Didapatkan rasio penderita laki-laki


dan perempuan sekitar 1 : 2. Keadaan
ini berbeda dengan teori yang
menyebutkan otot rangka laki-laki
lebih
resisten
terhadap
insulin
dibandingkan perempuan.

77

Riwayat Keluarga

Perspective:
Treatment.

Tabel 3. Distribusi Penderita Diabetes Tipe


2 Berdasarkan Riwayat Keluarga (n=86)
Riwayat Keluarga
Jumlah
Persentase
Ada
12
13,95
Tidak Ada
30
34,89
Data Tidak Lengkap
44
51,16
Jumlah
86
100

Hal ini sesuai dengan faktor risiko


diabetes yang disebutkan dalam
kepustakaan yang menyebutkan bahwa
salah satu faktor risiko diabetes adalah
berat badan lebih atau IMT > 23
kg/m2. Diabetes pada orang yang
mempunyai
berat
badan
lebih
(obesitas) didasari oleh resistensi
insulin. Pada pasien dengan berat
badan
lebih
(obesitas),
terjadi
gangguan kepekaan jaringan terhadap
insulin akibat kurangnya reseptor
insulin yang terdapat pada membran
sel yang responsif terhadap insulin.
Risiko
diabetes
melitus
akan
meningkat secara linier sesuai dengan
peningkatan IMT. Berat badan lebih
akan meningkatkan angka kejadian
diabetes melitus 3-4 kali dibandingkan
orang dengan IMT normal. Hal ini juga
terlihata pada penelitian lain yang
dilakukan di Amerika pada 11.400
wanita menunjukkan bahwa wanita
dengan IMT antara 25-26,9 kg/m2
berisiko menderita diabetes melitus
tipe 2 delapan kali lebih besar
diabandingkan dengan wanita dengan
IMT < 22 kg/m2.

Dari 86 sampel, terdapat 44 data yang


tidak lengkap mengenai riwayat
keluarga. Berdasarkan tabel 8 diatas,
dapat dilihat bahwa jumlah penderita
yang juga memiliki keluarga yang
menderita diabetes sebanyak 12 orang
(13,95%), sementara sisanya sebanyak
30 orang (34,89%) tidak memiliki
keluarga yang menderita diabetes.
Menurut kepustakaan adanya riwayat
keluarga merupakan salah satu faktor
risiko diabetes. Penyakit diabetes
melitus tipe 2 dapat diturunkan secara
genetik. Bila salah satu orang tua
menderita diabetes maka kemungkinan
diturunkannya penyakit diabetes ke
anak-anaknya 1:20. Hasil penelitian
lain menyebutkan jika seorang
penderita diabetes melitus tipe 2 maka
kemungkinan penyakit ini menurun
pada keluarga penderita tersebut
sebesar 10% - 15%. Dari penelitian ini
tidak dapat dilihat apakah ada faktor
keturunan
yang
mempenguruhi
timbulnya panyakit diabtes melitus
atau tidak, karena data yang tidak
lengkap lebih dari 50%.
Indeks Massa Tubuh
Tabel 4. Distribusi Penderita Diabetes Tipe
2 Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (n=86).
Indeks Massa Tubuh Jumlah
Persentase
(IMT)
Berat Badan Kurang
10
11,63
Berat Badan Normal
35
40,70
Berat Badan Lebih
36
41,86
Dengan Resiko
Obes I
4
4,65
Obes II
1
1,16
Jumlah
86
100
*Sumber
klasifikasi
IMT:
WHO
WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific

Redefining

Obesity

and

its

Keterbatasan Penelitian

Data pada beberapa rekam medik


kurang lengkap sehingga menyulitkan
pendataan dan penghitungan guna
mencapai ketepatan penelitian.

Simpulan
Berdasarkan penelitian deskriptif
mengenai
karakteristik
penderita
diabetes melitus tipe 2 dan terapinya di
instalasi rawat inap penyakit dalam
RSMH Palembang periode 1 Januari
2007 31 Desember 2007. Frekuensi
penderita diabetes tipe 2 terbanyak
pada kelompok usia 45-59 tahun yaitu
sebanyak 40 orang (46,51%) dan lebih
banyak perempuan yakni 57 orang
(66,28%)
daripada
laki-laki.
78

Frekuensikadar gula darah sewaktu


terbanyak pada penelitian ini yaitu
200 mg/dL yakni sebanyak 66 orang
(76,74%). Pada penelitian ini tidak
dapat dilihat distribusi penderita
berdasarkan riwayat keluarga karena
data yang ada tidak lengkap.
Berdasarkan Indeks Massa Tubuh, para
penderita diabetes tipe 2 lebih banyak
yang memiliki berat badan lebih
dengan resiko yaitu sebanyak 36 orang
(41,86%). Insulin adalah terapi yang
peling sering diberikan pada penderita
diabetes yakni sebanyak 52 orang
(64,20%).
Saran
Para
pihak
terkait
diharapkan
mengadakan
penyuluhan
kepada
masyarakat tentang penyakit diabetes
terutama mengenai cara pencegahnnya.
Perlu dilakukanya pemeriksaan rutin
terhadap orang-orang yang memiliki
faktor resiko tinggi diabetes melitus
dan
orang-orang
yang
telah
terdiagnosa diabetes untuk mencegah
berbagai komplikasi yang berbahaya.
Peneliti menyarankan untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai
karakteristik penderita diabetes dengan
mengambil sampel di luar rumah sakit
atau langsung di dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Wild, Sarah, dkk. Global Prevalence
of Diabetes. Diabetes Care.
Volume 27. Number 5. 2004
PERKENI. Konsensus Pengelolaan
dan
Pencegahan
Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia
2006. Jakarta: PB.PERKENI.
2006

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam


FK UI. 2006.
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta,
Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI. 1999.
Rochmah, Wasilah. Diabetes Melitus
Pada Usia Lanjut. Dalam:
Sudoyo, Aru W, dkk. Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid III.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. 2006.
Witjaksono, Fiastuti. Obesitas Bukan
Lagi
Tanda
Kemakmuran.
Jakarta. 2005
Gustaviani, Reno. Diagnosis dan
Klasifikasi Diabetes Melitus.
Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk.
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. 2006.
Guyton, dan Hall. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Jakarta : EGC.
1997.
Shahab, Alwi. Komplikasi Kronik DM
Penyakit
Jantung Koroner.
Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk.
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. 2006.
Shahab, Alwi. 2003. Disfungsi Endotel
Pada
Diabetes
Melitus.
http://www.rsmhplg.com
Pandelaki, Karel. Retinopati Diabetik.
Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk.
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. 2006.

Suyono, Slamet. Diabetes Melitus Di


Indonesia. Dalam: Sudoyo, Aru
W, dkk. Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid
III.
Jakarta:
Pusat

79

Dosen Program Studi Ilmu


Keperawatan STIKES Hang Tuah
Surabaya

80

Anda mungkin juga menyukai