Anda di halaman 1dari 48

REFERAT

TRAUMA UROGENITAL

PEMBIMBING :

dr. Y. Soni, Sp. U

DISUSUN OLEH :

Chindy Marselya (406162121)

Valerie Sunhaji (406161029)

Yana Sylvana (406162019)

KEPANITERAAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
PERIODE 5 Juni 19 Agustus 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


TARUMANAGARA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

TRAUMA UROGENITAL

Disusun oleh :

Chindy Marselya (406162121)

Valerie Sunhaji (406161029)

Yana Sylvana (406162019)

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD
Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 10 Agustus 2017

dr. Y. Soni, Sp. U

2
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :

TRAUMA UROGENITAL

Disusun oleh :

Chindy Marselya (406162121)

Valerie Sunhaji (406161029)

Yana Sylvana (406162019)

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Bedah RSUD
Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,

Kepala SMF Bedah

dr. Johan Lucas, Sp.B

3
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga referat dengan judul Hepatobilier
ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu. Referat ini disusun untuk memenuhi
syarat Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Tarumanagara
di RSUD Ciawi periode 9 Januari 18 Maret 2017.

Dalam referat ini penulis mencoba menyajikan informasi mengenai


Hepatobilier bagi pembaca, khususnya kalangan medis dan paramedis, dengan
harapan dapat menambah pengetahuan mengenai Hepatobilier. Pada kesempatan
ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Y. Soni, Sp. U sebagai pembimbing

2. dr. Johan Lucas, Sp. B

3. dr. M. Relly, Sp. B

4. dr. Sjaiful B. , Sp. B (K) BD

5. dr. Ooki Nico Junior, Sp. B (K) Onk

6. dr. Rosadi, Sp. U

7. dr. Dhevariza, Sp. OT

8. dr. Tsani, Sp. OT

9. dr. Husdal, Sp. BS

yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya selama siklus


kepaniteraan ilmu Penyakit Bedah di RSUD Ciawi selama periode kepaniteraan 5
Juni 19 Agustus 2017.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan karena kemampuan dan


pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari semua pihak agar referat ini dapat menjadi
lebih baik dan dapat berguna bagi para pembaca. Akhir kata, penulis mohon maaf
apabila masih banyak kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini, semoga
referat ini bermanfaat bagi para pembaca.

Ciawi, 10 Agustus 2017

Penulis

4
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 6

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Trauma genitourinaria terjadi sekitar 10-15% dari pasien yang menderita trauma abdomen
(1)
dan pelvis. Trauma pada genitalia eksterna jarang terjadi. Ketika trauma genitalia terjadi,
pertimbangan adanya trauma uretra adalah penting. Diagnosa yang benar dan pengobatan trauma
genitalia eksterna bertujuan untuk memelihara struktur organ dan fungsi dan komplikasi seperti
infeksi, perdarahan, dan urinary extravasation. Umumnya, suplai darah yang cukup ke genitalia
eksterna memberikan penyembuhan dan mencegah infeksi. Pada kasus-kasus trauma genital yang
signifikan dan hilangnya organ, kemungkinan untuk terjadinya distress emosional mungkin
membutuhkan konsultasi segera ke psikiater.(2)

Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa karena perhatian
penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan anggota gerak saja, kelambatan ini dapat
menimbulkan komplikasi yang berat seperti perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada
setiap kecelakaan trauma saluran kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada. Trauma
saluran kemih sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem
saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. Juga harus diingat bahwa keadaan umum
dan tanda-tanda vital harus selalu diperbaiki/dipertahankan, sebelum melangkah ke pengobatan
yang lebih spesifik.

Suatu kegawatan urologi timbul jika suatu keadaan membutuhkan diagnosa yang cepat dan
pengobatan segera. Trauma organ-organ urogenital umumnya tidak mengancam jiwa dengan
segera. Meski demikian, kegagalan dalam mengevaluasi dengan benar dan mengobati cedera ini
mungkin mengakibatkan morbiditas pasien jangka panjang. Kemajuan baru-baru ini dalam
perawatan intensif dan gambaran radiologi telah memperbaiki diagnosa dan ketahanan hidup pada
trauma yang serius. Adalah tanggung jawab seorang ahli urologi untuk menyediakan interpretasi
gambaran pencitraan urologi dengan benar dan intervensi secara operatif jika diperlukan.

6
1.2. ANATOMI UROGENITAL

1.2.1. ANATOMI GINJAL

Ginjal (renal) merupakan sepasang organ kemih yang terletak di rongga retroperitoneal
tubuh. Letak renal berada di sebelah lateral columna vertebralis dan muskulus psoas mayor. Organ
ini merupakan salah satu organ yang terlindungi oleh struktur yang ada di sekitarnya. Bagian
posterior renal terdapat otot-otot punggung yang tebal dan iga XI dan XII, renal sebelah kanan
terlindungi oleh hepar dan renal sebelah kiri terlindungi oleh lien dan gaster. Bagian anterior renal
terlindungi oleh organ intraperitoneum. Renal terbungkus oleh lapisan fibrosa yang disebut dengan
kapsula fibrosa. Kapsula fibrosa ini dilapisi oleh fascia Geroti yang berfungsi untuk menghambat
perluasan perdarahan dan penyebaran infeksi serta metastasis tumor. Diantara kapsula fibrosa dan
fascia Geroti terdapat ruangan yaitu rongga perirenal yang berisi jaringan lemak perirenal.3

Struktur renal terdiri dari korteks dan medulla. Korteks merupakan bagian superfisial pada
renal dan medulla terletak di profundus. Renal memiliki unit fungsional terkecil disebut dengan
nefron yang terletak pada korteks renal dan memiliki banyak duktus yang terletak di medulla renal
dan berfungsi untuk mengalirkan urin. Struktur nefron terdiri dari glomerulus, tubulus kontortus
proximal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal dan duktus koligentes. Struktur dalam renal
terdapat sistem pelviokaliks yang terdiri dari kaliks minor, infundibulum, kaliks mayor dan pelvis
renal yang berfungsi untuk mengalirkan urin dari duktus koligentes menuju ke ureter.3

Vaskularisasi renal diperdarahi oleh arteri renalis dextra et sinistra yang merupakan cabang
dari aorta abdominal. Arteri renalis mempunyai percabangan yaitu arteri segmentalis, arteri
interlobares, arteri arkuata, arteri interlobulares yang berubah menjadi vasa afferent dan vasa
efferent. Sedangkan vena pada renal adalah vena renalis dextra et sinistra yang terbentuk dari vena
interlobulares, vena arkuata, vena interlobares dan vena segmentalis. Muara pada vena renalis
adalah menuju ke vena kava inferior.3

Sistem persarafan pada renal yaitu dipersarafi oleh pleksus renalis yang seratnya berjalan
bersama dengan arteri renalis. Persarafan sensorik pada renal oleh nervus thorakal 10-11.
Pembuluh darah dan persarafan renal memasuki organ renal melalui suatu cekungan yang disebut
dengan hilum renalis.3

7
Berikut merupakan fungsi organ renal: 3
1. Mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit
2. Berfungsi sebagai filtrasi hasil metabolisme dan toksin tubuh
3. Menghasilkan eritropoietin yang berfungsi untuk menghasilkan hormon pembentukan
eritrosit
4. Mempertahankan keseimbangan asam-basa
5. Menghasilkan hormon rennin yang berfungsi untuk mengatur tekanan darah
6. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktif

1.2.2. ANATOMI URETER

Ureter merupakan organ berbentuk saluran yang memiliki fungsi peristaltik untuk
mengalirkan urin dari ginjal menuju ke kandung kemih. Panjang ureter kurang lebih 25-30 cm
dengan diameter 3-4 mm. Struktur ureter terdiri dari 2 lapis otot yaitu otot sirkuler dan otot
longitudinal. Ureter dibagi menjadi 2 bagian yaitu ureter pars abdominal yang terbentang dari
pelvis renal sampai menyilang vasa iliaka dan ureter pars pelvika yang terbentang sampai ke
kandung kemih. Secara radiologis, ureter terbagi menjadi 3 bagian yaitu ureter proximal yang
terbentang dari pelvis renal sampai sacrum, ureter medial terbentang dari atas sakrum sampai
bagian bawah sakrum dan ureter distal terbentang dari bagian bawah sakrum sampai masuk ke
kandung kemih. Vaskularisasi ureter diperdarahi oleh cabang dari arteri renalis, arteri
testikularis/ovarica, arteri iliaka interna dan arteri vesikalis inferior/uterina. Sistem persarafan
ureter dipersarafi oleh saraf otonom yang terdiri dari simpatis dan parasimpatis. Persarafan
simpatis oleh nervus thorakal 10 nervus lumbales 2 dan parasimpatis oleh nervus vagus.4

1.2.3. ANATOMI VESIKA URINARIA

VU merupakan organ berongga dengan bentuk limas segitiga. Lokasi VU terdapat di dalam
simfisis pubis ketika VU sedang kosong dan berada di atas simfisis pubis ketika penuh. VU
memiliki 3 fascies yaitu fascies superior, inferolateral dan posterior. Fascies superior merupakan
lokus minoris dinding VU. Bagian pada VU terdiri dari korpus, collum, fundus dan apeks. Pada
apex VU melekat ligamentum umbilicale medianum merupakan sisa urachus (chorda urachi). Pada

8
VU, terdapat ligamentum pubouretral yang berfungsi untuk menunjang collum VU dan uretra.
Ligamentum ini melekat pada bagian dorsal pubis. Pada laki-laki, collum VU bersama dengan
prostat berfungsi sebagai spinghter interna. Prostat terfiksasi dengan pubis melalui ligamentum
puboprostatika.5

Muskulus detrusor merupakan otot yang terdapat di VU. Otot ini terdiri dari 3 lapisan yaitu
longitudinal pada bagian dalam dan sirkuler pada bagian tengah dan longitudinal pada bagian luar.5

Fungsi VU adalah untuk menerima urin dari ureter melalui ostium ureteris dan menampung
urin serta menyalurkan urin menuju ke uretra melalui ostium uretra interna.5

Vaskularisasi VU adalah diperdarahi oleh arteri vesikalis superior et inferior yang


merupakan cabang dari arteri iliaka interna serta vena vesikales yang bermuara ke vena iliaka
interna. VU dipersarafi oleh nervus otonom yaitu nervus vagus dengan aktifitas simpatis dan
parasimpatis. Aktifitas simpatis menyebabkan kontraksi muskulus spinghter vesika dan relaksasi
muskulus detrusor sedangkan aktifitas parasimpatis menyebabkan kontraksi muskulus detrusor
dan relaksasi muskulus spinghter vesika. Persarafan sensoris VU dipersarafi oleh segmen sakral
2-4 yang mengaktifkan pusat miksi di medulla spinalis.5

1.2.4. ANATOMI URETHRA

Urethra merupakan saluran berbentuk tabung yang berfungsi untuk menyalurkan urin
keluar dari VU. Pada laki-laki, struktur ini terbagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior.6

Uretra posterior terdiri dari uretra pars prostatika yang berfungsi sebagai spinghter dan
uretra pars membranasea yang merupakan bagian terpendek uretra serta bagian dari diafragma
urogenital. Uretra anterior terdiri dari uretra pars bulbosa dan uretra pars spongiosa. Didalam
lumen uretra terdapat muara dari berbagai macam kelenjar yaitu kelenjar prostat, kelenjar
Cowperi. Pada uretra pars spongiosa, terdapat bagian yang melebar disebut dengan fossa
navikularis.6

9
Vaskularisasi uretra diperdarahi oleh arteri vesika inferior untuk uretra pars prostatika,
arteri bulbouretral untuk uretra pars membranosa dan uretra pars bulbosa, arteri dorsalis penis yang
merupakan cabang dari arteri pundenda interna untuk uretra pars spongiosum.6

Persarafan spinghter uretra interna dipersarafi oleh sistem simpatik yang mempengaruhi
aktifitas otot spinghter dan spinghter uretra eksterna oleh sistem somatik yang dapat dikontrol
sesuai dengan keinginan miksi.6

1.2.5. ANATOMI PENIS

Penis merupakan bagian dari genitalia eksterna laki-laki, terdiri dari radix penis yang
terletak didalam perineum dan korpus penis yang menggantung bebas. Radix penis terdiri dari crus
penis dan bulbus penis. Crus penis membentuk korpus spongiosum penis dan bulbus penis
membentuk korpus kavernosus. Korpus kavernosus terbungkus oleh tunika albuginea yang
merupakan lapisan fibrosa pembentuk septum penis. Isi dari korpus spongiosum adala uretra pars
spongiosum sedangkan isi dari korpus kavernosus adalah sinusoid yang berfungsi untuk
menampung darah sehingga dapat menyebabkan ereksi penis. Korpus kavernosus dan korpus
spongiosa terbungkus oleh fascia Buck dan lebih superfisial terdapat fascia Colles / fascia Dartos
yang merupakan kelanjutan dari fascia Scarpae.7

Vaskularisasi penis terdiri dari arteri dorsalis penis dan arteri bulbus penis yang merupakan
cabang dari arteri pundenda interna. Pembuluh darah ini masuk ke dalam rongga kavernosus dan
bersatu sehingga membentuk arteri helicinae penis. Drainase vena penis adalah vena dorsalis penis
yang bermuara ke vena pundenda eksterna. Persarafan parasimpatis untuk vasodilatasi penis dari
nervus pudendus (S2,3,4) dengan cabangnya nervus dorsalis penis. Penis juga dipersarafi oleh
nervus ilioinguinalis dan dari plexus pelvicus (otonom).7

1.2.6. ANATOMI SKROTUM

Skrotum merupakan 2 buah jaringan fibromuskular yang tengahnya terpisahkan oleh


septum yang disebut dengan raphe skrotum. Masing-masing skrotum berisi testis, epididimis dan
funikulus spermatikus. Lapisan skrotum terdiri dari kulit, tunika dartos, fascia spermatika eskterna,
fascia cremaster, muskulus cremaster, fascia spermatika interna, tunika vaginalis pars parietal dan

10
pars visceral. Vaskularisasi skrotum oleh arteri pundenda interna dan arteri pundenda eskterna
yang merupakan cabang dari arteri femoralis. Drainase vena skrotum oleh vena pundenda eksterna
yang bermuara ke vena saphena magna. Persarafan skrotum dipersarafi oleh nervus sensorik yang
merupakan cabang dari nervus genitofemoralis, nervus ilioinguinal, nervus perineal dan cabang
dari nervus kutaneus femoralis.8

11
BAB II
TRAUMA GINJAL

2.1. PENDAHULUAN

Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindung oleh otot punggung di sebelah
posterior dan oleh organ intraperitonealdi sebelah anteriornya, karena itu cedera ginjal tidak jarang
diikuti oleh cedera organ yang mengitarinya. Trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada
system urogenitalia. Kurang lebih 10% dari trauma abdomen mengenai ginjal. (2)
Cedera ginjal dapat terjadi secara : (1). Langsung akibat benturan yang mengenai daerah
pinggang atau (2). Tidak langsung : cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di
dalam rongga retroperitonium. Jenis cedera yang dapat mengenai ginjal dapat merupakan cedera
tumpul, luka tusuk atau luka tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum
menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis
yang memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan
thrombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dapat dipermudah jika
sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal.

2.2. KLASIFIKASI
Menurut mekanismenya, trauma ginjal dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Dikatakan langsung apabila trauma ginjal terjadi karena benturan yang mengenai daerah pinggang,
sedangkan dikatakan tidak langsung yaitu apabila trauma terjadi akibat pergerakan ginjal secara
tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum (cedera deselerasi). Menurut penyebabnya, trauma pada
ginjal dapat terjadi akibat trauma tumpul maupun trauma penetrasi.9
Trauma tumpul biasanya terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (tersering), jatuh dari
ketinggian, cedera saat olahraga, dan perkelahian.10 Trauma tumpul ginjal juga dapat disebabkan
oleh goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum yang menyebabkan terjadinya regangan
pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan
memicu terbentuknya benkuan-bekuan darah yang dapat menimbulkan trombosis arteri renalis
beserta cabang-cabangnya. Trauma tumpul ginjal lebih rentan terjadi apabila sebelumnya sudah
ada kelainan pada ginjal, antara lain yaitu hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal.9

12
Trauma tajam yang mengenai ginjal umumnya disebabkan oleh luka tembak dan luka
tusuk. Trauma tajam pada ginjal cenderung lebih berat dan lebih sulit diprediksi prognosisnya
dibandingkan trauma tumpul. Trauma akibat luka tembak menyebabkan trauma organ multipel
dan menimbulkan kerusakan parenkim ginjal yang lebih berat dibandingkan luka tusuk.10
Gambar 2.2. Mekanisme trauma tumpul ginjal11

2.3 DERAJAT TRAUMA GINJAL


American Association for the Surgery of Trauma (AAST) membagi derajat kerusakan
pada ginjal akibat trauma ginjal menjadi 5 derajat berdasarkan CT-scan maupun eksplorasi
langsung (Tabel 2.3.3). Klasifikasi derajat trauma ginjal ini dapat membantu memprediksi
kebutuhan intervensi, morbiditas, dan mortalitas akibat trauma ginjal.10 Sebagian besar (85%)
trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera mayor (derajat III
dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.9
Tabel 2.3. Derajat Trauma Ginjal 9,10
DERAJAT JENIS KERUSAKAN
Kontusio ginjal atau hematoma subkapsular
I
Tanpa laserasi
II Hematoma perirenal

13
Laserasi korteks < 1 cm tanpa ekstravasasi urine
III Laserasi korteks > 1 cm tanpa tanpa ekstravasasi urine
Laserasi : melalui corticomedullary junction ke sistem kaliks ginjal
ATAU
IV Vaskular : kerusakan segmen arteri atau vena ginjal dengan
hematoma; atau laserasi pembuluh darah ginjal parsial; atau
thrombosis pembuluh darah ginjal
Laserasi : ginjal terbelah
V ATAU
Vaskular : avulsi pedikel ginjal
*Apabila terjadi kerusakan ginjal bilateral di atas derajat III maka dinaikkan 1 derajat.

Gambar 2.3. Derajat Trauma Ginjal11

14
2.4. DIAGNOSIS

2.4.1. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK


Perlu ditanyakan mekanisme dan waktu cedera pada pasien yang sadar atau saksi mata
yang melihat kejadian untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi. Pada fase awal resusitasi,
anamnesis harus diarahkan pada kelainan ginjal yang sudah ada sebelumnya (misalnya:
hidronefrosis karena abnormalitas ureteropelvic junction, kalkulus, kista, dan tumor) karena
keadaan tersebut dapat menyebabkan ginjal lebih rentan mengalami trauma. Tanda-tanda vital
harus dievaluasi karena kestabilan hemodinamik merupakan faktor paling penting dalam
menentukan tatalaksana trauma ginjal.10

Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika ditemukan:9

1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas
dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah tersebut.
2. Hematuria
3. Fraktur costae sebelah bawah atau fraktur prosesus spinosus vertebra T8-T12
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas

Pada trauma derajat ringan, mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat
jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma
mayor atau ruptur pedikel, seringkali pasien datang dalam keadaan syok berat dan terdapat
hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin membesar.9

2.4.2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Urinalisis, hematokrit, dan kreatinin serum merupakan pemeriksaan terpenting untuk
mengevaluasi trauma ginjal. Urine pasien yang dicurigai mengalami trauma ginjal harus diinspeksi
untuk melihat adanya hematuria makroskopik dan dilakukan tes dipstik untuk melihat hematuria
mikroskopik. Pemeriksaan hematokrit serial dan tanda-tanda vital digunakan untuk evaluasi
kontinu pada pasien yang dicurigai mengalami trauma ginjal. Pemeriksaan kadar kreatinin serum
berguna untuk mengidentifikasi adanya gangguan fungsi ginjal sebelum terjadinya trauma.10

15
2.4.3. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Jenis pencitraan yang dilakukan tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas yang dimiliki
oleh klinik yang bersangkutan. Indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan radiologi pada trauma
ginjal adalah:9,10

1. Trauma tajam yang dicurigai mengenai ginjal


2. Trauma tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik
3. Trauma tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik dengan
disertai hipotensi

Ada beberapa macam pencitraan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi trauma pada
ginjal, yaitu: ultrasonografi (USG), pielografi intravena (IVP), one-shot intraoperative IVP, CT-
scan, MRI, angiografi, dan radionuklida.10

2.4.3.1. Ultrasonografi (USG)


USG dapat mendeteksi laserasi ginjal, tapi tidak dapat memberikan informasi mengenai
dalam dan luasnya laserasi. USG juga tidak dapat mendeteksi adanya kebocoran urine. USG
umumnya dipakai untuk follow-up lesi parenkim atau hematoma di ICU dan untuk memantau
resolusi urinoma dan hematoma retroperitoneal pada trauma ginjal dengan hemodinamik yang
stabil. USG bermanfaat untuk membantu mengidentifikasi kasus trauma tumpul ginjal yang butuh
pemeriksaan radiologi yang lebih detail pada saat triase.10

2.4.3.2. Pielografi Intravena (IVP)


IVP biasanya hanya dipakai jika hanya modalitas radiologi IVP saja yang tersedia dalam
suatu fasilitas kesehatan karena perannya sudah tergantikan oleh CT-scan. IVP dapat menunjukkan
ada atau tidaknya kedua ginjal seseorang serta dapat memperlihatkan keutuhan parenkim ginjal
dan kaliks secara jelas. Temuan paling signifikan pada pemeriksaan dengan IVP adalah ginjal non
fungsional dan adanya ekstravasasi. Gambaran ginjal yang non fungsional merupakan tanda
trauma ekstensif pada ginjal, pedikel (avulsi pembuluh darah atau thrombosis), atau ginjal yang
terbelah. Ekstravasasi media kontras menunjukkan derajat trauma yang cukup berat yang

16
melibatkan kapsul, parenkim, dan sistem kaliks ginjal. Gambaran ginjal yang tidak tervisualisasi,
adanya deformitas kontur ginjal, atau ekstravasasi kontras yang ditunjukkan pada pemeriksaan
IVP berarti membutuhkan evaluasi radiologi lebih lanjut.10

Gambar 2.4.3.2. Ekstravasasi kontras pada trauma tumpul ginjal


yang terlihat dengan pemeriksaan IVP11

2.4.3.3. One-shot IVP


Pada pasien trauma yang tidak stabil dan membutuhkan laparotomi segera, one-shot IVP
dapat memberikan informasi mengenai keadaan ginjal kontralateral yang normal dan berfungsi
baik. Prosedur pemeriksaan ini adalah dengan menginjeksikan kontras radiografik sebanyak
2ml/kgBB yang diikuti dengan dilakukannya foto polos abdomen 10 menit kemudian.10

17
2.4.3.4. CT-scan
CT-scan merupakan metode paling baik untuk mengevaluasi pasien dengan trauma ginjal
yang hemodinamiknya stabil. CT lebih sensitif dan spesifik dibandingkan IVP, USG, dan
angiografi karena CT secara akurat menunjukkan lokasi cedera, mendeteksi adanya kontusio dan
segmen ginjal yang lemah, serta memperlihatkan keadaan retroperitoneum, pelvis dan struktur
organ lain di abdomen. CT mendemonstrasikan anatomi secara detail termasuk kedalaman dan
lokasi laserasi, cedera pada organ abdomen lain, dan menunjukkan keadaan ginjal kontralateral.
Kontras intravena harus diinjeksikan untuk mengevaluasi ginjal dengan CT. Kurang
tervisualisasinya kontras pada pencitraan menunjukkan adanya cedera pedikel ginjal.10

2.4.3.5. MRI
MRI bukan pilihan utama untuk pasien trauma karena pemeriksaan ini membutuhkan
waktu yang lebih lama. MRI hanya digunakan pada trauma ginjal apabila CT tidak ada, pasien
memiliki alergi bahan kontras (iodine), atau jika hasil temuan CT masih meragukan.10

2.4.3.6. Angiografi
Angiografi diindikasikan terutama untuk kontrol perdarahan yang ditemukan pada CT-
scan secara radiologik untuk pasien dengan hemodinamik stabil. Meskipun angiografi kurang
spesifik, lebih membutuhkan waktu banyak, dan lebih invasif dari pada CT-scan, namun angiografi
lebih spesifik dalam menunjukkan lokasi dan derajat cedera pembuluh darah ginjal. Angiografi
juga merupakan modalitas pilihan utama untuk mengevaluasi cedera pada vena ginjal. Indikasi
lain pemeriksaan angiografi adalah jika ada kecurigaan adanya avulsi total pembuluh darah ginjal,
trombosis arteri ginjal, dan kontusio berat yang menyebabkan spasme pembuluh darah besar
ginjal.10

2.4.3.7. Radionuclide scans


Radionuclide scans umumnya digunakan pada pasien trauma yang alergi terhadap bahan
kontras.10

18
2.5. TATALAKSANA TRAUMA GINJAL
2.5.1. Tatalaksana operatif
Kurang dari 10% kasus trauma tumpul ginjal yang memerlukan tindakan operatif. Perlunya
tindakan operatif pada ginjal dapat dipertimbangkan berdasarkan tipe cedera, kebutuhan transfusi,
kadar ureum dan kreatinin, dan derajat cedera pada ginjal. Akan tetapi, manajemen trauma ginjal
juga bisa dipengaruhi oleh keputusan untuk mengeksplorasi atau mengobservasi cedera organ
abdomen lainnya. Indikasi dilakukannya tatalaksana secara operatif pada ginjal adalah:10

1. Hemodinamik yang tidak stabil yang tidak berespons terhadap resusitasi.


2. Hematoma yang meluas atau pulsatil pada saat laparotomi eksploratif untuk
penanganan organ intra abdomen lain.
3. Hasil pencitraan yang meragukan, adanya abnormalitas ginjal yang sudah ada
sebelum trauma.
4. Tumor yang kebetulan terdiagnosis dengan pencitraan.

Angka keseluruhan pasien dengan trauma ginjal yang dilakukan nefrektomi saat dilakukan
tatalaksana operatif kurang lebih adalah sebanyak 13%. Pasien trauma yang dilakukan nefrektomi
umumnya adalah akibat luka tusuk dan luka tembak karena rekonstruksi ginjal yang sulit pada
kasus tersebut.10

2.5.2. Intervensi dengan radiologi


Angiografi dengan embolisasi selektif (angio-embolisasi) merupakan terapi endovaskular
yang sedikit invasif untuk mengatasi trauma renovaskular. Teknik ini merupakan terapi alternatif
dari laparotomi untuk kasus cedera pembuluh darah ginjal tanpa indikasi untuk dilakukan
laparotomi segera. Pasien dengan hemodinamik stabil dengan cedera derajat 3 atau lebih harus
dipertimbangkan untuk dilakukan angiografi dengan embolisasi jika ditemukan adanya tanda
perdarahan aktif. Indikasi untuk dilakukannya angio-embolisasi adalah sebagai berikut:10

1. Ekstravasasi masif
2. Cedera ginjal derajat 4-5
3. Laserasi arteri ginjal
4. Avulsi pedikel ginjal
5. Hipoperfusi ginjal yang segmental maupun global

19
6. Thrombosis arteri ginjal

2.5.3. Tatalaksana non-operatif


Tatalaksana non-operatif merupakan terapi pilihan utama untuk sebagian besar kasus
trauma ginjal. Pada semua kasus trauma ginjal, tatalaksana operatif hanya boleh dilakukan setelah
dapat menentukan derajat cedera ginjal pada pasien dengan hemodinamik stabil.10
Pada pasien dengan hemodinamik stabil, tatalaksana non-operatif berupa terapi suportif
dengan bed-rest dan observasi. Semua cedera ginjal derajat 1 dan 2 yang disebabkan trauma
tumpul maupun trauma tajam dapat ditatalaksana secara non-operatif. Untuk derajat 3, studi baru-
baru ini mendukung untuk dilakukannya expectant treatment. Cedera derajat 4 dan 5 pada
sebagian besar pasien disebabkan oleh mekanisme trauma yang berat, sehingga seringkali
dilakukan eksplorasi laparotomi dan nefrektomi. Pada pasien yang memiliki sepasang ginjal yang
mengalami cedera pada arteri ginjal unilateral atau thrombosis arteri ginjal unilateral dengan
hemodinamik stabil umumnya dilakukan terapi konservatif saja. Namun, pada pasien tersebut
harus dilakukan follow-up karena mereka berisiko tinggi mengalami hipertensi di kemudian hari.10

20
Algoritma evaluasi trauma tumpul ginjal pada orang dewasa10

21
Algoritma evaluasi trauma tajam penetrasi ginjal pada orang dewasa10

22
2.5.4. Perawatan post-operatif dan follow-up
Risiko komplikasi pada pasien yang diterapi secara konservatif meningkat seiring
tingginya derajat cedera ginjal. Pencitraan ulang pada 2-4 hari setelah trauma mengurangi risiko
adanya komplikasi yang tidak terdeteksi, terutama pada trauma tumpul derajat 3-5. Namun,
penggunaan CT-scan yang sering setelah trauma tidak disarankan karena risiko paparan radiasi
yang meningkat. CT-scan dilakukan pada pasien dengan demam, penurunan hematokrit, atau nyeri
pinggang yang berat.10
Nuclear scans berguna untuk mengetahui pemuulihan fungsi ginjal pada pasien yang telah
dilakukan rekonstruksi ginjal. Follow-up pasien dengan trauma ginjal harus meliputi pemeriksaan
fisik, urinalisis, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tekanan darah serial, serta ureum dan
kreatinin serum. Follow-up terus dilakukan hingga terjadi penyembuhan dan temuan laboratorium
stabil. Namun, pemeriksaan tekanan darah untuk mendeteksi adanya hipertensi renovaskular harus
dilanjutkan terus hingga bertahun-tahun.10

2.6. KOMPLIKASI
Komplikasi dini yang terjadi dalam kurun waktu < 1 bulan setelah trauma dapat berupa
perdarahan, infeksi, abses perirenal, sepsis, fistula, hipertensi, ekstravasasi urine, dan urinoma.
Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah perdarahan, hidronefrosis, pembentukan kalkulus,
pielonefritis kronik, hipertensi, arteriovenous fistula (AVF), dan pseudoaneurisma. Pada pasien
trauma, dapat terjadi perdarahan retroperitoneal yang delayed yang dapat mengancam nyawa.
Keadaan tersebut dapat ditangani dengan engio-embolisasi.10
Pada abses perirenal, tatalaksana yang dilakukan berupa drainase perkutan, meskipun
drainase terbuka kadang juga diperlukan. Hipertensi karena trauma ginjal dapat timbul akut akibat
kompresi eksternal hematoma ginjal (Page kidney) maupun kronik akibat terbentuknya jaringan
parut yang menyebabkan kompresi pada pembuluh darah ginjal. Ekstravasasi urine setelah
rekonstruksi ginjal umumnya hilang dengan sendirinya tanpa intervensi selama tidak ada obstruksi
ureter maupun infeksi. Ekstravasasi urine yang persisten biasanya ditangani dengan pemasangan
stent dan/atau drainase perkutan jika diperlukan. Arteriovenous fistula (AVF) biasanya terjadi
dengan gejala hematuri signifikan, paling sering setelah trauma tajam.

23
BAB III
TRAUMA URETER

3.1. PENDAHULUAN
Trauma ureter sangat jarang terjadi karena ureter terlindungi dari trauma oleh ukurannya
yang kecil dan mobile serta letaknya yang berdampingan dengan vertebra, tulang pelvis, dan otot-
otot. Kasus trauma ureter terjadi kurang lebih sebanyak 1-2,5% dari trauma traktus urinarius.
Penyebab paling sering trauma ureter adalah trauma iatrogenik yang dapat terjadi pada
pembedahan terbuka, laparoskopik, maupun endoskopik. Sekitar sepertiga kasus trauma eksternal
ureter disebabkan oleh trauma tumpul, paling sering karena kecelakaan lalu lintas.10

3.2. DIAGNOSIS
Pada trauma tajam, biasanya diagnosis trauma ureter diketahui dengan laparotomi, tetapi
diagnosis pada trauma tumpul dan trauma iatrogenik seringkali diagnosisnya terlambat.10

Saat operasi Lapangan operasi banyak cairan


Hematuria
Anuria/oligouri jika cedera bilateral
Pasca bedah Demam
Ileus
Nyeri pinggang akibat obstruksi
Luka operasi selalu basah
Sampai beberapa hari cairan drainase
jernih dan banyak
Hematuria persisten dan hematoma
/urinoma di abdomen
Fistula ureterokutan/fistula urerovagina

24
3.2.1. Tanda dan gejala klinis
Trauma tajam ureter biasanya bersamaan dengan cedera vaskular dan intestinal, sedangkan
trauma tumpul ureter biasanya bersamaan dengan fraktur tulang pelvis dan vertebra lumbosakral.
Hematuria merupakan indikator yang kurang dapat dipercaya untuk trauma ureter, karena
hematuria hanya terjadi pada 50-75% pasien dengan trauma ureter.10
Trauma iatrogenik dapat diketahui saat operasi dengan cara menginjeksikan zat warna
intravena (indigo carmine) untuk menyingkirkan trauma ureter. Trauma iatrogenik juga dapat
terlambat diketahui setelah operasi karena adanya gejala obstruksi traktus urinarius bagian atas,
pembentukan fistula, atau sepsis. Tanda adanya trauma ureter adalah nyeri pinggang, inkontinensia
urine, keluarnya urine pada vagina atau drainase, hematuria, demam, uremia, atau urinoma.
Obstruksi ureter berkepanjangan (> 2 minggu) berisiko meningkatkan risiko terjadinya infeksi,
kerusakan ginjal ireversibel, dan hipertensi.10

3.2.2. Pemeriksaan radiologi


Ekstravasasi media kontras pada CT-scan atau IVP merupakan tanda adanya trauma ureter.
Namun, yang sering terlihat pada pencitraan adalah hidronefrosis, ascites, urinoma, atau dilatasi
ureter. Pada kasus yang belum jelas, pemeriksaan dengan urografi antegrad atau retrograd
merupakan gold standard untuk konfirmasi adanya trauma ureter.10
Gambar 3.2.2. Ekstravasasi kontras akibat trauma tajam ureter
yang terlihat pada pemeriksaan IVP 11

25
3.3. TATALAKSANA

Tatalaksana trauma ureter tergantung pada beberapa faktor yaitu jenis, tingkat keparahan,
dan lokasi trauma. Diagnosis segera saat trauma ligasi ureter saat operasi dapat ditangani dengan
de-ligasi dan pemasangan stent. Cedera parsial dapat diperbaiki segera dengan stent atau diversi
urine menggunakan selang nefrostomi. Pemasangan stent berguna untuk kanalisasi dan
mengurangi risiko terbentuknya striktur.10
Pada pasien trauma ureter dengan hemodinamik tidak stabil, penanganan dilakukan dengan
melakukan ligasi ureter dan diversi urine (nefrostomi), sementara perbaikan definitif ditunda
sementara. Cedera pada ureter yang telat diketahui biasanya ditangani dengan pemasangan selang
nefrostomi dengan atau tanpa stent. Terapi endourologikal pada fistula yang kecil dan striktur pada
ureter cukup aman dan efektif pada kasus-kasus tertentu, namun perbaikan dengan pembedahan
terbuka lebih sering diperlukan.10
Rekonstruksi ureter secara pembedahan terbuka terdiri dari berbagai cara, tergantung dari
letak cedera ureter (Tabel 2.4.3). Cedera pada ureter proximal dan tengah seringkali ditatatalaksana
dengan uretero-ureterostomi, sedangkan cedera ureter distal umumnya ditatalaksana dengan
reimplantasi ureter.10

Tabel 3.3.1. Prinsip pembedahan pada trauma ureter10

26
Tabel 3.3.2. Pilihan teknik rekonstruksi ureter berdasarkan lokasi cedera10

3.3.1. Uretero-ureterostomi
Uretero-ureterostomi merupakan teknik reparasi yang paling sering dilakukan, biasanya
pada cedera ureter proximal dan tengah.10 Teknik ini dipilih apabila kedua ujung distal dan
proksimal ureter dapat didekatkan tanpa tegangan (tension).9

3.3.2. Uretero-kalikostomi
Pada cedera di pertemuan antara pelvis renalis dan ureter maupun ureter proximal, ureter
dapat dianastomosis dengan lower pole kaliks ginjal ipsilateral.10

3.3.3. Transuretero-ureterostomi
Pada teknik ini, ujung distal ureter yang mengalami cedera diligasi, sedangkan ujung
bagian proximalnya dialihkan melewati garis tengah melalui ruang retroperitoneal dan kemudian
dihubungkan dengan ureter kontralateral. Teknik ini menjadi pilihan pada kasus dengan rusaknya
ureter bagian distal yang terlalu luas atau jika trauma pelvis menghalangi reimplantasi ureter.10

3.3.4. Reimplantasi ureter ke kandung kemih dan psoas hitch

Reimplantasi ureter bertujuan mengubah posisi ureter yang abnormal yang berhubungan
dengan kandung kemih. Ureter diimplantasi ke otot kandung kemih pada lokasi yang baru untuk
mencegah reflux urine dari kandung kemih ke ginjal.12 Cedera ureter bagian distal paling baik
ditangani dengan reimplantasi ureter karena trauma yang menyebabkan cedera ureter tersebut

27
biasanya membahayakan suplai darah ke ureter distal.10 Psoas hitch dengan jahitan non-
absorbable antara kandung kemih dengan tendon psoas ipsilateral biasanya dibutuhkan untuk
menyambung celah (gap) dan untuk mencegah terjadinya tegangan pada anastomosis.10

3.3.5. Reimplantasi ureter ke kandung kemih dengan Boari flap


Pada cedera ureter mid-distal, celah yang besar bisa dihubungkan dengan dinding kandung
kemih yang dibentuk seperti tabung berbentuk L. Operasi ini sangat memakan waktu dan tidak
disarankan untuk keadaan yang akut.10

3.3.6. Ileal interposition graft


Jika dibutuhkan tindakan penggantian seluruh ureter atau segmen ureter yang panjang,
ureter dapat digantikan dengan menggunakan segmen usus, biasanya ileum. Teknik ini
tidak boleh digunakan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau penyakit
intestinal.10

3.3.7. Autotransplantasi
Pada kasus dengan kehilangan ureter yang ekstensif atau setelah perbaikan ureter yang
multipel, ginjal dapat direlokasi ke pelvis. Pembuluh darah ginjal dianastomosis ke
pembuluh darah iliaka dan dilakukan reimplantasi ureter.10

28
BAB IV
TRAUMA VESIKA URINARIA

4.1. PENDAHULUAN
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering ruptur kandung kemih akibat trauma tumpul.
Sekitar 60-90% pasien dengan cedera kandung kemih disebabkan oleh trauma tumpul yang juga
menyebabkan fraktur pelvis, dan 44% pasien dengan cedera kandung kemih memiliki cedera
minimal satu organ intra-abdomen lain. Jumlah kasus trauma kandung kemih yang bersamaan
dengan trauma urethra kurang lebih sebanyak 15%.10
Ruptur kandung kemih dibagi menjadi 3 macam, yaitu ruptur intraperitoneal,
ekstraperitoenal, dann kombinasi intra- dan ekstraperitoneal. Ruptur kandung kemih tersering
adalah ruptur ekstraperitoneal. Ruptur vesika urinaria intraperitoneal dapat disebabkan oleh
peningkatan mendadak tekanan intravesikal akibat hantaman pada abdomen bawah atau pelvis.
Bagian lengkungan puncak dari vesika urinaria merupakan 2lokasi ruptur tersering karena bagian
tersebut merupakan bagian yang paling lemah dan paling mobile pada vesika urinaria. Rupturnya
kandung kemih intraperitoneal menyebabkan ekstravasasi urine pada ruang peritoenal dengan
risiko sepsis. Ruptur vesika urinaria ekstraperitoneal hampir selalu disebabkan oleh fraktur
pelvis.10
Trauma kandung kemih juga dapat disebabkan oleh trauma iatrogenik yang menyebabkan
laserasi pada seluruh lapisan dinding kandung kemih. Trauma iatrogenik pada kandung kemih
dibagi menjadi 2 macam, yaitu eksternal dan internal. Trauma iatrogenik eksternal disebabkan
paling sering oleh prosedur obstetrik dan ginekologik serta intervensi urologik. Trauma iatrogenik
internal paling sering terjadi selama transurethral resection of the bladder (TURB) untuk
penanganan tumor pada kandung kemih.10

4.2. FAKTOR RISIKO


Individu yang berkendara setelah mengonsumsi alkohol merupakan individu yang paling
rentan untuk mengalami trauma kandung kemih karena keadaan kandung kemih yang terdistensi
dan memiliki risiko tinggi untuk mengalami kecelakaan lalu lintas. Keadaan kandung kemih yang
penuh merupakan faktor saat trauma merupakan faktor risiko untuk terjadinya ruptur
intraperitoneal.10

29
Pada fraktur pelvis, kandung kemih berisiko tinggi untuk mengalami cedera apabila terjadi
pergeseran lingkaran pelvis > 1 cm, terjadi diastasis simfisis pubis > 1 cm, dan terdapat fraktur
pada ramus pubis.10

4.3. TANDA DAN GEJALA


Tanda kardinal dari trauma kandung kemih adalah hematuria makroskopik (pada > 95%
pasien). Adanya trauma kandung kemih sangat berhubungan dengan adanya fraktur pelvis dan
hematuria makroskopik, sehingga kombinasi dari kedua keadaan ini merupakan indikasi absolut
untuk dilakukannya pencitraan kandung kemih.10
Tidak ada data yang mendukung dilakukannya pencitraan traktus urinarius bagian bawah
pada semua pasien dengan fraktur pelvis atau hematuria mikroskopik. Keputusan untuk dilakukan
pencitraan pada kasus trauma dengan hematuria makroskopik tanpa fraktur pelvis, hematuria
mikroskopik dengan fraktur pelvis, dan hematuria mikroskopik saja harus berdasarkan adanya
tanda dan gejala lain dan lokasi dari trauma. Tanda dan gejala cedera kandung kemih lainnya
yaitu:10

1. Nyeri abdomen (> 97%), tidak bisa buang air kecil, memar di atas area suprapubik,
dan distensi abdomen akibat ekstravasasi urine yang menyebabkan ascites.
2. Ekstravasasi urine dapat menyebabkan pembengkakan pada perineum, skrotum
(melalui kanalis inguinalis), dan paha.
3. Pada ruptur intraperitoneal, reabsorpsi ureum dan kreatinin melalui rongga
peritoneal menyebabkan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum.
4. Pada trauma penetrasi abdomen dengan lokasi luka masuk dan keluar yang terdapat
pada abdomen bagian bawah, perineum, atau bokong harus dicurigai akan adanya
trauma kandung kemih.

Pada kasus trauma dengan gejala retensi urine dan perdarahan dari urethra harus dicurigai
adanya trauma pada kandung kemih dan urethra. Pada kasus seperti itu. harus dilakukan uretrografi
retrograd terlebih dahulu untuk menilai integritas urethra sebelum dilakukannya pemasangan
kateter urine untuk sistografi.10

30
4.4. TRAUMA IATROGENIK

4.4.1. Trauma iatrogenik kandung kemih eksternal saat operasi

Integritas kandung kemih dapat dilihat dari inspeksi secara langsung. Tanda akan adanya
trauma iatrogenik kandung kemih eksternal saat operasi adalah terlihatnya laserasi pada kandung
kemih, ekstravasasi urine, cairan jernih pada bidang pembedahan, terlihatnya kateter pada kandung
kemih, serta adanya darah dan/atau udara pada urine bag selama laparoskopi. Jika terjadi perforasi
kandung kemih, integritas orifisium ureter harus diperiksa.10

4.4.2. Trauma iatrogenik kandung kemih internal saat operasi

Perforasi kandung kemih akibat trauma iatrogenik internal saat operasi harus dicurigai jika
terdapat jaringan lemak, ruang gelap di antara serat otot detrusor vesika urinaria, atau terlihatnya
usus. Tanda terjadinya perforasi besar kandung kemih adalah berupa kandung kemih yang tidak
dapat terdistensi, volume cairan irigasi yang keluar pada uji pembilasan buli-buli lebih sedikit
daripada volume cairan yang dimasukkan, dan distensi abdomen.10

4.4.3. Trauma iatrogenik kandung kemih yang baru disadari saat operasi selesai

Tanda dan gejala klinis trauma iatrogenik yang terlihat setelah operasi adalah hematuria,
nyeri abdomen bawah, distensi abdomen, ileus, peritonitis, sepsis, kebocoran urine dari luka bekas
operasi, penurunan urine output, dan peningkatan kadar kreatinin serum.10

4.5. DIAGNOSIS

4.5.1. Sistografi (konvensional atau CT)

Sistografi adalah modalitas pilihan pada trauma kandung kemih non iatrogenik dan pada
kecurigaan akan adanya trauma kandung kemih iatrogenik saat setelah operasi. Sistografi
konvensional dan CT kedua-duanya memiliki sensitivitas 90-95% dan spesifisitas 100%. Namun,

31
sistografi CT memiliki kelebihan dibanding konvensional, yaitu dapat digunakan untuk
mendiagnosis trauma organ intra-abdomen lain atau penyebab lain nyeri abdomen.10

Pada pemeriksaan sistografi, dimasukkan kontras ke dalam kandung kemih sebanyak 300-
400 ml (minimal 250 ml) secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian,
dibuat beberapa foto, yaitu:9

1. Foto pada saat kandung kemih terisi kontras dalam posisi AP


2. Foto pada saat kandung kemih terisi kontras dalam posisi oblik
3. Wash out film, yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari kandung kemih

Pada ruptur intraperitoneal, dapat terlihat adanya ekstravasasi media kontras yang terlihat
pada sela-sela usus. Pada ruptur ekstraperitoneal akan terlihat ekstravasasi kontras pada jaringan
lunak perivesikal (flame-shaped areas).9,10

4.5.1.1 Ekstravasasi kontras di sela-sela usus pada ruptur versika urinaria intraperitoneal yang
terlihat dengan pemeriksaan sistografi.11

Gambar 4.5.1.2. Ekstravasasi kontras akibat ruptur vesika urinaria ekstraperitoneal dengan
gambaran flame-shaped areas yang terlihat pada pemeriksaan sistografi11

32
4.5.2. Sistoskopi

Sistoskopi adalah metode pilihan untuk mendeteksi adanya trauma iatrogenik kandung
kemih saat operasi. Pada pemeriksaan dengan sistoskopi, kandung kemih harus dalam keadaan
terdistensi secara adekuat, lalu sistoskop dimasukkan dengan sudut 70 derajat. Sistoskopi dengan
distensi kandung kemih yang adekuat dapat secara langsung memperlihatkan adanya laserasi.
Namun, kurangnya distensi kandung kemih saat sistoskopi memberi kesan adanya perforasi yang
besar.10

4.5.3. USG

Pemeriksaan USG yang menunjukkan adanya cairan pada intra- maupun ekstraperitoneal
mengesankan adanya perforasi kandung kemih. Namun, USG saja tidak cukup untuk
mendiagnosis adanya trauma kandung kemih.10

4.6. TATALAKSANA

33
Umumnya, pasien dengan ruptur ekstraperitoneal tanpa komplikasi dapat ditangani dengan
pemasangan kateter drainase saja, meskipun terdapat ekstravasasi luas ekstraperitoneal maupun
ekstravasasi pada skrotum. Intervensi pembedahan diperlukan jika trauma melibatkan bagian leher
kandung kemih, adanya fragmen tulang pada dinding kandung kemih, adanya cedera rectum, atau
adanya dinding kandung kemih yang terjebak.10

Pada pembedahan orthopedi, terdapat peningkatan trend dimana fraktur cincin pelvis
ditatalaksana dengan stabilisasi terbuka dan fiksasi internal dengan bahan osteosintetik. Untuk
mencegah infeksi pada bahan osteosintetik tersebut, dilakukan penjahitan pada ruptur
ekstraperitoneal. Pada eksplorasi bedah untuk cedera organ intra-abdomen lain, ruptur
ekstraperitoneal harus dijahit untuk mengurangi risiko komplikasi berupa infeksi (terutama abses
paravesikal).10

Ruptur intraperitoneal akibat trauma tumpul harus selalu ditangani dengan tindakan
pembedahan, karena ekstravasasi urine intraperitoneal dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan
kematian. Jika terdeteksi adanya urinoma, maka harus didrainase. Jika tidak ada trauma intra-
abdomen lain, penjahitan secara laparoskopik pada ruptur ekstraperitoneal dapat dilakukan.2

Semua kasus perforasi kandung kemih akibat trauma penetrasi harus dilakukan eksplorasi
emergensi, debridemen, dan perbaikan. Pada luka tembak, umumnya menyebabkan 2 luka (luka
masuk dan luka keluar) sehingga kandung kemih harus diperiksa akan kemungkinan adanya 2 lesi
sekaligus.10

Pada trauma iatrogenik kandung kemih, perforasi yang disadari saat intra-operasi dapat
langsung ditangani dengan pembedahan. Namun, untuk trauma iatrogenik yang tidak disadari saat
intra-operasi, maka harus dicari tahu jenis trauma tersebut intraperitoneal atau ekstraperitoneal.10

Pada trauma iatrogenik intraperitoneal yang baru diketahui setelah operasi, terapi standard
adalah dengan eksplorasi pembedahan dengan perbaikan. Pada kasus tertentu (tanpa adanya
peritonitis atau ileus), tatalaksana konservatif dengan drainase kandung kemih kontinu dan
antibiotik profilaksis dapat menjadi pilihan terapi. Seiring dengan terapi konservatif, pemasangan
drainase intraperitoneal dianjurkan, terutama jika lesi pada kandung kemih cukup besar. Jika
eksplorasi pembedahan dilakukan setelah TURB, harus diperhatikan apakah cedera tersebut
melibatkan cedera usus juga.10

34
Pada trauma iatrogenik ekstraperitoneal yang baru diketahui setelah operasi, disarankan
terapi konservatif dengan drainase kandung kemih dan antibiotik profilaksis. Perforasi
ekstraperitoneal yang besar dengan komplikasi simptomatik akibat kumpulan ekstravasasi urine
ekstravesikal membutuhkan drainase, dengan atau tanpa penjahitan pada perforasi.10

Setelah operasi reparasi kandung kemih, drainase kandung kemih kontinu harus tetap
dilakukan untuk mengistirahatkan kandung kemih dan mencegah peningkatan tekanan intravesikal
dan terganggunya jahitan. Pada trauma eksternal dan trauma iatrogenik eksternal, kateter kandung
kemih dipertahankan selama 7-14 hari, tergantung luas laserasi. Disarankan untuk dilakukan
sistografi sebelum melepaskan kateter. Jika pada sistografi tampak ekstravasasi kontras, drainase
kandung kemih dipertahankan selama 1 minggu dan sampai sistografi tidak lagi menunjukkan
adanya ekstravasasi kontras. Untuk trauma iatrogenik internal yang diterapi secara konservatif,
durasi pemasangan kateter selama 5 hari untuk perforasi ekstraperitoneal dan selama 7 hari untuk
perforasi intraperitoneal.10

35
BAB V
TRAUMA URETHRA
5.1. PENDAHULUAN

Trauma uretra merupakan trauma yang cukup jarang terjadi dengan angka kejadian
diperkirakan sebesar 4% dari seluruh trauma urogenital. Meskipun demikian, trauma uretra
cenderung menyebabkan morbiditas seperti striktur uretra, inkontinensia, impotensi dan infertil.
Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko sebesar 5 kali dibandingkan wanita. Hal ini dikaitkan
dengan bentuk anatomi uretra laki-laki yang lebih panjang dibandingkan panjang uretra wanita.
Penyebab trauma urethra dapat berupa kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma tembak,
iatrogenik (pemasangan kateter, prosedur transuretral).1

5.2 ANATOMI URETRA

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli sampai
orifisium uretra eksterna glans penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra pria dibagi menjadi
dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra posterior dibagi menjadi uretra pars
prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, uretra pars
pendulare dan uretra pars bulbosa. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan
wanita 9 mm.
1. Urethra bagian anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm. Saluran ini dimulai dari meatus uretra, uretra
pars pendularis dan uretra pars bulbosa. Uretra anterior ini berupa tabung yang lurus, terletak bebas
diluar tubuh, sehingga bila memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.

2. Urethra bagian posterior


Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm. Uretra yang dikelilingi kelenjar prostat
dinamakan uretra pars prostatika. Bagian selanjutnya adalah uretra pars membranasea, yang
memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini
terdapat otot yang membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter sehingga seseorang dapat
menahan kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra pars membranacea terdapat dibawah

36
dan dibelakang simfisis pubis, sehingga trauma pada simfisis pubis dapat mencederai uretra pars
membranasea. (2)

5.3 DERAJAT TRAUMA URETHRA

Klasifikasi trauma uretra menurut American Association for the Surgery of Trauma (AAST) :10

DERAJAT KETERANGAN

Derajat 1 kontusio : terdapatnya darah di meatus uretra eksterna dan


gambaran uretrogram normal

Derajat 2 stretch injury : elongasi uretra tanpa ekstravasasi dalam


gambaran uretrografi

Derajat 3 ruptur parsial : ekstravasasi kontras tetapi kontras dapat


memasuki vesika urinaria

Derajat 4 ruptur total : ekstravasasi kontras tanpa adanya kontras yang


memasuki vesika urinaria dengan panjang ruptur <2cm

Derajat 5 ruptur total : ekstravasasi kontras tanpa adanya kontras yang


memasuki vesika urinaria dengan panjang ruptur >2cm atau
meluas ke prostat atau vagina.

5.4 KLASIFIKASI TRAUMA URETHRA

Trauma uretra terbagi menjadi 2 bagian yaitu trauma uretra anterior (pars bulbosa ) dan
posterior yang melibatkan uretra pars membranosa dan pars prostatika.10

1. Trauma uretra posterior


Penyebab non-iatrogenik tersering yaitu fraktur pelvis yang berkaitan dengan
straddle injury, diastasis sendi sakroiliaka akibat kecelakaan lalulintas. Straddle injury
memiliki resiko 3,85 kali untuk terjadinya trauma uretra posterior. Resiko terjadi trauma
uretra posterior akibat fraktur pelvis yaitu sebesar 4 kali dibandingkan trauma uretra
anterior. Trauma uretra posterior menyebabkan teregangnya uretra, terputus sebagian
bahkan total pada bulbomembranosa junction.10

37
2. Trauma uretra anterior
Trauma uretra anterior lebih sering disebabkan karena trauma tumpul dengan
predileksi lokasi tersering uretra pars bulbosa. Trauma uretra anterior lebih sering
disebabkan akibat trauma secara langsung pada uretra dan berkaitan dengan fraktur penis.
Tendangan pada perineum dapat menyebabkan uretra terkompresi ke simpisis pubis dan
mengalami ruptur. Trauma uretra anterior sering disertai robekan pada kedua kavernosus
penis. Trauma tusuk uretra anterior dikaitkan dengan kejadian kecelakaan lalulintas dan
melibatkan segmen bulbar dan pendulus.10
Terjadi trauma uretra anterior akibat trauma tajam lebih jarang dibandingkan
dengan trauma tumpul dan biasanya disebabkan akibat luka tembak penis, testis dan daerah
pelvis Penyebab trauma uretra iatrogenik tersering adalah penggunaan kateter foley.
Penggunaan kateter foley dapat menyebabkan terjadinya striktur uretra terutama didaerah
uretra pars bulbosa. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran dan tipe kateter. Penggunaan kateter
berbahan silikon dan ukuran kecil berkaitan dengan penurunan morbiditas. Resiko
pembentukan striktur akibat penggunaan kateter adalah 32%. Trauma uretra pada wanita
biasanya berkaitan dengan fraktur pelvis dan laserasi vagina.10

5.5.TANDA & GEJALA

Keluarnya darah dari meatus uretra eksterna, ketidakmampuan mengosongkan kandung


kemih ketika kandung kemih penuh, hematuria dan nyeri saat berkemih harus dicurigai adanya
trauma uretra laki-laki maupun wanita. Adanya pembengkakan dan ekimosis skrotum
menunjukkan terdapat ekstravasasi urin dan darah akibat ruptur uretra. Pada pasien yang tidak
dapat dilakukan pemasangan kateter juga perlu dicurigai adanya ruptur uretra. Adanya ruptur
uretra pada wanita perlu dicurigai apabila terjadi fraktur pelvis dengan lesi pada vagina, keluarnya
darah melalui introitus vagina, pembengkakkan labia mayor, hematuria dan retensi urin.10
Untuk membedakan lesi pada rektum atau uretra, dapat dilakukan pemeriksaan colok
dubur. Perlu dicurigai adanya lesi pada rektum apabila teraba lesi dan adanya darah setelah
dilakukan pemeriksaan colok dubur.10

38
5.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uretrografi retrograd merupakan pemeriksaan penunjang gold standart pada pasien laki-
laki yang mengalami trauma uretra. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menginjeksi kontras
sebanyak 20-30 ml melalui meatus uretra eksternus melalui pemasangan kateter Foley yang
dikembungkan di daerah fossa navikulare. Pemeriksaan perlu dilakukan sangat hati-hati akibat
adanya fraktur pelvis dan pemeriksaan dilakukan dalam posisi oblique 300 jika kondisi
memungkinkan. Diagnosis adanya ruptur uretra adalah ada atau tidaknya ekstravasasi kontras ke
daerah sekitar uretra. Apabila terjadi ruptur parsial, terdapat ekstravasasi minimal dan kontras
dapat mencapai kandung kemih. Tetapi jika kontras tidak mencapai kandung kemih dan terjadi
ekstravasasi kontras maka menunjukkan terjadinya ruptur total.10

Pemeriksaan uretrografi retrograd dapat menunjukkan lokasi maupun derajat ruptur uretra.
Pemeriksaan penunjang berikut yang dapat dilakukan adalah ultrasonografi (USG) yang dilakukan
untuk menuntun pemasangan kateter suprapubik pada pasien yang mengalami trauma uretra. Pada
pasien yang mengalami trauma uretra akibat fraktur penis dapat dilakukan pemeriksaan sistoskopi,
sedangkan pada wanita dapat dilakukan pemeriksaan vaginoskopi dan uretroskopi.10

5.7. TATALAKSANA
5.7.1. Trauma urethra anterior
Trauma uretra anterior tidak memerlukan tatalaksana khusus tetapi lebih diperhatikan
penyebab terjadinya trauma apakah trauma disebabkan akibat trauma tumpul, trauma tembus atau
fraktur penis. Trauma tumpul biasanya menyebabkan kontusio pada spongiosum. Tatalaksana
trauma ruptur parsial uretra anterior hanya memerlukan tindakan pemasangan kateter dan
sistostomi sehingga akan terjadi proses rekanalisasi dengan tingkat keberhasilan rekanalisasi
adalah sebesar 68%. Tetapi rekanalisasi jarang terjadi pada ruptur total uretra anterior oleh sebab
itu diperlukan tindakan operasi untuk menganastomosis uretra.10
Pada fraktur penis, diperlukan eksplorasi segera untuk mempertahankan fungsi ereksi
kecuali hanya terdapat luka kecil yang dapat ditatalaksana dengan penjahitan. Pada umumnya,
fraktur penis diperlukan anastomosis apabila terjadi fraktur komplit. Trauma uretra anterior yang
disebabkan karena luka tembus harus dilakukan eksplorasi dan debridement segera. Apabila
terdapat defek sebesar 2-3cm di daerah uretra pars bulbosa dan 1,5cm di daerah uretra pars penis,

39
dapat dilakukan tindakan spatulasi. Trauma yang disebabkan akibat gigitan perlu dilakukan
tindakan marsupialisasi dan pemasangan kateter suprapubik serta pemberian antibiotik.10

Gambar 5.5.1. Algoritma tatalaksana trauma urethra anterior pada laki-laki10

5.7.2. Trauma uretra posterior


Pada trauma tumpul uretra posterior, pemasangan kateter suprapubik diperlukan dalam
kondisi gawat darurat pada pasien dengan retensio urin dan trauma uretra posterior. Hal ini
termasuk tatalaksana segera yaitu pemasangan kateter dilakukan dalam waktu <48 jam setelah
terjadi trauma.10

40
Pada trauma ruptur parsial uretra posterior, dapat dilakukan pemasangan kateter
suprapubik atau kateter uretra dan dilakukan pemantauan proses penyembuhan uretra
menggunakan uretrografi. Pada trauma ruptur total uretra posterior, terdapat 2 cara yang dapat
dilakukan yaitu realignment segera menggunakan kateter endoskopi yang dapat dilakukan diluar
ruang operasi dan uretroplasti segera dengan cara menjahit ujung uretra namun hal ini sulit
dilakukan akibat pembengkakkan yang luas sehingga hanya dapat dilakukan di tempat khusus
yang berpengalaman. Tindakan eksplorasi segera diperlukan apabila terjadi trauma tembus uretra
posterior.10
Trauma uretra pada wanita dapat ditatalaksana dengan eksplorasi segera dan menggunakan
rute retropubik atau transvaginal apabila terkena di daerah proximal atau pertengahan uretra.
Sedangkan dibagian distal dapat dilakukan tindakan penutupan luka dengan penjahitan melalui
vagina anterior. Komplikasi tersering akibat trauma uretra adalah disfungsi ereksi dengan
persentase 20-60%.10

Gambar 5.5.2. Algoritma tatalaksana trauma urethra posterior pada laki-laki10

41
BAB VI
TRAUMA GENITALIA EKSTERNA

6.1. PENDAHULUAN

Trauma genitalia eksterna pada laki-laki melibatkan penis dan skrotum sedangkan pada
wanita melibatkan vulva. Kejadian trauma genitalia eksterna terjadi lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan karena bentuk anatomi genitalia eksterna serta faktor lain
seperti aktifitas olahraga, berkendaraan, pekerjaan dan bergulat. Trauma genitalia eksterna sebesar
80% disebabkan oleh trauma tumpul. Biasanya melibatkan organ sekitar seperti vesika urinaria,
uretra, vagina, rektum sehingga menjadi trauma kompleks.10

Berkendara menggunakan motor with a dominant petrol tank, olahraga seperti rugby,
hockey, sepak bola tanpa menggunakan alat pelindung genitalia merupakan faktor resiko
terjadinya trauma penis dan skrotum.10

Penyebab fraktur penis adalah cederanya tunika albuginea pars kavernosus dan corpus
spongiosum. Pada laki-laki, terjadi fraktur penis biasanya akibat karena pukulan langsung pada
penis dan dapat disebabkan oleh aktivitas seksual. Kejadian fraktur penis yang terjadi saat aktifitas
seksual adalah mencapai 60%. Biasanya disebabkan akibat penis menghantam simpisis pubis atau
perineum.10

Trauma tumpul pada skrotum menyebabkan hematom subkutan, hematoskrotum, dislokasi


testis maupun ruptur testis. Angka kejadian ruptur testis akibat trauma tumpul adalah sekitar 50%.
Trauma tembus pada genitalia eksterna biasanya akibat straddle injury, terkena benda tajam dan
luka tembak.10

6.2. ETIOLOGI

6.2.1. Luka tembak

Trauma genitalia eksterna yang disebabkan oleh luka tembak, perlu diketahui jenis senjata
yang digunakan untuk menyebabkan trauma termasuk besar kaliber dan tipe senjata. Luka tembak

42
dengan kecepatan tinggi dapat merusak struktur jaringan yang lebih banyak dibanding kecepatan
rendah.10

6.2.2. Gigitan hewan

Penyebab tersering trauma genitalia eksterna akibat gigitan hewan adalah gigitan anjing.
Luka akibat gigitan anjing dapat menyebabkan infeksi oleh bakteri Pasturella multicida sehingga
perlu diberikan tatalaksana berupa antibiotik golongan penicillin-asam klavulanat, doksisiklin,
sefalosforin dan eritromisin selama 10-14 hari. Pentingnya pemberian vaksin anti rabies setelah
serangan perlu dipertimbangkan karena terdapat kemungkinan terkena rabies.10

6.2.3. Aktivitas seksual

Trauma genitalia eksterna akibat aktifitas seksual biasa disebabkan karena penis
menghantam perineum atau simfisis pubis sehingga menimbulkan fraktur penis. Adanya fraktur
penis perlu dipikirkan setelah terdengar suara patahan disertai adanya hematom pada penis dan
nyeri.10

6.3. DIAGNOSIS

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis trauma genitalia eksterna pada
laki-laki adalah riwayat trauma dan pemeriksaan lanjutan seperti urinalisis untuk menemukan
adanya mikro hematuria sedangkan kaversonografi, USG dan MRI dapat memperlihatkan adanya
laserasi pada tunika albuginea. Apabila terdapat kecurigaan trauma uretra dapat dilakukan
pemeriksaan uretrografi retrograd.10

Pemeriksaan yang menunjukkan adanya trauma vulva adalah terdapatnya hematom pada
vulva. Biasanya hematom pada vulva tidak diperlukan tindakan bedah. Tatalaksana untuk
hematom vulva hanya diberikan analgesik dan kompres dingin. Apabila hematom luas dan
hemodinamik tidak stabil, perlu dilakukan tindakan bedah dengan drainase segera.10

43
6.4. TATALAKSANA

Pada trauma tumpul yang menyebabkan hematom subkutan disertai ruptur kavernosus
tidak diperlukan tindakan bedah melainkan cukup diberikan analgesik dan kompres es. Apabila
terjadi fraktur penis, diperlukan tindakan pembedahan segera untuk memperbaiki tunika
albuginea. Tindakan konservatif untuk fraktur penis tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
pembentukan abses, memperburuk keadaan jika terdapat ruptur uretra, penile curvature dan
hematom.10

Trauma tembus pada genitalia eksterna pada umumnya membutuhkan tatalaksana bedah
dan debridement segera kecuali pada trauma tajam superfisial yang hanya dapat dilakukan
penutupan luka dengan penjahitan. Apabila terjadi trauma penis yang luas, diperlukan tindakan
pencangkokan kulit dari daerah lain untuk menutup luka di penis. Kulit daerah lain yang dapat
digunakan yaitu kulit abdomen, kulit bokong, paha dan aksila.10

Trauma pada penis dapat menyebabkan terjadinya avulsi dan amputasi. Penis yang
terpotong dapat direkonstruksi kembali dalam waktu <24 jam dengan syarat potongan penis dibilas
bersih dengan larutan salin dan dibungkus oleh kasa basah steril yang diberikan larutan salin serta
dibungkus dan rendam dalam air es. Potongan penis tidak boleh berkontak langsung dengan air es.
Tindakan rekonstruksi di mulai dari penyambungan korpus kavernosus dan uretra yang diikuti
dengan penyambungan arteri, vena dan nervus serta penutupan fascia dan kulit. Setelah
rekonstruksi selesai, dilakukan pemasangan kateter suprapubik. Jika potongan penis tidak dapat
ditemukan atau gagal rekonstruksi, maka dilakukan tindakan penektomi untuk menutup area
luka.10

Pada kasus dislokasi skrotum akibat trauma skrotum, dapat dilakukan reposisi manual. Jika
gagal reposisi manual, perlu dilakukan orkidopeksi segera. Adanya ruptur testis perlu dicurigai
pada pasien yang mengalami trauma tumpul genitalia eksterna dengan adanya nyeri,
pembengkakkan dan ekimosis pada skrotum. Palpasi testis menjadi lebih sulit pada pasien dengan
ruptur testis. Tatalaksana ruptur testis adalah eksplorasi bedah segera untuk evakuasi perdarahan
dan membuang jaringan nekrosis.10

44
Hematokel merupakan terjadinya perdarahan intraskrotum. Hal ini membutuhkan
tatalaksana bedah orkiektomi untuk mencegah pembekuan darah dan infeksi. Orkiektomi tidak
perlu dilakukan apabila ukuran hematokel lebih kecil 3 kali lipat dibandingkan hematokel skrotum
sebelahnya.10

Pada trauma tembus skrotum, perlu dilakukan tindakan bedah segera untuk rekonstruksi.
Apabila terjadi ruptur total pada funikulus spermatikus, dapat dilakukan rekonstruksi kembali. Jika
rekonstruksi gagal maka perlu dilakukan orkiektomi. Pada pasien yang mengalami trauma tembus
skrotum, perlu diberikan antibiotik dan anti tetanus.10

Gambar 6.4.1. Algoritma tatalaksana trauma tumpul genitalia eksterna13

45
Gambar 6.4.2. Algoritma tatalaksana trauma tembus genitalia eksterna13

46
DAFTAR PUSTAKA

1. McGeady JB, Breyer BN. Current Epidemiology of Genitourinary Trauma. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4016766/
2. Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas FE, Lumen N, et al. Guidelines on
Urological Trauma. European Association of Urology. 2015.
3. Lanna C. Kidney Anatomy. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/
1948775-overview
4. Schenkman NS. Ureter Anatomy. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1949127-overview#a2
5. Gill BC. Bladder Anatomy. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/
6. 1949017-overview Schenkman NS. Male Urethra Anatomy. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1972482-overview
7. Ellsworth PI. Penis Anatomy. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/
1949325-overview
8. Klaassen ZWA. Male Reproductive Organ Anatomy. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1899075-overview#a2
9. Purnomo BB. Dasar-dasar Urologi: Trauma Urogenital. Edisi 3. Jakarta: CV Sagung Seto.
2012.
10. DJ Summerton ND, ND Kitrey, FE Kuehhas, N Lumen, et al. Guidelines on Urological
Trauma. European Association of Urology. 2014.
11. McAninch JW. Lue TF. Smith & Tanaghos General Urology. 18th edition. New York:
McGraw-Hill. 2013
12. University of California San Fransisco. Ureteral Reimplant Surgery FAQ. Available at:
https://www.ucsfbenioffchildrens.org/education/ureteral_reimplant_surgery/
13. Lynch TH, Martinez-Pineiro L, Plas E, Serafetinides E, Turkeri L, Santucci RA, et al. EAU
Guidelines on Urological Trauma. Available at:
http://www.europeanurology.com/article/S0302-2838(04)00395-1/fulltext/eau-
guidelines-on-urological-trauma

47
48

Anda mungkin juga menyukai