Anda di halaman 1dari 25

LUMBAR SPINAL STENOSIS

1
Abiyyu Didar Haq, 1Alifia Firdiansari, 1Baiq Anggia Azzahra Halba, 1Diva Aulya Kemuning,
1
Harie Sagita Novendi, 1Intan Angnechintia Buka, 1Luh Ade Dita Rahayu, 1Nurmujaahida, 1Nur
Izzatush Sholihah, 1Safa Nabila Zafira, 1Muhammad Nooradi Praramdana

abiyyudidarhaq@gmail.com, firdiansarialifia@gmail.com, anggiaazzahra30@gmail.com,


divaaulyakemuning@gmail.com, harienovendi037@gmail.com,
intanangnechintiabuka254@gmail.com, ditarahayuluh@gmail.com,
jidannurmujaahida05@gmail.com, nurizzatush@gmail.com, safanabila5@gmail.com,
nooradiaksel8@gmail.com

1
Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Jl. Pemuda No.37, Gomong, Kec. Selaparang, Kota

Mataram, Nusa Tenggara Barat. 83126

Abstrak
Lumbar spinal stenosis is a narrowing of the spinal canal, compressing the nerves traveling
through the lower back into the legs. Spinal stenosis can happen in any part of your spine but is
most common in the lower back. It is more often results from acquired degenerative changes,
but it may affect younger patient caused by congenital factor. People with spinal stenosis may
showing symptoms that vary depending on the location of the stenosis and which nerves are
affected. Symptoms such as lower back pain, neck pain, numbness or tingling on the leg, or on
more severe case it can be bowel or bladder dysfunction
Kata Kunci : spinal stenosis, lumbar spinal stenosis, management of lumbar spinal stenosis,
surgery
Pendahuluan
Lumbar spinal stenosis (LSS) merupakan salah satu kelainan tulang belakang yang
sering dijumpai pada usia lanjut dan menjadi alasan umum dilakukannya operasi tulang
belakang bagi pasien berusia > 65 tahun. Di amerika serikat,diperkirakan prevalensi orang
dewasa yang mengalami LSS yaitu lebih dari 200.000 orang dewasa (Wu, et al., 2017).
Pada kasus stenosis spinal terjadi penyempitan kanalis spinalis dengan gangguan pada
struktur saraf yang mengelilingi tulang dan jaringan lunak (Park et al., 2015). Stenosis
spinal bisa diakibatkan karena faktor kongenital atau proses degeneratif.Lumbar spinal
stenosis (LSS) sering terjadi pada pasien usia lanjut karena terutama disebabkan oleh
degenerasi terkait usia dan hipertrofi diskus intervertebralis, ligamentum flava, dan sendi
facet. Gejala klinis yang biasanya muncul pada pasien dengan LSS berupa nyeri punggung
unilateral atau bilateral disertai nyeri pada kaki yang berkembang dan bertahan selama
beberapa bulan hingga tahun (Siebert, et al., 2009).
Manajemen tatalaksana kasus LSS ini dapat berupa tatalaksana konservatif maupun
tatalaksana operatif. Hingga saat ini, terdapat berbagai variasi dalam metode operatif yang
berbeda dalam penatalaksanaan stenosis spinal lumbar bergantung pada pilihan yang
diambil oleh operator dari operasi tersebut. Variasi tersebut adalah: 1) dekompresi, 2)
dekompresi dengan fusi, 3) laminektomi atau laminotomi, 4) split laminektomi atau
laminotomi, dan 5) laminektomi atau laminotomi endoskopi. Ada studi yang menyebutkan
bahwa terapi bedah memiliki luaran yang lebih baik daripada terapi konservatif pada LSS
(Slätis, et al., 2011). Dikatakan bahwa terapi pembedahan dapat membantu menstabilkan
kondisi pasien dalam beberapa tahun kedepan namun tidak terdapat kesepakatan bahwa
hasil dari terapi pembedahan lumbal spinal stenosis (LSS) merupakan hasil yang baik
(Kim, et al., 2020). Tetapi beberapa studi juga ada yang menyebutkan bahwa tatalaksana
pembedahan dapat meningkatkan kasus mortalitas pada pasien

Definisi

Nyeri neuropatik atau neuropathic pain didefinisikan sebagai nyeri yang dimulai atau
disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi sistem saraf dan bisa timbul sebagai akibat dari
lesi atau penyakit yang mempengaruhi sistem somatosensorik (Park et al., 2015).
Lumbar Spinal Stenosis (LSS) merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh
penyempitan kanalis spinalis dengan gangguan pada struktur saraf yang mengelilingi
tulang dan jaringan lunak. Gejala klinisnya bervariasi tetapi muncul sebagai akibat dari
mekanisme neurovaskular, eksitasi akar saraf, atau kompresi mekanis kanalis spinalis.
Mekanisme ini dapat berjalan bersamaan (Park et al., 2015). Gangguan spinal seperti
radikulopati akibat herniasi diskus, spinal stenosis, atau spinal cord injury merupakan
penyebab umum nyeri neuropatik (Song et al., 2017).
Anatomi
Columna Vertebralis atau yang disebut dengan tulang belakang membentuk tubuh
sekitar dua perlima dari tinggi badan manusia dengan panjang sekitar 71 cm pada pria
dewasa dan sekitar 61 cm pada wanita dewasa. Columna Vertebralis terdiri dari tulang dan
jaringan ikat yang melindungi jaringan saraf dan sumsum tulang belakang. Fungsi lainnya
yaitu sebagai penyangga tubuh, penompang kepala dan sebagai titik perlekatan untuk
tulang rusuk, tulang panggul, otot punggung dan otot tungkai bagian atas. Columna
vertebralis terbagi menjadi 7 vertebrae cervicales, 12 vertebrae thoracicae, 5 vertebrae
lumbales, 1 os. sacrum dan 1 os. coccygis (Tortora & Derrickson, 2014). Karakteristik
umum pada vertebrae memiliki pola yang sama yaitu memilik corpus vertebrae bulat, arcus
vertebrae di posterior, dan terdapat foramen vertebrae yang melindungi sumsum tulang
belakang. Arcus vertebrae membentuk proc. Spinosus, proc. Tranvresus dan proc.
artikularis. Proc. Spinosus pada vetebre lumbal memiliki bentuk bulat, pendek dan
mengarah hampir lurus kebelakang. (Snell, 2010). Antara kedua vertebrae terdapat
penghubung yang disebut dengan diskus intervertebralis yang membentuk persendian yang
kuat dan fleksibel. Diskus intervertebralis berfungsi untuk meredam syok. Setiap diskus
terdiri dari Nucleus pulposus dan annulus fibrosus. Nucleus pulposus bersifat semifluida
sehingga dapat memungkinkan adanya keseimbangan pada saat terjadi peningkatan beban
kompresi secara tiba-tiba yang dibantu oleh Annulus fibrosus.Seiring bertambahnya usia
nucleus pulposus menjadi lebih tipis dan kurang elastis. Pada Annulus fibrosus serat
kolagennya akan mengalami degeneraasi sehingga annulus tidak dapat membantu nucleus
pulposus saat menghadapai tekanan (Snell, 2010).
Epidemiologi
Lumbar spinal stenosis (LSS) merupakan salah satu kelainan tulang belakang yang
sering dijumpai pada usia lanjut dan menjadi alasan umum dilakukannya operasi tulang
belakang bagi pasien berusia > 65 tahun. Di amerika serikat,diperkirakan prevalensi orang
dewasa yang mengalami LSS yaitu lebih dari 200.000 orang dewasa (Wu et al., 2017).
Pada penelitian yang dilakukan di Jepang, LSS memiliki prevalensi yang lebih tinggi pada
usia lanjut dimana usia 40-49 tahun prevalensi nya sekitar 1,7-2,2 %, untuk usia 50-59
tahun prevalensinya sekitar 3,9%-5,7%, usia 60-69 prevalensinya 4,6-6,2% dan pada usia
70-79 tahun prevalensinya 10,3%-11,2% (Yabuki et al., 2013). Studi lain melaporkan
penderita LSS lebih banyak ditemukan pada laki-laki dari pada perempuan dengan
perbandingan pada laki laki prevalensinya yaitu 10,1% dan pada wanita 8,9% (Ishimoto et
al., 2012).
Untuk prevalensi nyeri neuropatik sendiri lebih banyak ditemukan pada pasien yang
mengalami kerusakan sumsum tulang belakang (Yamashita et al., 2014). Nyeri neuropatik
dapat terjadi pada 15-25% pasien yang mengalami nyeri kronis Pada penelitian yang
dilakukan oleh Mehmet et al disebutkan bahwa setengah dari pasien LSS mengalami nyeri
neuropatik yang dipengaruhi oleh usia yang lebih tua dan BMI yang tinggi (Agirman &
Akgun, 2018). Pada penelitian yang dilakukan oleh Park et al disebutkan bahwa sepertiga
dari pasien LSS pada penelitian memiliki gejala nyeri neuropatik, dimana tingkat
keparahan nyeri pada kaki dan nyeri radikuler berhubungan dengan adanya nyeri
neuropatik (Park et al., 2015).
Faktor Risiko
Gambaran anatomi LSS dapat timbul karena faktor kelainan bawaan atau kelainan
perkembangan yang diakibatkan oleh perubahan degeneratif (Sabri et al., 2019). Lumbar
spinal stenosis (LSS) sering terjadi pada pasien usia lanjut karena terutama disebabkan
oleh degenerasi terkait usia dan hipertrofi diskus intervertebralis, ligamentum flava, dan
sendi facet. LSS adalah alasan paling umum untuk operasi tulang belakang pada pasien
berusia > 65 tahun. Namun, banyak individu sehat juga menunjukkan perubahan yang
serupa terkait usia. Studi terbaru menunjukkan bahwa penyakit yang berhubungan dengan
gaya hidup seperti diabetes mellitus (DM), penyakit arteri perifer (PAD), dan penyakit
jantung, sering dikaitkan dengan symptomatic LSS (sLSS). Prevalensi komorbiditas medis
juga meningkat seiring bertambahnya usia (Maeda et al., 2018). Penuaan dapat
mempengaruhi degenerasi diskus intervertebralis seperti yang digambarkan pada skema
berikut.

Gambar 1. Pengaruh penuaan terhadap kesehatan diskus (Sabri et al., 2019).


Etiologi
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang terjadi karena adanya lesi primer atau
disfungsi sistem saraf dan dapat timbul akibat lesi atau penyakit yang mempengaruhi
sistem somatosensori. Penyakit yang dapat menimbulkan nyeri neuropatik yaitu neuropati
diabetes, neuralgia pasca herpes, neuralgia trigeminal, dan nyeri cedera saraf tulang
belakang karena penyempitan tulang belakang (Park et al., 2015).
LSS merupakan salah satu penyakit yang terjadi akibat penyempitan pada tulang
belakang sehingga dapat menyebabkan kompresi pada struktur neurovascular (Lurie &
Tomkins-Lane, 2016). Penyebab dari LSS dibagi menjadi dua yaitu stenosis kongenital dan
stenosis didapat atau karena proses degeneratif. Pada stenosis kongenital dapat dijumpai
adanya penyempitan kanal vertebral dengan etiologi idiopatik maupun sekunder, untuk
penyempitan kanal sekunder terjadi karena displasia tulang seperti achondroplasia.
Sedangkan pada LSS yang degeneratif dapat terjadi karena penyakit metabolik (seperti
penyakit paget), tumor, infeksi, perubahan osteoartritik atau ketidakstabilan dengan atau
tanpa spondylolisthesis (Sá et al., 2014). Selain itu LSS degeneratif dapat juga terjadi
karena hipertrofi sendi faset, hernia intervertebralis, pembengkakan diskus, pembentukan
osteofit, hipertrofi ligamentum flavum dan terbentuknya jaringan parut yang berlebihan
atau proliferasi tulang setelah pembedahan atau karena infeksi maupun trauma (Lurie &
Tomkins-Lane, 2016; Wu et al., 2017)
Patofisiologi
Lumbar spinal stenosis degeneratif adalah penyakit progresif yang melibatkan semua
segmen gerakan tulang belakang. Ketidakstabilan relatif yang diinisiasi oleh degenerasi
diskus intervertebralis menyebabkan hipermobilitas segmen vertebral, mengakibatkan
peningkatan tekanan pada sendi facet posterior, diikuti dengan penyempitan ruang diskus
intervertebralis, peningkatan sudut ekstensi, dan hipertrofi sendi facet, terutama proses
hipertrofi artikular superior. Proses hipertrofik artikular menyebabkan kekakuan sendi
lokal (ankilosis). Selain itu, kalsifikasi atau penebalan ligamen kuning merupakan
mekanisme penting dalam stenosis. Tropisme sendi juga dapat menjadi faktor yang
menyebabkan lumbar spinal stenosis degeneratif. Hal ini menyebabkan stenosis kanalis
spinalis dan kompresi struktur saraf, yang dapat menyebabkan klaudikasio neurogenik
intermiten karena kongesti aliran darah vena epidural dan peningkatan tekanan vaskular.
Meskipun trauma minor atau stimulasi berulang yang berhubungan dengan pekerjaan
tidak berkontribusi secara signifikan terhadap terjadinya stenosis tersebut, hal ini dapat
memperburuk gejala stenosis yang sudah ada. Saat lumbal mengalami ekstensi, kanalis
spinalis menjadi lebih sempit dan jaringan saraf mengalami kompresi, dan secara
bersamaan laju metabolisme akar saraf oleh gerakan ekstremitas bawah meningkat, tetapi
tidak disertai dengan peningkatan aliran darah. Akar saraf cauda equina memperoleh energi
metabolik dari sirkulasi darah arteri yang terletak di permukaan akar saraf dan difusi cairan
serebrospinal. Pada lumbar spinal stenosis, ketika akar saraf berada di bawah tekanan yang
meningkat di kanal tulang belakang, iskemia saraf dan konduksi saraf yang rusak dapat
terjadi. Gejala juga dapat terjadi karena penyumbatan vena dan dapat berkontribusi pada
etiologi lumbar spinal stenosis yang melibatkan dua atau lebih segmen. Jika akar saraf
rusak, sensitisasi sentral persepsi nyeri dapat terjadi, yang dapat menyebabkan nyeri kronis
(Lee et al., 2020b).
Gangguan tulang belakang, termasuk radikulopati akibat herniasi diskus, spinal
stenosis, atau cedera tulang belakang, adalah penyebab umum nyeri neuropatik (Song et al.,
2017). Nyeri neuropatik dapat disebabkan oleh lesi nosiseptif dalam diskus yang
mengalami degenerasi. Selain itu, dapat juga diakibatkan oleh kompresi mekanis dari akar
saraf atau oleh efek dari mediator inflamasi yang timbul dari diskus degeneratif yang
mengakibatkan inflamasi dan kerusakan pada akar saraf (Baron et al., 2016).

Gambar 2. Patofisiologi nyeri neuropatik pada LSS (Baron et al., 2016)


Klasifikasi
Secara klinis belum ada penelitian yang tervalidasi mengenai klasifikasi dari LSS
namun secara umum LSS sering di klasifikasikan berdasarkan elemen deskriptifnya yakni
klasifikasi berdasarkan etiologi, lokasi, dan tingkat keparahan stenosis pada radiologi
pencitraan (Schroeder et al., 2016). Berdasarkan etiologinya LSS diklasifikasikan menjadi
stenosis primer (kongenital) dan stenosis sekunder (Siebert et al., 2009) (Schroeder et al.,
2016). Stenosis primer (kongenital) didefinisikan sebagai displasia tulang yang mengarah
pada penyempitan kanal tulang belakang, dengan pembagian lebih lanjut menjadi stenosis
kongenital idiopatik dan akondroplastik (Schroeder et al., 2016). Stenosis sekunder dapat
disebabkan oleh degeneratif yang terjadi karena penyakit metabolik (seperti penyakit
paget), tumor, infeksi, perubahan osteoartritik atau ketidakstabilan dengan atau tanpa
spondylolisthesis (Sá et al., 2014).
Berdasarkan lokasinya LSS terbagi menjadi stenosis zona central, reses lateral,
foraminal dan extraforaminal (Schroeder et al., 2016).

Gambar 3. Skema berbagai lokasi pada spinal stenosis (Schroeder et al., 2016).
Adanya kombinasi pada disc-osteophyte complex dan hipertrofi ligamentum flavum
menyebabkan stenosis central (Schroeder et al., 2016). Hipertrofi sendi facet disertai
timbulnya osteofit menyebabkan stenosis reses lateral (Schroeder et al., 2016). Stenosis
foraminal dapat terjadi akibat hilangnya ketinggian diskus secara substansial, timbulnya
diskus foraminalis atau osteofit, atau terdapat angulasi pada skoliosis degeneratif sedangkan
stenosis extraforaminal disebabkan oleh terjadinya herniasi pada diskus lateral (Schroeder et
al., 2016).
Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan
stenosis pada radiologi pencitraan namun klasifikasi yang umum digunakan diusulkan oleh
Lurie et al, 2008 yakni tingkat keparahan stenosis ringan, sedang, dan berat (Lurie et al.,
2008) (Schroeder et al., 2016). Stenosis ringan didefinisikan sebagai adanya penurunan
sebesar <1/3 pada ruang yang tersedia untuk neural elements, stenosis sedang didefinisikan
sebagai adanya penurunan sebesar 1/3 - 2/3 pada ruang yang tersedia untuk neural elements
sedangkan stenosis berat didefinisikan sebagai adanya penurunan >2/3 pada ruang yang
tersedia untuk neural elements (Lurie et al., 2008) (Schroeder et al., 2016). Klasifikasi
lainnya diusulkan oleh Schizas et al yang menilai tingkat keparahan stenosis berdasarkan
morfologi kantung dural pada MRI (Schroeder et al., 2016).
Tabel 1. Klasifikasi tingkat keparahan stenosis berdasarkan morfologi kantung dural pada MRI
(Lee et al., 2020) (Schroeder et al., 2016).

Grade Deskripsi

A (tidak stenosis atau Terdapat cairan cerebrospinal pada kantung epidural dengan
stenosis minor) distribusi yang tidak homogen (berlaku untuk grade A1-A4)
jika tidak sesuai maka dapat termasuk grade B, C, atau D.

A1 Rootlets terletak di bagian dorsal dan cairan serebrospinal


menempati <50% dari kantung dural.

A2 Rootlets terletak di bagian dorsal namun sudah menyentuh


kantung dural dan membentuk konfigurasi tapal kuda.

A3 Rootlets terletak di bagian dorsal dan cairan serebrospinal


menempati >50% dari kantung dural.

A4 Rootlets terletak di bagian tengah dan menempati sebagaian


besar area dari kantung dural.

B (stenosis sedang) Rootlets menempati seluruh area dari kantung dural namun
masih dapat diidentifikasi.

C (stenosis berat) Rootlets tidak dapat dikenali, kantung dural tampak berwarna
abu-abu homogen dengan penipisan komplit yang terjadi pada
ruang cairan serebrospinal dan terlihat adanya lemak epidural
pada bagian posterior.
D (stenosis ekstrim) Rootlets tidak dapat dikenali dan tidak dan terlihat adanya
lemak epidural pada bagian posterior.

Klasifikasi yang lebih mudah diusulkan oleh Lee et al yang menilai tingkat keparahan
stenosis berdasarkan derajat pemisah cauda equina pada MRI (Lee et al., 2020).

o Grade 0 (tidak stenosis atau stenosis ringan)


Tidak terdapat lumbar canal central stenosis dan tidak tampak adanya obliterasi pada
ruang cairan serebrospinal anterior.
o Grade 1 (stenosis ringan)
Terdapat lumbar canal central stenosis ringan yang mengacu pada obliterasi ringan dari
ruang cairan serebrospinal anterior dan semua cauda equina tampak terpisah dengan
jelas antara satu sama lain.
o Grade 2 (stenosis sedang)
Terdapat lumbar canal central stenosis sedang yang mengacu pada obliterasi sedang dari
ruang cairan serebrospinal anterior dan tampak beberapa agregasi cauda equina yang
tidak dapat diidentifikasi satu sama lain secara visual.
o Grade 3 (stenosis berat)
Terdapat lumbar canal central stenosis berat yang mengacu pada obliterasi berat dari
ruang serebrospinal anterior, terdapat tanda kompresi kantung dural, dan seluruh cauda
equina tampak sebagai satu bundel.

Kriteria Diagnosis

Diagnosis Lumbar Spinal Stenosis (LSS) dapat ditegakkan berdasarkan presentasi


klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Gejala klinis yang biasanya muncul pada pasien
dengan LSS berupa nyeri punggung unilateral atau bilateral disertai nyeri pada kaki yang
berkembang dan bertahan selama beberapa bulan hingga tahun (Siebert et al., 2009). Nyeri
punggung yang dirasakan terlokalisir pada tulang belakang bagian lumbal dan dapat
menjalar ke daerah gluteal, selangkangan dan tungkai, yang seringkali menunjukkan pola
pseudoradikuler (Siebert et al., 2009). Pada kasus stenosis reses lateral atau stenosis
foraminal gejala berupa radikulopati dapat terjadi (Siebert et al., 2009). Klaudikasio
neurogenik merupakan gejala lumbar spinal stenosis yang paling spesifik meskipun hampir
selalu disertai dengan gejala lebih lanjut (Siebert et al., 2009). Lumbar spinal stenosis
secara klinis dapat diklasifikasikan berdasarkan grade 1, 2 dan 3 (Siebert et al., 2009).
Grade 1 (klaudikasio intermiten neurogenik) ditandai dengan berkurangnya jarak berjalan
kaki yang disebabkan oleh nyeri dan defisit sensomotorik intermiten singkat yang saat
istirahat terasa biasa saja namun dapat memburuk ketika berjalan (Siebert et al., 2009).
Grade 2 (paresis intermiten) mengacu pada adanya defisit sensitivitas persisten, hilangnya
refleks, dan paresis intermiten (Siebert et al., 2009). Grade 3 dicapai jika terdapat
persisten, paresis progresif yang disertai dengan nyeri regresi parsial (Siebert et al., 2009).
Secara klinis, klaudikasio neurogenik dapat dibedakan dengan klaudikasio intermiten
vaskular yakni berdasarkan gejala nyeri regresi setelah fleksi (delordosis) tulang belakang
(misalnya, saat bersepeda) (Siebert et al., 2009). Berbeda dengan klaudikasio vaskular,
sensasi nyeri pada pasien LSS tidak mereda saat berdiri dan memiliki proporsi relatif pada
nyeri punggung bagian bawah (sebagai indikator patologi seperti ketidakstabilan tulang
belakang bersamaan atau arthrosis sendi facet) disertai adanya komponen nyeri tungkai
(Siebert et al., 2009). Selain itu, diketahui bahwa sekitar 20% pasien dengan LSS
menunjukkan gejala depresi dan 25% merasakan perasaan tidak puas dengan kehidupan
mereka sebelum melakukan operasi (Siebert et al., 2009).
Adapun presentasi klinis yang dapat ditemukan pada seseorang dengan neuropathic
pain in lumbar spinal stenosis sedikit berbeda dengan presentasi klinis penderita LSS saja
yakni berdasarkan suatu penelitian di Turki yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa
kriteria diagnosis berdasarkan pengukuran alat skrining berupa kuisioner tes DN4
(Agirman & Akgun, 2018). Kuesioner ini berisi tujuh pertanyaan yang berkaitan dengan
gejala dan tiga pertanyaan terkait dengan pemeriksaan klinis. Setiap pertanyaan memiliki
skor 1 (positif) atau 0 (negatif), dan apabila terdapat skor total ≥4 dari 10 pertanyaan maka
hal ini menunjukkan adanya neuropathic pain yang terjadi (Agirman & Akgun, 2018).
Kuesioner ini menilai beberapa gejala seperti rasa terbakar, kesemutan, kepekaan terhadap
sentuhan, nyeri akibat tekanan ringan, nyeri seperti sengatan listrik, nyeri dingin atau
panas, dan mati rasa, yang merupakan gejala khas neuropathic pain dan diketahui
berkorelasi dengan adanya peningkatan usia, peningkatan indeks massa tubuh, dan skor
skala analog visual pada neuropathic pain (Agirman & Akgun, 2018). Penelitian lain juga
menyebutkan bahwa pada pasien dengan low back pain yang disertai lumbar spinal
stenosis, nyeri bokong dan nyeri pada kaki berkaitan dengan adanya neuropathic pain
(Agirman & Akgun, 2018).
Selajutnya, pemeriksaan fisik berupa tes lasegue (tes meregangkan kaki secara pasif)
sering ditemukan dengan hasil negatif pada pasien LSS disertai dengan perasaan kaki yang
berat (Siebert et al., 2009). Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan MRI yang
menjadi gold standar diagnosis lumbar stenosis dan sebagai media untuk perencanaan
operasi. Kelebihan MRI adalah dapat mengakses jumlah segmen yang terkena dan dapat
mengevaluasi bila terdapat tumor serta infeksi. Selain itu, MRI juga dapat membedakan
kondisi stenosis central dan stenosis lateral, melihat penebalan kapsuler, abnormalitas
sendi facet, osteofit, herniasi diskus, dan ada atau tidaknya lemak epidural. MRI dengan
potongan sagital dapat memperlihatkan spina untuk mencari kemungkinan adanya tumor
yang bermetastasis ke arah spinal. MRI dengan kombinasi potongan axial dan sagital juga
dapat mengevaluasi canal central dan foramen neural (Spivak, 1998) (Fraser et al., 2003)
(Fortin & Wheeler, 2004) (Siebert et al., 2009).
Foto polos x-ray lumbosacral dapat digunakan sebagai penilaian rutin untuk pasien
dengan back pain. Apabila dilakukan dalam posisi AP lateral dan obliq akan tampak
gambaran kerucut lumbosacral junction, dan spina dalam posisi fleksi serta ekstensi. Hal
ini dilakukan untuk mendapat informasi ketidakstabilan segmen maupun deformitas.
Penemuan radiografi yang mengarahkan kecurigaan pada lumbal stenosis degeneratif
adalah pada keadaan spondilolistesis degeneratif dan skoliosis degeneratif (Spivak, 1998)
(Fraser et al., 2003) (Fortin & Wheeler, 2004) (Siebert et al., 2009).
CT scan juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi tulang, khususnya pada bagian
resus lateral. Selain itu CT scan juga dapat memberikan visualisasi abnormalitas sendi
facet, abnormalitas diskus laterali yang mengarahkan kecurigaan pada lumbar stenosis,
serta dapat membedakan stenosis sekunder akibat fraktur (Spivak, 1998) (Fraser et al.,
2003) (Fortin & Wheeler, 2004) (Siebert et al., 2009).

Outcome Nyeri Neuropati pada LSS


Nyeri Neuropati pada kasus Lumbar Spinal Stenosis memiliki rasa nyeri yang sama
kualitas nya dengan radikulopati lumbar, yaitu nyeri yang menjalar dari punggung melalui
bokong kemudian menuju ke ekstremitas bawah. Pada LSS Gerakan seperti berjalan dan
menuruni tangga (ekstensi lumbar) dapat memperburuk nyeri, sedangkan gerakan seperti
duduk akan meringankan nyeri (Patel, et al.,2018)
Nyeri neuropati yang ditimbulkan pada LSS dapat berupa nyeri tajam dan mati rasa.
Hal ini dapat dilihat melalui skor LANSS (Leads Assessment of Neuropathic Symptoms
and Signs). Yang termasuk karakteristik nyeri neuropati berupa nyeri saat dilakukan
sentuhan ringan seperti saat menggunakan baju, nyeri seperti sengatan listrik yang terjadi
secara tiba-tiba, nyeri yang panas, allodynia dan Pin Prick threshold (PPT) yang positif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Park et al, 2015 didapatkan bahwa 1/3 pasien
dengan LSS memenuhi karakteristik dari nyeri neuropati berdasarkan skor LANSS (Park et
al., 2015).

Tatalaksana
Tatalaksana pada kasus Lumbar Spinal Stenosis dapat dibagi atasmanajemen non
bedah dan manajemen bedah. Manajemen non bedah dapatdilakukan pada pasien dengan
gejala ringan hingga sedang (Lee et al., 2020a).Manajemen non bedah dapat berupa
pemberian obat-obatan, fisioterapi, injeksi spinal, modifikasi gaya hidup, dan rehabilitasi.
Perawatan lain berupa latihan penggunaan orthosis, terapi termal, ultrasonografi, pijat,
simulasi elektrik, dan terapi traksi. Sedangkan manajemen bedah dapat dilakukan
dekompresi dengan laminektomi (Lurie & Tomkins-Lane, 2016)(Lee et al., 2020a).

Non bedah / non operatif :


 Obat-obatan
Beberapa obat-obatan yang dapat diberikan pada pasien dengan LSS yakni obat
pereda nyeri, antidepresan, anti kejang, dan opioid. Obat pereda nyeri yang dapat
diberikan dapat berupa ibuprofen, naproxen, serta asetaminofen. Pereda nyeri ini dapat
diberikan untuk mengatasi nyeri dalam periode singkat. Pemberian antidepresan seperti
amitriptilin, diketahui dapat meredakan nyeri yang bersifat kronis. Penggunaan
antikejang seperti gabapentin dan pregabalin digunakan untuk meredakan nyeri yang
disebabkan oleh rusaknya saraf. Selain itu pemberian analgesik (opioid) berupa
oksikodon dan hidrokodon juga dapat membantu meredakan nyeri dalam waktu singkat
(Lurie & Tomkins-Lane, 2016)(Diwan et al., 2019).
Terapi konservatif pemberian obat-obatan berdasarkan panduan praktek klinis
neorologis PERDOSSI 2016 :

o Analgetik dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), yang bertujuan untuk
mengurangi rasa nyeri sehingga mempercepat kesembuhan. Contoh OAINS
yang sering digunakan yaitu ibuprofen, desketoprofen dan natrium atau kalium
diklofenak.
o Muscle relexant, sebagai obat pelemas otot. Contohnya seperti diazepam,
eperison dan karisprodol.
o Opoid, penggunaan obat ini sebagai terapi hanya digunakan pada kasus berat.
Opoid cukup efektif untuk mengurangi rasa nyeri namun memiliki efek
samping seperti mual dan mengantuk.
o Analgetik ajuvan, penggunaan terapi ini digunakan pada nyeri campuran.
Contohnya seperti anti konvulsan dan anti depresan. Kombinasi pregabalin dan
celecoxib lebih efektif untuk menurunkan skor nyeri.
o Suntikan campuran berupa anestesi lokal dan kortikosteroid kedalam jaringan
lunak pada titik picu disekitar tulang punggung
 Fisioterapi
Umumnya pasien dengan stenosis spinal akan menjadi kurang aktif untuk
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan. Akan tetapi hal tersebut dapat menyebabkan
kelemahan otot yang berkontribusi pada nyeri yang lebih terasa. Maka fisioterapi
bertujuan untuk membentuk kembali kekuatan dan ketahanan, mempertahankan serta
meningkatkan fleksibilitas dan stabilitas spinal. Terapi ini diawali dengan pemberian
edukasi untuk memodifikasi aktifitas seperti mengangkat beban dan melakukan
kegiatan yang menyebabkan hiperekstensi tulang belakang. Yang termasuk fisioterapi
pada perawatan Lumbar Spinal Stenosis (LSS) yakni olahraga seperti aerobik, kekuatan,
dan fleksibilitas, olahraga spesifik untuk fleksi lumbar seperti bersepeda, body weight
supported treadmill walking, muscle coordination training, balance training, dan
olahraga-olahraga lainnya. Berdasarkan beberapa studi fisioterapi tidak mampu
memperbaiki LSS itu sendiri, tetapi fisioterapi dapat meningkatkan fungsi pasien
dengan LSS. Bahkan ada studi RCT yang menyatakan bahwa peningkatan aktifitas fisik
pada pasien LSS dapat menurunkan gejala-gejala LSS dengan mekanisme yang masih
belum diketahui (Lurie & Tomkins-Lane, 2016).
 Injeksi spinal
Injeksi steroid epidural ini bertujuan untuk mengindukasi aksi anti inflamasi
yang kuat untuk mengurangi respon inflamasi dan edema dengan mengurangi migrasi
leukosit, inhibisi produksi dan rilis sitokin, dan stabilisasi sel-sel membran. Injeksi
steroid epidural diketahui dapat mengurangi gejala hinga 50% - 87% dalam waktu
singkat (2 hingga 6 bulan (Diwan et al., 2019)(Lee et al., 2020a).
Indikasi injeksi steroid epidural (Lee et al., 2020a):
- Nyeri menjalar akut / tiba-tiba
- Klaudokasio neurologis yang mengganggu meskipun telah diberikan pereda
nyeri sebelumnya
Berdasarkan meta analitik yang dimuat pada tahun 2015, injeksi steroid
epidural dapat meredakan nyeri punggung bawah dan nyeri ekstremitas bawah serta
meningkatkan jarak berjalan pasa pasien. Selain itu, disarankan juga bahwa injeksi pada
daerah interlaminar lebih baik daripada pada daerah kaudal yang selanjutnya diikuti
pada daerah transforaminal (Lurie & Tomkins-Lane, 2016).
 Modifikasi gaya hidup
 Rehabilitasi
 Bedah
Terapi operatif berupa tindakan operasi. Prosedur standar yang dilakukan adalah
laminektomi dekompresi. Hal ini dilakukan akibat kegagalan terapi konservatif, gejala
neurologis bertambah berat, defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan
terganggunya aktivitas sehari-hari dan menurunnya kualitas hidup (PERDOSSI, 2016).

Manajemen bedah dilakukan pada pasien yang tidak mengalami peningkatan dengan
manajemen non bedah. Tujuan utama intervensi bedah pada pasien LSS yakni untuk
dekompresi struktur neural sekitar yang telah terambah, sehingga dapat meningkatkan fungsi
dan memperbaiki gejala seperti kaludikasio atau radikulopati. Manajemen bedah pada LSS ini
dapat dilakukan melalui laminektomi, laminoplasti, laminotomi, dan pembedahan tulang
belakang minimal invasif (MISS) (Lurie & Tomkins-Lane, 2016)

 Laminektomi
Laminektomi dilakukan dengan menghilangkan bagian belakang (lamina) dari vertebrae
yang mengalami masalah (Clinic, 2020)
Gambar prosedur laminektomi (Clinic, 2020)

 Laminotomi
Laminotomi dilakukan dengan membuang beberapa bagian lamina yang terganggu
dengan membuat lubang yang bertujuan untuk mengurangi tekanan pada bagian
tersebut (Clinic, 2020).
Gambar prosedur laminotomi (Clinic, 2020)

 Laminoplasti
Prosedur laminoplasti dilakukan pada vertebrae di leher / spina servikal dengan
membuang sedikit bagian pada lamina untuk mengurangi tekanan. Kemudian bagian
yang telah terbuka dipasang engsel yang menjembatani celah tersebut (Clinic, 2020).
Gambar prosedur laminoplasti (Clinic, 2020)

 Fusi spinal
Fusi spinal disarankan pada kasus stenosis spinal dengan spondylolisthesis degeneratif,
stenosis berulang setelah dekompresi, ketidakseimbangan, atau skoliosis(Lurie & Tomkins-
Lane, 2016).
Gambar fusi lateral pada L4-L5 (Lee et al., 2020a)
 Interspinous spacers
Interspinous spacers merupakan suatu alat intervensi alternatif yang digunakan pada kasus
LSS guna memisahkan prosesus spinosa pada lokasi stenosis, sehingga mampu mencegah
penyempitan yang berkaitan dengan ekstensi dan pembebanan lumbar. Alat ini akan diselipkan
diantara prosesun spinosa dengan teknik invasif yang minimal dan dirancang untuk membatasi
ekstensi dan dekompresi saraf (Lurie & Tomkins-Lane, 2016).

Gambar alat interspinous spacer(Bini et al., 2011)


Gambar radiografi interspinous spacer tampak lateral (Bini et al., 2011)

Outcome Tatalaksana bedah

Penelitian yang dilakukan Slatis et al (2011) menunjukkan bahwa terapi beda LSS
memberikan hasil yang lebih baik daripada metode pengobatan konservatif. Pasien dengan LSS
mengalami nyeri punggung sebelum timbulnya gejala nyeri radikuler dan klaudikasio tulang
belakang (Slätis, et al., 2011). Hal ini didukung pada penelitian Kleinstuck et al yang
menemukan bahwa ditemukan lebih banyak nyeri punggung daripada nyeri kaki pada awal dan
ditemukan hasil yang signifikan buruk setelah dilakukan operasi dekompresi pada pasien
dengan stenosis tulang belakang (Hermansen, et al., 2019). Berdasarkan hasil penelitian
Williams et al (2017) menyatakan bahwa pasien yang menjalani prosedur laminektomi
mengalami komplikasi yang lebih banyak dibandingkan pasien dengan proseur laminotomi.
Meskipun tidak signifikan secara statistik (P = 0,24), gejala nyeri tungkai mengalami penurunan
yang signifikan pada pasien yang menjalani laminektomi dibandingkan dengan pasien
laminotomi pada 1 tahun. Manfaat yang kurang bergejala dapat dilihat pada nyeri kaki pasien
laminotomi, sementara laminotomi adalah prosedur yang tidak terlalu invasif dan prosedur ini
meningkatkan kemungkinan kambuhnya penyakit. Hal ini sesuai dengan Laporan Spine Tango
Registry [2014] yang merinci hasil pasien setelah operasi dekompresi telah mengidentifikasi
bahwa komplikasi umum lebih tinggi untuk laminektomi bila dibandingkan dengan
laminotomi. Secara khusus, peningkatan risiko membutuhkan fusi atau stabilisasi setelah
laminektomi dicatat. Selain itu, peningkatan yang signifikan dalam komplikasi bedah dan umum
terlihat ketika Laminektomi dengan fusi diinstrumentasi dibandingkan dengan laminotomi
(Williams, et al., 2017).

Penelitian menunjukan dari 10.329 kasus pembedahan pada lumbar spinal stenosis,
didapatkan 13 kasus kematian (0,13%). Beberapa faktor yang meningkatkan risiko kematian
pasca pembedahan pada lumbar spinal stenosis antara lain usia lanjut (lebih dari 60 tahun) dan
riwayat penyakit komplikasi. Riwayat komplikasi yang umum menjadi faktor risiko kasus
kematian pasca pembedahan lumbar spinal stenosis antara lain penyakit pernapasan, penyakit
jantung, syok, infeksi dan sepsis, emboli paru, diabetes, kelemahan otot, hingga penyakit
keganasan seperti kanker. Namun perlu diperhatikan bahwa jumlah kasus komplikasi dan
kematian pasca pembedahan pada lumbar spinal stenosis jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan angka kesembuhan pasien. Selain itu, penelitian lain menunjukan sejak tahun 2003
hingga 2012 terdapat penurunan angka kematian yang signifikan pada pembedahan lumbar
spinal stenosis. Sehingga selain pelaksanaan prosedur yang baik, diperlukan edukasi terhadap
pasien terkait faktor risiko dan kemungkinan kematian pasca prosedur pembedahan pada pasien
dengan lumbar spinal stenosis.

Terapi pembedahan dapat membantu menstabilkan kondisi pasien dalam beberapa


tahun kedepan namun tidak terdapat kesepakatan bahwa hasil dari terapi pembedahan lumbal
spinal stenosis (LSS) merupakan hasil yang baik (Kim, et al., 2020) dan pada penelitian lain
menyatakan bahwa demografi, kesehatan, dan faktor klinis lebih bisa memprediksi hasil klinis
dari pasien dibanding faktor yang berhubungan dengan pembedahan (Hebert, et al., 2020).
Terdapat faktor yang berpengaruh terhadap kecacatan diantaranya adalah status mental, indeks
masa tubuh, dan skor Oswestry Disability Index (ODI). (Kim, et al., 2020) (Hebert, et al., 2020).
Pasien dengan depresi sebelum operasi memili hasil klinis berupa peningkatan rasa nyeri dan
disabilitas setelah operasi (Hebert, et al., 2020). Pada sebuah penelitian didapatkan indeks masa
tubuh berpengaruh dalam hasil klinis pasien namun pada penelitian lainnya hal ini tidak
berpengaruh (Hebert, et al., 2020). Adanya peningkatan skor ODI praoperasi berpengaruh buruk
pada hasil operasi, hal ini dapat dilihat dengan skor ODI pada pasien yang lebih dari 22 pasca
operasi (Kim, et al., 2020).

Hingga saat ini, terdapat berbagai variasi dalam metode operatif yang berbeda dalam
penatalaksanaan stenosis spinal lumbar bergantung pada pilihan yang diambil oleh operator dari
operasi tersebut. Variasi tersebut adalah: 1) dekompresi, 2) dekompresi dengan fusi, 3)
laminektomi atau laminotomi, 4) split laminektomi atau laminotomi, dan 5) laminektomi atau
laminotomi endoskopi. Hingga saat ini, belum ada artikel penelitian acak terkendali yang
membandingkan efektivitas ataupun luaran dari metode operatif LSS dengan kelompok kontrol
yang diberikan plasebo atau tidak diberikan penanganan. Namun, hingga saat ini baru terdapat
17 artikel penelitian yang membandingkan efektivitas satu metode dengan metode yang lain.
Artikel tinjauan sistematis yang dipublikasikan pada tahun 2015 telah dengan detil menelaah
terkait perbedaan luaran dan efektivitas dari masing-masing metode yang sudah disebutkan
barusan serta perbandingan antara satu metode dengan metode yang lain. Tinjauan sistematis
tersebut mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara metode – metode yang
berbeda dalam penatalaksanaan LSS (Machado, et al., 2015). Hasil telaah tersebut juga
mendapatkan bahwa tidak terdapat keuntungan tambahan dalam bentuk penurunan nyeri atau
disabilitas dari dilakukannya fusi pada metode dekompresi konvensional. Selain itu,
penambahan pemasangan alat spacer pada prosesus interspinosus memberikan luaran yang
lebih baik (dari segi tingkat disabilitas, waktu operasi, kehilangan darah, dan durasi perawatan)
jika dibandingkan dengan metode dekompresi dengan fusi. Namun, penambahan alat tersebut
memberikan tingkat reoperasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan dekompresi konvensional.

Kesimpulan

Lumbar Spinal Stenosis (LSS) merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh
penyempitan kanalis spinalis dengan gangguan pada struktur saraf yang mengelilingi tulang dan
jaringan lunak. Terdapat berbagai variasi dalam metode operatif yang berbeda dalam
penatalaksanaan stenosis spinal. Variasi tersebut adalahdekompresi, dekompresi dengan fusi,
laminektomi atau laminotomi, split laminektomi atau laminotomi, dan laminektomi atau
laminotomi endoskopi. Pada pasien LSS yang menjalani prosedur laminektomi mengalami
komplikasi yang lebih banyak dibandingkan pasien dengan proseur laminotomy. Selain
itupeningkatan yang signifikan dalam komplikasi bedah dan umum terlihat ketika Laminektomi
dengan fusi diinstrumentasi dibandingkan dengan laminotomy. Beberapa faktor yang
meningkatkan risiko kematian pasca pembedahan pada lumbar spinal stenosis antara lain usia
lanjut (lebih dari 60 tahun) dan riwayat penyakit komplikasi

DAFTAR PUSTAKA
Agirman, Mehmet & Akgün, Ayşe Serap .2018. Neuropathic Pain and Disability in Patients
with Lumbar Spinal Stenosis. The Turkish Journal of Geriatrics. 21. 56-61. DOI :
10.31086/tjgeri.2018137967.

Baron, R., Binder, A., Attal, N., Casale, R., Dickenson, A. H., & Treede, R. (2016).
Neuropathic low back pain in clinical practice. European Journal of Pain, 20, 861–873.
https://doi.org/10.1002/ejp.838
Fraser, J. F., Huang, R. C., Girardi, F. P. & Cammisa Jr, F. P., 2003. Pathogenesis, Presentation,
and Treatment of Lumbar Spinal Stenosis Associated with Coronal or Sagittal Spinal
Deformities. Journal of Neurosurgery, 14(1).

Fortin, J. D. & Wheeler, M. T., 2004. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis. Pain Physician, 7(1)

G. W. Poorman, J. Y. Moon, C. Wang, S. R. Horn, B. M. Beaubrun, O. J. Bono, A.-M. Francis,


C. M. Jalai and P. G. Passias, "Rates of Mortality in Lumbar Spine Surgery and Factors
Associated With Its Occurence Over a 10-Year-Period: A Study of 803,949 Patients in the
Nationwide Inpatient Sample," International Journal of Spine Surgery, vol. 12, no. 5, pp.
617-623, 2018.

Hebert, J. J. et al., 2020. Preoperative Factors Predict Postoperative Trajectories of Pain and
Disability Following Surgery for Degenerative Lumbar Spinal Stenosis. Volume 45.

Hermansen, E., Mylekbust, T. A., Austevoll, I. M., Rekeland, F., Solberg, T., Storheim, K., . . .
Indrekvam, K. (2019). Clinical outcome after surgery for lumbar spinal stenosis in patients
with insignificant lower extremity pain. A prospective cohort study from the Norwegian
registry for spine surgery. BMC Musculoskeletal Disorders, 20, 1-8.

H. O. Fatigba, L. Hode, K. Quenum and T. Alihonou, "Post-operative Morbidity and Mortality


of Lumbar Spinal Stenosis at a Teaching Hospital in North-Eastern Benin," Iranian
Journal of Neurosurgery, vol. 6, no. 1, pp. 15-20, 2020

Ishimoto, Y. et al., 2012. Prevalence of symptomatic lumbar spinal stenosis and its association
with physical performance in a population-based cohort in Japan: the Wakayama Spine
Study. Osteoarthritis and cartilage, 20(10), pp. 1103-1108

Kim, G.-U.et al., 2020. Definitions of unfavorable surgical outcomes and their risk factors based
on disability score after spine surgery for lumbar spinal stenosis. Volume 21
K.-M. Fu, J. S. Smith, D. W. Polly and J. H. Perra, "Morbidity and mortality in the surgical
treatment of 10,329 adults with degenerative lumbar stenosis," Journal of Neurosurgery
Spine, vol. 12, pp. 443-446, 2010.

Lee, B. H., Moon, S. H., Suk, K. S., Kim, H. S., Yang, J. H., & Lee, H. M. (2020). Lumbar
Spinal Stenosis: Pathophysiology andTreatment Principle: A Narrative Review. Asian
Spine Journal, 14(5), 682–693. https://doi.org/10.31616/asj.2020.0472

Lee, E. et al., 2020. Clinical Validity of Two Different Grading System for Lumbar Central
Canal Stenosis: Schizas and Lee Classification Systems. PLOS ONE, 15(5), pp. 1-14

Lurie, J. D. et al., 2008. Reliability of Readings of Magnetic Resonance Imaging Features of


Lumbar Spinal Stenosis. Spine (Phila Pa 1976), 33(14)

Lurie, J. & Tomkins-Lane, C., 2016. Management of lumbar spinal stenosis. the BMJ, pp. 1-13

Machado, G. C., Ferreira, P. H., Harris, I. A., Pinheiro, M. B., Koes, B. W., Van Tulder, M., ...
& Ferreira, M. L. (2015). Effectiveness of surgery for lumbar spinal stenosis: a systematic
review and meta-analysis. PLoS One, 10(3), e0122800.

Maeda, T., Hashizume, H., Yoshimura, N., Oka, H., Ishimoto, Y., Nagata, K., Takami, M.,
Tsutsui, S., Iwasaki, H., Minamide, A., Nakagawa, Y., Yukawa, Y., Muraki, S., Tanaka, S.,
Yamada, H., & Yoshida, M. (2018). Factors associated with lumbar spinal stenosis in a
large-scale, population-based cohort: The Wakayama Spine Study. PLoS ONE, 13(7), 1–
12. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0200208

Park, S. Y., An, H. S., Moon, S. H., Lee, H. M., Suh, S. W., Chen, D., & Jeon, J. H. (2015).
Neuropathic pain components in patients with lumbar spinal stenosis. Yonsei Medical
Journal, 56(4), 1044–1050. https://doi.org/10.3349/ymj.2015.56.4.1044

Patel, Ekta; Perloff, Michael (2018). Radicular Pain Syndromes: Cervical, Lumbar, and Spinal
Stenosis. Seminars in Neurology, 38(6), 634–639. doi:10.1055/s-0038-1673680 

Sá, P. et al., 2014. Lumbar stenosis: clinical case. Revista brasileira de ortopedia, 49(4), pp.
405-408

Sabri, S. A., Ganapathy, V., & Kluemper, C. (2019). Pathophysiology and clinical presentation
of lumbar stenosis. Seminars in Spine Surgery, 31(3), 1–5.
https://doi.org/10.1053/j.semss.2019.04.002
Schroeder, G. D., Kurd, M. F. & Vaccaro, A. R., 2016. Lumbar Spinal Stenosis: How Is It
Classified?. Journal of the American Academy of Orthopedic Surgeons, 24(12), pp. 843-
852

Siebert, E. et al., 2009. Lumbar Spinal Stenosis: Syndrome, Diagnostics and Treatment. Nature
Reviews Neurology, Volume 5, pp. 392-403

Slätis, P. et al., 2011. Long-term results of surgery for lumbar spinal stenosis: a randomised
controlled trial. Eur Spine J, 15 January, Volume 20, pp. 1174-1181.

Snell, R. S., 2010. Clinical Neuroanatomy. 7th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins

Song, K. S., Cho, J. H., Hong, J. Y., Lee, J. H., Kang, H., Ham, D. W., & Ryu, H. J. (2017).
Neuropathic pain related with spinal disorders: A systematic review. Asian Spine Journal,
11(4), 661–674. https://doi.org/10.4184/asj.2017.11.4.661

Spivak, J. M., 1998. Current Concepts Review - Degenerative Lumbar Spinal Stenosis. The
Journal of Bone and Joint Surgery, 80(7)

Tortora, G. J. & Derrickson, B., 2014. Principles of Anatomy & Physiology. 14th ed. Unites
Dtates of America: John Wiley & Sons, Inc..

Williams, M. G., Wafai, A. M., & Podmore, M. D. (2017). Functional outcomes of


laminectomy and laminotomy for the surgical management lumbar spine stenosis. Journal
of Spine Surgery., 3(4), 580-586.

Wu, A.-M.et al., 2017. Lumbar spinal stenosis: an update on the epidemiology, diagnosis and
treatment. AME Medical Journal, 2(63), pp. 1-14.

Yabuki, S. et al., 2013. Prevalence of lumbar spinal stenosis, using the diagnostic support.
Journal of Orthopaedic Science, 18(6), pp. 893-900

Yamashita, T., Takahashi, K., Yonenobu, K., & Kikuchi, S. I. 2014. Prevalence of neuropathic
pain in cases with chronic pain related to spinal disorders. Journal of Orthopaedic
Science, 19(1), 15-21.

Anda mungkin juga menyukai