1
Abiyyu Didar Haq, 1Alifia Firdiansari, 1Baiq Anggia Azzahra Halba, 1Diva Aulya Kemuning,
1
Harie Sagita Novendi, 1Intan Angnechintia Buka, 1Luh Ade Dita Rahayu, 1Nurmujaahida, 1Nur
Izzatush Sholihah, 1Safa Nabila Zafira, 1Muhammad Nooradi Praramdana
1
Program Studi Pendidikan Dokter
Abstrak
Lumbar spinal stenosis is a narrowing of the spinal canal, compressing the nerves traveling
through the lower back into the legs. Spinal stenosis can happen in any part of your spine but is
most common in the lower back. It is more often results from acquired degenerative changes,
but it may affect younger patient caused by congenital factor. People with spinal stenosis may
showing symptoms that vary depending on the location of the stenosis and which nerves are
affected. Symptoms such as lower back pain, neck pain, numbness or tingling on the leg, or on
more severe case it can be bowel or bladder dysfunction
Kata Kunci : spinal stenosis, lumbar spinal stenosis, management of lumbar spinal stenosis,
surgery
Pendahuluan
Lumbar spinal stenosis (LSS) merupakan salah satu kelainan tulang belakang yang
sering dijumpai pada usia lanjut dan menjadi alasan umum dilakukannya operasi tulang
belakang bagi pasien berusia > 65 tahun. Di amerika serikat,diperkirakan prevalensi orang
dewasa yang mengalami LSS yaitu lebih dari 200.000 orang dewasa (Wu, et al., 2017).
Pada kasus stenosis spinal terjadi penyempitan kanalis spinalis dengan gangguan pada
struktur saraf yang mengelilingi tulang dan jaringan lunak (Park et al., 2015). Stenosis
spinal bisa diakibatkan karena faktor kongenital atau proses degeneratif.Lumbar spinal
stenosis (LSS) sering terjadi pada pasien usia lanjut karena terutama disebabkan oleh
degenerasi terkait usia dan hipertrofi diskus intervertebralis, ligamentum flava, dan sendi
facet. Gejala klinis yang biasanya muncul pada pasien dengan LSS berupa nyeri punggung
unilateral atau bilateral disertai nyeri pada kaki yang berkembang dan bertahan selama
beberapa bulan hingga tahun (Siebert, et al., 2009).
Manajemen tatalaksana kasus LSS ini dapat berupa tatalaksana konservatif maupun
tatalaksana operatif. Hingga saat ini, terdapat berbagai variasi dalam metode operatif yang
berbeda dalam penatalaksanaan stenosis spinal lumbar bergantung pada pilihan yang
diambil oleh operator dari operasi tersebut. Variasi tersebut adalah: 1) dekompresi, 2)
dekompresi dengan fusi, 3) laminektomi atau laminotomi, 4) split laminektomi atau
laminotomi, dan 5) laminektomi atau laminotomi endoskopi. Ada studi yang menyebutkan
bahwa terapi bedah memiliki luaran yang lebih baik daripada terapi konservatif pada LSS
(Slätis, et al., 2011). Dikatakan bahwa terapi pembedahan dapat membantu menstabilkan
kondisi pasien dalam beberapa tahun kedepan namun tidak terdapat kesepakatan bahwa
hasil dari terapi pembedahan lumbal spinal stenosis (LSS) merupakan hasil yang baik
(Kim, et al., 2020). Tetapi beberapa studi juga ada yang menyebutkan bahwa tatalaksana
pembedahan dapat meningkatkan kasus mortalitas pada pasien
Definisi
Nyeri neuropatik atau neuropathic pain didefinisikan sebagai nyeri yang dimulai atau
disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi sistem saraf dan bisa timbul sebagai akibat dari
lesi atau penyakit yang mempengaruhi sistem somatosensorik (Park et al., 2015).
Lumbar Spinal Stenosis (LSS) merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh
penyempitan kanalis spinalis dengan gangguan pada struktur saraf yang mengelilingi
tulang dan jaringan lunak. Gejala klinisnya bervariasi tetapi muncul sebagai akibat dari
mekanisme neurovaskular, eksitasi akar saraf, atau kompresi mekanis kanalis spinalis.
Mekanisme ini dapat berjalan bersamaan (Park et al., 2015). Gangguan spinal seperti
radikulopati akibat herniasi diskus, spinal stenosis, atau spinal cord injury merupakan
penyebab umum nyeri neuropatik (Song et al., 2017).
Anatomi
Columna Vertebralis atau yang disebut dengan tulang belakang membentuk tubuh
sekitar dua perlima dari tinggi badan manusia dengan panjang sekitar 71 cm pada pria
dewasa dan sekitar 61 cm pada wanita dewasa. Columna Vertebralis terdiri dari tulang dan
jaringan ikat yang melindungi jaringan saraf dan sumsum tulang belakang. Fungsi lainnya
yaitu sebagai penyangga tubuh, penompang kepala dan sebagai titik perlekatan untuk
tulang rusuk, tulang panggul, otot punggung dan otot tungkai bagian atas. Columna
vertebralis terbagi menjadi 7 vertebrae cervicales, 12 vertebrae thoracicae, 5 vertebrae
lumbales, 1 os. sacrum dan 1 os. coccygis (Tortora & Derrickson, 2014). Karakteristik
umum pada vertebrae memiliki pola yang sama yaitu memilik corpus vertebrae bulat, arcus
vertebrae di posterior, dan terdapat foramen vertebrae yang melindungi sumsum tulang
belakang. Arcus vertebrae membentuk proc. Spinosus, proc. Tranvresus dan proc.
artikularis. Proc. Spinosus pada vetebre lumbal memiliki bentuk bulat, pendek dan
mengarah hampir lurus kebelakang. (Snell, 2010). Antara kedua vertebrae terdapat
penghubung yang disebut dengan diskus intervertebralis yang membentuk persendian yang
kuat dan fleksibel. Diskus intervertebralis berfungsi untuk meredam syok. Setiap diskus
terdiri dari Nucleus pulposus dan annulus fibrosus. Nucleus pulposus bersifat semifluida
sehingga dapat memungkinkan adanya keseimbangan pada saat terjadi peningkatan beban
kompresi secara tiba-tiba yang dibantu oleh Annulus fibrosus.Seiring bertambahnya usia
nucleus pulposus menjadi lebih tipis dan kurang elastis. Pada Annulus fibrosus serat
kolagennya akan mengalami degeneraasi sehingga annulus tidak dapat membantu nucleus
pulposus saat menghadapai tekanan (Snell, 2010).
Epidemiologi
Lumbar spinal stenosis (LSS) merupakan salah satu kelainan tulang belakang yang
sering dijumpai pada usia lanjut dan menjadi alasan umum dilakukannya operasi tulang
belakang bagi pasien berusia > 65 tahun. Di amerika serikat,diperkirakan prevalensi orang
dewasa yang mengalami LSS yaitu lebih dari 200.000 orang dewasa (Wu et al., 2017).
Pada penelitian yang dilakukan di Jepang, LSS memiliki prevalensi yang lebih tinggi pada
usia lanjut dimana usia 40-49 tahun prevalensi nya sekitar 1,7-2,2 %, untuk usia 50-59
tahun prevalensinya sekitar 3,9%-5,7%, usia 60-69 prevalensinya 4,6-6,2% dan pada usia
70-79 tahun prevalensinya 10,3%-11,2% (Yabuki et al., 2013). Studi lain melaporkan
penderita LSS lebih banyak ditemukan pada laki-laki dari pada perempuan dengan
perbandingan pada laki laki prevalensinya yaitu 10,1% dan pada wanita 8,9% (Ishimoto et
al., 2012).
Untuk prevalensi nyeri neuropatik sendiri lebih banyak ditemukan pada pasien yang
mengalami kerusakan sumsum tulang belakang (Yamashita et al., 2014). Nyeri neuropatik
dapat terjadi pada 15-25% pasien yang mengalami nyeri kronis Pada penelitian yang
dilakukan oleh Mehmet et al disebutkan bahwa setengah dari pasien LSS mengalami nyeri
neuropatik yang dipengaruhi oleh usia yang lebih tua dan BMI yang tinggi (Agirman &
Akgun, 2018). Pada penelitian yang dilakukan oleh Park et al disebutkan bahwa sepertiga
dari pasien LSS pada penelitian memiliki gejala nyeri neuropatik, dimana tingkat
keparahan nyeri pada kaki dan nyeri radikuler berhubungan dengan adanya nyeri
neuropatik (Park et al., 2015).
Faktor Risiko
Gambaran anatomi LSS dapat timbul karena faktor kelainan bawaan atau kelainan
perkembangan yang diakibatkan oleh perubahan degeneratif (Sabri et al., 2019). Lumbar
spinal stenosis (LSS) sering terjadi pada pasien usia lanjut karena terutama disebabkan
oleh degenerasi terkait usia dan hipertrofi diskus intervertebralis, ligamentum flava, dan
sendi facet. LSS adalah alasan paling umum untuk operasi tulang belakang pada pasien
berusia > 65 tahun. Namun, banyak individu sehat juga menunjukkan perubahan yang
serupa terkait usia. Studi terbaru menunjukkan bahwa penyakit yang berhubungan dengan
gaya hidup seperti diabetes mellitus (DM), penyakit arteri perifer (PAD), dan penyakit
jantung, sering dikaitkan dengan symptomatic LSS (sLSS). Prevalensi komorbiditas medis
juga meningkat seiring bertambahnya usia (Maeda et al., 2018). Penuaan dapat
mempengaruhi degenerasi diskus intervertebralis seperti yang digambarkan pada skema
berikut.
Gambar 3. Skema berbagai lokasi pada spinal stenosis (Schroeder et al., 2016).
Adanya kombinasi pada disc-osteophyte complex dan hipertrofi ligamentum flavum
menyebabkan stenosis central (Schroeder et al., 2016). Hipertrofi sendi facet disertai
timbulnya osteofit menyebabkan stenosis reses lateral (Schroeder et al., 2016). Stenosis
foraminal dapat terjadi akibat hilangnya ketinggian diskus secara substansial, timbulnya
diskus foraminalis atau osteofit, atau terdapat angulasi pada skoliosis degeneratif sedangkan
stenosis extraforaminal disebabkan oleh terjadinya herniasi pada diskus lateral (Schroeder et
al., 2016).
Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan
stenosis pada radiologi pencitraan namun klasifikasi yang umum digunakan diusulkan oleh
Lurie et al, 2008 yakni tingkat keparahan stenosis ringan, sedang, dan berat (Lurie et al.,
2008) (Schroeder et al., 2016). Stenosis ringan didefinisikan sebagai adanya penurunan
sebesar <1/3 pada ruang yang tersedia untuk neural elements, stenosis sedang didefinisikan
sebagai adanya penurunan sebesar 1/3 - 2/3 pada ruang yang tersedia untuk neural elements
sedangkan stenosis berat didefinisikan sebagai adanya penurunan >2/3 pada ruang yang
tersedia untuk neural elements (Lurie et al., 2008) (Schroeder et al., 2016). Klasifikasi
lainnya diusulkan oleh Schizas et al yang menilai tingkat keparahan stenosis berdasarkan
morfologi kantung dural pada MRI (Schroeder et al., 2016).
Tabel 1. Klasifikasi tingkat keparahan stenosis berdasarkan morfologi kantung dural pada MRI
(Lee et al., 2020) (Schroeder et al., 2016).
Grade Deskripsi
A (tidak stenosis atau Terdapat cairan cerebrospinal pada kantung epidural dengan
stenosis minor) distribusi yang tidak homogen (berlaku untuk grade A1-A4)
jika tidak sesuai maka dapat termasuk grade B, C, atau D.
B (stenosis sedang) Rootlets menempati seluruh area dari kantung dural namun
masih dapat diidentifikasi.
C (stenosis berat) Rootlets tidak dapat dikenali, kantung dural tampak berwarna
abu-abu homogen dengan penipisan komplit yang terjadi pada
ruang cairan serebrospinal dan terlihat adanya lemak epidural
pada bagian posterior.
D (stenosis ekstrim) Rootlets tidak dapat dikenali dan tidak dan terlihat adanya
lemak epidural pada bagian posterior.
Klasifikasi yang lebih mudah diusulkan oleh Lee et al yang menilai tingkat keparahan
stenosis berdasarkan derajat pemisah cauda equina pada MRI (Lee et al., 2020).
Kriteria Diagnosis
Tatalaksana
Tatalaksana pada kasus Lumbar Spinal Stenosis dapat dibagi atasmanajemen non
bedah dan manajemen bedah. Manajemen non bedah dapatdilakukan pada pasien dengan
gejala ringan hingga sedang (Lee et al., 2020a).Manajemen non bedah dapat berupa
pemberian obat-obatan, fisioterapi, injeksi spinal, modifikasi gaya hidup, dan rehabilitasi.
Perawatan lain berupa latihan penggunaan orthosis, terapi termal, ultrasonografi, pijat,
simulasi elektrik, dan terapi traksi. Sedangkan manajemen bedah dapat dilakukan
dekompresi dengan laminektomi (Lurie & Tomkins-Lane, 2016)(Lee et al., 2020a).
o Analgetik dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), yang bertujuan untuk
mengurangi rasa nyeri sehingga mempercepat kesembuhan. Contoh OAINS
yang sering digunakan yaitu ibuprofen, desketoprofen dan natrium atau kalium
diklofenak.
o Muscle relexant, sebagai obat pelemas otot. Contohnya seperti diazepam,
eperison dan karisprodol.
o Opoid, penggunaan obat ini sebagai terapi hanya digunakan pada kasus berat.
Opoid cukup efektif untuk mengurangi rasa nyeri namun memiliki efek
samping seperti mual dan mengantuk.
o Analgetik ajuvan, penggunaan terapi ini digunakan pada nyeri campuran.
Contohnya seperti anti konvulsan dan anti depresan. Kombinasi pregabalin dan
celecoxib lebih efektif untuk menurunkan skor nyeri.
o Suntikan campuran berupa anestesi lokal dan kortikosteroid kedalam jaringan
lunak pada titik picu disekitar tulang punggung
Fisioterapi
Umumnya pasien dengan stenosis spinal akan menjadi kurang aktif untuk
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan. Akan tetapi hal tersebut dapat menyebabkan
kelemahan otot yang berkontribusi pada nyeri yang lebih terasa. Maka fisioterapi
bertujuan untuk membentuk kembali kekuatan dan ketahanan, mempertahankan serta
meningkatkan fleksibilitas dan stabilitas spinal. Terapi ini diawali dengan pemberian
edukasi untuk memodifikasi aktifitas seperti mengangkat beban dan melakukan
kegiatan yang menyebabkan hiperekstensi tulang belakang. Yang termasuk fisioterapi
pada perawatan Lumbar Spinal Stenosis (LSS) yakni olahraga seperti aerobik, kekuatan,
dan fleksibilitas, olahraga spesifik untuk fleksi lumbar seperti bersepeda, body weight
supported treadmill walking, muscle coordination training, balance training, dan
olahraga-olahraga lainnya. Berdasarkan beberapa studi fisioterapi tidak mampu
memperbaiki LSS itu sendiri, tetapi fisioterapi dapat meningkatkan fungsi pasien
dengan LSS. Bahkan ada studi RCT yang menyatakan bahwa peningkatan aktifitas fisik
pada pasien LSS dapat menurunkan gejala-gejala LSS dengan mekanisme yang masih
belum diketahui (Lurie & Tomkins-Lane, 2016).
Injeksi spinal
Injeksi steroid epidural ini bertujuan untuk mengindukasi aksi anti inflamasi
yang kuat untuk mengurangi respon inflamasi dan edema dengan mengurangi migrasi
leukosit, inhibisi produksi dan rilis sitokin, dan stabilisasi sel-sel membran. Injeksi
steroid epidural diketahui dapat mengurangi gejala hinga 50% - 87% dalam waktu
singkat (2 hingga 6 bulan (Diwan et al., 2019)(Lee et al., 2020a).
Indikasi injeksi steroid epidural (Lee et al., 2020a):
- Nyeri menjalar akut / tiba-tiba
- Klaudokasio neurologis yang mengganggu meskipun telah diberikan pereda
nyeri sebelumnya
Berdasarkan meta analitik yang dimuat pada tahun 2015, injeksi steroid
epidural dapat meredakan nyeri punggung bawah dan nyeri ekstremitas bawah serta
meningkatkan jarak berjalan pasa pasien. Selain itu, disarankan juga bahwa injeksi pada
daerah interlaminar lebih baik daripada pada daerah kaudal yang selanjutnya diikuti
pada daerah transforaminal (Lurie & Tomkins-Lane, 2016).
Modifikasi gaya hidup
Rehabilitasi
Bedah
Terapi operatif berupa tindakan operasi. Prosedur standar yang dilakukan adalah
laminektomi dekompresi. Hal ini dilakukan akibat kegagalan terapi konservatif, gejala
neurologis bertambah berat, defisit neurologis yang progresif sehingga menyebabkan
terganggunya aktivitas sehari-hari dan menurunnya kualitas hidup (PERDOSSI, 2016).
Manajemen bedah dilakukan pada pasien yang tidak mengalami peningkatan dengan
manajemen non bedah. Tujuan utama intervensi bedah pada pasien LSS yakni untuk
dekompresi struktur neural sekitar yang telah terambah, sehingga dapat meningkatkan fungsi
dan memperbaiki gejala seperti kaludikasio atau radikulopati. Manajemen bedah pada LSS ini
dapat dilakukan melalui laminektomi, laminoplasti, laminotomi, dan pembedahan tulang
belakang minimal invasif (MISS) (Lurie & Tomkins-Lane, 2016)
Laminektomi
Laminektomi dilakukan dengan menghilangkan bagian belakang (lamina) dari vertebrae
yang mengalami masalah (Clinic, 2020)
Gambar prosedur laminektomi (Clinic, 2020)
Laminotomi
Laminotomi dilakukan dengan membuang beberapa bagian lamina yang terganggu
dengan membuat lubang yang bertujuan untuk mengurangi tekanan pada bagian
tersebut (Clinic, 2020).
Gambar prosedur laminotomi (Clinic, 2020)
Laminoplasti
Prosedur laminoplasti dilakukan pada vertebrae di leher / spina servikal dengan
membuang sedikit bagian pada lamina untuk mengurangi tekanan. Kemudian bagian
yang telah terbuka dipasang engsel yang menjembatani celah tersebut (Clinic, 2020).
Gambar prosedur laminoplasti (Clinic, 2020)
Fusi spinal
Fusi spinal disarankan pada kasus stenosis spinal dengan spondylolisthesis degeneratif,
stenosis berulang setelah dekompresi, ketidakseimbangan, atau skoliosis(Lurie & Tomkins-
Lane, 2016).
Gambar fusi lateral pada L4-L5 (Lee et al., 2020a)
Interspinous spacers
Interspinous spacers merupakan suatu alat intervensi alternatif yang digunakan pada kasus
LSS guna memisahkan prosesus spinosa pada lokasi stenosis, sehingga mampu mencegah
penyempitan yang berkaitan dengan ekstensi dan pembebanan lumbar. Alat ini akan diselipkan
diantara prosesun spinosa dengan teknik invasif yang minimal dan dirancang untuk membatasi
ekstensi dan dekompresi saraf (Lurie & Tomkins-Lane, 2016).
Penelitian yang dilakukan Slatis et al (2011) menunjukkan bahwa terapi beda LSS
memberikan hasil yang lebih baik daripada metode pengobatan konservatif. Pasien dengan LSS
mengalami nyeri punggung sebelum timbulnya gejala nyeri radikuler dan klaudikasio tulang
belakang (Slätis, et al., 2011). Hal ini didukung pada penelitian Kleinstuck et al yang
menemukan bahwa ditemukan lebih banyak nyeri punggung daripada nyeri kaki pada awal dan
ditemukan hasil yang signifikan buruk setelah dilakukan operasi dekompresi pada pasien
dengan stenosis tulang belakang (Hermansen, et al., 2019). Berdasarkan hasil penelitian
Williams et al (2017) menyatakan bahwa pasien yang menjalani prosedur laminektomi
mengalami komplikasi yang lebih banyak dibandingkan pasien dengan proseur laminotomi.
Meskipun tidak signifikan secara statistik (P = 0,24), gejala nyeri tungkai mengalami penurunan
yang signifikan pada pasien yang menjalani laminektomi dibandingkan dengan pasien
laminotomi pada 1 tahun. Manfaat yang kurang bergejala dapat dilihat pada nyeri kaki pasien
laminotomi, sementara laminotomi adalah prosedur yang tidak terlalu invasif dan prosedur ini
meningkatkan kemungkinan kambuhnya penyakit. Hal ini sesuai dengan Laporan Spine Tango
Registry [2014] yang merinci hasil pasien setelah operasi dekompresi telah mengidentifikasi
bahwa komplikasi umum lebih tinggi untuk laminektomi bila dibandingkan dengan
laminotomi. Secara khusus, peningkatan risiko membutuhkan fusi atau stabilisasi setelah
laminektomi dicatat. Selain itu, peningkatan yang signifikan dalam komplikasi bedah dan umum
terlihat ketika Laminektomi dengan fusi diinstrumentasi dibandingkan dengan laminotomi
(Williams, et al., 2017).
Penelitian menunjukan dari 10.329 kasus pembedahan pada lumbar spinal stenosis,
didapatkan 13 kasus kematian (0,13%). Beberapa faktor yang meningkatkan risiko kematian
pasca pembedahan pada lumbar spinal stenosis antara lain usia lanjut (lebih dari 60 tahun) dan
riwayat penyakit komplikasi. Riwayat komplikasi yang umum menjadi faktor risiko kasus
kematian pasca pembedahan lumbar spinal stenosis antara lain penyakit pernapasan, penyakit
jantung, syok, infeksi dan sepsis, emboli paru, diabetes, kelemahan otot, hingga penyakit
keganasan seperti kanker. Namun perlu diperhatikan bahwa jumlah kasus komplikasi dan
kematian pasca pembedahan pada lumbar spinal stenosis jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan angka kesembuhan pasien. Selain itu, penelitian lain menunjukan sejak tahun 2003
hingga 2012 terdapat penurunan angka kematian yang signifikan pada pembedahan lumbar
spinal stenosis. Sehingga selain pelaksanaan prosedur yang baik, diperlukan edukasi terhadap
pasien terkait faktor risiko dan kemungkinan kematian pasca prosedur pembedahan pada pasien
dengan lumbar spinal stenosis.
Hingga saat ini, terdapat berbagai variasi dalam metode operatif yang berbeda dalam
penatalaksanaan stenosis spinal lumbar bergantung pada pilihan yang diambil oleh operator dari
operasi tersebut. Variasi tersebut adalah: 1) dekompresi, 2) dekompresi dengan fusi, 3)
laminektomi atau laminotomi, 4) split laminektomi atau laminotomi, dan 5) laminektomi atau
laminotomi endoskopi. Hingga saat ini, belum ada artikel penelitian acak terkendali yang
membandingkan efektivitas ataupun luaran dari metode operatif LSS dengan kelompok kontrol
yang diberikan plasebo atau tidak diberikan penanganan. Namun, hingga saat ini baru terdapat
17 artikel penelitian yang membandingkan efektivitas satu metode dengan metode yang lain.
Artikel tinjauan sistematis yang dipublikasikan pada tahun 2015 telah dengan detil menelaah
terkait perbedaan luaran dan efektivitas dari masing-masing metode yang sudah disebutkan
barusan serta perbandingan antara satu metode dengan metode yang lain. Tinjauan sistematis
tersebut mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara metode – metode yang
berbeda dalam penatalaksanaan LSS (Machado, et al., 2015). Hasil telaah tersebut juga
mendapatkan bahwa tidak terdapat keuntungan tambahan dalam bentuk penurunan nyeri atau
disabilitas dari dilakukannya fusi pada metode dekompresi konvensional. Selain itu,
penambahan pemasangan alat spacer pada prosesus interspinosus memberikan luaran yang
lebih baik (dari segi tingkat disabilitas, waktu operasi, kehilangan darah, dan durasi perawatan)
jika dibandingkan dengan metode dekompresi dengan fusi. Namun, penambahan alat tersebut
memberikan tingkat reoperasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan dekompresi konvensional.
Kesimpulan
Lumbar Spinal Stenosis (LSS) merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh
penyempitan kanalis spinalis dengan gangguan pada struktur saraf yang mengelilingi tulang dan
jaringan lunak. Terdapat berbagai variasi dalam metode operatif yang berbeda dalam
penatalaksanaan stenosis spinal. Variasi tersebut adalahdekompresi, dekompresi dengan fusi,
laminektomi atau laminotomi, split laminektomi atau laminotomi, dan laminektomi atau
laminotomi endoskopi. Pada pasien LSS yang menjalani prosedur laminektomi mengalami
komplikasi yang lebih banyak dibandingkan pasien dengan proseur laminotomy. Selain
itupeningkatan yang signifikan dalam komplikasi bedah dan umum terlihat ketika Laminektomi
dengan fusi diinstrumentasi dibandingkan dengan laminotomy. Beberapa faktor yang
meningkatkan risiko kematian pasca pembedahan pada lumbar spinal stenosis antara lain usia
lanjut (lebih dari 60 tahun) dan riwayat penyakit komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
Agirman, Mehmet & Akgün, Ayşe Serap .2018. Neuropathic Pain and Disability in Patients
with Lumbar Spinal Stenosis. The Turkish Journal of Geriatrics. 21. 56-61. DOI :
10.31086/tjgeri.2018137967.
Baron, R., Binder, A., Attal, N., Casale, R., Dickenson, A. H., & Treede, R. (2016).
Neuropathic low back pain in clinical practice. European Journal of Pain, 20, 861–873.
https://doi.org/10.1002/ejp.838
Fraser, J. F., Huang, R. C., Girardi, F. P. & Cammisa Jr, F. P., 2003. Pathogenesis, Presentation,
and Treatment of Lumbar Spinal Stenosis Associated with Coronal or Sagittal Spinal
Deformities. Journal of Neurosurgery, 14(1).
Fortin, J. D. & Wheeler, M. T., 2004. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis. Pain Physician, 7(1)
Hebert, J. J. et al., 2020. Preoperative Factors Predict Postoperative Trajectories of Pain and
Disability Following Surgery for Degenerative Lumbar Spinal Stenosis. Volume 45.
Hermansen, E., Mylekbust, T. A., Austevoll, I. M., Rekeland, F., Solberg, T., Storheim, K., . . .
Indrekvam, K. (2019). Clinical outcome after surgery for lumbar spinal stenosis in patients
with insignificant lower extremity pain. A prospective cohort study from the Norwegian
registry for spine surgery. BMC Musculoskeletal Disorders, 20, 1-8.
Ishimoto, Y. et al., 2012. Prevalence of symptomatic lumbar spinal stenosis and its association
with physical performance in a population-based cohort in Japan: the Wakayama Spine
Study. Osteoarthritis and cartilage, 20(10), pp. 1103-1108
Kim, G.-U.et al., 2020. Definitions of unfavorable surgical outcomes and their risk factors based
on disability score after spine surgery for lumbar spinal stenosis. Volume 21
K.-M. Fu, J. S. Smith, D. W. Polly and J. H. Perra, "Morbidity and mortality in the surgical
treatment of 10,329 adults with degenerative lumbar stenosis," Journal of Neurosurgery
Spine, vol. 12, pp. 443-446, 2010.
Lee, B. H., Moon, S. H., Suk, K. S., Kim, H. S., Yang, J. H., & Lee, H. M. (2020). Lumbar
Spinal Stenosis: Pathophysiology andTreatment Principle: A Narrative Review. Asian
Spine Journal, 14(5), 682–693. https://doi.org/10.31616/asj.2020.0472
Lee, E. et al., 2020. Clinical Validity of Two Different Grading System for Lumbar Central
Canal Stenosis: Schizas and Lee Classification Systems. PLOS ONE, 15(5), pp. 1-14
Lurie, J. & Tomkins-Lane, C., 2016. Management of lumbar spinal stenosis. the BMJ, pp. 1-13
Machado, G. C., Ferreira, P. H., Harris, I. A., Pinheiro, M. B., Koes, B. W., Van Tulder, M., ...
& Ferreira, M. L. (2015). Effectiveness of surgery for lumbar spinal stenosis: a systematic
review and meta-analysis. PLoS One, 10(3), e0122800.
Maeda, T., Hashizume, H., Yoshimura, N., Oka, H., Ishimoto, Y., Nagata, K., Takami, M.,
Tsutsui, S., Iwasaki, H., Minamide, A., Nakagawa, Y., Yukawa, Y., Muraki, S., Tanaka, S.,
Yamada, H., & Yoshida, M. (2018). Factors associated with lumbar spinal stenosis in a
large-scale, population-based cohort: The Wakayama Spine Study. PLoS ONE, 13(7), 1–
12. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0200208
Park, S. Y., An, H. S., Moon, S. H., Lee, H. M., Suh, S. W., Chen, D., & Jeon, J. H. (2015).
Neuropathic pain components in patients with lumbar spinal stenosis. Yonsei Medical
Journal, 56(4), 1044–1050. https://doi.org/10.3349/ymj.2015.56.4.1044
Patel, Ekta; Perloff, Michael (2018). Radicular Pain Syndromes: Cervical, Lumbar, and Spinal
Stenosis. Seminars in Neurology, 38(6), 634–639. doi:10.1055/s-0038-1673680
Sá, P. et al., 2014. Lumbar stenosis: clinical case. Revista brasileira de ortopedia, 49(4), pp.
405-408
Sabri, S. A., Ganapathy, V., & Kluemper, C. (2019). Pathophysiology and clinical presentation
of lumbar stenosis. Seminars in Spine Surgery, 31(3), 1–5.
https://doi.org/10.1053/j.semss.2019.04.002
Schroeder, G. D., Kurd, M. F. & Vaccaro, A. R., 2016. Lumbar Spinal Stenosis: How Is It
Classified?. Journal of the American Academy of Orthopedic Surgeons, 24(12), pp. 843-
852
Siebert, E. et al., 2009. Lumbar Spinal Stenosis: Syndrome, Diagnostics and Treatment. Nature
Reviews Neurology, Volume 5, pp. 392-403
Slätis, P. et al., 2011. Long-term results of surgery for lumbar spinal stenosis: a randomised
controlled trial. Eur Spine J, 15 January, Volume 20, pp. 1174-1181.
Snell, R. S., 2010. Clinical Neuroanatomy. 7th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins
Song, K. S., Cho, J. H., Hong, J. Y., Lee, J. H., Kang, H., Ham, D. W., & Ryu, H. J. (2017).
Neuropathic pain related with spinal disorders: A systematic review. Asian Spine Journal,
11(4), 661–674. https://doi.org/10.4184/asj.2017.11.4.661
Spivak, J. M., 1998. Current Concepts Review - Degenerative Lumbar Spinal Stenosis. The
Journal of Bone and Joint Surgery, 80(7)
Tortora, G. J. & Derrickson, B., 2014. Principles of Anatomy & Physiology. 14th ed. Unites
Dtates of America: John Wiley & Sons, Inc..
Wu, A.-M.et al., 2017. Lumbar spinal stenosis: an update on the epidemiology, diagnosis and
treatment. AME Medical Journal, 2(63), pp. 1-14.
Yabuki, S. et al., 2013. Prevalence of lumbar spinal stenosis, using the diagnostic support.
Journal of Orthopaedic Science, 18(6), pp. 893-900
Yamashita, T., Takahashi, K., Yonenobu, K., & Kikuchi, S. I. 2014. Prevalence of neuropathic
pain in cases with chronic pain related to spinal disorders. Journal of Orthopaedic
Science, 19(1), 15-21.