Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN JULI 2020


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

EFEKTIVITAS OBAT ANTIFUNGAL


PADA PITIRIASIS VERSIKOLOR

Triska Rezkyanti Putri (70700119023)

Supervisor Pembimbing :
dr. Nurul Rumila Roem, Sp.KK

DEPARTEMEN ILMU PENYAKITKULIT DAN KELAMIN


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2020
Lembar Pengesahan

Referat dengan judul


“Efektivitas Obat Antifungal Pada Pitiriasis Versikolor”
Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui
Pada Tanggal 30 Juli 2020
Oleh:
Pembimbing

dr. Nurul Rumila Roem, Sp.KK

Mengetahui,
Ketua program studi Pendidikan profesi dokter
UIN Alauddin Makassar

dr. DewiSetiawati, Sp.OG, M.kes


19810621 200604 2 005

i
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...................................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan..................................................................................................................1

BAB II TinjauanPustaka...........................................................................................................3

2.1 Pitiriasis Versikolor..........................................................................................................3

2.2 Efektivitas Obat Antifungal terhadap Pitiriasis Versikolor............................................10

2.3 Integrasi Keislaman........................................................................................................15

BAB III Penutup......................................................................................................................16

Daftar Pustaka..........................................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi jamur kulit merupakan penyakit yang cukup banyak di temukan di


Indonesia, khususnya negara tropis beriklim panas dan lembab, apalagi bila
higiene juga kurang sempurna. Penyakit jamur kulit atau dermatomikosis adalah
penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa yang disebabkan infeksi jamur.
Pada umumnya golongan penyakit ini dibagi atas infeksi superfisial, infeksi kutan,
dan infeksi subkutan. Infeksi superfisial yang paling sering ditemukan adalah
pityriasis versikolor. Infeksi kutan dapat berupa dermatofitosis dan kandidosis
kutis. Infeksi subkutan yang kadang-kadang ditemukan adalah sporotrikosis,
fikomikosis subkutan, aktinomikosis, dan kromomikosis. Diantara penyakit jamur
superfisial yang sering dijumpai di Indonesia salah satunya adalah pityriasis
versikolor. Infeksi ini dapat terjadi karena kontak langsung dengan benda-benda
yang sudah terkontaminasi oleh jamur atau kontak langsung dengan penderita.
Infeksi jamur yang non dermatofitosis salah satunya pityriasis versikolor yang
disebabkan oleh jamur malassezia.1
Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial yang kronik pada
stratum korneum kulit, lebih banyak dijumpai di daerah tropis oleh karena
tingginya temperatur dan kelembaban. Menyerang hampir semua usia terutama
remaja, terbanyak pada usia 16-40 tahun. Ada perbedaan antara pria dan wanita,
walaupun di Amerika Serikat dilaporkan bahwa penderita berusia 20-30 tahun
dengan perbandingan 1,09% pria dan 0,6% wanita. Insiden yang akurat di
Indonesia belum ada namun diperkirakan 40-50% dari populasi di negara tropis
yang terkena penyakit ini, sedang di Negara subtropis yaitu Eropa Tengah dan
Utara hanya 0,5-1% dari semua penyakit jamur. Pitiriasis versikolor memiliki
karakteristik berupa makula yang multipel dan bercak lesi yang bervariasi mulai
dari hipopigmentasi, kekuning-kuningan, kemerahan sampai kecoklatan atau
hiperpigmentasi tergantung dari warna normal kulit pasien.Bercaknya berbentuk
tidak teratur sampai teratur, berbatas jelas sampai difus, ditutupi skuama halus
dengan rasa gatal (ringan), atau asimtomatik (tanpa gejala atau tanpa keluhan),

1
dan hanya gangguan kosmetik saja. Pasien sering melaporkan bahwa lesi kulit
yang terlibat tidak menjadi gelap seperti kulit pada bagian tubuh yang lain di
musim panas. Keluhan gatal, meskipun ringan, merupakan salah satu alasan
penderita datang berobat.Bercaknya terutama meliputi badan, dan kadang-kadang
dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka, dan kulit
kepala yang berambut.1,2
Kondisi-kondisi tertentu menjadi faktor predisposisi adanya infeksi dari
Malassezia sp.antara lain keringat berlebih, suhu yangpanas, dan kelembaban
yang tinggi. Penggunaan steroid jangka penjang dan kondisi imunodefisiensi juga
berperan dalam terjadinya infeksi. Diagnosis klinis pitiriasis versikolor ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan adanya gambaran klinis berupa makula
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi yang berbatas tegas, tertutup skuama halus.
Serta pemeriksaan penunjang dengan lapu Wood yang akan menunjukkan warna
kuning keemasan pada lesi yang bersisik, selain itu pemeriksaan mikroskopis
sediaan skuama dengan KOH memperlihatkan adanya gambaran spaghetti and
meatball. 1,2
Penatalaksanaan pitiriasis versikolor berupa terapi topikaldan sistemik.
Pada umumnya prognosis dari pitiriasis versikolor ini baik bila pengobatan
dilakukan meyeluruh, tekun dan konsisten. 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Ptiriasis Versicolor
2.1.1 Definisi
Pityriasis versikolor adalah infeksi kulit superfisial kronik yang
disebabkan oleh ragi genus Malassezia. Penyakit jamur kulit ini adalah
penyakit kronis yang ditandai adanya depigmentasi atau diskolorasi
berskuama halus disertai rasa gatal. Kelainan ini umumnya menyerang
badan dan kadang- kadang terlihat di ketiak, sela paha,tungkai atas, leher,
muka dan kulit kepala. Nama lainnya adalah tinea versikolor atau panu.1,3
2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Ptiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia spp. yang
merupakan ragi bersifat lipofilik yang merupakan flora normal kulit dan
jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk ragi juga dapat berubah menjadi
hifa. Dahulu ragi ini digolongkan sebagai genus Pityrosporum (terdiri atas
Pityrosporum ovale dan Pityrosporum orbiculare) dan kemudia
klasifikasinya diubah menjadi genus Malassezia.4,5
Ada 6 spesies lipofilik berdasarkan analisis genetik yakni M.
furfur, M. simpodialis, M. globosa, M. restricta, M. slooffiae, M. obtusa,
M. Pachidermatis. Sifat lipofilik yang dimiliki oleh Malassezia ini yang
menyebabkannya banyak berkolonisasi pada area yang banyak sekresi
kelenjar sebasea. Peningkatan sekresi sebum oleh kelenjar sebasea akan
mempengaruhi pertumbuhan berlebihan dari organisme bersifat lipofilik
ini. Produksi sebum berbeda pada tiap usianya. Isidensi terjadi pada saat
kelenjar sebasea paling aktif yaitu masa pubertas dan dewasa awal.
Organisme yang biasanya ditemukan adalah M. furfur. Penyebab paling
sering menjadi penyebab Ptiriasis Versikolor ialah M. furfur.4
Faktor predisposisi infeksi jamur ini terdiri dari faktor endogen
seperti genetik, usia, produksi sebum dan keringat, hygiene individu,
immunocompromised, malnutrisi, Cushing syndrome atau faktor eksogen
seperti suhu, kelembapan udara, oklusi oleh pakaian, penggunaan krim
atau losion, dan rawat inap.
a. Genetik

3
Predisposisi genetik terjadi pada keluarga yang rentan terhadap
infeksi jamur.
b. Usia
PV paling sering terjadi pada usia 15-64 tahun yang merupakan
usia produktif bekerja sehingga produksi kelenjar keringat dan sebum
meningkat.
c. Produksi sebum dan keringat
Produksi sebum oleh kelenjar sebasea akan mempengaruhi
pertumbuhan berlebihan Malassezia. Produksi sebum berbeda tiap
usianya. Insidensi terjadi saat kelenjar sebasea bekerja paling aktif
yaitu masa pubertas dan dewasa awal.
Orang dengan hiperhidrosis mempunyai kecenderungan untuk
terjadi pertumbuhan jamur ini. Stratum korneum melunak pada
keadaan basah dan lembab sehingga mudah ditumbuhi jamur
Malassezia.
d. Faktor imunologi
Insidensi infeksi jamur meningkat pada sejumlah penderita dengan
penekanan sintem imun tinggi misalnya penderita kanker, Human
Immunodeficiency Virus (HIV), dan penyakit cushing.
e. Malnutrisi
Kekurangan beberapa zat gizi akan memudahkan pertumbuhan
jamur oportunis.
f. Suhu dan kelembaban
Daerah tropis dengan suhu panas dan kelembaban tinggi akan
meningkatkan produksi sebum dan keringat sehingga pertumbuhan
Malassezia sp. meningkat.

2.1.3 Epidemiologi
Penyakit ptiriasis versikolor merupakan penyakit universal
terutama pada daerah tropis, tidak ada perbedaan kejadian antara laki-laki

4
dan perempuan. Biasanya menyerang remaja muda dan dewasa (15-
24tahun) namun jarang pada bayi dan juga manula. Penyakit ini bisa
mengenai semua ras tanpa terkecuali.4,5
Pityriasis versikolor terdistribusi ke seluruh dunia, tetapi pada
daerah tropis dan daerah subtropis. Di daerah tropis insiden dilaporkan
sebanyak 40%, sedangkan pada daerah yang lebih dingin angka insiden
lebih rendah, sekitar 3% pasien mengunjungi dermatologis. Di Inggris,
insiden dilaporkan sekitar 0,5% sampai 1% diantara penyakit kulit.
Pityriasis versikolor kebanyakan menyerang orang muda. Grup umur yang
terkena 25-30 tahun pada pria dan 20-25 pada wanita.6
Di Indonesia, penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang
banyak ditemukan diantara berbagai penyakit lain yang disebabkan oleh
jamur hal ini dikaitkan dengan iklim tropis, namun jumlah mengenai
datanya belum diketahui karena penderita jarang memeriksakan kasus
ini.4,5
2.1.4 Patogenesis
Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi sporofit akan berubah
menjadi bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit pada ptiriasis
versikolor dan didukung pula oleh faktor predisposisi yang menyertainya.
Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan warna
pada lesi kulit yakni Malassezia memproduksi berbagai metabolit yang
dapat menyebabkan perubahan warna pada lesi.4
Hipopigmentasi terjadi akibat :
a) Pitiriasitrin dan pitirialakton yang mampu menyerap sinar UV.
b) Asam azaleat, asam dekarboksilat yang menurunkan produksi
melanosit dengan menghambat enzim tirosinase.
c) Malassezin yang menginduksi apoptosis melanosit.
d) Malassezindole A, aktivitasnya menghambat kerja tirosinase dan
mengganggu sintesis tirosinase.
e) Keto-malassezin sebagai inhibitor tirosinase dengan menghambat
reaksi DOPA (3,4-di hidroksifenilalanin) melanosit.

5
f) Metabolit lain seperti indirubin, ICZ, pitiriarubin, dan triptanthrin.5
Lesi hiperpigmentasi mungkin berhubungan dengan variasi respons
inflamasi terhadap infeksi. Tampak peningkatan ukuran melanosom
(makromelanosom) dan penebalan pada stratum korneum. Walaupun in
vitro membuktikan bahwa L-3,4-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) pada
Malassezia mampu menginduksi sintesis melanin, namun secara in vivo
belum dapat dibuktikan.5
2.1.5 Manifestasi Klinis
Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai
gatal pada keluhan pasien. Pasien yang menderita Pityriasis versikolor
biasanya mengeluhkan bercak pigmentasi dengan alasan kosmetik. Lesi
ptiriasis versikolor terdapat pada daerah yang ditutupi pakaian, seperti
dada, punggung, perut, lengan atas, paha, leher. Lesi berupa makula
berbatas tegas, ada hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan kadang
eritematosa dengan ukuran lesi dapat milier, lentikuler, numuler sampai
plakat. Ada dua bentuk yang sering dijumpai:7
1. Bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan squama
halus diatasnya, dan tepi tidak meninggi.
2. Bentuk folikuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar
rambut.
Pada orang kulit putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap
dibandingkan kulit normal, sedangkan pada orang berkulit hitam atau
gelap, lesi cenderung putih. Hal ini sesuai dengan pitiriasis yang berarti
penyakit dengan skuama halus seperti tepung dan versicolor yang berarti
bermacam warna. Terdiri atas berbagai ukuran dan berskuama halus.
Kadang juga disertai rasa gatal terutama saat berkeringat.4,5

6
Gambar 2.1 Pityriasis versicolor menunjukkan lesi hiperpigmentasi
dalam lesi Kaukasia (kiri) dan hipopigmentasi dalam Aborijin
Australia (kanan)
2.1.6 Diagnosis
a. Anamnesis : penderita mengeluhkan adanya rasa gatal terutama pada
saat berkeringat. Penderita pada umumnya hanya mengeluhkan adanya
bercak/macula berwarna putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan
(hiperpigmentasi).4,8
b. Pemeriksaan Fisik : ditemukan lesi di daerah predileksi berupa makula
berbatas tegas berwarna putih, kemerahan, sampai dengan hitam, yang
memiliki skuama halus.4,5
c. Pemeriksaan Penunjang :
- Pemeriksaan kerokan kulit
Pemeriksaan ini memperlihatkan kelompok sel ragi bulat
berdinding tebal dengan miselium kasar, sering terputus-putus
(pendek-pendek), yang akan lebih mudah dilihat dengan
penambahan zat warna tinta parker blue-black atau biru laktofenol.
Gambaran ragi dan miselium tersebut sering dilukiskan sebagai
“meat ball and spageti” .
Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok
bagian kulit yang mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan
dengan kapas alcohol 70%, lalu dikerok dengan skapel steril dan
jatuhnya ditampung dalam lempeng-lempeng steril. Sebagian dari
bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH 10% yang di beri
tinta parker biru hitam, dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas
penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya
memang jamur, maka akan terlihat garis yang memiliki indeks bias

7
lain dari sekitarnya dan jarak- jarak tertentu dipisahkan oleh sekat-
sekat atau seperti butir-butir yang bersambung seperti kalung. Pada
ptiriasis versicolor hifa tampak menunjukkan kumpulan hifa
pendek dan sel ragi bulat, kadang oval dengan spora yang
berkelompok.

Gambar 2.2 Spaghetti


and meatball
appearance pada
pemeriksaan
mikroskopis PV
menggunakan KOH 10%
- Lampu Wood
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan fluoresensi kuning
keemasan sampai orange akibat metabolisme asam dikarboksilat,
yang digunakan sebagai petunjuk lesi ptiriasis versikolor dan
mendeteksi sebaran lokasi.4

Gambar 2.3 PV
dengan
pemeriksaan lampu wood

8
- Uji Provokasi Skuama
Pada uji provokasi skuama dapat ditemukan dua tanda,
yaitu evoked scale sign dan Sukma’s sign. Dikatakan bahwa pada
evoked scale sign hanya didapatkan pada infeksi PV, dimana
terjadi perubahan struktural lapisan kulit akibat peningkatan
kerapuhan stratum korneum akibat keratinase yang diproduksi
jamur Malassezia yang menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur sehingga ketika diregang stratum korneum
akan mengendur dan skuama terlihat. Sedangkan Sukma’s sign
dapat digunakan untuk membedakan PV dengan pitiriasis alba.9
Uji provokasi skuama sangat sederhana dan mudah
dilakukan. Pemeriksa menggunakan ibu jari dan jari telunjuk untuk
meregangkan kulit searah 180°. Lesi kering dapat digores
menggunakan ujung kuku untuk memunculkan skuama yang
melapisi daerah lesi. Sel-sel abnormal akan terangsang untuk
membentuk lapisan deskuamasi yang patogmonik untuk infeksi
PV, dalam hal ini evoked scale sign dinilai positif.9

Gambar 2.4 Uji provokasi skuama pada PV


2.1.7 Differential Diagnosis
Terdapat beberapa kelainan dengan klinis yang mirip dengan PV,
yakni pitiriasis alba, eritrasma, vitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis
rosea, morbus hansen tipe tuberkuloid, dan tinea. 10

2.1.8 Penatalaksanaan

9
a. Mengidentifikasi faktor predisposisi dan menyingkirkan yang dapat
dihindari10
b. Obat topikal yang dapat digunakan, antara lain :10
- Selenium Sulfide bentuk sampo 1,8% atau bentuk lotion 2,5% yang
dioleskan tiap hari selama 15-30 menit dan kemudia dibilas.
- Ketokonazol 2% bentuk shampoo
- Solusio natrium hiposulfit 20%
- Solusio propilen glikol 50%.
- Untuk lesi terbatas, beberapa krim derifat azol misalnya (mikonazol,
klotrimazol, isikonazol, ekonazol) dapat digunakan. Krimtol siklat,
tolnaftat, siklopiroksilamin, dan haloprogin.
c. Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gatal
dengan terapi topikal, antara lain :
- Ketokonazol 200 mg/hari selama 5-10 hari
- Itrakonazol 200 mg/hari selama 5-7 hari.
d. Pengobatan rumatan (maintenance) dipertimbangkan untuk
menghindari kambuhan pada pasien yang sulit menghindari faktor
predisposisi antara lain dengan : 4,10
- Shampoo selenium sulfide secara periodis
- Dengan obat sistemik : ketokonazol 400 mg 1x setiap bulan atau
200 mg sehari selama 3 hari tiap bulan.
2.1.9 Prognosis
Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan bila pengobatan dilakukan
menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di teruskan 2 minggu
setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan
langsung negatif. 8,10
2.2 Efektivitas Obat Antifungal terhadap Ptiriasis Versikolor
Pitiriasis versikolor pada umumnya cukup memberi respons terhadap
terapi topikal, namun membutuhkan waktu yang cukup lama dan kurang
berhasil pada lesi yang luas. Pengetahuan farmakologi obat dapat membantu

10
memperkirakan efektivitas obat terhadap berbagai infeksi jamur maupun
kemungkinan terjadinya efek samping obat. 11
Daftar obat untuk Pitiriasis Versikolor yang ada di Indonesia 12,13

11
Obat anti jamur topikal merupakan pilihan utama terapi PV dan dapat
digunakan untuk lesi minimal. Keuntungan penggunaan anti jamur topikal
dibanding sistemik adalah efek samping dan komplikasi lebih kecil, insiden
akibat interaksi obat lebih sedikit, mudah digunakan, dan umumnya harga
lebih murah. Antijamur golongan azol yang tersedia dalam formula topikal
yaitu golongan imidazol. Imidazol memiliki sifat keratinofilik kuat sehingga
dapat melakukan penetrasi dengan baik ke stratum korneum. Contoh
antijamur golongan ini antara lain ketokonazol, mikonazol, kotrimazol,
ekonazol, oksikonazol, dan sulkonazol. 11,13
Pada kasus PV obat antijamur sistemik merupakan pilihan terapi lini
kedua yang dapat digunakan pada lesi luas, kasus kambuh atau kegagalan
pengobatan menggunakan antijamur topikal. Obat sistemik yang paling
sering dan efektif digunakan yaitu golongan azol (ketokonazol, flukonazol,
itrakonazol) yang masing-masing dikonsumsi selama ± selama 5 hari.11,13
Regimen yang dianjurkan untuk PV yaitu ketokonazol 200 mg sekali
sehari selama seminggu. Pilihan antijamur sistemik lainnya adalah
itrakonazol 400mg dosis tunggal, atau 200 mg sekali sehari selama 7 hari,
atau flukonazol 400 mg dosis tunggal. 11
Ketokonazol merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk
pengobatan infeksi Malassezia spp. Preparat ini memiliki efek fungistatik
dan fungisidal pada konsentrasi yang tinggi. Mekanisme kerja ketokonazol
yaitu dengan menghambat sintesis ergosterol yang merupakan sterol utama
pada membran sel jamur dengan menghambat cytochrome P450-dependent
lanosterol 14a-demethylase. Akibatnya ergosterol akan berkurang dan terjadi
akumulasi lanosterol. Perubahan tersebut mengakibatkan perubahan
permeabilitas dan kerusakan struktur membran sel yang menyebabkan
gangguan pertumbuhan jamur bahkan sampai terjadi kematian sel jamur.
Pada anak-anak ketokonazol diberikan 3,3-6,6mg/kg/BB/hari. Efek samping
dari pemberian ketokonazol adalah mual, muntah, nyeri perut; sakit kepala;
ruam, urtikaria, pruritus; jarang trombositopenia, parestesia, fotofobia,
pusing, alopesia, ginaekomastia dan oligospermia; kerusakan hati fatal

12
Peringatan: risiko terbentuknya hepatitis lebih besar jika diberikan lebih dari
14 hari. Obat ini tidak dianjurkan pada. Obat ini tidak dianjurkan pada orang
dengan gangguan hati; kehamilan dan menyusui.11, 14,15
Sama halnya dengan ketokonazol, itrakonazol juga menghambat 14a-
demethylase, sehingga terjadi gangguan sintesis sterol dalam membran sel
fungal. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak dan lansia. Efek samping dari
pemberian itrakonazol adalah mual, sakit perut, dispepsia, konstipasi, sakit
kepala, pusing, kenaikan enzim hati, gangguan haid, reaksi alergi (pruritus,
ruam, urtikaria, angioudem), hepatitis dan ikterus kolestatik (terutama bila
pengobatan melebihi satu bulan); neuropati perifer (hentikan obat), pernah
dilaporkan sindrom Stevens-Johnson; hipokalemia pada penggunaan jangka
panjang, udem dan rambut rontok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jain
dkk (2007), menyarankan pemberian ketokonazol oral, 200mg per hari
selama 5 hari, atau itrakonazol oral 200 mg per hari selama 5 hari dan
keduanya, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna untuk pengobatan
PV. Kedua obat ditoleransi dengan baik dan aman. 11,14,15
Flukonazol adalah antijamur turunan triazol, bekerja menghambat sintesis
ergosterol sitokrom P450 yang serupa dengan itrakonazol dan ketokonazol. Studi
menunjukkan bahwa flukonazol setara dengan atau bahkan lebih efektif daripada
ketokonazol oral dalam mengobati pitiriasis versikolor. Efikasi regimen mingguan
flukonazol adalah 150 mg atau 300 mg setiap minggu dalam 4 minggu, atau 300 mg
dua kali seminggu selama 4 minggu. Empat minggu setelah pengobatan terakhir,
penyembuhan mikologik untuk regimen 300 mg secara signifikan lebih tinggi dari
150 mg flukonazol. Sehingga direkomendasikan 300 mg flukonazol dua kali
seminggu direkomendasikan untuk terapi pitiriasis versikolor. Efek samping
dari flukonazol adalah nausea, sakit perut, diare, kembung; gangguan enzim
hati; kadang-kadang ruam (hentikan obat atau awasi secara ketat);
angioudem, anafilaksis, lesi bulosa, nekrolisis epidermal toksik, sindrom
Stevens-Johnson; pada pasien AIDS pernah dilaporkan reaksi kulit yang
hebat11,14,15
Perbandingan terapi telah dilaporkan oleh Montero-Gei dkk (1999),
yang menggunakan flukonazol 450 mg dosis tunggal, flukonazol dua dosis

13
300 mg dalam satu minggu dan itrakonazol 200 mg per hari selama 7 hari.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan flukonazol dua dosis 300 mg dalam
seminggu lebih efektif dibandingkan dengan flukonazol dosis tunggal, tetapi
sama efektifnya dengan itrakonazol 200 mg per hari selama 7 hari. 11
Gupta dkk. (2003) melaporkan bahwa itrakonazol dan flukonazol
cukup aman dan dapat ditoleransi dengan baik untuk anak-anak. Efektivitas
dua jenis regimen dalam studi ini dinilai efektif setelah 1 minggu
pengobatan. Hal tersebut tampak dari lesi yang tidak lagi berskuama dan
hasil pemeriksaan penunjang (lampu Wood dan mikroskopik langsung)
memberikan hasil yang negatif. Makula hipopigmentasi secara perlahan akan
kembali normal setelah beberapa minggu sampai beberapa bulan. 11
Terbinafin merupakan salah satu derivat alilamin, dengan
menghambat squalene epoxidase, ia menghalangi biosintesis sterol dan
mengubah integritas membran sel jamur. Krim terbinafin setara dengan
ketokonazol topikal dan krim bifonazol, dengan penyembuhan lengkap
berkisar 88% sampai 100%. Efek samping dari pemberian terbinafin adalah
ketidaknyamanan pada perut, anoreksia, mual, diare; sakit kepala; ruam kulit
dan urtikaria kadang dengan artralgia atau mialgia; gangguan pengecapan
(kadang-kadang); hentikan pengobatan jika terjadi toksisitas liver (jarang)
(termasuk jaundice, kolestasis, dan hepatitis), angiodema, pusing, rasa badan
tidak enak, paraesthesia, hipoasthesia, fotosensitivitas, reaksi kulit serius
termasuk sindrom Steven-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (hentikan
pengobatan jika terjadi ruam kulit yang progresif); gangguan psikiatri
(jarang), kelainan darah (termasuk leukopenia dan trombositopenia), efek
menyerupai lupus eritematosus, dan psoriasis yang memburuk. Terbinafin
oral merupakan suatu alilamin, tidak direkomendasikan untuk pengobatan
kelainan terkait Malassezia, karena obat ini tidak dihantarkan secara efisien
ke permukaan kulit. Obat ini tidak dianjurkan pada gangguan fungsi hati,
gangguan fungsi ginjal; kehamilan, dan menyusui.14,15

14
Efek samping yang dapat timbul karena penggunaan antifungal
sistemik yaitu peningkatan ringan fungsi hati yang bersifat sementara dan
gangguan gastrointestinal.11

2.3 Integrasi Keislaman


Dalam QS Al-Baqarah ayat 195 :

Artinya :
“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan
(diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan
berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.”(QS Al-Baqarah:195) (Al-Qur’an Al-Karim)16
Maksud dari ayat tersebut ialah hendaknya manusia menjaga
dirinya dari kebinasaan yang dapat disebabkan oleh dirinya sendiri. Ayat
ini berhubungan dengan penyakit kulit yakni ptiriasis versikolor, dimana
diketahui bahwa penyebab penyakit ini adalah Malassezia spp. Adapun
faktor predisposisi dari infeksi jamur ini berupa hygiene individu yang
buruk dan malnutrisi. Sehingga untuk mencegah terjadinya penyakit ini,
diperlukan perbaikan gizi dan menjaga hygienitas agar pertumbuhan dari
Malassezia spp dapat terhambat.

15
BAB III
KESIMPULAN

Pityriasis versikolor adalah infeksi kulit superfisial kronik yang


disebabkan oleh ragi genus Malassezia. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit
kronis yang ditandai adanya depigmentasi atau diskolorasi berskuama halus
disertai rasa gatal. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang- kadang
terlihat di ketiak, sela paha, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala. Nama
lainnya adalah tinea versikolor atau panu.
Faktor predisposisi infeksi jamur ini terdiri dari faktor endogen seperti
genetik, usia, produksi sebum dan keringat, hygiene individu,
immunocompromised, malnutrisi, Cushing syndrome atau faktor eksogen seperti
suhu, kelembapan udara, oklusi oleh pakaian, dan penggunaan krim atau losion.
Pityriasis versikolor kebanyakan menyerang orang muda. Grup umur yang terkena
25-30 tahun pada pria dan 20-25 pada wanita. Pitiriasis versikolor memiliki
karakteristik berupa makula yang multipel dan bercak lesi yang bervariasi mulai
dari hipopigmentasi, kekuning-kuningan, kemerahan sampai kecoklatan atau
hiperpigmentasi tergantung dari warna normal kulit pasien. Bercaknya berbentuk
tidak teratur sampai teratur, berbatas jelas sampai difus, ditutupi skuama halus
dengan rasa gatal (ringan), atau asimtomatik (tanpa gejala atau tanpa keluhan),
dan hanya gangguan kosmetik saja.
Diagnosis klinis pitiriasis versikolor ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan adanya gambaran klinis berupa makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi
yang berbatas tegas, tertutup skuama halus. Serta pemeriksaan penunjang dengan
lapu Wood yang akan menunjukkan warna kuning keemasan pada lesi yang
bersisik, selain itu pemeriksaan mikroskopis sediaan skuama dengan KOH

16
memperlihatkan adanya gambaran spaghetti and meatball, uji provokasi skuama
menunjukkan evoked scale sign positif.
Penatalaksanaan pitiriasis versikolor berupa terapi topikal dan sistemik.
Pada umumnya prognosis dari pitiriasis versikolor ini baik bila pengobatan
dilakukan meyeluruh, tekun dan konsisten.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah


S, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI; 2007.
2. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infection : Candidiasis and Tinea
(pityriasis) Versicolor. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th Edition. New York : McGraw-Hill; 2008
3. Siregar. Saripati Penyakit Kulit, Ed.2 .Jakarta : EGC; 2004
4. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi keenam.Jakarta :
FKUI; .2010
5. Tan, Sukmawati Tansil. Uji Provokasi Skuama pada Pitiriasis Versikolor .
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara; 2015
6. Budimulja, Unandar. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2006
7. Johnson. R.A, Suurmond. D . Fitzpatrick’s, The Color Atlas and Synopsis
of Clinical Dermatology, fifth edition. E-book : The McGraw-Hill
Companies; 2007
8. Radiono S. pityriasis versicolor. In :Budimulja U, Kuswadji, Bramono K,
Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis
superfisialis : pedoman untuk dokter dan mahasiswa kedokteran.
Jakarta : balai penerbit FK UI; 2001
9. Budimulja, Unandar. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7 Jakarta :
Balai Penerbit FKUI; 2016.

17
10. Champion RH. Eczema, Lichenification, Prurigo, and Ertthroderma In:
Champion RH eds. Rook‟s, textbook of dermatology,Washington ;
Blackwell Scientific Publications; 1992.
11. Evi Mustikawati Arifin, dkk. Efektivitas Itrakonazol Dosis Tunggal Dan
Ketokonazol Dosis Kontinyu Pada Pitiriasis Versikolor: Laporan Kasus
Serial. MDVI ; 2013
12. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis)
versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2012
13. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono
K, Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S,Ervianti E, editor.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2013
14. Pusat Informasi Obat Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan.
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/53-anti-jamur
15. Pramono, Annisa Shafira. Pitiriasis Versikolor: Diagnosis dan Terapi. J
Agromedicine ; 2018
16. Al-Qur’an Al-karim

18

Anda mungkin juga menyukai