PERDARAHAN UTERUS
ABNORMAL
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Oleh:
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Perdarahan Uterus Abnormal”. Salawat dan salam semoga selalu tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari
alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis menyadari
bahwa penyusunan tugas Laporan Kasus ini tidak terwujud tanpa adanya bantuan
dan bimbingan serta dukungan dari dosen pembimbing. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Dewi
Karlina Rusly, Sp. OG yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan
tugas Referat ini.
Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan tugas
Referat ini, namun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan
tulisan ini. Akhir kata penulis berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan semua pihak khususnya di bidang kedokteran serta dapat memberikan
sumbangan pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan uterus abnormal adalah salah satu alasan paling umum bagi
perempuan untuk mencari perawatan. Sekitar setengah dari wanita dengan
perdarahan uterus abnormal berada pada usia reproduksi. Hal ini adalah masalah
baik medis maupun sosial. Perdarahan uterus abnormal adalah penyebab anemia
defisiensi besi paling umum di negara maju dan penyebab paling umum bagi
penyakit kronis di negara berkembang. Prevalensi perdarahan uterus abnormal
dalam kelompok usia reproduksi berkisar antara 9% sampai 30%.1,2
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal
jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak,
sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan.1,2
Berdasarkan International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO), terdapat 9 kategori utama pendarahan uterus abnormal yang disusun sesuai
dengan akronim PALM COEIN yakni polip, adenomiosis, leiomioma, malignancy
dan hiperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial, iatrogenik, dan
not yet classified. Perdarahan uterus abnormal adalah diagnosis eksklusi. Riwayat
menstruasi dan pemeriksaan fisik digunakan sebagai evaluasi pertama. Tes
laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan histologis dapat juga diindikasikan.1,2
Penanganan dari Perdarahan uterus abnormal sesuai dengan etiologi yang
mendasari terjadinya gangguan ini. Diperlukan penanganan yang komperehensif
untuk mencegah perburukan dari pasien dengan perdarahan uterus abnormal.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal
jumlah maupun lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak,
sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia
saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding
(HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor
koagulopati, gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan ovulasi
merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus
disfungsional (PUD).3
2.2 Epidemiologi
Perdarahan uterus abnormal merupakan salah satu alasan paling umum bagi
perempuan untuk mencari perawatan. Sekitar setengah dari wanita dengan
perdarahan uterus abnormal berada pada usia reproduksi. Hal ini adalah masalah
baik medis maupun sosial. Selain itu, perdarahan uterus abnormal adalah penyebab
anemia defisiensi besi paling umum di negara maju dan penyebab paling umum
bagi penyakit kronis di negara berkembang. Prevalensi perdarahan uterus abnormal
dalam kelompok usia reproduksi berkisar antara 9% sampai 30%. Perdarahan uterus
abnormal adalah diagnosis eksklusi. Riwayat menstruasi dan pemeriksaan fisik
digunakan sebagai evaluasi pertama. Tes laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan
histologis dapat juga diindikasikan.1,2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmed di Lady Willingdon
Hospital, Lahore, dari Agustus 2010 sampai Juli 2011 didapatkan sebanyak 2.109
perempuan atau sekitar 19,6% dari total 10.712 wanita yang mengunjungi klinik
pasien rawat jalan ginekologi yang didiagnosis menderita perdarahan uterus
abnormal. Kategorisasi PALM-COEIN dilakukan pada 991 (47%) kasus yang
menunjukkan 30 (3%) menderita polip, 150 (15%) adenomiosis, 250 (25%)
2
Leiomioma, 66 (6,6%) keganasan dan hiperplasia, 3 (0.3%) koagulopati , 236
(24%) disfungsi ovulasi, 48 (5%) endometritis, dan 53 (6%) iatrogenik. Sisanya 155
(15%) kasus yang tak terkategorikan.3
2.3 Klasifikasi
3
Gambar. Pembagian PUA
PALM COEIN
A. Polip E. Coagulopathy
B. Adenomiosis F. Ovulatory
dysfunction
C. Leiomioma G.
Endometrial
D. Malignancy and H. Iatrogenik
hyperplasia
I. Not yet classified
Gambar. Klasifikasi PUA
4
a) Polip (PUA-P)
Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik bertangkai
maupun tidak, berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan kelenjar endometrium
dan dilapisi oleh epitel endometrium. Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi
dapat pula menyebabkan PUA. Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik
atau ganas. Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau
histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi. Histopatologi pertumbuhan
eksesif lokal dari kelenjar dan stroma endometrium yang memiliki vaskularisasi
dan dilapisi oleh epitel endometrium. 1,2
b) Adenomiosis (PUA-A)
Adenomiosis ditandai dengan pembesaran rahim yang disebabkan oleh sisa
ektopik dari endometrium -baik kelenjar maupun stroma- yang terletak dalam di
miometrium. Sisa ini dapat tersebar di seluruh miometrium -adenomiosis difusa,
atau mungkin membentuk nodul fokal yang berbatas tegas -adenomiosis fokal.3
Gejala yang sering ditimbulkan yakni nyeri haid, nyeri saat snggama, nyeri
menjelang atau sesudah haid, nyeri saat buang air besar, atau nyeri pelvik kronik.
Gejala nyeri tersebut diatas dapat disertai dengan perdarahan uterus abnormal.
Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan endometrium
pada hasil histopatologi. Adenomiosis dimasukkan ke dalam sistem klasifikasi
berdasarkan pemeriksaan MRI dan USG. Mengingat terbatasnya fasilitas MRI,
pemeriksaan USG cukup untuk mendiagnosis adenomiosis. Dimana hasil USG
menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium dan sebagian
berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium. Hasil histopatologi
menunjukkan dijumpainya kelenjar dan stroma endometrium ektopik pada jaringan
miometrium. 2,3
c) Leiomioma (PUA-L)
Leiomioma adalah neoplasma jinak otot polos yang biasanya berasal dari
miometrium. Leiomioma sering disebut sebagai mioma uteri, dan karena
kandungan kolagennya yang menyebabkan konsistensinya menjadi fibrous,
5
leiomioma sering keliru disebut sebagai fibroid. Insiden di kalangan perempuan
umumnya antara 20 hingga 25 persen, tapi telah terbukti setinggi 70 sampai 80
persen dalam studi menggunakan histologis atau pemeriksaan sonografi. Selain itu,
insiden bervariasi tergantung pada usia dan ras.3
Secara kasar, leiomioma berbentuk bulat, putih seperti mutiara, berbatas tegas,
seperti karet. Uterus dengan leiomioma biasanya memiliki 6-7 tumor dengan
ukuran yang bervariasi. Leiomioma memiliki otonomi yang berbeda dari
miometrium di sekitarnya karena lapisan jaringan ikat luarnya tipis. Hal ini
memungkinkan leiomioma untuk dapat dengan mudah "dikupas" dari uterus selama
operasi. Secara histologis, leiomioma memiliki sel-sel otot polos memanjang yang
tersusun dalam bundel. Aktivitas mitosis jarang terjadi pada leiomioma dan
merupakan kunci perbedaan dengan leiomiosarkoma.3
Gejala yang ditimbulkan berupa perdarahan uterus abnormal, penekanan
terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan dinding abdomen. Mioma uteri
umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab tunggal PUA.
Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan
mioma uteri denga endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlkah mioma
uteri. 2,3
Berikut adalah klasifikasi mioma uteri :
a. Primer, ada atau tidaknya satu atau lebih mioma uteri
b. Sekunder, membedakan mioma uteri yang melibatkan endometrium
(mioma uteri submukosum) dengan jenis mioma uteri lainnya.
c. Tersier, klasifikasi untuk mioma uteri submukosum, intramural dan
subserosum.
6
e) Coagulopathy (PUA-C)
Gangguan hemostatis sistemik yang berdampak terhadap perdarahan uterus.
Gejalanya berupa perdarahan uterus abnormal. Terminologi koagulopati digunakan
untuk kelainan hemostatis sistemik yang terkait dengan PUA. Tiga belas persen
perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan hemostatis sistemik,
dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von Willebrand.
g) Iatrogenik (PUA-I)
Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis
seperti penggunaan estrogen, progestin, AKDR. Perdarahan haid diluar jadwal yang
terjadi akibat penggunaan estrogen atau progestin dimasukkan dalam istilah
perdarahan sela atau breakthrough bleeding. Perdarahan sela terjadi karena
rendahnya konsentrasi estrogen dalam sirkulasi yang disebabkan oleh sebagai
berikut :
Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi
Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin
Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti
koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin)
dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C.
7
h) Not yet classified (PUA-N)
Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit
dimasukkan dalam klasifikasi. Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah
endometritis kronik atau malformasi arteri-vena. Kelainan tersebut masih belum
jelas kaitannya dengan kejadian PUA.
2.4 Patofisiologi
Endometrium terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu lapisan fungsionalis
dan lapisan basalis Lapisan basalis terletak di bawah lapisan fungsionalis,
berkontak langsung dengan miometrium, dan kurang responsif terhadap hormon.
Lapisan basalis berfungsi sebagai reservoir untuk regenerasi pada saat menstruasi
sedangkan lapisan fungsionalis mengalami perubahan sepanjang siklus menstruasi
dan akhirnya terlepas saat menstruasi. Secara histologis, lapisan fungsionalis
memiliki epitel permukaan yang mendasari pleksus kapiler subepitel.
Uterus divaskularisasi oleh dua arteri uterina. Di lateral bawah uterus, arteri
uterina pecah menjadi dua cabang yaitu arteri vaginalis yang mengarah ke bawah
dan cabang asenden yang mengarah ke atas. Cabang asenden dari kedua sisi uterus
membentuk dua arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan kavum uteri. Kedua
arteri arkuata tersebut membentuk anastomose satu sama lain, membentuk cincin
yang melingkari kavum uteri. Arteri radialis merupakan cabang kecil arteri arkuata
yang berjalan meninggalkan arteri arkuata secara tegak lurus menuju kavum uteri.
Arteri radialis memiliki fungsi untuk memperdarahi miometrium lalu pada saat
memasuki lapisan endometrium, arteri radialis memberi cabang arteri yang lebih
kecil ke arah lateral yaitu arteri basalis. Arteri basalis memiliki fungsi untuk
memperdarahi lapisan basalis endometrium dan tidak sensitif terhadap stimulus
hormon. Arteri radialis kemudian memasuki lapisan fungsionalis endometrium dan
menjadi arteri spiralis. Arteri spiralis sangat peka terhadap stimulus hormon dan
bertugas untuk memperdarahi lapisan fungsionalis endometrium.
Sebelum terjadinya menstruasi, pada arteri ini terjadi peningkatan statis aliran
darah, kemudian terjadi vasodilatasi dan perdarahan dari arteri spiralis dan dinding
8
kapiler. Maka dari itu darah menstruasi akan hilang melalui pembuluh darah
tersebut. Hal ini diikuti dengan terjadinya vasokonstriksi yang menyebabkan iskemi
dan nekrosis endometrium. Kemudian jaringan nekrotik tersebut lalu luruh saat
menstruasi.2, 4, 5
Perdarahan uterus disfungsional anovulasi merupakan pendarahan tidak
teratur yang berkepanjangan dan berlebihan disebabkan oleh terganggunya fungsi
aksis hipotalamus- hipofisis-ovarium. Hal ini sering terjadi pada wanita dalam usia
ekstrim, yaitu pada masa perimenarchal dan perimenopausal. Pada masa tersebut
terjadi perubahan siklus antara ovulasi dan anovulasi sehingga mengakibatkan
keketidakteraturan pola menstruasi serta kehilangan darah dalam jumlah yang
banyak. Mekanisme anovulasi tidak diketahui secara pasti, tetapi diketahui bahwa
estrogen dapat menyebabkan proliferasi endometrium berlebihan dan hiperplasia
dengan peningkatan dan melebar pembuluh darah dan supresi arteri spiralis.
Pembuluh darah superfisial pada permukaan endometrium yang hiperplasia
menjadi besar, berdinding tipis, dan melengkung. Perubahan tersebut yang menjadi
sumber terjadinya peningkatan kehilangan darah. Paparan estrogen secara terus
menerus memiliki efek langsung terhadap pasokan darah uterus dengan mengurangi
tonus pembuluh darah. Efek tidak langsung dari estrogen melalui penghambatan
terlepasnya vasopresin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran
darah. Estrogen juga merangsang ekspresi VEGF (Vascular Endothelial Growth
Factor) stroma yang dapat menyebabkan terganggunya angiogenesis.
Perdarahan uterus disfungsional ovulasi ditandai dengan episode reguler
kehilangan menstruasi berat, dengan 90% dari kerugian pada 3 hari pertama seperti
pada menstruasi normal. Tidak ada gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium
dan gonadotropin dan profil steroid tidak berbeda dengan yang terlihat pada siklus
menstruasi normal. Penurunan kadar estrogen dan progesteron pada akhir fase
luteal memicu banyak proses yang mengarah terjadinya disintegrasi diikuti
epitelisasi kembali lapisan fungsional endometrium selama menstruasi. Defek
utama terdapat dalam mengontrol proses volume darah yang hilang selama
menstruasi, terutama proses vasokonstriksi dan hemostasis. Perubahan fase
folikular aliran darah endometrium pada wanita dengan perdarahan uterus
9
disfungsional ovulasi mempengaruhi gangguan fungsi yang terjadi dalam jaringan.
Jumlah estrogen di kelenjar dan stroma serta reseptor progesteron di endometrium
dapat meningkat saat fase sekresi akhir pada wanita yang menderita perdarahan
uterus disfungsional. Salah satu faktor yang berperan dalam membatasi kehilangan
banyak darah selama menstruasi yaitu prostaglandin. Pelepasaan prostaglandin
(PG) di endometrium dipengaruhi oleh kadar steroid yang bersirkulasi. PGF2α
merupakan salah satu substansi poten untuk mencegah agregrasi platelet dan
formasi plak hemostatik. Peningkatan reseptor PGE2 dan PGI2 menjadi faktor
predisposisi terjadinya vasodilatasi pada wanita dengan menoragia. Peningkatan
sintesis PGI2 menjadi prekursor dalam perdarahan uterus disfungsional ovulasi.
Pengobatan antiprostaglandin efektif dalam pengobatan perdarahan uterus
disfungsional dengan mengurangi sintesis PG di endometrium dan disertai
penghambatan menempelnya PGE pada reseptornya.
2.5 Diagnosis
10
7. Obat-obatan yang diminum (hormon, antikoagulan,dan lain-lain)
11
2. Terdapat minimal 1 (satu) keadaan dibawah ini
a. Perdarahan pasca persalinan.
b. Perdarahan yang berhubungan dengan operasi.
c. Perdarahan yang berhubungan dengan perawatan gigi.
3. Terdapat minimal 2 (dua) keadaan dibawah ini :
a. Memar 1-2 x /bulan.
b. Epistaksis 1-2 x/bulan.
c. Perdarahan gusi yang sering.
d. Riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan.5
1. Siklus haid normal dan berovulasi biasanya berkisar antara 22-35 hari,
sementara perdarahan uterus abnormal karena gangguan ovulasi biasanya
bersifat ireguler dan sering diselingi periode amenorea.
2. Untuk memastikan apakah pasien berevousi atau tidak, dapat dilakukan
pemeriksaan progesterone serum fase luteal madya atau USG transvaginal
bila diperlukan.
12
C. Pemeriksaan Ginekologi:
1. Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk
pemeriksaan pap smear.
2. Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip,
hiperplasia endometrium atau keganasan.
Penilaian ovulasi :
1. Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari.
2. Jenis perdarahan uterus abnormal karena gangguan ovulasi bersifat
ireguler dan sering diselingi amenorea.
3. Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron
serum fase luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan.6
Penilaian endometrium:
1. Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua
pasien PUA.
2. Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada:
a. Perempuan umur > 45 tahun
b. Terdapat faktor risiko genetik
c. USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium
kompleks yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau
kanker endometrium
d. Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas,
nulipara
e. Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata
umur saat diagnosis antara 48-50 tahun
3. Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan
uterus abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan).
13
4. Beberapa teknik pengambilan sampel endometrium seperti D & K dan
biopsi endometrium dapat dilakukan.6
Penilaian miometrium:
1. Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau
adenomiosis.
2. Miometrium dinilai menggunakan USG (transvaginal, transrektal dan
abdominal), histeroskopi atau MRI.
3. Pemeriksaan adenomiosis menggunakan MRI lebih unggul
dibandingkan USG transvaginal. 6
1. Polip
a. Polip biasanya bersifat asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan
perdarahan uterus abnormal.
b. Lesi umumnya jinak, namun sebagian kecil atipik atau ganas.
c. Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau
histeroskopi, dengan atau tanpa hasil histopatologi.
14
2. Adenomiosis
15
5. Koagulopati
a. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik
yang terkait dengan perdarahan uterus abnormal.
b. Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki
kelainan hemostasis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah
penyakit von Willebrand.
6. Gangguan ovulasi
a. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab perdarahan uterus
abnormal dengan manifestasi perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah
darah yang bervariasi.
b. Dahulu termasuk dalam kriteria perdarahan uterus disfungsional.
c. Gejala bervariasi mulai dari amenorea, perdarahan ringan dan jarang,
hingga perdarahan haid banyak.
d. Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik
(SOPK), hiperprolaktinemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan,
anoreksia atau olahraga berat yang berlebihan.
7. Endometrial
a. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus
haid teratur.
b. Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostasis lokal
endometrium.
c. Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti
endothelin-1 dan prostaglandin F2α serta peningkatan aktifitas fibrinolisis.
d. Gejala lain kelompok ini adalah perdarahan tengah atau perdarahan yang
berlanjut akibat gangguan hemostasis lokal endometrium.
e. Diagnosis perdarahan uterus abnormal endometrial ditegakkan setelah
menyingkirkan gangguan lain pada siklus haid yang berovulasi. 6
16
8. Iatrogenik
a. Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis
seperti penggunaan estrogen, progestin, atau AKDR.
b. Perdarahan haid di luar jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau
progestin dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough
bleeding (BTB).
c. Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam
sirkulasi yang dapat disebabkan oleh sebagai berikut :
1. Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi;
2. Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin;
3. Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna anti
koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin)
dimasukkan ke dalam klasifikasi perdarahan uterus abnormal
koagulopati.6
9. Not yet classified
a. Kategori not yet classified dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit
dimasukkan dalam klasifikasi.
b. Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik
atau malformasi arteri-vena.
c. Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian perdarahan
uterus abnormal. 6
Temuan Etiologi Perdarahan
17
Obesitas
Akantosis nigrikans
Servisitis Endometritis
18
Adenomiosis
Hematometra
Kanker endometrium
Sarkoma uterus
Pemeriksaan Laboratorium
19
dengan platelet count, partial thromboplastin time, dan prothrombin time dan
mungkin juga memeriksa tes spesial untuk penyakit von Willebrand.4
b. Pemeriksaan “Wet Prep” dan Kultur Serviks
Pemeriksaan mikroskopik dari sekresi serviks diperlukan jika perdarahan
dicurigai karena servisitis yang akan memperlihatkan gambaran sel darah
merah dan neutrofil. Servisitis sekunder karena herpes simplex virus (HSV)
juga dapat menyebabkan perdarahan dan diindikasikan untuk melakukan
kultur secara langsung. Trikomoniasis juga dapat menyebabkan servisitis dan
ektoserviks yang rapuh.4
c. Pemeriksaan Sitologi
Kanker serviks dan kanker endometrium dapat menyebabkan perdarahan
yang abnormal dan dapat sering ditemukan dengan skrining Pap smear.4
d. Biopsi Endometrium
Pada wanita dengan perdarahan abnormal, evaluasi histologi endometrium
mungkin mengidentifikasikan lesi infeksi atau neoplastik seperti hiperplasia
endometrium atau kanker. Terdapat perdarahan abnormal pada 80 sampai 90
persen wanita dengan kanker endometrium.4 Biopsi endometrium dapat
mendeteksi lebih dari 90% dari kanker. Patologi dari endometrium dapat
mendiagnosa kanker endometrium atau menentukan kemungkinan kanker.5
Pemeriksaan penunjang
a. Ultrasound
Transvaginal sonografi memungkinkan evaluasi dari kelainan anatomi uterus
dan endometrium.Selain itu, patologi dari miometrium, serviks, tuba, dan
ovarium juga dapat dievaluasi. Modalitas investigasi ini dapat membantu
dalam diagnosis polip endometrium, adenomiosis, leiomioma, anomali
uterus, danpenebalan endometrium yang berhubungan dengan hiperplasia
dan keganasan.5
b. Saline Infusion Sonohysterography
Saline infusion sonohysterography menggunakan 5 sampai 15 mL larutan
saline yang dimasukkan ke dalam rongga rahim selama sonografi
20
transvaginal dan mengimprovisasi diagnosis patologi intrauterin. Terutama
dalam kasus polip dan fibroid uterus, SIS memungkinkan pemeriksa
untukmembedakan lokasi dan hubungannya dengan kavitas uterus.SIS juga
dapat menurunkan kebutuhanMRI dalam diagnosis dan manajemen dari
anomali uterus.5
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI jarang digunakan untuk menilai endometrium pada pasien yang
memiliki perdarahan uterus abnormal. MRI mungkin membantu untuk
memetakan lokasi yang tepat dari fibroid dalam perencanaan operasi dan
sebelum terapi embolisasi untuk fibroid. Hal ini juga mungkin berguna dalam
menilai endometrium ketika USG transvaginal atautidak dapat dilakukan.5
d. Histeroskopi
Evaluasi histeroskopi untuk perdarahan uterus abnormal adalah pilihan yang
menyediakan visualisasi langsung dari patologi kavitas dan memfasilitasi
biopsi langsung. Histeroskopi dapat dilakukan dalam suasana praktek swasta
dengan atau tanpa anestesi ringan atau di ruang operasi dengan anestesi
regional atau umum. Risiko dari histeroskopi termasuk perforasi rahim,
infeksi, luka serviks, dan kelebihan cairan.5 Prosedur ini menggunakan
endoskop optik dengan diameter 3 sampai 5 mm ke dalam kavitas
endometrium. Kemudian kavitas uterus diregangkan dengan menggunakan
larutan salin. Keuntungan utama menggunakan histeroskopi adalah untuk
mendeteksi lesi intrakavitas seperti leiomioma dan polip yang mungkin
terlewati jika menggunakan sonografi atau endometrial sampling. Walaupun
akurat untuk mendeteksi kanker endometrium, namun histeroskopi kurang
akurat untuk mendeteksi hiperplasia endometrium.4
21
Gambar 3. Panduan Investigasi Evaluasi Uterus.3
22
2.7 Penatalaksanaan
23
mengatur siklus menstruasi, karena mengurangi kemungkinan perdarahan
menstruasi dan episode perdarahan berat.
Penanganan pertama ditentukan pada kondisi hemodinamik. Bila keadaan
hemodinamik tidak stabil segera masuk rumah sakit untuk perawatan perbaikan
keadaan umum. Bila keadaan hemodinamik stabil, segera dilakukan penanganan
untuk menghentikan perdarahan.
24
yaitu estrogen konjugasi dengan dosis 1,25 mg atau l7β estradiol 2 mg
setiap 6 jam selama 24 jam. Setelah perdarahan berhenti dilanjutkan
dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi. Rasa mual bisa terjadi pada
pemberian terapi estrogen.
- Progestin
Progestin diberikan selama 14 hari kemudian berhenti tanpa obat selama
14 hari, diulang selama 3 bulan. Biasanya progestin diberikan bila ada
kontraindikasi terhadap estrogen. Saat ini tersedia beberapa sediaan
progesrin oral yang bisa digunakan yaitu Medroksi progesteron aserat
(MPA) dengan dosis 2 x 10 mg, Noretisteron asetat dosis 2 x 5 mg,
Didrogesteron dosis 2 x 10 mg dan Normegestrol asetat dosis 2 x 5 mg.
Dalam pemilihan jenis progestin harus diperhatikan dosis yang kuat untuk
menghentikan perdarahan uterus abnormal. Progestin merupakan anti
estrogen yang akan menstimulasi aktivitas enzim 17β hidroksisteroid
dehidrogenasemdan sulfotranferase sehingga mengonversi estradiol
menjadi estron. Progestin akan mencegah terjadinya endometrium
hiperplasia.
B. Perdarahan lreguler
Perdarahan ireguler dapat dalam bentuk metroragia, menometroragia,
oligomenorea, perdarahan memanjang yang sudah terjadi dalam hitungan minggu
atau bulan dan berbagai bentuk pola perdarahan lainnya. Bentuk pola perdarahan di
atas digabungkan karena mempunyai penanganan yang relatif sama. Perdarahan
ireguler melibatkan banyak macam pola perdarahan dan tentunya mempunyai
berbagai macam penyebab. Metroragia, menometroragia, oligomenorea,
perdarahan memanjang, dan lain sebagainya merupakan bentuk pola perdarahan
yang bisa terjadi. Sebelum memulai dengan terapi hormon sebaiknya penyebab
sistemik dievaluasi lebih dulu,
Periksa TSH: evaluasi penyakit hipotiroid dan hipertiroid sebaiknya
dilakukan sejak awal.
Periksa prolaktin: bila ada oligomenorea atau hipomenorea
Lakukan PAP smear: bila didapatkan perdarahan pascasanggama
25
Bila curiga atau terdapat risiko keganasan endometrium: Iakukan biopsi
endometrium dan pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan dengan USG
transvagina. Bila terdapat keterbatasan untuk melakukan evaluasi seperti
tersebut di atas dapat segera melakukan pengobatan seperti di bawah ini,
yaitu:
- Kombinasi estrogen progestin, Berikan pil kontrasepsi kombinasi dosis 1
x 1 tablet sehari, diberikan secara siklik selama 3 bulan.
- Progestin, Bila terdapat kontraindikasi pemakaian pil kontrasepsi
kombinasi, dapat diberi progestin misalnya: MPA 10 mg 1 x I tablet per
hari. Pengobatan dilakukan selama 14hari dan dihentikan selama 14hari.
Pengobatan progestin diulang selama 3 bulan.
C. Menoragia
Menoragia adalah perdarahan lebih dari 80 ml atau ganti pembalut lebih dari
6 kali per hari dengan siklus yang normal teratur. Perhitungan jumlah darah
seringkali tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang keluar. Menoragia dapat
ditangani tanpa biopsi endometrium. Karena siklusnya yang masih teratur jarang
26
merupakan tanda kondisi keganasan. Walaupun demikian, bila perdarahan lebih
dari 7 hari atau terapi dengan obat gagal, pemeriksaan lanjut menggunakan USG
transvagina dan biopsi endometrium sangat dianjurkan. Pemeriksaan faal
pembekuan darah sebaiknya dilakukan. Pengobatan medikamentosa untuk
menoragia dapat dilakukan seperti di bawah ini,
Kombinasi estrogen progestin, tata cara pengobatan sesuai pada pengobatan
perdarahan ireguler
Progestin, diberikan bila terdapat kontraindikasi pemakaian estrogen. Tata
cara pengobatan sesuai dengan pengobatan perdarahan ireguler.
NSAID (Obat anti inflamasi nonsteroid)
AIat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) berisi Levonorgestrel, terbukti efektif
dan efisien dibandingkan operasi histerektomi pada kasus menoragia.
27
20 - 5O%. Efek samping secara umum adalah dapat menimbulkan keluhan
gastrointestinal dan merupakan kontraindikasi pada perempuan dengan ulkus
peptikum.
Antifibrinolisis
Endometrium memiliki sistem fibrinolitik. Pada perempuan dengan keluhan
menoragia ditemukan kadar aktivator plasminogen pada endometrium yang lebih
tinggi dari normal. Penghambat aktivator plasminogen atau obat antifibrinolisis
dapat digunakan untuk pengobaran menoragia.
Asam traneksamat bekerja menghambat plasminogen secara reversibel dan
bila diberikan saat haid mampu menurunkan jumlah perdarahan 40 - 50%. Efek
samping asam traneksamat adalah keluhan gastro intestinal dan tromboemboli yang
ternyata kejadiannya tidak berbeda bermakna dibandingkan kejadian pada populasi
normal.
Non-hormonal Obat Antiinflamasi Non-Steroid
Antifibrinolitik
Hormonal Kontrasepsi hormonal kombinasi
Levonorgestrel-releasing intrauterine system
Progestin oral
Depot-medroxyprogesterone acetate
Danazol
GnRH-agonist
Tabel. Pilihan Tatalaksana Medis yang Efektif untuk
Perdarahan Uterus Abnormal
Penatalaksanaan Bedah
Peran pembedahan dalam penatalaksanaan perdarahan uterus abnormal
membutuhkan evaluasi yang teliti dari patologi yang mendasari serta faktor pasien.
Indikasi pembedahan pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal adalah:
Gagal merespon tatalaksana non-bedah
Ketidakmampuan untuk menggunakan terapi non-bedah (efek samping,
kontraindikasi)
Anemia yang signifikan
28
Dampak pada kualitas hidup
Patologi uterus lainnya (fibroid uterus yang besar, hiperplasia endometrium)
Pilihan tatalaksana bedah untuk perdarahan uterus abnormal tergantung pada
beberapa faktor termasuk ekspektasi pasien dan patologi uterus. Pilihan bedahnya
adalah
Dilatasi dan kuretase uterus
Hysteroscopic Polypectomy
Ablasi endometrium
Miomektomi
Histerektomi
Mengatur Haid Setelah Penghentian Perdarahan Tergantung pada Dua Hal, yaitu
Usia Remaja, dapat diberikan, kombinasi estrogen progesteron (pil
kontrasepsi kombinasi), Progestin siklik, misalnya MPA dosis 10 mg per hari
selama 14 hari, 14 hari berikutnya tanpa diberikan obat. Kedua pengobatan di
atas diulang selama 3 bulan.
Usia Reproduksi
- Bila paritas multipara: berikan kontrasepsi hormon seperti di atas
- Bila infertilitas dan ingin hamil: berikan obat induksi omlasi
Usia Perimenopause, berikan pil kontrasepsi kombinasi dosis rendah atau
injeksi DMPA
29
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi adalah infertilitas akibat tidak adanya ovulasi.
Anemia berat akibat perdarahan yang berlebihan dan lama. Pertumbuhan
endometrium yang berlebihan akibat ketidakseimbangan hormonal merupakan
faktor penyebab kanker endometrium.4,6
2.8 Prognosis
Respon terhadap terapi sangat individual dan tidak mudah
diprediksi. Keberhasilan dari terapi tergantung pada kondisi fisik pasien dan usia,
usia remaja biasanya angka keberhasilan penanganan dengan hormon cukup besar
(terutama dengan oral kontrasepsi). Tindakan terakhir melalui histerektomi,
meskipun dapat mengatasi perdarahan uterus abnormal namun mempunyai resiko
dan komplikasi yang lebih besar.1,6
30
BAB III
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Munro, M.G., Critchley, H.O., Fraser, I.S. The FIGO system for nomenclature
and classification of causes of abnormal uterine bleeding in the reproductive
years: who needs them. American Journal of Obstetric and Gynecology. 2012;
p:259-65.
2. Cavazos, A.G., Mola, J.R. Abnormal Uterine Bleeding: New Definitions and
Contemporary Terminology. The Female Patient. 2012; 37:27-36.
3. Baziad, A., Hestiantoro, A., Wiweko, B. Panduan Tata Laksana Perdarahan
Uterus Abnormal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas
Indonesia, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2011; 3-19
4. Affandi B et al. Konsensus Tatalaksana Pendarahan Uterus Abnormal Karena
Efek Samping Kontrasepsi. Jakarta: HIFERI & POGI.
5. Hoffman, B.L., Schorge, J.O., Schaffer, J.I., et all. Pelvic Mass. In: Wiliams
Gynecology, 2nd ed. McGraw-Hill Companies, Inc. New York. 2017; p:246-74
6. Hoffman, B.L., Schorge, J.O., Schaffer, J.I., et all. Abnormal Uterine Bleeding.
In: Wiliams Gynecology, 2nd ed. McGraw-Hill Companies, Inc. New York.
2017; p:219-40
7. Rowe, T., Senikas, V. Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Women.
Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2013; 35(5):1-28
8. Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Bina Pustaka;
2018.
32