Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN PADA LANSIA

(INKONTINENSIA URIN)

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
ANITA HURAIRA
EKA FATIKASARI
IFA FAZIRA
MOH. IKHZAN MAHENDRA
MUJIDA NURSANTI
NURHAIDA
NORMA ONGGANG
SISIL ATRIANI PUTRI

PROGRAM STUDI : ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA
PALU 2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan –l ahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus menerus berlanjut alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya
dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses
alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu.
Penuaan adalah normal, dengan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada
semua orang pada saat mereka mencapai usia perkembangan kronologis tertentu. Ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional dapat diobservasi di
dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi tingkat
kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak
tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang
harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia.
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak mencapai usia dewasa, misalnya dengan
terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan lain sehingga tubuh mati sedikit
demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah
mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya
kemunduran sejalan dengan waktu. Proses yang disertai dengan adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi sama lain . Proses menua yang
terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap kelemahan
(impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability),
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi
dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada
pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000).
B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus
inkontinensia pada lanjut usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau
menetap. Klien dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat
berlangsung terus menerus atau sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006),
inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan sfingter eksternal sementara atau menetap
untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses
penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik
atau sedatif.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan
pada pasien, gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus
(luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000).
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran
kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus
dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot
dasar panggul ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-
otot dasar panggul rusak regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon
estrogen pada wanita di usia menopause (50 atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina
dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.
Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung
kemih dan panggul (Darmojo, 2009).
B. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus
1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu untuk
mengontrol buang air besar maupun buang kecil karena sistem neuromuskulernya belum
berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan mengalami perubahan dalam
eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltic menjadi
lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses,
sehingga manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi
urine, terjadi penurunan infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan(Asmadi, 2008).
2. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk
difiltrasi menjadi sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat(Asmadi, 2008).
3. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang
baik dati otot-abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi,
2008).
4. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan mengalami
diare ataupun (Asmadi, 2008).
5. Temperatur
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh karena
meningkatnya metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan
sehingga dampaknya berpotensi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain
itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan
penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
6. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang seimbang,
maupun nyaman. karena itu berpangaruh pada eliminasi urine (Asmadi, 2008).
7. Sosiokultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat
Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi ,
sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet digunakan secara bersama-sama
(Potter & Perry,2006).
8. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan,
peningkatakan asupan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine. Cairan yang
diminum akan meningkatakan volume glomerulus dan eksresi urina (Potter &
Perry,2006).
9. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan hilangnya
tonus kandung berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan individu mengalami
kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus dan sklerosis multiple
menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah fungsikandung kemih. Artritis
reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal penyakit ginjal
tahap akhir (Potter & Perry,2006).
10. Prosedur bedah
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik
(inderal) (Potter & Perry,2006).
C. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar,
proses berkemih diatur oleh berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen membawa
informasi mengenai volume kandung kemih medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh
saraf simpatis serta saraf somatic mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).
Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang
menyebabkan kontraksi kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika
kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih.
Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan usia sehingga lansia sering
mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu antara
kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung
kemih menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah (2008)
yaitu:
1. Ketidaknyamanan daerah pubis
2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
E. Pemeriksaan penunjang
1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
2. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah
kandung kemih mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
3. Cysometry
digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur
efisiensi refleks destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih
terhadap rangsangan panas. Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan
kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien
berkemih.
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan,medikasi, latihan pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal
tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain
itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin,seperti hyperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,
dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih)dengan teknik dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
2) Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.
3) Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap
jam, selanjutn diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap
2-3 jam.
4) Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan
5) Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).
c. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
1) antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
2) Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.
3) Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa
kolinergik antagonis prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan
secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan menghilangkan retensi urin. Terapi
inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, prolaps
pelvic(pada wanita).
1) penyumbatan saluran urin (obat2an, tumor)
2) otot detrusor tdk stabil/ bereaksi berlebihan
3) ingin kencing mendadak, dimalam hari
4) disfungsi neurologi
5) Kontraksi kandung kemih terhambat
6) Tek. dalam perut meningkat (tek dikandungkemih > drpd pd uretra)
7) Ex. Pd kondisi mengedan, batuk
F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia
(usia ke atas 65 tahun), jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan
lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini.
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu Apakah
ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin,
apakah terjadi ketidakmampuan.
2) Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran dan apakah
dirawat dirumah sakit.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit
ginjal bawaan/bukan bawaan.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinPeningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
a) B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh
b) B4 (bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta
disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada pembesaran daerah supra pubik
lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan
disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
c) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi
pada ginjal.
d) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.
d. Data penunjang
1) Urinalisis
2) Hematuria.
3) Poliuria
4) Bakteriuria.
c. Pemeriksaan Radiografi
1) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
2) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU,
melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post
Voiding Residual).
d. Kultur Urine
1) Steril.
2) Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
3) Organisme.
2. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut:
 Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur dasar
penyokongnya
a. Rencana Asuhan keperawatan
1) Diagnosa I: Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
Tujuan :
Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia, klien
dapat menjelaskan penyebab.
Intervensi :
a) Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari.
b) Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan.
c) Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat kandung
kemih.
d) Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak
ada kebocoranyang lebih dulu.
e) Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan
2000 ml, kecuali dibatasi.
f) Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya
dengan latihan
g) Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan
frekuensi inkonteninsia.
2) Diagnosa 2 Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
Tujuan :
Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas
normal, kultur menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
a) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
b) Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah
buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih
dan naik ke saluran perkemihan.
 Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau
darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan
kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik
asepsis melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter
indwelling. R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
 Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan
masukan sekurang-2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai
dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
 Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
 Tingkatkan masukan sari buah berri.
 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.
3) Diagnosa 3 : Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi
oleh urine
Tujuan :
a) Jumlah bakteri < 100.000 / ml.
b) Kulit periostomal tetap utuh.
c) Suhu 37° C.
d) Urine jernih dengan sedimen minimal.
diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar
menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan
kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam
urine dapat menyebabkan kerusakan dan peningkatan resiko infeksi.
4) Diagnosa 4 : Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang
memalukan mengompol di depan orang lain atau takut bau urine
Intervensi :
a) Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria,
diskusikan pada pertama.
R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang terdekat
tentang situasi individu Pasien menerimanya(contoh; inkontinensia tak
sembuh, infeksi)
b) Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan
perasaan marah, dan kedudukan karena kehilangan. Diskusikan “peningkatan
dan penurunan” tiap hari yang setelah pulang.
R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu pasien /
orang terdekat menyadari perasaan yang dialami tidak biasa dan bahwa
perasaan bersalah pada mereka tidak perlu / membantu. perlu mengenali
perasaan sebelum mereka dapat menerimanya secara efektif.
c) Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi
atau tidak terlibat asuhan.
R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan
terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan terhadap
kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap penerimaan orang lain,
juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan datang / kehilangan
selanjutnya pada hidup kanker.
d) Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang dan menyentuh
stoma, kesempatan untuk memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan,
normal, dsb.
R: Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu berbulan-
bulan / tahunan, melihat dan mendengar komentar (dibuat dengan cara normal,
nyata) dapat membantu pasien dalam penerimaan Menyentuh stoma meyakinkan
klien / orang terdekat bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma nyata
menunjukkan peristaltic normal.
e) Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi
dalam perawatan
R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.
f) Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan, menghindari ekspresi
menghina mendadak. Jangan menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi.
R: Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan menerima
akan diri sendiri. Marah sering ditunjukkan pada situasi dan kurang kontrol terhadap
apa yang terjadi (tidak terduga), bukan pemberi asuhan.
g) Rencanakan / jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain.
R: Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa pasien dapat
mengatasinya, meningkatkan diri.
5) Diagnosa 5 : Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang
dengan defisit pengetahuan tentang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam
latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe
komonitas
Tujuan :
a) Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik, dan
macam terapeutik.
b) Keluhan berkurang tentang cemas atau gugup.
c) Ekspresi wajah rileks.
Intervensi :
a) Berikan kesempatan kepada klien dan orang terdekat untuk mengekspresikan
perasaan dan harapannya.
Perbaiki konsep yang salah.
R: Kemapuan pemecahan masalah pasien ditingkatkan bila lingkungan
nyaman dan mendukung diberikan.
b) Berikan informasi tentang:
 Sifat penyakit.
 Deskripsi singkat tentang tidur.
 Pemeriksaan setelah perawatan.
Bila informasi harus diberikan selama episode nyeri, pertahankan intruksi
dan penjelasan singkat dan sederhana. Berikan informasi lebih detail bila
nyeri terkontrol.
R: Pengetahuan apa yang akan dirasakan membantu mengurangi ansietas,
nyeri mempengaruhi proses
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/doc/112254809/Asuhan-Keperawatan-Gangguan-Sistem-Perkemihan-Pada-
Lansia. Diakses pada tanggal 13 September 2020

Anda mungkin juga menyukai