PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya
urine. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain: masalah medik,
sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit disekitar
kemaluan akibat urine, masalah sosial berupa perasaan malu, megisolasi diri dari
pergaulannya, dan mengurung diri di rumah. Pemakaian pemper atau perlengkapan lain guna
menjaga supaya tidak selalu basah oleh urine, memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Inkontinensia tidak harus selalu dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami setiap
individu pada usia berapa pun, walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia.
Diperkirakan bahwa 37% wanita berusia 60 tahun atau lebih mengalami beberapa
tingkatan inkontinensia (Brooks, 1993). Inkontinensia dapat merusak citra tubuh. Pakaian
yang dapat menjadi basah oleh urine dan bau yang menyertainya dapat menambah rasa malu.
Akibatnya, pasien yang mengalami masalah ini sering menghindari aktivitas sosial (Perry &
Potter, 2005). Lansia mungkin mengalami masalah khusus dengan inkontinensia akibat
keterbatasan fisik dan lingkungan tempat tinggalnya. Lansia yang mobilitasnya terbatas
mempunyai peluang lebih besar untuk mengalami inkontinensia karena ketidakmampuan
mereka untuk mencapai toilet pada waktunya. Kursi yang dirancang pendek dan tempat tidur
yang ditinggikan di atas lantai dapat menjadi halangan bagi lansia yang harus bangun untuk
mencapai toilet. Lansia yang mengalami kesulitan untuk membuka kancing atau
memanipulasi ritsleting menghadapi masalah yang lain. Lansia sering mengalami kekurangan
energi untuk berjalan yang sangat jauh pada satu waktu. Toilet mungkin terlalu jauh bagi
klien yang mengalami inkontinensia urge.
Prevalensi kelainan ini cukup tinggi, yakni pada wanita lebih kurang 10-40% dan 48% sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria, prevalensinya
lebih rendah daripada wanita, yaitu lebih kurang separuhnya. Survey yang dilakukan di
berbagai negara Asia didapatkan bahwa rerata prevalensi pada beberapa bangsa Asia adalah
12,2% (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Dikatakan oleh berbagai penulis bahwa
sebenarnya prevalensi yang dilaporkan itu baru merupakan 80% dari prevalensi
sesungguhnya karema sebagian dari mereka tidak terdeteksi; hal ini karena pasien
menganggap penyakit yang dialaminya ini merupakan hal yang wajar atau mereka enggan
b. Manfaat Praktis
Bagi Institusi Pendidikan adalah sebagai masukan dalam proses belajar mengajar, dan
apabila diperlukan dalam mata kuliah khusus terutama mengenai pentingnya
pemenuhan kebutuhan sosial yang harus dimiliki sebagai modal untuk menjadi
perawat profesional.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 DEFINISI
Inkontinensia urine ialah kehilangan kontrol berkemih.Inkontinensia dapat bersifat
sementara atau menetap. Klien tidak dapat lagi mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit-sedikit. Lima tipe
inkontinensia ialah inkontinensia fungsional, inkontinensia refleks (overflow), inkontinensia
stres, inkontinensia urge, dan inkontinensia total. (Perry &Potter, 2005)
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan urine yang
keluar dari kandung kemih, baik disadari ataupun tidak disadari. (Arif Muttaqin & Kumala
Sari, 2009)
Inkontinensia urine (UI, urinary incontinence) mengenai sekitar 50% orang tua yang
tinggal di rumah jompo dan 30% orang tua yang tinggal di rumah. Gangguan tersebut dapat
menimbulkan ruam perineal, ulkus dekubitus, UTI, dan sepsis.Secara prikologis, gangguan
tersebut dapat menyebabkan hilangnya rasa menghargai diri sendiri, terbatasnya aktivitas,
depresi, dan institusionalisasi. (Tammy & Scott, 2010)
Inkontinensia urine-keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan-disebabkan oleh
abnormalitas kandung kemih atau gangguan neurologik. Inkontinensia, sebuah tanda urologi
yang umum, dapat terjadi sementara atau permanen dan dapat berkisar dari keluarnya urine
dalam jumlah yang banyak sampai tetesan yang sedikit-sedikit. (Jennifer P. & Audrey S.,
2010)
2.2 ETIOLOGI
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi
organ kemih, antara lain:
a)
b)
c)
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih.
d)
e)
Efek obat-obatan.
h)
Asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan
Inkontinensia urgensi
Inkontinensia overflow
Inkontinensia reflex
Inkontinensia psikologis
CONTOH
Sfingter tidak kompeten
Relaksasi otot pelvis
Tekanan intraabdominal
urine)
Impaksi fekal (obstipasi)
Hiperplasia prostat benigna.
Trauma medulla spinalis.
Perubahan status mental.
meningkat
(tipe IIb).
Tipe III: leher buli-buli dan uretra tetap terbuka meskipun tanpa adanya kontraksi
detrusor maupun manuver valsava, sehingga urine selalu keluar karena faktor
gravitasi atau penambahan tekanan intravesika (gerakan) yang minimal. Tipe ini
Inkontinensia urine
1. Overaktivitas detrusor
Hiper-refleksia detrusor
Instabilitas detrusor
idioptik
2. Menurunnya
komplians
1. Hipermobilitas uretra
2. Defisiensi
sfingter
intrinsik
buli-buli
Inkotinensia urine
stres (SUI)
Inkotinensia urine urge
(UUI)
prevalensinya, yakni kurang lebih 8-33%. Pada pria kelainan uretra yang
menyebabkan inkontinensia biasanya adalah kerusakan sfingter uretra eksterna pasca
prostatektomi, sedangkan pada wanita penyebab kerusakan uretra dibedakan dalam
dua keadaan, hipermobilitas uretra dan defisiensi intrinsik uretra.Kerusakan sfingter
uretra eksterna pasca prostatektomi radikal lebih sering terjadi daripada pasca TURP.
Tidak jarang pasien mengalami kerusakan total sfingter eksterna sehingga mengeluh
inkontinensia totalis.
Hipermobilitas uretra disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul
yang berfungsi sebagai penyanggah uretra dan buli-buli.Kelemahan otot ini
menyebabkan terjadinya penurunan (herniasi) dan angulasi leher buli-buli uretra pada
saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen.Herniasi dan angulasi itu terlihat
sebagai terbukanya leher buli-buli uretra sehingga mengakibatkan bocornya urine dari
buli-buli meskipun tidak ada peningkatan intravesika.Kelemahan otot dasar panggul
dapat pula menyebabkan terjadinya prolapsus uteri, sistolek, atau enterokel.Penyebab
kelemahan ini adalah trauma persalinan, histerektomi (pengangkatan rahim),
perubahan hormonal (menopause), atau kelainan neurologi.Akibat defisiensi estrogen
pada masa menopause, terjadi atrofi jaringan genitourinaria.
Defisiensi sfingetr intrinsik (ISD) dapat disebabkan karena suatu trauma,
penyakit dari operasi, radiasi, atau kelainan neurologi.Ciri-ciri dari jenis ISD adalah
leher buli-buli dan uretra posterior tetap terbuka pada keadaan istirahat meskipun
tidak ada kontraksi otot detrusor sehingga uretra proksimal tidak lagi berfungsi
sebagai sfingter.penyebab UI yang sering dijumpai pada wanita tua. Inkontinensia
tersebut disebabkan oleh mekanisme sfingter yang tidak kompeten.Bocornya urin
terjadi bila tekanan intraabdomen meningkat akibat mengedan, batuk, tertawa, dan
bersin.Penyebab tersering gangguan mekanisme sfingter adalah posisi uretra yang
abnormal akibat prolaps pelvik.Denervasi otot sfingter kongenital, traumatik (cedera
medula spinalis), atrogenik (radiasi), atau obat-obatan (penyakit alfa) dapat juga
menyebabkan inkontinensia stres.
b) Inkontinensia mendesak (urge incontinence)
Pasien inkontinensia urge mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah
mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi.Frekuensi
miksi menjadi lebih sering dan disertai dengan perasaan urgensi. Inkontinensia urge
meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita. Penyebab inkontinensia urine
urge adalah kelainan yang berasal dari buli-buli, diantaranya adalah overaktivitas
dipacu oleh beberapa keadaan yang disingkat dengan DIAPPERS, yakni Delirium,
Infection (infeksi saluran kemih), Atrophic vaginitis/urethritis, Pharmaceutical,
Psychological, Excess urine output, Restricted mobility, dan Stool inpaction.
d) Inkontinensia aliran berlebih (overflow incontinence)
Inkontinensia ini merupakan keluarnya urien tanpa dapat dikontrol pada
keadaan volume urine di buli-buli melebihi kapasitasnya.Destrusor mengalami
kelembapan sehingga terjadi atonia atau arefleksia.Keadaan ini ditandai dengan
overdistensi buli-buli (retensi urine), tetapi karena buli-buli tidak mampu lagi
mengosongkan isinya, tampak urine selalu menetes dari meatus uretra. Kelembapan
otot detrusor ini dapat disebabkan karena obstruksi uretra, neuropati diabetikum,
cedera spinal, defisiensi B12, efek samping pemakaian obat, atau pasca bedah pada
daerah pelvik.
Lebih sering terjadi pada pria daripada wanita sebagai akibat obstruksi saluran
keluar kandung kemih yang disebabkan oleh hipertrofi prostat, impaksi fekal, atau
striktur uretra.Alternatifnya, inkontinensia aliran berlebih dapat terjadi sebagai akibat
kandung
kemih
atonik
yang
tidak
lagi
berkontraksi
cukup
kuat
untuk
sfingter
uretra.Pada
fistula
vesikovagina
terdapat
lubang
yang
yaitu urine selalu merembes keluar tetapi pasien masih bisa melakukan miksi seperti
orang normal.
2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) Urinalisis, digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah, dan glukosa dalam
urine.
b) Uroflowmetry, digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
c) Cysometry, digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi
kandung kemih terhadap rangsangan panas.
d) Urografi Ekskretorik, disebut juga pielografi
intravena,
digunakan
untuk
11
12
berkemih, dan latihan otot panggul (latihan Kegel). Pendekatan yang dipilih
disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari.Latihan kebiasaan dan latihan
berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami inkontinensia urgensi.Latihan
otot panggul sangat baik digunakan oleh pasien dengan fungsi kognitif yang utuh
yang mengalami inkontinensia stress. Intervensi perilaku umumnya tidak dipilih
untuk pasien yang mengalami inkontinensia sekunder akibat overflow. Teknik
tambahan, seperti umpan balik biologis dan rangsangan listrik, berfungsi sebagai
tambahan pada terapi perilaku.
Latihan kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau
kerusakan kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap
2 sampai 4 jam. Tujuannya adalah pasien dapat berkemih sebelum secara tidak
sengaja berkemih.Latihan kembali berkemih dapat bermanfaat bagi pasien dengan
fungsi kognitif yang utuh. Latihan ini mengajarkan pasien untuk menahan desakan
berkemih, secara bertahap meningkatkan kapasitas kandung kemih dan interval
antara berkemih. Ketika kapasitas meningkat, urgensi dan frekuensi akan berkurang.
Tabel 2-3. Beberapa jenis terapi inkontinensia urine
JENIS
LATIHAN
MEDIKAMENTOSA
INKONTINENSIA
UUI
- Behavioural
- Biofeedback
- Bladder
drill
(pengosongan
kandung kemih).
- Bladder
training
(latihan
kandung
kemih).
SUI
Pelvic floor exercise
Agonis adrenergik-
Antidepresan trisiklik
Hormonal
Paradoksa
Total
-
13
TINDAKAN
INVASIF
Augmentasi
buli-buli
Neuromodulasi
Rhizolisis
Kolpususpensi
TVT
Injeksi kolagen
Desobstruksi
Sfingter
artifisial
(2) Medikamentosa
Obat yang diberikan disesuaikan dengan etiologi inkontinensia urine.
Tabel 2-4. Beberapa jenis obat-obatan yang digunakan untuk inkontinensia urine
OBAT
Estrogen
Primarin
Quinestradiol
Estriol
Antikolinergik
Pro-Banthene
Oksibutinin
Bentyl
Kolinergik
Urecholin
Prostigmin
Penyekat alfa-adrenergik
Prazosin
Dibenzyline
Phenylopropanolamine
Simpatomimetik
Ephedrine
Phenylephrine
Penyekat saluran kalsium
KERJA
Mengurangi atropi vanigitis uretra dan memulihkan
uretra yang supel.
14
o Efek samping: Riset yang sudah dimulai semenjak tahun 1975 menunjukkan
bahwa pemakaian Premarin meningkatkan
jumlah kasus
kanker pada
15
KETERANGAN
Singkirkan penyakit akut penyebab, infeksi,
Infeksi (UTI)
dan obat-obatan.
Bakteriuria asimtomatik tidak menyebabkan
Uretritis/Vaginitis Atrofik
UTI.
Erosi vagina, telangiektasia, petekie, dan
friability; dapat menjadi kontribusi bagi
penyebab lain UI.
Farmasetikal (Pharmaceutical)
Psikologis
Keluarnya
urine
yang
(Excessive)
(termasuk
dan
metabolik
hiperkalsemia);
teofilin,
alkohol)
(misal,
UI
dan
minuman
gangguan
hiperglikemia,
nokturnal
dapat
16
imobilitas.
Kerja antikolinergik, sedasi.
Kerja antikolinergik, sedasi.
Sedasi, delirium, imobilitas.
Retensi urine, impaksi fekal, sedasi, delirium.
Relaksasi
uretra
dapat
mencetuskan
terazosin)
Agonis
-adrenergik
sedasi,
rigiditas,
hidung)
Penyakit kanal kalsium
Inhibitor enzim pengonversi angiotensin
Retensi urine.
Batuk yang menyertai dapat mencetuskan
inkontinensia stres pada wanita dan beberapa
Alkohol
Vinkristin
imobilitas.
Retensi urine.
17
a. Kausa
Kelahiran anak, obesitas, kelumpuhan nervus pudendal, trauma-diastasis simfiseal,
iatrogenik, dan usia.
b. Penilaian
Tes Bonney, CMG video, sistogram rantai lateral, sistouretroskopi.
c. Terapi
1. Konservatif
a. Penurunan berat badan
b. Olahraga dasar panggul
c. Obat-obatan: agonis adrenergic alfa seperti eskornade, fenil propanolamina dan
mazindol.
2. Operasi
a. Prinsip:
1. Meninggikan dan menunjang leher vesika dalam zona tekanan abdominal.
2. Memungkinkan kompresi posterior uretra proksimal terhadap simfisis pubis.
3. Mengoreksi prolapsus genital yang berkaitan.
b. Prosedur operasi spesifik:
1. Kolporafi anterior. Memungkinkan koreksi prolapsus genital yang bersamaan
terjadinya atau histerektomi vaginal bila diperlukan.
a) Insisi vaginal vertikal untuk memaparkan leher vesika dan basis vesika.
b) Peletakan jahitan fasial (Kelly) parauretral diikat digaris tengah.
c) Eksisi mukosa vaginal berlebih.
2. Koreksi Marshall-Marchetti-Kranzt. Sebagai prosedur primer bila tidak terjadi
prolapsus genital atau sebagai prosedur sekunder.
a) Pendekatan retropubik anterior.
b) Pemaparan leher vesika dan uretra.
c) Peletakan 3 jahitan (biasanya catgut No.2 atau asam poliglikolik) antara
fasia parauretral/leher vesika serta simfisis dan linea pektineal di tiap sisi.
3. Koreksi suspensorik (sling)-Millin. Sesuai sebagai koreksi sekunder
a) Pendekatan retropubik anterior.
b) Pemaparan leher vesika dan uretra.
c) Uretra dilingkari dengan pita nilon, pita fasia selebar 2 cm dari tepi inferior
selubung rektus dijahitkan ke pita itu serta dilewatkan dibelakang uretra.
d) Pita nilon itu dilepaskan dari fasia dan strip fasial dijahitkan ke ligamen
Gimbernati di sisi berlawanan dengan tegangan sehingga uretra dan leher
vesika terangkat.
4. Prosedur Stamey. Sesuai untuk pasien dengan risiko medis buruk
a) Endoskop dalam vesika.
b) Insisi vaginal di garis tengah.
c) Insisi suprapubik bilateral serta peletakan benang nilon dari suprapubik ke
insisi vaginal dengan jarum Stamey.
d) Lengan Dacron sepanjang 1 cm dan lebar 5 mm diletakkan diatas jerat nilon
tadi pada insisi vaginal dan dikembalikan ke insisi suprapubik
menggunakan insersi kedua dari jarum.
18
19
Inkontinensia Pria
1. Kausa Inkontinensia Pasca-Prostatektomi
a. Pemilihan pasien yang buruk
(i) CVD (kecelakaan serebrovaskular) baru
(ii) Penyakit Parkinson
(iii) Baru saja eksisi abdominopelvik rectum
(iv) Polakisuria desakan nokturia dengan ketakstabilan detrusor primer.
b. Kerusakan sfinkter eksternal pra-operatif
c. Overflow
(i) Reseksi inadekuat
(ii) Striktura uretral
(iii) Stenosis leher vesika.
d. Infeksi rekuren.
e. Ca Prostat yang menginfiltrasi sfinkter eksternal.
2. Jalur Penatalaksanaan
a. Penilaian ulang klinik.
b. MSU (urin aliran tengah).
c. Sistouretroskopi.
d. Sistometrogram video.
3. Kerusakan Sfinkterik Eksternal
Didefinisikan sebagai ketidakmampuan menghentikan aliran urin secara volunter
dengan atau tanpa ketakstabilan detrusor.
4. Terapi Kerusakan Sfinkter
a. Konservatif
(i) Bantalan/celana Kanga; alat inkontinensia eksternal---klem Cunningham
(ii) Stimulasi faradic kepada otot perineal pasak rectal elektronik
(iii) Obat-obatan: a) agonis adrenergic alfa, misal eskornade dan fenil
propanolamina; b) imipramina (bersifat agonis dan antikolinergik).
b. Operasi
Indikasi: tidak membaik dengan sendirinya dan gagalnya cara konservatif pada
pasien yang pada dasarnya sehat
(i) Rekonstruksi leher vesika
a. Prosedur Young-Dees-Leadbetter-tubulari-sasi
reimplantasi ureter
b. Prosedur Tanagho-tubularisasi
permukaan
trigonum
anterior
dengan
vesika
dan
reanastomosis ke uretra.
(ii) Memberi tekanan kepada uretra bulbar
a. Prosedur Kaufman III aplikasi bantalan gel silicon pada bulbus dengan
meletakkan tali di sekitar krura.
b. Sfinkter Scott-Bradley-Tim
20
Bebat leher vesika atau bulbus dengan bulbus dan katub inflasi dan
deflasi pada skrotum di kedua sisi dan reservoir berisi cairan
diimplantasikan antara rektus abdominis dan peritoneum.
c. Prostat Jonas
Klip silicon melingkar diletakkan seputar uretra penis.
Hasil operasi
Secara keseluruhan angka keberhasilan mengecewakan dari 15-70%: hasil terbaik didapat
dengan prosthesis Scott-Bradley-Tim tapi mahal dan sulitnya membatasi pemakaiannya.
Komplikasi operasi
a.
b.
c.
d.
e.
Kegagalan
Infeksi
Penolakan alat implantasi
Nekrosis tekanan di uretra
Malfungsi di katub.
permukaan
trigonum
anterior
dengan
vesika
dan
reanastomosis ke uretra.
(ii) Memberi tekanan kepada uretra bulbar
a) Prosedur Kaufman III- aplikasi bantalan gel pada bulbus dengan
meletakkan tali di sekitar krura.
b) Sfinkter Scott-Bradley-Tim
Bebat leher vesika atau bulbus dengan bulbus dan katub inflasi dan deflasi
pada skrotum di kedua sisi dan reservoir berisi cairan diimplantasikan
antara rektus abdominis dan peritonium.
c) Prostesis Jonas
Klip silikon melingkar diletakkan seputar uretra penis.
Hasil operasi:
21
Secara keseluruhan angka keberhasilan mengecewakan dari 15-70%. Hasil terbaik didapat
dengan prostesis Scott-Bradley-Tim tapi mahal dan sulitnya membatasi pemakaiannya.
Komplikasi operasi:
Kegagalan, infeksi, penolakan alat implantasi, nekrosis tekanan di uretra, malfungsi di katub.
22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a. Anamnesa
1. Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65
tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-laki juga
beresiko mengalaminya.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang.
Pasien mengatakan terdapat gangguan dalam berkemih.Klien juga mengatakan bahwa kencing
dilakukan sebanyak 8 kali dalam sehari.Klien merasakan ingin berkemih terus menerus namun
sedikitnya air kencing yang keluar.Klien mengatakan ingin berkemih ketika minum dan saat
tertawa.Klien minum 5 gelas dalam sehari.Klien mengatakan mengkonsumsi insulin untuk
menstabilkan diabetes mellitusnya.Klien mengatakan terkadang nyeri saat berkemih dan
merasakan gatal dan perih pada area simpisis pubis.
b. Riwayat kesehatan klien:
Klien mengatakan tidak pernah mengalami masalah pada sistem perkemihan sebelumnya.
Namun klien mengatakan pernah di rawat di rumah sakit karena penyakit diabetes mellitus dan
saat itu merasa ingin berkemih terus menerus sehingga dipasang kateter. Terkadang nyeri saat
berkemih.
c. Riwayat kesehatan keluarga:
Klien mengatakan terdapat anggota keluarga yang memiliki riwayat diabetes mellitus dan
hipertensi. Klien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit ginjal pada keluarganya.
b. Pengkajian (pola Gordon):
Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pasien adalah seorang wanita yang berumur 65 tahun, dalam melakukan aktivitas
sehari-hari seperti kebutuhan perawatan diri, pasien dibantu oleh keluarganya.
Seperti saat akan melakukan aktivitas ke kamar mandi.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Sebelum sakit pasien makan dengan porsi normal yaitu makan 3x sehari dan
minum 5 gelas sehari, setelah sakit pola makan pasien masih normal, dan porsi
minum sedikit.
c. Pola elimisasi
23
Sebelum sakit pasien sering BAK dengan volume urin 1400-1500cc/hari, setelah
sakit, pasien sering melakukan aktivitas BAK dengan freukensi urin yang sedikit
dan desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena
telah mulai berkemih. Sedangkan pada eliminasi alvi, pasien BAB 2x sehari,
dengan konsistensi padat, berwarna kuning dengan berbau yang khas.
d. Pola aktivitas dan latihan
Sebelum sakit pasien melakukan aktivitas sehari-harinya dengan baik, olahraga
ringan dan aktivitas yang lain di pagi hari. Setelah sakit pasien mudah
mengeluarkan sejumlah kecil urine ketika melakukan aktivitas, seperti melompat,
atau membungkuk. Terkadang urine juga keluar saat pasien tertawa dan bersih
serta saat pasien batuk.
e. Pola istirahat dan tidur
Sebelum sakit pasien tidur 7-9 jam perhari, jarang tidur pada siang hari. Setelah
sakit pasien kesulitan tidur karena seringnya desakan ingin berkemih. Bahkan
pasien sering mengompol.
f. Pola sensori dan kognitif
Sebelum sakit perkembangan persepsi dan kognitif pasien bagus. Meski dengan
usia 65 tahun, pasien masih mampu menilai orang dan benda. Setelah sakit pasien
merasa lemah untuk melakukan aktivitas lain. Sehingga aktivitas toileting sering
terganggu. \
g. Pola persepsi dan konsep diri
Sebelum sakit pasien mengerti bahwa dirinya adalah seorang wanita yang
memiliki tanggung jawab kepada suaminya, setelah sakit pasien merasa malu dan
tidak berguna karena setiap kebutuhan perawatan diri harus dibantu oleh
suaminya.
h. Pola hubungan dan peran
Sebelum sakit hubungan pasien dengan keluarga baik, pasien berperan sebagai
seorang istri yang bertanggungjawab atas suaminya. Setelah sakit pasien
cenderung ingin menyendiri karena rasa malu dengan penyakit yang dialaminya.
i. Pola reproduksi seksual
Pasien seorang wanita yang memiliki suami dan 3 orang anak. Hubungan suami
istri dilakukan 2 kali dalam dua minggu karena istri dan suaminya sudah merasa
tua sehingga jarang sekali untuk melakukan hubungan suami istri. Setelah sakit,
hubungan suami istri dilakukan hanya 1 kali dalam dua minggu.
j. Pola penanggulangan stress
Sebelum sakit pasien tampak bahagia dan melakukan aktivitasnya dengan baik,
setelah sakit pasien mulai murung karena penyakit yang dideritanya. Namun,
pasien tetap mendapatkan support dari suami dan anak-anaknya.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
24
Pasien seorang wanita berumur 65 tahun, pasien beragama islam dan rajin
menjalankan ibadah shalat 5 waktu. Apabila pasien merasa terdapat masalah pada
kesehatannya maka memeriksakan dirinya ke klinik atau rumah sakit. Pasien
tidak pernah pergi ke dukun untuk menyembuhkan amasalah kesehatannya.
Pasien memberikan kepercayaan penuh pada ahli-ahli kesehatan yang dapat
menangani masalah kesehatannya.
c. Pemeriksaan per sistem
1. Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya
inkontinensia.
2. B1 (breathing: pernapasan)
Pola nafas: Ireguler
Bunyi nafas: reguler
Bentuk dada : Simetris
Ekspansi dada : Simetris
3. B2 (Bleeding: Kardiovaskuler/sirkulasi)
RR : 25x/menit, TD :150/100 mmHg, S1-S2 normal.
4. B3 (Brain: Persyarafan/neurologi)
Klien sadar penuh. GCS: 456.
5. B4 (Bladder: perkemihan/eliminasi urine/genitaurinaria)
Warna urine kuning pekat terkadang keluar urine bercampur darah, bau menyengat, terdapat
pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, nyeri saat berkemih, rasa nyeri di dapat
pada daerah supra pubik/pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing. Input 500 ml, output 2500 ml.
6. B5 (Bowel: pencernaan/eliminasi alvi/gastrointestinal)
Bising usus: normal. Nyeri tekan abdomen: + Nyeri ketok ginjal: +
7. B6 (Bone: tulang, integumen, otot/muskuloskeletal)
Terdapat nyeri sendi pada kaki. Kekuatan otot
d. Data penunjang:
1) Urinalisis
2) Hematuria.
3) Poliuria
4) Bakteriuria.
e. Pemeriksaan Radiografi:
1) IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
25
2) VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya
obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
3) Kultur Urine
i.
Steril.
ii.
Pertumbuhan tak bermakna (100.000 koloni / ml).
iii.
Organisme.
3.2 DIAGNOSA
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk
mengahambat kontraksi kandung kemih.
2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
3. Gangguan harga diri berhubungan dengan gangguan citra tubuh: mengompol.
4. Resiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan kelembapan oleh urine.
3.3 INTERVENSI
1. Diagnosa: Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan
untuk mengahambat kontraksi kandung kemih.
Kriteria Hasil (NOC):
a. Pengendalian eliminasi urine dari kandung kemih
b. Menunjukkan kontinensia urine, yang dibuktikan oleh indicator: eliminasi secara
mandiri, mempertahankan pola berkemi yang dapat diduga,
c. Bau, jumlah dan warna urine dalam rentang yang diharapkan
d. Pengeluaran urine tidak nyeri, tidak ada kesulitan di awal berkemih, atau urgensi
Intervensi (NIC):
a) Pelatihan kandung kemih: meningkatkan fungsi kandung kemih.
b) Manajemen eliminasi urine: mempertahankan pola eliminasi urine yang optimum.
- Pantau eliminasi urine meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume dan warna,
jika perlu.
- Kumpulkan spesimen urine tengah untuk urinalisis, jika perlu.
c) Anjurkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih.
d) Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urine, bila diperlukan
e) Instruksikan pasien untuk berespons segera terhadap kebutuhan eliminasi, jika
perlu.
f) Manajemen eliminasi urine: rujuk ke dokter jika terdapat tanda dan gejala infeksi
saluran kemih.
2. Diagnosa: Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Kriteria Hasil (NOC) : pasien akan:
a. Menunjukkan aktivitas yang akan dibutuhkan meskipun mnegalami kecemasan.
b. Menunjukkan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan ketrampilan yang baru.
c. Mengomunikasikan kebutuhan dan perasaan negatif secara tepat.
26
Intervensi (NIC):
a) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik.
b) Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan perasaan untuk
mengeksternalisasikan ansietas.
c) Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai cara untuk mengidentifikasi
mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi ansietas.
d) Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi, serta izinkan pasien untuk
menangis.
e) Penurunan kecemasan: instruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi.
f) Penurunan ansietas: berikan pijatan punggung/pijatan leher, jika perlu.
g) Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan lingkungan yang tenang, kontak
yang terbatas dengan orang lain jika dibutuhkan.
h) Kolaborasi pemberian obat penurun ansietas, jika diperlukan.
3. Diagnosa: Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan citra tubuh: mengompol.
Kriteria hasil: pasien akan:
a. Menunjukkan harga diri: kekuatan pribadi.
b. Melakukan perilaku yang dapat meningkatkan kepercayaan diri.
c. Mengungkapkan perubahan/kehilangan yang episodik.
Intervensi:
a) Kaji perubahan-perubahan terharu pada pasien yang dapat memengaruhi harga diri rendah.
b) Peningkatan citra tubuh: meningkatkan sikap dan persepsi sadar dan tak sadar pasien terhadap
tubuhnya.
c) Ajarkan pada pasien dan keluarga pasien tentang ketrampilan perilaku yang positif melalui
bermain peran, diskusi, dsb.
d) Peningkatan harga diri: dukung pasien untuk menerima tantangan baru, tunjuukan rasa percaya
terhadap kemampuan pasien untuk mengatasi situasi.
e) Bimbingan antisipasi: persiapan pasien terhadap krisis perkembangan atau krisis situasional yang
diantisipasi.
f) Ajarkan pada pasien dan keluarga pasien teknik latihan otot panggul.
4. Diagnosa: Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan kelembapan oleh urine.
Kriteria hasil (NOC):
a. Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa.
b. Eritema kulit dan eritema di sekitar luka minimal.
c. Menunjukan penyembuhan primer dan sekunder.
Intervensi (NIC):
a) Kaji ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi luka setempat (misalnya, nyeri saat palpasi, edema,
pruritus, indurasi, hangat, bau busuk, eskar, dan eksudat).
b) Perawatan area insisi: inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda-tanda dehisensi
atau eviserasi pada area insisi.
c) Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori, dan vitamin.
d) Ajarkan prosedur perawatan luka pada pasien dan keluarga pasien.
e) Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin: pertahankan jaringan sekitar terbebas
dari drainase dan kelembapan yang berlebihan dan gunakan preparat antiseptic, sesuai program.
27
28
BAB IV
WEB OF CAUTION
Etiologi:
Melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali.
Kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.
Adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih,
sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih.
Gangguan di saluran kemih bagian bawah bias karena infeksi.
Efek obat-obatan.
Produksi
urin
meningkat
atau
adanya
gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan metabolik, seperti diabetes melitus.
Urine keluar
29
Inkontinensia
Inkontinensia
stres
mendesak (urge)
Mekanisme
sfingter tidak
kompeten
Aktivitas detrusor
Inkontinensia
fungsional
Imobilitas fisik
berlebihan
Terhalang inhibisi
Tekanan
intraabdomen
sentral normal
Inkontinensia
paradoksa/aliran
berlebih
(overflow)
Kurangnya akses
seseorang ke
kamar mandi
Obstruksi saluran
keluarnya
kandung kemih
Bocornya
Bocornya urine
urine
Kerusakan saraf
kandung kemih
Bocornya
urine
Kandung kemih
otomik tidak
berkontraksi untuk
mengosongkan
MK:
- Risiko gangguan integritas kulit
- Gangguan eliminasi urine
- Gangguan volume cairan
- Gangguan Citra tubuh
-Ansietas
30
Cedera ureter
pasca operasi
daerah pelvis
Fistula sistem
urinaria
terganggu
kontraksi kandung
kemih
Inkontinensia
kontinua
Urine tidak
melewati
sfingter uretra
Urine keluar
melalui fistula
ke vagina
Bocornya
urine
Bocornya
urine
BAB V
PEMBAHASAN
4.1 ANALISA JURNAL
Pembahasan terkait intervensi yang diberikan pada pasien dengan inkontinensia urine
(masalah pada sistem perkemihan) akan ditunjang dengan jurnal yang ada. Pada pembahasanpembahasan yang dianalisa berdasarkan jurnal yang ada bahwa diambil dari salah satu
klasifikasi inkontinensia yang banyak dialami oleh masyarakat. Pembahasan-pembahasan di
bawah ini yaitu terkait terapi pada pasien inkontinensia urine. terapi-terapi ini dapat
digunakan sebagai salah satu intervensi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
Terapi tersebut dapat pula dilakukan pasien ketika berada di rumah.
1. Terapi latihan dasar panggul
Hubungan Senam Kegel Terhadap Stres Inkontinensia Urine Postpartum Pada Wanita
Primigravida
Berdasarkan jurnal diatas dinyatakan bahwa pada kasus tersebut banyak dialami pada
wanita primigravida terjadinya kerusakan dasar panggul yang disebabkan karena disfungsi
dasar panggul dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama persalinan, terutama
pada persalinan pertama (Junizaf, 2002). Kehamilan dan persalinan akan menyebabkan dasar
panggul melemah atau rusak sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik. Kekendoran otototot yang melingkari vagina sering disebabkan oleh kelahiran anak melalui vagina. sehingga
untuk mengatasi kasus ini, pasien dapat diberikan terapi senam kegel sebagai salah satu
intervensi perawat yang mudah dan dapat digunakan ketika pasien di rumah.
Menurut Purnomo (2003), senam Kegel adalah terapi non operatif paling populer
untuk mengatasi inkontinensia urine. Latihan ini dapat memperkuat otot-otot di sekitar organ
reproduksi dan memperbaiki tonus tersebut (Bobak, 2004). Senam Kegel membantu
meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Senam Kegel sebaiknya
dilakukan saat hamil dan setelah melahirkan untuk membantu otot-otot panggul kembali ke
fungsi normal. Apabila dilakukan secara teratur, latihan ini dapat membantu mencegah
prolaps uterus dan stres inkontinensia di kemudian hari (Bobak, 2004).
Pada penelitian ini telah dilakukan penilaian kejadian stres inkontinensia urine post
partum dari wanita hamil primigravida yang mengikuti senam Kegel dan tidak mengikuti
senam Kegel selama hamil (umur kehamilan >35 minggu). Didapatkan 60 ibu hamil yang
memenuhi kriteria inklusi yang dibagi dalam dua kelompok, masing-masing 30 sampel yang
31
mengikuti senam Kegel dan 30 sampel sebagai kontrol (tidak mengikuti senam Kegel). Dari
data yang diperoleh bahwa wanita primigravida yang melahirkan dengan BBL diatas 3000
gram, cenderung mengalami inkontinensia urine. Hal ini sesuai dengan pendapat Cammu
(2000), yang telah melakukan penelitian pada wanita yang melahirkan bayi dengan berat
badan >4000 gram akan mengalami risiko peningkatan inkontinensia urine karena persalinan
seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan kerusakan saraf dasar panggul.
Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan timbulnya
inkontinensia urine dan hal ini selalu dihubungkan dengan kerusakan dasar panggul selama
persalinan pervagina (Herschorn, 2004). Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu
postpartum adalah stres inkontinensia urine. Terjadinya inkontinensia ini karena faktor
sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan
intravesika meningkat atau saat kandung kemih terisi. Peningkatan tekanan intraabdominal
dapat dipacu oleh batuk, bersin tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat
(Wayman, 2003). Penilaian terhadap kejadian stres inkontinensia urine pada penelitian ini
menunjukkan bahwa kelompok yang melakukan senam Kegel lebih rendah (13,3%)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (tidak melakukan senam Kegel) (63,3%).
Pembahasan di atas juga didukung oleh jurnal lainnya Pengaruh Latihan Kegel
Terhadap Frekuensi lnkontinensia Urine Pada Lansia bahwa Dari hasil penelitian di Panti
Wreda Pucang Gading Semarang tentang pengaruh latihan kegel terhadap frekuensi
inkontinensia urine pada 24 responden, didapatkan hasil bahwa ada pengaruh latihan kegel
terhadap frekuensi inkontinensia urine pada lansia (p < 0.05). Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya oleh Flynn, L tentang keefektifan
latihan otot pelvis dalam mengurangi inkontinensia urgensi atau gabungan dari inkontinensia
urgensi dan inkontinensia stress yang diujicobakan pada 37 orang lansia yang bertempat
tinggal di komunitas dengan rentang usia 58 sampai 92 tahun. Dimana hasil akhir penelitian
adalah latihan-latihan tersebut efektif untuk kedua jenis inkontinensia.
2. Bladder Training
Selain pemberian terapi pelvic floor muscle, pasien dengan inkontinensia urine dapat pula
diberikan bladder training. Bladder training merupakan penatalaksanaan yang bertujuan
untuk melatih kembali kandung kemih ke pola berkemih normal dengan menstimulasi
pengeluaran urin. Pada perawatan maternitas, bladder training dilakukan pada ibu yang telah
mengalami gangguan berkemih seperti inkontinensia urin atau retensio urin. Padahal
32
sesungguhnya bladder training dapat mulai dilakukan sebelum masalah berkemih terjadi
pada ibu postpartum, sehingga dapat mencegah intervensi invasif seperti pemasangan kateter
yang justru akan meningkatkan kejadian infeksi kandung kemih. Selama ini apabila ibu
postpartum mengalami masalah BAK, maka salah satu tindakan penyelesaiannya adalah
melalui pemasangan kateter untuk mencegah peregangan kandung kemih yang berlebihan.
Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk mengembalikan pola
normal berkemih dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran urin. Dengan bladder
training diharapkan ibu postpartum dapat BAK secara spontan dalam enam jam postpartum.
Program latihan dalam bladder training meliputi penyuluhan, upaya berkemih terjadwal, dan
memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih
untuk
meningkatkan
kemampuan
mengontrol,
33
mengendalikan,
dan
meningkatkan
BAB VI
ASPEK LEGAL ETIK
5.1 ANALISA KASUS LEGAL ETIK
Aspek legal etik keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan untuk pasien
inkontinensia urien:
a) Autonomy (hak pasien memilih)
Hak pasien untuk memilih treatment/penanganan yang terbaik untuk dirinya.sebagai
seorang perawat harus memenuhi hak-hak pasien dalam melakukan perawatan dan
pengobatan. Apabila tidak dilakukan sesuai harapan pasien maka ketidakefektifan
dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien inkontinensia urine sehingga
penyembuhan penyakit pun tidak maksimal.
b) Beneficence (Bertindak untuk keuntungan pasien)
Kewajiban untuk melakukan hal yang menguntungkan pasien dan secara aktif
berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasien.Sebagai perawat harus
melakukan tindakan perawatan maupun pengobatan yang tidak membahayakan
pasien.Misalnya, dalam memberikan terapi baik medikasi maupun non medikasi
terhadap pasien inkontinensia urine. Dalam hal ini diharapkan seorang perawat
memberikan health education terkait proses pengobatan serta terapi perilaku berkemih
agar pasien dapat mengontrol berkemihnya dengan baik.
c) Confidentiality
Kerahasiaan pasien sangatlah penting untuk tidak dipublikasikan karena merupakan
privasi pasien. Apabila dilanggar oleh seorang perawat maka kesehatan pasien akan
terganggu. Karena pasien merasa memiliki harga diri yang rendah saat tahu bahwa
mengalami inkontinensia urine yang dapat menganggu citra diri pasien.
d) Veracity (Truthfullness & honesty): Kewajiban untuk mengatakan kebenaran.
Segala pernyataan di dalam perawatan baik bagi pasien maupun perawat harus selalu
mengutarakan kebenaran saat melakukan tindakan (bagi perawat) maupun dalam
34
35
36
BAB VII
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan urine yang keluar
dari kandung kemih, baik disadari ataupun tidak disadari (Arif Muttaqin & Kumala Sari,
2009).
Penanganan untuk pasien inkontinensia urine dapat dilakukan terapi medikasi maupun
non medikasi.Terapi non medikasi dapat dilakukan terapi pelvis floor muscle yaitu latihan
dasar otot panggul untuk mengembalikan fungsi sfingter dalam kandung kemih sehingga
dapat mengontrol pasien dalam berkemih.
6.2 SARAN
Saran bagi perawat di samping pemberian asuhan keperawatan yang juga menerapkan
aspek legal etik keperawatan yang mengedepankan hak-hak pasien karena masalah kesehatan
yang dialami pasien bersifat privasi dan seorang perawat harus menjaga privasi pasien
dengan baik yang sesuai dengan aspek legal etik.
37