Anda di halaman 1dari 29

ASKEP LANSIA DGN SISTEM INKOTENENSIA URINE

KELOMPOK

D H EA AN AN D A PU TR I 21 1 7 00 4
R ISK A B OLIO 21 1 7 00 2
ER N IA WA TI EN GIYA N I 21 1 7 01 4
MA R TEN B ILI 21 1 7 02 3

PR OGR A M STUD I SAR J A NA KEPER A WA TA N


SEKOLAH TINGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedomanan bagi
pembaca.

Harapan kami semoga makalah yang berjudul “ASKEP LANSIA DENGAN SISTEM
INKOTENENSIA URINE” ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan
karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Inkontinensia urin adalah kondisi abnormal dan lebih banyak mempengaruhi
wanita (perbandingan 2:1) sampai usia 80 tahun. Selanjutnya kejadian ini memiliki
frekuensi yang sama pada wanita dan pria (Flathery, 2003) dalam Perry, 2009. Wanita
lansia, terutama yang telah memiliki anak, biasanya mengalami inkontinensia stress,
yaitu pengeluaran urin involunter yang terjadi saat mereka batuk, bersin, atau
mengangkat benda. Ini terjadi akibat melemahnya otot dasar panggul dan kandung
kemih (detrusor) (Perry, 2009). Penurunan tonus otot dasar panggul menyebabkan
kebocoran urin akibat penekanan (Ulmsten,1995) dalam Perry, 2009.
Menurut data dari Program Perlindungan Sosial (PPLS) di wilayah Kabupaten
Klaten pada 2015 terdapat 869.474 jiwa penduduk yang berusia lanjut (lansia) bila
dipresentasekan sebanyak 59% dari total penduduk klaten yang berjumlah 1.469.253
jiwa (Chandra, 2015). Prevalensi inkontinensia urin pada wanita kurang lebih 40%,
diantaranya sudah dalam keadaaan cukup parah ketika datang berobat. Survei yang
dilakukan di berbagai Negara Asia didapatkan bahwa prevalensi inkontinensia urin
adalah 14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria (Purnomo, 2011)
Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya
urin. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain, masalah
medik, sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit
disekitar kemaluan akibat urin, masalah sosial berupa perasaan malu, mengisolasi diri
dan mengurung diri dirumah. Pemakaian pampers atau perlengkapan lain guna
menjaga supaya tidak selalu basah oleh urin dan memerlukan biaya yang tidak sedikit
sehingga akan menambah masalah ekonomi (Purnomo, 2011). Langkah awal yang
dilakukan untuk menghadapi berbagai masalah yang terjadi pada lansia terutama
dalam menghadapi inkontinensia urin adalah melakukan kegel exercise. Menurut
Lianne McCabe, 2014 (Journal University Health Network Patient Education), kegel
exercise merupakan suatu latihan yang dikembangkan pertama kali oleh Arnold Kegel
pada tahun 1940 yang sangat efektif untuk membantu mempertahankan kekuatan otot
dasar panggul. Berdasarkan penjabaran di atas, penulis ingin mengetahui lebih lanjut
tentang pengaruh pemberian kegel exercise terhadap penurunan inkontinensia urin
pada lansia.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian kegel exercise terhadap inkontinensia urin pada
lansia?
C. Tujuan
Mengetahui adanya pengaruh pemberian kegel exercise terhadap inkontinensia urin
pada lansia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Inkontinensia didefinisikan sebagai berkemih ( defekasi ) di luar kesadaran, pada
waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau social
( Watson, 1991 ). Terdapat dua aspek social yang sangat penting dalam definisi
inkontinensia ini. Inkontinensia yang diderita oleh klien mungkin tidak menimbulkan
sejumlah masalah yang nyata bagi teman atau keluarganya. Aspek social yang lain
yaitu adanya konsekuensi yang ditimbulkan inkontinensia terhadap individu yang
mengalminya, antara lain klien akan kehilangan harga diri, juga merasa terisolasi dan
depresi.
Faktor yang berkonstribusi terhadap perkembangan inkontinensia adalah factor
fisiologis dan psikologis. Faktor psikologis dapat mencakup depresi dan apatis, yang
dapat meperberat kondisi sehingga sulit untuk mengatasi masalah kearah normal.
Beberapa kondisi psikiatrik dan kerusakan otak organic seperti demensia, dapat juga
menyebabkan inkontinensia. Faktor anatomis dan fisiologis dapat mencakup
kerusakan saraf spinal, yang menghancurkan mekanisme normal untuk berkemih dan
rasa ingin menghentikannya. Penglihatan yang kurang jelas, infeksi saluran
perkemihan, dan medikasi tertentu seperti diuretic juga berhubungan dengan
inkontinensia. Selain itu, wnaita yang melahirkan dan laki – laki dengan protatism,
cenderung mengalami kerusakan kandung kemih yang dapat menyebabkan
inkotinansia, akibat trauma atau pembedahan.
B. Etiologi
Terdapat sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan oleh
semua factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan utama pada
lansia adalah adanya “ ketidakstabilan kandung kemih “. Beberapa kerusakan
persyarafan mengakibatkan sesorang tidak mampu mencegah kontraksi otot kandung
kemih secara efektif (otot detrusor) dan mungkin juga dipersulit oleh masalah lain,
seperti keterbatasan gerak atau konfusi. Keinginan untuk miksi datang sangat cepat
dan sangat mendesak pada seseorang sehingga penderita tidak sempat pergi ke
toilet, akibatnya terjadi inkontinensia, kejadian yang sama mungkin dialami pada saat
tidur.
Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai kandung kemih
seringkali disebabkan oleh kelahiran multiple sehingga pengeluaran urine dari
kandung kemih tidak mampu dicegah selama masa peningkatan tekanan pada
kandung kemih. Adanya tekanan di dalam abdomen, seperti bersin, batuk, atau saat
latihan juga merupakan factor konstribusi.
Pembesaran kelenjar prostat pada pria adalah penyabab yang paling umum
terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan
inkontinensia karena adanya mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat
juga disebabkan oleh adanya obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya
massa maligna ( cancer ) dalam pelvis yang dialami oleh pria dan wanita. Akibat dari
obstruksi, tonus kandung kemih akan menghilang sehingga disebut kandung kemih
atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan tetapi
kemudian menyebabkan overflow, sehingga terjadi inkontinensia.
Apapun penyebabnya, inkontinensia dapat terjadi saat tekanan urine di dalam
kandung kemih menguasai kemampuan otot spingter internal dan eksternal ( yang
berturut – turut baik secara sadar maupun tidak sadar ) untuk menahan urine, tetap
berada dalam kandung kemih.
C. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari inkontinensia urine adalah sebagai berikut :
1. Keluarnya urine dengan jumlah sedikit saat bersin, batuk, tertawa, membungkuk,
atau melompat yang merupakan ciri-ciri dari inkontinensia urine tipe stress
2. Urine yang keluar lambat serta merasa mengejan yang merupakan ciri dari
inkontinensia urine tipe overflow
3. Aliran urine dan volume urine adekuat yang merupakan ciri dari inkontinensia
urine tipe fungsional
4. Merasa adanya desakan berkemih
5. Tidak mampu mencapai toilet saat setelah mulai berkemih
6. Kurangnya hygiene atau terdapat tanda-tanda infeksi.
D. Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas
beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
a. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup.
Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga
atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena
itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan
keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi
sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam
dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah
pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan
keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan
kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat
dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan
percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai
habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml.
Kemudian dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan
meminta penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran
urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu
sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat
ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding
depan vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-
uretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine
terhenti maka ini menunjukkan penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi
kelainan yang dideritanya.
b. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter
dihubungkandengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi).
Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor
berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya
batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak
stabil. Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini
yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan
didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang
menimbulkan inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara
inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya
terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat
fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya
faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra,
divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Burnett,
menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis
multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang, tumor/batu pada
kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan pada
penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering dihubungkan dengan terapi
suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik
yang diperlukan yaitu sistometrik.
c. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi
kandung kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung
kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan
kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya
urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera
vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma
kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis. Corak atau sifat gangguan fungsi
kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya
luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks
miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik
otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan
dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting
mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari
pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di
dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan
kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari. Refleks miksi juga
dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari ganglion yang
termasuk L1, L2, L3. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi

kandung kemih yaitu :


1)Lesi Nuklear (tipe LMN)
Pada lesi di pusat sakral yang menyebabkan rusaknya lengkung refleks terjadi
kelumpuhan flasid pada kandung kemih dan dasar panggul. Sehingga miksi
sebenarnya lenyap.
2) Lesi Supranuklear (Tipe UMN)
Lesi terjadi di atas pusat sakral, dengan pusat miksi sakral dan lengkung
refleks yang tetap utuh, maka hilangnya pengaruh pusat yang lebih atas
terhadap pusat miksi. Miksi sakral menghilangkan kesadaran atas keadaan
kandung kemih. Terjadi refleks kontraksi kandung kemih yang terarah
kepada miksi yang otomatis tetapi tidak efisien karena tidak ada koordinasi
dari pusat yang lebih atas. Sering kontraksi otot dasar panggul bersamaan
waktunya dengan otot kandung kemih sehingga miksi yang baik terhalang.
Juga kontraksi otot kandung kemih tidak lengkap sehingga kandung kemih
benar-benar dapat dikosongkan.
d. Fistula urine
Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi,
atau ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus
lama, yang disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan
jalan lahir di tulang pubis dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan
kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi
plastik pervaginam, operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat
menimbulkan fistula traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah
dengan memasukan metilen biru 30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak
metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
Untuk memperbaiki fistula vesikovaginalis umumnya dilakukan operasi
melalui vagina (transvaginal), karena lebih mudah dan komplikasi kecil. Bila
ditemukan fistula yang terjadi pasca persalinan atau beberapa hari pascah bedah,
maka penanganannya harus ditunda tiga bulan. Bila jaringan sekitar fistula sudah
tenang dan normal kembali operasi baru dapat dilakukan
E. Patofisilogi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi
saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan
abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal
cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul
yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia
urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari
merupakan masalah bagi lanjut usia.
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase.
Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun
kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk,
meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar
keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran
di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan
sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut
kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja
kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor
sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung
kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan
selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu
miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya,
sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka
dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih
dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada
kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.
Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan
disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter
uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi
oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan
otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor
berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih
berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot
detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat
saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh
urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar
saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum)
menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa
menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian
kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat
kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada
pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi
kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme
sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut.
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan
kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat
dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif
ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada
saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme
dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis
segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung
kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan
penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta
penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot
dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun,
sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan
pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang
lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut
biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress,
inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow.
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau
bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan
bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih,
antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain
terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi
urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan
saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi
karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik,
seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan
berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat
membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang
serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia
urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya
juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul.
F. Manifestasi Klinis
a. Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya.
Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress.
b. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu
yang abnormal dan menunjukan adanya kandung kemih yang tidak stabil.
d. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara lemah,
menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal),
fistula (menetes terus menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus
besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukan penyakit yang
mendasari.
e. Ketidak nyamanan daerah pubis.
f. Distensi vesika urinaria.
g. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
h. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml)
i. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
j. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.
k. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
l. Tidak merasakan urine keluar.
m. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.
G. Komplikasi
1. Infeksi saluran kencing.
2. Infeksi kulit daerah kemaluan
3. Kerusakan kulit
4. Masalah psiko sosial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi
5. Inkontinensia
6. Urine fungsional b.d Keterbatasan Neuromuskular
H. Pathway
Pertambahan usia, kehamilan, setelah
melahirkan, kegemukan, menopouse,
kurang aktivitas, penyakit lain(tumor,
kencing batu, radang)

Kelemahaan otot
panggul

INKONTINENSIA
URINE
FUNGSIONAL

Urine yang bersifat Tidak dapat mengontrol Mengangu aktivitas


asam mengiritasi kulit keluaran urine. tidur

Daerah genetalia MK : GANGUAN


lembab POLA TIDUR
Genetalia ekterna basah

Menimbulkan lecet Urine tersisah di celana

MK : KERUSAKAN Tubuh berbau pesing MK : DEFISIT


INTEGRITAS KULIT. PERAWATAN DIRI.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Proses keperawatan meliputi 5 tahapan : pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Tujuan dari proses keperawatan
adalah untuk mengidentifikasi dan mendapatkan data dari masalah yang
dialami klien, menentukan prioritas masalah, menyusun rencana tindakan,
memberikan tindakan keperawatan dengan mengkomunikasikan kepada
klien, dan mengevaluasi dari asuhan keperawatan yang telah diberikan
(Patricia A, Potter, 2005).
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan suatu kegiatan dalam mengumpulkan data dengan
cara mengidentifikasi dalam proses mengenal faktor positif dan negatif
lansia secara individu atau kelompok. Dengan melakukan pengkajian
dapat diketahui masalah dan kebutuhan lansia dalam mengembangkan
rencana promosi kesehatan. Komponen yang ada pada pengkajian
adalah sebagai berikut:
a. Identitas klien
Hal-hal yang dikaji pada identitas klien adalah nama, umur, jenis
kelamin, alamat, pekerjaan, status perkawinan, dan pendidikan terakhir.
b. Riwayat kesehatan
Pada riwayat kesehatan dikaji bagaimana riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, dan riwayat peyakit keluarga.
c. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari (ADLs)
Pengkajian ADLs meliputi makan/minum, eliminasi, mandi, berpakaian,
berhias aktifitas mobilisasi, dan istirahat
d. Pengkajian status fungsional dan intelektual
Pada pengkajian status fungsional bertujuan untuk mengukur
kemandirian klien dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Sedangkan
pada pengkajian intelektual untuk mengukur kemampuan klien berfikir
dan mengingat.
e. Pengkajian fisik
Dalam melakukan pengkajian dilakukan kajian pada kebutuhan dasar
serta kemandirian dalam beraktifitas termasuk keseimbangan dalam
bergerak. Pengkajian fisik dapat dilakukan dengan metode Head to Toe
atau persistem. Hal-hal yang dilakukan pada pengkajian fisik Head
to Toe adalah sebagai berikut:
1. Kepala
Inspeksi : pada pengkajian kepala dikaji bentuk kepala, warna
rambut, pertumbuhan dan kondisi rambut, kebersihan kepala
termasuk rambut, penonjolon tulang.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan atau luka, keadaan
kulit  kepala kasar atau halus.
2. Mata
Inspeksi : pada pengkajian mata dikaji bentuk mata, respon
cahaya, sklera ikterus atau tidak, konjungtiva mengalami anemis
atau tidak.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan atau nyeri tekan
pada daerah sekitar mata.
3. Hidung
Inspeksi : pada pengkajian hidung dikaji bentuk hidung,
terdapat massa abnormal atau tidak, terdapat sekret atau tidak.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan pada daerah hidung
4. Mulut dan kerongkongan
Inspeksi : pada pengkajian mulut dan kerongkongan dikaji
bentuk bibir, warna, berbau atau tidak, jumlah gigi, terdapat
caries gigi atau tidak.
Palpasi : dikaji apakah terdapat masa abnormal di pipi bagian
dalam dan langit mulut
5. Telinga
Inspeksi : pada pengkajian telinga dikaji bentuk telinga, warna,
terdapat serumen atau tidak.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan atau tidak di sekitar
telinga.
6. Leher
Inspeksi : pada pengkajian leher dikaji terdapat lesi atau tidak,
warna kulit. Palpasi : dikaji apakah terdapat pembesaran vena
jugularis dan apakah terdapat pembesaran kelenjar tiroi
7. Dada
Paru-paru
Inspeksi : pada pengkajian paru-paru dikaji bagaimana bentuk
dada apakah normal chest atau barrel chest atau pigeon chest,
terdapat luka atau tidak. Palpasi : dikaji apakah terdapat
benjolan abnormal, vocal premitus (keseimbangan lapang
paru)
Perkusi : dikaji bagaimana suara paru.
Auskultasi : dikaji apakah terdapat suara nafas tambahan.
Jantung
Inspeksi : pada pengkajian jantung dikaji bentuk jantung
Palpasi : dikaji nadi dari kedua lengan pada area nadi temporalis
Perkusi : dikaji bagaimana suara jantung
Auskultasi : dikaji apakah terdapat suara tambahan atau tidak,
bagaimana bunyi jantung 1 dan 2.
8. Abdomen
Inspeksi : pada pengkajian abdomen dikaji bentuk abdomen,
warna, apakah terdapat edema atau lesi.
Auskultasi : dikaji bising usus dengan normal 20x/menit pada
kuadran 8 dan periksa karakteristiknya.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan atau nyeri tekan dan
pembesaran hepar.
Perkusi : dikaji bagaimana suara
9. Genetalia
Pada pria
Inspeksi : dikaji bagaimana bentuk, kesimetrisan ukuran
skrotum, kebersihan, kaji adanya hemoroid pada anus
Palpasi : dikaji apakah terdapat
nyeri tekan. Pada wanita
Inspeksi : dikaji kebersihan, karakteristik pubis dan labia
mayora serta kesimetrisan labia mayora, terdapat perdarahan
atau tidak.
Palpasi : dikaji bagian dalam labia mayora dan minora, terdapat
nyeri tekan atau tidak.
10. Ekstermitas
Pada pengkajian ekstermitas dikaji warna kuku, jari-jari
tangan, apakah terdapat fraktur dan edema serta kaji kekuatan
otot.
11. Integumen
Inspeksi : dikaji kebersihan, warna, kesimetrisan, teksur dan lesi.
Palpasi : kaji permukaan kulit kasar atau halus.
2. Pengkajian psikososial
a. Pengkajian Status Mental Lansia
Mengidentifikasi tingkat kerusakan intelektual dengan menggunakan
SPMSQ, MMSE.
b. Pengkajian Status Sosial
Kemampuan atau sikap serta harapan klien dalam melakukan
sosialisasi. c. Pengkajian Perilaku Terhadap Kesehatan.Untuk
mengetahui kebiasaan klien merokok, minum kopi, penggunaan alkohol.
d. Pengkajian Lingkungan.
B. Diagnosa
1. Inkontinensia Urine fungsional b.d Keterbatasan Neuromuskular.
2. Gangguan Pola Tidur b.d Penurunan Tingkat Aktivitas
3. Kerusakan Integritas Kulit b.d lembab
4. Defisit perawatan diri eliminasi b.d gangguan neuromuscular
C. Intervensi
NO
Diagnosis NOC NIC Rasional

1. InkontinensiaUrine Tujuan a.Identifikasi a.Untuk


fungsional b.d Keperawatan : faktor apa mengetahui
KeterbatasanNeur a. Menunjukkan saja penyebab ink penyebab
omuskular kontinensia urine ontinensia pada inkontinensia
Definisi : b. Keadekuatan pasien urine.
Ketidakmampuan waktu untuk (misalnya, urin b.Menjaga privasi
individu, yang mencapai toilet output, pasien saat
biasa nya antara urgensi pola berkemih, fun berkemih dapat
kontinen, untuk dan pengeluaran gsi kognitif, membuat pasien
mencapai toilet urine masalah merasa nyaman.
tepat waktu untuk perkemihan, residu c.Dengan
berkemih yang Kriteria hasil : pasca berkemih, menjelaskan
mengalami a.Mengidentifikasi k dan obat-obatan). penyebab,
pengeluaran urine einginan b.Jaga privasi inkontinensia
yang tidak berkemih. pasien saat dapat teratasi.
disengaja. b.Merespon tepat berkemih. d.Untuk
waktu terhadap c.Jelaskan mengetahui
Batasan dorongan penyebab frekuensi,
Karakteristik : berkemih. terjadinya konsistensi,
a. Berkemih c.Mencapai toilet inkontinensia dan bau,volumeda
sebelum antara waktu rasionalisasi n warna urine
mencapai dorongan setiap tindakan e. Untuk
toilet berkemih dan yang dilakukan mengetahu
b. Inkontinensi pengeluaran d. Monitor tindakan yang
a urine urine. eliminasi urine, tepat target yang
sangat dini d.Melakukan meliputi frekuensi, diharapkan
eliminasi secara konsistensi, bau, f.Agar pasien
mandiri. volume merasa nyaman
e.Mengosongkan selama terapi
kandung kemih pengobatan
c. Mengosongkank secara tuntas. dan warna sedang
andungkemi f.Mengkonsumsi urine. dilakukan.
dengan cairan dalam jumlah e. Diskusikan g.Agar pasien
Tuntas adekuat. bersama pasien nyaman dan
d. Sensani g. Urin residu pasca mengenai terlindungi.
ingin berkemih berkemih > 100-200 prosedur h.Agar kulit
ml. tindakan dan bersih dan tidak
h. Tidak terjadi target yang mengalami iritasi.
hematuri, dan diharapkan. i. Membatasi
partikel pada urine. f. Bantu pasien intake cairan 2-
i. Tidak ada rasa untuk memilih 3 jam sebelum
sakit pada saat diapers atau tidur dapat
berkemih. popok kain mengurangi
yang sesuai pasien ingin
untuk berkemih.
penanganan
sementara
selama terapi
pengobatan
sedang
dilakukan.
g. Sediakan popok
kain yang nyaman
dan melindungi.
h. Bersihkan kulit
sekitar area
genetalia secara
teratur.
i. Batasi intake
cairan 2-3 jam
sebelum tidur.
2. Gangguan Pola Tujuan a. Kaji faktor- a. Dengan
Tidur b.d Keperawatan : faktor penyebab mengetahui faktor
Penurunan Tingkat a. Anxiety dan penunjang penyebab
Aktivitas reduction misalnya: nyeri dan penunjang
Definisi : b.Comfort level c. akut, takut, stres, penanganan yang
gangguan kualitas Pain level anxietas, sering diberikan akan
dan kuantitas d.Rest : Extern and berkemih saat lebih tepat sesuai
waktu tidur akibat Pattern tidur, lingkungan hasil kajian
faktor eksternal. e. Sleep : Extent yang bising, penyebab dan
Batasan and Pattern suhu kamar penunjang.
Karakteristik : Kriteria Hasil : (terlalu panas b.Pasien akan
a. Jumlah jam tidur atau terlalu lebih nyaman
a. Perubahan dalam batas dingin). dan bisa tidur
pola tidur normal 6-8 b.Menyediakan dengan baik
normal jam/hari waktu dan c. Pengaturan
b.Pola tidur, tempat tidur lingkungan yang
kualitas dalam yang nyaman. baik atau
batas normal c. Mengatur nyaman
c. Perasaan segar lingkungan meningkatan
yang cukup kenyamanan
pasien dan
3. Kerusakan Tujuan Keperawatan : a. Anjurkan pasien untuk a. Pakaian yang
Integritas Kulit a. Tissue Integrity Skin menggunakn pakaian longgar
b.d lembab and Mucous yang longgar. meminimalisir
b. Membranes. b. Jaga kebersihan kulit kerengketan
Definisi : Hemodyalis akses agar tetap pakaian atau kain
Perubahan/gang Kriteria Hasil : bersih dan kering. terhadap daerah
guan epidermis a. Integritas kulit c. Mobilisasi pasien (ubah luka.
dan atau dermis. yang baik bisa posisi pasien) setiap dua b.Kebersihan
Batasan dipertahankan jam sekali. kulit
karakteristik : (sensasi, d. Monitor kulit akan adaya meminimalisir
a. Kerusakan elastisitas, kemerahan. kotoran atau
lapisan kulit temperatur, e. Oleskan lotion atau bakteri terhadap
(dermis) b. hidrasi, pigmentasi). minyak baby oil pada luka dan kulit
b. Gangguan b.Tidak ada luka daerah yang tertekan. yang kering
permukaan atau lesi pada kulit. f. Monitor aktivitas dan dapat
kulit c. Perfusi jaringan mobilisasi pasien. mempercepat
(epidermis) baik. g. Monitor status nutrisi Proses
c. Invasi struktur d. Menunjukkan pasien.
tubuh pemahaman dalam h. Memandikan penyembuhan luka
proses perbaikan pasien dengan sabun (penutupan luka)
kulit dan mencegah dan air hangat. c. Dengan
terjadinya cedera mobilisasi
berulang. pasien dapat
e. Mampu melindungi memperlancar
kulit sirkulasi darah
dan mempertahank dan mencegah
an kelembapan. terjadinya
kulit dan dekubitus.
perawatan alami d.Dengan
mengidentifikas
i kondisi kulit
dapat
menentukan
tindakan
selanjutnya.
e. Dengan
mengoleskan
minyak atau
lotion dapat
4. Defisit Tujuan a. a. Membantu
perawatan diri Pertimbangkan
eliminasi b.d Keperawatan : mempertimban
gangguan budaya gkan budaya
a. Self Care Deficit pasien ketika pasien ketika
neuromuskular
mempromosika mempromosika
Hygiene
Definisi : n aktivitas n aktivitas
b.Urinary
Hambatan perawatan diri. perawatan diri.
kemampuan Incontinence : b.Pertimbangka
n b.Membantu
untuk melakukan
atau functional
usia pasien mempertimban
menyelesaikan Kriteria Hasil : gkan usia pasien
aktivitas ketika ketika
eliminasi a. Perawatan diri : mempromosika mempromosika n
sendiri. Aktivitas n aktivitas aktivitas
kehidupan perawatan diri.
Batasan sehari- hari c. Membantu perawatan diri.
Karakteristik : (ADL) mampu pasien ke toilet /
a. Ketidakmamp c. Agar pasien
untuk commode /
uan melakukan b. Melakukan
hygiene aktivitas
eliminasi yang perawatan fisik
tepat dan pribadi
b.Ketidakmamp secara mandiri
uan naik ke atau dengan alat
toilet atau bantu.
commode c. Perawatan diri
c. Ketidakmamp hygine : mampu
uan berdiri untuk
dari toilet mempertahankan
kebersihan dan
penampilan yang
rapi secara
mandiri dengan
atau tanpa alat
bantu.
d. c. Perawatan diri
eliminasi
D. Implementasi
Implementasi ialah suatu kategori perilaku keperawatan dimana tindakan yang
dilakukan dapat diselesaikan dengan baik dan mencapai tujuan dan kriteria hasil
yang baik. Implementasi meliputi membantu, melakukan, sebuah kinerja
kehidupan sehari-hari, memberikan arahan, mengevaluasi,mencatat serta
melakukan pertukaran informasi yang baik dengan perawatan kesehatan
Komponen implementasi dari proses keperawatan memiliki lima tahapan yaitu
mengkaji ulang klien, menelaah dan memodifikasi rencana asuhan yang telah ada,
mengidentifikasi area dimana bantuan dibutuhkan, mengimplementasikan
intervensi
Dan mengkomunikasikan  intervensi keperawatan Perawat menjalankan
rencana asuhan keperawatan dengan menggunakan beberapa metode-metode
implementasi yaitu:
1. Membantu dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
Aktivitas kehidupan sehari-hari adalah aktivitas yang biasanya
dilakukan klien sepanjang hari secara normal seperti makan, berpakaian,
mandi, menyikat gigi, dan berhias. Kondisi yang mengakibatkan beberapa
kebutuhan untuk bantuan dalam AKS dapat bersifat akut, kronis, temporer,
permanen, atau rehabilitative
2. Konseling
Konseling adalah metode implementasi yang membantu klien
menggunakan proses pemecahan masalah untuk mengenali dan juga
menangani stress dan yang memudahkan hubungan interpersonal di
antara klien, keluarga, dan tim perawatan kesehatan.
3. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan suatu metode implementasi yang digunakan untuk
menyajikan prinsip, prosedur, dan teknik yang tepat tentang perawatan
kesehatan untuk klien dan juga untuk menginformasikan klien tentang
status kesehatannya
4. Memberikan asuhan keperawatan langsung
Untuk mencapai tujuan terapeutik tersebut bagi klien, perawat melakukan
beberapa intervensi untuk mengompenssi reaksi yang merugikan dengan
menggunakan tindakan pencegahan dan preventif dalam
memberikan
asuhan dan juga menyiapkan klien untuk prosedur spesifik, dan melakukan
tindakan yang menyelamatkan jiwa dalam situasi darurat.
5. Mengawasi dan mengevaluasi kerja dari anggota staf lain
Perawat yang mengembangkan rencana asuhan keperawatan sering
tidak melakukan semua intervensi didelegasikan kepada anggota tim
perawatan kesehatan lainnya termasuk memastikan bahwa orang yang
didelegasikan terampil dalam tugas dan dapat menyelesaikan tugas sesuai
dengan standar perawatan (Patricia A. Potter, 2005:203).
E. Evaluasi
Evaluasi ialah suatu tindakan intelektual untuk melengkapi suatu proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari tindakan keberhasilan dari
diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, rencana intervensi, dan
implementasinya (Nursalam, 2008:135).
Langkah evaluasi dari suatu proses keperawatan mengukur respon klien
terhadap tindakan keperawatan dan juga kemajuan klien kearah pencapaian
tujuan (Patricia A. Potter, 2005:216).

Tujuan evaluasi yaitu untuk melihat seberapa besar kemampuan klien dalam mencapai
tujuan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respon dari klien terhadap asuhan
keperawatan yang telah diberikan sehingga dapat mengambil keputusan
DAFTAR PUSTAKA

1. Bulechek, Gloria M dkk. Nursing Interventions Clasification (NIC). Unaitid


Kingdom. Elsevier. 2013.
2. Herdman, T. Heather dkk. NANDA internasional Inc. Diagnosis Keperawatan :
Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Ed. 10. Jakarta. EGC. 2015.
3. Moorhead, Sue dkk. Nursing Outcomes Classification (NOC). Unaitid Kingdom.
Elsevier.2013.
4. NANDA Internasional 2015. Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
2015, Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta : Mediaction

Anda mungkin juga menyukai