KELOMPOK
D H EA AN AN D A PU TR I 21 1 7 00 4
R ISK A B OLIO 21 1 7 00 2
ER N IA WA TI EN GIYA N I 21 1 7 01 4
MA R TEN B ILI 21 1 7 02 3
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedomanan bagi
pembaca.
Harapan kami semoga makalah yang berjudul “ASKEP LANSIA DENGAN SISTEM
INKOTENENSIA URINE” ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan
karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Inkontinensia urin adalah kondisi abnormal dan lebih banyak mempengaruhi
wanita (perbandingan 2:1) sampai usia 80 tahun. Selanjutnya kejadian ini memiliki
frekuensi yang sama pada wanita dan pria (Flathery, 2003) dalam Perry, 2009. Wanita
lansia, terutama yang telah memiliki anak, biasanya mengalami inkontinensia stress,
yaitu pengeluaran urin involunter yang terjadi saat mereka batuk, bersin, atau
mengangkat benda. Ini terjadi akibat melemahnya otot dasar panggul dan kandung
kemih (detrusor) (Perry, 2009). Penurunan tonus otot dasar panggul menyebabkan
kebocoran urin akibat penekanan (Ulmsten,1995) dalam Perry, 2009.
Menurut data dari Program Perlindungan Sosial (PPLS) di wilayah Kabupaten
Klaten pada 2015 terdapat 869.474 jiwa penduduk yang berusia lanjut (lansia) bila
dipresentasekan sebanyak 59% dari total penduduk klaten yang berjumlah 1.469.253
jiwa (Chandra, 2015). Prevalensi inkontinensia urin pada wanita kurang lebih 40%,
diantaranya sudah dalam keadaaan cukup parah ketika datang berobat. Survei yang
dilakukan di berbagai Negara Asia didapatkan bahwa prevalensi inkontinensia urin
adalah 14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria (Purnomo, 2011)
Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya
urin. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain, masalah
medik, sosial, maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan kulit
disekitar kemaluan akibat urin, masalah sosial berupa perasaan malu, mengisolasi diri
dan mengurung diri dirumah. Pemakaian pampers atau perlengkapan lain guna
menjaga supaya tidak selalu basah oleh urin dan memerlukan biaya yang tidak sedikit
sehingga akan menambah masalah ekonomi (Purnomo, 2011). Langkah awal yang
dilakukan untuk menghadapi berbagai masalah yang terjadi pada lansia terutama
dalam menghadapi inkontinensia urin adalah melakukan kegel exercise. Menurut
Lianne McCabe, 2014 (Journal University Health Network Patient Education), kegel
exercise merupakan suatu latihan yang dikembangkan pertama kali oleh Arnold Kegel
pada tahun 1940 yang sangat efektif untuk membantu mempertahankan kekuatan otot
dasar panggul. Berdasarkan penjabaran di atas, penulis ingin mengetahui lebih lanjut
tentang pengaruh pemberian kegel exercise terhadap penurunan inkontinensia urin
pada lansia.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian kegel exercise terhadap inkontinensia urin pada
lansia?
C. Tujuan
Mengetahui adanya pengaruh pemberian kegel exercise terhadap inkontinensia urin
pada lansia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Inkontinensia didefinisikan sebagai berkemih ( defekasi ) di luar kesadaran, pada
waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau social
( Watson, 1991 ). Terdapat dua aspek social yang sangat penting dalam definisi
inkontinensia ini. Inkontinensia yang diderita oleh klien mungkin tidak menimbulkan
sejumlah masalah yang nyata bagi teman atau keluarganya. Aspek social yang lain
yaitu adanya konsekuensi yang ditimbulkan inkontinensia terhadap individu yang
mengalminya, antara lain klien akan kehilangan harga diri, juga merasa terisolasi dan
depresi.
Faktor yang berkonstribusi terhadap perkembangan inkontinensia adalah factor
fisiologis dan psikologis. Faktor psikologis dapat mencakup depresi dan apatis, yang
dapat meperberat kondisi sehingga sulit untuk mengatasi masalah kearah normal.
Beberapa kondisi psikiatrik dan kerusakan otak organic seperti demensia, dapat juga
menyebabkan inkontinensia. Faktor anatomis dan fisiologis dapat mencakup
kerusakan saraf spinal, yang menghancurkan mekanisme normal untuk berkemih dan
rasa ingin menghentikannya. Penglihatan yang kurang jelas, infeksi saluran
perkemihan, dan medikasi tertentu seperti diuretic juga berhubungan dengan
inkontinensia. Selain itu, wnaita yang melahirkan dan laki – laki dengan protatism,
cenderung mengalami kerusakan kandung kemih yang dapat menyebabkan
inkotinansia, akibat trauma atau pembedahan.
B. Etiologi
Terdapat sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan oleh
semua factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan utama pada
lansia adalah adanya “ ketidakstabilan kandung kemih “. Beberapa kerusakan
persyarafan mengakibatkan sesorang tidak mampu mencegah kontraksi otot kandung
kemih secara efektif (otot detrusor) dan mungkin juga dipersulit oleh masalah lain,
seperti keterbatasan gerak atau konfusi. Keinginan untuk miksi datang sangat cepat
dan sangat mendesak pada seseorang sehingga penderita tidak sempat pergi ke
toilet, akibatnya terjadi inkontinensia, kejadian yang sama mungkin dialami pada saat
tidur.
Pada wanita, kelemahan otot spingter pada outlet sampai kandung kemih
seringkali disebabkan oleh kelahiran multiple sehingga pengeluaran urine dari
kandung kemih tidak mampu dicegah selama masa peningkatan tekanan pada
kandung kemih. Adanya tekanan di dalam abdomen, seperti bersin, batuk, atau saat
latihan juga merupakan factor konstribusi.
Pembesaran kelenjar prostat pada pria adalah penyabab yang paling umum
terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan
inkontinensia karena adanya mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat
juga disebabkan oleh adanya obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya
massa maligna ( cancer ) dalam pelvis yang dialami oleh pria dan wanita. Akibat dari
obstruksi, tonus kandung kemih akan menghilang sehingga disebut kandung kemih
atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan tetapi
kemudian menyebabkan overflow, sehingga terjadi inkontinensia.
Apapun penyebabnya, inkontinensia dapat terjadi saat tekanan urine di dalam
kandung kemih menguasai kemampuan otot spingter internal dan eksternal ( yang
berturut – turut baik secara sadar maupun tidak sadar ) untuk menahan urine, tetap
berada dalam kandung kemih.
C. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari inkontinensia urine adalah sebagai berikut :
1. Keluarnya urine dengan jumlah sedikit saat bersin, batuk, tertawa, membungkuk,
atau melompat yang merupakan ciri-ciri dari inkontinensia urine tipe stress
2. Urine yang keluar lambat serta merasa mengejan yang merupakan ciri dari
inkontinensia urine tipe overflow
3. Aliran urine dan volume urine adekuat yang merupakan ciri dari inkontinensia
urine tipe fungsional
4. Merasa adanya desakan berkemih
5. Tidak mampu mencapai toilet saat setelah mulai berkemih
6. Kurangnya hygiene atau terdapat tanda-tanda infeksi.
D. Klasifikasi
Terdapat beberapa macam klasifikasi inkontinensia urine, di sini hanya dibahas
beberapa jenis yang paling sering ditemukan yaitu :
a. Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup.
Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga
atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk.
Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena
itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan
keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi
sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam
dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah
pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan
keluhan inkontinensia ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan
kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat
dilihat dinding depan vagina. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan
percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai
habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih.
Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung
kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian
ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml.
Kemudian dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan
meminta penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran
urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu
sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati, harus terjadi pengeluaran urine pada saat
ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding
depan vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sisto-
uretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine
terhenti maka ini menunjukkan penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi
kelainan yang dideritanya.
b. Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter
dihubungkandengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi).
Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor
berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya
batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak
stabil. Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini
yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
Penyebab kandung kemih tak stabil adalah idiopatik, diperkirakan
didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang
menimbulkan inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara
inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya
terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat
fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya
faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra,
divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Burnett,
menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis
multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang, tumor/batu pada
kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan pada
penyebabnya. Sedang urgensi motorik lebih sering dihubungkan dengan terapi
suportif, termasuk pemberian sedativa dan antikolinegrik. Pemeriksaan urodinamik
yang diperlukan yaitu sistometrik.
c. Inkontinensia luapan (Overflow Incontinence)
Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan
intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi
kandung kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung
kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan
kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya
urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera
vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma
kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis. Corak atau sifat gangguan fungsi
kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya
luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks
miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik
otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan
dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting
mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari
pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di
dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan
kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari. Refleks miksi juga
dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari ganglion yang
termasuk L1, L2, L3. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi
Kelemahaan otot
panggul
INKONTINENSIA
URINE
FUNGSIONAL
A. Pengkajian
Proses keperawatan meliputi 5 tahapan : pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Tujuan dari proses keperawatan
adalah untuk mengidentifikasi dan mendapatkan data dari masalah yang
dialami klien, menentukan prioritas masalah, menyusun rencana tindakan,
memberikan tindakan keperawatan dengan mengkomunikasikan kepada
klien, dan mengevaluasi dari asuhan keperawatan yang telah diberikan
(Patricia A, Potter, 2005).
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan suatu kegiatan dalam mengumpulkan data dengan
cara mengidentifikasi dalam proses mengenal faktor positif dan negatif
lansia secara individu atau kelompok. Dengan melakukan pengkajian
dapat diketahui masalah dan kebutuhan lansia dalam mengembangkan
rencana promosi kesehatan. Komponen yang ada pada pengkajian
adalah sebagai berikut:
a. Identitas klien
Hal-hal yang dikaji pada identitas klien adalah nama, umur, jenis
kelamin, alamat, pekerjaan, status perkawinan, dan pendidikan terakhir.
b. Riwayat kesehatan
Pada riwayat kesehatan dikaji bagaimana riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, dan riwayat peyakit keluarga.
c. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari (ADLs)
Pengkajian ADLs meliputi makan/minum, eliminasi, mandi, berpakaian,
berhias aktifitas mobilisasi, dan istirahat
d. Pengkajian status fungsional dan intelektual
Pada pengkajian status fungsional bertujuan untuk mengukur
kemandirian klien dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Sedangkan
pada pengkajian intelektual untuk mengukur kemampuan klien berfikir
dan mengingat.
e. Pengkajian fisik
Dalam melakukan pengkajian dilakukan kajian pada kebutuhan dasar
serta kemandirian dalam beraktifitas termasuk keseimbangan dalam
bergerak. Pengkajian fisik dapat dilakukan dengan metode Head to Toe
atau persistem. Hal-hal yang dilakukan pada pengkajian fisik Head
to Toe adalah sebagai berikut:
1. Kepala
Inspeksi : pada pengkajian kepala dikaji bentuk kepala, warna
rambut, pertumbuhan dan kondisi rambut, kebersihan kepala
termasuk rambut, penonjolon tulang.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan atau luka, keadaan
kulit kepala kasar atau halus.
2. Mata
Inspeksi : pada pengkajian mata dikaji bentuk mata, respon
cahaya, sklera ikterus atau tidak, konjungtiva mengalami anemis
atau tidak.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan atau nyeri tekan
pada daerah sekitar mata.
3. Hidung
Inspeksi : pada pengkajian hidung dikaji bentuk hidung,
terdapat massa abnormal atau tidak, terdapat sekret atau tidak.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan pada daerah hidung
4. Mulut dan kerongkongan
Inspeksi : pada pengkajian mulut dan kerongkongan dikaji
bentuk bibir, warna, berbau atau tidak, jumlah gigi, terdapat
caries gigi atau tidak.
Palpasi : dikaji apakah terdapat masa abnormal di pipi bagian
dalam dan langit mulut
5. Telinga
Inspeksi : pada pengkajian telinga dikaji bentuk telinga, warna,
terdapat serumen atau tidak.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan atau tidak di sekitar
telinga.
6. Leher
Inspeksi : pada pengkajian leher dikaji terdapat lesi atau tidak,
warna kulit. Palpasi : dikaji apakah terdapat pembesaran vena
jugularis dan apakah terdapat pembesaran kelenjar tiroi
7. Dada
Paru-paru
Inspeksi : pada pengkajian paru-paru dikaji bagaimana bentuk
dada apakah normal chest atau barrel chest atau pigeon chest,
terdapat luka atau tidak. Palpasi : dikaji apakah terdapat
benjolan abnormal, vocal premitus (keseimbangan lapang
paru)
Perkusi : dikaji bagaimana suara paru.
Auskultasi : dikaji apakah terdapat suara nafas tambahan.
Jantung
Inspeksi : pada pengkajian jantung dikaji bentuk jantung
Palpasi : dikaji nadi dari kedua lengan pada area nadi temporalis
Perkusi : dikaji bagaimana suara jantung
Auskultasi : dikaji apakah terdapat suara tambahan atau tidak,
bagaimana bunyi jantung 1 dan 2.
8. Abdomen
Inspeksi : pada pengkajian abdomen dikaji bentuk abdomen,
warna, apakah terdapat edema atau lesi.
Auskultasi : dikaji bising usus dengan normal 20x/menit pada
kuadran 8 dan periksa karakteristiknya.
Palpasi : dikaji apakah terdapat benjolan atau nyeri tekan dan
pembesaran hepar.
Perkusi : dikaji bagaimana suara
9. Genetalia
Pada pria
Inspeksi : dikaji bagaimana bentuk, kesimetrisan ukuran
skrotum, kebersihan, kaji adanya hemoroid pada anus
Palpasi : dikaji apakah terdapat
nyeri tekan. Pada wanita
Inspeksi : dikaji kebersihan, karakteristik pubis dan labia
mayora serta kesimetrisan labia mayora, terdapat perdarahan
atau tidak.
Palpasi : dikaji bagian dalam labia mayora dan minora, terdapat
nyeri tekan atau tidak.
10. Ekstermitas
Pada pengkajian ekstermitas dikaji warna kuku, jari-jari
tangan, apakah terdapat fraktur dan edema serta kaji kekuatan
otot.
11. Integumen
Inspeksi : dikaji kebersihan, warna, kesimetrisan, teksur dan lesi.
Palpasi : kaji permukaan kulit kasar atau halus.
2. Pengkajian psikososial
a. Pengkajian Status Mental Lansia
Mengidentifikasi tingkat kerusakan intelektual dengan menggunakan
SPMSQ, MMSE.
b. Pengkajian Status Sosial
Kemampuan atau sikap serta harapan klien dalam melakukan
sosialisasi. c. Pengkajian Perilaku Terhadap Kesehatan.Untuk
mengetahui kebiasaan klien merokok, minum kopi, penggunaan alkohol.
d. Pengkajian Lingkungan.
B. Diagnosa
1. Inkontinensia Urine fungsional b.d Keterbatasan Neuromuskular.
2. Gangguan Pola Tidur b.d Penurunan Tingkat Aktivitas
3. Kerusakan Integritas Kulit b.d lembab
4. Defisit perawatan diri eliminasi b.d gangguan neuromuscular
C. Intervensi
NO
Diagnosis NOC NIC Rasional
Tujuan evaluasi yaitu untuk melihat seberapa besar kemampuan klien dalam mencapai
tujuan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respon dari klien terhadap asuhan
keperawatan yang telah diberikan sehingga dapat mengambil keputusan
DAFTAR PUSTAKA