PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan dan perkembangan ekonomi meningkatkan taraf
hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini diiringi dengan
peningkatan usia harapan hidup (life-expectancy) dan taraf hidup
penduduk. Peningkatan usia harapan hidup pada penduduk tentu saja
akan meningkatkan jumlah populasi lanjut usia (lansia). WHO
memperkirakan tahun 2025 jumlah lansia di seluruh dunia akan mencapai
1,2 milliar orang yang akan terus bertambah hingga 2 milliar orang di
tahun 2025. Data WHO juga memperkirakan 75% populasi lansia di dunia
pada tahun 2025 berada di negara berkembang. Perkembangan
penduduk lanjut usia di Indonesia sepuluh tahun dari sekarang
diperkirakan mencapai 28,8 juta jiwa atau 11,34%. Jumlah tersebut, pada
tahun 2010 jumlah penduduk lansia yang tinggal di perkotaan sebesar
12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di pedesaan sebesar 15.612.232
(9,97%) (Depsos, 2007). Berdasarkan Bapenas (2008), jumlah lansia
pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai angka 62,4 juta jiwa.
Jumlah lansia yang cukup tinggi ini yang menjadikan lansia sebagai
kelompok penduduk yang memerlukan perhatian yang lebih, terutama
bagi kesehatan, baik fisik dan sosial.
Sementara berdasarkan data yang bersumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara, jumlah penduduk lanjut usia di
Sumatera utara pada tahun 2009 adalah sebanyak 805.500 jiwa (6,08 %)
dari total keseluruhannya yakni 13.248.400 jiwa. Dan diperkirakan akan
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan jumlah lansia
juga terjadi di kota Binjai salah satu kota di Sumatera Utara. Kota dengan
jumlah penduduk sekitar 250.000 jiwa ini juga mengalami peningkatan
jumlah lansia secara signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 2007 jumlah
lansia di Kota Binjai tercatat sebanyak 12.797 jiwa, tahun 2008 sebanyak
1
13.796 jiwa, tahun 2009 sebanyaak 13.843 jiwa , dan tahun 2010 tercatat
sebanyak 14.518 jiwa (BPS, Kota Binjai)
Peningkatan masalah kesehatan, merupakan salah satu dampak
dari peningkatan jumlah lansia. Menurut Sharkey (2002) kekurangan zat
gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial bagi kesehatan pada
seluruh populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa
perubahan baik secara fisik maupun mental. Perubahan ini mempengaruhi
kondisi seseorang baik aspek psikologis, fisiologis, dan sosio-ekonomi.
Selain itu, perubahan mengakibatkan kemunduran biologis yaitu lebih
mudah sakit, lebih lama sakit dan lebih lama penyembuhannya.
Pada lansia, masalah gizi yang terjadi disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu perubahan karakteristik individu, asupan zat gizi, faktor
kesehatan, dan karakteristik psikososial (Sharkey, et al. 2002). Selain itu,
penurunan angka metabolisme basal tubuh dan gangguan gigi dapat
berpengaruh pada kemampuan mengunyah. Hal ini menyebabkan
perubahan asupan makanan, sehingga dapat terjadi defisiensi zat gizi
(Wirakusumah, 2001).
Arah kebijakan tentang lansia di Indonesia sebenarnya menitik
beratkan pada keluarga sebagai penanggung jawab utama untuk
kesejahteraan lansia, namun pada kenyataannya di berbagai negara telah
terjadi penurunan dukungan dari anak terhadap lansia. Panti merupakan
alternatif yang tepat untuk membantu lansia dengan memberikan bantuan
berupa tempat pembinaan (Wirakusumah, 2001).
Masalah gizi pada lansia khususnya yang tinggal di Panti Tresna
Werdha dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu asupan
makanan pada lansia yang disediakan oleh petugas panti.
Penyelenggaraan makan di panti jompo bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan lansia sehingga diperlukan penyusunan menu makanan yang
dapat meningkatkan selera makan bagi lansia untuk memenuhi kebutuhan
fisiologisnya.
Sistem penyelenggaraan makanan terdiri dari input, proses, dan
output. Input dalam sistem penyelenggaraan makanan terdiri atas man,
2
money, material, methode, dan mechine. Petugas Panti Tresna Werdha
ini memberikan pelayanan asupan makanan 3 kali sehari, selain itu
diberikan makanan ringan setiap pagi.
Agar makanan yang disajikan tetap terjaga kualitasnya, maka
makanan yang disajikan harus dievaluasi salah satu caranya adalah
dengan menghitung daya terima makanan konsumen. Daya terima
makanan adalah presentase makanan yang di konsumsi dari total
keseluruhan yang disediakan. Daya terima ini banyak dipengaruhi
beberapa faktor diantaranya adalah penampilan makanan saat disajikan
dan rasa makanan (Dewi, 2007 ). Daya terima erat kaitannya dengan
asupan makanan yang mencerminkan suatu interaksi antara fungsi
fisiologis dan kondisi lingkungan sehingga dapat mempengaruhi pula
status gizi seseorang (Februanti, 2008).
Menurut Depkes, (2003) beberapa data menunjukkan bahwa lebih
dari 28% lanjut usia yang tinggal Panti Sosial tresna Werdha (PSTW) di
Jakarta memiliki IMT dibawah normal. Panti Tresna werdha ini biasanya
diperuntukkan bagi lansia yang tidak mempunyai sanak keluarga atau
teman yang mau menerima sehingga pemerintah wajib melindungi lansia
dengan menyelenggarakan panti werdha (Darmojo, 2009). Masalah gizi
yang terlihat berdasarkan observasi yang dilakukan pada tahun 2010
adalah banyaknya lansia yang ompong atau gigi tanggal, tidak
menghabiskan makanan yang diberikan, kurang minum dan terlihat kurus.
Asupan makanan merupakan faktor utama dalam memenuhi
kebutuhan zat gizi, zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh,
mengatur metabolisme dalam tubuh, memperbaiki jaringan tubuh.
Uraian di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya
penyelenggaraan makanan bagi pemenuhan kebutuhan asupan makanan
lansia. Hal inilah yang mendasari pentingnya penelitian yang berjudul
“Gambaran Penyelenggaraan Makanan dan Penilaian Status Gizi Lansia
di UPT Pelayanan Lansia Kota Binjai Tahun 2018”
3
B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah Gambaran Penyelenggaraan Makanan dan
Penilaian Status Gizi Lansia di UPT Pelayanan Lansia Kota Binjai Tahun
2018?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Penyelenggaraan Makanan dan Penilaian
Status Gizi Lansia di UPT Pelayanan Lansia Kota Binjai Tahun 2018.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan Penyelenggaraan Makanan Lansia di UPT
Pelayanan Lansia Kota Binjai Tahun 2018.
b. Menilai Status Gizi Lansia di UPT Pelayanan Lansia Kota Binjai
Tahun 2018.
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi peneliti, sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan
kemampuan dan wawasan penulis dalam penulisan Tugas Akhir.
b. Bagi UPT Pelayanan Lansia, Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai penyelenggaraan makanan yang
sesuai dengan standar sehingga dapat mempertahankan status gizi
yang normal untuk para lansia UPT Pelayanan Lansia tersebut.
c. Bagi Lansia, Memberikan wawasan dan tambahan informasi
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi lansia itu
sendiri serta memberikan informasi mengenai makanan yang
sesuai dengan kebutuhan gizi lansia tersebut.
d. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai sumber data bagi peneliti
berikutnya yang akan melakukan penelitian dengan menggunakan
metode dan variabel yang lebih kompleks.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lansia
1. Pengertian Lansia
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang
yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok
umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase
kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu
proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan.
Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai
dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit
yang dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem kardiovaskuler
dan pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain
sebagainya. Hal tersebut disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga
terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem
organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada kemunduran
kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan berpengaruh
pada activity of daily living (Fatmah, 2010).
5
Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki
masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun)
Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif
(usia >65 tahun)
IMT=
6
B. Penyelengaraan Makanan
1. Pengertian Penyelengaraan Makanan
Penyelenggaraan berasal dari kata dasar “selengara” yang artinya
“menyelenggarakan, mengurus, dan mengusahakan sesuatu, seperti:
memelihara, merawat”. (Ali, 1990:403). Jika dikaitkan dengan makanan,
maka penyelenggaraan makanan pada hakikatnya merupakan kegiatan
mengurus dan mengusahakan masalah makanan, atau proses
pengolahan makanan pada satu jenis kegiatan tertentu.
Menurut Moehyi (1992), penyelenggaraan makanan adalah suatu
proses menyediakan makanan dalam jumlah besar dengan alas an
tertentu. Sedangkan Depkes (2003) menjelaskan bahwa penyelenggaraan
makanan adalah rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu
sampai dengan pendistribusian makanan kepada konsumen dalam rangka
pencapaiana status yang optimal melalui pemberian makanan yang tepat
dan termasuk kegiatan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi bertujuan
untuk mencapai status kesehatan yang optimal melalui pemberian makan
yang tepat (Rahmawati, 2011).
Sebelum makanan dikonsumsi melalui berbagai tahapan, mulai dari
perencanaan menu atau bahan yang akan dibeli sesuai kebutuhan,
pengadaan bahan makanan melalui pembelian atau menanam sendiri,
pengolahan sesuai kebutuhan ataupun selera. Dengan demikian, agar
makanan yang dikonsumsi dapat berkualitas baik dari segi proses
maupun hasil pengolahannya maka perlu diselenggarakan secara baik.
Dengan penyelenggaraan makanan yang baik diharapkan akan
menghasilkan makanan yang baik kualitasnya, enak rasanya,
penghidangan yang produksi yang murah. Hal ini berarti bahwa dalam
penyenggaraan makanan, selain memperhatikan aspek kualitas makanan
juga diperhatikan aspek biaya operasionalnya.
Hasil penelitian penyelenggaraan makanan yang dilakukan di
pondok pesantren Assalaam sudah menggunakan teknologi yang modern
7
dan memiliki manajemen yang baik dalam perencanaan dan pelaksanaan
serta memiliki ahli gizi sebagai konsultan terhadap menu makanan.
Konsumsi rata-rata zat gizi contoh relatif sama pada contoh putri dan
putra. Sebagian besar contoh (75%) memiliki status gizi normal (Rani,
2008).
Menurut Djuarni (1998:273) yang dikuti oleh Deden (2010)
mengemukakan bahwa penyelenggaraan makanan sebagai proses
pengolahan makanan, mulai dari perencanaan menu, pengadaan bahan
makanan dan perawatannya, persiapan dan pengolahan serta pelayanan.
3. Peralatan Perlengkapan
Oktrizanita (2005) yang mengutip pendapat Moehji (1990) bahwa
dalam penyelenggaraan makanan baik di institusi ataupun jasa boga,
untuk kelancaran terselenggaranya kegiatan penyelenggaraan makanan
tersebut secara baik dan cepatdidukung juga oleh kecukupan dan
kelengkapan peralatan dan perlengkapan yang tersedia. Kebutuhan akan
peralatan dan perlengkapan dapur harus disesuaikan dengan arus kerja,
unit kerja, menu, dan jumlah konsumen yang dilayani, serta macam
pelayanan.Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-
8
hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup.
5. Perencanaan Menu
Perencanan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu yang
akan diolah untuk memenuhi selera konsumen pasien dan kebutuhan zat
gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang. Merencanakan menu untuk
suatu pelayanan makanan kepada orang banyak adalah suatu pekerjaan
yang tidak mudah, karena setiap orang mempunyai kebiasaan dan
9
kesukaan makan yang saling berbeda. Oleh karena itu, susunan menu
harus disesuaikan kebiasaan makan dan selera umum (Ratna, 2009).
Tahap penyusunan menu khususnya untuk sebuah penyelenggaraan
makanan yang diperuntukkan bagi orang banyak sesuai dengan
penjelasan soekresno (2000:76) harus memperhatikan keadaan
keuangan, ketersediaan bahan sesuai musim, usia orang yang akan
makan, agama, latar belakang kebudayaan / adat istiadat, dan lain
sebagainya yang dianggap akan mempengaruhi proses penyelenggaraan
makanan yang dilakukan, hal ini sudah termasuk penyelenggaraan
makanan institusi seperti perusahaan.
Sedang syarat penyusunan menu institusi seperti perusahaan yang
terkait dengan pengamanan makanan dan minuman berdasarkan
peraturan pemerintah No. 28 tahun 2004 bagian ke-empat yaitu
pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi
masyarakat dari makanan yang tidak memenuhi standar dan atau
persyaratan kesehatan.
Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis proses penyediaan
makanan dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI,
2003), prasyarat perencanaan menu adalah:
a) Peraturan pemberian makanan institusi.
b) Standar porsi dan standar resep.
c) Standar bumbu.
Dari hasil penelitian Rahmawati dkk (2011) dalam manajemen gizi
institusi penyelenggaraan makanan di sekolah Madania SD, SMP dan
SMA bahwa menu yang disajikan pihak kantin sekolah mengalami
perubahan khususnya dalam menu makan siang setiap satu bulan sekali.
Hal ini dilakukan guna menghindari kejenuhan siswa, setiap perubahan
menu akan melibatkan pihak guru. Setiap menu diharapkan memenuhi
tujuan dari penyelenggaraan kantin sekolah. Hal ini menunjukan bahwa
dalam perencanaan menu harus memperhatikan keadaan konsumen
dengan memperhatikan selera konsumen masing-masing institusi.
10
a) Menurut Departemen Kesehatan RI (1991) dalam perencanaan
menu menyebutkan bahwa Perencanaan suatu menu makanan
hendaknya menggunakan bahan makanan yang mengandung gizi
secara lengkap. Penganekaragaman selain meningkatkan mutu gizi
hidangan juga mempermudah perencanaan menu makanan.
b) Pada waktu perencanaan menu makanan perlu pula diperhatikan
katersediaan bahan makanan disamping faktor selera dan nilai gizi.
Daftar padanan bahan makanan dapat digunakan untuk membantu
menyusun menu makanan yang padat zat gizi.
c) Padanan bahan makanan berisi daftar bahan makanan yang dalam
kelompoknya dapat menggantukan satu sama lain karena
mempumyai nilai gizi yang kurang lebih sama.
Dalam merencanakan suatu menu hendaknya ditentukan terlebih
dahulu macam menu yang diinginkan, menu pilihan atau menu standar.
Menu pilihan adalah jenis menu yang disajikan dan konsumen dapat
memilih sesuai dengan seleranya, sedangkan menu standar adalah
susunan menu yang digunakan untuk penyelenggaraan makanan dengan
jangka waktu cukup panjang antara 7 hari atau sampai 10 hari. Jenis
masakan yang akan disajikan dari hari ke hari, baik untuk makan pagi,
makan siang, makan malam, maupun makanan selingan telah sitentukan
sehingga penyelenggaraan penyediaan makanan tinggal mengikuti daftar
menu itu saja.menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), adalah
kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang
kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber
kesenangan, tetapi merupakan cara mencari nafkah, berulang dan banyak
tantangan. Menurut Wales 2009 pkerjaan dalam arti luas adalah aktifitas
utama yang dilakukan oleh manumur, dalamarti sempit istilah pekerjaan
digunakan untuk suatu tugas / kerja yang menghasilkan uang bagi
seseorang
11
Penghitungan kebutuhan bahan makanan adalah kegiatan
penyusunan kebutuhan bahan makanan yang diperlukan untuk
pengadaan bahan makanan. Penghitungan bahan makanan merupakan
suatu langkah penting dalam upaya pengendalian harga makanan
konsumen. Cara penghitungan bahan makanan adalah mengalikan
jumlah konsumen dengan standar porsi dengan memperhitungkan bagian
yang tidak dapat dimakan dan dikalikan dengan jumlah hari dalam kurun
waktu yang ditetapkan. Hasil akhir dari penghitungan ini dapat pula
dibandingkan dengan sebelumnya sebagai pengecekan ulang. Apabila
telahdisepakati dalam pembelian bahan makanan, maka perhitungan ini
perlu juga dinilai untuk dua sampai tiga kali putara menu, agar pesanan
bahan makanan selanjutnya lancer dan cukup (Oktrizanita, 2005).
Hasil penelitian Ratna (2009) bahwa perencanaan anggaran belanja
bahan makanan di instalasi gizi Rumah sakit ortopedi Prof. Dr. R.
Soeharso Surakarta bahwa langkah – langkah dalam perhitungan
kebutuhan bahan makanan yang ada di Istalasi Gizi Rumah Sakit
Ortopedi Surakarta yaitu: Jumlah pasien x berat kotor x disesuaikan
dengan menu yang akan di masak besok.
Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis proses penyediaan
makanan dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI,
2003), bahwa prasyarat perencanaan kebutuhan bahan makanan adalah:
a) Adanya kebijakan institusi.
b) Tersedianya data peraturan pemberian makanan institusi.
c) Tersedianya data standar makanan untuk konsumen.
d) Tersedianya data standar harga bahan makanan.
e) Tersedianya siklus menu.
f) Tersedianya data jumlah konsumen yang dilayani
12
yang merupakan awal dari proses mendapatkan makanan jadi. Bahan
makanan harus dipilih kualitasnya yang baik dan tidak tercemar.
Utari (2009) yang mengutip pedoman teknis proses penyediaan
makanan dalam sistem penyelenggaraan makanan institusi(Depkes RI,
2003), prasyarat pemesanan dan pembelian bahan makanan adalah:
a) Adanya kebijakan institusi tentang pengadaan bahan makanan.
b) Adanya surat perjanjian dengan bagian logistik rekanan.
c) Adanya spesifikasi bahan makanan.
d) Adanya daftar pesanan bahan makanan.
e) Tersedianya dana.
Hasil penelitian yang dilakukan di SMA Negeri Ragunan Jakarta
bahwa dalam pemesanan bahan makanan seperti buah-buahan dan
sayuran dipesan untuk kebutuhan seminggu dan daging-dagingan
dipesan untuk kebutuhan sebulan. Hal ini disebabkan buah-buahan dan
sayuran termasuk kelompok pangan yang mudah rusak, sedangkan
daging-dagingan memiliki keawetan yang lebih tinggi dibanding dua
kelompok pangan tersebut. Pencatatan pemesanan disesuaikan dengan
kebutuhan dan jadwal kedatangan bahan-bahan makanan
tersebut(Febrianty, 2009)
Pengadaan bahan makanan dapat ditempuh dengan berbagai cara,
seperti : membeli di pasar atau pusat perbelanjaan, mengambil sendiri di
kebun/sawah. Dalam pengadaan bahan makanan sangat diperlukan
kualitas bahan makanan dan harga makanan terlebih lagi jika bahan
makanan tersebut akan di sajikan di perusahaan (Deden, 2010) .
Petugas yang ditugaskan untuk pengadaan bahan makanan di
perusahaan hendaknya bersikap jujur dan membeli bahan makanan
sesusai dengan kebutuhan menu yang telah direncanakan, sehingga
anggaran yang diperuntukkan dalam pengadaan bahan makanan betul-
betul terpenuhi.
Pemesanan adalah penyusunan permintaan (order) bahan makanan
berdasarkan menu atau pedoman menu dan rata-rata jumlah konsumen
yang dilayani. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
13
Ortopedi Prof Dr. R. Soeharto Moestopo Surakarta bahwa Pemesanan
bahan makanan baik makanan kering ataupun makanan basah di tulis
pada bon pemesanan. Bahan makanan basah seperti buah, sayuran,
daging dll di pesan setiap hari. Pada pemesanan bahan makanan kering
di lakukan setiap 1 bulan sekali karena bahan makanan kering dapat
bertahan cukup lama. Pembelian adalah salah satu kegiatan pengadaan
di dalam upaya memenuhi kebutuhan makanan. Cara pembelian bahan
makanan yang dilakukan di Rumah Sakit dengan cara sistem lelang
melalui rekanan(Ratna, 2009).
14
di hadapi yaitu, pada penerimaaan tidak sesuai dengan jumlah sehingga
pihak rekanan akan mengirimkan kembali.
15
b) Tersedianya peraturan penggunaan bahan tambahan pangan. \
c) Tersedianya bahan makanan yang akan diolah.
d) Tersedianya peralatan pengolahan bahan makanan.
e) Tersedianya aturan penilaian.
f) Tersedianya prosedur tetap pengolahan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSJ Daerah
Sumatera Utara bahwa untuk bahan makanan yang telah diambil dr
tempat penyimpanan bahan makanan diolah sesuai dengan menu yang
telah ditentukan. Karena di rumah sakit ini hanya menyediakan makanan
biasa yaitu makanan tanpa diet tertentu ataupun bentuk khusus.
Persiapan yang biasa dilakukan adalah: memotong,mengiris, mengocok,
menghaluskan, dan sebagainya merupakan persiapan yang biasa saja.
Kegiatan pengolahan ini meliputi kegiatan merebus, menggoreng,
menumis, dan sebagainya sesuai dengan menu yang ada (Oktrizanita,
2005).
16
d) Tersedianya peralatan makanan.
e) Tersedia sarana pendistribusian makanan.
f) Tersedia tenaga pramusaji.
g) Adanya jadwal pendistribusian makanan di dapur utama.
Di rumah sakit ada 3 sistem penyaluran makanan yang biasa
dilakukan, yaitu system yang dipusatkan (sentralisasi), system yang tidak
dipusatkan (desentralisasi), dan kombinasi antara sentralisasi dengan
desentralisasi
a) penyaluran makanan yang dipusatkan.
Cara ini lazim disebut “sentralisasi”.dengan ketentuan ini, makanan
pasien dibagi dan disajikan dalam alat makan di tempat pengolahan
makanna.
b) Penyaluran makanan yang tidak dipusatkan.
Cara ini disebut distribusi “desentralisasi”. Makana pasien dibawa
dari tempat pengolahan ke dapur ruang perwatan pasien, dalam jumlah
banyak/besar, untuk selanjutnya disajikan dala alat makan masing-masing
pasien dengan permintaan diet.
c) penyaluran makanan kombinasi.
Kedua cara di atas dapat pula dilakukan secara bersamaan. Dengan
kombinasi tersebut maka sebagian ditempatkan langsung ke dalam alat
makan pasien sejak dari tempat produksi (dapur), dan sebagian lagi
dimasukkan kedalam wadah besar, pendistribusiannya dilaksanakan
setelah sampai di ruang perawatan. Hasil penelitian yang dilakukan di
RSJ Daerah Sumatera Utara system pendistribusian makanannya
menggunakan system sentralisasi dan desentralisasi atau kombinasi.
System sentralisasi digunakan pada hari-hari biasa atau hari kerja,
sedangkan pada hari Minggu ataupun hari libur lainnya yang digunakan
cara desentralisasi (Oktrizanita, 2005).
C. Kerangka Konsep
17
D. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasionl Skala
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di UPT Pelayanan Lansia Kota Binjai,
survei awal dilakukan pada tanggal 19 Juli 2018 sedangkan pengumpulan
data dilakukan bulan 23 – 25 Juni 2018.
19
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
pengumpulan data primer dan sekunder
1. Data Primer
a. Data mengenai Kegiatan penyelenggaraan makanan dengan
mewawancarai responden tentang makanan yang dimasak selama
24 jam, yaitu dengan metode food recall 24 jam selama 2 hari
berturut-turut
b. Data status gizi lansia yang diperoleh dengan penimbangan berat
badan dan pengukuran tinggi badan
1) Penimbangan Berat Badan
Penyiapan alat ukur :
Letakkan alat timbang di bagian yang rata/datar dan keras
Jika berada di atas rumput yang tebal atau karpet tebal atau
permadani, maka pasang kaki tambahan pada alat timbangan
untuk bisa mengatasi daya pegas dari alas yang tebal
Pastikan alat timbang menunjukkan angka “00.00” sebelum
melakukan penimbangan dengan menekan alat timbang tersebut.
Penimbangan Lansia
Ketika alat timbang sudah menunjukkan angka 00.00 mintalah
lansia tersebut untuk berdiri di tengah-tengah alat timbang.
Pastikan posisi badan lansia dalam keadaan berdiri tegak,
mata/kepala lurus ke arah depan, kaki tidak menekuk.
Pewawancara dapat membantu lansia tersebut berdiri dengan baik
di atas timbangan dan untuk mengurangi gerakan lansia yang tidak
perlu yang dapat mempengaruhi hasil penimbangan.
Setelah lansua berdiri dengan benar, secara otomatis alat timbang
akan menunjukkan hasil penimbangan digital. Mintalah lansia
tersebut untuk turun dulu dari timbangan dan pewawancara harus
segera mencatat hasil penimbangan tersebut
20
2) Pengukuran Tinggi Badan
Cara berdiri yang benar dan alat ukur yang pas dengan
rangka tubuh adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
mengukur tinggi badan. Anak-anak yang sudah dapat berdiri tegap
dan orang dewasa pada umumnya diukur menggunakan Microtoise
(stature meter) atau Shortboard. Berikut adalah cara melakukan
pengukuran tinggi badan yang benar:
Pilih bidang vertikal yang datar (misalnya tembok/ bidang
pengukuran lainnya) sebagai tempat untuk meletakkan
Pasang Microtoise pada bidang tersebut dengan kuat dengan cara
meletakkannya di dasar bidang / lantai), kemudian tarik ujung
meteran hingga 2 meter ke atas secara vertikal / lurus hingga
Microtoise menunjukkan angka nol.
Pasang penguat seperti paku dan lakban pada ujung Microtoise
agar posisi alat tidak bergeser (hanya berlaku pada Microtoise
portable).
Mintalah subjek yang akan diukur untuk melepaskan alas kaki
(sepatu dan kaos kaki) dan melonggarkan ikatan rambut (bila ada)
Persilahkan subjek untuk berdiri tepat di bawah Microtoise.
Pastikan subjek berdiri tegap, pandangan lurus ke depan, kedua
lengan berada di samping, posisi lutut tegak / tidak menekuk, dan
telapak tangan menghadap ke paha (posisi siap).
Setelah itu pastikan pula kepala, punggung, bokong, betis dan tumit
menempel pada bidang vertikal / tembok / dinding dan subjek
dalam keadaan rileks.
Turunkan Microtoise hingga mengenai / menyentuh rambut subjek
namun tidak terlalu menekan (pas dengan kepala) dan posisi
Microtoise tegak lurus.
Catat hasil pengukuran
2. Data Sekunder
21
Data sekunder diperoleh dari UPT Pelayanan Lansia Kota
Binjai meliputi gambaran umum, Struktur kepengurusan dan jumlah
lansia di UPT Pelayanan Lansia Kota
1. Umur
Data umur pasien yang sudah diperoleh, dikumpulkan
kemudian diolah dengan melihat karakteristik umur pasien yaitu
Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59
tahun
Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun
Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun
Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun
2. Status Gizi
Data berat badan dan tinggi badan yang diperoleh,
dikumpulkan kemudian diolah untuk melihat status gizi lansia
dengan rumus :
IMT=
22
Kurang :<18,5 Kg/m2
Normal : 18,5 – 25 Kg/m2
Lebih : > 25 Kg/m2
2. Analisis Data
Analisis univariat untuk menggambarkan masing-masing variabel
yang diteliti dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
24
7. Staff Umum, Pelayanan kKesehatan & Ahli Gizi : 3 orang
8. Pegawai Honorer : 21 Orang
Tabel 1. Sumber Daya Manusia UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai
Penerapan
No Aspek SDM Tidak
Memenuhi
Memenuhi
1 Pembagian Kerja 0 1
2 Status Pendidikan 0 1
3 Jumlah Tenaga 1 0
25
Total 1 2
Persentase 33,3 66,7
26
Tabel 2. Sarana Fisik dan Peralatan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai
Penerapan
No Sarana Fisik dan Peralatan Tidak
Memenuhi
Memenuhi
Fisik
1 Pembagian Ruangan 1 0
2 Lias Bangunan 1 0
3 Konstruksi, Pencahayaan
1 0
dan Pertukaran Udara
Peralatan
1 Tersedianya alat persupan 1 0
– pengolahan
2 Jumlah Alat yang 1 0
dibutuhkan
3 Penyimpanan Peralatan 0 1
Total 5 1
Persentase 83,3 16,7
27
4) Perabotan seperti dapur, peralatan makanan, lemari penyimpanan
bahan makanan dan lemari penyimpanan peralatan dapur.
Peralatan yang dimiliki oleh panti sudah cukup baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Meskipun demikian, penataan alat pada saat
penyimpanan belum maksimal sehingga perlu peningkatan lagi.
4. Perencanaan Menu
Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan menu
yang akan diolah memenuhi selera konsumen/ lansia dan kebutuhan
zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang. Perencanaan menu di
UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai ini yaitu dengan
menggunakan siklus 7 hari.
Perencanaan menu dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti
adanya petugas perencanaan menu, memperhatikan siklus menu,
ketersedian bahan makanan, dana yang tersedia, kebutuhan gizi lansia,
evaluasi menu serta keterlibatan ahli gizi dalam proses perencanaan
menu (Depkes, 2011). Penilaian perencanaan menu di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Kota Binjai dapat dilihat pada tabel 3.
28
Tabel 3. Perencanaan Menu di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai
Penerapan
No Perencanaan Menu Tidak
Memenuhi
Memenuhi
1 Petugas Perencanaan 0
1
Menu
2 Siklus Menu 1 0
3 Ketersediaan Bahan
1 0
Makanan
4 Dana yang Tersedia 0 1
5 Kebutuhan Gizi Lansia 0 1
6 Evaluasi Menu 1 0
7 Melibatkan Ahli Gizi 1 0
Total 5 1
Persentase 71,4 28,6
29
Pembelian adalah salah satu kegiatan pengadaan di dalam upaya
memenuhi kebutuhan makanan. Cara pembelian bahan makanan yang
dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai dengan cara
sistem lelang melalui rekanan.
Penerimaan adalah suatu kegiatan yang meliputi pemeriksaan atau
penelitian, pencatatan dan pelaporan tentang macam kualitas dan
kuantitas bahan makanan yang di terima sesuai dengan pesanan.
Serta spesifikasi yang telah di tetapkan. Penerimaan bahan makanan
di lakukan oleh ahli gizi yang bertugas memeriksa, meneliti,
mencatat, menetapkan dan melaporkan macam, jumlah dan kualitas
bahan makanan yang di terima sesuai dengan pemesanan dan
spesifikasi yang ada. Jika terjadi kerusakan atau tidak sesuai dengan
spesifikasi maka barang akan di kembalikan.
Penyimpanan bahan makanan adalah suatu tata cara menata,
menyimpan, memelihara keamanan bahan makanan kering dan basah
baik kualitas maupun kuantitas. Penyimpanan bahan makanan yang
ada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai terbagi menjadi
dua yaitu penyimpanan bahan makanan basah dan penyimpanan
bahan makanan kering.
Penyimpanan bahan makanan basah yang ada di Instalasi Gizi
dilakukan dengan di simpan di dalam sebuah almari es yang cukup besar.
Bahan makanan basah yang biasanya di simpan di almari es adalah
sayuran dan buah – buahan. Penyimpanan bahan makanan kering
yang ada di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai di lakukan
dengan di simpan di sebuah rak-rak khusus bahan makanan kering,
sedangkan bahan makanan basah atau segar disimpan di lemari es.
Penilaian penerimaan dan penyimpanan di UPT Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Kota Binjai dapat dilihat pada tabel 4.
30
Tabel 4. Penerimaan dan Penyimpanan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai
Penerapan
Penerimaan dan
No Tidak
Penyimpanan Memenuhi
Memenuhi
penerimaan
1 Bahan makanan diperiksa 0
sesuai daftar pesanan dan 1
spesifikasi
2 Bahan makanan basag 0
langsung didistribusikan ke
bagian pengolahan , bahan 1
makanan kering disimpan di
penyimpanan kering
3 Bahan makanan basah
atau segar yang tidak
digunakan langsung saat itu 1 0
dilakukan penyimpanan di
lemari pendingin
Penyimpanan
1 Sistem FIFO 0 1
2 Tempat Penyimpanan 1 0
Bahan Makanan
3 Suhu Penyimpanan 0 1
Total 4 2
Persentase 66,66 33,34
31
Pengolahan bahan makanan adalah merupakan suatu kegiatan
memasak bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan,
berkualitas dan aman dikonsumsi.
Tujuan
a) Mengurangi resiko kehilangan zat gizi bahan makanan
b) Meningkatkan nilai cerna
c) Meningkatkan dan mempertahankan warna, rasa, keempukan dan
d) penampilan makanan.
e) Bebas dari organisme dan zat yang berbahaya bagi tubuh
3 Pemakaian Bahan
0 1
Tambahan Pamgan
Total 1 2
Persentase 33,34 66,66
32
7. Distribusi Makanan
Pendistribusian makanan adalah serangkaian kegiatan penyaluran
makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan konsumen yang
dilayani. Pada tahap pendistribusian dan penyajian perlu diperhatikan
beberapa hal seperti makanan disajikan tepat waktu, sesuai jumlah atau
porsu yang ditentukandan temperature makanan harus terjaga. Penilaian
distribusi makanan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai dapat
dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Distribusi Makanan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai
Penerapan
No Pengolahan Tidak
Memenuhi
Memenuhi
1 Ketepatan Waktu 1 0
2 Ketepatan Jumlah 0 1
3 Temperatur Makanan 0 1
Total 1 2
Persentase 33,34 66,66
33
penyelenggaraan makanan berlangsung, selain itu ketersediaan alat
penunjang kebersihan yang tersedia (Depkes, 2011). Penilaian Higiene
dan Sanitasi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai dapat dilihat
pada tabel 7.
Tabel 7. Higiene dan Sanitasi di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Kota Binjai
Penerapan
No Higiene dan Sanitasi Tidak
Memenuhi
Memenuhi
Higiene
1 Menggunakan penjepit 1
0
Makanan
2 Menggunakan pelindung 1
0
kepala
3 Menggunakan celemek 0 1
4 Tidak merokok selama
1 0
memasak
5 Bebas dari penyakit 1 0
Sanitasi
1 Halaman Bersih 1 0
2 Ruang pengolah dalam 1 0
keadaan bersih
3 Tersedia tempat sampah 1 0
yang cukup
Total 5 3
Persentase 62,5 37,5
34
penyajian makanan. Hal ini perlu diperhatikan, karena dapat menimbulkan
pencemaran terhadap makanan yang disajikan.
Tabel 8. Status Gizi Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lansia Kota Binjai
Status Gizi n Persentase
Kurang (IMT <18,5 kg/m2) 2 6,66
35
Normal (IMT 18,5 - 25 kg/m2) 20 66,66
Lebih (IMT >25 kg/m2) 8 26,66
Total 30 100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
36
1. Sistem Penyelenggaraan Makanan di UPT Pelayanan Sosial
Lansia Kota Binjai sudah termasuk kedalam kategori baik.
2. Sebagian besar lansia di UPT Pelayanan Sosial Lansia Kota
Binjai memiliki status gizi normal sebesar 66,66%
B. Saran
1. Perlunya peningkatan sistem penyelenggaraan makanan agar
makanan yang dihasilkan dapat meningkatkan derajat kesehatan
lansia dan meningkatkan usia harapan hidup.
2. Perlunya pemantauan status gizi secara terjadwal agar lansia dapat
mengetahui status kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, A., Priharsiwi, E. 2009. Manajemen Penyelenggaraan Makan dan Asuhan Gizi.
Yogyakarta: CEBIO danJurusan gizi.
37
World Health Staticticts 2015. World Health Organization
38