Anda di halaman 1dari 8

Menurut World Health Organization (WHO) lansia merupakan seseorang yang berusia 60

tahun keatas (WHO, 2018). Lansia merupakan klasifikasi usia pada seseorang yang telah
menghadapi fase akhir kehidupan. Lansia pada umumnya telah melewati proses kehidupan yang
disebut dengan proses menjadi tua (Aging Process). Dalam proses menua lansia mengalami satu
fase penurunan setiap fungsi organ tubuh dan penurunan konsidi fisik/biologis yang terjadi pada
lansia merupakan proses yang normal, seperti penurunan kemampuan sosial, fisik, psikologi, dan
emosional yang semakin melemah yang menyebabkan penurunan pada daya tahan tubuh lansia
sehingga lansia rentan terhadap berbagai macam penyakit yang dapat menyebabkan kematian
(Yanti et al., 2020). Berdasarkan data Riskesdas (2018) menunjukkan penyakit yang terbanyak
pada lansia adalah untuk penyakit tidak menular antara lain : hipertensi, masalah gigi, penyakit
sendi, masalah mulut, diabetes mellitus, penyakit jantung, stroke, dan penyakit menular antara
lain seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, dan pneumonia. Penyakit hipertensi
menduduki peringkat pertama dari sepuluh penyakit yang paling banyak di derita oleh lansia
(Felnanda Amri, 2019). Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis ketika pengukuran sistolik
dan diastolik lebih dari 140 mmHg dan 90 mmHg yang dapat diartikan sebagai peningkatan
tekanan darah dari batas normal (Maulidiyah, 2019). Gejala khas hipertensi yaitu tidak dapat
diperkirakan oleh penderita sehingga dapat beresiko secara diam-diam membunuh penderita atau
yang sering disebut silent killer (Trybahari, Dkk, 2019). Ada beberapa faktor risiko di antaranya
meliputi usia, jenis kelamin, keturunan, obesitas dan mengkonsumsi garam dengan kadar yang
tinggi juga dapat berpengaruh adanya peningkatan tekanan darah (Sarumaha, 2018).
Menurut data dari World Health Organization (WHO, 2019) pada tahun 2019 jumlah
penduduk lansia dengan usia 60 tahun keatas mencapai satu miliar di seluruh dunia. Jumlah ini
akan terus meningkat pada tahun 2030 menjadi 1,4 miliar dan akan bertambah menjadi 2,1 miliar
pada tahun 2050. Data lansia dengan dipertensi di Indonesia akan menduduki peringkat negara
dengan struktur dan jumlah penduduk lanjut usia tertinggi setelah RRC, India dan AS dengan
umur harapan hidup di atas 70 tahun dengan sekitar 80.000.000 lansia (Kemenkes RI, 2020).
Menurut World Health Organization (WHO), umur lansia 60- 64 tahun terjadi peningkatan risiko
hipertensi sebanyak 51%, dan pada usia diatas 65 tahun sebanyak 65% (Suprayitno & Huzaimah,
2020). Prevalensi hipertensi di Indonesia mengalami peningkatan pada penduduk umur 55 - 64
tahun sebanyak 55,2% (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Prevalensi hipertensi akan terus
meningkat tajam diprediksikan pada tahun 2025 nanti sekitar 29% orang dewasa di seluruh dunia
menderita hipertensi. Hipertensi telah mengakibatkan kematian sekitar 8 juta orang setiap tahun
1,5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara, yang sepertiga populasinya menderita hipertensi.
Prevalensi hipertensi lansia di Indonesia berdasarkan hasil Riskesdas 2018 di Provinsi Jawa
Timur sebesar 36,3%. Pevalensi semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Jika
dibandingkan dengan Riskesdas 2013 (26,4%), prevalensi tekanan darah tinggi mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Jumlah estimasi penderita hipertensi yang berusia ≥ 15 tahun
di Provinsi Jawa Timur sekitar 11.008.334 penduduk, dengan proporsi laki-laki 48,83% dan
perempuan 51,17%. Dari jumlah tersebut, penderita Hipertensi yang mendapatkan pelayanan
kesehatan sebesar 35,60% atau 3.919.489 penduduk (Dinkes jatim, 2020). Prevalensi data
hipertensi di Pamekasan adalah 14,6% pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 23,16% pada
tahun 2017 (di jurnal). Prevalensi data yang terdapat pada Posyandu lansia di Pademawu Barat
didapatkan sebesar ……. Dampak dari peningkatan pada lanjut usia bisa menimbulkan berbagai
masalah pada kehidupan lansia, adapun dampak yang biasa terjadi pada lansia adalah dampak
fisik dan dampak psikososial.
Dampak pada permasalahan fisik yang terjadi pada lansia bisa disebabkan oleh terjadinya
penurunan fungsi-fungsi tubuh yang terkait dengan mudah rentannya lansia mengalami masalah
kesehatan terutama kesehatan fisik (Sibuea, R. A & Mori A, 2020). Masalah kesehatan yang bisa
terjadi pada lanjut usia selain dari masalah kesehatan fisik ialah masalah pada psikososial.
Permasalahan mental umumnya dialami oleh lanjut usia adalah kesepian, depresi, stress, dan
tidak hanya itu terdapat perasaan takut menghadapi kematian, baik itu kematian yang terjadi
pada keluarga, sahabat ataupun kematian pada dirinya. Lansia yang belum siap menghadapi
kematian mengakibatkan lansia mengalami kecemasan (Sibuea, R. A & Mori A, 2020). Dalam
hal ini adapun kualitas hidup lansia memiliki salah satu tanda ialah mengalami penurunan hal ini
dikarenakan lanjut usia tidak dapat merasakan masa tuanya. Kondisi fungsional lanjut usia yang
optimal ialah tanda kualitas hidup yang baik, sehingga lanjut usia dapat merasakan nikmatnya
masa tua dengan penuh bermakna, bahagia, serta berguna (Sutikno, 2011). Apabila seseorang
menghadapi suatu keadaan yang cenderung mengalami tekanan, stress dan bahkan depresi serta
berbagai permasalah psikososial lainnya maka seseorang tersebut melakukan berbagai aktivitas
dalam memenuhi kebutuhan spiritual merupakan salah satu usaha dalam mendekatkan dirinya
kepada Tuhan. Spiritual merupakan suatu dimensi kesejahteraan bagi lansia yang dapat
menguangi beragai permasalahan minsalnya stress dan kecemasana, selain itu juga dapat
mempertahan keberadaan diri sendiri dan tujuan dalam kehidupan (Lubis, V. H, Novianti, &
Peters M.S, 2020). Adapun salah satu tanda dalam perubahan spiritual pada lanjut usia dengan
terus menjadi matangnya lanjut usia dalam kehidupan yang berhubungan dengan keagamaan.
Perubahan kebutuhan spiritual ialah contoh parameter yang mempengaruhi dalam kualitas hidup
lanjut usia (Sudaryanto A, 2013). Kualitas hidup ialah tanggapan individu pada kehidupan yang
berkaitan budaya yang ada serta nilai dimana individu tersebut tinggal, berkaitan dengan suatu
tujuan serta suatu harapan. Adapun faktor yang berkontribusi dalam peningkatan kualitas hidup
individu ialah pekerjaan, usia, jenis kelamin, status pernikahan, Pendidikan, penghasilan, aspek
psikis, sosial, fisik, serta mental (Ardiani et al., 2014; Samper et al., 2017).
Brdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rizqi Ihsani Maulidiyah dan Sri Setyowati
(2020) pada penelitian ini terdapat hubungan antara spiritual dengan kualitas hidup lansia di
Posyandu Lansia Melati, Dusun Karet, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sesuai
dengan hasil uji statistic dengan menggunakan kendall tau didapatkan nilai koefisien 0.357
dengan nilai signifikan 0.010 (< 0.01).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosmin Ilham dan Zainuddin (2020) yang
menunjukkan bahwa dukungan spiritual pada lansia di Desa Ko’mara Kecamatan
Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar terdapat hubungan dukungan spiritual dengan kualitas
hidup lansia hal ini sesuai dengan hasil uji chi square tests didapatkan nilai p = 0.001 lebih kecil
dari nilai α 0.05.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sara Lima, Lurdes Teixeira, Raquel Esteves,
Fatima Ribeiro, Fernanda Pereira, Ana Teixeira, dan Clarisse magalhaes (2020) Pada penelitian
ini karakteristik individu menunjukkan dampak langsung pada kualitas hidup fisik dan mental.
Adanya penyakit kronis berdampak negatif pada kualitas hidup dan hal ini berbanding terbalik
dengan kualitas hidup di domain yang lain: lansia tanpa penyakit menunjukkan kualitas hidup
yang jauh lebih baik serta usia seseorang yang mana lansia memiliki kualitas hidup yang lebih
rendah. Menariknya spiritualitas adalah satu-satunya variabel yang memiliki efek langsung pada
kualitas hidup, dimana spiritualitas dan agama sebagai dukungan yang membantu para lansia
untuk melawan kecenderungan isolasi dan mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pada
hasil penelitian ini terdapat hubungan antara spiritualitas dan kualitas hidup pada lansia.
Penelitian yang dilakukan oleh Luciano Magalhaes Vitorino dan Lucila Amaral Carneiro
Vianna (2016) , dalam hasil penelitian ini adalah spiritual and religius coping (SRC) memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hidup, serta SRC positif memiliki hubungan yang
lebih besar secara signifikan dengan enam aspek pada kualitas hidup. Spiritual dalam penelitian
ini dapat mengatasi masalah stress yang berhubungan dengan masalah kesehatan lansia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yesi Febriana, Sulistyo Andarmoyo, dan Sri Susanti
(2019) yang menunjukkan bahwa dukungan keluarga dan pemenuhan kebutuhan spiritual lansia
memiliki hubungan. Hasil dalam uji chi square antara dukungan keluarga dengan pemenuhan
kebutuhan spiritual lansia adalah p value (0.000) < (0.05) yang dapat diartikan bahwa adanya
hubungan antara dukungan keluarga dengan pemenuhan kebutuhan spiritual pada lansia.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lorena P Gallardo Peralta (2017)
menunjukkan bahwa ada adanya hubungan khusus antara spiritualitas dengan kualitas hidup
pada lansia di Chili. Terdapat bukti empiris yang menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan
elemen penting dalam memahami tingkat kualitas hidup lansia. Hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini adanya kontribusi terhadap pengetahuan pada lansia, sehingga dalam penelitian ini
pengalaman spiritual sehari-hari, sebuah kategori yang merujuk pada hubungan terhadap Tuhan
dalam kehidupan seharihari individu serta dampaknya pada kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Hariani, Ni Nyoman Santi Tri
Ulandari, dan Febriati Astuti (2019) hasil penelitian ini menggunakan instrumen lembar
wawancara yang berisi dukungan keluarga dan pemenuhan kebutuhan spiritual lansia yang di
analisis data menggunakan spearman rank, dalam hasil uji statistic spearman rank test diperoleh
nilai p value 0.000 yang mana α < 0.05 maka terdapat hubungan dukungan keluarga dengan
pemenuhan kebutuhan spiritual lansia di Desa Tanak Tepong Utara Wilayah kerja Puskesmas
Sedau.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maryam Seraji, Davood Shojaezade,
dan Fateme Rakhshani (2016) hasil penelitian ini menggunakan instrumen wawancara kepada
117 lansia yang berumur diatas 60 tahun di Zahedan. Pada hasil penelitian didapatkan rata-rata
skor kualitas hidup adalah (58.2 %), kualitas hidup wanita secara signifikan lebih rendah
daripada pria (p = 0.04). Rata-rata skor kesejahteraan spiritual adalah (88.98%) selain itu ada
korelasi yang positif antara kualitas hidup dan spiritual (p = 0.04, r = 0.42) dan kesejahteraan
keagamaan (p = 0.043, r = 0.41).
` Pada penelitian yang dilakukan oleh Herlina dan Agrina (2018) yang dilakukan dengan
menggunakan metode cross sectional dengan 36 sampel dengan menggunakan Teknik total
sampling, dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lansia yang memiliki tingkat
spiritualitas rendah lebih cenderung memiliki masalah Kesehatan, dalam hasil penelitian ini
terdapat hubungan yang signifikan antara spiritualitas dengan status Kesehatan lansia di panti
jompo (p = 0.035).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dilla Alnaseh dan Denys Christovel Dese
(2021) penelitian yang dilakukan dengan wawancara kepada 10 responden di Desa Belibi Kec.
Pelantikan Raya Kab. Lamandau Provinsi Kalimantan Tengan. Pada hasil penelitian dalam aspek
spiritualitas ditemukan bahwa lansia memiliki keyakinan terhadap tuhan, memiliki agama yang
dianut dan menjalankan kewajiban beragama sesuai kepercayaan individu dimana lansia
mengalami pengalaman spiritual terhadap Tuhan yang diyakini, lansia memiliki keyakinan
beragama seperti memeluk agama Kristen dan Hindu. Kualitas hidup lansia pada aspek
lingkungan, mental, sosial dan spiritual masuk dalam kategori baik. Hal in karena lansia
memiliki kemandirian dalam menjalani kehidupannya saat tinggal sendiri di rumah serta puas
dan nyaman dengan lingkungan tempat tinggal yang ditempatinya, lansia menerima kondisi
tubuhnya walaupun sudah mengalami proses penuaan, dan lansia juga memiliki hubungan sosial
yang baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh A.A. Ayu Rani Puspadewi dan Etty
Rekawati (2017) hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat depresi dengan
kualitas hidup lansia hal ini terbukti berdasarkan hasil penelitian lansia mengalami depresi
sebesar (57.4%) yang diukur menggunakan instrumen penelitian GDS. Pada kualitas hidup lansia
masuk dalam kategori baik sebanyak (53.5%) dan pada hubungan tingkat depresi dengan kualitas
hidup adanya hasil yang signifikan pada hasil uji statistik bivariat (p = 0.017) makan hal ini
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat depresi dengan kualitas hidup.

hipertensi berdampak pada aspek fisik, psikososial, spiritual, ekonomi yang dapat
mengakibatkan stress. Orang dengan hipertensi yang mendapatkan penatalaksanaan hipertensi
ataupun tidak cenderung memiliki tekanan darah yang tinggi meski ada kalanya tekanan darah
mereka dalam batas normal. Disisi lain, pasien hipertensi dan pengobatan serupa akan
menunjukkan gambaran yang tidak sama disebabkan oleh tingkat stress yang dialami seseorang
berbeda-beda. Kondisi ini akan diperburuk dengan adanya peningkatan tekanan darah akibat
stress, maka tekanan darah pada penderita akan menjadi semakin tinggi (Sitepu dkk dalam
Agustina Boru Gultom dkk, 2018).

Hipertensi yang terjadi pada lansia dapat berdampak pada aspek fisik, psikososial, ekonomi
yang dapat mengakibatkan stress. Namun disisi lain, pasien dengan hipertensi dan dengan
pengobatan serupa akan menunjukkan gambaran yang tidak sama disebabkan oleh stress yang
dialami seseorang berbeda-beda. Kondisi ini akan menjadi buruk dengan adanya peningkatan
tekanan darah. Maka tekanan darah pada penderita akan menjadi semakin tinggi (Sitepu, 2018).
Hipertensi memilik tanda dan gejala antara lain sakit kepala, jantung berdebar, sakit di tengkuk,
mudah lelah, penglihatan kabur dan perdarahan pada hidung. Tanda dan gejala tersebut
mengakibatkan hambatan secara fisik, psikologis, sosial dan lingkungan sehingga mengakibatkan
kualitas hidup yang buruk. Penilaian kualitas hidup menyangkut beberapa domain di antaranya fisik,
mental, sosial, kepuasan terhadap terapi serta perasaan nyaman secara umum (Maria, 2017).
Kualitas hidup adalah sebuah persepsi seseorang tentang seberapa baik buruknya dia untuk
hidup. Penilaian subjektif kualitas hidup dan faktor psikologis dapat berubah dari waktu ke waktu
semua tergantung pada status kesehatan penderita, keadaan mental, perkembangan penyakit dan
bagaimana cara perawatan medisnya (Tania, 2017). Ukuran kualitas hidup yang berhubungan dengan
kesehatan sangat relevan untuk penyelidikan dan evaluasi kesehatan individu.
Memelihara kualitas hidup yang baik bagi para lanjut usia sangat diharuskan dalam kegiatan
sehari-hari. Lansia yang hidupnya berkualitas adalah lansia yang mempunyai kondisi fungsional
yang baik, sehingga lansia bisa menikmati masa tuanya, baik atau tidaknya kualitas hidup lansia
berkaitan erat dengan kesadaran lansia dengan masalah kesehatan dan kebiasaan hidup yang dialami
lansia. Sebab, kesadaran lansia akan masalah kesehatan dan kebiasaan hidupnya berkaitan dengan
tingkat penurunan stres dan peningkatan kualitas hidup individu lansia. Sementara itu, gambaran
kondisi kesehatan lansia saat ini cukup memprihatinkan. Situasi kesehatan global pada lansia
menunjukkan masalah terbesar yaitu penyakit degeneratif serta diperkirakan sekitar 75% lansia pada
tahun 2050 penderita penyakit degeneratif tidak dapat lagi melakukan kegiatan(Khasana et al., 2020).
Kualitas hidup dapat dikatakan gabungan dari berbagai aspek, baik fisik, emosional,
intelektual,sosial, vokasional, dan spiritual. Penurunan kualitas hidup akibat adanya penyakit
kronis membuat lansia tidak mampu untuk hidup mandiri dan berinteraksi sosial sehingga dalam
beraktivitas sehari-hari membutuhkan bantuan dari orang lain (Yenny dan Hermawan, 2006;
Cao, 2018). 2018).
Kesehatan lanjut usia sangat berperan besar terhadap kualitas hidup dan meningkatkan
angka harapan hidup lanjut usia (Hanim dan Lestari, 2018).

Umumnya kecemasan yang terjadi pada lansia disebabkan karena adanya faktor pencetus. Faktor
yang mempengaruhi kecemasan yaitu faktor internal antara lain umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, dan kondisi fisik dan faktor eksternal yaitu dukungan sosial dan dukungan keluarga
(Firman et al., 2017).

Saat mengalami kondisi cemas, lansia umumnya tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakan tapi
bisa dilihat dengan jelas beberapa gejala yang muncul pada lansia tersebut. Dilansir dalam
journal of american society dinyatakan bahwa 3-14 dari setiap 100 orang lansia memiliki
gangguan kecemasan dengan berbagai gejala yang bervariasi. Gejala kecemasan yang terlihat
pada lansia dapat berupa emosi labil, mudah tersinggung, kecewa, tidak bahagia, perasaan
kehilangan, dan perasaan tidak berguna, perasaan takut, tertekan, kehilangan rasa aman, gelisah,
keluar keringat dingin, jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit makan dan sulit tidur
(Buanasari,2019). Gejala ini ketika tidak tertangani dengan baik akan memperparah kondisi
kesehatan lansia.
Kecemasan yang tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan berbagai dampak yang akan
memperparah kondisi kesehatan lansia. Awalnya kecemasan yang terjadi hanya berdampak kecil
yaitu cemas ringan, tapi karena penanganan yang kurang tepat, kecemasan tersebut akan
berdampak serius menjadi cemas berat hingga akhirnya berujung menjadi panik. Dampak
kecemasan yang dialami oleh lansia meliputi terjadinya penurunan aktivitas fisik dan status
fungsional, persepsi diri tentang kesehatan yang tidak baik, menurunnya kepuasan hidup (life
satisfaction) dan kualitas hidup (quality of life), meningkatnya kesepian (lonelinees) dan
menghabiskan biaya yang besar untuk pelayanan (Tampi & Tampi, 2014).

Shatri et al., (2020), menyatakan bahwa perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa
dalam aspek fisik, psikologis, sosial maupun spiritual.

Salah satu upaya untuk meminimalisir perasaan cemas dapat dilakukan dengan meningkatkan
spiritual. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditemukan penjelasan spiritual adalah
hal yang berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). Aspek spiritual dalam hal
ini keyakinan dan kekuatan terhadap aspek dimensi spiritualitas yaitu hubungan dengan Tuhan,
hubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan alam (Britani et al., 2018).
Pentingnya aspek spiritual dapat menjadi medikasi terapeutik untuk meningkatkan koping,
dukungan sosial, harapan, mendukung perasaan relaksasi terlebih pada pengurangan kecemasan.
Penelitian yang dilakukan oleh (Muzaenah &Makiyah, 2018) memberikan kesimpulan bahwa
spiritual dengan memenuhi beberapa aspek berperan penting sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan makna dan harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup, dan meningkatkan
kepercayaan diri pasien meskipun dalam kondisi kesehatan yang tidak mendukung serta
mengurangi kecemasan dan rasa takut dengan aktivitas spiritual seperti sholat dan doa. Penelitian
ini memperlihatkan bahwa spiritual merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruh
pengobatan terlebih pada pengurangan kecemasan. Semakin baik pendekatan spiritual yang
dilakukan, maka tingkat kecemasan semakin berkurang dan begitupun sebaliknya. Berdasarkan
uraian yang telah dijelaskan, maka penting untuk menangani kecemasan yang terjadi pada lansia
salah satunya dengan melihat unsur spiritualitas sebagai acuan dalam memberikan intervensi
yang tidak hanya mengacu pada kondisi kesehatan fisik saja, tetapi juga memperhatikan
kebutuhan spiritual lansia sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyembuhan.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dengan tingginya penderita hipertensi dan
kurangnya kualitas hidup bagi penderita hipertensi serta upaya pemerintah dalam hal melakukan
penanganan hanya saja masih banyak permasalahan yang ditemukan seperti masalah fisik, psikis,
ekonomi dari dampak penyakit hipertensi, maka peneliti ini terdorong untuk melakukan penelitian
tentang “Gambaran kualitas hidup penderita hipertensi di Puskesmas Tasikmadu, Kecamatan
Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar” dengan tujuan untuk mengetahui baik, sedang, buruk kualitas
hidup penderita hipertensi. Harapannya dengan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah
satu referensi untuk meningkatkan dokumentasi sehingga dapat memaksimalkan kualitas pelayanan
kesehatan serta keperawatan yang professional dan dapat menambah wawasan pengetahuan pada
masyarakat tentang penyakit hipertensi.

Anda mungkin juga menyukai