Anda di halaman 1dari 24

NARATIVE REVIEW: STRATEGI FARMAKOTERAPI DALAM MENGELO

LA EPILEPSI

DISUSUN OLEH :

DESRA PANGASTUTIK 203001020021

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

TAHUN 2023

1
DAFTAR ISI
BAB I.............................................................................................................................3

PENDAHULUAN.........................................................................................................3

1.1. Latar Belakang................................................................................................3

1.1. Rumusan Masalah...........................................................................................4

1.2. Tujuan Penelitian............................................................................................4

1.3. Manfaat Penelitian..........................................................................................5

BAB II...........................................................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................7

2.1. Epilepsi...............................................................................................................7

2.2. Farmakoterapi...................................................................................................13

2.3. Farmakoterapu Epilepsi....................................................................................14

2.4. Monoterapi........................................................................................................16

2.4. Politerapi...........................................................................................................17

BAB III........................................................................................................................19

METODE PENELITIAN............................................................................................19

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian...........................................................................19

3.2. Metode Penelitian..............................................Error! Bookmark not defined.

3.3. Prosedur Penelitian............................................Error! Bookmark not defined.

3.4. Analisis Data.....................................................Error! Bookmark not defined.

3.5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian..........................Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................23

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Paradigma pengobatan epilepsi terus berkembang. Prinsip-prinsip terapi polidrug

AED telah diterapkan pada pengobatan epilepsi beberapa dekade yang lalu, dan bany

ak kombinasi AED diproduksi oleh produsen farmasi. Pada tahun 1980, data baru di

publikasikan yang menunjukkan bahwa monoterapi lebih unggul daripada terapi mult

i-obat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan epilepsi refrakter yang

diobati dengan dua atau lebih AED mengalami peningkatan kontrol kejang dan penur

unan efek samping setelah beralih ke monoterapi.

Sebaliknya, di antara pasien dengan epilepsi refrakter yang baru didiagnosis dan p

engobatannya dialihkan dari monoterapi ke terapi multidrug, hanya 11-13% yang me

ngalami peningkatan frekuensi kejang yang signifikan; Pasien mengalami peningkata

n efek samping. Studi-studi ini membuka jalan bagi era monoterapi yang dimulai pad

a tahun 1970an. Penelitian lain menunjukkan bahwa berbagai pengobatan dapat meni

ngkatkan kemungkinan hasil positif bagi pasien epilepsi. Menggabungkan obat-obata

n dengan mekanisme kerja yang berbeda merupakan strategi umum dalam pengobata

n berbagai penyakit.

3
Misalnya, pada pasien dengan riwayat stroke, kombinasi perindopril (penghambat

ACE) dan indapamide (diuretik) dapat mengurangi risiko kemungkinan efek samping

dibandingkan dengan perindopril saja. Sebuah penelitian yang membandingkan terap

i multi-obat dengan monoterapi alternatif secara acak pada pasien dengan epilepsi fok

al yang menerima monoterapi AED menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan dalam

kebebasan kejang antara kedua kelompok. Juga tidak ada perbedaan efek samping ob

at antara kedua kelompok. Penelitian serupa lainnya menemukan hasil yang sama.

1.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka didapatkan rumusan

masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola penggunaan obat antiepilepsi terhadap pengendalian

kejang pada pasien epilepsy di Idonesia?

2. Bagaimanakan ketepatan indikasi pemilihan farmakoterapi obat

antiepilepsi pada pasien epilepsi di Indonesia?

1.2. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka didapatkan tujuan tujuan

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh variasi rejimen pengobatan epilepsi, khususny

a penggunaan obat antiepilepsi (OAE), terhadap efektivitas pengendalian k

ejang pada pasien epilepsi di Indonesia, dengan mempertimbangkan faktor-


4
faktor seperti jenis OAE, kepatuhan pasien, dan perbedaan karakteristik pas

ien.

2. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang memengaruhi pengambilan k

eputusan dalam pemilihan terapi farmakologis untuk pengelolaan epilepsi, t

erutama dalam konteks penggunaan OAE generik versus paten, dan bagaim

ana faktor-faktor ini memengaruhi efektivitas pengobatan dan kualitas hidu

p pasien epilepsi.

1.3. Manfaat Penelitian

1.3.1. Bagi Peneliti:

1.3.1.1. Peneliti dapat mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam t

entang epilepsi, obat antiepilepsi, dan faktor-faktor yang memp

engaruhi pengelolaan kondisi ini. Hal ini dapat meningkatkan p

engetahuan dan keahlian peneliti dalam bidang neurologi dan fa

rmakologi.

1.3.1.2. Penelitian yang signifikan dapat meningkatkan reputasi peneliti

dalam komunitas ilmiah, terutama jika hasilnya dapat dipublika

sikan dalam jurnal-jurnal ilmiah ternama. Ini dapat membantu p

eneliti membangun karier akademis dan profesional.

1.3.2. Bagi Instansi

1.3.2.1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk mengembangkan pedo

man dan protokol pengobatan yang lebih efektif dalam manaje

5
men epilepsi. Hal ini dapat meningkatkan standar pelayanan ke

sehatan di rumah sakit, klinik, dan institusi kesehatan.

1.3.2.2. Instansi kesehatan dapat menggunakan hasil penelitian untuk le

bih efisien mengalokasikan sumber daya kesehatan, termasuk o

bat antiepilepsi, dengan mempertimbangkan efektivitas dan bia

ya.

1.3.3. Bagi Masyarakat Umum:

1.3.3.1. Penelitian yang mengarah pada penemuan terapi yang lebih efe

ktif dapat meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi dengan

mengendalikan kejang dan mengurangi dampak samping obat.

1.3.3.2. Hasil penelitian dapat membantu meningkatkan pengetahuan da

n kesadaran masyarakat tentang epilepsi, termasuk pemahaman

tentang faktor-faktor yang memengaruhi pengelolaannya. Ini da

pat mengurangi stigmatisasi terhadap orang dengan epilepsi.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epilepsi

Epilepsi merupakan suatu kondisi kronis dengan angka kejadian yang ting

gi, terutama di negara berkembang. Kondisi ini dapat mengganggu kualitas hidup

dan menimbulkan biaya yang cukup besar. Pada individu dengan epilepsi, kejang

dapat terjadi lebih dari satu kali atau berulang kali, pada waktu yang berbeda-bed

a, bahkan dapat berujung pada kejang saat tidur. Hal ini terjadi karena adanya per

ubahan fase bangun-tidur tubuh yang memicu aktivitas otak tidak normal. Ciri-ci

ri utama yang dapat diamati adalah kejang dan kehilangan kesadaran. Penyebab p

asti dari kelainan ini tidak diketahui, namun sejumlah besar pasien memiliki kece

nderungan genetik terhadap epilepsi, yang sering disebut sebagai penyakit geneti

k. Selain itu, epilepsi juga bisa disebabkan oleh penyakit lain yang berhubungan

dengan otak. Kondisi ini dapat menyerang orang-orang dari segala usia, namun g

ejalanya lebih menonjol pada anak-anak dan individu berusia di atas 65 tahun. D

ari sudut pandang medis, epilepsi tidak dapat disembuhkan; Pengobatan hanya da

pat mengontrol frekuensi dan tingkat keparahan kejang. Namun, penting untuk m

enyadari bahwa dalam kasus yang parah, epilepsi dapat menyebabkan kematian b

agi penderitanya. Oleh karena itu, deteksi dini dan penanganan epilepsi yang tepa

7
t sangat penting agar individu dapat menjalani kehidupan normal (Erlina Agustin,

2023).

Menurut Shorvon (2011) “Kejang” adalah perubahan fungsi neurologis pa

roksismal yang disebabkan oleh pelepasan neuron yang hipersinkron dan berlebi

han di otak. “Kejang epilepsi” digunakan untuk membedakan kejang yang diseba

bkan oleh pelepasan neuron abnormal dari kejadian nonepilepsi, seperti kejang ps

ikogenik. “Epilepsi” adalah kondisi kejang yang berulang dan tidak beralasan. Ep

ilepsi memiliki banyak penyebab, masing-masing mencerminkan disfungsi otak y

ang mendasarinya. Kejang yang dipicu oleh kondisi yang reversibel (misalnya de

mam, hipoglikemia) tidak termasuk dalam definisi epilepsi karena merupakan ko

ndisi sekunder yang berumur pendek, bukan kondisi kronis.

“Sindrom epilepsi” mengacu pada sekelompok karakteristik klinis yang s

elalu terjadi bersamaan, dengan jenis kejang yang serupa, usia saat kejang, temua

n EEG, faktor pemicu, genetika, riwayat alamiah, prognosis, dan respons terhada

p obat antiepilepsi (AED). Istilah nonspesifik “gangguan kejang” harus dihindari.

Epilepsi adalah salah satu kondisi neurologis yang paling umum, dengan

kejadian sekitar 50 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk ( Hauser dan Her

sdorffer 1990 ). Sekitar 1% dari populasi menderita epilepsi, dan sekitar sepertiga

pasien menderita epilepsi refrakter (yaitu, kejang yang tidak dapat dikendalikan o

leh dua atau lebih obat antiepilepsi atau terapi lain yang dipilih secara tepat). Sek

8
itar 75% epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak, yang mencerminkan meningk

atnya kerentanan otak yang sedang berkembang terhadap kejang.

A. Klasifikai

Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai International League Against

Epilepsy (ILAE), yang diterbitkan pada tahun 2010, merevisi klasifikasi sebelum

nya menggunakan terminologi dan konsep yang sesuai untuk era modern ( Berg e

t al. 2010 ; Berg dan Millichap 2013 ; Muro dan Connolly 2014 ). Kejang dibagi

menjadi tiga kategori: kejang umum, fokal (sebelumnya disebut parsial), dan keja

ng epilepsi. Kejang fokal berasal dari jaringan saraf yang terbatas pada satu belah

an otak. Kejang umum dimulai pada jaringan saraf terdistribusi bilateral. Kejang

dapat dimulai secara fokal dan kemudian menjadi umum. Kejang dapat berasal d

ari korteks atau struktur subkortikal. Dengan menggunakan riwayat terperinci, te

muan EEG, dan informasi tambahan, dokter sering kali dapat mengkategorikan je

nis kejang/epilepsi, setelah itu evaluasi diagnostik dan rencana pengobatan yang t

epat dirumuskan.

Subtipe utama dari kejang umum adalah absensi, generalized tonic-clonic

(GTC), mioklonik, dan atonik. Kejang absen (sebelumnya disebut petit mal) meli

batkan tatapan mata yang tidak responsif terhadap rangsangan verbal eksternal, te

rkadang dengan mata berkedip atau kepala mengangguk. Kejang GTC (sebelumn

ya disebut grand mal) terdiri dari gerakan kejang simetris bilateral (pengerasan di

ikuti dengan sentakan) pada seluruh anggota badan dengan gangguan kesadaran.
9
Kejang mioklonik terdiri dari gerakan tiba-tiba dan singkat (“secepat kilat”) yang

tidak berhubungan dengan gangguan kesadaran yang nyata. Kontraksi otot singk

at yang tidak disengaja ini dapat mempengaruhi satu atau beberapa otot; oleh kar

ena itu, kejang mioklonik dapat bersifat umum atau fokal. Kejang atonik menyeb

abkan hilangnya kekencangan tubuh, sering kali menyebabkan kepala terjatuh ata

u terjatuh.

B. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari kejang fokal bergantung pada area korteks yang terken

a. Misalnya, kejang fokal yang timbul dari lobus oksipital dapat muncul dengan f

enomena visual; dari girus presentralis, dengan aktivitas motorik klonik atau toni

k berirama; dan dari girus postcentral, dengan gejala sensorik, seperti parestesia.

Ketika kesadaran terganggu selama kejang fokal, yaitu pasien tidak dapat berespo

n normal terhadap rangsangan verbal atau sentuhan, kejang tersebut diklasifikasik

an sebagai diskognitif (sebelumnya disebut parsial kompleks); kejang yang timbu

l dari lobus temporal seringkali bersifat diskognitif. Beberapa kejang didahului ol

eh aura, yaitu kejang fokal di mana pasien tetap sadar dan menggambarkan gejala

motorik, sensorik, otonom, atau psikis. Aura mendahului kejang diskkognitif foka

l atau umum dalam hitungan detik atau menit dan paling sering dialami oleh pasie

n dengan epilepsi lobus temporal.

C. Patofisiologi dan Genetika

10
Kejang dapat dikonseptualisasikan terjadi ketika terdapat distorsi keseimbang

an normal antara eksitasi (E) dan inhibisi (I) di otak ( Stafstrom 2010 ). Ketidakse

imbangan E/I ini dapat diakibatkan oleh perubahan pada berbagai tingkat fungsi o

tak, mulai dari gen dan rangkaian sinyal subseluler hingga sirkuit saraf yang luas

Faktor-faktor yang mengubah keseimbangan E/I dapat bersifat genetik atau dida

pat. Patologi genetik yang menyebabkan epilepsi dapat terjadi di mana saja mulai

dari tingkat sirkuit (misalnya, konektivitas sinaptik yang abnormal pada displasia

kortikal) hingga tingkat reseptor (misalnya, subunit reseptor asam γ-aminobutyric

[GABA] yang abnormal pada sindrom Angelman) hingga fungsi saluran ion yang

abnormal (misalnya , mutasi saluran kalium pada epilepsi neonatal familial jinak

[BFNE]). Demikian pula, gangguan serebral yang didapat dapat mengubah fungsi

sirkuit (misalnya, perubahan struktural sirkuit hipokampus setelah kejang demam

berkepanjangan atau trauma kepala). Otak yang sedang berkembang sangat renta

n terhadap kejang karena berbagai alasan fisiologis (lihat Berkovic 2015 ). Bahka

n pada otak yang sedang berkembang normal, fungsi sinaptik rangsang berkemba

ng sebelum fungsi sinaptik penghambatan, sehingga mendukung peningkatan eks

itasi dan timbulnya kejang. Selain itu, di awal kehidupan, neurotransmitter GAB

A menyebabkan eksitasi daripada penghambatan ( Ben-Ari 2002 ; Pitkänen dkk.

2015 ). Pengamatan ini sebagian menjelaskan mengapa otak yang masih sangat m

uda sangat rentan terhadap kejang. Namun, kejang menyebabkan lebih sedikit ker

usakan struktural pada otak yang sedang berkembang dibandingkan pada otak ora

ng dewasa ( Holmes dan Ben-Ari 1998 ).


11
Baru-baru ini terdapat ledakan informasi baru tentang dasar genetik sindrom e

pilepsi. Mutasi monogenik dan poligenik dapat menyebabkan epilepsi ( Poduri da

n Lowenstein 2011 ). Banyak epilepsi memiliki dasar genetik yang kompleks den

gan beberapa cacat gen yang berkontribusi terhadap perubahan rangsangan selule

r, yang mendasari epilepsi. Misalnya, varian nomor salinan, yang merupakan de n

ovo atau penghapusan atau duplikasi bawaan >1 kb, semakin dikenal sebagai sum

ber mutasi genetik pada pasien epilepsi ( Mullen et al. 2013 ; Olson et al. 2014 ).

Seiring dengan berkembangnya pengetahuan genetika, terdapat harapan bahwa in

tervensi terapeutik khusus sindrom dapat dirancang ( Thomas dan Berkovic 201

4 ).

2.2. Farmakoterapi

Farmakoterapi merupakan suatu pendekatan penting dalam dunia kedokte

ran yang menggunakan obat-obatan atau agen farmakologis sebagai bagian dari s

trategi pengobatan untuk merawat, mencegah, atau mengelola penyakit atau gang

guan kesehatan pada pasien. Dalam konteks farmakoterapi, ada dua pendekatan u

tama yang dapat diterapkan, yaitu monoterapi dan politerapi. Monoterapi melibat

kan penggunaan satu jenis obat tunggal, sementara politerapi melibatkan penggu

naan dua atau lebih obat secara bersamaan. Pemilihan antara keduanya didasarka

n pada faktor-faktor seperti jenis penyakit, karakteristik pasien, rekomendasi med

is, serta manfaat dan risiko yang terkait dengan masing-masing pendekatan. Farm

akoterapi adalah alat yang sangat penting dalam praktek medis, yang membantu

12
memastikan bahwa pasien mendapatkan pengobatan yang paling sesuai dengan k

ebutuhan mereka (Pande Ayu Naya Kasih Permatananda, 2022).

Farmakoterapi yang tepat berdampak pada kesembuhan pasien, penguran

gan gejala dan peningkatan kesehatan serta kualitas hidup pasien. Pemberian obat

sangat penting untuk keselamatan pasien, dan kesalahan pemberian obat (MAE)

berhubungan langsung dengan angka mortalitas dan morbiditas (Witczak, 2018).

Studi tentang beban kerja keperawatan dalam proses farmakoterapi membuktikan

bahwa perawat menghabiskan 40% pekerjaannya pada pengelolaan pengobatan

(Armitage G, 2003). Keohane dkk. perhatikan bahwa pemberian obat adalah tuga

s yang paling sering dilakukan dalam semua aktivitas keperawatan, dan ada kem

ungkinan melakukan kesalahan pada tahap ini karena sifat proses farmakoterapi

yang kompleks dan beragam.

Dinamika proses pemberian obat yang aman dapat terganggu oleh jumlah

pasien per perawat, kondisi klinis dan penyakit penyertanya, kelelahan dan stres s

taf perawat, kondisi kerja yang tidak memadai, dan gangguan komunikasi dalam

tim interdisipliner yang terlibat dalam pengobatan. proses manajemen.

2.3. Farmakoterapu Epilepsi

Dengan persediaan >20 obat, hingga 70% penderita epilepsi yang baru didiag

nosis dapat berhasil diobati. Obat yang digunakan untuk mengobati epilepsi bekerja d

engan menurunkan aktivitas listrik otak, baik dengan mencegah depolarisasi saraf den

gan memblokir saluran natrium atau saluran kalsium, meningkatkan fungsi saluran ka
13
lium, menghambat eksitasi yang dimediasi oleh neurotransmitter glutamat, atau meni

ngkatkan penghambatan yang dimediasi oleh GABA (Tabel 3) (lihat Bui dkk. 2015 )

Kemanjuran obat-obatan ini bervariasi berdasarkan etiologi. Pasien tanpa etiologi ya

ng teridentifikasi kemungkinan besar dapat dikontrol, terutama jika mereka memiliki

riwayat perkembangan dan pemeriksaan neurologis yang normal.

Sebagai prinsip umum, pengobatan harus dimulai dengan dosis rendah untuk

menghindari efek samping. Peningkatan dosis dapat dilakukan secara berkala jika dip

erlukan. Tujuannya adalah mengendalikan kejang dengan dosis serendah-rendahnya.

Ketika obat pertama gagal, sebagian besar dokter akan memilih untuk menambahkan

obat kedua, kemudian memutuskan apakah akan menghentikan pengobatan awal atau
14
tidak. Uji coba yang tepat dianggap memakan waktu 2 bulan dengan dosis terapeutik

yang dapat ditoleransi dengan baik. Karena interaksi obat, terapi kombinasi mempuny

ai potensi toksisitas yang tinggi; namun, beberapa kombinasi menunjukkan kemanjur

an tertentu, seperti lamotrigin ditambah asam valproat untuk kejang umum.

Karena mekanisme kerjanya, semua obat kejang mempunyai efek samping pa

da SSP. Misalnya, kantuk adalah efek samping umum dari hampir semua obat AED.

Lamotrigin dapat ditoleransi dengan cukup baik, namun memerlukan titrasi dosis yan

g sangat lambat. Beberapa dokter mempertimbangkan untuk menghentikan pengobata

n jika kejang tidak kambuh lagi dalam 2 tahun terakhir atau lebih. Jika pengobatan ga

gal mengendalikan kejang, pilihan lain termasuk terapi diet (diet ketogenik), operasi e

pilepsi resektif (lesionektomi, hemispherotomy), dan operasi epilepsi paliatif (terapi s

timulasi, callosotomy). Peran terapi imun untuk epilepsi refrakter masih terus dijelask

an.

2.4. Monoterapi

Dalam manajemen epilepsi pada pasien yang baru didiagnosis, disarankan

untuk menggunakan monoterapi, karena sekitar 60% pasien yang baru didiagnosi

s dengan epilepsi dapat mencapai kebebasan dari kejang epilepsi dengan penggu

naan satu obat antiepilepsi (OAE) dalam dosis sedang. Saat memilih OAE, pentin

g mempertimbangkan aspek keamanan dan tolerabilitas pasien, termasuk usia, je

nis kelamin, berat badan, mekanisme obat, efek samping, jenis kejang, sindrom e

pilepsi, riwayat gangguan jiwa, penyakit lain, obat lain yang sedang dikonsumsi,

15
dan gaya hidup pasien. Tujuannya adalah agar pasien dapat mencapai kebebasan

dari kejang tanpa mengalami toksisitas atau efek samping jangka Panjang (Silvia,

2021).

Kelebihan dari monoterapi mencakup efektivitas sebagai pengobatan awal,

minim interaksi obat, toksisitas yang rendah, dan kemudahan dalam menganalisi

s keberhasilan. Namun, kekurangannya adalah bahwa monoterapi mungkin tidak

berhasil mengendalikan kejang pada sebagian kecil pasien, dan respons individu

dapat bervariasi. Prinsip-prinsip praktis untuk berhasil dalam monoterapi pada m

anajemen epilepsi onset awal melibatkan pemilihan OAE yang sesuai untuk jenis

kejang yang spesifik, OAE dengan toksisitas dan efek samping yang dapat ditoler

ansi, titrasi OAE secara hati-hati hingga mencapai dosis yang diinginkan dengan

mempertimbangkan respons pasien, dan jika monoterapi pertama tidak berhasil k

arena efek samping, maka disarankan untuk mencari monoterapi alternatif (Atity

a Fithri Khairani, 2019).

2.4. Politerapi

Politerapi adalah pendekatan pengobatan yang melibatkan penggunaan le

bih dari satu obat untuk mengelola atau mengobati suatu kondisi medis atau peny

akit. Ini berarti pasien menerima beberapa obat secara bersamaan atau dalam ko

mbinasi untuk mencapai pengendalian atau perbaikan dalam kondisi kesehatanny

a. Pendekatan politerapi dapat digunakan dalam berbagai bidang kedokteran, ter

masuk pengobatan epilepsi, pengobatan penyakit kronis, dan pengobatan penyaki

16
t infeksi menular, di mana beberapa obat mungkin diperlukan untuk mencapai ha

sil yang diinginkan atau untuk mengatasi resistensi obat. Politerapi harus diawasi

dengan cermat oleh tenaga medis yang berkualifikasi untuk memastikan keselam

atan dan efektivitas penggunaannya (Mega, 2023).

Sebagian pasien dengan epilepsi yang tidak merespons terhadap monotera

pi (penggunaan satu obat antiepilepsi) dapat menjadi kandidat untuk politerapi. P

oliterapi OAE (Obat Antiepilepsi) melibatkan penggunaan dua atau lebih OAE se

cara bersamaan untuk meningkatkan efikasi pengobatan dan tolerabilitas pasien.

Untuk pemberian politerapi yang rasional, perlu dipertimbangkan beberapa fakto

r, seperti mekanisme kerja obat yang berbeda, menghindari interaksi farmakokine

tik kompleks, dan memastikan tidak ada efek samping yang sama. Politerapi bias

anya direkomendasikan setelah dua macam obat monoterapi tidak berhasil. Dala

m pemilihan obat untuk politerapi, perhatian harus diberikan pada tipe kejang, si

ndrom epilepsi, dan karakteristik individu pasien (Atitya Fithri Khairani, 2019).

17
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Strategi Pencarian Literatur

3.1. Framework yang digunakan PICO (T/S/SPIDER)

Strategi yang digunakan untuk mencari artikel menggunakan PICOS framework

a. Population/problem, populasi atau masalah yang akan di analisis

b. Intervention, suatu tindakan penatalaksanaan terhadap kasus perorangan atau mas

yarakat serta pemaparan tentang penatalaksanaan

c. Comparation, penatalaksanaan lain yang digunakan sebagai pembanding

d. Outcome, hasil atau luaran yang diperoleh pada penelitian

e. Study design, desain penelitian yang digunakan oleh jurnal yang akan di review

3.2. Kata Kunci yang Digunakan

Pencarian artikel atau jurnal menggunakan keyword dan Boolean operator ( AND

OR NOT or AND NOT ) yang digunakan untuk memperluas atau memspesifikan pe

ncarian, sehingga mempermudah dalam penentuan artikel atau jurnal yang digunakan.

Kata kunci pencarian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, “Farmakoterapi

epilepsy, monoterapi dan politerapi epilepsy”.

3.3. Database atau Search Engine

18
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh bu

kan dari pengamatan langsung, akan tetapi diperoleh dari hasil penelitian yang telah d

ilakukan oleh penelti-peneliti terdahulu. Sumber data yang didapatkan berupa artikel

atau jurnal yang relevan dengan topik dilakukan menggunakan database melalui Scie

nce Direct, Sinta, Google Scholar, dan E-jurnal.

3.4. Analisa

Studi literatur ini dimulai dengan artikel atau jurnal hasil penelitian terdahulu yan

g diperhatikan dari yang paling relevan, relevan dan cukup relevan. Kemudian memb

aca abstrak setiap jurnal terlebih dahulu untuk memberikan penilaian apakah permasa

lahan yang dibahas sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Mencatat poin penting dan

referensinya yang sesuai dengan permasalahan penelitian sehingga tidak terdapat uns

ur plagiasi. Penulis juga harus mencatat sumber informasi dan mencantumkan dalam

daftar pustaka jika informasi berasal dari hasil penelitian orang lain. Membuat catatan

kutipan atau informasi yang disusun secara sistematis sehingga penulis dengan muda

h dapat mencatat kembali jika diperlukan.

B. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi Eksklusi

Population Jurnal nasional dan intern Jurnal nasional dan intern

asional yang berhubungan asional selain berhubunga

dengan topik penelitian y n dengan topik penelitian

aitu : Strategi yaitu : Strategi


19
Farmakoterapi Dalam Farmakoterapi Dalam

Mengelola Epilepsi Mengelola Epilepsi

Intervention Pengelolaan, Tidak ada intervensi

pengendalian dan

keberhasilan obat.

Comparation Tidak ada faktor Ada faktor pembanding

pembanding

Outcome Pemberian pengobatan Pemberian kombinasi >4

monoterapi sebagai lini OAE tidak menjamin

pertama pada kasus keberhasilan.

epilepsi tahap awal.

Politerapi dapat

dipertimbangkan sebagai

pengelola bangkitan.

Study Design Studi observasional, studi Cross sectional, analisis

eksperimental, studi korelasi

kualitatif.

Tahun Terbit Artikel yang terbit 10 Artikel sebelum 2013.

tahun terakhir (2013-

2023_

Bahasa Bahasa Indonesia dan bah Selain Bahasa Indonesia d

20
asa Inggris an bahasa Inggris

DAFTAR PUSTAKA

Ayu Wahyuni, dkk. (2023). REVIEW ARTIKEL : Penanganan Epilepsi dan Efek Sa

mping Bagi Penderitanya. INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research

21
Atitya Fithri Khairani, dkk. (2019). Strategi Pengobatan Epilepsi: Monoterapi Dan Po

literapi. Berkala NeuroSains

Erlina Agustin, dkk. (2023). Deteksi Penyakit Epilepsi Melalui Sinyal EEG Menggun

akan Metode DWT dan Extreme Gradient Boosting. Jurnal Media Informatika

Budidarma

Eric Hartono Tedyanto, dkk. (2020). Gambaran Penggunaan Obat Anti Epilepsi (OA

E) pada Penderita Epilepsi Berdasarkan Tipe Kejang di Poli Saraf Rumkital DR.

Ramelan Surabaya. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma

Pande Ayu Naya Kasih Permatananda. (2022). Perbandingan Kualitas Hidup Pasien

Epilepsi Yang Mendapat Monoterapi Dan Politerapi. Syntax Literate: Jurnal Il

miah Indonesia p–ISSN: 2541-0849

Silvia Fernandez, etc. (2021). Initial monotherapy with eslicarbazepine acetate for the

management of adult patients with focal epilepsy in clinical practice: a meta-an

alysis of observational studies. Taylor Francis Online

Mega Nur Purbo, dkk. (2023). Perbedaan Fungsi Kognitif pada Pasien Anak dengan

Epilepsi yang Mendapatkan Monoterapi dan Politerapi di Rumah Sakit Umum

Daerah Moewardi Surakarta. Sari Pediatri

Naoto Kuroda. (2021). Epilepsi dan COVID-19: Tinjauan bukti dan narasi terkini. Els

eiver

22
PERTANYAAN

1. Apa alasan kalian melakukan penelitian dgn topic yang kalian pilih?

Obat anti-epilepsi (AED) adalah pilihan pengobatan utama bagi pasien. Peneli

tian ini bertujuan untuk mengetahuai kemanjuran dan keamanan AED untuk epile

psi melalui meta-analisis. Penelitian meta analisis mengenai epilepsi di Indonesia

jarang di lakukan, berdasarkan penelitian di Korea AED generasi ketiga (brivarac

etam dan perampanel) memberikan hasil keamanan yang relatif lebih baik dibandi

ngkan AED lainnya. Secara umum, tingkat responden 50% dan tingkat penghenti

an pengobatan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan dosis AED.

Dengan demikian peneliti ingin melihat apakah farmakoterapi di Indonesia dalam

mengelola epilepsi sudah terjadi dengan baik. Hal ini juga dikarenakan sekarang

ini epilepsi dapat berkembang karena covid dan cenderung memberikan pengaruh

pada kesehatan mental.

2. Apa isi dari latar belakang ?

Uraian dalam latar belakang mencakup 4 hal yang tersesun sebagai :

1. Pernyataan tentang masalah penelitian serta besaran masalah.

2. Apa yang sudah diketahui (what is known)

3. Apa yang belum diketahui (what is not known – knowledge gap)

4. Apa yang dapat diharapkan dari penelitian yang direncanakan untuk menut

up knownledge gap tersebut.

23
Pada penelitian ini latar belakang berisi tentang data epilepsi di Indonesia,

perkembangan epilepsi dan hubungannya dengan covid, pengaruh epilepsi dengan

kesehatan mental dan yang utama adalah pemilihan farmakoterapi untuk epilepsi,

3. Apa manfaat dari bab 2 untuk penelitian kalian ?

Penelusuran literatur isinya adalah teori-teori yang berkaitan dengan penelitia

n. (diskripsimu berarti yg dibahas teori tentang covid, terapinya, sikap, pengetahu

an). Manfaatnya dapat dijadikan sebagai bahan bacaan peneliti dan pembaca men

genai materi tentang covid, terapi, dll).

4. Apa alasan kalian memilih penelitian narative itu?

Tinjauan naratif memungkinkan peneliti untuk mendeskripsikan apa yang diketah

ui tentang suatu topik sambil melakukan pemeriksaan subjektif dan kritik terhada

p keseluruhan literatur. Penulis dapat menggambarkan status topik saat ini sambil

memberikan wawasan tentang kemajuan bidang ini, teori baru, atau bukti terkini y

ang dilihat dari perspektif yang berbeda atau tidak biasa. Oleh karena itu, tinjaua

n tersebut dapat berguna untuk mengeksplorasi topik-topik yang belum diteliti ser

ta untuk mendapatkan wawasan atau cara berpikir baru mengenai bidang-bidang y

ang telah dikembangkan dengan baik dan banyak diteliti.

24

Anda mungkin juga menyukai