Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“KONSEP ANTIPIRETIK”
DOSEN PENGAMPU: NASRULLAH WILUTONO S.SIT, M.MRS

Disusun Oleh :
MUHAMMAD RIYAN FAUZAN
NIM: P07120122024

PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN


TINGKAT 1 POLITEKNIK KESEHATAN KEMETERIAN KESEHATAN
BANJARMASIN TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Banjarbaru, 05 Mei 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.....................................................................................2

BAB II DEFINISI....................................................................................................3
2.1 Pengertian..............................................................................................3
2.2 Mekanisme kerja Antipiretik.................................................................3
2.3 Golongan Antipiretik............................................................................4

BAB III TUJUAN....................................................................................................6

BAB IV KONSEP/TEORI.......................................................................................7
4.1 Jenis Antipiretik Yang Digunakan Pada Pengobatan ISPA..................7
4.2 Bentuk Sediaan Antipiretik yang Diberikan Pada Pasien ISPA...........8
4.3 Ketepatan Dosis Penggunaan Obat Antipiretik Pada Pasien Ispa.........8
4.4 Persepsi Orang Tua Mengenai Penggunaan Antipiretik.....................10

BAB V KESIMPULAN.........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Antipiretik menempati urutan pertama (28%) sebagai obat bebas yang
paling banyak dijual, diikuti oleh vitamin/suplemen makanan (19%) dan obat flu
(15%) (Candradewi & Kristina, 2017). Antipiretik digunakan untuk membantu
mengembalikan set point suhu ke kondisi normal dengan cara menghambat
sintesis dan pelepasan prostaglandin E2 yang distimulasi oleh pirogen endogen di
hipotalamus (Pratiwi, 2022). Obat ini hanya menurunkan suhu tubuh dalam
keadaan demam, namun obat golongan ini sebaiknya tidak digunakan secara rutin
karena bersifat toksik. Efek samping yang biasa terlihat setelah penggunaan
antipiretik termasuk reaksi hemodinamik seperti hipotensi, disfungsi hati dan
ginjal, oliguria, dan retensi garam dan air (Hammond dan Boyle, 2011).
Secara umum, antipiretik dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu
golongan salisilat (misalnya aspirin, salisilamid), golongan paraaminofenol
(misalnya asetaminofen, fenasetin) dan golongan pirazolon (misalnya
fenilbutazon dan metamizole). Parasetamol, obat anti inflamasi non steroid dan
cooling blanket sering digunakan untuk mencegah peningkatan suhu tubuh pada
pasien cedera otak, menjaga suhu konstan pada ≤ 37,5°C (Noval, 2014)).
Pemberian obat secara intravena atau intraperitoneal juga sering digunakan pada
hipertermia, yaitu kondisi dimana suhu tubuh di atas 41°C. Suhu ini dapat
mengancam nyawa dan harus segera diturunkan, (Pratiwi, 2022).
Berdasarkan penelitian Atika (2021), ditemukan adanya hubungan antara
tingkat pendidikan dengan informasi yang diberikan kepada orang tua tentang
minum antipiretik. Didapatkan 60,8% responden terutama orang tua tidak
mengetahui tentang pemberian obat antipiretik, (91,3%) tidak mengetahui tentang
efek samping demam dan (84,8%) tidak mengetahui kandungan obat. . obat
antipiretik. Berdasarkan hasil diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan orang tua maka semakin tinggi tingkat pengetahuan tentang
pengobatan antipiretik (Atika, et al., 2021).

1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah :
a. Apa yang dimaksud dengan antipiretik?
b. Apa yang dimaksud dengan mekanisme kerja antipiretik?
c. Apa saja golongan antipiretik?
d. Apa saja Jenis Antipiretik Yang Digunakan Pada Pengobatan ISPA?
e. Bagaimana Bentuk Sediaan Antipiretik yang Diberikan Pada Pasien ISPA?
f. Bagaimana Ketepatan Dosis Penggunaan Obat Antipiretik Pada Pasien
ISPA?
g. Bagaimana Persepsi Orang Tua Mengenai Penggunaan Antipiretik?

1.3 Tujuan Masalah


Tujuan masalah pada makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan antipiretik
b. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan mekanisme kerja antipiretik
c. Untuk mengetahui apa saja golongan antipiretik
d. Untuk mengetahui apa saja jenis antipiretik yang digunakan pada
pengobatan ISPA
e. Untuk mengetahui bagaimana bentuk sediaan antipiretik yang diberikan
pada pasien ISPA
f. Untuk mengetahui bagaimana ketepatan dosis penggunaan obat antipiretik
pada pasien ISPA
g. Untuk mengetahui bagaimana persepsi orang tua mengenai penggunaan
antipiretik

2
BAB II DEFINISI

2.1 Pengertian
Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh dari suhu tubuh
tinggi ke suhu normal. Antipiretik yang dapat digunakan antara lain
acetaminophen, ibuprofen dan aspirin (Harahap et al, 2017). Parasetamol
merupakan obat penurun panas dan nyeri yang sering diberikan pada anak-anak,
sangat aman dengan dosis 50-100 mg dalam sekali minum, namun dosis yang
terlalu tinggi menyebabkan kerusakan hati. Parasetamol adalah penyebab utama
gagal hati pada anak-anak di Australia dan Selandia Baru, menurut sebuah studi
baru. Para peneliti mengidentifikasi 54 kasus gagal hati di dua rumah sakit anak
antara tahun 2002 dan 2012. 14 kasus ini terkait dengan overdosis parasetamol
dengan dosis harian lebih dari 4 g dan 12 kasus terjadi pada anak di bawah usia 5
tahun. Meski jumlah kasus anak dengan kerusakan hati masih sedikit, peneliti
mendesak untuk meninjau praktik keamanan penggunaan acetaminophen (Novita,
2020).
Antipiretik adalah obat atau zat yang digunakan untuk menurunkan panas
(Mulyani et al., 2017). Antipiretik bekerja dengan mengurangi pusat pengatur
suhu hipotalamus, diikuti oleh respon fisiologis termasuk penurunan produksi
panas, peningkatan aliran darah ke kulit, dan peningkatan kehilangan panas
melalui kulit melalui radiasi, konveksi, dan evaporasi. Namun penggunaan
antipiretik memiliki efek samping seperti bronkospasme, aliran darah
gastrointestinal, penurunan fungsi ginjal, dan dapat mengganggu penekanan
respon antibodi serum (Cahyaningrum et al., 2017).

2.2 Mekanisme kerja Antipiretik


Mekanisme kerja antipiretik adalah mencegah pembentukan prostaglandin.
Senyawa antipiretik menghambat enzim siklooksigenase, yang menyebabkan
asam arakidonat tak jenuh dan asam C20 diubah menjadi endoperoksida siklik.
Endoperoksida siklik merupakan prekursor prostaglandin dan prekursor
tromboksan A2 dan protasiklik (Gunawan, 2007). Ada dua jenis siklooksigenase,
yaitu siklooksigenase 1 (COX-1) dan siklooksigenase 2 (COX-2), yang memiliki

3
berat molekul dan daya enzim yang sama. Enzim COX-1 ditemukan di banyak sel
normal dan juga di jaringan termasuk pembuluh darah, ginjal, dan saluran
pencernaan. Zat ini berperan dalam menjaga perfusi ginjal, homeostasis vaskular
dan melindungi lambung dengan membentuk bikarbonat dan mukus serta
mencegah produksi asam. COX-2 tidak terdapat dalam jaringan dalam kondisi
normal, tetapi terjadi ketika kadarnya meningkat hingga 80 kali lipat akibat
peradangan (Hammond, 2011)

2.3 Golongan Antipiretik


Antipiretik tidak hanya menurunkan demam, tetapi juga berhubungan
dengan nyeri ringan atau sedang, karena keduanya merupakan reaksi yang
dihasilkan dari sintesis prostaglandin. Mengonsumsi antipiretik dapat
melemahkan pembekuan darah, karena zat tersebut mencegah pembentukan
tromboksan A2, sehingga pembekuan darah lebih lama jika terjadi perdarahan.
Golongan obat ini juga sedikit mempengaruhi fungsi ginjal pada pasien normal.
Pada pasien dengan kerusakan hati dan penyakit ginjal kronis, prostaglandin
dihambat, mengurangi aliran darah ke ginjal dan menurunkan laju filtrasi
glomerulus (Hammond, 2011).
Golongan obat antipiretik terbagi menjadi beberapa turunan yaitu :
1) Turunan Asam Salisilat
Turunan dari asam salisilat antara lain asam asetilsalisilat (asetosal),
benorylate, dan salisilamid. Obat golongan ini dapat menurunkan suhu tubuh
tanpa mengurangi kisaran normal sehingga menyebabkan turun secara efektif dan
cepat. Dalam dosis normal, obat tersebut meningkatkan konsumsi oksigen dan
mempercepat metabolisme. Pada dosis toksik, efek antipiretik yang dihasilkan
menyebabkan dehidrasi. Obat ini memiliki efek samping berupa iritasi pada
mukosa lambung dan ancaman tukak lambung serta perdarahan laten. Munculnya
aspirin menyebabkan sifat asam, yang dapat dikurangi menggunakan kombinasi
dengan antasida. Gangguan pendengaran, pusing, mual, muntah dan perdarahan
gastrointestinal yang parah juga dapat terjadi sebagai efek samping, yang biasanya
hanya terjadi dengan dosis tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama dan
menghilang setelah pengurangan dosis (Hammond, 2011).

4
2) Turunan Anilin
Asetaminofen atau parasetamol merupakan metabolit dari fenasetin dan obat
ini merupakan pilihan pertama untuk penurun demam. Parasetamol Indonesia atau
yang lebih dikenal dengan acetaminophen adalah golongan obat yang dijual
bebas. Parasetamol adalah penghambat biosintesis prostaglandin yang lemah,
yang dapat menyebabkan iritasi, erosi, dan pendarahan lambung yang tidak
terlihat dengan obat ini, serta gangguan pernapasan dan ketidakseimbangan asam-
basa. Dosis besar di atas 10 gram dapat menyebabkan nekrosis hepatoselular,
yang sangat serius dan terkadang fatal. Pengikatan metabolit parasetamol yang
bersifat reaktif dan timbul dari mikrosom protein hati dapat merusak hati. Efek
analgesiknya mirip dengan asam salisilat, yang dapat menghilangkan atau
meredakan nyeri ringan hingga sedang.

3) Turunan Pirazolon
Aminopyrine (phenazone), antipyrine (amidopyrine), dipyrone dan
metapyrone (antalgin) termasuk dalam kelas pirazolon. Methampirone (Antalgin)
adalah turunan methanesulfone dan amidopyrine yang mempengaruhi sistem saraf
pusat dengan mengurangi sensitivitas reseptor yang terlibat dalam pengaturan
suhu tubuh dan rasa sakit. Obat ini memiliki efek antipiretik, analgesik, dan
antiinflamasi. Saat ini, obat-obatan aminopyrine (phenazone), antipyrine
(amidopyrine) jarang digunakan atau tidak direkomendasikan karena, seperti
dipyrone, memiliki efek toksik. Bahan aktif dipyrone memiliki sifat seperti
antipiretik, analgesik (Akhsani et al., 2021).

4) Turunan Asam Organik


Ibuprofen adalah turunan asam organik. Obat dengan sifat antipiretik,
analgesik dan anti-inflamasi. Ibuprofen lebih cepat diserap dari lambung dan
memiliki waktu paruh 2 jam (Akhsani et al., 2021)

5
BAB III TUJUAN

Tujuan pemberian antipiretik adalah untuk mengontrol suhu tubuh,


meredakan rasa tidak nyaman akibat demam dan mengobati penyebab kenaikan
suhu tubuh. Antipiretik adalah obat yang meredakan atau menurunkan demam.
Sebagian besar obat antipiretik yang digunakan saat ini biasanya digunakan untuk
mengobati nyeri ringan, tetapi juga memiliki sifat antipiretik.
Antipiretik adalah pilihan yang sangat baik untuk mengurangi demam dan
gejala terkait demam. Demam sebenarnya merupakan respon alami terhadap
perubahan tubuh. Saat patogen masuk, terjadi reaksi peradangan yang disertai
dengan peningkatan jumlah sel darah putih yang diaktifkan oleh sistem kekebalan
tubuh.
Sistem kekebalan merespons zat asing seperti virus atau bakteri yang masuk
ke dalam tubuh dan kemudian meningkatkan sirkulasi sitokin pro-inflamasi ke
dalam aliran darah. Demam disebabkan oleh peningkatan produksi prostaglandin
E2, yang mengubah laju pembakaran neuron hipotalamus yang mengatur suhu
tubuh.
Meskipun demam adalah respons perlindungan diri, demam dapat
menyebabkan rasa sakit dan ketidaknyamanan yang parah, berkeringat, dan sakit
kepala. Demam bisa berlangsung berhari-hari dan mencapai suhu tubuh yang
sangat tinggi.

6
BAB IV KONSEP/TEORI

4.1 Jenis Antipiretik Yang Digunakan Pada Pengobatan ISPA


Pengobatan ISPA tidak hanya berfokus pada penanganan saluran napas
yang terinfeksi tetapi juga memerlukan tindakan suportif untuk mengatasi gejala
yang ditimbulkan oleh infeksi tersebut. Salah satu pengobatan yang dapat
dilaksanakan dalam pengobatan ISPA adalah penggunaan analgesik antipiretik.
Dalam sebuah studi oleh Hapsar et al. (2010) menempatkan golongan analgesik
dan antipiretik kedua setelah golongan pernafasan pada ISPA, dengan pangsa
19,98% dari enam golongan obat. Tanda dan gejala ISPA biasanya muncul
dengan cepat, dalam beberapa jam hingga beberapa hari. Demam merupakan
salah satu gejala seseorang terkena ISPA. Demam adalah kondisi umum di mana
suhu tubuh berada di atas kisaran normal 37,5 °C (100 °F) yang diukur dengan
termometer oral atau di atas 38 °C yang diukur secara rektal (MIMS, 2019).
Demam dapat diobati dengan antipiretik. Antipiretik adalah obat yang digunakan
untuk menurunkan suhu tubuh atau menurunkan panas. Cara kerja antipiretik,
antara lain, meningkatkan ambang nyeri otak. Selain menurunkan demam, obat ini
juga bekerja pada pusat kendali demam di otak. Penurunan suhu tubuh
mempengaruhi hipotalamus yang dapat merangsang pelebaran pembuluh darah
tepi, meningkatkan aktivitas kelenjar keringat dan konsumsi keringat. Berkeringat
ini membantu menurunkan suhu tubuh (Hapsari et al, 2010). Di Puskesmas
Penusupan Kabupaten Tegal, parasetamol dan ibuprofen merupakan obat
antipiretik yang digunakan untuk meresepkan pasien ISPA.
Penggunaan paracetamol sebagai penurun panas lebih mendominasi
dibandingkan dengan ibuprofen yang tercermin dari efek samping masing-masing
obat. Mungkin terdapat perbedaan efek samping ini karena kedua obat tersebut
memiliki mekanisme kerja yang berbeda. Menurut Zulfa et al. (2017) Parasetamol
bekerja dengan cara menghambat enzim COX-3 di hipotalamus. Tidak seperti
ibuprofen, obat ini tidak selektif terhadap COX-1 dan COX-2. Jadi, dapat
dikatakan bahwa parasetamol bekerja langsung pada pusat demam, sehingga
parasetamol tidak mempengaruhi penyakit lain pada pasien, sehingga parasetamol
merupakan antipiretik yang paling aman. Parasetamol adalah obat antipiretik yang

7
tidak terlalu mengiritasi lambung. Karena itu, acetaminophen lebih sering
digunakan oleh orang lanjut usia dan kelompok rentan seperti ibu hamil, asma,
dan sakit maag. Pada saat yang sama, ibuprofen dapat menyebabkan efek samping
pada penyakit lambung. Karena efek non-selektif dari ibuprofen inhibitor COX-1,
COX-1 mengatur jalannya fungsi fisiologis seperti perlindungan mukosa
lambung. Jika COX-1 dihambat, prostaglandin yang dibutuhkan untuk melindungi
mukosa lambung terganggu. Mengingat efek samping ini, asetaminofen lebih
sering digunakan daripada ibuprofen.
Secara farmakologis, parasetamol dan ibuprofen dapat ditoleransi dengan
baik karena jalur metabolisme yang berbeda dari kedua bahan aktif tersebut.
Selain itu, rentang dosis kedua antipiretik ini cukup luas sehingga dianggap aman
untuk diberikan terapi antipiretik dalam pengobatan ISPA. Pemilihan antipiretik,
cara pemberian dan dosis antipiretik sangat penting bagi dokter dalam
pengendalian demam, oleh karena itu pasien harus diinformasikan secara lengkap
pada setiap kunjungan untuk menghindari kesalahan dalam pemberian obat dan
juga toksisitas antipiretik (Nagrani dan Prayitno, 2015).
Antipiretik yang digunakan adalah parasetamol dan ibuprofen. Penelitian ini
juga melaporkan bahwa penggunaan parasetamol lebih dominan atau lebih sering
dibandingkan ibuprofen dalam pengobatan antipiretik pada pasien ISPA.

4.2 Bentuk Sediaan Antipiretik yang Diberikan Pada Pasien ISPA


Antipiretik diberikan dengan resep dokter dalam dua bentuk sediaan, yaitu
sediaan sirup dan tablet. Tingginya jumlah antipiretik dalam bentuk tablet pada
penelitian ini kemungkinan disebabkan karena rata-rata penderita ISPA adalah
orang dewasa yang pada usia tersebut dapat menelan bentuk tablet dengan baik
sehingga tidak diperlukan suplemen obat. Namun pemberian obat harus sesuai
dengan dosis yang dianjurkan atau petunjuk yang digunakan (Akhsani et al.,
2021).

4.3 Ketepatan Dosis Penggunaan Obat Antipiretik Pada Pasien Ispa


Dosis yang tepat adalah ketepatan dosis obat yang digunakan, frekuensi
antipiretik yang digunakan dan lama pemberian antipiretik sesuai dengan petunjuk

8
yang digunakan. Dosis antipiretik yang tepat untuk pasien ISPA pada penelitian
ini ditentukan berdasarkan usia pasien. Penentuan dosis yang tepat didasarkan
pada pedoman yang digunakan yaitu Drug Specialist Information Book (ISO)
Volume 52, dan pengecekan ketepatan dosis menggunakan berat badan pasien
anak sesuai pedoman Depkes RI tahun 2010: Pharmaceutical Care for Respiratory
Diseases in Indira et al (2018) dan buku ajar farmasi besar edisi ke-7 (Tjay dan
Rahardja, 2015).
Penggunaan paracetamol dapat dipastikan dengan dosis yang tepat, jika
petunjuk penggunaan dalam resep sesuai dengan ISO book 2019 volume 52,
dimana dosis yang benar adalah 3-4 kali sehari; Untuk anak 6-12 tahun ½-1 tablet
dan untuk anak 12 tahun 1 sendok sirup dan untuk anak 6-12 tahun 2 sendok teh
sirup, untuk anak 3-6 tahun 1-2 sendok teh, untuk anak 1 tahun 3 ½ - 1 sendok
sirup dan anak di bawah 1 tahun ½ sendok teh sirup. Menurut pedoman
penatalaksanaan medis penyakit pernapasan, dosis standar parasetamol untuk
anak-anak adalah 10-15 mg/kg/hari (maksimum 2,6 gram per hari) setiap 4-6 jam
per hari. Dosis dewasa yaitu 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 3-4 kali (1000 mg),
tidak boleh melebihi 4 gram per hari. Berdasarkan informasi resep pasien,
ditentukan bahwa dosis yang digunakan sudah tepat.
Penggunaan ibuprofen diindikasikan sebagai dosis yang tepat jika petunjuk
penggunaan dalam resep mengikuti aturan buku ISO volume 52. Dimana dosis
yang tepat digunakan jika 3-4x 1-2 kapsul/tablet (200mg-400mg) per hari, dapat
diikuti sesuai anjuran dokter atau petunjuk pada kemasan obat. Dalam uji tersebut
diketahui bahwa total penggunaan ibuprofen sudah tepat dosis sesuai aturan pakai
yang ada di ISO book, yaitu. dosis yang digunakan adalah 2-3x 400mg per hari.
Salah satu alasan mengapa penelitian ini melihat dosis yang tepat adalah ketika
minum obat, dosis berdampak besar pada potensi efek samping. Obat bertindak
seperti obat dalam tubuh ketika digunakan dalam dosis yang tepat. Dan
sebaliknya, obat yang digunakan tidak sesuai dengan aturan pakai, atau dengan
dosis yang salah, obat tersebut beracun. Pemberian parasetamol yang berlebihan
menimbulkan efek samping yang dapat merusak hati. Banyak kasus
hepatotoksisitas parah disebabkan oleh kadar toksin kumulatif berulang daripada
overdosis tunggal. Pemberian ibuprofen dosis berlebihan juga berdampak pada

9
ulkus gastrointestinal dan perdarahan, sehingga efek samping yang umum terjadi
antara lain mual, nyeri epigastrium dan ulserasi (Indira et al, 2018). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dosis yang diberikan tepat.

4.4 Persepsi Orang Tua Mengenai Penggunaan Antipiretik


Keputusan orang tua untuk menggunakan antipiretik sebesar 31,7% dalam
penurunan demam, faktor lain yang berpengaruh signifikan terhadap penggunaan
antipiretik sebesar 11,7% adalah penurunan suhu dan nyeri atau keluhan sebesar
8,3%. Untuk gejala lain seperti batuk, pilek dan muntah, 5% melaporkan bahwa
anak mengalami kejang demam. Di RSCM, sebanyak 41,7% orang tua memilih
menggunakan antipiretik yang bertujuan untuk menurunkan panas dan sebagian
lainnya untuk mengurangi nyeri dan gejala lainnya. Di Rumah Sakit Malimping,
ketika anak demam, 96,7% orang tua lebih memilih bentuk sediaan oral, 91,7%
lebih memilih sirup, dan sisanya (3,3%) lebih memilih kombinasi bentuk sediaan
oral dan supositoria. Tidak ada yang memilih suppositoria, sedangkan di RSCM
93,3% menggunakan sediaan sirup. Mengenai frekuensi pemberian antipiretik,
sebagian besar orang tua di rumah sakit (88,3%) memberikannya 3 kali sehari,
6,7% lebih sering memberikannya yaitu 4 kali sehari dan 5% 2 kali sehari. RSCM
memiliki 78, 3% memberikan frekuensi 3x dan 10% bahkan 4x. Faktor yang
paling mempengaruhi frekuensi dan dosis antipiretik adalah rekomendasi dari
dokter (63,3%), rekomendasi dari tenaga kesehatan non medis (13,3%), kemasan
(8,3%) dan 5% menyatakan dipengaruhi oleh berat badan. Tubuh anak biasanya
tidak berbeda dengan RSCM, dimana 70% berdasarkan perintah dokter dan
sisanya berdasarkan jurnal medis. Sebagian besar orang tua (76,7%) mengalami
kesulitan dalam memberikan antipiretik pada anak. Kesulitan tersebut antara lain
anak menolak minum obat dan muntah (66,7%), anak terlalu cemas sehingga sulit
memberikan obat (23,3%). Kesulitan ini juga terlihat pada beberapa orang tua
RSCM, yaitu hingga 25% anak menolak menelan obat yang diberikan. Untuk
mengatasi kesulitan dalam pemberian obat antipiretik, sebagian besar orang tua
membujuk anaknya untuk minum obat (63%), 21,7% melaporkan mencampur
obat dengan makanan atau minuman, 4,3% melaporkan memaksa anaknya untuk
minum obat dan 4,3% mengatakan untuk mereka untuk minum obat. akan

10
memberikan antipiretik dalam bentuk supositoria. Lagi pula, 40% responden
percaya bahwa antipiretik itu berbahaya, 5% tidak tahu. Dari antipiretik lama yang
tergolong berbahaya, antipiretik yang paling berbahaya adalah penyakit hati
(33,3%) dan risiko overdosis (29,2%). Hal ini tidak berbeda dengan responden
RSCM yang umumnya setuju bahwa demam tidak berbahaya (61,7%) (Mulyani et
al., 2017).

11
BAB V KESIMPULAN

Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh dari suhu tubuh
tinggi ke suhu normal. Antipiretik termasuk acetaminophen, ibuprofen, dan
aspirin
Mekanisme kerja antipiretik adalah mencegah pembentukan prostaglandin.
Senyawa antipiretik menghambat enzim siklooksigenase, yang menyebabkan
asam arakidonat tak jenuh dan asam C20 diubah menjadi endoperoksida siklik.
Antipiretik tidak hanya menurunkan demam, tetapi juga berhubungan
dengan nyeri ringan atau sedang, karena keduanya merupakan reaksi yang
dihasilkan dari sintesis prostaglandin.
Tujuan pemberian antipiretik adalah untuk mengontrol suhu tubuh,
meredakan rasa tidak nyaman akibat demam, dan mengobati penyebab kenaikan
suhu tubuh. Antipiretik adalah obat yang meredakan atau menurunkan demam.
Sebagian besar obat antipiretik yang digunakan saat ini biasanya digunakan untuk
mengobati nyeri ringan, tetapi juga memiliki sifat antipiretik.
Pengobatan ISPA tidak hanya berfokus pada penanganan saluran napas
yang terinfeksi tetapi juga memerlukan tindakan suportif untuk mengatasi gejala
yang ditimbulkan oleh infeksi tersebut. Salah satu pengobatan yang dapat
dilaksanakan dalam pengobatan ISPA adalah penggunaan analgesik antipiretik.
Antipiretik diberikan dengan resep dokter dalam dua bentuk sediaan, yaitu
sediaan sirup dan tablet. Tingginya jumlah tablet antipiretik yang digunakan
dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan karena rata-rata penderita ISPA
adalah orang dewasa yang pada usia tersebut sudah dapat menelan tablet tablet
dengan baik sehingga tidak diperlukan kombinasi obat.
Dosis yang tepat adalah ketepatan dosis obat yang digunakan, frekuensi
antipiretik yang digunakan dan lama pemberian antipiretik sesuai dengan petunjuk
yang digunakan. Dosis antipiretik yang tepat untuk pasien ISPA pada penelitian
ini ditentukan berdasarkan usia pasien. Penentuan dosis yang tepat didasarkan
pada pedoman yang digunakan yaitu Drug Specialist Information Book (ISO)
Volume 52, dan pengecekan ketepatan dosis menggunakan berat badan pasien

12
anak sesuai pedoman Depkes RI tahun 2010: Tata Laksana Farmasi Penyakit
Pernafasan Dalam Indira dkk (2018) dan Obat Esensial Edisi 7
Keputusan orang tua untuk menggunakan antipiretik sebesar 31,7% dalam
penurunan demam, faktor lain yang berpengaruh signifikan terhadap penggunaan
antipiretik sebesar 11,7% adalah penurunan suhu dan nyeri atau keluhan sebesar
8,3%. Untuk gejala lain seperti batuk, pilek dan muntah, 5% melaporkan bahwa
anak mengalami kejang demam. Di RSCM, sebanyak 41,7% orang tua memilih
menggunakan antipiretik yang ditujukan untuk menurunkan panas dan sebagian
lainnya untuk meredakan nyeri dan gejala lainnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Akhsani, H. F., Sari, M. P., & Purgiyanti, P. (2021). Gambaran Penggunaan Obat
Antipiretik Pada Penyakit Ispa Di Puskesmas Penusupan Kabupaten
Tegal (Doctoral Dissertation, Diii Farmasi Politeknik Harapan Bersama).
Atika, R. A., & Andri, A. (2021). Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan
Pengetahuan Orang Tua Tentang Pemberian Antipiretik Pada Balita Demam
Sebelum Berobat. Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan, 8(1).
Cahyaningrum, E. D., & Putri, D. (2017). Perbedaan Suhu Tubuh Anak Demam
Sebelum Dan Setelah Kompres Bawang Merah. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu
Kesehatan, 15(2), 66-74.
Candradewi, S. F., & Kristina, S. A. (2017). Gambaran Pelaksanaan Swamedikasi
Dan Pendapat Konsumen Apotek Mengenai Konseling Obat Tanpa Resep
Di Wilayah Bantul. Pharmaciana, 7(1), 41.
Gunawan, S. G., Setiabudy, R., & Nafrialdi, E. (2007). Farmakologi Dan
Terapi. Edisi, 5, 139-160.
Hammond, N. E., & Boyle, M. (2011). Pharmacological Versus Non-
Pharmacological Antipyretic Treatments In Febrile Critically Ill Adult
Patients: A Systematic Review And Meta-Analysis. Australian Critical
Care, 24(1), 4-17.
Hapsari, R. Y. D., & Rahmawati, F. (2016). Gambaran Pengobatan Pada
Penderita Ispa (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Di Puskesmas Trucuk 1
Klaten Tahun 2010. Cerata Jurnal Ilmu Farmasi, 2(1).
Harahap, N. A., Khairunnisa, K., & Tanuwijaya, J. (2017). Pengetahuan Pasien
Dan Rasionalitas Swamedikasi Di Tiga Apotek Kota Panyabungan. Jurnal
Sains Farmasi & Klinis, 3(2), 186-192.
Nagrani, D. G., & Prayitno, A. (2016). Efektivitas Kombinasi Parasetamol Dan
Ibuprofen Sebagai Antipiretik Pada Anak. Sari Pediatri, 17(2), 150-4.
Noval, N. (2014). Uji Aktivitas Antipiretik Infusa Daun Mahkota Dewa (Phaleria
Macrocarpa (Scheff) Boerl.) Pada Tikus Putih Galur Wistar.

14
Novita, R. P. (2020). Penyuluhan Tentang Penggunaan Antipiretik Balita Dan
Anak Secara Rasional Di Desa Pulau Semambu Indralaya. Jurnal
Pengabdian Sriwijaya, 8(2), 1007-1011.
Pratiwi, N. A., Nabilah, A., Sari, A. A., Putra, A. I., Amelia, C. C., Maghfira, H.
S., ... & Nita, Y. (2022). Pengetahuan Mahasiswa Non-Kesehatan Tentang
Penggunaan Obat Antipiretik Secara Swamedikasi. Jurnal Farmasi
Komunitas Vol, 9(1), 1-9.
Surya, M. A. N. I., Artini, I. G. A., & Ernawati, D. K. (2018). Pola Penggunaan
Parasetamol Atau Ibuprofen Sebagai Obat Antipiretik Single Therapy Pada
Pasien Anak. E-Jurnal Medika, 7(8), 1-13.
Tjay, T. H. (2015). Obat-Obat Penting Edisi Ketujuh. Elex Media Komputindo.
Yulandari, I., Mulyani, D. I., & Soedibyo, S. (2017). Persepsi Orangtua Mengenai
Demam Dan Penggunaan Antipiretik: Studi Potong Lintang Di Rsud
Malingping Dan Rsupn Cipto Mangunkusumo. Cermin Dunia
Kedokteran, 44(10), 677-683.
Zulfa, N. R. A., Sastramihardja, H. S., & Dewi, M. K. (2017, September). Uji
Efek Antipiretik Ekstrak Air Umbi Bengkuang (Pachyrhizus Erosus) Pada
Mencit (Mus Musculus) Model Hiperpireksia. In Bandung Meeting On
Global Medicine & Health (Bamgmh) (Vol. 1, No. 1, Pp. 37-41).

15

Anda mungkin juga menyukai