Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FITOTERAPI

EFEK ANTIHIPERTENSI AKUT DAN SUB-AKUT PADA DAUN SALAM


(SYZYGII POLYANTHI FOLIUM) DENGAN PENENTUAN ASAM GALAT
MENGGUNAKAN METODE HPLC

Disusun Oleh :

Ayu Shandra 16334088

Yasinta Dwianitami 16334091

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Efek Antihipertensi
pada Daun Salam” ini dengan tepat waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fitoterapi

Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tidak terlalu banyak mengalami kesulitan,
karena referensi yang didapatkan oleh penyusun merupakan rekomendasi langsung dari dosen
mata kuliah yang bersangkutan. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Fitoterapi yaitu Ibu Dr. Tiah Rachmatiah M.Si. Apt. yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk menyusun makalah ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak adanya kekurangan dan masih jauh
dari kesempurnaan.Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami
maksud penulis. Oleh karena itu penulis berharap akan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari segenap pembaca guna sempurnanya makalah ini.

Demikianlah, semoga makalah yang telah dibuat ini dapat bermanfaat bagi saya
khususnya dan bagi pembaca umumnya.Terimakasih.

Jakarta, Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii

BAB I..........................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1

1.1. Latar Belakang...........................................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................................3

1.3. Tujuan.........................................................................................................................................3

BAB II........................................................................................................................................................4

TINJUAN PUSTAKA................................................................................................................................4

2.1. Klasifikasi Tumbuhan Salam.........................................................................................................4

2.2. Biologi Tumbuhan Salam.................................................................................................................5

2.3. Kandungan Kimia Tanaman Salam...................................................................................................5

BAB III........................................................................................................................................................7

PEMBAHASAN..........................................................................................................................................7

3.1.1. Judul Penelitian..............................................................................................................................7

3.1.2. Bahan dan Metode Penelitian.........................................................................................................7

BAB IV.....................................................................................................................................................11

PENUTUP.................................................................................................................................................11

4.1. Kesimpulan.....................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipertensi adalah penyakit kardiovaskuler degeneratif kronis. Hipertensi diperkirakan
telah menyebabkan 4,5% dari beban penyakit secara global. Prevalensi penyakit hipertensi
hampir sama di negara berkembang dan negara maju. Hipertensi menjadi permasalahan
kesehatan yang sangat umum terjadi. Data dari The National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa 50 juta, bahkan lebih penduduk
Amerika mengalami hipertensi. Angka kejadian hipertensi diseluruh dunia mungkin
mencapai satu milyar dan kira-kira 7,1 juta kematian akibat hipertensi setiap tahun
(WHO,2003). Kebanyakan orang merasa sehat dan energik walaupun hipertensi (Ethical
Digest, 2009). Hipertensi selalu terkait dengan risiko penyakit kardiovaskuler yang
kejadiannya konsisten dan tidak tergantung faktor risiko lain. Serangan jantung, gagal
jantung, stroke, dan juga penyakit ginjal (Cobanian, 2003). Hipertensi merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah stroke dan tuberkulosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi
kematian pada semua umur di Indonesia (DepKes RI, 2007).
Hasil Riset Kesehatan Dasar RI 2007, penduduk Indonesia yang berumur lebih
dari18 tahun yang diukur tekanan darahnya, berdasar klasifikasi JNC 2003 menunjukkan
prevalensi 31,7%. Sebesar 7,2 % ditetapkan dengan diagnosa tenaga kesehatan dan 7,6%
didiagnosa tenaga kesehatan dengan riwayat menggunakan obat. Kasus yang minum obat
hipertensi hanya 0,4%. Dengan demikian cakupan diagnosis hipertensi oleh tenaga
kesehatan hanya mencapai24,0%, atau dengan kata lain sebanyak 76,0% kasus hipertensi di
masyarakat belum terdiagnosis (DepKes RI, 2007).
hipertensi meningkat menurut umur, rendahnya tingkat pendidikan. wanita dan juga
orang tidak bekerja juga menunjukkan prevalensi lebih tinggi. Prevalensi juga
cenderung meningkat sesuai peningkatan pengeluaran rumah tangga (DepKes RI, 2006).
Tingginya prevalensi ini juga dipengaruhi kepatuhan pasien pada pengelolaan hipertensi.
Penelitian Pristiantari, 2011 memperlihatkan tingkat kepatuhan pasien rawat jalan di RSUP
Dr.Sardjito Yogyakarta (37,5%) dengan paling banyak pasien berpengetahuan rendah dan
motivasi rendah (Pristiantari, 2011). Faktor kepatuhan dipengaruhi oleh faktor biaya medis,
faktor efek samping obat, pasien merasa tidak membutuhkan pengobatan dan keterbatasan
akses rumah sakit. Faktor lain yang berkontribusi terhadap ketidakpatuhan pasien ini
termasuk karena rejimen obat yang kompleks, kondisi perawatan dan resistensi pengobatan
(Joshi et al., 2012).
Salah satu kebijakan pemerintah adalah mengelola penyakit hipertensi dengan
pengendalian secara komprehensif terutama promotif-preventif, sarana diagnostik dan
pengobatan. Pemakaian obat herbal tradisional sebagai langkah promotif-preventif
pengelolaan hipertensi kini telah banyak dikembangkan. Pemerintah mendukung
1
penelitian dan pengembangan obat tradisional (Agoes,2007). Undang-Undang RI No.23
tahun 1992, Sistem Kesehatan Nasional, Resolusi World Health Assembly, dan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI No.0584/MENKES/SK/VI/1995 tentang Sentra
Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T)
(http://www.depkes.go.id, 2007). Tanaman obat relatif aman, tidak menyebabkan efek
samping yang kadang muncul pada pengobatan hipertensi dengan obat kimia. Misalnya:
kelemahan, kelelahan, mengantuk, impotensi, tangan dan kaki dingin, depresi, insomnia,
detak jantung tidak normal, ruam kulit, mulut kering, batuk kering, hidung, sesak, sakit
kepala, pusing, udema di sekitar mata, sembelit atau diare , demam atau anemia. Herbal tidak
akan mengganggu obat-obatan termasuk diuretik, pengencer darah, β-bloker dan kalsium
kanal bloker (Joshi et al., 2012).
Penggunaan berbagai herbal lokal diyakini berkontribusi signifikan terhadap peningkatan
kesehatan manusia, dalam hal pencegahan, atau menyembuhkan penyakit karena tanaman
telah lama berguna sebagai sumber pengobatan rasional. Salah satu tanaman tradisional yang
telah digunakan oleh masyarakat adalah daun Salam. Daun Salam digunakan pada
pengobatan hipertensi (Joshi et al., 2012; Dalimartha, 2010). Cara pemakaiannya diminum
dengan merebus 7-20 lembar daun segar atau daun yang telah dikeringkan dengan api kecil
selama satu jam (Dalimartha, 2010). Cara perebusan akan menghasilkan sediaan yang
mengandung zat-zat aktif yang bersifat polar. Perebusan tidak mampu menarik banyak
zat aktif yang terdapat dalam tanaman. Pada umumnya penyarian dengan etanol akan lebih
mampu menarik berbagai komponen zat aktif tanaman. Sehingga diharapkan potensi
pengobatan menjadi lebih kuat.
Daun Salam telah diteliti mengandung flavonoid dan menunjukkan aktivitas antioksidan
(Lelono et al., 2009) dan mampu mengontrol HDL kolesterol pada tikus Wistar (Agung,
2008). Flavonoid merupakan senyawa yang umum terdapat pada tumbuhan. Penelitian terkait
flavonoid telah banyak dilakukan. Penelitian dengan uji klinik terhadap 632 pasien di New
Haven bahwa konsumsi ekstrak buah dan sayur yang tinggi kandungan flavonoidnya
memberikan efek perlindungan terhadap fungsi endotel (Ali et al., 2011). Asupan diet dari
flavanon, antosianidin dari makanan tertentu yang kaya kandungan flavonoidnya dikaitkan
dengan penurunan resiko penyakit jantung koroner, penyakit kardiovaskuler, dan semua
penyebab kematian yang terkait (Mink et al., 2007). Flavonoid mampu memperbaiki
fungsi endotel dan menghambat agregasi pletelet manusia, efek ini merupakan keuntungan
flavonoid pada resiko penyakit kardiovaskuler (Vita,2005). Penelitian Mulatsih (2006)
menyatakan bahwa daun Salam tidak menunjukkan efek toksik yang berarti.
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa daun Salam yang memiliki kandungan
flavonoid memiliki potensi sebagai pengobatan penyakit hipertensi. Penelitian daun Salam
sebagai antihipertensi belum pernah dilakukan. Pada penelitian ini simplisia daun Salam
disari menggunakan etanol 96%, etanol adalah pelarut yang aman dan dapat menyari banyak
zat. Penelitian dilanjutkan secara in vivo pada tikus Wistar jantan, dilakukan dengan
mengukur langsung tekanan darah pada ekor. Dengan demikian dapat diketahui efek
antihipertensi secara langsung ekstrak etanol daun Salam. Kemudian dilanjutkan dengan
2
penentuan kandungan fenolik total dan flavonoid total dalam ekstrak etanol tersebut.
Kandungan fenolik dan flavonoid ditetapkan untuk mengetahui hubungan kandungan
fenolik dan flavonoid terhadap efek antihipertensinya. Kandungan senyawa dalam ekstrak
daun salam ditetapkan dengan kromatografi lapit tipis (KLT). Dengan bukti ilmiah yang
cukup, diharapkan ekstrak daun Salam layak dikembangkan sebagai obat pendamping atau
obat pilihan dari obat anti hipertensi yang telah ada.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana klasifikasi dari tanaman Salam ?
2. Apa saja kandungan kimia yang terdapat dalam tanaman salam ?
3. Bagimana pengobatan hipertensi menggunakan daun salam ?

1.3. Tujuan
1. Dapat mengetahui klasifikasi dari tanaman salam
2. Dapat mengetahui kandungan kimia yang terdapat dalam tanaman salam
3. Dapat mengetahui cara pengobatan hipertensi menggunakan daun salam

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Tumbuhan Salam

3
Salam adalah nama tumbuhan yang merupakan penghasil rempah dan merupakan salah
satu tanaman obat di Indonesia (Joshi dkk., 2012). Tumbuhan salam (Gambar 1) merupakan
tumbuhan yang banyak ditanam untuk menghasilkan daunnya (Versteegh, 2006).

Beberapa nama yang dimiliki oleh tumbuhan ini yaitu ubai serai (Melayu), manting
(Jawa), dan gowok (Sunda). Nama ilmiah dari tumbuhan ini yaitu Syzygium polyanthum
(Wight.) Walp atau Eugenia polyantha Wight (Enda,2009).
Adapun klasifikasi tumbuhan salam menurut van Steenis, 2003 sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Superdivisi : Spermatophyta

Clas : Dicotyledoneae

Order : Myrtales

Family : Myrtaceae

Genus : Syzygium

Species : Syzygium polyanthum (Wight.) Walp

2.2. Biologi Tumbuhan Salam


Tumbuhan salam tumbuh di ketinggian 5 m sampai 1.000 m di atas permukaan laut.
Pohon salam dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.800 m
(Dalimarta, 2000). Tumbuhan salam termasuk dalam tumbuhan menahun atau tumbuhan keras
karena dapat mencapai umur bertahun-tahun (Sumono dan Wulan, 2009; Fahrurozy, 2012).

4
Tumbuhan salam merupakan pohon atau perdu (Gambar 2). Memiliki tinggi berkisar
antara 18 m hingga 27 m dan biasanya tumbuh liar di hutan.

Arah tumbuh batang tegak lurus dengan bentuk batang bulat dan permukaan yang
beralur, batangnya berkayu biasanya keras dan kuat. Cara percabangan batangnya monopodial,
batang pokok selalu tampak jelas. Memiliki arah tumbuh cabang yang tegak (Fahrurozy, 2012).

Bunga tumbuhan salam kebanyakan adalah bunga banci dengan kelopak dan mahkota
masing-masing terdiri atas 4-5 daun kelopak dan jumlah daun mahkota yang sama, kadang-
kadang berlekatan. Bunganya memiliki banyak benang sari, kadang-kadang berkelopak
berhadapan dengan daun-daun mahkota. Tangkai sari berwarna cerah, yang kadang-kadang
menjadi bagian bunga. Bakal buah tenggelam dan mempunyai 1 tangkai putik, beruang 1
sampai banyak, dengan 1-8 bakal biji dalam tiap ruang. Biji memiliki sedikit atau tanpa
endosperm, lembaga lurus, bengkok atau melingkar (van Steenis, 2003).

Daun salam memiliki bentuk daun yang lonjong sampai elip atau bundar telur sungsang
dengan pangkal lancip, sedangkan ujungnya lancip sampai tumpul dengan panjang 50 mm
sampai 150 mm, lebar 35 mm sampai 65 mm, dan terdapat 6 sampai 10 urat daun lateral.
Panjang tangkai daun 5 mm sampai 12 mm (Dit Jen POM, 1980). Daun salam merupakan daun
tunggal yang letaknya berhadapan. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau muda dan jika
diremas berbau harum (Dalimartha, 2000).

Tumbuhan salam memiliki bunga majemuk yang tersusun dalam malai yang keluar dari
ujung ranting, berwarna putih dan baunya harum (Dalimartha, 2000). Buahnya termasuk buah
buni dengan diameter 8-9 mm. Buah yang masih muda berwarna hijau dan setelah masak
menjadi merah gelap, memiliki rasa agak sepat (Dalimartha, 2000).

2.3. Kandungan Kimia Tanaman Salam


Daun salam mengandung minyak atsiri (sitral, eugenol), tanin, dan flavonoid
(Dalimartha, 2000; Sumono dan Wulan, 2009). Senyawa flavonoid dapat menghambat
transportasi asam amino leusin dan bersifat toksisitas terhadap serangga (BBPPTP Ambon,
2013). Salah satu golongan flavonoid yaitu rotenon, mempunyai efek mematikan pada serangga
(Utami, dkk., 2010).

Aktivitas biologi minyak atsiri terhadap serangga dapat bersifat menolak (repellent),
menarik (attractant), racun kontak (toxic), racun pernafasan (fumigant), mengurangi nafsu
makan (antifeedant), menghambat peletakan telur (oviposition deterrent), menghambat
petumbuhan, menurunkan fertilitas, serta sebagai antiserangga vektor (Hartati, 2012).

Sedangkan senyawa tanin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan
mekanisme penghambatan makan pada serangga (Utami, dkk. 2010). Selain itu senyawa tanin
berpengaruh pada serangga dalam hal oviposisi (BBPPTP Ambon, 2013).

5
BAB III

PEMBAHASAN
3.1. Jurnal Penelitian

6
3.1.1. Judul Penelitian
Efek Antihipertensi Akut dan Subakut pada Ekstrak Daun Salam dengan Penentuan Asam
Galat menggunakan Analisis HPLC

3.1.2. Bahan dan Metode Penelitian


A. Bahan Penelitian

1. Bahan Kimia

Metanol, besi klorida, asam format, asetonitril, asam galat dan natrium
karboksimetilselulosa (CMC) yang dibeli dari Merck, Jerman. Semua bahan kimia merupakan
analytical grades, kalium losartan (50 mg) dibeli dari Abio Marketing Sdn. Bhd., Malaysia.

2. Bahan Tanaman

Daun dewasa S. polyanthum (1 kg) dikumpulkan dari District of Bachok, Kelantan,


Malaysia pada bulan Juli 2013. Tanaman telah dikonfirmasi oleh seorang ahli botani dari Institut
Penelitian Hutan Malaysia sebagai Syzygium polyanthum (Wight) Walp var. Polyanthum. Daun
S. polyanthum yang diambil menggunakan protokol yang sama seperti dilansir Ismail et al.
(2013). Rebusan air dan ekstrak methanol daun S. polyanthum ditetapkan sebagai ADSP
danMESP, masing-masing. Hasil dari 1 kg daun polyanthum S. segar adalah 36,90 gram ADSP
dan 6.20 gram MESP. Kedua ekstrak disimpan dalam -20 ºC freezer sampai digunakan.

3. Hewan Percobaan

Tikus wistar Kyoto jantan dewasa, dan Tikus Spontaneously-Hypertensive pada usia 3 bulan, dan
dengan kisaran berat 280-350 g yang disediakan oleh Animal Research and Service Centre,
Health Campus, University Sains Malaysia (USM)

B. Metode Penelitian

1. Persiapan Ekstrak dan larutan obat

Larutan stok dari ADSP dan MESP (100 mg / ml) dan kalium losartan (5 mg / ml)
disusun sekali setiap hari dan disimpan dalam suhu 4 ° C di freezer. Pada dasarnya, ADSP dan
kalium losartan tersuspensi dalam air suling, tapi MESP tersuspensi dalam air suling yang
ditambahkan dengan air hangat 1,0% (b / v) natrium CMC. Sodium CMC ditambahkan untuk
mengemulsi MESP sangat kental dengan air suling. Ekstrak dan solusi obat kemudian
dihomogenisasi menggunakan IKA Ultra-Turrax®T25 Dasar homogenizer (IKA-Werke GmbH
dan Co, Darmstadt, Jerman) di 24.000 rpm / min selama 3 menit. Dari larutan stok, dosis seri
ADSP dan MESP dari 2,00, 2,50-3,00 g / kg, dan kalium losartan pada dosis 0,01 g / kg solusi
yang disiapkan setiap hari.

2. Persiapan Hewan Uji


7
Setiap tikus ditempatkan dengan lembut di dalam penahan fisik tikus (capped) dan diijinkan
untuk bersantai selama 5 hingga 10 menit dan kemudian ditempatkan ke pra-pemanasan
(32ºC) ruang perumahan. Ekor tikus yang ditahan dengan hati-hati ditempatkan ke
dalammanset ekor dilengkapi dengan sensor foto. Tikus terkendali (tertutup) bisa tenang
selama 5 sampai 10 menit sebelum pengukuran. SBP tikus diukur setelah tikus itu santai.
Rekaman SBP diulang hingga tiga pembacaan yang paling stabil diperoleh. Nilai-nilai SBP
rangkap tiga ini kemudian dirata-ratakan.

3. Studi Akut: Pengaruh Dosis Tunggal dengan ADSP dan MESP pada normotensif
Wistar-Kyoto dan Tikus spontan hipertensi.

Penelitian ini dirancang untuk mengukur besarnya tekanan darah


memastikan pengurangan dan mengevaluasi rezeki dan pemulihannya dalam 24 jam
sesuai dengan protokol yang dijelaskan dalam penelitian sebelumnya.
Tiga puluh enam tikus WKY dibagi menjadi 9 kelompok sementara 36 tikus SHR juga
dibagi menjadi 9 kelompok lainnya. Setiap kelompok terdiri dari 4 tikus.Kelompok 1
mendapat distilasi air (kendaraan untuk melarutkan ADSP), sehingga berfungsi sebagai
kontrol negatif untuk kelompok yang mendapat ADSP.

Kelompok 2 menerima air suling ditambah 1% (w / v) sodium CMC (kendaraan untuk


MESP), sehingga berfungsi sebagai kontrol negatif untuk kelompok yang diperlakukan
dengan MESP. Grup 3 menerima losartan potassium dengan dosis 0,01 g / kg untuk
melayani sebagai kontrol positif dalam penelitian ini. Kelompok 4, 5 dan 6 menerima
ADSP pada dosis 2,00, 2,50 dan 3,00 g / kg, masing-masing sementara Grup 7, 8 dan 9
menerima MESP pada dosis 2,00, 2,50 dan 3,00 g / kg, masing-masing

1, 3, 5, 6, dan 24 jam pasca perawatan sesuai dengan protokol yang dijelaskan oleh
Ichimura et al.6 dengan sedikit modifikasi. Penelitian ini mencatat SBP setelah 6 jam
pasca perawatan, bukan 7 jam sebagaimana diuraikan dalam protokol oleh Ichimura et al.6
rekaman SBP dicatat setelah satu jam pasca-perawatan untuk memungkinkan proses alami
pencernaan dan penyerapan untuk mengambil tempat. Interval dua jam berikutnya pada 3
dan 5 jam pasca perawatan dicatat untuk meniru pengukuran tekanan darah akut pada
manusia. Tekanan darah dicatat setelah 6 jam pasca perawatan karena obat kontrol positif
(losartan potassium) yang digunakan dalam penelitian ini memanifestasikan efeknya
setelah 6 jam pasca perawatan. Rekaman SBP akhir setelah 24 jam dosis tunggal
digunakan untuk memantau pemulihan tikus pada perlakuan dengan ekstrak atau obat.
Setelah tiga rekaman stabil SBP untuk setiap interval diperoleh, tikus-tikus itu segera
dilepaskan dari yang terkendali dan kemudian ditempatkan kembali di dalam kandang
bersama dengan restrainer (uncapped). Tikus dapat bergerak bebas masuk dan keluar dari
restrainer di dalam kandang dengan air dan pellet ad libitum sampai interval pengukuran
tekanan darah berikutnya. Setelah pengukuran SBP akhir, semua tikus dikeringkan
menggunakan natrium pentobarbital pada 100 mg / kg melalui injeksi intraperitoneal.
8
Dosis terbaik untuk ekstrak dalam mengurangi SBP digunakan untuk fase studi
selanjutnya.

4. Study Sub-Akut : Pengaruh Pemberian Ekstrak dengan Dosis Harian selama 3 minggu
pada Tikus Hipertensif Secara Spontan

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan besarnya efek pada pemberian ekstrak
dengan dosisi harian pada tekanan darah tikus SHR, dan untuk mengamati ketahanan
penurunan tekanan darah dengan pemberian berulang dan dari waktu ke waktu untuk jangka
waktu 3 minggu menurut penelitian sebelumnya. Tikus SHR dibagi menjadi lima kelompok
dimana setiap kelompok terdiri dari empat tikus. Kelompok 1 menerima air suling,
Kelompok 2 menerima air suling ditambah 1% (w / v) sodium CMC, kelompok 3 menerima
losartan potassium (0,01 g / kg / hari), kelompok 4 menerima ADSP (2,5 g / kg / hari), dan
kelompok 5 menerima MESP (2,5 g / kg / hari). Losartan yang dipilih sebagai obat referensi
standar untuk penelitian ini adalah obat anti-hipertensi komersial, prototipe kelompok
reseptor angiotensin tipe II dengan efektivitas antihipertensi terbukti dan profil efek samping
yang lebih sedikit. Dosis spesifik 2,5 g / kg / hari dipilih berdasarkan temuan signifikan
untuk dosis ini selama studi efek dosis tunggal akut kami. SBP dicatat sebelum pengobatan
dan dilambangkan sebagai pengukuran pada minggu ke-0. Gavaging dilakukan dari jam 10
pagi sampai 12 siang setiap hari untuk menghindari variasi tekanan darah yang disebabkan
oleh ritme sirkadian. SBP kemudian diukur setiap minggu pada hari ke 8 (minggu 1), hari ke
15 (minggu 2), dan hari ke 22 (minggu 3). Setelah pengukuran SBP akhir pada hari ke 22
(minggu 3), semua tikus dikorbankan menggunakan natrium pentobarbital pada dosis
anestesi terminal 100 mg / kg melalui injeksi intraperitoneal.

5. Skrining kualitatif untuk fenolik menggunakan tes Besi Klorida

Skrining senyawa fenolik dalam ADSP dan MESP dilakukan menggunakan uji klorida
besi sesuai dengan protokol yang dijelaskan oleh Raaman.24 Secara singkat,m50 mg ADSP
dilarutkan dalam 5 ml air suling, sementara 50 mg MESP dilarutkan dalam 5 ml 95,0% (v /
v) metanol. Larutan ini ditambahkan dengan dua tetes besi klorida netral 5,0% (b / v).
Dalam setiap tes, air suling dan 95,0% (v / v) metanol digunakan sebagai kontrol negatif.
Perubahan warna apa pun dalam ekstrak dan kontrol negatif diamati karena munculnya
warna hijau, ungu, biru-hitam yang intens akan menunjukkan adanya fenol.

6. Kuantifikasi Asam Galat menggunakan High Performance Liquid Chromatografi (HPLC)

Senyawa fenolik di kedua ekstrak diidentifikasi menggunakan (HPLC). 10 mg ADSP dan


MESP dilarutkan dalam 1 ml metanol dan larutan yang dihasilkan disaring sebelum analisis.
ADSP dan MESP dianalisis menggunakan sistem HPLC (Waters Delta 600 with 600
Controller) dengan detektor array fotodioda (Waters 996). Sebuah kolom fenomenes-Luna (5
μm) digunakan (4,6 mm x 200 mm) sebagai fase stasioner, dan untuk elusi gradien
konstituen, dua pelarut dilambangkan sebagai "A" dan "B". Pelarut "A" adalah 0,1% asam
9
format berair, sedangkan pelarut "B" adalah asetonitril. Sistem elusi gradien yang digunakan
dalam penelitian ini ditetapkan sesuai Tabel 1. Laju alir ditetapkan pada 1 ml / menit dengan
volume injeksi 10 μl. Puncak utama dianalisis pada panjang gelombang yang berbeda dari
210, 254, 280 dan 300 nm dalam hal waktu retensi dan daerah puncaknya. Dalam pengujian
berikutnya, asam galat (100 ppm) dijalankan sebagai standar bersama dengan ADSP dan
MESP, dan kemudian dianalisis pada panjang gelombang tertentu 280 nm. Untuk kuantifikasi
asam galat, asam galat dengan konsentrasi seri 40, 60, 80, 100, 120, dan 140 ppm dijalankan.
Sebuah kurva standar asam galat diplot di mana sumbu y melambangkan absorbansi
sementara sumbu x mewakili konsentrasi asam galat (ppm). Konsentrasi asam galat dalam
ADSP dan MESP kemudian dihitung berdasarkan area puncak ADSP dan MESP dalam
kromatogram dan persamaan linier yang berasal dari kurva standar.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan teori dan bukti yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa :

 Tekanan darah tinggi merupakan keadaan dimana tekanan darah seseorang melebihi
normal. Penyakit ini dapat diatasi dengan diet, terapi, mengkonsumsi obat-obatan
modern. Agar optimal, maka diperlukan keseimbangan pola piker, pola hidup dan
pola makan yang sehat.

 Daun Salam memiliki manfaat dapat mengobatai kolesterol tinggi, kencing manis,
tekanan darah tinggi, sakit maag dan diare
10
 Dalam mengkonsumsi daun salam sebagai obat dapat diolah menjadi ekstrak yang
data dikonsumsi setiap hari

DAFTAR PUSTAKA

1. Kato E, Nakagomi R, Gunawan-Puteri M, Kawabata J. Identification


of hy- droxychavicol and its dimers, the lipase inhibitors contained in the
Indonesian spice, Eugenia polyantha. Food Chem. 2013:136(3-4):1239-42.

2. Ismail A, Mohamed M, Sulaiman S, Wan Ahmad W. Autonomic nervous


system mediates the hypotensive effects of aqueous and residual methanolic
extracts of Syzygium polyanthum (Wight) Walp. var. polyanthum leaves in
anaesthetized rats. Evid-Based Complement Alternat Med. 2013:2013:1-17.

11
3. Ismail A, Ahmad WANW. Autonomic receptors and nitric-oxide
involvements in mediating vasorelaxation effect induced by Syzygium
polyanthum leaves ex- tract. Pharmacogn Res. 2017:9(1):S9-S14.

4. Ahmad WW, Jamal N, Rahmat U, Ramli N, Muhammad N, Noordin


L. Evalu- ation of Syzygium polyanthum leaves methanol extract as
antihypertensive agent in rat. Int J Cardiol. 2017:249:S10.

5. Ramli N, Muhammad N, Safuan, Noordin L, Wan Ahmad WAN.


Preliminary evaluation on the effect of methanolic extract from Syzygium
polyanthum on improvement of hypertensive-renal damage among Spontaneous
Hypertensive Rat models. Annals of Microsc. 2017:16:15-22.

6. Ichimura T, Yamanaka A, Ichiba T, Toyokawa T, Kamada Y, Tamamura


T, et al. An- tihypertensive effect of an extract of Passiflora edulis rind in
spontaneously hypertensive rats. Biosci, Biotechnol Biochem. 2006:70(3):718-21.

7. Lv GY, Zhang YP, Gao JL, Yu JJ, Lei J, Zhang ZR, et al. Combined
antihyper- tensive effect of luteolin and buddleoside enriched extracts in
spontaneously hypertensive rats. J Ethnopharmacol. 2013:150(2):507-13.

8. Widyawati T, Yusoff NA, Asmawi MZ, Ahmad M. Antihyperglycemic


effect of methanol extract of Syzygium polyanthum (Wight.) leaf in
streptozotocin-in- duced diabetic rats. Nutrients. 2015:7(9):7764-80.

9. Kusuma IW, Kuspradini H, Arung ET, Aryani F, Min YH, Kim JS, et al.
Biological activity and phytochemical analysis of three Indonesian medicinal
plants, Mur- raya koenigii, Syzygium polyanthum and Zingiber purpurea. J
Acupunct Merid- ian Stud. 2011:4(1):75-9.

12

Anda mungkin juga menyukai