Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sendi lutut merupakan sendi yang banyak menerima tumpuan berat badan

sehingga sendi lutut menjadi sendi pada tubuh manusia yang sering mengalami

gangguan, salah satunya adalah osteoarthritis knee. Osteoarthritis knee

merupakan penyakit degenerasi sendi, yang ditandai dengan adanya penipisan

tulang rawan atau rusaknya kartilago yang menyebabkan jarak antar sendi

menyempit dan ligamen yang mengikat sendi lutut mengendur sehingga sendi

lutut menjadi tidak stabil. Keadaan ini yang menyebabkan hambatan fungsional

pada knee joint (Rika dan Euis, 2008).

Osteoarthritis knee merupakan penyakit degeneratif dan progresif yang

mengenai dua per tiga orang yang berumur lebih dari 65 tahun, dengan

prevalensi 60,5% pada pria dan 70,5% pada wanita. Seiring bertambahnya

jumlah kelahiran yang mencapai usia pertengahan dan obesitas serta

peningkatannya dalam populasi, maka osteoarthritis knee akan berpeluang besar

terjadi di kemudian hari. Karena sifatnya yang kronik, osteoartrhitis knee

berdampak pada sosio-ekonomi yang besar di negara maju dan di negara

berkembang (Anisa, 2015).

Adapun data yang didapatkan dari observasi langsung di RS Stella Maris,

pada bulan Mei hingga Desember 2018 ditemukan sebanyak 396 jumlah

1
kunjungan dan menurut data tersebut hingga akhir Desember 2018 kunjungan

pasien dengan kasus osteoartrhitis knee mengalami peningkatan yang cukup

signifikan.

Prevalensi osteoarthritis juga terus meningkat secara dramatis mengikuti

pertambahan usia penderita. Berdasarkan temuan radiologis, didapati bahwa

70% dari penderita yang berumur lebih dari 65 tahun penderita osteoarthritis

(Suhendriyo, 2014). Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena OA,

dari 500 pasien penderita OA pada anggota badan, 41,9 % adalah OA sendi lutut,

dengan jumlah wanita lebih besar daripada laki-laki, perbandingannya 1,3 : 1.

Rata-rata laki-laki terkena pada usia 60 tahun dengan puncaknya pada usia 65-64

tahun, untuk wanita terkena OA sendi lutut rata rata pada usia 65 tahun dengan

puncaknya pada usia 65-74 tahun (Isbagio,2010).

Problem yang sering muncul berhubungan dengan keluhan nyeri dan

kekakuan, keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS), kelemahan otot dan

instabilitas sendi lutut sehingga terjadi penurunan kemampuan fungsional.

Osteoartrhitis knee pada umumnya menimbulkan problem kelemahan otot

quadricep dan hamstring akibat adanya nyeri yang berlangsung lama. Penurunan

mobilitas sendi akan menyebabkan penggunaan otot yang minimal sehingga

kekuatan kontraksi otot menjadi menurun. Hal ini akan mempengaruhi ADL

yang melibatkan sendi knee seperti aktivitas berjalan, jongkok-berdiri, dan

aktivitas lainnya (Agustina, 2016).

2
Penggunaan modalitas Ultrasound sering diterapkan pada kondisi

osteoartrhitis knee dengan tujuan untuk menurunkan nyeri. Pemilihan terapi

manual dengan teknik mobilisasi Roll-Slide, dapat memperbaiki ROM knee joint.

Sedangkan pemilihan terapi latihan dengan Mechanical Resistance Exercise

dapat memperbaiki kinerja otot. Berdasarkan uraian masalah di atas, maka

peneliti ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan fisioterapi pada penderita

osteoartrhitis knee di RS. Stella Maris.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan bahwa rumusan

masalah dari penelitian ini adalah : “Bagaimanakah penatalaksanaan Fisioterapi

pada penderita Osteoartrhitis Knee di RS.Stella Maris.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada penderita

Osteoartrhitis Knee di RS.Stella Maris.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pemeriksaan fisioterapi pada penderita Osteoartrhitis

Knee di RS. Stella Maris.

b. Untuk mengetahui diagnosa dan problematik fisioterapi pada penderita

Osteoartrhitis Knee di RS.Stella Maris.

c. Untuk mengetahui intervensi fisioterapi pada penderita Osteoartrhitis Knee

di RS.Stella Maris.

3
d. Untuk mengetahui hasil dan evaluasi fisioterapi pada penderita

Osteoartrhitis Knee di RS.Stella Maris.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat ilmiah

Diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi para pembaca terkait

dengan penatalaksanaan Fisioterapi pada penderita Osteoartrhitis Knee dan

untuk menambah pengetahuan khususnya cara menangani pasien dengan

kondisi Osteoartrhitis Knee.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan bagi fisioterapis di lahan

praktek terkait dengan penatalaksanaan Fisioterapi pada penderita

Osteoartrhitis Knee, dan menjadi bahan acuan bagi mahasiswa yang ingin

melanjutkan penelitian tentangOsteoartrhitis Knee.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Osteoarthritis

1. Definisi Osteoarthritis

Osteoarthritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti

tulang, arthro yang berarti sendi, dan itis berarti inflamasi meskipun

sebenarnya yang berarti sendi, dan itis berarti inflamsi meskipun sebenarnya

penderita osteoarthritis tidak mengalami inflamasi atau hanya mengalami

inflamasi ringan ( Koentjoro,2010).

Kelainan utama OA adalah kerusakan rawan sendi yang dapat diikuti

dengan penebalan tulang subkondral, pertumbuhan osteofit, keruskan ligamen

dan peradangan ringan pada sinovium, sehingga sendi yang bersangkutan

membentuk efusi (Poole,2001).

Osteoarthritis adalah kondisi dimana sendi terasa nyeri akibat inflamasi

dengan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi.

Osteoarthritis terdiri atas osteoarthritis primer yang dikenal juga sebagai

arthritis degenaratif atau penyakit degenaratif sendi, dan osteoarthritis

sekunder yang disebabkan oleh trauma tropisme atau cidera.

Osteoarthritis atau disebut juga penyakit sendi degeneratif adalah

suatu kelainan pada kartilago yang ditandai dengan perubahan klinis,

5
histologi, dan radiologi. Penyakit ini bersifat asimetris, tidak ada komponen

sistematik (Parjoto,2000).

2. Etiologi Osteoarthritis

Etiologi atau penyebab dari penyakit degeneratif pada sendi ini belum

diketahui dengan pasti. Namun beberapa faktor yang disebut-sebut

mempunyai peranan atas timbulnya OA antara lain:

a. Umur

Merupakan faktor resiko tertinggi untuk osteoarthritis. Peningkatan

pravalensi osteoarthritis dijumpai seiring dengan peningkatan usia. Pada

survey radiografik terhadap perempuan berusia kurang dari 45 tahun hanya

2% menderita osteoarthritis; namun, antara usia 45 tahun da 65 tahun

prevalensinya 30%, sedangkan untuk yang berusia lebih dari 65 tahun

angkanya 68%. Pada laki-laki, angkanya serupa tetapi sedikit lebih rendah

pada kelompok usia tua (Isbagio,2001).

b. Obesitas

Salokof dan Radin mempelajari hubungan antara peningkatan berat

badan dengan resiko timbulnya OA, karena berat badan yang berlebihan

akan menambah beban sendi menumpu berat badan sehingga stress

mekanik bertambah dan hal ini memperepat perubahan biokimia rawan

sendi (degenerasi). Felson dkk dalam penelitiannya menunjukkan bahwa

kenaikan indeks massa tubuh (IMT) berhubungan dengan meningkatnya

factor resiko osteoarthritis ( Isbagio,2001).

6
c. Aktivitas fisik dan kerusakan sendi sebelumnya

Seseorang yang sangat banyak melakukan aktivitas fisik dan sering

mengalami trauma yang berulang (misalnya: para olahragawan)

mempunyai resiko yang tinggi untuk terkena OA (Isbagio,2001).

d. Faktor hormonal

Diabetes melitus berperan sebagai predisposisi timbulnya OA.

Meskipun belum ada bukti yang jelas bahwa faktor hormonal terlibat

sebagai penyebab OA. Bagaimanapun, perubahan degeneartif di lutut dan

spine pada umumnya terjadi pada penderita dengan penyakit diabetes.

Penderita yang mengalami hypothyroid biasanya sering mengeluh nyeri

pada otot, tapi angka kejadian OA tidak meningkat pada kasus ini

(Isbagio,2001).

e. Jenis kelamin

Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA pada banyak sendi, dan

laki-laki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher.

Secara keseluruan, di bawah 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama

pada laki-laki dan wanita, tetapi diatas 50 tahun( setelah menopause)

frekuensi OA lebih banyak pada wanita dari pada laki-laki. Hal ini

menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA (Isbagio,2001).

f. Degradasi rawan sendi

Degradasi rawan sendi timbul sebagai akibat dari ketidak seimbangan

antara regenerasi (reparasi) dengan degenerasi rawan sendi melalui beberapa

7
tahap yaitu fibrilasi, pelunakan, perpecahan, dan pengelupusan lapisan rawan

sendi. Proses ini dapat berlangsung cepat atau lambat. Yang cepat dalam

waktu 10-15 tahun, sedang yang lambat 20-30 tahun. Akhirnya permukaan

sendi menjadi botak tanpa lapisan rawan sendi (Isbagio,2001).

g. Osteofit

Bersama timbulnya dengan degenerasi rawan, timbul reparasi.

Reparasi berupa pembentukan osteofit di tulang subchondral (Isbagio,2001).

h. Sclerosis subchondral

Tulang subchondral terjadi reparsi berupa sclerosis pemadatan atau

penguatan tulang tepat di bawah lapisan rawan yang mulai rusak

(Isbagio,2001).

i. Sinovitis

Sinovitis ialah inflamasi dari sinovium dan terjadi akibat proses

sekunder degenerasi dan fragmentasi. Matrik rawan sendi yang putus terdiri

dari kondrosit yang menyimpan proteogycan yang bersifat immunogenik

dan dapat mengantisipasi lekosit sinovitis dapat meningkatkan cairan sendi.

Cairan lutut yang mengandung bermacam-macam enzim akan tertekan ke

dalam celah-celah rawan. Ini mempercepat proses pengerusakan

rawan.(Isbagio,2001)

8
Gambar 2.1. Sendi Lutut yang Normal dan yang Rusak

3. Patofisiologi Osteoarthritis

a. Perubahan patologi

Perubahan yang pertama terjadi pada osteoarthritis adalah

ketidakrataan rawan sendi disusul hilangnya rawan sendi sehingga terjadi kontak

tulang dengan tulang sendi disusul dengan terbentuknya kista subchondral,

osteofit pada tepi tulang dan reaksi radang pada membran synovial.

Pembengkakan sendi, penebalan membran synovial dan kapsul sendi, serta

tereganggnya ligament menyebabkan ketidak stabilan dan deformitas.

Otot sekitar sendi menjadi lemah karena efusi synovial dan disuse atrophy

pada satu sisi dan spasme otot pada sisi yang lain. Perubahan biomekanik ini

disertai dengan perubahan biokimia dimana terjadi gangguan metabolisme

kondrosit, gangguan biokimia matrik akibat terbentuknya enzim metaloprteinase

(MPP) yang memecahkan proteoglikan dan kollagen (Dieppe,2005).

Rawan sendi pada keadaan normal melapisi ujung tulang. Matrik rawan

sendi mempunyai 2 tipe makromolekul yaitu proteoglikan dan kollagen

disamping mineral, air, dan enzim. Proteoglikan terdiri dari protein dengan rantai

9
glikosaminoglikan lain dan protein lain yang berfungsi menstabilkan dan

memperkuat cartilago sendi. Kollagen penting untuk integritas struktur dan

kemampuan fungsi rawan sendi, kollagen rawan sendi adalah kollagen tipeII

(Dieppe, 2005).

Enzim metalloproteinase (MPP) dalam keadaaan normal dihambat olrh

tissue of metaloprotein (TIMP). Secara teoritis ketidakseimbangan antara

produksi MPP dan TIMP akan menyebabkan peningkatan proteoliosis matrik

hinggga terjadi degenerasi rawan sendi (Dieppe, 2005).

b. Gejala klinis osteoarthritis

Nyeri merupakan gambaran yang paling sering pada pasien OA. Gejala

rasa nyeri ini biasanya bersumber dari sinovium karena adanya inflamasi tulang

karena adanya peningkatan tekanan medullar dan fraktur subkondral, osteofit

karena adanya periosteal dan tekanan pada syaraf, kapsul sendi karena adanya

distensi dan instabilitasi serta otot dan ligamen karena adanya peregangan pada

keduanya (Lukum,2011).

c. Diagnosis

Melalui pemeriksaan radiologi yang menunujang diagnosis osteoarthritis

anatara lain adanya osteofit pada pinggir sendi, adanya penyempitan celah sendi,

adanya perubahan struktur anatomi sendi, kista tulang dan densitas tulang.

Perubahan di atas dipakai sebagai pedoman oleh Kellgren dan Lawrens untuk

menentukan gradasi OA :

10
1) Grade 0 : normal (tidak ada OA)

2) Grade 1 : OA meragukan (sendi normal, kecuali terdapat

osteofit minimal).

3) Grade 2 : OA minimal (osteofit ada di dua tempat,tidak

baik

4) Grade 3 : OA moderat (osteofit moderat, deformitas ujung

tulang, celah sendi sempit)

5) Grade 4 : OA berat (osteofit besar, deformitas ujung tulang,

sela sendi hilang, kista+, sclerosis +).

Gambar 2.2. stage 1-4 osteoarthritis : Kerusakan sela sendi

Sumber : (Sasongko, 2000)

d. Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi pada penyakit osteoarthritis yaitu nyeri

dan kekauan sendi yang dapat menjadi sangat berat sehingga penderita tidak

dapat beraktivitas. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada penderita

11
osteoarthritis adalah keterbatasan ruang gerak sendi disertai kekakuan,

deformasi lutut menjadi bentuk O (varus) dan bentuk X (valgus) serta atropi.

Dan kondisi ini akan berlangsung secara perlahan tapi pasti akibatnya

menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari sepeti ibadah, jongkok, duduk,

berdiri, dan berjalan.

4. Anatomi, Fisiologi dan Biomekanik Regio lutut

a. Anatomi fisiologi lutut

Knee joint merupakan sendi yang paling besar dan paling kompleks

pada tubuh manusia. Knee joint kompleks terdiri dari tibiofemoral joint dan

patellofemoral joint. Kapsul sendi yang laxity/lentur membungkus kedua sendi

tersebut. Kapsul membentuk bursa prepatellaris, bursa infrapatellaris, dan bursa

suprapatellaris(Sudaryanto, 2009).

Knee joint merupakan suatu sendi yang disusun oleh beberapa tulang,

ligamen beserta otot, sehingga dapat membentuk suatu kesatuan yang disebut

dengan sendi lutut atau knee joint (Sudaryanto, 2009).

Tulang yang membentuk sendi lutut anatara lain : Tulang femur distal,

tibia proximal, tulang fibula dan tulang patella.

1) Tulang femur (tulang paha)

Tulang femur termasuk tulang panjang yang bersendi keats denn

pelvic dan ke bawah dengan tulang tibia. Tulang femur terdiri dari epiphysis

proximal diaphysis dan epiphysis distalis. Epiphysis distalis merupakan

bulatan sepasang yang disebut condylus femoralis lateralis dan medialis.

12
Dibagian proximal tonjolan tersebut terdapat sebuah bulatan kecil yang

disebut epicondylus lateralis dan epicondylus medialis. Pandangan dari

depan, terdapat dataran sendi yang melebar ke lateral yang disebut fades

patellaris yang nantinya bersendi dengan tulang patella. Dan pandangan dari

belakang diantara condylus lateralis dan medialis terdapat cekungan yang

disebut fossa intercondyloidea (Platser W, 1993).

2) Tulang Patella (Tulang tempurung lutut)

Tulang patella merupakan tulang dengan bentuk segitiga pipih dengan

apeks menghadap ke arah distal. Pada permukaan depan kasar sedangkan

permukaan dalam atau dorsal meiliki permukaan sendi yaitu fades artikularis

lateralis yang lebar dan fades artikularis medialis yang semoit (Platser W,

1993).

3) Tulang Tibia (Tulang kering)

Tulang tibia terdiri dari epiphysis proximalis, diaphysis distalis.

Epiphysis proximalis pada tulang tibia terdiri dari dua bulatan yang disebut

fades artikularis lateralis dan medialis yang atasannya terdapat dataran sendi

yang disebut fades artikularis lateralis dan medialis yang dipisahka oleh

ementio intercondyloidea (Evelyn, 2002)

Lutut merupakan sendi yang bentuknya dapat dikatakan tidak ada

kesesuaian bentuk, kedua kondylus dari femur secara bersama membentuk

sejenis katrol (troclea), sebaliknya dataran tibia tidak rata permukaannya,

13
ketidaksesuaian ini dikompensasikan oleh bentuk meniscus (Platser W,

1993).

Hubungan-hubungan antara tulang tersebut memnbentuk suatu sendi

yaitu antara tulang femur dan patella disebut articulatio patella femorale,

hubungan antara tibia dan femur disebut articulatio tibio femorale. Yang

secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai sendi lutut knee joint (Evelyn,

2002).

4) Tulang fibula

Tulang fibula ini berbentuk panjang terletak disebelah lateral dan tibia

juga terdiri dari bagian yaitu : epiphysis proximalis, diaphysis dan epiphysis

distalis.

Epiphysis proximalis membulat disebut capitulum fibula yang ke

proximalis meruncing menjadi apex capitulis fibula. Pada capitulum terdapat

dua dataran yang disebut fades articularis capituli fibula untuk bersendi

dengan tibia.

Diaphysis mempunyai emapat crista lateralis, crista medialis, crista

lateralis dan fades posterior. Epiphysis distalis ke arah lateral membulat

disebut maleolus lateralis (mata kaki luar) (Evelyn, 2002).

14
b. Ligamentum, kapsul sendi dan jaringan lunak sekitar sendi lutut.

1) Ligamentum

Ligamen mempunyai sifat extensibility dan tensile strength yang

berfungsi sebagai pembatas gerakan stabilitator sendi. Lutut memiliki

beberapa ligamentum, antaranya :

a) Ligamentum cruciatum anterior yang berfungsi menahan hiperekstensi

dan menahan bergesernya tibia ke depan.

b) Ligamentum cruciatum posterior, yang berjalan dari lateral kondilus

medialis femoris menuju ke fossa intercondyloidea tibia, berperan

menahan bergesernya tibia ke arah belakang.

c) Ligamentum collateral fibular yang berjalan dari epycondilus lateralis ke

capitulum fibula yag berfungsi menahan gerakan varus.

d) Ligamentum collateral tibia berjalan dari epicondylus medialis ke

permukaan medial tibia (epicondylus medialis tibia), berfungi menahan

gerakan valgus. Namun secara bersamaan, fungsi-fungsi ligamen

collateral menahan bergesernya tibia ke depan pada posisi lutut 90o..

e) Ligamentum popliteum obliqum berasal dari condylus lateralis femur

menuju ke insersio musculus semi membranosus, melekat pada fascia

musculus popliteum.

f) Ligamentum transversum genu membentang pada permukaan anterior

meniscus medialis dan lateralis (Anwar,2012).

15
2) Kapsul sendi

Kapsul sendi lutut terdiri dari dua lapisan yaitu (a) stratum fibrosum

merupakan lapisan luar yang berfungsi sebagai penutup atau selubung (b)

stratum synovium yang bersatu dengan bursa suprapatellaris. Stratum

synovium ini merupakan lapisan dalam yang berfungsi memproduksi cairan

synovium untuk melicinkan permukaan sendi lutut. Kapsul sendi lutut ini

termasuk jarigan fibrosus yang avascular sehingga cidera sulit untuk proses

penyembuhan (Evelyn, 2002).

3) Jaringan lunak

a) Meniscus

Meniscus merupakan jaringan lunak, meniscus pada sendi lutut adalah

meniscus lateralis. Adapun fungsi meniscus adalah :

(1) penyebaran pembebanan (2) peredam kejut (shock absorber) (3)

mempermudah gerakan rotasai (4) mengurangi gerakan stabilitator setiap

penekanan akan diserap oleh meniscus dan di teruskan ke sebuah sendi.

b) Bursa

Bursa merupakan kantong yang berisi cairan yang memudahkan

terjadinya gesekan dan gerakan, berdinding tipis dan dibatasi oleh membran

synovial. Ada beberapa bursa yang terdapat pada sendi lutut antara lain,

bursa popliteus, bursa supra pateliaris, bursa infra paterallis, bursa

subcutanea prepateliaris, bursa subpatelliaris (Anwar 2012).

16
c) Otot-otot pada regio knee joint kompleks yaitu :

(1) Otot Quadriceps femoris : terdiri ats 4 otot yaitu rectus femoris, vastus

medialis, vastus intermedius dan vastus lateralis. Otot ini terletak pada

bagian anterior yang melewati axis knee dan primemover ekstensi knee.

Patella dapat memperbaiki lever atau pengungkit dari gay ekstensor

melalui peningkatan jarak tendon quariceps dari axis knee joint.

(2) Otot Hamstring : terdiri dari 3 otot yaitu, biceps femoris, semitendinosus

dan semimembranosus. Otot ini merupakan primeover fleksi knee dan

juga mempengaruhi rotasi tibia terhadap femur

(3) Otot Popliteus : otot ini menopang kapsul sendi bagian posterior dan

bekerja untuk melepaskan penguncian pada knee

(4) Otot Gastrocnemius : otot ini berfungsi sebagai fleksor knee, tetapi

fungsi utamanya adalah saat knee menumpu berat badan maka otot

gastrocnemius menopang kapsul bagian posterior melwan gaya

hiperekstensi knee.

(5) Group otot pes anserinus yaitu otot sartorius, gracilis dan

semitendinosus. Kelompok otot ini memberikan stabilitas medial knee

joint dan mempengaruhi rotasi tibia dalam closed kinematik chain.

c. Sistem persyarafan

Pada regio lutut, tungkai mendapat persyarafan dari nervus ischiadicus

yang berasal dari serabut lumbal ke-4 sampai dengan sacrum ke-3. Ini

merupakan serabut yang terbesar di dalam tubuh yang keluar dari foramen

17
ischiadicus mayor, berjalan terus di sepanjang permukaan posterior paha ke

ruang poplitea, lalu syaraf ini membagi dua bagian yang nervus peroneus

communis dan nervus tibialis. Nervu peroneus communis pada dataran lateral

capitulum fibula akan pecah menjadi nervus superficialis.

d. Biomekanik sendi lutut

Biomekanik adalah ilmu yang mempelajari gerakan tubuh manusia.

Pada bahasan Karya Tulis Ilmiah ini penulis hanya membahas komponen

kinematis. Ditinjau dan gerak secara osteokinematika dan secara

artrokinematika yang terjadi pada sendi lutut.

1) Osteokinematika

Sendi lutut termasuk dalam sendi ginglyus (hinge modified) dan

mempunyai gerak yang cukup luas seperti sendi siku, luas gerak fleksinya

cukup besar. Osteokinematika yang memungkinkan terjadi pada sendi lutut

adalah gerak flexi dan extensi pada bidang sagital dengan lingkup gerak

sendi untuk gerakan fleksi sebesar 130o dengan posisi ekstensi 0o atau 5o dan

gerak putaran keluar 40o hingga 45o dari awal mid posisi 20o. Fleksi sendi

lutut adalah gerakan permukaan posterior ke bawah menjauhi permukaan

posterior tungkai bawah. Putaran ke dalam adalah gerakan yang membawa

jari-jari ke arah sisi dalam tungkai (medial). Ekstensi sendi lutut adalah

putaran keluar gerakan membawa jari-jari ke arah luar (lateral) tungkai

(Sudaryanto,2009).

18
2) Artrokinematika

Kedua permukaan sendi lutut pergerakan yang terjadi meliputi gerak

slidig dan rolling, maka disinilah berlaku hukum konkaf-konvek. Hukum ini

menyatakan bahwa jika permukaan sendi cembung (konvek) bergerak pada

permukaan sendi cekung (konkaf) maka pergerakan sliding dan rolling

berlawanan. Dan jika permukaan sendi cekung (konkaf) bergerak pada

permukaan sendi cembung (konvek) maka pergerakan sliding dan rolling

searah. Pada permukaan femur cembung (konvek) bergerak, maka 20

gerakan sliding dan rolling berlawanan arah. Saat gerak fleksi femur rolling

ke arah belakang dan slidingnya kebelakang. Dan pada permukaan tibia

cekung (konkaf) bergerak fleksi ataupun ekstensi menuju ke depan atau

ventral (Sudaryanto, 2009).

B. Tinjauan Modalitas Fisioterapi

1. Ultrasound

Ultrasound merupakan salah satu metodolgi intervensi fisioterapi yang

banyak direkomendasikan untuk mengurangi nyeri. Terapi Ultrasound

adalah usaha pengobatan dengan menggunakan getaran mekanik gelombang

fekuensi lebih 20.000 Hz yang digunakan dalam fisioterapi 0,7 Mhz – 3Mhz

dengan tujuan menimbulkan efek terapeutik, dalam hal ini energi ultrasound

dapat menaikkan suhu dalam jaringan (micro massage). Efek biolodis yang

timbul secara fisiologis akibat pengaruh mekanik dari therma ultrasound

adalah meningkatkan sirkulasi darah.

19
a) Efek thermal ultrasound

i. Efek fisiologis

1. Meningkatkan sirkulasi darah

2. Meningkatkan ambang rangsang nyeri.

3. Meningkatkan ekstensibilitas kolagen dari tendon, kapsul dan

jaringan parut.

ii. Implikasi klinis

1. Mengurangi nyeri

2. Mengurangi spasme otot

3. Mempermudah penguluran jaringan.

4. Menurunkan peradangan kronik.

b) Efek non thermal ultrasound

i. Efek fisiologis

1. Meningkatkan kandungan kolagen.

2. Meningkatkan ambang nyeri.

3. Menstimulasi pelepasan histamine dari sel Mast.

4. Stimulasi fibroblast untuk meningkatkan sistem protein.

ii. Implikasi klinis

1. Mempercepat penyembuhan luka dengan percepatan fase awal

peradangan.

20
2. Mempercepat penyembuhan melalui percepatan akhir

peradangan, mempercepat penyembuhan luka akibat

menurunnya pembentukan jaringan baru.

3. Mempercepat penyembuhan luka dengan perbaikan sirkulasi.

4. Meningkatkan daya lentur jaringan.

5. Mengurangi nyeri.

c) Indikasi dan kontra indikasi ultrasound

1. Indikasi

a) Kondisi peradangan subakut dan kronik.

b) Kondisi traumatic subakut dan kronik.

c) Adanya jaringan parut pada kulit sehabis luka operasi atau luka

bakar.

d) Kondisi ketegangan, pemendekan dan perlengketan jaringan lunak

(otot, tendon dan ligamen).

2. Kontra indikasi

a) Penyakit jantung atau penderita alat pacu jantung.

b) Kehamilan, khususnya pada area uterus.

c) Jaringan lembut : mata, testis, ovarium dan otak.

d) Jaringan yang baru sembuh atau jaringan granulasi baru.

e) Pasien dengan gangguan sensasi.

f) Tumor.

g) Infeksi akut.

21
h) Daerah epiphysis untuk anak – anak dan dewasa.

2. Exercise Therapy

Adalah suatu usaha pengobatan dalam fisioterapi yang dalam

pelaksanaanya menggunakan latihan-latihan gerak tubuh secara aktif maupun

pasif.

Tujuan exercise therapy adalah:

1) Memajukan aktifitas penderita

2) Memperbaiki otot-otot yang tidak efisien dan memperoleh kembalijarak

gerak sendi yang normal tanpa memperlambat usaha mencapai gerakan

yang berfungsi dan efisien

3) Memelihara kekuatan otot

4) Memelihara daya tahan tubuh dan kebugaran kardiovaskular

5) Memelihara mobility dan flexibility

6) Memelihara stabilisasi

7) Memelihara rileksasi

8) Memelihara kordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional.

a. Strengthening

1) Pengertian

Salah satu jenis latihan kekuatan otot yang digunakan adalah dengan

tenik isoton. Latihan isotonik adalah suatu jenis latihan dns dengan

kontraksi otot dengan menggunakan resisten/beban dan terjadi perubahan

panjang otot pada lingkup gerak sendi. Latihan isotonik dapat di berikan

22
dengan menggunakan beban eksternal yang disebut isotonic resistance

exercise. Isotonik resstance exercise adalah suatu bentuk latihan dinamis

melawan tahanan yang konstan dengan sejumlah beban tertentu pada

sepanjang lingkup gerak sendi (Setio Prayudi, 2008).

(1) aplikasi

Strengthening pada M.quadriceps dilakukan dengan cara posisi

penderita tidur terlentang dengan menekuk kedua lutut lalu tangan kiri

fisioterapis melewati bagian bawah lutut dan memegang patella lutut,

lalu tangan yang lainnya memegang pergelangan kaki penderita

kemudian penderita disuruh melawan tahanan fisioterapis.

Strengthening pada M. hamstring di lakukan dengan cara posisi

penderita tidur tengkurap lalu fisioterapis meletakkan tangannya di

bawah lutut pasien dan tangan yang lain memegang pergelangan kaki,

lalu fisioterapis menginstruksikan pasien untuk menekuk lututnya

bersamaan dengan pemberian tahanan dari fisoterapis.

(2) Efek Fisiologis (Dr. Novita Arovah, 2010)

a) Memperbaiki tu encegah gangguan fungsi tubuh

b) Memperbaiki kecacatan

c) Mencegah atau mengurangi faktor resiko gangguan kesehatan

d) Mengoptimalkan status kesehatan dan kebugaran.

(3) Efek teraupeutik (Dr. Novita Arovah, 2010)

a) Meningkatkan kekuatan otot

23
b) Menambah fleksibilitas sendi

c) Meningkatkan kepadatan tulang

d) Peningkatan keseimbangan

(4) Indikasi (Dr. Novita Arovah, 2010)

a) Kelemahan otot

b) Untuk mencegah disfungsi gerak melalui pengembangan,

perbaikam, pengembalian sert pemeliharaan.

c) Meningkatkan kekuatan jaringan ikat seperti tendon, ligamen n

jaringan ikat intramuscular

d) Peningkatan kepadatan massa tulang

e) Peningkatan komposisi otot terhadap lemak

f) Peningkatan keseimbangan

(5) Kontra indikasi (American Geriactrc Socety, 2001)

a) Penyakit gangguan katup jantung

b) Hipertensi tak terkontrol

c) Penyakit metabolik tak terkontrol

b. Manual Therapi (Traksi-Tranlasi)

Traksi-tranlasi merupakan bagian terapi manipulasi, dimana pertama

kali dikembangkan oleh jhon Mennel tahun 1907 di mulai dengan

manipulasi spinal. Maxer dan Bar,Tertiax gene dan Jenifer Hicking

mengembangkan teknik sendi.

24
Berbeda dengan konsep biomekanik (Djohan Aras, 1993).Traksi

adalah perpisahan dari permukaan tulang yang arahnya sendi artinya

pergerakan tulang yang arahnya tegak lurus dan menjauhi bidang serta

terjadi peregangan permukaan sendi. Sedangkan translasi adalah gerakan

menurun garis lurus,dalam jarak yang sama, arah sama dan kecepatan yang

sama. Maka dapat di katakanabahwa traksi translasi adalah suatu gerakan

pasif yang di lakukan oleh terapis pada kecepatan yang tiba-tiba sehingga

pasien tidak dapat mencegah grakan tersebut.

Dapat juga di definisikan bahwa traksi translasi atau terapimanipulasi

merupakan terapi mobilisasi yang menggunakan Gerakan pasif serta teknik

berdasarkan biomekanik sendi dimana dapat memperkuat fungsi sendi.

Traksi translasi disini di lakukan untuk menambah ROM sendi yang terbatas.

(1) Aplikasi

(a) Traksi Translasi Kearah Caudal-Dorsal

Pasien duduk diatas bed dengan menggantungkann kedua kakinya,

posisi fisioterapis berdiri di depan pasien yang di terapi. Kemudian

kaki pasien di jepit diantara selangkangan paha fisioterapis terus

tangan kiri berada di tepat dibagian distal femur atau tepatnya di atas

patella sebagai sanggahan lalu tangan yang satunya berada di bagian

proksimal tibia.Kaki pasien ditarik dengan menggunakan berat badan

Fisioterapis lalu tangan kiri menahan agar tangan kanan menekan

kearah dorsal. Traksi diawali dengan grade I kemudian di lanjutkan di

25
grade II. Prosedur dilakukan pengulangan sebanyak 8 kali.Ini

berfungsi untuk memperbaiki Ekstensi.

(b) Gliding kea rah Ventrocranial

Gliding ke arah ventrocranial berfungsi untuk memperbaiki gerak

fleksi sendi lutu.Posisi tidur terlentang, dan posisi fisioterapis berdiri

disamping lutut pasien. Kemudian kedua tangan fisioterapis

memegang bagian proksimal lutu bawah, kaki pasien diletakkan di

bawah pantat fisioterapis dengan posisi kaki pasien 40 derajat,

kemudian fisioterapis dengan bantuan berat badan lalu tangan

fisoterapis digerakkan kearah ventrocranial.

(c) Indikasi

Indikasi teknik manipulasi disamping untuk pengobatan kasus-kasus

patalogis seperti Rematoid arthritis, Osteoartrosis dan traumatic

arthritis. Dapat pula dilakukan pada kasus seperti pengobatan

padanyeri persendian, kekauan sendi, dan spasme otot pada kasus

arthritis mak tindakan manipulasi disamping untuk mencapai jarak

gerak sendi yang penuh ditujukan pula untuk menghilangkan/

mengurangi rasa sakit, menggunakan teknik gerak osilasi dengan

amplitudeyang luas (Suparman dan Herri Priatna, 1998).

26
C. Tinjauan Alat Ukur

1. Pengukuran Derajat Nyeri

VAS adalah sebuah pengukuran intensitas nyeri unidemensial, yang

secara luas digunakan dalam penelitian klinis. VAS digunakan untuk

mengukur kuantitas dan kualitas nyeri yang pasien rasakan, dengan

menampilkan suatu kategori nyeri mulai dari “tidak nyeri, ringan, sedang, atau

berat. (Djohan Aras, dkk 2016).

Secara operasional VAS umumnya berupa sebuah garis horizontal atau

vertikal sepanjang 10 sentimeter (100 mm). Pasien menandai garis dengan

memberikan sebuah titik yang mewakili keadaan nyeri yang dirasakan pasien

saat ini, dalam 24 jam terakhir. (Djohan Aras, dkk 2016).

Dengan menggunakan sebuah garis atau mistar, skor VAS ditentukan

dengan mengukur jarak (mililiter) diatas garis 10 cm dari titik (tidak nyeri) ke

titik yang ditandai oleh pasien, dengan range skor dari 0 – 100 mm. Skor yang

lebih tinggi mengindikasikan intensitas yang lebih besar. Sebagai alat ukur,

VAS jelas bersifat subjektif, menghasilkan data interval dengan nilai-nilai

rasio yang subjektif pula. (Djohan Aras, dkk 2016).

a. Tujuan

Untuk mengukur intensitas nyeri pasien.

b. Prosedur test :

1) Persiapan alat/instrument

a) Penggaris

27
b) Pulpen

c) Skala VAS

2) Persiapan pasien

Jelaskan prosedur tes kepada pasien untuk mengurangi

kecemasan pasien serta untuk memastikan pasien kooperatif. (Djohan

Aras, dkk 2016).

c. Teknik operasional Visual Analog Scale

1) Intruksikan kepada pasien untuk memberi tanda titik pada garis skala

VAS ini, yang dapat menggambarkan rasa nyeri yang dikeluhkan,

antara dari 0 (tidak nyeri) sampai 100 (nyeri hebat).

2) Catat hasil pengukuran VAS pada medical record pasien. (Djohan

Aras, dkk 2016)

d. Visual Analog Scale (VAS) Paramenter

1) Skala 0 – 4 mm : tidak nyeri (tidak ada rasa sakit, merasa normal)

2) Skala 5 – 44 mm : nyeri ringan (masih bisa ditahan, aktifitas tak

terganggu)

3) Skala 45 – 74 mm : nyeri sedang (mengganggu aktifitas fisik)

4) Skala 75 – 100 mm : nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas

secara mandiri) (Djohan Aras, dkk 2016).

2. Lingkup Gerak Sendi (LGS)

Lingkup Gerak Sendi (LGS) merupakan luas gerak sendi yang dapat

dilakukan oleh suatu sendi. Tujuan pemeriksaan LGS adalah untuk

28
mengetahui besarnya LGS suatu sendi dan membandingkannya dengan LGS

sendi yang normal, membantu mendiagnosis, dan menentukan fungsi sendi.

Hasil pengukuran LGS dapat digunakan untuk mementukan tujuan dan

rencana terapi dalam mengatasi gangguan LGS. Selain itu, dalam pemeriksaan

LGS, fisioterapis harus mempertimbangkan penyebab dari keterbatasan gerak

seperti nyeri, spasme, perlengketan jaringan, dan kualitas gerak (normal,

hipertonus, rigid, atau gerak kejut). Adapun pengukuran LGS ini dapat

digunakan menggunakan alat ukur yang disebut dengan Goniometer.

Berikut adalah langkah-langkah pemeriksaan LGS menggunakan

Goniometer :

a. Posisi awal adalah posisi netral/anatomis, yaitu tubuh tegak, lengan lurus

di samping tubuh, lengan bawah dan tangan menghadap ke depan.

b. Sendi yang akan diukur harus terbuka, atau terbebas dari pakaian.

c. Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan.

d. Berikan gerakan pasif dua atau tiga kali untuk menghilangkan gerakan

substitusi dan ketegangan karena kurang bergerak.

e. Berikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal.

f. Tentukan aksis gerakan baik secara aktif atau pasif, dengan jalan

melakukan palpasi bagian tulang di sebelah lateral sendi.

g. Letakkan tangkai goniometer yang statik paralel dengan aksis longitudinal

ada garis tengah segmen/tubuh yang statik.

29
h. Letakkan tangkai goniometer yang bergerak paralel terhadap aksis

longitudinal segmen/tubuh yang bergerak.

i. Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi.

j. Baca dan catat hasil pemeriksaan LGS (Sri Surini Pudjiastuti dan Budi

Utomo, 2013).

3. Kemampuan fungsional

Kemampuan fungsional didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk

melakukan tugas spesifik berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.

Fungsional diartikan sebagai aktivitas yang memiliki tujuan dan fungsi

tertentu sesuai konteks dengan aktivitas yang produksi. Beberapa aktivitas

fungsional dalam kaitannya dengan aktivitas sehari-hari diantaranya adalah

aktivitas makan, minum, mandi, bermain, perawatan diri, ambulasi,

berinteraksi sosial dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam memenuhi

aktivitas tersebut, seseorang memerlukan fungsi fisik yang cukup baik

untuk mencapai tugas-tugas tersebut dengan baik. Fungsi fisik tersebut

yang dikatakan sebagai kemampuan fungsional, yang dimana nantinya,

kemampuan fungsional tersebut digunakan untuk menuntaskan tugas-tugas

spesifik yang berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari (Susilawati

et al., 2015).

Pemeriksaan kemampuan fungsional merupakan proses untuk

mengetahui kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau

waktu senggangnya yang terintegrasi dengan lingkungan aktivitasnya. Ada

30
beberapa sistem penilaian yang dikembangkan dalam pemeriksaan

kemampuan fungsional. Beberapa system penilaian tersebut antara lain,

indeks Barthel yang dimodifikasi, indeks kenny self-care, dan indeks

WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities Osteoarhtritis

Index) sebagai salah satu instrumen alat ukur kemampuan fungsional pada

pasien Osteoarhtritis (Sri Surini Pudjiastuti dan Budi Utomo, 2013).

WOMAC (Western Ontarior and Mc Master Universities Osteoarhtritis

Index) adalah indeks yang digunakan untuk menilai keadaan pasien dengan

Osteoarthiritis pada lutut (choundhary& Kishor, 2013). Total 24 parameter

yang terdiri dari nyeri, kekakuan (stiffness), fungsi fisik dan sosial

dievaluasi menggunakan WOMAC. WOMAC Juga dapat digunakan untuk

mematau perkembangan penyankit atau untuk menentukan efektivitas obat

anti-rematik ( Susilawati et al, 2015) semakin tinggi nilai yang diperoleh

menunjukkan besarnya keterbatsan fungsional pasien sedangkan nilai yang

rendah menunjukkan perbaikan kemampuan fungsional.

a. Parameter WOMAC antara lain:

1) Nyeri

a) Berjalan kaki

b) Menaiki anak tangga

c) Aktivitas pada malam hari

d) Istirahat

e) Menumpu

31
2) Kekakuan

a) Kekakuan pagi hari (morning stiffness)

b) Kekakuan sepanjang hari

3) Fungsi fisik

a) Kesulitan turun tangga

b) Kesulitan naik tangga

c) Kesulitan dari posisi duduk ke berdiri

d) Kesulitan berdiri

e) Kesulitan duduk di lantai

f) Kesulitan berjalan pada permukaan datar

g) Kesulitan masuk dan keluar dari kendaraan

h) Kesulitan berbelanja

i) Kesulitan memakai kaos kaki

j) Kesulitan berbaring di tempat tidur

k) Kesulitan melepaskan kaus kaki

l) Kesulitan bangun dari tempat tidur

m) Kesulitan masuk dan kelua kamar mandi

n) Kesulitan masuk dan keluar toilet

o) Kesulitan duduk

p) Kesulitan melakukan tugas-tugas berat

q) Kesulitan melakukan tugas-tugas ringan

32
b. Penilaian dan interpretasi indeks WOMAC

1) Penilaian

Tabel 2.3. kriteria penilaian indeks WOMAC

Skor Keterangan
0 Tidak
1 Ringan
2 Sedang
3 Parah
4 Sangat parah
(sumber : Susilawati et al, 2015)

2) Interpretasi

Tabel 2.4 interpretasi nilai indeks WOMAC

Jenis Pemeriksaan Total Skor Keterangan


Nyeri 0 Minimum
20 Maksimum
Kekakuan 0 Minimum
8 Maksimum
Fungsi fisik 0 Minimum
68 Maksimum
Total 96 Maksimum skor
(sumber : Susilawati et al, 2015)

33
D. Kerangka Konsep Penelitian

Penyebab Osteoarthritis

1. Usia
2. Obesitas
3. Pekerjaan/aktivitas fisik

Proses Fisioterapi
Osteoarthritis Knee Joint
Anamnesis

Pemeriksaan Fungsi
Dasar (Aktif, pasif,
Gangguan Fungsional TIMT)
Knee
Pemeriksaan Spesifik

- Knee
Diagnosa Fisioterapi anterior/posterior
drawer test
- Apley test
compresion
Promblematik Fisioterapi
Alat ukur
Intervensi Fisioterapi 1. Impairment : Keterbatasan
gerak, nyeri pada otot - Goniometer
1. ULTRASOUND
(m.hamstring, - VAS
2. Strengthening
m.gastrocnemius) - WOMAC
3. Traksi-Translasi

Perubahan Fungsional Knee

34
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus, yaitu penelitian yang

mendalam pada satu jenis kasus dengan 2 sampel dan memberikan perlakuan

kepada setiap sampel selama penelitian berlangsung, kemudian hasil pengukuran

setiap sampel dievaluasisecara bertahap untuk melihat adanya perubahan.

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Poliklinik Fisioterapi Rumah Sakit

Stella Maris Kota Makassar.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli 2019 sampai pada

bulan Agustus 2019.

C. Prosedur Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan dua cara, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari pemeriksaan/pengukuran ROM knee

(Goniometer), intensitas nyeri (VAS), dan kemampuan fungsionalknee(skala

WOMAC) pada pasien yang dijadikan sampel/kasus. Hasil

pemeriksaan/pengukurandijadikan data evaluasi untuk melihat perubahan dengan

cara membandingkan sebelum dan sesudah terapi. Sedangkan data sekunder

35
diperoleh dengan melihat status medical record untuk menunjang data primer

yang ada.

D. Instrumen Penelitian

1. Goniometer, digunakan untuk mengukur lingkup gerak sendi.

2. VAS, digunakan untuk mengukur intensitas nyeri.

3. Skala WOMAC, digunakan untuk mengukur kemampuan fungsional knee.

36
E. Alur Penelitian

Usul penentuan dan


Observasi penelitian Seminar proposal
pemilihan judul

Penatalaksanaan/ Dilakukan pemeriksaan Pengurusan surat izin


Intervensi dan pengukuran fisioterapi penelitian
Fisioterapi sebelum perlakuan

Dilakukan pemeriksaan dan


Evaluasi hasil
pengukuran fisioterapi setelah Laporan Hasil Akhir
terapi
perlakuan

Gambar 3.1 Alur Penelitian

37
BAB IV

DESKRIPSI KASUS

A. Proses Pemecahan Masalah Fisioterapi

1. Pengkajian (Anamnesis)

Dilakukan tanggal 18 Juni – 14 Juli 2019 untuk memperoleh pengkajian data

maka perlu dilakukan proses assesment yang meliputi anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Informasi dari anamnesis (pemeriksaan subyektif) dapat

membantu fisioterapi untuk merencanakan pemeriksaan fisik yang tepat.

a. Anamnesis umum

Baik anamnesis umum ataupun anamnesis khusus dapat dilakukan secara

autoanamnesis dan heteroanamnesis. Dalam anamnesis umum mencakup

identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, hobby.

Hasil anamnesis umum diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 4.1 Hasil Anamnesis Umum

Komponen
Data Pasien
Anamnesis
Nama Tn. T (A) Ny. L (B)
Umur 86 thn 71 thn
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Pekerjaan - -
Alamat Jln. Ja mpea no.17 Jln. Orchad green no.25
Agama Budha Budha

38
b. Anamnesis Khusus

Dalam anamnesis khusus mencakup keluhan utama pasien, lokasi keluhan,


kapan terjadinya, riwayat perjalanan penyakit menggambarkan riwayat penyakit
secara kronologis dengan jelas dan lengkap. Tentang bagaimana masing-masing
gejala tersebut timbul dan kejadian apa yang berhubungan dengannya, termasuk
kaitan manifestasi, fikiran dan perasaan pasien dengan adanya penyakit tersebut
dan apa yang menyebabkan pasien mencari pertolongan medis. Riwayat penyakit
dahulu adalah riwayat penyakit baik fisik maupun psiatrik yang saat ini diderita
oleh pasien. Riwayat pribadi yaitu kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh
pasien. Anamnesis system dilakukan untuk mengetahui gejala yang lazim
muncul pada masing-masing sistem tubuh yang menyertai penyakit yang
bersangkutan.
Tabel 4.2 Hasil Anamnesis Khusus

Komponen Anamnesis Data Pasien


Pasien A Pasien B
Keluhan Utama Nyeri pada lutut Nyeri pada lutut
Lokasi Keluhan Knee Sinistra Knee Dextra
Sifat Keluhan Terlokalisir Terlokalisir
Lama Keluhan 1,6 tahun yang lalu 1 tahun yang lalu
Faktor Memperberat Ketika pasien berjalan Dari duduk ke berdiri,
lama dan naik turun jongkok ke berdiri dan
tangga berjalan jauh
Faktor Memperingan Pada pasien istrahat Pada pasien istrahat
Riwayat Perjalanan Pasien mengeluh nyeri Pasien merasakan sakit
Penyakit pada lututnya sejak 1,5 yang tiba-tiba pada daerah
tahun yang lalu, utamanya lutut dextra, hal in sudah
pada saat berjalan lama dirasakan sekitar 1 tahun
dan melakukan aktivitas yang lalu. Namun sakit
yang berat. Awalnya yang dirasakn ini sering
pasien hanya membiarkan hilang dan muncul tiba-
rasa nyeri tersebut. Tetapi tiba, jadi pasien tidak
kemudian pasien langsung
memeriksakan dirinya di memeriksakannya ke
RS Stella Maris pada 1,5 dokter. Tapi akhir-akhir ini

39
tahun yang lalu dan di penyakitnya muncul
diagnosa Osteoarthritis kembali dan sudah tidak
dan di rujuk ke fisioterapi bisa lagi untuk
menahannya akhirnya
pasien pergi ke dokter
kemudian di rujuk ke
ruang fisioterapist
Riwayat penyakit Diabetes Hipertensi
sekarang

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi/observasi yaitu melihat langsung


gambaran umum mengenai kondisi pasien dan dilakukan dengan 2 cara yaitu
inspeksi statis dan dinamis. Tes vital sign yaitu tes pemeriksaan yang biasa
dilakukan pada tahap awal untuk mengetahui keadaan umum penderita agar dapat
melihat kondisi penderita sebelum melanjutkan tindakan. Tes orientasi yaitu tes
yang bertujuan untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi sesuai dengan
aktivitas kegiatan sehari-hari psen. Tes-tes spesifik yaitu peeriksaan yang
ditujukan pada area yang terganggu secara spesifik.
a. Inspeksi
Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati. Hal-hal
yang biasa dilihat dan diamati seperti keadaan umum, sikap tubuh, adanya
deformitas, ekspresi wajah, warna kulit dan lain-lain. Adapun hasil yang
diperoleh yaitu :

Tabel 4.3
Hasil Pemeriksaan inspeksi

Komponen Hasil
inspeksi Pasien A Pasien B
1. Postur knee 1. Postur knee
Statis - Gemu varus - Gemu varus
- Semi fleksi - Semi fleksi knee

40
1. ketika berjalan pasien 1. Pasien berjalan agak
terlihat agak pincang pincang
karena lebih banyak 2. Pasien tidak mampu
Dinamis fase menumpu terjadi berjongkok
pada tungkai yang sehat
2. pasien tidak mampu
berjongkok

b. Vital Sign

Adapun pemeriksaan vital sign yang dilakukan meliputi : pemeriksaan

tekanan darah, denyut nadi, pernafasan dan temperature.

Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan Vital Sign

Komponen Vital Sign Hasil


Pasien A Pasien B
Tekanan Darah 120/80 140/70
Denyut Nadi 67/menit 70/menit
Pernafasan 26/menit 25/menit
Temperatur 36o 37o

c. Pemeriksaan fungsi gerak dasar

Pemeriksaan fungsi gerak dasar meliputi (1), gerak aktif dimana penderita

mengerakkan sendiri tanpa bantuan terapis dan diperoleh informasi ROM secara

global (2),gerak pasif dimana gerakan dilakukanoleh terapis dan diperoleh

informasi tenta ROM ada tidaknya nyeri end feel, (3), gerak aktif melawan

tahanan, pada pemeriksaan ini penderita bergerak aktif dan terapis menahan

dengan kekuatan yang sama besarnya seingga tidak terjadi gerakan.

1) Gerak Aktif

Dalam pemeriksaan gerak aktif, gerakan pemeriksaan dilakukan sendiri

oleh pasien sesuaipetunjuk fisioterapis. Pemeriksaan ini dapat memberikan

41
informasi berupa ROM aktif, koordinasi gerak, pola gerak, dan nyeri. Adapun

tekniknya yaitu :

a) Fleksi, caranya pasien tidur tengkurap lalu fisioterapist menyuruh pasien

untuk menekuk lututnya semaksimal mungkin.

b) Ekstensi, caranya pasien dalam keadaan tengkurap dan fisioterapist

menyuruh penderita untuk meluruskan kakinya semaksimal mungkin.

2) Gerak Pasif

Dalam pemeriksaan gerak pasif, gerakan pemeriksaan dilakukan oleh


fisioterapist tanpa melibatkan pasien secara aktif. Pemeriksaan ini dapat
memberikan informasi berupa ROM pasif, stabilisasi sendi, nyeri, serta end
feel. Adapun tekniknya yaitu :
1) Fleksi, caranya pasien dalam keadaan tidur tengkurap dan kaki rileks
kemudian fisioterapis menekuk lutut penderita semaksimal mungkin
2) Ekstensi, caranya pasien dalam keadaan tidur tengkurap dan kaki rileks
kemudian fisioterapis meluruskan kaki pasien semaksimal mungkin.
3) Eksorotasi, caranya pasien tidur tengkurap dengan lutut fleksi 90o
kemudian fisioterapi mengerakkan ankle ke arah luar.
4) Endorotasi, caranya pasen tidur tengkurap dengan lutut fleksi 90o
kemudian fisioterapi mengerakkan ankle kearah dalam.
3) Gerak tes isometric melawan tahanan
pemeriksaan yang ditujukan pada musculotendinogen dan neurogen.
Caranya pasien melakukan gerakan dengan melawan tahanan yang diberikan
oleh pemeriksa tanpa terjadi gerkan yang merubah posisi ROM sendi pada
regio yang diperiksa.

42
1) Fleksi, caranya pasien dalam keadaan tengkurap lalu fisioterapist
menyuruh pasien untuk menekuk lututnya sementara fisioterapist
memberikan tahanan
2) Ekstensi, caranya pasien dalam keadaan terlentang dengan kedua lutut
fleksi. Fisioterapist menyanggah lutut yang akan diperiksa kemudian
Fisioterapist menyuruh pasien untuk meluruskan kakinya dan fisioterapist
memberi tahanan.
Tabel 4.6 Hasil Pemeriksaan Fungsi Dasar

Jenis Nama Hasil


pemeriksaan gerakan Pasien A Pasien B
Tes Gerak Fleksi knee Nyeri ROM terbatas Nyeri ROM terbatas
Aktif Ekstensi knee Nyeri, ROM terbatas Nyeri, ROM terbatas
Nyeri, ROM terbatas Nyeri hard elastis end
Fleksi knee
soft end feel feel, ROM terbatas
Nyeri, ROM terbatas nyeri, elastis end feel,
Ekstensi knee
elastis end feel ROM sedikit terbatas
Tes Gerak
External Nyeri, ROM normal Nyeri akhir gerak,
Pasif
rotasi knee elastis end feel elastis end feel, ROM
normal
Internal Nyeri, ROM normal Nyeri, ROM normal
rotasi knee elastis end feel elastis end feel
Tes Fleksi knee Tidak nyeri, ada Sedikit nyeri, ada
Isometrik kelemahan otot kelemahan otot
Melawan Ekstensi knee Tidak nyeri, ada nyeri, ada kelemahan
Tahanan kelemahan otot otot

3. Pemeriksaan Spesifik

Dalam tes-tes spesifik, pemeriksaan ditujukan pada struktur jaringan yang

terganggu secara spesifik. Tes-tes spesifik yang diaplikaiskan adalah palpasi,

ballotement tes, Tes stabilisasi knee berupa Anterior-posterior Drawer test,

43
Lahman Test, Apley test compresion dan traksi dan pengukuran berupa ODI

(Oswestry Disability Indeks).

a. Palpasi

Palpasi dimulai pada posisi ekstensi knee joint dengan tangan kanan

fisioterapist diletakkan pada knee joint (diatas patella) sebagai stabilisasi dan

tangan untuk mempalpasi knee, tangan kiri memegang ankle, kemudian secara

pasif. Knee difleksikan dengan tangan kanan fisioterapi merasakan sensasi

yang terjadi pada knee joint. Jika dirasakan terdapat krepitasi maka ada

potensi knee mengalami degenerative. Dalam palpasi, yang akan diperoleh

adalah ada tidaknya nyeri tekan, spasme, oedem, krepitasi dan suhu jaringan

local.

Tabel 4.7 Hasil pemeriksaan palpasi

Nama Struktur jaringan Hasil


pemeriksaan Pasien A Pasien B
Palpasi sisi lateral knee Nyeri tekan Tidak nyeri
sisi medial knee Nyeri tekan Nyeri tekan
Pes anserine Tidak nyeri Tidak nyeri
Tendon Nyeri tekan Nyeri tekan
semitendinosus
Tendon caput Nyeri tekan Nyeri tekan
medial-lateral
gastrocnemius
Fossa poplitea Tidak nyeri Nyeri tekan

b. Ballotement Test

Tujuan tes ini untuk mengetahui adanya cairan di dalam lutut. Caranya

recessus suprapatellaris dikosongkan dengan cara menekannya dengan satu

44
tangan dan sementara itu dengan jari-jari tangan lainnya patella tekan kebawah.

Dalam keadaan normal patella itu tdak dapat ditekan kebawah yaitu sudah

terletak diatas kedua condylus dari femur. Bila banyak cairan dalam lutut,

maka patella seperti terangkat, yang memungkinkan adanya gerakan.

c. Tes Stabilitas Knee

1) Anterior – Posterior Drawer Test

Posisi supine dengan fleksi lutut 90o sehingga telapak kaki pasien rata.

Fisioterapi duduk diatas kaki pasien dan mengenggam bagian belakang dari

proksimal tibia dengan jempol mempalpasi dataran tibia dari jari telunjuk

mempalpasi tendon otot hamstring kelompok grup mediale dan lateral. Lalu

fisioterapi menarik dengan kuat dan cepat kearah depan. Test ini positif jika

ditujukkan oleh perpindahan tibia anterior yang lebih besar pada sisi yang

cidera dibanding dengan sisi yang sehat untuk mengetahui kelainan pada

ligament cruciatum anterior dan posterior.

2) Varus-valgus Test

Tujuan tes ini untuk menilai ligament collteral medial (LCM) dan

ligament colateral lateral (LCL) pada knee, prosedur varus test yaitu : posisi

pasien terlentang, fisioterapis berdiri pada sisi lateral tungkai pasien yang

akan dites, satu tangan pasien akan dletakkan pada sisi lateral knee pasien

dengan salah satu jemari mempalpasi LCL yang berlokasi tepat dibagian

proksimal kaput fibular dan tangan yang satu berfungsi sebagai mobilisasi

dtepatkan pada bgian medial joint knee. Selanjutnya posisikan knee psen

45
kedalam full estens set nee sekitar 5o dari posisi ekstensi. Lalu aplikasikan

varus vorce pada knee pasien menggunakan tangan mobilisasi. Lakukan tes

yang sama pada tungkai yang satunya. Prosedur vlgus yaitu : posisi pasien

terlentang , fisoterapis berdiri pada sisi lateral knee psien dengan salah satu

jemari mempalpasi LCM yang berlokasi tepat dibagian medial knee dan

tangan satunya lagi sebagai tangan mobilisasi ditempatkan pada bagian

lateral joint line knee. Selanjutnya posisikan knee pasien kedalam full

ekstensi. Lalu fleksikan knee sedikit sekitar 5o dari posisi ekstensi. Lalu

aplikasikan valgus force pada knee pasien menggunkan tangan mobilisasi.

Lakukan tes yang sama pada tungkai pasien yang satunya.

3) Tes appley kompresi dan traksi

Tes ini bertujuan untuk mengetahui kelainan pada meniscus dan

ligament lateral dan collteral medial knee. Dengan cara pasien tengkurap

dengan lutut ditekuk 90o kemudian diputar ke kanan dan kiri dengan diatas

kemudian di traksi.

Tabel 4.8 Hasil pemeriksaan tes stabilitas

Hasil
Nama Tes
Pasien A Pasien B
Tidak terdapat cairan Tidak terdapat cairan
Ballotement Test disisi proksimal disisi proksimal
patella patella
Anterior – Posterior
Drawer Test Tidak ada nyeri Tidak ada nyeri

Valgus test ditemukan Valgus test ditemukan


Valgus-Varus Test
nyeri pada sisi medial. nyeri pada sisi medial.

46
Varus test ditemukan Varus test tidak
nyeri pada sisi lateral ditemukan nyeri pada
sisi lateral
Tes appley kompresi dan
Terdapat nyeri pada
traksi Tidak ada nyeri
saat kompresi

d. ROM ( Range Of Motion)

Range Of Motion (ROM) adalah teknik dasar yang digunakan

untuk pemeriksaan gerak serta untuk memasukkan gerak kedalam

program intervensi terapeutik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui

keterbatasan ROM (Range Of Motion) pada sendi dengan menggunakan

alata yang disebut Goniometer.

Tabel 4.11 Hasil Pemeriksaan ROM ( Range Of Motion)

Gerakan Hasil
Pasien A Pasien B
Sinistra aktif Fleksi –ekstensi S 10ᵒ - 10ᵒ - 85ᵒ
pasif Fleksi – Extensi S 0ᵒ - 0ᵒ - 110
Dextra aktif Fleks –ekstensii S ᵒ - 5ᵒ - 105ᵒ
pasif Fleksi – Extensi S ᵒ - 5ᵒ - 125ᵒ

e. VAS ( Visual Analoge Scale)

VAS (Visual Analoge Scale) merupakan sistem pengukuran nyeri yang

lebih sensitif dibandingkan metode-metode lain. VAS (Visual Analoge Scale)

terdiri dari sebuah garis lurus yang horizontal sepanjang 10 cm yang tidak diberikan

pembagian skala. Awal garis menunjukkan tidak ada nyeri sedangkan akhir garis

47
menunjukan nyeri tidak tertahankan. Pasien diminta untuk menandai di

sepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan

pasien (ukuran centimeter), dengan skala 0 –10 cm.

Tabel 4.12 Hasil Pengukuran Nyeri

VAS Hasil
Pasien A Pasien B
Nyeri Gerak fleksi 7,5 7
Nyeri Fungsional Berjalan 7 6,5

f. WOMAC (Western Ontario and Universitas McMaster)

Pengukuran fungsional knee menggunakan alat ukur skala indeks WOMAC.

Indeks WOMAC (Western Ontario and Universitas McMaster) digunakan menilai

pasien dengan osteoarthritis hip atau knee menggunakan 24 parameter. Blanko indeks

WOMAC terdiri dari nama responden yang akan diteliti disertai tanggal penelitian,

dengan beberapa kategori petunjuk sesuai dengan tingkat kesulitannya. Nilai 0

diartikan tidak ada, 1 adalah sedikit, 2 adalah sedang, 3 adalah sangat, dansangat

sekali dengan melingkari salah satu nomor yang terdapat pada blanko index.

Tabel 4.11.

Pemeriksaan Kemampuan Fungsional pada pasien A menggunakan WOMAC Scale


The Western Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis Index
(WOMAC)
Nama :
Tanggal :
Instruksi : Silahkan pilih setiap kategori sesuai dengan skala kesulitan
yang dirasakan dalam akivitas : 0 = None, 1 = Slight/ringan, 2 =
Moderate/sedang, 3 = Very/berat, 4 = Extremely/sangat berat
Lingkari salah satu angka pada setiap aktivitas di bawah ini :
Nyeri Hasil

48
1. Berjalan Kaki 2
2. Menaiki Anak Tangga 3
3. Aktivitas pada Malam Hari 2
4. Istirahat 1
5. Menumpu 3
Kekakuan
1. Kekakuan pagi hari 1
2. Kekakuan sepanjang hari 2
Fungsi Fisik
1. Kesulitan turun tangga 3
2. Kesulitan naik tangga 3
3. Kesulitan dari posisi duduk ke berdiri 3
4. Kesulitan berdiri 3
5. Kesulitan duduk di lantai 3
6. Kesulitan berjalan pada permukaan datar 2
7. Kesulitan masuk dan keluar dari kendaraan 2
8. Kesulitan berbelanja 2
9. Kesulitan memakai kaos kaki 2
10. Kesulitan berbaring di tempat tidur 2
11. Kesulitan melepaskan kaos kaki 2
12. Kesulitan bangun dari tempat tidur 2
13. Kesulitan masuk dan keluar kamar mandi 2
14. Kesulitan masuk dan keluar toilet 2
15. Kesulitan duduk 2
16. Kesulitan melakukan tugas-tugas berat 3
17. Kesulitan melakukan tugas-tugas ringan 1
Skor : 53/96x100 = 55,2%
Interpretasi WOMAC
a. 0-24 = Ringan

b. 25-48 = Sedang

c. 49-72 = Berat

d. 73-96 = Sangat Berat

Hasil dari pengukuran WOMAC : 55,2% (Berat)

49
Tabel 4.12
Pemeriksaan Kemampuan Fungsional pada pasien B menggunakan WOMAC Scale
The Western Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis Index
(WOMAC)
Nama :
Tanggal :
Instruksi : Silahkan pilih setiap kategori sesuai dengan skala kesulitan
yang dirasakan dalam akivitas : 0 = None, 1 = Slight/ringan, 2 =
Moderate/sedang, 3 = Very/berat, 4 = Extremely/sangat berat
Lingkari salah satu angka pada setiap aktivitas di bawah ini :
Nyeri Hasil
1. Berjalan Kaki 2
2. Menaiki Anak Tangga 3
3. Aktivitas pada Malam Hari 2
4. Istirahat 2
5. Menumpu 3
Kekakuan
1. Kekakuan pagi hari 3
2. Kekakuan sepanjang hari 3
Fungsi Fisik
1. Kesulitan turun tangga 3
2. Kesulitan naik tangga 4
3. Kesulitan dari posisi duduk ke berdiri 3
4. Kesulitan berdiri 3
5. Kesulitan duduk di lantai 3
6. Kesulitan berjalan pada permukaan datar 3
7. Kesulitan masuk dan keluar dari kendaraan 2
8. Kesulitan berbelanja 0
9. Kesulitan memakai kaos kaki 2
10. Kesulitan berbaring di tempat tidur 0
11. Kesulitan melepaskan kaos kaki 2
12. Kesulitan bangun dari tempat tidur 2
13. Kesulitan masuk dan keluar kamar mandi 3
14. Kesulitan masuk dan keluar toilet 3
15. Kesulitan duduk 3
16. Kesulitan melakukan tugas-tugas berat 3
17. Kesulitan melakukan tugas-tugas ringan 2
Skor : 59/96x100 = 61,4%

50
Interpretasi WOMAC
a. 0-24 = Ringan

b. 25-48 = Sedang

c. 49-72 = Berat

d. 73-96 = Sangat Berat

Hasil dari pengukuran WOMAC : 61,4% (Berat)


4. Diagnosa fisioterapi dan problematic fisioterapi
a. Diagnosa Fisioterapi

Dari hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan yang di dapatkan, maka

diagnosa fisioterapi yaitu “ Gangguan pada Tungkai Akibat Osteoarthritis Knee

Joint”

b. Problematik Fisioterapi

Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan ditemukan problematic sebagai

berikut.

Tabel 4.10 Problematik Fisioterapi

Hasil
Problematik
Pasien A Pasien B
Adanya nyeri gerak pada Adanya nyeri gerak pada
lutut sinistra lutut dextra
Keterbatasan lingkup Keterbatasan lingkup
Impairment
gerak sendi lutut sinistra gerak sendi lutut dextra
Penurunan kekuatan otot
pada lutut sebelah dextra
Adanya gangguan pada Adanya gangguan
activity limitation saat pasien berjalan jauh gerakan jongkok ke
berdiri dan berjalan jauh

51
Adanya gangguan pada Adanya gangguan pada
saat melaukan gerakan saat melakukan gerakan
naik turun tangga naik turun tangga.
Participation restriction

5. Program Rencana Tindakan Fisioterapi

Dari hasil pemeriksaan penulis mengklasifikasikan tujuan fisioterapi menjadi

dua kelompok, yaitu :

a. Tujuan

1) Jangka Pendek :

a) Mengurangi nyeri

b) Menambah ROM

c) Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot

2) Jangka Panjang :

Mengembalikan aktivitas fungsional berjalan.

b. Edukasi

1) Pasien disarankan untuk melakukan latihan sesuai yang diajarkan

fisioterapis

2) Pasien tidak dianjurkan melakukan aktivitas berdiri atau berjalan yang

lama

3) Pasien disarankan untuk mengontrol berat badan

52
6. Intervensi Fisioterapi

Adapun tindakan fisioterapi yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Ultrasound

1. Persiapan Alat

Pastikan alat dapat berfungsi dengan baik, lalu periksa apakah semua

tombol dalam posisi off atau on. Selain itu, kabel-kabel tidak boleh

bersentuhan satu dengan yang lain. Kemudian hubungkan alat dengan

sumber arus. Kemudian cek dengan lampu tes apakah arus sudah masuk

atau belum.

2. Persiapan Pasien

Pasien dalam posisi tidur terlentang pada bed dan kaki lurus dengan

keadaan rileks. Penderita diposisikan nyaman dan aman serta keadaan

umum penderita dalam keadaan baik dan siap untuk menerima intervensi

fisioterapi.

b. Prosedur Kerja

Pasien dalam posisi tidur terlentang, lalu letakkan tranduser sambil di

gerakkan pada sisi medial dan lateral knee secara perlahan. Gerakan

transduser terlokalisir pada sisi medial dan lateral knee secara

transversal

Selama 10 menit. Atur intensitasnya sesuai dengan toleransi pasien.

c. Strengthening

53
Untuk menambah kekuatan otot penggerak gerakan lutut terutama otot

quadriceps dan otot hamstring.

1) Persiapan pasien

Untuk persiapan pasien dilakukan dengan posisi penderita tidur

terlentang dengan menekuk kedua lutut ini untuk latihan quadriceps,

sedangkan pada hamstring dilakukan dengan cara posisi pasien tidur

tengkurap.

2) Prosedur kerja

Untuk otot quadriceps tangan fisioterapis melewati bagian bawah lutut

pasien dan memegang patella lutut, lalu tangan yang lainnya memegang

pergelangan kaki penderita kemudian penderita disuruh melawan tahanan

fisioterapis an otot hstrn fisioterapis meletakkan tangannya di bawah lutut

pasien dan tangan yang lain memegang pergelangan kaki, lalu fisioterapis

menginstruksikan pasien untuk menekuk lututnya bersamaan dengan

pemberin tahanan dari fisioterapis

3) Dosis

Dalam pemberian strengthening diberikan 10 x repetisi 2 set latihan

sesuai toleransi pasien dan baik dilakukan sesering mugkin.

d. Traksi-translasi

54
Traksi-translasi merupakan gerakan pasif yang dilakukan oleh fisioterapis

pada kecepatan yang cukup lambat sehingga pasien dapat menghentikan

gerakan.

1) Persiapan pasien

a) Pasien harus relax agar pemberian traksi-translasi pada sendi bisa

maksimal.

b) Pasien harus seimbang baik pada posisi tengkurap

2) Prosedur kerja

a) Terapis harus memegang atau menjaga kontak dengan pasien pada

bagian yang akan ditreatment

c) Satu bagian harus dipegang stabil atau difiksasi saat bagian yang lain

di traksi-translasi.

d) Bila memungkinkan gunakan force minimum untuk mencapai

peningkatan gerak suatu sendi.

3) Dosis : grade 3, 5 kali repetisi

7. Hasil dan evaluasi fisioterapi

Penelitian ini dilaksanakan dipoli klinik fisioterapi RS Stella Maris dan

dilaksanakan pada bulan Juli-agustus 2019. Data penelitian ini diperoleh dari

data primer dan sekunder. Data dikumpulkan melalui pengukuran langsung

terhadap pasien yang ditujukan dengan diagnosa dokter dan assesment

fisioterapi.

55
Berdasarkan hasil pengumpulan data tesebut maka dibuat table evaluasi

sebagai berikut :

Tabel 4.14

Hasil Evaluasi VAS

Hasil
Terapi Pasien A Pasien B
Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri
Gerak fleksi fungsional Gerak fleksi fungsional
berjalan berjalan
T1 7,5 7 7 6,5
T2 7 6,5 6,5 6
T3 6,5 5 5 6
T4 6,3 5 5 5,5
T5 6 4,5 4,5 5
T6 5 4 4 4

Tabel diatas menunjukan hasil pengukuran nyeri dengan menggunakan nilai

VAS (Visual analoge Scale) mulai dengan pre test untuk pasien A untuk komponen

nyeri gerak fleksi adalah (7,5) dan pasien B nyeri gerak (7). Setelah di terapi sampai

ke-6 menunjukan untuk pasien A penurunan nyeri gerak fleksi menjadi (5) dan pasien

B mengalami penurunan nyeri gerak fleksi menjadi (4). Dan untuk nyeri fungsional

berjalan pada pasien A (7) dan pasien B (6,5), setelah diberikan terapi sebanyak 6 kali

terjadi penurunan menjadi (4,5) dan untuk pasien B menunjukan penurunan menjadi

(4).

56
Tabel 4.15
Hasil Evaluasi ROM (fleksi) dengan menggunakan goniometer

Hasil
Terapi Pasien A Pasien B
Aktif Fleksi Pasif Fleksi Aktif Fleksi Pasif Fleksi
T1 S 0º - 0 º-90º S 0º- 0º-95º S 0º- 0º-110º S 0º- 0º-115º
T2 S 0º - 0º -93º S 0º- 0º-100º S 0º- 0º-110º S 0º- 0º-120º
T3 S 0º - 0º -95º S 0º- 0º-105º S 0º- 0º-115º S 0º- 0º-120º
T4 S 0º- 0º-100º S 0º- 0º-110º S 0º- 0º-120º S 0º- 0º-125º
T5 S 0º- 0º-105º S 0º- 0º-115º S 0º- 0º-125º S 0º- 0º-130º
T6 S 0º- 0º-110º S 0º- 0º-120º S 0º- 0º-130º S 0º- 0º-130º

Tabel diatas menunjukan hasil pengukuran ROM dengan

menggunakan goniometer. Hasil menunjukan bahwa pasien A pada pre test

aktif menunjukan S 0º- 0º- 90º dan pasief S 0º- 0º- 95º dan setelah dilakukan

terapi sebanyak 6 kali menunjukan peningkatan ROM menjadi aktif S 0º- 0º-

110º dan pasif S 0º- 0º- 120º selisih nilai pasien A dari pre test hingga terapi ke-

6 yaitu aktif (20º) dan pasif (25º) . sedangkan pada pasien B menunjukan pada

pre test ROM pasien adalah aktif S 0º - 0º- 115º. Setelah dilakukan terapi

sebanyak 6 kali hasilnya pasien menunjukan peningkatan ROM menjadi aktif S

0º- 0º- 130º dan psif S 0º- 0º- 130º. Selisih dari hasil pengukuran pasien B yaitu

aktif (20º) dan pasief (15º).

57
B. Pembahasan

1. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi

Untuk menegakkan diagnosis fisioterapi yang berkaitan dengan

kondisi patologi penyakit maka dibutuhkan pemeriksaan yang

menunjukkan manifestasi klinis suatu kondisi. Pada kondisi osteoarthritis

knee, manifestasi klinis osteoarthritis knee dan panduan kasus berdasarkan

evidence based practice dapat dijadikan algorhitma assessment untuk

mendiagnosa osteoarthritis knee.

Beberapa panduan kasus osteoarthritis knee dari sejumlah artikel

dapat dijadikan algorhitma assessment atau penuntun untuk penegakan

diagnosa osteoarthritis knee. Adapun panduan kasus osteoarthritis knee

(KNGF guideline) adalah sebagai berikut:

a. Dalam panduan kasus osteoarthritis knee ditemukan gejala khas

osteoarthritis knee, yaitu :

1) Morning stiffness < 30 menit

2) Nyeri dan kekakuan sendi setelah duduk lama dan berdiri lama

3) Tidak mampu menekuk lutut secara penuh

4) Nyeri saat beraktivitas dengan posisi menumpu berat badan, yaitu

berjalan dan naik turun tangga

Hasil penelitian ini berdasarkan interview dengan pasien ditemukan

keluhan nyeri dan keterbatasan gerak fleksi – ekstensi knee sehingga pasien

tidak mampu menekuk lutut secara penuh, dan nyeri saat berjalan jauh dan

58
naik turun tangga. Hasil penelitian ini sejalann dengan panduan kasus

osteoarthritis knee.

b. Inspeksi

Dalam panduan kasus osteoarthritis knee ditemukan hasil inspeksi

adanya perubahan postur knee yaitu semifleksi knee dan genu varus. Hasil

penelitian ini berdasarkan pengamatan peneliti menunjukkan adanya genu

varus dengan sudut Q < 10o.

c. Pemeriksaan fungsi dasar

Pemeriksaan fungsi dasar terdiri atas tes gerak aktif, tes gerak pasif,

dan tes isometrik melawan tahanan. Berdasarkan panduan kasus

osteoarthritis knee ditemukan hasil pemeriksaan fungsi dasar berupa

keterbatasan gerak pola kapsular yaitu fleksi lebih terbatas daripada

ekstensi knee dengan end feel berupa capsular tight end feel atau hard

elastis end feel, dan tidak ditemukan problem nyeri otot saat tes isometrik

melawan tahanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tes gerak

aktif ditemukan adanya keterbatasan gerak fleksi knee dan sedikit ekstensi

knee. Kemudian, hasil tes gerak pasif menunjukkan adanya keterbatasan

gerak fleksi knee dan hard elastis end feel, serta sedikit keterbatasan

ekstensi knee dan hard end feel. Berbeda dengan tes isometrik melawan

tahanan, dimana hasil tes menunjukkan tidak ada gangguan pada

komponen musculotendinogen. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian

antara hasil pemeriksaan dan panduan kasus osteoarthritis knee.

59
d. Pemeriksaan spesifik

Berdasarkan panduan kasus osteoarthritis knee menunjukkan adanya

perubahan alignment knee yaitu terjadi genu varus. Perubahan postur knee

tersebut menyebabkan space sendi sisi medial menyempit sehingga mudah

berkembang kondisi laxity pada ligamen collateral medial dan kerusakan

pada meniskus medialis. Hal ini yang mendasari hasil tes stabilitas valgus

knee sering menimbulkan nyeri, sehingga sangat penting dilakukan tes

stabilitas.Hasil penelitian berdasarkan pemeriksaan spesifik, ditemukan

kedua pasien mengalami nyeri saat dilakukan tes stabilitas valgus

knee.Dalam pemeriksaan spesifik, diperlukan juga joint play movement test

dan palpasi. Joint play movement test adalah pemeriksaan gerak asesoris

sendi yang dapat mengidentifikasi struktur jaringan yang menjadi problem

keterbatasan gerak sendi. Jika keterbatasan gerak sendi berasal dari

problem kapsul-ligamen maka tes Joint Play Movement akan menunjukkan

adanya nyeri, keterbatasan gerak asesoris, dan end feel berupa capsular

tight end feel (hard elastis end feel). Sedangkan keterbatasan gerak sendi

yang berasal dari problem muskular atau nyeri diluar struktur sendi maka

tes Joint PlayMovement akan menunjukkan normalitas gerak asesoris dan

tidak ada nyeri. Hasil penelitian berdasarkan tes Joint Play Movement

ditemukan adanya nyeri dan hypomobile gerak asesoris. Begitu pula, hasil

tes palpasi menunjukkan adanya nyeri pada joint line sisi medial knee.

60
e. Pengukuran

Beberapa penelitian umumnya menggunakan pengukuran nyeri, ROM

dan fungsional berjalan pada kondisi osteoarthritis knee. Hal ini sesuai

dengan problematik yang umumnya terjadi pada kondisi osteoarthritis knee

yaitu problem nyeri dan keterbatasan gerak sendi, problem kelemahan otot

serta problem nyeri saat berjalan dan naik turun tangga. Begitu pula

penelitian ini menggunakan alat ukur VAS (Visual Analoge Scale)

{pengukuran nyeri), alat ukur goniometer (pengukuran ROM), Manual

Muscle Testing (MMT) dan six minute walk test (pengukuran fungsional

berjalan). Dengan pengukuran tersebut, maka evaluasi perubahan setelah

intervensi fisioterapi dapat dimonitoring setiap hari atau minggu.

Berdasarkan temuan hasil pemeriksaan di atas yang sesuai dengan panduan

kasus osteoarthritis knee, maka peneliti dapat mengambil pernyataan

sebagai diagnosis fisioterapi yaitu “Hypomobile dan knee pain akibat

Osteoarthritis Knee Joint. Adapun problematic yang ditemukan berupa

nyeri gerak, keterbatasan gerak fleksi – ekstensi knee, kelemahan otot dan

gangguan fungsional berjalan.

2. Intervensi Fisioterapi dan Evaluasi Fisioterapi

Intervensi fisioterapi yang diberikan sesuai dengan problematik di atas

adalah Ultrasound therapy, Mobilisasi Sendi, dan Resistance Exercise.

Problem nyeri gerak dapat diatasi melalui intervensi ultrasound, sedangkan

problem keterbatasan gerak dapat ditangani melalui intervensi mobilisasi

61
sendi, serta problem kelemahan otot dan gangguan fungsional berjalan dapat

ditangani melalui intervensi Resistance Exercise.

a. Nyeri

Pengurangan tingkat nyeri dapat dilihat dengan menggunakan VAS

(Visual Analog Scale). Perubahan nyeri dari evaluasi awal (T1) sampai

evaluasi akhir (T6) menunjukkan adanya penurunan nyeri secara kuantitatif.

Penurunan nyeri pada OA (osteoaarthritis) dipengaruhi oleh efek dari

pemberian ultrasound. Pemberian ultrasound ditujukan pada kapsul sendi

lutut yang mengalami tight. Adanya efek thermal yang fokus pada kapsul

sendi akan melunakkan kapsul sendi yang tight

(David, 2014). Ultrasound dapat memberikan efek terhadap penurunan

nyeri lutut dan perbaikan fungsi fisik pada pasien osteoarthritis knee dan

sebagai modalitas yang aman digunakan (F.Tascioglu,2010). Ultrasound

dapat meningkatkan ambang rangsang selama aktivasi ujung-ujung saraf

sensorik bermyelin tebal melalui efek thermal. Panas

yang dihasilkan oleh ultrasound dapat merangsang serabut saraf bermyelin

dengan diameter besar sehingga mengurangi nyeri melalui mekanisme gate

control theory. Pendapat ahli lainnya mengatakan bahwa peningkatan

temperatur jaringan diatas baseline (garis normal) adalah lebih penting.

Mereka melaporkan bahwa temperatur jaringan yang meningkat 1oC akan

meningkatkan metabolisme dan penyembuhan jaringan. Sedangkan

peningkatan temperatur jaringan sampai 2 – 3oC akan menurunkan nyeri

62
dan spasme otot. Sementara temperatur jaringan yang meningkat sampai

4oC atau lebih akan meningkatkan ekstensibilitas jaringan collagen dan

mengurangi kekakuan sendi (William, 2003).

Melalui penerapan intervensi berupa ultrasound selama 6 kali maka

terjadi penurunan nyeri, dimana diperoleh hasil perubahan nyeri pada pasien

A lebih besar terjadi penurunan nyeri dibandingkan pasien B dengan

pengukuran menggunakan VAS. (Visual Analoge Scale), namun perbedaan

penurunan nyerinya antara pasien A dan B hanya 0,5. Hal ini menunjukkan

tidak ada perbedaan perubahan nyeri yang signifikan.

b. Keterbatasan Gerak

Peningkatan ROM (Range Of Motion) dapat dilihat dengan

menggunakan goniometer. Peningkatan ROM (Range Of Motion) dari

evaluasi (T1) sampai evaluasi akhir (T6) setelah 6 kali terapi ditemukan

adanya peningkatan ROM (Range Of Motion) secara signifikan. Perubahan

mekanik sendi dapat diakibatkan oleh nyeri dan muscle guarding, efusi

sendi, kontraktur atau perlengketan pada kapsul sendi atau ligament

penopang atau gerakan sendi yang menyimpang. Gerakan mobilisasi sendi

didasari oleh gerak artrokinematikanya (Kisner and Colby, 2014) sehingga

peningkatan ROM (Range Of Motion) pada osteoarthritis knee dipengaruhi

oleh efek dari pemberian Ultrasound dan mobilisasi sendi yang ditujukan

pada kapsul sendi lutut yang mengalami tight. Adanya efek thermal yang

fokus pada kapsul sendi akan melunakkan kapsul sendi yang tight (David,

63
2014). Hal ini dapat memudahkan terjadinya penambahan ROM (Range Of

Motion) sendi lutut setelah aplikasi mobilisasi sendi, karena mobilisasi sendi

dapat menghasilkan efek mekanikal pada jaringan intraartikular sendi

(Kisner and Colby, 2014).

Melalui penerapan intervensi ultrasound dan mobilisasi sendi selama

6 kali maka terjadi peningkatan ROM (Range Of Motion), dimana terlihat

hasil peningkatan ROM (Range Of Motion) gerak. dimana diperoleh hasil

peningkatan ROM pada pasien B lebih besar dibandingkan pasien A dengan

pengukuran menggunakan goniometer. Dilihat dari perbedaan hasil ROM

fleksi antara pasien A dan B pada intervensi terakhir menunjukkan

perbedaan sekitar 20o. Hal ini dipengaruhi oleh luasnya keterbatasan gerak

antara pasien A dan B, dimana pasien A mengalami keterbatasan gerak

fleksi yang lebih besar dibandingkan pasien B.

c. Kelemahan Otot

Peningkatan kekuatan otot quadriceps, hamstring, gluteus medius et

minimus dan tensor fascia latae dapat diketahui melalui pengukuran MMT

(manual muscle test). Peningkatan kekuatan otot mulai dari evaluasi (T1)

sampai evaluasi akhir (T6) setelah 6 kali terapi ditemukan adanya

peningkatan kekuatan otot quadriceps, hamstring, gluteus medius et

minimus dan tensor fascia latae. Peningkatan kekuatan otot dipengaruhi

oleh efek dari resistance exercise, dimana resistance exercise dapat

memberikan beban atau tahanan pada otot yang dilatih. Pemberian beban

64
baik secara manual maupun mekanikal yang kontinyu dapat menghasilkan

adaptasi pada otot yang dilatih. Adaptasi yang terjadi adalah peningkatan

kapasitas otot menghasilkan gaya maksimum. Peningkatan tersebut secara

langsung akan meningkatkan kekuatan otot. Selain itu, resistance exercise

dapat menyebabkan adaptasi neural dan peningkatan ukuran serabut otot.

Adaptasi neural yang terjadi adalah meningkatnya rekruitmen motor unit

pada otot yang dilatih, sehingga akan terjadi peningkatan kekuatan otot

(Kisner and Colby, 2014).Resistance exercise dengan menggunakan thera

band exercise dapat menghasilkan beban konstan pada otot yang dilatih.

Thera band exercise dapat memberikan beban atau tahanan pada otot

quadriceps,hamstring, gluteus medius et minimus dan tensor fascia latae

secara konstan sehingga beban tersebut secara progresif dapat

meningkatkan kapasitas otot dalam menghasilkan gaya maksimum dan

rekruitmen motor unit didalam otot. Keadaan ini menimbulkan peningkatan

kekuatan otot pada keempat otot tersebut (Kisner and Colby, 2014).dimana

diperoleh hasil peningkatan kekuatan otot pada pasien B lebih besar

dibandingkan pasien A. Hal ini dipengaruhi oleh faktor usia dimana pasien

B lebih muda (49 tahun) dibandingkan pasien A (57tahun).

d. Gangguan fungsional berjalan

Peningkatan kemampuan fungsional berjalan dapat diukur dengan

menggunakan six-minute walk test. Peningkatan kemampuan fungsional

berjalan mulai dari evaluasi (T1) sampai evaluasi akhir (T6) setelah 6 kali

65
terapi ditemukan adanya peningkatan jarak tempuh berjalan yang

menunjukkan meningkatnya kemampuan fungsional berjalan secara

signifikan. Kemampuan fungsional berjalan dipengaruhi oleh kekuatan otot

quadriceps, hamstring, gluteus medius et minimus dan tensor fascia latae

serta stabilitas sendi. Selain itu, kemampuan fungsional berjalan

dipengaruhi oleh nyeri sendi dan lingkup gerak sendi. Osteoarthritis knee

joint umumnya menyebabkan gangguan neuromuskular adaptasi ketika

berjalan sehingga terjadi nyeri fungsional berjalan. Neuromuskular kontrol

sangat bergantung pada sensori feedback yang mempengaruhi respon

terhadap perubahan tuntutan eksternal, dimana respon normal selama

gerakan dan pola aktivasi otot adalah untuk beradaptasi terhadap gangguan

yang berulang–ulang. Adanya kelemahan otot terutama otot quadriceps

femoris, gangguan proprioception, dan kekakuan sendi menyebabkan

penderita osteoarthtitis knee mengalami kesulitan berjalan (Mei-Hwa et al,

2009).

Pemberian intervensi mobilisasi sendi dan resistance exercise dengan

thera band dapat menghilangkan kekakuan sendi dan memperbaiki

kekuatan otot terutama otot quadriceps femoris. Mobilisasi sendi dapat

menghasilkan gerakan mekanikal intraarticular didalam knee joint sehingga

mampu menghilangkan kekakuan atau keterbatasan gerak sendi, sedangkan

resistance exercise dengan thera band dapat menghasilkan tahanan konstan

pada otot yang dilatih sehingga dapat merangsang perbaikan kekuatan otot.

66
Dengan hilangnya kekakuan sendi dan adanya perbaikan kekuatan otot

secara langsung akan memperbaiki kemampuan fungsional berjalan (Mei-

Hwa et al, 2009),

67
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian diatas, maka

dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Diagnosa fisioterapi pada kondisi Osteoarthrtis knee adalah “ gangguan

aktivitas fungsional knee jont akibat osteoarthritis”

2. Poblematika fisioterapi pada kondisi Osteoarthritis Knee adalah nyeri,

kelemahan otot, keterbatasan ROM dan gangguan fungsional berjalan.

3. Intervensi fisioterapi pada kasus Osteoarthritis Knee adalah ultrasound,

strengthening dan traksi-translasi.

4. Hasil dan evaluasi pada kasus Osteoarthritis Knee adalah terjadi

penurunan nyeri, ROM (Range Of Motion). peningkatan kekuatan otot,

peningkatan kemampuan fungsional berjalan.

68
B. Saran

1. Disarankan kepada fisioterapis di rumah sakit atau di lahan praktek

agar menggunakan ultrasound, strengthening dan traksi-translasi

sebagai salah satu modalitas untuk penanganan kondisi

osteoarthritis knee joint yang mengalami problem keterbatasan ROM

(range of motion), nyeri, kelemahan otot dan gangguan fungsional

berjalan

2. Penderita Osteoarthritis Knee agar tetap semangat dan jangan putus

asa, tetap rajin terapi serta latihan sendiri untuk mencegah terjadinya

penurunan aktivitas dan tidak melakukan aktifitas yang terlalu berat.

69
DAFTAR PUSTAKA

Anisa. 2015. Diagnosis and treatment Osteoarthritis. Medikal Journal of Lampung


University Vol. 4 No. 4. Jakarta : J. Majority.
Anwar. (2012). Effect of the addition of roll-slide flexion extensionon intervention
with Micro Wave Diathermy (MWD) and traction oscillation to decrease
pain osteoarthritis knee joint, Jurnal Fisioterapi. Volume 12 nomor 1.
American geritrics society. (2001). “Exercise prescription for older adults with
osteoarthritis pain: consensus practice recommendation”. JAGS;49:808- 23.
Dieppe Paul A., Lohmander L. Stefan. Pathogenesis and Management of Pain in
Osteoarthritis. The Lancet, (2005); 365 : 965-973.
Djohan Aras, dkk. 2016. The New Concept Of Physical Therapist Test and
Measurement. Makassar : Physio Care.
Dr. Novita Intan Arovah,2010,Dasar-Dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga.
Evelyn, C (2002). Anatomi dan fisiologi untuk paramedic.EGC.Jakarta.
Fairbank Jeremy C.T., MD, FRCS, and Paul B. Pynsent, PhD.2000. The Oswetry
Disability Index, SPINE. Volume 25, No 22, p2940-2953
Koentjoro SL. Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) Dengan Derajat
Osteoarthritis lutut menurut kellgren dan lowrence. Semarang : Fakultas
kedokteran Universitas Diponogoro Semarang,2010.
Isbagio, (2001); Struktur rawan sendi dan perubahannya, Cermin Dunia
Kedokteran.
Lukum,E.M. 2011. Hubungan derajat nyeri Berdasarkan Visual Analog Scale
(VAS) denn derjt radiologik berdasarkan Kellgren Lawrence skore pada foto
onvensional Lutut pasien Osteoarthritis sendi lutut tesis.Makassar: Unhas
Melanita, Rika, dn Euis Sari Hati. 2008. Perbedaan pengaruh pemberian intervensi
ultrasound dengan mobilisasi roll slide fleksi-ekstensi dan ultrasound
dengan mobilisasi traksi osilasi akhir range of motion terhadap
peningkatan range of motion pada osteoarthritis lutut. Jurnal Fisioterapi Vol
8 no. 1. Jakarta : Universitas Esa Unggul.
Parjoto, Slamet (2000) Assesment Fisioterapi pada Osteoarthritis sendi lutut.
Pertemuan Rutin TITAFI XV. Semarang 2-4 oktober.

103
Platzer W, Kahle W, Leoohardt H, (1993). Alat dan buku teks Anatomi Lutut.
TITAFI XV, Semarang.
Poole A.R (2001). Cartilage in Health and Disease, In : Arthritis and Allied
Conditions. Text
Rahmawati, Agustina. 2016. Perbedaan pengaruh theraband exercise dengan
Kinesio taping terhadap peningkatan aktivitas fungsional pada osteoarthritis
knee di desa Nogotirto Gamping Sleman Yogyakarta. Yogyakarta : universitas
Aisyiyah Yogyakrta.
Sudaryanto, Ansar, (2009).Biomekanik.Makasar ; Akademi Fisioterapi Makasar.

104
105

Anda mungkin juga menyukai