OLEH :
ARINA MA’RUFA
P27220015184
2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2013) Osteoartritis terjadi karena tulang rawan yang menjadi
ujung dari tulang yang bersambung dengan tulang lain menurun fungsinya.
Permukaan halus tulang rawan ini menjadi kasar dan menyebabkan iritasi. Jika tulang
rawan ini sudah kasar seluruhnya, akhirnya tulang akan bertemu tulang yang
menyebabkan pangkal tulang menjadi rusak dan gerakan pada sambungan akan
menyebabkan nyeri dan ngilu.
Beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis antara lain adalah :
a. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoarthritis faktor ketuaan adalah
yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan
bertambahnya umur.
Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah
40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.
b. Jenis Kelamin.
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih
sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara
keseluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki
dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita
dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis
osteoartritis.
c. Riwayat Trauma sebelumnya
Trauma pada suatu sendi yang terjadi sebelumnya, biasa mengakibatkan
malformasi sendi yang akan meningkatkan resiko terjadinya osteoartritis. trauma
berpengaruh terhadap kartilago artikuler, ligamen ataupun menikus yang
menyebabkan biomekanika sendi menjadi abnormal dan memicu terjadinya
degenerasi premature.
d. Pekerjaan
Osteoartritis lebih sering terjadi pada mereka yang pekerjaannnya sering
memberikan tekananan pada sendi-sendi tertentu. Jenis pekerjaan juga
mempengaruhi sendi mana yang cenderung terkena osteoartritis. sebagai contoh,
pada tukang jahit, osteoartritis lebih sering terjadi di daerah lutut, sedangkan pada
buruh bangunan sering terjadi pada daerah pinggang.
e. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko
untuk timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan
ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung
beban, tapi juga dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).
Pada kondisi ini terjadi peningkatan beban mekanis pada tulang dan sendi.
f. Faktor Gaya hidup
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa faktor gaya hidup mampu
mengakibatkan seseorang mengalami osteoartritis. contohnya adalah kebiasaan
buruk merokok. Merokok dapat meningkatkan kandungan karbon monoksida
dalam darah, menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat menghambat
pembentukan tulang rawan.
g. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada ibu
dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal
terdapat dua kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-
anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu
dan anak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis.
h. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya terdapat
perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih
jarang diantara orang-orang kulit hitam dan Asia dari pada kaukasia. Osteoartritis
lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika asli (Indian) dari pada orang
kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun
perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
3. Manifestasi klinis
a. Nyeri, kaku, dan kerusakan/gangguan fungsional merupakan manisfestasi klinis
primer
b. Kaku paling sering terjadi di pagi hari setelah bangun tidur. Kaku biasannya
berlangsung kurang dari 30 menit dan dapat berkurang dengan pergerakan.
c. Kerusakan fungsional disebabkan oleh nyeri saat bergerak dan terbatasnya
gerakan sendi ketika terjadi perubahan struktural.
d. Osteoartritis lebih sering terjadi pada sendi yang menopang berat badan (pinggul,
lutut, tulang belakang servikal dan lumbal) sendi jari tangan juga dapat terganggu.
e. Mungkin terdapat nodus yang menonjol (tidak nyeri kecuali jika mengalami
inflamasi).
4. Klasifikasi
Osteoartritis dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, OA Primer dan OA
sekunder. OA primer disebut idiopatik, disebabkan karena adanya faktor genetik yaitu
adanya abnormalitas kolagen sehingga mudah rusak. Sedangkan OA sekunder adalah
OA yang didasari oleh kelainan seperti kelainan endokrin, trauma, kegemukan, dan
inflamasi.
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat osteoarthritis dapat terjadi apabila penyakit
ini tidak ditangani dengan serius. Terdapat dua macam komplikasi yaitu :
a. Komplikasi akut berupa, osteonekrosis, Ruptur Baker Cyst, Bursitis.
b. Komplikasi kronis berupa malfungsi tulang yang signifikan, yang terparah ialah
terjadi kelumpuhan.
6. Patofisiologi
Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit kronik, tidak meradang dan
progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan, rawan sendi
mengalami kemunduran dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru
pada bagian tepi sendi.
Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit yang
merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress
biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan dipecahnya
polisakarida protein yang membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga
mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi
yang harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut dan kolumna vertebralis.
Sendi interfalanga distal dan proksimasi.
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya gerakan.
Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan penyempitan
ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut.
Perubahan-perubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-
peristiwa tertentu misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan
penyakit peradangan sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang
bersifat intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur ada ligamen atau
adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang
rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan
rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya hipertropi
atau nodulus (Smeltzer, 2013).
7. Pathway
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berfokus pada upaya memperlambat dan menangani gejala
karena tidak ada terapi untuk menghentikan proses penyakit degeneratif sendi.
a. Pencegahan
1) Penurunan berat badan
2) Pencegahan cedera
3) Skrining perinatal untuk penyakit pinggul kongenital
4) Modifikasi ergonomi
b. Tindakan konservatif
1) Panas, menurunkan berat badan, mengistirahatkan sendi, dan menghindari
penggunaan sendi secara berlebihan.
2) Alat ortotik untuk menopang sendi yang mengalami inflamasi (bebat, braces)
3) Latihan isometrik dan postural, dan senam aerobik
4) Terapi okupasional dan fisik
c. Terapi farmakologis
1) Asetaminofen; obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
2) Penyekat enzim COX-2(untuk pasien yang beresiko tinggi mengalami
perdarahan GI).
3) Opioid dan kostikosteroid intra-artikular.
4) Analgesik topikal seperti kapsisin dan metil salisilat.
5) Pendekatan terapeutik lain: glukosamin dan kondroitin, viskosublementasi
(injeksi asam haialuronat per intra artikular).
d. Penatalaksanaan Bedah
Dilakukan ketika nyeri bersifat hebat dan fungsi telah hilang.
1) Osteotomi
2) Artroplasti (penggantian) sendi.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
FORMAT PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK
Tanggal Pengkajian
Nama Mahasiswa
A. Karakteristik Demografi
1. Identitas Klien
Nama
Tempat/tgl lahir
Jenis kelamin
Status perkawinan
Agama
Suku
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat rumah
Diagnose Medis
6. Aktivitas Rekreasi
Hoby
Bepergian/ wisata
Keanggotaan Organisasi
Lain-lain
C. Status Kesehatan
1. Status kesehatan saat ini
Keluhan utama
Gejala yg dirasakan
Factor pencetus
7). Neurologis
8). Kulit
9). Ekstremitas atas
10). Ekstremitas Bawah
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi musculoskeletal kronis.
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi .
2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Gunakan teknik
komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
3) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
4) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
5) Ajarkan tentang teknik non farmakologi
6) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
7) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
8) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
Intervensi:
1) Pertimbangan/kaji usia dan aktivitas yang masih bisa dilakukan pasien
2) Monitor perawatan diri secara mandiri
3) Monitor kebutuhan pasien terkait alat kebersihan, alat namtu makan,
berpakaian, berdandan, dan eliminasi.
4) Berikan bantuan sampai pasien mampu melakukan perawatan mandiri
5) Dorong pasien untuk melakukan aktivitas normal sehari – hari
6) Ajarkan orang terdekat/keluarga untuk mendukung kemandirian dengan
membantu hanya ketika pasien tidak mampu melakukan mandiri
c. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi tulang.
Intervensi:
1) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien berdasarkan fungsi fisik dan
kognitif serta riwayat perilaku di masa lalu
2) Identifikasi hal – hal yang membehayakan di lingkungan (fisik, biologis,
kimiawi)
3) Singkirkan bahan atau alat hyang berbahaya/membahayakan dan modifikasi
lingkungan untuk meminimalkan bahaya
4) Sediakan alat bantu untuk beradaptasi
5) Siapkan nomor telepon emergensi untuk pasien
6) Monitor lingkungan terhadap terjadinya perubahan status keselamatan
7) Bantu pasien saat melakukan perpindahan
8) Edukasi individu atau kelompok yang beresiko tinggi terhadap bahan
berbahaya yang ada di lingkungan
9) Kolaborasi dengan lembaga lain untuk manajemen keselamatan.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur/bentuk tubuh.
Intervensi :
1) Tentukan harapan pasien tentang citra tubuh berdasarkan tahap
perkembangan.
2) Tentukan apakan persepsi ketidaksukaan terhadap karakteristik fisik tertentu
membuat disfungsi paralisis sosial bagi remaja dan pada kelompok resiko
tinggi lainnya.
3) Tentukan apakah perubahan fisik saat ini telah dikaitkan kedalam citra tubuh
pasien.
4) Identifikasi pengaruh budaya, agama, ras, jenis kelamin, dan usia pasien
menyangkut citra tubuh.
5) Pantau frekuensi pernyataan kritik diri.
6) Bantu klien untuk mengenali tindakan yang akan meningkatkan
penampilannya
7) Fasilitasi berhubungan klien dengan individu yang mengalami perubahan
citra tubuh yang serupa
8) Identifikasi dukungan kelompok yang tersedia untuk klien
9) Dukung mekanisme koping yang biasa digunakan pasien ; sebagai contoh,
tidak meminta pasien untuk mengeksplorasi perasaannya jika pasien enggan
melakukannya.
10) Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi dan menggunaka
mekanisme koping.
11) Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kekuatan dan
mengenaliketerbatasan mereka.
12) Berikan perawatan dengan cara yang tidak menghakimi, jaga privasi dan
martabat pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Martono, H., & Pranaka, K. (2010). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing Outcomes Classification
(NOC) Edisi 5. Amerika : Elsevier.
Price A, Sylvia, dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses Penyakit, Edisi 6.
Jakarta : EGC.
Smeltzer, Susan C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, edisi 12. Jakarta
: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Definisi dan
Indikator Diagnostik) Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.