Anda di halaman 1dari 17

TUGAS SWAMEDIKASI

“REMATIK”

OLEH:

KELOMPOK VII

KELAS SWAMEDIKASI B

MOHAMMAD SYAUQIE N014202

JULIA CITRA PRASTIKA N014202

BULKIS N014202069

UMBI SAFARIAH N014202068

ISRANINGSIH N014202

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

Artritis Reumatoid (AR) yang merupakan istilah medis dari rematik

merupakan suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan

dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan

seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002).

Artritis reumatoid lebih sering menyerang perempuan dari pada laki-laki.

Insiden ini meningkat dengan bertambahnya usia, terutama pada perempuan.

Insiden puncak adalah antara usia 40-60 tahun. Penyakit ini menyerang orang-

orang diseluruh dunia dari berbagai suku bangsa (Price, 2005).

Dalam upaya pemeliharaan kesehatan, swamedikasi merupakan upaya

terbanyak yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan kesehatan

sehingga peranan swamedikasi merupakan hal yang tidak boleh diabaikan saat ini

terlebih lagi perkembangan teknologi informasi via internet, semakin mahalnya

biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat,

atau kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan menyebabkan masyarakat

cenderung untuk memilih swamedikasi (Ananda, 2013). Berdasarkan hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, 35,2% rumah tangga menyimpan obat untuk

swamedikasi (Kemenkes RI, 2015).

Swamedikasi atau pengobatan sendiri didefinikasi sebagai pemilihan dan

penggunaan obat-obatan (termasuk produk herbal dan tradisional) oleh individu

untuk mengobati penyakit atau gejala yang dapat dikenali sendiri (WHO, 1997).

Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit


ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk,

influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes RI,

2006).

Sampai saat ini di tengah masyarakat seringkali dijumpai berbagai masalah

dalam penggunaan obat. Diantaranya ialah kurangnya pemahaman tentang

penggunaan obat tepat dan rasional, penggunaan obat bebas secara berlebihan,

serta kurangnya pemahaman tentang cara menyimpan dan membuang obat dengan

benar. Sedangkan tenaga kesehatan masih dirasakan kurang memberikan

informasi yang memadai tentang penggunaan obat (Kemenkes RI, 2015). Oleh

karena itu, sebagai pelaku selfmedication harus mampu mengetahui jenis obat

yang diperlukan, kegunaan dari tiap obat, menggunakan obat dengan benar (cara,

aturan pakai, lama pemakaian), mengetahui efek samping obat yang digunakan

dan siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut (Depkes RI, 2008).

Swamedikasi dapat dilakukan terhadap penanggulangan gejala- gejala

penyakit pada rematik atau arthritis rheumatoid, dimana penyakit rematik ini

merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditemukan pada masyarakat

Peranan apoteker sebagai pelaku self medication menjadi sangat penting dalam

memberikan swamedikasi tersebut dan dilakukan dengan benar dan rasional, serta

berdasarkan pengetahuan yang cukup tentang obat yang digunakan dan

kemampuan mengenali penyakit atau gejala yang timbul (Tan, 1993).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Artritis Reumatoid

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti

sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang

sendi. Jadi Arthritis merupakan peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di

daerah persendian. Arthritis dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh;

menyebabkan rasa sakit, kehilangan kemampuan bergerak dan kadang bengkak.

Adapun beberapa tipe arthritis, yaitu:

 Osteoarthritis (OA)

Merupakan penyakit sendi degeneratif yang progresif dimana rawan kartilago

yang melindungi ujung tulang mulai rusak, disertai perubahan reaktif pada tepi

sendi dan tulang subkhondral yang menimbulkan rasa sakit dan hilangnya

kemampuan gerak.

 Arthritis gout (pirai)

Arthritis jenis ini lebih sering menyerang laki-laki. Biasanya sebagai akibat

dari kerusakan sistem kimia tubuh. Kondisi ini paling sering menyerang sendi

kecil, terutama ibu jari kaki. Arthritis gout hampir selalu dapat dikendalikan

oleh obat dan pengelolaan diet.

 Reumatik

Merupakan penyakit autoimun, dimana pelapis sendi mengalami peradangan

sebagai bagian dari aktivitas sistem imun tubuh (5)


Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian

(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi

pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian

dalam sendi. Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi ketika jaringan-

jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri yang keliru (Gordon, 2002).

Artritis Reumatoid (AR) merupakan salah satu penyakit rematik yang

memiliki etiologi yang belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang

simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular

(Dipiro).

II.2 Prevalensi Artritis Reumatoid

Penyakit Artritis Reumatoid muncul lebih sering pada wanita daripada pria

yang terutama terjadi pada orangtua (dewasa). Tingkat prevalensi yang dilaporkan

pada tahun 2002 berkisar antara 0,5% sampai 1% dari populasi orang dewasa di

negara maju dan bervariasi untuk setiap wilayah (Guo, 2017).

Menurut Arthritis Foundation (2015), sebanyak 22% atau lebih dari 5 juta

orang dewasa di Amerika Serikat berusia 18 tahun atau lebih didiagnosa artritis.

Dari data tersebut sekitar 3% atau 1,5 juta orang dewasa mengalami Artritis

reumatoid (Chabib, 2016). Angka kejadian rheumatoid arthritis pada tahun 2016

yang disampaikan oleh WHO adalah mencapai 20% dari penduduk dunia, 5-10%

adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% adalah mereka yang berusia 55

tahun (Andri, 2020)

Menurut Riskesdas (2018) jumlah penderita rheumatoid arthritis di

Indonesia mencapai 7,30%. Seiring bertambahnya jumlah penderita rheumatoid

arthritis di Indonesia justru tingkat kesadaran dan salah pengertian tentang


penyakit ini cukup tinggi. Keadaan inilah menjelaskan bahwa kurangnya

pengetahuan masyarakat Indonesia khususnya penderita untuk mengenal lebih

dalam lagi mengenai penyakit rheumatoid arthritis (Andri, 2020).

II.3 Etiologi

Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun

faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor sistem, dan

infeksi virus.

II.4 Patofisiologi

Artritis reumatoid terjadi akibat reaksi autoimun dalam jaringan sinovial

yang melibatkan proses fagositosis. Imunoglobulin (Ig) mengaktifkan sistem

komplemen, yang memperkuat respon imun dengan meningkatkan kemotaksis,

fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel mononuklear yang kemudian

disajikan ke limfosit T. Antigen yang diproses dikenali oleh protein kompleks

histokompatibilitas utama pada permukaan limfosit, yang mengakibatkan aktivasi

sel T dan B. Selanjutnya Sel T yang teraktivasi menghasilkan sitotoksin dan

sitokin yang merangsang aktivasi lebih lanjut dari proses inflamasi dan menarik

sel ke area inflamasi. Adapun Sel B yang teraktivasi menghasilkan sel plasma,

yang membentuk antibodi yang jika digabungkan dengan sistem komplemen,

menghasilkan akumulasi leukosit polimorfonuklear. Leukosit ini melepaskan

sitotoksin, radikal bebas oksigen, dan radikal hidroksil yang meningkatkan

kerusakan sinovium dan tulang (dipiro).

Zat vasoaktif (histamin, kinin, dan prostaglandin) dilepaskan di tempat

peradangan, meningkatkan aliran darah dan permeabilitas vaskular. Hal ini

menyebabkan edema, rasa hangat, eritema, dan nyeri, serta memfasilitasi


perjalanan granulosit dari pembuluh darah ke tempat peradangan. Peradangan

kronis pada jaringan sinovial yang melapisi kapsul sendi menyebabkan proliferasi

jaringan (pembentukan pannus). Pannus menyerang tulang rawan dan akhirnya ke

permukaan tulang, menghasilkan erosi tulang dan tulang rawan dan menyebabkan

kerusakan sendi. Hasil akhir mungkin berupa hilangnya ruang sendi dan gerakan

sendi, fusi tulang (ankilosis), subluksasi sendi, kontraktur tendon, dan deformitas

kronis (dipiro).

II.5 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik atau tanda dan gejala yang terjadi dari penyakit Artritis

Reumatoid antaralain (Dipiro & Chabib, 2016):

1. Nyeri umumnya simetris (nyeri pada sendi yang sama di kedua sisi tubuh) dan

bengkak pada sendi yang dapat berlangsung dalam waktu terus-menerus dan

semakin lama gejala keluhannya akan semakin berat. Umumnya menyerang

sendi pergelangan tangan, jari, kaki, bahu, lutut, pinggang/pinggul, dan sekitar

leher.

2. Persendian teraba hangat, bengkak, kemerahan dan kaku pada pagi hari

berlangsung selama lebih dari 30 menit.

3. Kelelahan, kelemahan, demam ringan dan nafsu makan berkurang

4. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar

sepertiga orang dewasa penderita artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering

dari deformitas ini adalah sendi siku atau di sepanjang permukaan ekstensor

dari lengan, walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada

tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu

petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat.


II.3 Penatalaksanaan Pengobatan

Artritis Reumatoid adalah salah satu penyakit reumatik akibat proses

autoimun yang memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaannya karena sering

menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan bahkan kematian dini. Kerusakan

sendi dan kecacatan akibat AR ini dapat dicegah dengan pengobatan yang tepat

dan dilakukan pada masa awal perjalanan penyakit AR. Sehingga diagnosis dini

dan pengobatan yang tepat merupakan kunci dalam keberhasilan pengelolaan AR

(Anonim, 2014).

II.3.1 Terapi Nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan meliputi:

a) Istirahat yang cukup, penurunan berat badan bila obesitas, terapi okupasi,

terapi fisik, dan penggunaan alat bantu dapat memperbaiki gejala dan

membantu mempertahankan fungsi sendi.

b) Pembedahan, dapat bermanfaat untuk penyakit yang berat dengan prosedur

operasi seperti tenosynovectomy, perbaikan tendon dan penggantian sendi.

c) Edukasi pasien tentang penyakit dan manfaat pengobatan serta hal-hal yang

dibatasi dalam terapi (dipiro)

II.3.2 Terapi farmakologi

Tujuan dari pengobatan artritis reumatoid tidak hanya mengontrol gejala

penyakit, tetapi juga penekanan aktivitas penyakit untuk mencegah kerusakan

permanen. Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi

nyeri sendi dan bengkak, serta meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan
sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien meringankan gejala

tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit. Penderita RA memulai pengobatan

mereka dengan DMARDs (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti

metotreksat, sulfasalazin dan leflunomid (ACR, 2012).

1. NSAID

NSAID menghambat sintesis prostaglandin, yang hanya merupakan sebagian

kecil dari kaskade inflamasi. Obat golongan ini memiliki sifat analgesik dan anti-

inflamasi dan mengurangi kekakuan, tetapi tidak memperlambat perkembangan

penyakit atau mencegah erosi tulang atau kelainan bentuk sendi. Regimen dosis

NSAID umum ditunjukkan ditabel berikut (dipiro):

Tabel 1. NSAID yang digunakan pada pengobatan artritis reumatoid


Total Rekomendasi Dosis Obat AINS/ hari
Obat Dewasa Anak-anak Jadwal Pemberian
Dosis
Aspirin 2,6 – 5,2 g 60 – 100 mg/kg 4 kali sehari
Celecobix 200 – 400 mg - 1 atau 2 kali sehari
Diklofenac 150 – 200 mg - 3 -4 kali sehari
Natrium 50-200mg - 3-4 kali sehari,
diklofenak
Diflunisal 0,5 – 1,5 g - 2 kali sehari
Etodolac 0,2 – 1,2 g - 3-4 kali sehari
( max 20mg/kg)
Fenoprofen 0,9 – 3,0 g - 4 kali sehari
Flurbiprofen 200 – 300 mg - 2-4 kali sehari
Ibuprofen 1,2 – 3,2 g 20 – 40 mg/kg 2-4 kali sehari
Indometasin 50 – 200 mg 2 – 4 mg/kg 2-4 kali sehari
(max 200 mg)
Ketoprofen 150 – 300 mg - 3-4 kali sehari
Meklofenamat 200 400 mg - 3-4 kali sehari
Meloksikam 7,5 – 15 mg - 1 kali sehari
Nabumeton 1–2g - 1 atau 2 kali sehari
Naproksen 0,5 – 1,0 g 10 mg/kg 2 kali sehari
Naproksen 0,55 – 1,1 g - 2 kali sehari
sodium
Nonasetilasi 1,2 – 4,8 g - 2-6 kali sehari
salisilat
Oksaprozin 0,6 – 1,8 g - 1-3 kali sehari
(max 26 mg/kg)
Piroksikam 10 – 20 mg - 1 kali sehari
Sulindak 300 – 400 mg - 2 kali sehari
Tolmetin 0,6 – 1,8 g 15 – 30 mg/kg 3-4 kali sehari
Valdekoksib 10 mg - 1 kali sehari

2. Kortikosteroid (dipiro)

Kortikosteroid memiliki sifat anti inflamasi dan imunosupresif tetapi tidak

boleh digunakan sebagai monoterapi. Kortikosteroid mengganggu presentasi

antigen ke limfosit-T, menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien, dan

menghambat pembentukan radikal superoksida neutrofil dan monosit.

Pengobatan farmakologi dengan kortikosteroid oral dalam dosis rendah/sedang bisa

menjadi bagian dari pengobatan RA, namun sebaiknya dihindari pemberian bersama

OAINS selagi menunggu efek terapi dari DMARDs (Innes et al., 2009). Kortikosteroid

diberikan dalam jangka waktu sesingkat mungkin dan dosis rendah yang dapat mencapai

efek klinis.

Kortikosteroid oral (misalnya, prednison, metilprednisolon) dapat digunakan

untuk mengontrol nyeri dan sinovitis saat DMARD mulai bekerja ("terapi

penghubung").

Terapi kortikosteroid dosis rendah jangka panjang dapat digunakan untuk

mengontrol gejala pada pasien dengan penyakit yang sulit dikendalikan. Dosis

prednison di bawah 7,5 mg/hari (atau setara) dapat ditoleransi dengan baik tetapi

tidak tanpa efek samping jangka panjang. Gunakan dosis terendah yang

mengontrol gejala. Dosis alternatif kortikosteroid oral dosis rendah biasanya tidak

efektif pada RA.


Rute intramuskular lebih disukai pada pasien yang tidak patuh. Bentuk depot

(triamcinolone acetonide, triamcinolone hexacetonide, dan methylprednisolone

acetate) memberikan kontrol gejala selama 2 sampai 6 minggu. Onset efek

mungkin tertunda selama beberapa hari. Efek depot menghasilkan lancip

fisiologis, menghindari penekanan aksis hipotalamus-hipofisis.

Selama penggunaan kortikosteroid harus diperhatikan efek samping yang dapat

ditimbulkannya seperti hipertensi, retensi cairan, hiperglikemi, osteoporosis, katarak dan

kemungkinan terjadinya aterosklerosis dini.

3. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARD) (PRI, 2014 dan

dipiro)

Obat DMARD memiliki potensi untuk mengurangi kerusakan sendi,

mempertahankan integritas dan fungsi sendi dan pada akhirnya mengurangi

biaya perawatan dan meningkatkan produktivitas pasien AR. Obat-obat

DMARD yang sering digunakan pada pengobatan AR adalah methotrexate

(MTX), leflunomide, hydroxychloroquine, and sulfasalazine (PRI, 2014)

Semua DMARD memiliki beberapa ciri yang sama yaitu bersifat relatif

slow acting yang memberikan efek setelah 1-6 bulan pengobatan kecuali agen

biologik yang efeknya lebih awal. Setiap DMARD mempunyai toksisitas

masing-masing yang memerlukan persiapan dan monitor dengan cermat.

Keputusan untuk memulai pemberian DMARD harus dibicarakan terlebih

dahulu kepada pasien tentang risiko dan manfaat dari pemberian obat DMARD

ini (PRI, 2014)

Pemberian DMARD bisa diberikan tunggal atau kombinasi. Pada pasien-

pasien yang tidak respon atau respon minimal dengan pengobatan DMARD
dengan dosis dan waktu yang optimal, diberikan pengobatan DMARD

tambahan atau diganti dengan DMARD jenis yang lain (PRI, 2014).

Tabel 1. DMARDs yang digunakan pada pengobatan artritis reumatoid

Obat Mekanisme Dosis Efek Persiapan-Pemantauan


Samping
Meto- Menurunkan 7..5 – 25 Fibrosis hati, Awal : foto thorax,
treksat kemotaksis mg/ pnemonia DPL, TFG, TFH.
PMN dan minggu interstitial Selanjutnya DPL dan
mempengaruhi dan supresi TFH tiap bulan
sintesis DNA sumsum
tulang
Sulfasalasi Menghambat 2x500 Supresi Awal pengobatan :
n angiogenesis mg/hari sumsum G6PD. DPL tiap 4
dan migrasi ditingkatk tulang minggu selama 3
PMN an sampai bulan selanjutnya tiap
3x1000mg 3 bulan, TFH 1 bulan
selanjutnya tiap 3
bulan
Klorokuin Menghambat 6.5 mg/kg Jarang, Pemeriksaan mata
basa lisosom dan bb/ hari kerusakan pada awal pengobatan,
pelepasan IL-1 (150 mg) makula. lalu setiap 3-6 bulan
Leflunomi Menghambat 20 mg/hari Diare, DPL, TFG, TFH
de enzim alopecia,
dihidroorotat rash, sakit
dehidrogenase kepala,
sehingga secara teoritis
pembelahan berisiko
sel limfosit T infeksi
auto reaktif karena
menjadi imunosupresi
terhambat .
Minosiklin Menghambat Oral: 100– - -
metalloprotein 200
ases yang aktif mg/hari
pada
kerusakan
kartilago
Tofacitini Menghambat Oral: 5 Infeksi, Tes tuberkulin kulit,
b JAK mg, infeksi CBC differensiasi;
nonbiologic 2x/hari saluran enzim hati, lipid
pada pasien Oral XR: pencernaan,
RA berat yang 11 mg sakit kepala
gagal terapi 1x/hari diare,
dengan nasopharyngi
DMARDs tis,
Pedoman pengobatan merekomendasikan terapi awal dengan DMARD, lebih

disukai methotrexate (MTX), untuk kebanyakan pasien tanpa memandang

aktivitas klinis penyakit. Pasien dengan aktivitas penyakit sedang hingga berat

meskipun pengobatan awal harus dialihkan ke DMARD lain, agen biologis,

atau terapi kombinasi DMARD. Kombinasi DMARD yang direkomendasikan

meliputi (1) MTX plus hydroxychloroquine, (2) MTX plus leflunomide, (3)

MTX plus sulfasalazine, dan (4) MTX plus hydroxychloroquine plus

sulfasalazine (dipiro).

4. Agen Biologik

Agen biologik merupakan alternatif yang dapat digunakan ketika DMARD

gagal mencapai respon yang memadai tetapi jauh lebih mahal. Agen-agen ini

tidak memiliki toksisitas yang memerlukan pemantauan laboratorium, tetapi

mereka membawa sedikit peningkatan risiko infeksi, termasuk tuberkulosis.

Tes kulit tuberkulin atau tes darah interferon gamma release assay (IGRA)

harus dilakukan sebelum pengobatan untuk mendeteksi tuberkulosis laten

(Dipiro).

Berikut adalah pengobatan famakologi RA dengan agen biologik dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. DMARDs Biologik yang dipergunakan pengobatan farmakologi artritis


reumatoid.
OoObat Mekanisme Dosis Waktu Efek Monitoring
Timbulnya Samping
Respon
Etanercept Anti TNF-α 25 mg sc 2-12 Infeksi, TB, jamur,
2x/minggu minggu TB, infeksi lain;
atau 50 demielinis TT, DPL, TFH
mg asi saraf saat awal lalu
sc/minggu tiap 2-3 bulan
Infliximab Anti TNF-α 3 mg/kg iv 2-12 Infeksi, TB,
pada minggu TB, demielinisasi
minggu demielinis saraf TB,
0,2, & 4, asi saraf jamur, infeksi
kemudian lain; TT, DPL,
tiap 8 TFH saat awal
minggu lalu tiap 2-3
bulan
Golimumab Anti TNF-α 50 mg im 2-12 Infeksi, TB, jamur,
tiap 4 minggu TB, infeksi lain;
minggu demielinis TT, DPL, TFH
asi saraf saat awal lalu
tiap 2-3 bulan
Rituximab Anti CD20 1000 mg 12 minggu Reaksi TB, jamur,
iv pada infus, infeksi lain;
hari 0, 15 aritmia, TT, DPL, TFH
HT, saat awal lalu
infeksi, tiap 2-3 bulan
reaktivasi
hepatitis B
Tocilizuma Anti Il-6R 8 mg/kg iv 2 minggu Infeksi, B, jamur,
b TB, HT, infeksi lain;
gangguan TT, DPL,
fungsi hati TFH, profil
lipid saat awal
lalu tiap 2-3
bulan
DAFTAR PUSTAKA

Gordon, N. F. 2002. Radang Sendi. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Guo, Q, et all. Rheumatoid Arthritis: Pathological Mechanism and Modern


pharmacologic therapies. Bone research (2018) 6: 15.

Chabib, L, et al. Review Rheumatoid Arthritis: Terapi farmakologi, Potensi


kurkumin dan Analognya, serta pengembangan Sistem Nanopartikel. Jurnal
Pharmascience (2016) Vol.3 No.1.

Andri, J dkk. Tingkat Pengetahuan Terhadap Penanganan Penyakit Rheumatoid


Arthritis Pada Lansia. Jurnal Kesmas Asclepius (2020) Volume 2, Nomor 1.

Anonim, 2014 Diagnosis dan Pengelolaan Artritis rematoid. Perhimpunan


Reumatoid Indonesia.

ACR. 2012. Guidelines for the Management of Rematoid Arthritis. American


College of Rheumatology Subcommittee Reumatoid Arthritis. 46: 328-46

Price, Slyvia A. 2005. Patofisiologi Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC.


Jakarta

Ananda, et all. Hubungan tingkat Pengetahuan dan Perilaku Swamedikasi Obat


Natrium diklofenak di Apotek. (2013). Pharmacy vol 10 No.22

Menkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan No. 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Kemenkes RI. (2015). Pemahaman Masyarakat Akan Penggunaan Obat Masih


Rendah. Jakarta: Pusat Komunikasi Publik.

Depkes RI. (2008). Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan


Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal. 10.
WHO, 1997. The role of the Pharmacist in the health care system. Canada: World
Health Organization.

Tan H.T, Rahardja K. 1993. Cara Mengobati Gangguan Sehari-hari dengan Obat-
Obat Bebas Sederhana. Departemen Kesehatan RI. Jakarta

Dipiro,J., Talbert,R,dkk. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 10th


Edition. McGraw-Hill.

National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases, Handout on


Health: Osteoarthritis, Bethesda MD, July 2002.

PRI, 2014. Diagnosis dan Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan


Reumaologi Indonesia, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai