1. DD Nyeri Sendi
Kelompok 1
Diagnosis Banding
Pada kasus dengan poliartritis inflamasi selain AR perlu dipertimbangkan diagnosis
banding :
1. Spondiloartropati seronegatif, misalnya artritis psoriatik.
2. Artritis gout poliartikular
3. Lupus eritematosus sistemik
4. Artritis reaktif
Sumber :
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Jakarta: Author.
Kelompok 2
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi tersering yang mengenai 1-3%
populasi dewasa. Keterlibatan sendi multipel, penyakit sistemik komorbid,
polifarmasi dengan obat-obatan imunomodulator, memberikan tantangan baru pada
ahli bedah (Ahmad, 2019). Rheumatoid Arthritis (RA) berhubungan dengan
penurunan kualitas hidup, penurunan harapan hidup, dan memiliki efek samping
dampak finansial pada individu dan masyarakat. Risiko kematian kardiovaskular dua
kali lipat dari risiko populasi umum (BCGuidelines, 2012).
Etiologi
Penyebab artritis rematoid berkaitan dengan disfungsi sistem imun. Hal tersebut dapat
terjadi karena faktor keturunan atau faktor genetik dan faktor didapat yaitu adanya
pemicu terjadinya reaksi autoimun dalam tubuh, misalnya faktor lingkungan berupa
rokok, infeksi bakteri, mikoplasma, virus serta faktor hormonal, obesitas dan usia.
Sumber :
Rahmawati, F. (2018). Antibodi mutated citrullinated Vimentin sebagai
Biomarker Deteksi Dini Artritis Rematoid. Inovasi, 20(1), 48-57.
Kelompok 2
Definisi
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui
dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai
keterlibatan jaringan ekstra-artikular. Perjalanan penyakit AR ada 3 macam, yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalanan kronik fluktuatif
yang mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian
dini (Perhimpunan Rematologi Indonesia, 2014).
Sumber :
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Jakarta: Author.
Penyakit artritis rematoid merupakan penyakit sistemik yang bersifat progresif dengan
proses inflamasi membran synovial sendi diartroidial. Sendi yang terkena secara
simetris, membengkak, nyeri dan dapat menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi
Sumber :
Rahmawati, F. (2018). Antibodi mutated citrullinated Vimentin sebagai
Biomarker Deteksi Dini Artritis Rematoid. Inovasi, 20(1), 48-57.
Etiologi
Seperti banyak penyakit autoimun, etiologi RA adalah multifaktorial. Kerentanan
genetik terbukti dalam pengelompokan keluarga dan studi kembar monozigot, dengan
50 persen risiko RA disebabkan oleh faktor genetik. Asosiasi genetik untuk RA
termasuk antigen leukosit-DR45 dan -DRB1, dan berbagai alel yang disebut epitop
bersama. Studi asosiasi genome telah mengidentifikasi tanda genetik khas tambahan
yang meningkatkan risiko RA dan penyakit autoimun lainnya, termasuk gen STAT4
dan lokus CD40. Merokok adalah pemicu lingkungan utama untuk RA, terutama pada
mereka yang memiliki kecenderungan genetik. Meskipun infeksi dapat mengungkap
respons autoimun, tidak ada patogen tertentu yang terbukti menyebabkan RA
(Wasserman, 2011).
RA ditandai dengan jalur inflamasi yang menyebabkan proliferasi sel sinovial di
persendian. Pembentukan pannus selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan tulang
rawan dan erosi tulang. Produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan, termasuk
tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-6, mendorong proses destruktif
(Wasserman, 2011).
Sumber :
Wasserman, A. M. (2011). Diagnosis and Management of Rheumatoid Arthritis.
American Family Physician, 84(11), 1245-1252.
Penyebab RA sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang
diduga menjadi penyebab RA antara lain :
1.Faktor genetik
2. Reaksi inflamasi pada sendi dan selubung tendon
3. Faktor rheumatoid
4. Sinovitis kronik dan destruksi sendi
5.Gender
6.Infeksi.
Sumber : Ahmad, F. (2019). Reumatoid Arthritis. JK Unila, 3(1), 167-75.
3. Epidemiologi Rheumatoid
Arthritis Kelompok 1
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar
antara 0,5-1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa
Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di India dan di negara
barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan
Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%.
Sumber : Setiati, S., Alwi, I., Sudayo, A. W., Simadibrata, M., Setyohadi, B., &
Syam, A. F. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (6th ed.). Jakarta: Interna
Publishing.
Kelompok 2
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainya, di
Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1% pada
kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan
Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan
India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa
Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di
Bandungan, Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %, sedang di Malang pada
penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru Artritis Reumatoid merupakan
4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan
9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002.
Sumber :
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Jakarta: Author.
- Lebih sering pada wanita (3-4x) dan ras kaukasia. Muncul pertama kali di sendi perifer
dan bersifat simetris.
Sumber : Setiati, S., Alwi, I., Sudayo, A. W., Simadibrata, M., Setyohadi, B., &
Syam, A. F. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (6th ed.). Jakarta: Interna
Publishing.
Kelompok 2
Usia yang lebih tua, riwayat penyakit dalam keluarga, dan jenis kelamin wanita
dikaitkan dengan peningkatan risiko RA, meskipun perbedaan jenis kelamin kurang
menonjol pada pasien yang lebih tua. Baik merokok saat ini dan sebelumnya
meningkatkan risiko RA (risiko relatif [RR] = 1,4, hingga 2,2 untuk perokok lebih
dari 40 bungkus tahun).
Kehamilan sering menyebabkan remisi RA, kemungkinan besar karena toleransi
imunologis. Paritas mungkin memiliki dampak jangka panjang; RA lebih jarang
didiagnosis pada wanita yang sudah pernah melahiran dibandingkan pada wanita yang
belum melahirkan (RR = 0.61). Menyusui menurunkan risiko RA (RR = 0,5 pada
wanita yang menyusui setidaknya selama 24 bulan), sedangkan menarche dini (RR =
1,3 untuk mereka yang menarke pada usia 10 tahun atau lebih muda) dan periode
menstruasi yang sangat tidak teratur (RR = 1,5) meningkatkan resiko. Penggunaan pil
kontrasepsi oral atau vitamin E tidak mempengaruhi risiko RA.
Sumber :
Wasserman, A. M. (2011). Diagnosis and Management of Rheumatoid
Arthritis. American Family Physician, 84(11), 1245-1252.
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial
setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi
daerah perivascular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh
bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada
jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus.
Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang (Setiati et al., 2014).
Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan,
sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.
Peran sel T. Induksi respons sel T pada artritis reumatoid di awali oleh interaksi
antara reseptor sel T dengan share epitope dari major histocompatibility complex
class II (MHCII-SE) dan peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau
sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang diekspresikan oleh APC antara lain
ICAM-1 (intracellular adhesion molecule-1) (CD54), OX40L (CD252), inducible
costimulator (ICOS) ligand (CD275), B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86), berpartisipasi
dalam aktivasi sel T melalui ikatan dençan lymphocyte function-associated antigen
(LFA)-1 (CD 112/CD18), OX40 (CD134), ICOS (CD278), and CD28. Fibroblast-like
synoviocytes (FLS) yang aktif mungkin juga berpartisipasi dalam presentasi antigen
dan mempunyai molekul tambahan seperti LFA-3 (CD58) dan ALCAM (activated
leukocyte cell adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi dengan sel T yang
mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin (IL)-6 dan transforming growth factor-
beta (TGF-B) kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel Th17 menginduksi
pengeluaran Il-17 (Setiati et al., 2014).
IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik dengan sitokin proinflamasi
lainnya (TNF-a dan IL-18) pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin,
produksi metalloproteinase, ekspresi ligan RANK/RANK (CD265/CD254), dan
osteoclastogenesis. Interaksi CD40L (CD 54) dengan CD40 juga mengakibatkan
aktivasi monosit/makrofag (Mo/Mac) sinovial, FLS, dan sel B. Walaupun pada
kebanyakan penderita AR didapatkan adanya sel T regulator CD4+CD25hi pada
sinovium, tetapi tidak efektif dalam mengontrol inflamasi dan mungkin di non-
aktifkan oleh TNF-a sinovial. IL-10 banyak didapatkan pada cairan sinovial tetapi
efeknya pada regulasi Th17 belum diketahui. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk menetukan struktur tersebut pada subset sel Th17 pada sinovium manusia
(Setiati et al., 2014).
Peran sel B. Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti,
meskipun sejumlah peneliti menduga ada beberapa mekanisme yang mendasari ket
erlibatan sel B. Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui mekanisme
sebagai berikut :
1. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal kostimulator yang penting
untuk clonal expansion dan fungsi efektor dari sel T CD4+.
2. Sel B dalam membran sinovial AR juga memproduksi sitokin proinflamasi seperti
TNF-a dan kemokin.
3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang memproduksi faktor
reumatoid (RF). AR dengan RF positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit
artikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi manifestasi ekstraartikular yang
lebih tinggi dan angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga bisa
mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang mengakibatkan aktiva dan
presentasi antigen kepada sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan
memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga memperantarai aktivasi
komplemen, kemudian secara bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg,
sehingga mencetuskan kaskade inflamasi.
4. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogenesis AR. Bukti
terbaru menunjukkan bahwa aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B.
Berdasarkan mekanisme diatas, mengindikasikan bahwa sel B berperanan penting
dalam penyakit AR, sehingga layak dijadikan target dalam terapi AR.
Sel B mature yang terpapar oleh antigen dan stimulasi TLR (Toll-like receptor ligand)
akan berdiferensiasi menjadi short-lived plasma cells atau masuk kedalam reaksi GC
(germinal centre) sehingga berubah menjadi sel B memori dan long-lived plasma cells
yang dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi membentuk kompleks imun
yang selanjut nya akan mengaktivasi sistem imun melalui reseptor Fc dan reseptor
komplemen yang terdapat pada sel target. Antigen yang diproses oleh sel B mature
selanjutnya disajikan kepada sel T sehingga menginduksi diferensiasi sel T efektor
untuk memproduksi sitokin proinflamasi, dimana sitokin ini diketahui secara langsung
maupun tidak langsung terlibat dalam destruksi tulang dan tulang rawan. Sel B mature
juga dapat berdiferensiasi menjadi sel B yang memproduksi IL-10 yang dapat
menginduksi respons autoreaktif sel T21 (Setiati et al., 2014).
Sumber :
Setiati, S., Alwi, I., Sudayo, A. W., Simadibrata, M., Setyohadi, B., & Syam, A. F.
(2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (6th ed.). Jakarta: Interna Publishing.
Rheumatoid Factors
Meskipun RF dapat dideteksi pada pasien dengan penyakit jaringan ikat lainnya,
isotipe RF sangat membantu dalam penatalaksanaan pasien RA dari saat diagnosis
sampai menentukan pilihan strategi terapeutik. Pengujian RF pada pasien RA
memiliki sensitivitas 60-90% dan spesifisitas 85%.
Sejumlah hipotesis telah dikemukakan untuk menjelaskan kemungkinan peran kunci
RF dalam RA, termasuk kapasitasnya untuk meningkatkan eliminasi kompleks imun
oleh makrofag, peningkatan sitotoksisitas antibodi antivirus, dan peningkatan
eliminasi parasit. Juga telah diajukan bahwa RF mempotensiasi presentasi antigen ke
sel T melalui serapan sel dendritik kompleks imun dengan antigen eksogen dan
melalui sel RF-B, yang tampaknya menjadi APC yang lebih efisien daripada sel B
lainnya. Akhirnya, mungkin bahwa sekresi cepat sejumlah besar RF afinitas rendah
mencegah aktivasi sel RF-B afinitas tinggi dan sel B tambahan.
Sumber :
Ingegnoli, F., Castelli, R., & Gualtierotti, R. (2013). Rheumatoid factors: Clinical
applications. Disease Markers, 35, 727-734.
Kelompok 2
Penyebab artritis rematoid berkaitan dengan disfungsi sistem imun. Hal tersebut dapat
terjadi karena faktor keturunan/herediter atau faktor genetik dan faktor didapat yaitu
adanya pemicu terjadinya reaksi autoimun dalam tubuh, misalnya faktor lingkungan
berupa rokok, infeksi bakteri, mikoplasma, virus serta faktor hormonal, obesitas dan
usia. Destruksi jaringan sendi terjadi melalui dua cara, pertama adalah destruksi oleh
protease, kolagenase dan enzim hidrolitik lain. Enzim-enzim tersebut memecah
kartilago, ligamen, tendon dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama-sama
dengan radikal O2 dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear
dalam cairan sinovial. Kedua faktor infeksi karena mikroorganisme menghasilkan
antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita (Rahmawati, 2018).
Membran sinovial pada penderita artritis rematoid mengalami hiperplasia,
peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel-sel pencetus inflamasi. Persendian yang
terkena bisa mengenai sendi besar, kecil dan bersifat kronik progresif. Mula-mula
dekalsifikasi tulang di daerah sekitar persendian, kemudian terjadi kerusakan tulang,
kapsul artikuler dan tulang rawan artikuler. Semakin lama nyeri semakin bertambah
hingga fungsi sendi menurun. Akumulasi autoantibodi dari persendian selanjutnya
mengikuti sirkulasi darah sistemik menyebabkan gangguan terhadap organ-organ lain
di seluruh tubuh, seperti jantung, pembuluh darah, ginjal, hati, dll. Oleh karenanya
diagnosis yang tepat sangat penting agar dapat diterapi lebih awal sehingga mencegah
komplikasi (Rahmawati, 2018).
Di bidang genetik, artritis rematoid berhubungan dengan major histocompatibility
complex class II antigen HLA-DRB 1 0404 dan DRB1 0401. Fungsi utama molekul
HLA class II adalah untuk mempresentasikan antigenik peptida kepada CD4+ sel T
yang menunjukkan bahwa artritis rematoid disebabkan oleh artritogenik. Antigen ini
bisa berupa antigen eksogen seperti virus atau protein antigen endogen yakni
rheumatoid factor dan citrullinated protein (Rahmawati, 2018).
Antigen eksogen dan endogen tersebut mengaktifasi sel T CD4+ yang kemudian
menstimulasi monosit, makrofag dan sinovial fibroblas untuk memproduksi
interleukin 1, interleukin 6 dan TNF α untuk mensekresikan matriks metalloproteinase
melalui hubungan antar sel dengan bantuan CD69 dan CD 11 melalui pelepasan
mediator-mediator pelarut seperti interferon ⋎ dan interleukin 17. Interleukin 1,
interleukin 6 dan TNF α merupakan kunci terjadinya inflamasi pada artritis rematoid.
Aktifasi sel T CD4+ juga menstimulasi sel B melalui kontak sel secara langsung dan
ikatan dengan α1β1 integrin, CD40 ligan dan CD 28 memproduksi immunoglobulin
meliputi rheumatoid factor dan berbagai jenis citrullinated protein. Rheumatoid factor
dan anti-citrullinated protein mengaktifkan komplemen melalui pembentukan imun
kompleks (Rahmawati, 2018).
Aktifasi CD4+ sel T juga mengekspresikan osteoklastogenesis yang menyebabkan
gangguan sendi. Aktifasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga menstimulasi
angiogenesis sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial
penderita artritis rematoid (Rahmawati, 2018).
Sumber :
Rahmawati, F. (2018). Antibodi mutated citrullinated Vimentin sebagai
Biomarker Deteksi Dini Artritis Rematoid. Inovasi, 20(1), 48-57.
Kelompok 2
Rheumatoid
Factor
Rheumatoid factor merupakan antibodi poliklonal yang mempunyai determinan
antigenik pada fragmen Fc immunoglobulin. Rheumatoid factor mempunyai struktur
suatu immunoglobulin G didalam immunoglobulin M.
Rheumatoid factor merupakan autoantibodi yang diketahui pertama kali dan memiliki
hubungan dengan artritis rematoid. Pemeriksaan serologi rheumatoid factor telah
digunakan secara luas untuk mendeteksi penyakit artritis, namun tidak spesifik pada
diagnosis artritis rematoid. Oleh karena rheumatoid factor yang tidak spesifik tersebut,
diperlukan suatu penanda yang lebih spesifik untuk artritis reumatoid yaitu anti-
citrullinated peptide antibody (ACPA) (Rahmawati, 2018).
Sumber :
Rahmawati, F. (2018). Antibodi mutated citrullinated Vimentin sebagai
Biomarker Deteksi Dini Artritis Rematoid. Inovasi, 20(1), 48-57.
PENEGAKAN DIAGNOSA
ANAMNESA
Pasien dengan RA biasanya datang dengan
- rasa sakit dan kekakuan pada beberapa sendi. Pergelangan tangan, sendi
interphalangeal proksimal, dan sendi metacarpophalangeal paling sering
terkena.
- Kekakuan pagi hari yang berlangsung lebih dari satu jam menunjukkan
etiologi inflamasi.
- Adanya pembengkakan yang tidak rata karena sinovitis atau penebalan
sinovial yang halus dapat teraba pada pemeriksaan sendi.
- Pasien mungkin juga datang dengan lebih banyak arthralgia ( nyeri sendi )
lamban sebelum timbulnya pembengkakan sendi yang tampak secara klinis.
- Gejala sistemik dari kelelahan, penurunan berat badan, dan demam ringan
dapat terjadi dengan penyakit aktif (Wasserman, 2011).
PEMERIKSAAN FISIK
Beberapa manifestasi klinik pada penderita artritis rematoid sangat bervariasi, yaitu :
a. Berbagai gejala konstitusional, misalnya malaise/lelah, kurang nafsu makan,
penurunan berat badan dan demam.
b. Poliartritis simetris (peradangan sendi pada sisi kiri dan kanan) terutama pada
sendi perifer. Hampir semua sendi diartrodial (sendi yang dapat digerakkan
dengan bebas) dapat terserang artritis.
c. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam dapat bersifat umum
terutama menyerang sendi-sendi. (Pada osteoartritis peradangan tulang dan
sendi, berlangsung beberapa menit kurang dari satu jam).
d. Artritis erosif pada gambaran radiologi. Peradangan sendi kronik
mengakibatkan pengikisan ditepi tulang.
e. Deformitas : kerusakan struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Pergeseran ulnar atau deviasi jari, pergeseran sendi pada tulang telapak tangan
dan jari. Tulang rawan dari sendi-sendi hancur dan mengakibatkan deformitas.
Pada kaki terdapat tonjolan kaput metatarsal yang timbul sekunder dari
subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami
pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan
ekstensi.
f. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan. Lokasi tersering deformitas
adalah bursa olekranon (sendi siku) atau disepanjang permukaan ekstensor
lengan.
g. Manifestasi ekstra-artikular (diluar sendi), reumatik juga menyerang organ-
organ lain diluar sendi seperti keratokonjungtivitis, sistem kardiovaskular.
(Rahmawati, 2018)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Penyakit autoimun seperti RA sering ditandai dengan adanya autoantibodi. Faktor
reumatoid tidak spesifik untuk RA dan mungkin muncul pada pasien dengan penyakit
lain, seperti hepatitis C, dan pada orang tua yang sehat. Antibodi protein anti sitrulin
lebih spesifik untuk RA dan mungkin berperan dalam patogenesis penyakit. Kira-kira
50 sampai 80 persen orang dengan RA memiliki faktor reumatoid, antibodi protein
anti sitrulin, atau keduanya. Pasien dengan RA mungkin memiliki hasil tes antibodi
antinuklear positif, dan tes ini penting untuk prognostik pada bentuk remaja dari
penyakit ini. Kadar protein C-reaktif dan laju sedimentasi eritrosit sering meningkat
dengan RA aktif, dan reaktan fase akut ini merupakan bagian dari kriteria klasifikasi
RA yang baru. Kadar protein C-reaktif dan laju sedimentasi eritrosit juga dapat
digunakan untuk mengikuti aktivitas dan respons penyakit. untuk pengobatan.
(Wasserman, 2011).
Hitung darah lengkap dasar dengan perbedaan dan penilaian fungsi ginjal dan hati
sangat membantu karena hasil dapat mempengaruhi pilihan pengobatan (misalnya,
pasien dengan insufisiensi ginjal atau trombositopenia yang signifikan kemungkinan
tidak akan diresepkan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Anemia ringan
penyakit kronis terjadi pada 33 sampai 60 persen dari semua pasien RA, meskipun
kehilangan darah gastrointestinal juga harus dipertimbangkan pada pasien yang
memakai kortikosteroid atau NSAID. Methotrexate dikontraindikasikan pada pasien
dengan penyakit hati, seperti hepatitis C, dan pada pasien dengan gangguan ginjal
yang signifikan. Terapi biologi, seperti inhibitor TNF, memerlukan tes tuberkulin
negatif atau pengobatan untuk tuberkulosis laten. Reaktivasi hepatitis B juga dapat
terjadi dengan penggunaan inhibitor TNF. Radiografi tangan dan kaki harus dilakukan
untuk mengevaluasi karakteristik perubahan erosif periartikular, yang mungkin
menunjukkan subtipe RA yang lebih agresif (Wasserman, 2011).
Sumber :
Rahmawati, F. (2018). Antibodi mutated citrullinated Vimentin sebagai
Biomarker Deteksi Dini Artritis Rematoid. Inovasi, 20(1), 48-57.
Wasserman, A. M. (2011). Diagnosis and Management of Rheumatoid Arthritis.
Kelompok 2
Dalam menegakkan diagnosis RA, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan laboratorium. Kurang lebih 75% penderita
RA adalah wanita. Keluhan biasanya berupakan nyeri pada sendi-sendi tangan dan
kaki, selain itu pada sendi bahu, panggul, dan tulang belakang terutama servikal. Jika
pada pria, lebih sering bermanifestasi pada sendi-sendi besar. 73% RA pada pria akan
bersifat erosif dan 55% pada wanita (Ahmad, 2019).
Pada fase awal, karakteristik RA umumnya adalah keterlibatan sendi-sendi tangan dan
kaki (sendi metacarpophalangeal, proximal interphalangeal, dan sendi
metatarsophalangeal). Manifestasi klinis sistemik ditemukan keluhan seperti
kelemahan, mudah lelah, dan penurunan berat badan sering terjadi. Pasien RA
biasanya mengeluh nyeri pada sendi baik pada saat istirahat maupun saat beraktivitas,
disertai dengan sendi yang bengkak dan kaku. Pembengkakan sendi ini disebabkan
oleh penebalan sinovium dan efusi sinovial. Pembengkakan ini semakin tampak jelas
oleh karena disertai dengan adanya atrofi dari otot-otot sekitarnya. Kekakuan sendi,
yang disebut dengan Morning Stiffness oleh karena RA berlangsung ± 45 menit bila
tidak diintervensi dengan terapi, dan pasien sering mengeluh bahwa pagi adalah saat-
saat paling menyakitkan. Stiffness seringkali sulit diinterpretasikan, namun dapat
dideskripsikan sebagai kelambatan atau kesulitan menggerakkan sendi saat beranjak
berdiri dari tempat tidur atau bergerak setelah berdiam diri setelah beberapa lama
(Ahmad, 2019).
Pada pemeriksaan fisik, semua pasien dengan kecurigaan arthritis meliputi
penilaian edema/swelling, nyeri tekan, dan keterbatasan gerak sendi, disertai dengan
pemeriksaan umum yang sistematik. Nyeri tekan sendi dinilai dengan melakukan
palpasi dan kompresi. Secara klinis, kerusakan sendi dan deformitas dapat ditandai
dengan adanya keterbatasan gerak sendi, malalignment, subluksasi, krepitasi, dan
instabilitas ligamen kolateral. Sendi dapat dikatakan mengalami keterbatasan aktivitas
bila oedema, nyeri saat ditekan (pada pemeriksaan palpasi), atau adanya nyeri pada
gerak pasif (Ahmad, 2019).
Pada pemeriksaan sendi dimulai dengan inspeksi untuk melihat adanya tanda
oedema, erithema, dan deformitas. Pasien juga diminta untuk melakukan gerak aktif,
untuk mengetahui apakah terdapat nyeri saat melakukan gerak aktif, dan adanya
keterbatasan/limitasi fungsi sendi. Khusus untuk pemeriksaan gerak sendi pada lutut,
yaitu dinilai dengan menginstruksikan pasien melakukan fleksi maksimal dan ekstensi
maksimal dari sendi lutut. RA yang melibatkan kedua sendi lutut (bilateral)
merupakan hal yang sering terjadi pada RA. Adanya akumulasi cairan (efusi) pada
lutut dapat dikonfirmasi dengan adanya ballotement pada patella, atau merangsang
bulge sign. Adanya efusi sendi lutut atau sinovitis menghambat fleksi sendi lutut dan
bahkan dapat membatasi ekstensi lutut. Aktivasi dari nosiseptor di sekitar sendi lutut
oleh karena efusi dan sinovitis menyebabkan keterbatasan aktivitas otot-otot
kuadriseps dan atrofi otot. Seringkali didapatkan kista popliteal, pada saat pasien
posisi berdiri dari belakang. Deformitas berkembang dengan cepat pada RA oleh
karena adanya spasme otot, atrofi otot, subluksasi dan dislokasi yang disebabkan oleh
kapsul sendi dan ligamen yang teregang, kontraktur ligamen dan kapsul sendi oleh
karena proses fibrosis, dan kadangkala ruptur dari tendon (tangan) (Ahmad, 2019).
Dari pemeriksaan radiologis (X-ray) dapat ditemukan tanda-tanda sesuai
karakteristik dari RA. Pada fase awal ditemukan pembengkakan periartikuler dan
efusi sendi, diikuti dengan proses osteoporosis regional, dan selanjutnya muncul area-
area osteolitik daerah tulang subkondral dan penyempitan celah sendi. Pada fase
lanjut dapat ditemukan tanda subluksasi atau dislokasi (seringkali pada sendi tangan
dan kaki), atau adanya bony ankylosis (Ahmad, 2019).
Dapat dilakukan juga pemeriksaan lab yaitu dilakukan analisis cairan sinovial
pada penderita RA, terutama pada RA lutut. Pada dasarnya tidak didapatkan tanda-
tanda patognomonik dari analisis cairan sendi RA, namun analisis ini berguna untuk
menyingkirkan kemungkinan peran infeksi dari proses patologis yang dialami pasien
pada lututnya, atau adanya proses kristalinisasi. Pasien dengan RA memiliki risiko
komplikasi menjadi arthritis septik (seringkali disebabkan oleh infeksi stafilokokus
atau streptokokus). Biopsi sinovial bukan merupakan tindakan rutin untuk
menegakkan diagnosis RA, kecuali bila dicurigai adanya proses spesifik kronik yang
terjadi (seperti tuberkulosis). Anemia normositik hipokrom umum ditemukan dan
merupakan refleksi dari abnormalitas eritropoiesis yang terjadi akibat aktivitas
penyakit. Hal ini dapat dipicu oleh kehilangan darah gastrointestinal akibat obat-
obatan anti-inflamasi non-steroid. Pada fase aktif, konsentrasi LED dan CRP
umumnya meningkat. Tes serologis untuk faktor rheumatoid memberi hasil positif
pada 80% pasien. Tes tersebut tidak spesifik dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosa
RA. Tes yang lebih baru seperti tes untuk antibodi anti-CCP lebih spesifik namun
lebih mahal (Ahmad, 2019).
Sumber : Ahmad, F. (2019). Reumatoid Arthritis. JK Unila, 3(1), 167-75.
DMARD
DMARD dapat bersifat biologis atau nonbiologis. Agen biologis termasuk antibodi
monoklonal dan reseptor rekombinan untuk memblokir sitokin yang mendorong
kaskade inflamasi yang bertanggung jawab atas gejala RA. Methotrexate
direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien dengan RA aktif,
kecuali kontraindikasi atau tidak ditoleransi. Leflunomide (Arava) dapat digunakan
sebagai alternatif untuk methotrexate, meskipun efek samping gastrointestinal lebih
umum. Sulfasalazine (Azulfidine) atau hydroxychloroquine (Plaquenil)
direkomendasikan sebagai terapi tunggal pada pasien dengan penyakit rendah
aktivitas atau tanpa fitur prognostik yang buruk (mis., seronegatif, RA nonerosif).
Terapi kombinasi dengan dua atau lebih DMARD lebih efektif daripada monoterapi.
Namun, efek samping mungkin juga lebih besar. Jika RA tidak terkontrol dengan baik
dengan DMARD nonbiologis, DMARD biologis harus dimulai. Penghambat TNF
adalah terapi biologis lini pertama dan paling banyak dipelajari dari agen ini. Jika
inhibitor TNF tidak efektif, terapi biologis tambahan dapat dipertimbangkan.
Penggunaan lebih dari satu terapi biologis secara bersamaan (misalnya, adalimumab
[Humira] dengan abatacept [Orencia]) tidak disarankan karena tingkat efek samping
yang tidak dapat diterima (Wasserman, 2011).
TERAPI PELENGKAP
Intervensi diet, termasuk diet vegetarian dan Mediterania, telah dilakukan dipelajari
dalam pengobatan RA tetapi masih belum ada bukti manfaat yang meyakinkan. Selain
itu, termoterapi dan terapi USG untuk RA belum dipelajari secara memadai. Tinjauan
Cochrane tentang pengobatan herbal untuk RA menyimpulkan bahwa asam gamma-
linolenat (dari evening primrose atau minyak biji kismis hitam) dan Tripterygium
wilfordii (pohon anggur dewa petir) memiliki manfaat potensial. Itu penting untuk
menginformasikan pasien bahwa efek samping yang serius telah dilaporkan dengan
penggunaan terapi herbal (Wasserman, 2011).
DURASI PENGOBATAN
Remisi dapat diperoleh pada 10 hingga 50 persen pasien RA, bergantung pada
bagaimana remisi didefinisikan dan intensitas terapi. Remisi lebih mungkin terjadi
pada pria, bukan perokok, orang yang berusia kurang dari 40 tahun, dan pada mereka
yang menderita penyakit yang mulai terlambat ( pasien yang lebih tua dari 65 tahun),
dengan durasi penyakit yang lebih pendek, dengan aktivitas penyakit yang lebih
ringan, tanpa peningkatan reaktan fase akut, dan tanpa faktor reumatoid positif atau
anti- temuan antibodi protein citrullinated. Setelah penyakit terkontrol, dosis obat
dapat diturunkan dengan hati-hati ke jumlah minimum yang diperlukan. Pasien akan
membutuhkan pemantauan yang sering untuk memastikan gejala yang stabil, dan
peningkatan pengobatan yang cepat dianjurkan dengan kambuhnya penyakit
(Wasserman, 2011).
PENGGANTIAN SENDI
Penggantian sendi diindikasikan bila terjadi kerusakan sendi yang parah dan
pengendalian gejala yang tidak memuaskan dengan manajemen medis. Hasil jangka
panjangnya bagus, dengan hanya 4 sampai 13 persen penggantian sendi besar yang
membutuhkan revisi dalam 10 tahun. Pinggul dan lutut adalah sendi yang paling
sering diganti (Wasserman, 2011).
Sumber :
Wasserman, A. M. (2011). Diagnosis and Management of Rheumatoid Arthritis.
American Family Physician, 84(11), 1245-1252.
Kelompok 2
1) Edukasi
Penjelasan penyakit
Penjelasan tentang diet dan terapi komplementer
2) Latihan / program rehabilitasi
Pada saat diagnosis RA ditegakkan maka program latihan fisik aerobic bisa
direkomendasikan berdasarkan kondisi penyakit dan komorbitas yang ada.
3) Terapi farmakologi
a. DMARDs
Prinsip-prinsip penggunaan DMARD
1. Semua pasien AR yang diagnosisnya sudah tegak harus mendapatkan
DMARD sedini mungkin kecuali ada kontraindikasi. Idealnya dalam waktu 3
bulan sejak timbulnya gejala.
2. Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil. Sebagian besar pasien AR
akan membaik selama kehamilan. Hasil observasi dari sejumlah penelitian
didapatkan 60-94% AR akan mengalami perbaikan selama kehamilan dan
sebagian besar (74-76%) terjadi pada trimester pertama. Tetapi kemudian
terdapat risiko terjadi kekambuhan pada saat postpartum. Tidak didapatkan
peningkatan kejadian abortus atau kematian ibu hamil dengan AR. Pengobatan
AR dengan kehamilan merupakan masalah khusus, karena sebagian besar obat-
obat yang digunakan pada pengobatan AR (DMARD) belum terbukti
keamananya sehingga tidak bisa diberikan pada kehamilan. Berdasarkan
laporan penelitian pada pasien LES, klorokuin dan azatioprin dapat diberikan
pasien yang hamil sehingga obat tersebut dapat dipertimbangkan untuk
diberikan pada pasien AR yang hamil. Kortikosteroid merupakan obat yang
dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada wanita hamil dengan AR, tetapi
perlu penilaian lebih cermat mengenai manfaat dan risikonya sebelum
memberikan obat ini. Pengelolaan pasien seperti ini perlu kerjasama yang baik
antara dokter kebidanan dan dokter ahli penyakit dalam konsultan reumatologi.
b. Agen Biologis
Masing-masing pasien mempunyai gambaran klinik dan aktivitas penyakit yang
berbeda-beda dengan beberapa pasien tidak menunjukkan respon yang
memuaskan bahkan dengan kombinasi DMARD nonbiologik. Dengan
ditemukannya agen biologic yang baru maka timbul harapan adanya kontrol
terhadap penyakit pada pasien-pasien tersebut.
Sumber : Perhimpunan Reumaologi Indonesia, 2014
c. Corticosteroids
Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang bisa menjadi bagian dari pengobatan
AR, tapi sebaiknya dihindari pemberian bersama OAINS sambil menunggu
efek terapi dari DMARDS. Berikan kortikosteroid dalam jangka waktu
sesingkat mungkin dan dosis serendah mungkin yang dapat mencapai efek
klinis. Dikatakan dosis rendah jika diberikan kortiksteroid setara prednison <
7,5 mg sehari dan dosis sedang jika diberikan 7,5 mg – 30 mg sehari. Selama
penggunaan kortikosteroid harus diperhatikan efek samping yang dapat
ditimbulkannya seperti hipertensi, retensi cairan, hiperglikemi, osteoporosis,
katarak dan kemungkinan terjadinya aterosklerosis dini.
Sumber :
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Jakarta: Author.
9. Prognosis Rheumatoid
Arthritis Kelompok 1
Demam dan gejala sistemik yang timbul biasanya hilang dalam waktu beberapa bulan,
namun arhtritis yang diderita dapat menjadi masalah dalam jangka panjang. Arhritis
biasanya masih tetap ada meskipun gejala-gejala sistemik telah hilang
Arthritis yang diderita dapat menjadi kronik dan menetap hingga usia dewasa
Arthritis yang menetap pada pergelangan tangan sering terjadi apabila tidak
diberi pengobatan secara agresif
Pengobatan biologis terbaru kemungkinan sangat bermanfaat dalam
menghentikan kerusakan sendi yang progresif
Sumber:
Shiel, W. C. (2007). Still’s disease (Systemic Onset Juvenile Idiopathic Rheumatoid
Arthritis). Retrieved from https://www.medicinenet.com/stills_disease/article.htm
Kelompok 2
Radang sendi. Deteksi IgM RF juga berguna sebagai prog-indeks nostik, dan
beberapa penelitian menunjukkan bahwa imunosuperan pengobatan tekan dapat
menurunkan kadar RF serum. Namun, kegunaan klinis RF dalam memantau aktivitas
penyakit dan respon pengobatan terbatas.
Telah terbukti bahwa penurunan progresif dalam tingkat RF sejalan dengan
penurunan aktivitas klinis pada pasien yang dirawat dengan obat DMARDs
tradisional atau agen biologis seperti infliximab (Ingegnoli, 2013)
Sumber :
Ingegnoli, F., Castelli, R., & Gualtierotti, R. (2013). Rheumatoid factors: Clinical
applications. Disease Markers, 35, 727-734.
Sumber:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Jakarta: Author.
Kelompok 2
Komplikasi
Fixed Deformities
Komplikasi ini sering disebabkan oleh kekurang hati-hatian dan kecerobohan.
Pemeriksaan awal dan perencanaan dapat mencegah deformitas postural yang dapat
menyebabkan kontraktur sendi.
Kelemahan otot
Derajat ringan dari miopati atau neuropati jika dikombinasikan dengan inaktivitas
yang lama dapat menyababkan kelemahan otot. Keadaan ini harus dicegah dengan
mengontrol inflamasi, fisioterapi, dan kontrol sakit. Jika tidak dapat dicegah maka
ahli bedah harus diberitahu tentang kesulitan rehabilitasi pasca operasi.
Ruptur sendi
Terkadang, permukaan sendi dapat mengalami ruptur sehingga isi dari synovial dapat
bocor ke jaringan lunak. Terapi diarahkan untuk synovitis, seperti : memasang spint,
injeksi pada sendi, dan synovectomy sebagai pengobatan garis
kedua.
Infeksi
Pasien dengan RA terutama mereka yang mengunakan terapi steroid, rentan terhadap
infeksi. Perburukan klinis yang tiba-tiba, peningkatan sakit pada satu sendi harus
dipikirkan adanya artritis septik dan diperlukannya aspirasi sendi.
Kompresi spinal cord Komplikasi dari instabilitas sendi vertebra cervical (atlanto-
axial) jarang terjadi. Awalnya terdapat kelemahan dan tanda-tanda cedera upper motor
neuron pada extremitas bawah. Jika terdapat hal ini maka imobilisasi dari leher dan
fusi spinal harus dilakukan secepatnya.
Systemic vasculitis
Komplikasi vaskulitis jarang tetapi dapat menjadi serius. Steroid dan obat
imunosupresif seperti IV cyclophosphamide mungkin diperlukan.
Amyloidosis
Kompikasi ini jarang tetapi berpotensi letal pada RA yang lama. Pasien mengalami
proteinuria dan kegagalan ginjal yang progresif. Ditemukannya amyloid pada biopsi
ginjal atau rektal merujuk pada diagnosis. Kontrol terhadap proses inflamasi dapat
mengurangi komplikasi ini secara signifikan.
Sumber : Ahmad, F. (2019). Reumatoid Arthritis. JK Unila, 3(1), 167-75.
Kelompok 2
Pasien yang harus dirujuk ke spesialis penyakit dalam/reumatologis adalah
1. Setiap orang dengan dugaan sinovitis persisten yang belum diketahui sebabnya.
Sendi kecil pada tangan atau kaki yang terkena
Lebih dari satu sendi yang terkena
Telah ada keterlambatan kurang lebih 3 bulan antara timbulnya gejala dan
pergi ke dokter
2. Setiap orang dengan dugaan sinovitis menetap yang belum diketahui sebabnya
dengan tes darah yang menunjukan reaktan fase akut normal atau RF negatif
3. Pasien dengan sinovitis pada pemeriksaan klinis perlu dianjurkan pemeriksaan RF.
Jika tetap dicurigai menderita AR meskipun RF negatif, pasien perlu diperiksa ACPA.
Sumber:
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Jakarta: Author.
DAFTAR PUSTAKA :
Ahmad, F. (2019). Reumatoid Arthritis. JK Unila, 3(1), 167-75.
BCGuidelines.ca. (2012). Rheumatoid Arthritis : Diagnosis, Management and
Monitoring. BMCA.
Ingegnoli, F., Castelli, R., & Gualtierotti, R. (2013). Rheumatoid factors: Clinical
applications. Disease Markers, 35, 727-734.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Jakarta: Author.
Rahmawati, F. (2018). Antibodi mutated citrullinated Vimentin sebagai Biomarker
Deteksi Dini Artritis Rematoid. Inovasi, 20(1), 48-57.
Setiati, S., Alwi, I., Sudayo, A. W., Simadibrata, M., Setyohadi, B., & Syam, A. F.
(2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (6th ed.). Jakarta: Interna Publishing.
Shiel, W. C. (2007). Still’s disease (Systemic Onset Juvenile Idiopathic Rheumatoid
Arthritis). Retrieved from
https://www.medicinenet.com/stills_disease/article.htm
Wasserman, A. M. (2011). Diagnosis and Management of Rheumatoid Arthritis.
American Family Physician, 84(11), 1245-1252.