Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN SGD

BLOK HEMATOIMUNOLOGI

SKENARIO ANEMIA

OLEH:

KELOMPOK III

Ekadana Prayoga Suryadi (0606011810003)

Mayoree Winarko (0606011810010)

Kerta Nendra Ateja (0606011810018)

Bella M. Lifindra (0606011810022)

Almer Fathoni Syahda (0606011810028)

Maria Kenchyntia Atalanta Klau (0606011810035)

Divya Rachmadana Ikvanka P.I (0606011810039)

Ardelia Citra Videla (0606011810042)

Azyvati karesna putra (0606011810045)

Nama Tutor

dr. Jemima Lewi Santoso, M.Si.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CIPUTRA

SURABAYA

2020

I
DAFTAR ISI

Cover ...................................................................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................................................ii

Skenario ................................................................................................................ 1

Anamnesa .............................................................................................. 1

Pemeriksaan Fisik ................................................................................. 2

Pemeriksaan Penunjang......................................................................... 3

Keywords ............................................................................................................. 3

Main Problem ........................................................................................................ 4

Hipotesa Awal ....................................................................................................... 4

Mind Map Awal .................................................................................................... 5

Learning Issues ..................................................................................................... 6

Pembahasan ........................................................................................................... 7

Hipotesa Akhir ......................................................................................................23

Mind Map Akhir ...................................................................................................26

Referensi ...............................................................................................................27

II
SKENARIO
Seorang anak perempuan umur 3 tahun dirujuk dari klinik rawat inap ke IGD RS
dengan keluhan pucat dan lemas tiba-tiba.

MORE INFORMATION
ANAMNESA
 Keluhan pucat dan lemas tiba-tiba muncul langsung di hari itu,
 Pucat dan lemas baru hari ini
 Seminggu sebelumnya pasien menderita batuk dan deman serta di diagnosa
menderita pneumonia. Hari ketujuh mendapat obat suntik ‘ceftriaxone’.
Diberikan IM 1 gram/hari selama 6 hari dan menunjukan perubahan gejala
 Hasil pemeriksaan sebelum penyuntikan ceftriaxone hari ke 7:
o Hb : 10,2gr/dl
o HCT: 29%
o WBC : 9.300
o Trombosit : 338.000
 Tidak ada riwayat penyakit seperti ini sebelumnya
 Tidak ada riwayat keluarga yang merasakan penyakit ini
 Tidak ada alergi obat atau makanan
 Lingkungan sekitar tidak ada yang merasakan ini
 Tidak ada sesak
 Nafsu makan normal
 Badan anak mulai tampak kuning
 Pasien mendapat ceftriaxone IM 1gr/ hari selama 6 hari dan menunjukkan
perubahan gejala klinis
 Selang 30 menit selang pemberian ceftriaxone hari ke-7, anaknya mengalami
pucat dan lemas secara tiba-tiba, ibu penderita juga melihat kencing yang
keluar dari anaknya bewarna gelap dan tubuh anak bewarna kuning. Oleh
karena itu pasien dirujuk ke RS. Saat perjalanan, ada penurunan kesadaran
waktu perjalanan ke rumah sakit.

III
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
KU : Tampak Pucat
Kesadaran : Letargis
TB : 85 cm, BB : 15 kg; Gizi Baik
TTV :
Tensi : 80/60 mmHg
HR : 160x
RR : 40x
Temp : 36,8
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Kepala :
Bentuk : Mesocephal,
Rambut : warna hitam, mudah dicabut
Wajah : Edem (-), old man face (-)
Mata :
Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (+/+)
Mulut :
Mukosa : Basah, Sianosis (-), Pucat (+)
Tenggorokan : Normal
Leher :
Pembesaran KGB (-)
Glandula Thyroid (-)
Deviasi Trakea (-)
Test Kaku Kuduk (-)
Pemeriksaan Dada
Bentuk : Normo chest, gerakan normal
Jantung :
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat
Paru-paru
Inspeksi :BtN

IV
Pemeriksaan Abdomen : BtN
Pemeriksaan Extremitas Atas D/S:
Akrar dingin, ikterus (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap
HCT : 5.3%
Hb : 3.2 g/dl
WBC : 9.300
Trombosit : 338.000 /mm3
Reticulocyte : 2,14
Hapusan darah tepi
Sferositosis (+)
Urinalisis
Hb : +4
Bilirubin Indirek : 1,12
LDH : 1125
Coomb Direct Antiglobulin : IgG +3, C3D +4
Haptoglobin : <7.56
Radiografi
X-Ray : Paru Infiltrat (-), Konsolidasi (-)

KEYWORDS
- Pucat dan lemas tiba-tiba
- Seminggu sebelumnya di diagnosa pneumonia
- Riwayat penyuntikan obat ceftriaxone
- Badan tampak kuning
- Warna urine gelap

V
HIPOTESA AWAL
1. Anemia hemolitik
2. Sindroma nefrotik
3. Sepsis

MAIN PROBLEM
Pucat dan lemas

VI
MIND MAP AWAL

VII
LEARNING ISSUES
1. DD
2. Definisi anemia , definisi anemia hemolitik ,dan definisi AIHA.
3. Etiologi Anemia Hemolitik
4. Klasifikasi Anemia Hemolitik dan AIHA
5. Faktor Resiko dan epidemiologi AIHA
6. Patogenesis da patofisiologi AIHA
7. Penegakan diagnosa AIHA
8. Tata laksana AIHA
9. Komplikasi AIHA
10. Pencegahan AIHA
11. Prognosis AIHA

VIII
PEMBAHASAN
1. Differential Diagnosa
Tabel 1. Differential Diagnosis Hemolisis
Kelas/Tipe Penyakit Mekanisme Site Tes Laborator
ium
Alloimmune Reaksi transfusi, peny Trapping, fa Intravascular Neonatal DA
akit hemolitik dari fet gositosis, ko T
us dan newborn mplemen
Autoimmune Panas dan dingin ane Trapping, fa Extravascular DAT
hemolytic an mia hemolitik autoim gositosis, ko atau intravasc
emia un mplemen ular
Drug induced Obat pemicu mikroan Direct, toxi Extravascular Schistocytes,
giopati trombotik, oba n, fagositosi atau intravasc DAT, Heinz b
t pemicu hemolitik im s, fragmenta ular odies
un, oxidative hemolys si
is
Envenomatio Serangga, kobra, brow Direct Extravascular -
n n recluse spider atau intravasc
ular
Enzymopathy Defisiensi G6PD atau Oxidative ly Intravascular Enzyme activi
piruvat kinase sis ty measureme
nt
Hemoglobino Penyakit sickle cell, th Trapping Extravascular Elektroforesis
pathy alassemia, defek hemo hemoglobin
globin
Infeksi Malaria, Babesia, Bart Direct, toxi Extravascular Pathogen-spe
onella, Clostridia, Ric n, fagositosi atau intravasc cific testing
kettsia, Haemophilus i s, fragmenta ular
nfluenza, HIV si
Membranopat Spherositosis heredite Trapping Extravascular Osmotic fragi
hy r, elliptositosis heredit lity test, eosi
er, PNH (Paroxysmal n-5-maleimid
Nocturnal Haemoglob e binding
inuria)
Microangiopa Thrombotic thromboc Fragmentasi Intravascular Peripheral blo

IX
thic hemolyti ytopenic purpura, hem od smear, ass
c anemia olytic uremic syndrom essment of A
e, disseminated intrav DAMTS13 ac
ascular coagulation, H tivity, liver en
ELLP syndrome, dru zyme tests, co
g-induced thrombotic agulation stud
microangiopathy y, kultur
Osmotik Freshwater drowning Osmotic lysi Intravascular -
s
Penyakit siste Malignant hypertensio Trapping, fra Extravascular Disease-speci
mik n, SLE, scleroderma, gmentasi atau intravasc fic testing
penyakit hati, vasculiti ular
des, hypersplenism
Trauma Endovascular devices, Fragmentasi, Intravascular -
aortic stenosis, extrac direct
orporeal membrane ox
ygenation, arterioveno
us malformation, marc
h hemoglobinuria, bur
ns
Sumber: Phillip,2018

2. Definisi anemia, anemia hemolitik dan AIHA


Anemia
Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin atau kadar Red
Blood Cell (RBC) di dalam darah (disesuaikan dengan usia tertentu pd anak- ana
k.). Hemoglobin dan hematokrit “normal” (volume sel darah merah yang padat) b
ervariasi secara substansial dengan usia dan jenis kelamin Ada juga perbedaan ras,
dengan kadar hemoglobin yang jauh lebih rendah pada anak-anak Afrika-Amerika
dibandingkan pada anak kulit putih non-Hispanik dengan usia yang sebanding. An
emia adalah sebuah masalah kesehatan global yang signifikan yang menyerang an
ak-anak dan wanita usia reproduksi.
Sumber : (Kliegman, R., et al. 2016).

X
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik diartikan suatu penyakit yang disebabkan penghancuran sel-sel
darah merah sebelum rentang hidup normal 120 hari. Itu mencakup banyak entitas
terpisah dan beragam yang memiliki kesamaan gambaran klinis dapat membantu
dalam mengidentifikasi hemolisis.
Sumber : Philips,2018

AIHA
Anemia hemolitik (AIHA) adalah penyakit imunoIogik yang didapat dimana sel
darah merah pasien diserang dan dihancurkan (hemolisis) oleh autoantibodi yang
diproduksi oleh sistem kekebalan pasien sendiri sehingga mengalami hemolisis
Sumber : Mack & Freedman, 2000

3. Etiologi Anemia Hemolitik

XI
Gambar 1 : Etiologi Anemia Hemolitik
Sumber : Petz & Garretty, 2004

XII
Gambar 2 : Etiologi Anemia Hemolitik
Sumber : Petz & Garratty, 2004

Anemia hemolitik autoimun (AIHA) adalah idiopatik atau primer pada 50% orang
dewasa dan 30% kasus pediatri. Penyakit limfoproliferatif, penyakit autoimun, da
n keganasan adalah penyebab paling umum dari AIHA sekunder pada orang dewa
sa. Sedangkan infeksi, gangguan autoimun, dan gangguan disregulasi kekebalan a
dalah penyebab mendasar yang paling umum pada pediatri. Karena lebih banyak g
angguan disregulasi kekebalan yang dikenali dan dijelaskan pada tingkat genetik,
proporsi AIHA sekunder meningkat, terutama pada pasien muda dan mereka deng
an sitopenia multilineage seperti sindrom Evans.
Riwayat pribadi dan keluarga yang menyeluruh, ditambah dengan pemeriksaan fis
ik yang cermat, harus memandu penyelidikan untuk penyebab AIHA yang menda
sari. Identifikasi awal bentuk sekunder ini bijaksana karena AIHA sekunder sering
kali sulit diobati tanpa mengobati penyebab yang mendasari. Anemia hemolitik i
mun yang diinduksi obat juga harus dipertimbangkan sejak dini, karena menghent
ikan pajanan terhadap agen penyebab seringkali cukup untuk memperbaiki masala
h. AIHA, termasuk pembentukan autoantibodi, limfosit B dan T autoreaktif, aktiv
asi komplemen, makrofag, sel NK, sel T regulator, dan sitokin abnormal. Kontrib

XIII
usi dari masing-masing sel dan mekanisme untuk AIHA mendasari heterogenitas
presentasi penyakit, keparahan, dan respon terhadap pengobatan. )
Sumber : Niss & Ware, 2018
Pada anak, AIHA dapat dibagi menjadi 3, yaitu tipe Warm AIHA, Cold AIHA
dan Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) (Hay et al., 2004) :

Klasifikasi / tipe AIHA

Gambar 4 : Klasifikasi AIHA


Sumber : Hay et al, 2004
4. Faktor resiko dan epidemiologi

Beberapa faktor resiko yang dapat menjadi pencetus AIHA :


1. Mengidap tipes, yaitu penyakit yang terjadi karena adanya infeksi bak
teri Salmonella typhi. 
2. Mengidap hepatitis, yaitu penyakit peradangan yang terjadi di hati
3. Mengidap infeksi virus Epstein-Barr, yaitu infeksi virus yang terjadi me
lalui cairan tubuh, terutama air liur. 
4. Memiliki gen / faktor keturunan : anemia hemolitik autoimun (AIHA),
yaitu penyakit kelainan seld arah.
5. Mengidap lupus, yaitu penyakit peradangan kronis karena sistem imu
n yang menyerang sel, jaringan, dan organ tubuh sendiri.
6. Mengidap rheumatoid arthritis, yaitu peradangan sendi karena sistem
kekebalan tubuh yang menyerang jaringannyasendiri. 
7. Mengidap kolitis ulseratif, yaitu peradangan kronis yang terjadi pada
usus besar.
8. Mengidap kanker darah.
9. Efek samping penggunaan obat-obatan tertentu.

XIV
10. Keracunan zat berbahaya, seperti arsenik atau timah.
11. Menjalani transfusi darah dari orang dengan golongan darah yang ber
beda.

Faktor resiko di atas jika tidak segera ditangani, maka akan menyebabkan
terjadinya anemia hemolitik yang semakin parah. (Pramono, 2005)

Faktor Resiko
Pada orang dengan sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi
akan direspons oleh tubuh dengan peningkatan eritropoesis dalam sumsum
tulang. Kemampuan maksimum sumsum tulang untuk meningkatkan
eritropoesis adalah 6 sampai 8 kali normal. Apabila derajat hemolisis tidak
terlalu berat (pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum
tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia.
Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi (cornpensated
hemolytic state). Akan tetapi, jika kemampuan kompensasi sumsum tulang
dilampaui maka akan terjadi anemia yang kita kenal sebagai anemia hemolitik
(Bakta, 2006).
Sumber : Bakta, 2006

Epidemiologi
AIHA dapat terjadi pada semua usia sangat jarang terjadi pada bayi dan
anak-anak (0,2 per 105 / tahun), memiliki prevalensi 17: 100.000 dan Angka
kematian pada anak-anak dengan AIHA idiopatik ini telah dilaporkan berada
di tingkat 10% . AIHA Bisa idiopatik/primer (50%) atau sekunder dari
sindrom limfoproliferatif (20%), penyakit autoimun (20%), infeksi dan tumor.
pada anak-anak dengan rata-rata usia diagnosis 3,8 tahun prevalensi primer
warm AIHA 37%. AIHA adalah kelainan hematologic yang jarang dengan
tingkat keparahan mulai dari gejala yang ringan sampai sindrom yang fatal
dalam waktu yang sangat singkat
Sumber : Zanella&Barcellini, 2014 ; DeLoughery, T. G. 2013. ; Naithani,
2007.

XV
5. Pathogenesis dan Patofisiologi AIHA
Patogenesis
Dalam kebanyakan kasus, etiologi utama AIHA tidak diketahui. Dalam warm
AIHA, epitop target dalam banyak kasus adalah protein Rh. Apa yang
menyebabkan sistem kekebalan menargetkan protein ini tidak diketahui, tetapi
satu teori adalah bahwa respons imun awal terhadap antigen asing mulai
bereaksi silang dengan protein Rh dan sistem kekebalan gagal menekan
respons autoreaktif ini, yang menyebabkan hemolisis. Dalam hemolisis yang
dimediasi IgG (warm), sel darah merah dilapisi dengan molekul IgG, yang
menandai sel untuk diambil dan dihancurkan oleh makrofag limpa. Dalam
cold AIHA, molekul IgM mengikat sempurna ke permukaan sel darah merah.
Jarang, hal ini dapat menyebabkan aktivasi kaskade komplemen penuh, yang
menghasilkan lisis sel darah merah, tetapi lebih sering dihentikan pada tahap
C3, yang mengarah ke sel darah merah berlapis C3 yang kemudian diambil
oleh makrofag hati
Sumber: DeLoughery, 2013.

Patofisiologi
Karena sebab yang belum diketahui, mungkin akibat gangguan regulasi imun,
terbentuk antibodi terhadap eritrosit sendiri (auto-antibodi). Eritrosit yang
diselimuti antibodi ini (sering disertai komplemen, terutama C3b) akan mudah
difagositir oleh makrofag terutama pada lien dan juga hati oleh adanya
resepror Fc pada permukaan makrofag yang kontak dengan porsi Fc dari
antibodi. Hemolisis terutama terjadi dalam bentuk hemolisis ekstravaskuler
yang akan menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik. Pada AIHA tipe dingin
juga terbentuk krioglobulin (Bakta, 2006).
Sumber : Bakta, I. M. (2006)

patofisiologi anemia hemolitik autoimun

XVI
a) Warm-Type Autoimmune Hemolytic Anemia

Warm autoantibody syndrome, terjadi akibat antibodi bereaksi maksimal d


engan antigen target pada suhu 37°C. Jenis antibodi hampir pada semua ka
sus adalah isotope IgG (Permono dkk, 2005). Warm AIHA memiliki 2 mekani
sme yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler, yaitu Fc receptor-mediat
ed immune adherence dan complement mediated hemolisis seperti pada ga

mbar di bawah (Berentsen et al, 2015).

(1) Fc receptor-mediated immune adherence

Eritrosit yang dilapisi autoantibodi dapat dihilangkan dari aliran


darah melalui 2 mekanisme, yaitu fagositosis dan lisis. Eritrosit yang
dianggap sebagai antigen membentuk suatu kompleks dengan autoantibodi
sehingga mengaktifkan protein komplemen yang menyebabkan terjadinya
fagositosis oleh makrofag limpa dan menyisakan sferosit (eritrosit yang
memiliki ukuran lebih bulat dan memiliki warna yang padat dibandingkan
dengan eritrosit normal, serta tidak memiliki warna pucat dibagian tengah).
Fc receptor merupakan reseptor yang berada pada makrofag menempel
pada IgG sedangkan CR1 pada makrofag merupakan ligan bagi protein
komplemen (C3b) akan berikatan sehingga menyebabkan terjadinya
fagositosis. Proses lisis terjadi dengan terbentuknya kompleks antigen-
autoantibodi yang menyebabkan protein komplemen teraktivasi dan
menyebabkan lisis.
(2) Complement mediated hemolisis

Adanya antigen menyebabkan IgG bergabung membentuk


kompleks yang mengaktifkan C1 kemudian terpecah menjadi C1q, C1r, dan

XVII
C1s. C1qrs selanjutnya mengaktifkan C2 dan C4 kemudian menyebabkan C3
teraktivasi dan membentuk C3b yang menempel pada kompleks antigen-
autoantibodi. Menempelnya C3b menyebabkan terjadinya lisis eritrosit,
dan proses ini terjadi di liver.

6. Penegakkan Diagnose AIHA

Gambar 5 : Algoritma Diagnosa AIHA


Sumber : Niss & Ware, 2018
 Berdasarkan algoritma di atas, diagnosis AIHA ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan yang dilakukan secara bertahap, yaitu: anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, darah tepi, dan Coombs
test.

 Gejala klinik AIHA sama seperti anemia, yang meliputi: pusing, pening,
mudah lelah, malaise, syncope, demam, kedinginan, nyeri
perut/punggung, pucat, takikardi, takipnea, hipotensi, atau syok
(Lanzkowsky, 2005).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pasien tampak anemis dan


sklera ikterik, urin berwarna gelap, gangguan pernapasan, pucat, serta
teraba splenomegali dan hepatomegali (Lanzkowsky, 2005).

a. Manifestasi Klinis

XVIII
Acquired Autoimmune Hemolytic Anemia merupakan kejadian yang jarang te
rjadi pada usia 4 bulan setelah kelahiran tetapi merupakan kasus acut anemia t
ersering setelah usia satu tahun. Hal ini mungkin terjadi karena adanya isolasi
masalah ataupun melibatkan adanya infeksi seperti hepatitis, upper respiratory
tract infection, mononucleosis ataupun cytomegalovirus infection. Selain kare
na hal diatas kemungkinan juga disebabkan karena Systemic Lupus Erythemat
osus dan beberapa syndrome autoimmune lainnya.
Penyakit biasanya memiliki manifestasi klinis yang akut seperti kelemahan, pu
cat, urine gelap, dan kelelahan. Adanya jaundice nampak menonjol dan gamba
ran splenomegaly. Beberapa kasus justru memiliki manifestasi chronic hingga
gangguan pada hepar. Gejala gejala lain mungkin dapat terjadi karena adanya
penyakit penyerta.
Sumber : Hay W, 2006

Pemeriksaan Fisik
 Umur 6-24 bulan, sering pada umur yang lebih tua
 Demam
 Pallor
 Jaundice ( menuju ke cirrhosis dan gagal liver)
 Hepatomegaly dan splenomegaly
 Konvulsi
 Prognosis: jelek
Sumber : (Lanzkowsky,2005)

Gejala yang dapat terlihat :


 Kondisi yang parah dan mengancam jiwa
 Tiba-tiba pucat, ikterus, urine berwarna gelap
 Splenomegali
 Temuan laboratorium

XIX
 Tingkat hemoglobin: sangat rendah
 Retikulositosis: sering terjadi
 Smear: sferosit menonjol, polikromasia, makrosit, autoaglutinasi
 Neutropenia dan trombositopenia (kadang-kadang)
 Peningkatan kerapuhan osmotik dan autohemolisis sebanding dengan
sferosit
 Tes Coombs langsung: positif
 Hiperbilirubinemia
 Tingkat haptoglobin: menurun tajam
 Hemoglobinuria, peningkatan urobilinogen urin.
(Lanzkowsky,2005)
 Pemeriksaan laboratorium dengan kriteria hemolisis terjadi peningkatan
jumlah retikulosit, peningkatan indirect bilirubin, penurunan haptoglobin,
peningkatan hemoglobin bebas (acute/severe hemolytic anemia),
peningkatan Lactat Dehidrogenase (LDH) (tidak sangat spesifik),
hemoglobinuria yang disebabkan peningkatan urobilinogen pada urin
(Sills, 2003). Hemoglobinemia terjadi akibat destruksi eritrosit 10-20 mL
intravaskuler yang akan memberi warna merah pada plasma. Bila diukur
maka kadar Hb bebas dalam plasma sekitar 50 mg/dL. Jika Hb bebas
meningkat menjadi 150-200 mg/dL, plasma berwarna merah terang dan
akan mulai terjadi hemoglobinuria. Hemoglobinuria dicurigai bila urine
berwarna merah, kecoklatan atau coklat hitam seperti coca cola.
Haptoglobin serum menurun pada hemolisis intravaskuler dan
ekstravaskuler (Bakta IM, 2006).

a. Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sfer


ositosis, polikromasi, maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulos
itopenia pada awal anemia. Kadar hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit
bervariasi disertai gambaran sel muda (metamielosit, mielosit, dan pro
mielosit), kadang disertai deng trombositopeni. Kadar indirect bilirubin
meningkat. Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritro
poitik normoblastik (Permono dkk, 2005). Tanda peningkatan eritropoie
sis dijumpai pada anemia hemolitik kronik, biasanya timbul setelah 5–10
hari setelah episode hemolitik akut. Tanda peningkatan eritropoiesis ada
lah hyperplasia normoblastic sumsum tulang dan plasma iron turn over
meningkat serta tanda eritropoeisis efektif seperti retikulositosis dan er
ythrocyte iron turn over meningkat (Bakta IM, 2006).

XX
b. Coombs test merupakan tes darah klinis yang digunakan sebagai standar
dalam diagnosis AIHA menunjukkan hasil positif. Direct Coombs test ber
guna dalam mendeteksi antibodi pada permukaan eritrosit, sedangkan i
ndirect Coombs test berguna dalam mengidentifikasi antibodi anti-eritro
sit pada serum. Tes ini dapat digunakan untuk membedakan warm AIHA
dengan cold AIHA. Jika hasil coombs test menunjukan hasil positif denga
n adanya IgG atau IgG+C3d dapat dikategorikan sebagai warm AIHA sed
angkan jika hasil menunjukkan positif dengan adanya C3d maka dapat di
kategorikan sebagai cold AIHA (Hoffman et al, 2014).

 Jika tidak ada penyakit yang mendasari, AIHA disebut sebagai primer atau i
diopatik. Ketika AIHA terjadi sebagai manifestasi atau komplikasi dari peny
akit lain, istilah AIHA sekunder digunakan. AIHA harus dianggap sekunder
hanya ketika : a)AIHA dan penyakit yang dicurigai terjadi bersamaan lebih
sering daripada secara kebetulan, b) AIHA sembuh dengan koreksi penyaki
t yang dicurigai, atau c) penyakit yang dicurigai menyebabkan penyimpang
an imunologis. Sebagai contoh, leukemia limfositik kronis (CLL), dan limfo
ma terjadi pada sekitar setengan dari semua kasus AIHA sekunder. Lupus e
ritematosus sistemik (SLE) dan penyakit autoimun lainnya juga menjadi pe
nyebab sejumlah besar kasus AIHA sekunder. (Packman, 2015)

Pemeriksaan Penunjang
 LDH Test

Sebagian besar pasien dengan hemolisis akan mengalami peningkatan dari LDH.
LDH sendiri merupakan enzyme yang yang ditemukan dalam sel darah merah. Uji
LDH dinilai sensitive. Bagaimanapun ula LDH level juga menggambarkan kondis
i penyakit hati dan paru yang disertai peningkatan LDH. Jadi temuan ini tidak beg
itu spesifik untuk kasus hemolisis.
 Serum Bilirubin Test

Hemoglobin disimpan oleh Haptoglobin dan heme dipecah menjadi bilirubin dan
urobilinogen yang dikeluarkan melalui urine. Bilirubin diproduksi dari pemecahan
heme tanpa konjugasi yang kemudian dibawa ke hepar untuk diubah menjadi conj
ugated bilirubile dan dieksresikan melalui empedu. Pada kasus hemolisis, konsent
rasi unconjugated bilirubin (indirect bilirubin) meningkat, pada kasus kelainan he

XXI
par direct bilirubin mengalami peningkatan. Namun demikian, pada kasus kelaina
n hepar juga terjadi peningkatan bilirubin direct ataupun indirect secara bersamaa
n, jadi uji tersebut tidak begitu dipercaya.
 Serum Haptoglobin

Haptoglobin akan mengikat hemoglobin serum dan dibawa ke hepar. Biasanya, pa


da kasus hemolisis kadar haptoglobin akan sangat rendah. Faktor perancu ketika t
erjadinya suatu akut inflammation  dan fase reaktan juga dapat mengalami pening
katan. Pada pasien dengan gangguan  hepar akan ditemukan kadar Haptoglobin ya
ng rendah akibat dari rendahnya sintesis. Lebih dari 2% populasi mengalami gang
guan kongenital sintesis haptoglobin. 
 Serum haemoglobin

Ketika proses hemolisis berlangsung cepat, hemoglobin bebas akan terlepas dan m
emenuhi binding capacity dari Haptoglbinndan akan beredar bebas di plasma. Hal
ini dapat diidentifikasi dari adanya perubahan warna plasma. Beberapa menit setel
ah adanya hemoglobin bebas dalam plasma, plasma akan berubah warna menjadi
pink. Pada hemolisis cepat, plasma akan berubah warna seperti cola.

 Hitung Retikulosit

Pada kasus hemolitik, pasien akan mengalami penurunan dari sel darah merah, sel
anjutnya akan didapati adanya kenaikan dari retikulosit yang merupakan salah sat
u bentuk kompensasi. Retikulosit merupakan sel darah merah muda yang mengan
dung RNA yang merupakan penanda adanya pelepasan sel darah merah yang beru
mur kurang dari 24 jam. Retikulosit secara tradisional diukur dengan hapusan dara
h dengan vital blue dan menghitung persentase melalui jumlah zat sel yang menye
rap zat warna tersebut. Persentase yang ada perlu ditinjau ulang dengan nilai hema
tokrit. Biasanya nilai hitung retikulosit berada diatas 1,5%. Jumlah retikulosit juga
dapat meningkat pada kasus perdarahan pada pasien anemia dibawah pengobatan t
ertentu. Selain itu, sebesar 25% AIHA tidak mengalami kenaikan nilai Retikulosit
akibat beberapa hal seperti faktor nutrisi, kerusakan sistem imun kerana adanya de
struksi sel prekursor dan gangguan erythropoiesis.  
 Blood Smear 

XXII
Parameter dari AIHA  adalah spherocytosis (kelainan bentuk sel darah merah) pad
a blood smear. Akan nampak adanya perubahan bentuk dari sel biconcave disk me
njadi bulat sebelum dirusak akibat adanya perusakan membran sel darah merah ol
eh makrofag di limpa. Bentukan sel darah merah yang bulat memiliki volume lebi
h kecil. Namun spherocytosis tidak spesifik untuk AIHA karena dapat terlihat pul
a pada kasus Spherocytosis herediter, Wilson’s disease. Pasien dengan AIHA aka
n mengalami peningkatan dari MCV. Hal ini bisa terjadi karena adanya peningkat
an reticulocytosis.
 Urinary Hemosiderin

Ketika hemoglobin dikeluarkan oleh ginjal di tubulus. Ketika tubulus cell tidak be
kerja, maka hemoglobin akan dikeluarkan melalui urine. Urin dapat terwarnai den
gan pewarnaan besi dan hasil positif pada beberapa tanda hemolisis. Hemosiderin
uria merupakan tanda akhir dari hemolisis, setidaknya diperlukan waktu 1 minggu
untuk menunjukan adanya ekskresi besi pada urine. 

 Urinary Haemoglobin

Salah satu tanda adanya hemolisis adalah hemoglobin di urine. Uji cepat yang dap
at dilakukan adalah uji dipstick yang disertai dengan pemeriksaan mikroskopis. Pa
da uji dipstick akan terdeteksi seperti darah, namun pada pemeriksaan mikroskopi
s akan negatif red blood cell.
 Evaluasi Komponen Autoimmune

Komponen autoimmune dinilai dari adanya IgG pada permukaan sel darah merah
pasien. Dapat dilakukan dengan. Direct Antiglobulin Test/ Coombs Test. Hasil po
sitif AIHA apabila ditemukannya hasil positif dari DAT yaitu dengan adanya bent
ukan aglutinasi.

Kelainan Laboratorik AIHA


Pada AHA tipe panas dijumpai kelainan laboratorium sebagai berikut:
 Darah tepi:

XXIII
a) Anemia dapat sampai berat, terdapat mikrosferosit,polikromasia dan
seringa da normoblast dalam darah tepi.Morfologi anemia pada
umumnya ialah normokromik normositer.
b) Retikulosit sangat meningkat
 Bilirubin serum meningkat 2-4 mg/dl, dengan bilirubin indirek lebih tinggi
dari bilitubin direk.
 Tes Coombs direk (DAT) positif.
Sumber : Bakta,2012

DARAH TEPI
Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sferositosis,
polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulositopeni pada awal
anemia. Kadar hemoglobin 3g/dl – 9g/dl, jumlah leukosit bervariasi disertai
gambaran sel muda (metamielosit, mielosit, dan promielosit), kadang disertai
trombositopeni. Kadar bilirubin indirek meningkat. Gambaran sumsum tulang
menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik normoblastik.

TES COOMBS
Pemeriksaan direct antiglobulin test (DAT) positif yang menunjukkan adanya
antibodi permukaan/komplemen permukaan sel eritrosit. Pada pemeriksaan ini
terjadi reaksi aglutinasi sel eritrosit pasien dengan reagen antiglobulin yang
dicampurkan adanya tes aglutinasi oleh anti IgG menunjukkan permukaan sel
eritrosit mengandung IgG (tes DAT positif). Untuk pasien warm AIHA ditemukan
igG dan anti C3d.

XXIV
7. Tata laksana AIHA

Gambar 6 : Algoritma Tata Laksana AIHA


Sumber : Niss & Ware, 2018

XXV
First-line therapy
1. Corticosteroid
Meskipun kurangnya studi sistematis, ada konsensus umum bahwa kortikoste
roids adalah terapi "lini pertama" yang paling efektif untuk pasien dengan AIHA
hangat. Untuk presentasi klinis yang parah, metilprednisolon IV harus diberikan
pada 1-4 mg / kg / hari, dibagi setiap 6-8 jam. Transisi ke prednison oral atau
predniso lone kemudian dilakukan dengan 1-2 mg / kg / hari, biasanya dibagi
menjadi dua atau tiga dosis, yang dipertahankan selama 2-3 minggu sampai
konsentrasi hemoglobin minimal 10-11 g / dL dicapai tanpa dukungan transfusi.
Jika konsentrasi hemoglobin yang stabil dapat dipertahankan tanpa transfusi,
kortikosteroid oral dapat diturunkan cukup cepat dalam 1-2 bulan pertama,
dengan tujuan untuk pemberian dosis harian tunggal yang mempertahankan
jumlah stabil diikuti dengan pengurangan yang lebih lambat selama beberapa
bulan.
Sumber : Niss & Ware, 2018

Untuk mencegah terjadinya gagal sirkulasi pada kasus AIHA yang berat, maka
akses intravena dan resusitasi cairan harus segera dilakukan. Demikian juga
dengan pemantauan tanda-tanda vital, urin output, fungsi ginjal dan Hb. Sekitar
55% pasien AIHA akan memerlukan transfusi darah
8. Komplikasi AIHA
Anemia yang diderita mungkin sangat parah dan dapat menyebabkan kolaps
kardiovaskular atau kegagalan sirkulasi yang membutuhkan penanganan darurat,
sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan resiko mortalitas pada anak.
Mungkin juga dapat timbul komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit yang
mendasari seperti disseminated lupus erythematosus atau adanya penyakit
defisiensi imun
Sumber: Hay, W. W. et al. 2004

XXVI
9. Pencegahan AIHA
 Hentikan obat yang dicurigai.
 Jika dicurigai AIHA, hubungi pusat referensi imunohematologi redcell lokal
untuk menentukan investigasi yang tepat.
Sumber : Hill et al., 2017
Tindakan yang perlu dilakukan pada kasus AIHA tergantung pada faktor
penyebab timbulnya penyakit ini. Pada skenario di atas, oleh karena faktor yang
mencetuskan terjadinya AIHA dicetuskan oleh penggunaan obat, maka obat
yang dicurigai harus dihentikan. Perbaikan hematologis biasanya dapat dilihat
dalam waktu 1-2 minggu.

10. Prognosis
Prognosis untuk masing-masing anemia hemolitik berbeda, tergantung dari
penyebab terjadinya hemolisis. Secara umum, AIHA akibat obat memiliki
prognosis yang baik, dan tingkat relaps yang rendah, walaupun dapat ditemukan
pengecualian pada beberapa kasus. Namun kasus AIHA dengan penyakit
bawaan, seperti lupus, pasien dengan kelainan kardiovaskular, pasien dengan
defisiensi imun, serta pasien yang telah mengalami gagal ginjal akibat hemolisis
berat, tingkat mortalitas yang dilaporkan jauh lebih tinggi
Prognosis pada antibodi hangat sekunder AHA sangat tergantung pada perjalanan
penyakit yang mendasarinya. Pada anak-anak, AIHA antibodi hangat sering menu
njukkan perjalanan terbatas setelah respon cepat terhadap glukokortikoid. Paling k
asus ini terjadi setelah infeksi akut atau imunisasi.
Mereka yang pulih dari episode hemolitik awal memiliki prognosis baik dan tidak
mungkin kambuh, meskipun ada pengecualian. Anak-anak dengan AIHA kronis c
enderung lebih tua. Angka kematian berkisar dari 10 sampai 30%, dengan angka k
ematian yang lebih tinggi pada mereka dengan AIHA kronis dan dalam kasus den
gan trombositopenia imun simultan (sindrom Evans).
Pasien dengan penyakit aglutinin dingin idiopatik umumnya mengikuti arah ji
nak, sering bertahan selama bertahun-tahun [3]. Kematian mungkin akibat infe
ksi atau anemia berat atau kadang-kadang dari limfoma yang mendasari.

XXVII
Penyakit aglutinin dingin pasca infeksi biasanya sembuh sendiri. Pasien denga
n hemoglobinuria dingin paroksismal idiopatik kronis bertahan selama bertahu
n-tahun meskipun kadang-kadang terjadi paroksisma hemolysis. Anemia hem
olitik imun akibat obat biasanya ringan, dan prognosisnya bagus. Hemolisis be
rat dapat menyebabkan gagal ginjal atau kematian.
Sumber: Packman, 2015

XXVIII
KESIMPULAN
Anak laki-laki umur 3 tahun datang kerumah sakit dengan keadaaan lemas dan
pucat.
Anamnesa
 Keluhan pucat dan lemas tiba-tiba muncul langsung di hari itu,
 Seminggu sebelumnya pasien menderita batuk dan deman serta di diagnosa
menderita pneumonia. Hari ketujuh mendapat obat suntik ‘ceftriaxone’.
Diberikan IM 1 gram/hari selama 6 hari dan menunjukan perubahan gejala
 Badan anak mulai tampak kuning
 Selang 30 menit selang pemberian ceftriaxone hari ke-7, anaknya mengalami
pucat dan lemas secara tiba-tiba, ibu penderita juga melihat kencing yang
keluar dari anaknya bewarna gelap dan tubuh anak bewarna kuning. Oleh
karena itu pasien dirujuk ke RS. Saat perjalanan, ada penurunan kesadaran
waktu perjalanan ke rumah sakit.
 Hasil pemeriksaan sebelum penyuntikan ceftriaxone hari ke 7:
o Hb : 10,2gr/dl
o HCT: 29%
o WBC : 9.300
o Trombosit : 338.000

Pemeriksaan Fisik
KU : Tampak Pucat
Kesadaran : Letargis
TTV :
Tensi : 80/60 mmHg
HR : 160x
RR : 40x
Temp : 36,8 Celcius.
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata :
Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera : Ikterik (+/+)

XXIX
Pemeriksaan Dada
Bentuk : Normo chest, gerakan normal
Jantung :
- Palpasi : Ictus cordis tidak kuat
Pemeriksaan Abdomen
- Extremitas Atas D/S: Akrar dingin, ikterus (+)

Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap :
HCT : 5.3%
Hb : 3.2 g/dl
WBC : 9.300
Trombosit : 338.000 /mm3
Reticulocyte : 2,14
Hapusan darah tepi :
Sferositosis (+)
Urinalisis
Hb : +4
Bilirubin Indirek : 1,12
LDH : 1125
Coomb Direct Antiglobulin : IgG +3, C3D +4
Haptoglobin : <7.56
Diagnosa : Anak 3 tahun didiagnosa mengalami autoimun hemolitik anemia et
causa karena induksi obat
Drug Induced Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA)

Tata Laksana
a. Non farmako : stop injeksi ceftriaxon
b. Farmako:
 Oxygen
 Infus

XXX
 Transfusi pack red cell

Gambar 7 : Penghitungan Pemberian PRCC


Sumber : Niss & Ware, 2018
 Corticosteroid methyl prednisolone IV , 4mg/kg/hari
 Support nutrisi dan cairan

Follow up :
Hari ke 2 terapi : Hb: 7,3 gr/dl
Hari ke 4 terapi : Hb: 12,1 gr/dl
Kimia darah : normal
Urinalisis : Hb (-)
KIE : tidak boleh menggunakan antibiotik golongan cephalosporin
Kultur sputum : dilakukan untuk evaluasi pneumonia

Prognosis : dubia et bonam

XXXI
MIND MAP AKHIR

XXXII
REFERENSI
Bakta, I. M. (2006) ‘Hematologi Klinik Ringkas’, Jakarta : EGC.
DeLoughery, T. G. (2013) ‘Autoimmune Hemolytic Anemia’, Hematology,
8(March).
Hay, W. W. et al. (2004) Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 17th edn,
Mayo Clinic Proceedings. 17th edn. Lange Medical Books/McGraw-Hill.
doi: 10.4065/79.12.1592-a.
Hill, Q. A. et al. (2017) ‘Guidelines on the management of drug-induced immune
and secondary autoimmune, haemolytic anaemia’, British Journal of
Haematology, 177(2), pp. 208–220. doi: 10.1111/bjh.14654.
Jaffe, E. S. et al. (2017) Hematopathology. 2nd edn. Philadelphia. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.
Kliegman, R. M. et al. (2015) ‘Nelson Textbook of Pediatrics’, in. Philadelphia:
Elsevier, p. 1605.
Mack, P. and Freedman, J. (2000) ‘Autoimmune hemolytic anemia: A history’,
Transfusion Medicine Reviews, 14(3), pp. 223–233. doi:
10.1053/tm.2000.7392.
Nahar, A. and Ravindranath, Y. (2008) ‘Approach to severe anemia in children in
the emergency room’, Therapy, 5(4), pp. 475–484. doi:
10.2217/14750708.5.4.475.
Naithani, R. et al. (2007) ‘Autoimmune hemolytic anemia in children’, Pediatric
Hematology and Oncology, 24(4), pp. 309–315. doi:
10.1080/08880010701360783.
Niss, O. and Ware, R. (2018) ‘Treatment of Autoimmune Hemolytic Anemia’,
Immune Hematology: Diagnosis and Management of Autoimmune
Cytopenias, (May), pp. 103–123. doi: 10.1007/978-3-319-73269-5.
Packman, C. H. (2015) ‘The clinical pictures of autoimmune hemolytic anemia’,
Transfusion Medicine and Hemotherapy, 42(5), pp. 317–324. doi:
10.1159/000440656.
Petz, L. D. and Garratty, G. (2004) Immune Hemolytic Anemias. 2nd edn.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier Science.

XXXIII
Phillips, J. and Henderson, A. C. (2018) ‘Hemolytic anemia: Evaluation and
differential diagnosis’, American Family Physician, 98(6), pp. 354–361.
Sills, R. H. (2003) Practical Algorithms in Pediatric Hematology and Oncology.
Karger.
Zanella, A. and Barcellini, W. (2014) ‘Treatment of autoimmune hemolytic
anemias’, Haematologica, 99(10), pp. 1547–1554. doi:
10.3324/haematol.2014.114561.

XXXIV

Anda mungkin juga menyukai