Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

PANSITOPENIA ec ANEMIA APLASTIK + DISPEPSIA

OLEH:

dr. I Wayan Kristian Wijaya

PENDAMPING:

dr. Astri Rahmawati

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA PALU

2023
BAB I

PENDAHULUAN

Anemia merupakan suatu kondisi menurunnya jumlah sel darah merah, volume
konsentrasi hemoglobin dan hematokrit yang mengakibatkan kadar oksigen dalam
tubuh tidak tercukupi. Anemia aplastik merupakan salah satu jenis anemia
normositik normokrom yang didefinisikan sebagai anemia akibat kelainan primer
pada sumsum tulang. Kelainan ini tergolong penyakit yang jarang dengan
kejadian 2-2,3 kasus/ 1 juta penduduk per tahun Penyebabnya dapat dibagi
menjadi tipe primer (kongenital atau didapat) dan tipe sekunder seperti radiasi
pengion, bahan kimia dan obat-obatan. Manifestasi klinis yang paling sering
ditemukan yaitu perdarahan, badan lemah, pusing, jantung berdebar dan demam.
Penegakan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan darah lengkap menggunakan
hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang.
Prognosis atau perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi jika
tidak dilakukan terapi pengobatan pada umumnya penyakit ini akan memberikan
prognosis yang buruk.
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Ny. D

Umur : 65 tahun

Masuk RS : 29 juni 2023

II. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

Keluhan utama:

Pusing sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien mengeluh pusing sejak 2 hari SMRS. Pusing dirasa tidak berputar, namun
pasien merasa sering ingin terjatuh sehingga pasien sulit berjalan ataupun berdiri.
Pusing dirasa terus menerus, tidak hilang meski pasien banyak tidur. Pasien juga
mengeluh mual namun tidak muntah. Pasien juga merasa lemas. BAB dan BAK
menurut pasien normal. Keluhan batuk pilek, demam, sesak nafas disangkal
pasien. Nafsu makan pasien relatif menurun sejak 3 hari terakhir. Keluhan
mimisan, BAB hitam, bintik kemerahan pada kulit, gusi berdarah disangkal
pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada
Tanda-Tanda Vital

Keadaan umum : sakit sedang, tampak lemah


Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital :

Tekanan darah : 122/86 mmHg

Nadi : 88 kali/menit

Respirasi : 20 kali/menit

Suhu : 36 OC

Kepala

Konjungtiva : anemis (+/+)

Pupil : bulat, isokor, uk. 3 mm, RC +/+

Leher : trakea letak tengah, pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

Thorax

Paru

Inspeksi : gerakan dinding dada kiri = kanan

Palpasi : vokal fremitus paru kiri = paru kanan, nyeri tekan (-)

Perkusi : sonor kiri = kanan

Auskultasi : suara pernapasan vesikuler di kedua lapang paru suara napas


tambahan: ronkhi (-/-), mengi (-/-)

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis tidak teraba


Perkusi : batas jantung kanan di ICS IV linea parasternalis dekstra

batas jantung kiri di ICS V linea mid klavikula sinistra

Auskultasi : S1 S2 normal, regular, murmur (-)

Abdomen

Inspeksi : datar

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar/lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Ekstremitas : jejas (-), deformitas (-), edema (-), akral hangat, CRT <2”

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Nilai normal

Leukosit 2700/uL 4000-10000/Ul

Eritrosit 3.10x106/uL (4,7-6,1)x106/ uL

Hemoglobin 6,2 g/dL 14,0-18,0 g/dL

Hematokrit 20% 42,0-45,0%

MCV 86.1 fl 80-100 fl

MCH 30.3 pg 27-32 pg

MCHC 35.2 g/dL 32-36 g/dL

Trombosit 55000/uL 150000-450000/uL

GDS 99 mg/dL 70-410 mg/dL


IV. RESUME
Pasien mengeluh pusing sejak 2 hari SMRS. Pusing dirasa tidak berputar,
namun pasien merasa sering ingin terjatuh sehingga pasien sulit berjalan ataupun
berdiri. Pusing dirasa terus menerus, tidak hilang meski pasien banyak tidur.
Pasien juga mengeluh mual namun tidak muntah. Pasien juga merasa lemas.
Pemeriksaan fisik : Konjungtiva anemis (+/+), Keadaan umum : sakit sedang,
tampak lemah.
Pemeriksaan laboratorium : leukosit 2700/uL, eritrosit 3.10x106/uL, hb 6,2
g/dL, hematokrit 20%, trombosit 55000/uL.

V. DIAGNOSIS
Pansitopenia e.c anemia aplastik + dispepsia

VI. TATALAKSANA IGD


– IVFD Asering 18 tpm
– Inj Omeprazole 40 mg/12 jam/iv
– Inj Ondansentron 4mg/8 jam/iv
– Konsul interna
Advice :
 Transfusi PRC 750cc
 Inj Dexamethason 5mg/8 jam/iv
 Foto thorax, USG abdomen, cek fungsi hati

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan


sumsum tulang dengan penurunan sel – sel hematopoietik dan penggantiannya
oleh lemak, menyebabkan pansitopenia, dan sering disertai dengan
granulositopenia dan trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat
disebabkan oleh faktor keturunan (genetik), faktor sekunder oleh berbagai sebab
seperti toksisitas, radiasi atau reaksi imunologik pada sel – sel induk sumsum
tulang, berhubungan dengan beragam penyakit penyerta, atau faktor idiopatik.4

Pansitopenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi defisiensi pada semua


elemen sel darah, yakni eritropenia, leukopenia, dan trombositopenia. Seseorang
dengan anemia aplastik mengalami pansitopenia. Penyebab terjadinya
pansitopenia disebabkan :

1. Menurunnya produksi sumsum tulang akibat aplasia; leukemia akut;


mielodisplasia; mieloma; infiltrasi oleh limfoma, tumor padat,
tuberkulosis; anemia megaloblastik; hemoglobinuria nokturnal
paroksismal; mielofibrosis (kasus yang jarang); sindrom hemofagositik.
2. Meningkatnya destruksi perifer dengan ditemukannya splenomegali.3,4,5

B. Etiologi

Secara etiologi penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan
besar, yaitu:

1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan


faktor kongenital yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang
herediter antara lain :

Sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya disertai dengan kelainan


bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal;
diskeratosis kongenital; sindrom Shwachman-Diamond; dan trombositopenia
amegakariositik. Kelainan – kelainan ini sangat jarang ditemukan dan juga jarang
berespons terhadap terapi imunosupresif. Kegagalan sumsum tulang herediter
biasanya muncul pada usia sepuluh tahun pertama dan kerap disertai anomali fisik
(tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik café-au-lait pada
anemia Fanconi (sindrom Fanconi)). Beberapa pasien mungkin mempunyai
riwayat keluarga dengan sitopenia.

Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit


yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi) merupakan
kelainan resesif autosomal yang ditandai dengan defek pada DNA repair dan
memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada pasien anemia
Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif langka dengan
prognosis buruk yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia sumsum tulang,
dan perubahan warna kulit yang bercak – bercak coklat akibat deposisi melanin
(bintik – bintik café-au-lait).1, 2

Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang yang


diwariskan secara klasik yang muncul dengan trias pigmentasi kulit abnormal,
distrofi kuku, dan leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan
manifestasi klinik yang beragam. Terdapat bentuk – bentuk X-linked resesif,
autosomal dominan, dan autosomal resesif . Bentuk X-linked resesif disebabkan
oleh pengobatan pada gen DKC1, yang menghasilkan protein dyskerin, yang
penting untuk stabilisasi telomerase. Gangguan telomerase menyebabkan
terjadinya pemendekkan telomer lebih cepat, kegagalan sumsum tulang, dan
penuaan dini (premature aging). Diskeratosis kongenital autosomal dominan
disebabkan oleh pengobatan gen TERC (yang menyandi komponen RNA
telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas telomerase dan
pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang
diduga menderita anemia aplastik memiliki mutasi TERC.1,2

Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang


ditandai dengan trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat
lahir. Sebagian besar pasien mengalami mutasi missense atau nonsense mutations
pada gen C-MPL. Banyak diantara penderita trombositopenia amegakaryositik
yang diwariskan mengalami kegagalan sumsum tulang multilineage.1,2

Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan resesif autosomal yang


ditandai dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan
sumsum tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi), penderita
sindrom Shwachman-Diamond juga mengalami peningkatan risiko terjadinya
myelodisplasia atau leukemia pada usia dini. Belum ditemukan lesi genetik yang
dianggap sebagai penyebab, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah
dikaitkan dengan penyakit ini.1,2

2. Anemia aplastik didapat

Timbulnya anemia aplastik yang didapat pada seorang anak dapat disebabkan
oleh :

- Penggunaan obat, anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas


atau penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat yang paling banyak
menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat – obat lain yang juga
sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, anti-rematik, anti-tiroid,
preparat emas dan antikonvulsan, obat – obat sitotoksik seperti mileran atau
nitrosourea.

- Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat menyebabkan anemia
aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).

- Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau


permanen, yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus influenza A, tuberkulosis
milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat menekan produksi sel sumsum tulang
melalui gangguan pada sel – sel stroma sumsum tulang, Human
Immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi Acquired Immuno-
Deficiency Syndrome (AIDS), virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi
parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis. Keadaan
ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik yang disebabkan
oleh berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron akan ditemukan virus
dalam eritroblas dan dengan pemeriksaan serologi akan ditemukan antibodi virus
ini. DNA parvovirus dapat mempengaruhi progenitor eritroid dengan
mengganggu replikasi dan mempercepatnya.

- Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.

- Faktor iatrogenik akibat transfusi – penyakit graft-versus-host yang terkait.1,2

Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka
pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik. 1,2

C. Klasifikasi

Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat


diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas
dan mortalitas lebih menderita dengan derajat keparahan sitopenia daripada
selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan
suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%
dengan infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama.
Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak
membutuhkan terapi.2

Klasifikasi Anemia Aplastik


Klasifikasi Kriteria
Anemia Aplastik Berat
 Selularitas sumsum tulang < 25%
 Sitopenia sedikitnya dua dari  Hitung neutrofil < 500/l
tiga seri sel darah  Hitung trombosit < 20.000/l
 Hitung retikulosit absolut <
60.000/l
Anemia Aplastik Sangat Berat Sama seperti diatas kecuali hitung
neutrofil < 200/l
Anemia Aplastik Tidak Berat Sumsum tulang hiposelular namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria
berat

D. Patogenesis dan Patofisiologi

Di akhir tahun 1960-an, Mathé dkk memunculkan teori baru berdasarkan


kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien
anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan
anemia aplastik menampilkan adanya kondisi defisiensi sel induk asal (sel
induk).2

Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan melalui


percobaan in vitro yang menampilkan bahwa limfosit dapat menghambat
pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui
bahwa limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel – sel asal hemopoietik
pada kelainan ini. Sel – sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang
dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik.Sel – sel tersebut
menghasilkan interferon- dan TNF- yang merupakan inhibitor langsung
hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel – sel CD34+. Klon sel – sel
imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi
sitokin T-helper-1 (Th1) yang bersifat toksik langsung ke sel – sel CD34+ positif
autologus.2

Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis yang ditandai oleh
destruksi spesifik yang diperantarai sel ini. Pada seorang pasien, kelainan respons
imun tersebut kadang – kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau penyakit
obat tertentu atau zat kimia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain,
seperti toksisitas langsung pada sel asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan
hematopoietik. Dan derajat destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan
klinis secara kuantitatif dan variasi kualitatif respon imun dapat menjelaskan
respon terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif
menunjukkan adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan
hematopoietik.2

E. Gejala Klinis dan Hematologis

Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa:

- Aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik


- Aktivitas relatif sistem limfopoitik dan sistem retikulo endothelial (SRE)

Aplasia sistem eritropoitik dalam darah tepi akan terlihat sebagai


retikulositopenia yang disertai dengan rendahnya kadar hemoglobin, hematokrit
dan hitung eritrosit serta MCV (Mean Corpuscular Volume). Secara klinis pasien
tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti anoreksia, lemah,
palpitasi, sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia
sistem hematopoitik, maka umumnya tidak ditemukan ikterus, pembesaran limpa
(splenomegali), hepar (hepatomegali) maupun kelenjar getah bening
(limfadenopati).1

Pada hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi dan
pada hasil penelitian Salonder tahun 1983 ditemukan telapak tangan pada semua
pasien yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah
jumlah pasien. Hematomegali yang disebabkan oleh berbagai – macam hal
ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan.
Adanya splenomegali dan limfadenopati akan meragukan diagnosis anemia
aplastik.2

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
- Apusan Darah Tepi

Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis


anemianya adalah normokrom normositer. Terkadang ditemukan makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam
darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit
ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.

Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil


kasus, persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini
dikoreksi terhadap beratnya anemia (jumlah retikulosit terkoreksi) maka diperoleh
persentase retikulosit normal atau rendah juga. Adanya retikulositosis setelah
dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.2

Gambar 1 – Apusan Darah Tepi Anemia Aplastik

- Laju Endap Darah


Hasil pemeriksaan laju endap darah pada pasien anemia aplastik selalu
meningkat. Pada penelitian yang dilakukan di laboratorium RSUPN Cipto
Mangunkusumo ditemukan 62 dari 70 kasus anemia aplastik (89%) mempunyai
nilai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam satu jam pertama.2
- Hemostasis Faal
Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu perdarahan memanjang
dan retraksian bekuan yang buruk disebabkan trombositopenia. Hasil faal
hemostasis lainnya normal.2
- Biopsi Sumsum Tulang
Seringkali pada pasien anemia aplastik dilakukan tindakan aspirasi sumsum
tulang berulang karena teraspirasinya sarang – sarang hemopoiesis hiperaktif.
Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia
aplastik. Dari hasil pemeriksaan sumsum tulang ini akan diperoleh kesamaan
dengan kriteria diagnosis anemia aplastik.2

Gambar 2 – Sumsum Tulang Normal dan Aplastik

G. Diagnosa

Penegakan Diagnosis dan Manifestasi Klinis

Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat,


berdarah, tanpa adanya organomegali (hepato splenomegali). Gambaran tepi darah
menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan
dengan pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang,
banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik,
granulopoitik dan trombopoitik. Di antara sel sumsum tulang yang sedikit ini
banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).
Hendaknya berbeda antara sediaan sumsum tulang yang aplastik dan yang
tercampur darah.1

Anemia aplastik dapat muncul tiba – tiba dalam hitungan hari atau secara
perlahan (berminggu – minggu hingga berbulan-bulan). Hitung jenis darah akan
menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan kelelahan, dispnea dan
jantung berdebar – debar. Trombositopenia menyebabkan pasien mudah
mengalami memar dan pendarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan
demam.2

Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan


menghitung jenis leukosit, menghitung retikulosit, dan aspirasi serta biopsi
sumsum tulang. Pemeriksaan aliran sitometri darah tepi dapat menghilangkan
hemoglobinuria nokturnal paroksismal, dan karyotyping sumsum tulang dapat
membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Adanya riwayat keluarga
sitopenia dapat meningkatkan kualitas adanya kelainan yang diwariskan walaupun
tidak ada kelainan fisik yang tampak.2

Anemia aplastik mungkin bersifat asimptomatik dan ditemukan saat


pemeriksaan rutin. Keluhan – keluhan pasien anemia aplastik sangat bervariasi.
Perdarahan, badan lemah dan pusing merupakan keluhan – keluhan yang paling
sering ditemukan.2

H. Penatalaksanaan
1. Terapi Suportif1
Adanya terapi suportif bertujuan untuk mencegah dan mengobati terjadinya
infeksi dan pendarahan. Terapi suportif yang diberikan untuk pasien anemia
aplastik, antara lain:

- Pengobatan terhadap infeksi

Untuk menghindari pasien dari infeksi, sebaiknya pasien dirawat di ruangan


isolasi yang bersifat “suci hama”. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih
yang tidak memiliki efek samping mendepresi sumsum tulang, seperti
kloramfenikol.

- Transfusi darah

Gunakan komponen darah bila harus melakukan transfusi darah. Hendaknya


harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin
yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang sering terjadi, akan timbul
depresi pada sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik
(reaksi transfusi), akibat terbentuknya antibodi terhadap eritrosit, leukosit dan
trombosit. Oleh karena itu, transfusi darah diberikan atas indikasi tertentu. Pada
keadaan yang sangat gawat, seperti pendarahan masif, pendarahan otak,
pendarahan saluran cerna dan lain sebagainya, dapat diberikan suspensi trombosit.

- Transplantasi sumsum tulang

Metode transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik pada


pasien anemia aplastik sejak tahun 1970. Donor sumsum tulang terbaik berasal
dari saudara sekandung dengan Human Leucosit Antigen (HLA) yang cocok.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ugrasena, IDG.Anemia Aplastik.Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak
IDAI.Cetakan Kedua.Badan Penerbit IDAI.Jakarta.2016.Hal:10-15.
2. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder.Anemia
Aplastik.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta.2016.Hal:627-633.
3. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss.Anemia Aplastik dan Kegagalan
Sumsum Tulang.Kapita Selekta Hematologi.Edisi
IV.EGC.Jakarta.2016.Hal: 83-87.
4. Kamus Kedokteran Dorland.Edisi ke 27.Jakarta:EGC.2015
5. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2016.Hal: 258-260.

Anda mungkin juga menyukai