Anda di halaman 1dari 21

RESPONSI HEMATOLOGI

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN (AIHA)







Oleh:
Gladys Adipranoto - 0610713036
Ryzta Sekar Smaradhany - 0610713068
Paramesvaren A/L Karunagaran - 0610714022


Pembimbing:
dr. Djoko Heri Hermanto SpPD FINASIM



LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2011
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Autoimun anemia hemolitik ( AIHA ) disebabkan oleh produksi antibodi
terhadap sel darah merah sendiri
[1]
. Autoimun anemia hemolitik adalah kelainan
yang jarang terjadi; estimasi kejadian, berdasarkan studi yang dilakukan pada
1960-an, adalah 1-3 kasus per 100 000 tahun
[1]
. Dua kriteria yang harus dipenuhi
untuk mendiagnosis anemia hemolitik autoimun adalah bukti serologis dari
autoantibodi, dan bukti gejala klinis atau laboratorium dari hemolisis. Penyakit ini
ditandai dengan uji direk positif antiglobulin ( Coombs) dan dibagi menjadi
autoimun anemia tipe hangat dan dingin berdasarkan apakah antibodi bereaksi
lebih kuat dengan sel darah merah pada suhu 37C atau pada 4C. Selanjutnya,
beberapa obat yang menyebabkan terjadinya drug induced autoimun hemolitik
anemia. Perbedaan dari ketiga mekanisme dapat dibuat berdasarkan ada reaksi
serologis dari serum dan eluat tersebut
[2]
.
Anemia hemolitik tipe hangat mungkin dapat disebabkan oleh idiopathik atau
sekunder untuk leukemia limfositik kronis, limfoma, lupus eritematosus sistemik,
atau gangguan autoimun lain atau infeksi. Autoantibodi hangat bertanggungjawab
atas 48-70% dari kasus anemia hemolitik autoimun dan dapat terjadi pada usia
berapa pun ; karena penyebab sekunder, bagaimanapun, insiden meningkat mulai
sekitar umur 40 tahun. Ada perkiraan bahawa insiden AIHA pada perempuan 2:1
berbanding lelaki, mungkin karena hubungan dengan penyakit autoimun yang lain.
Sel darah merah biasanya dilapisi dengan IgG dan/atau komplemen, dapat
terdeteksi pada uji antiglobulin langsung, dan dieliminasi oleh sel-sel sistem
retikuloendothelial. Selanjutnya, sel darah merah bisa berubah bentuk menjadi bola
( spherical) dan akhirnya dihancurkan oleh makrofag di limpa, menghasilkan
mikrosferosit yang merupakan karekterikstik khas dari AIHA
[2].

Seperti pada anemia hemolitik autoimun hemolitik hangat, autoimun anemia
tipe dingin bisa idiopathic atau sekunder seperti pada gangguan lymphoproliferative
atau infeksi, pada infeksi mononukleosis khususnya atau Mycoplasma pneunomia.
Autoimun anemia hemolitik tipe dingin mewakili sekitar 16-32% dari kasus autoimun
hemolitik anemis. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin primer lebih sering terjadi
pada orang dewasa terutama yang lebih tua, dan lebih sedikit dominan pada
perempuan. Jelas sekali lingkungan dingin dapat memperburuk kondisi. Sel-sel
merah biasanya dilapisi dengan IgM dan/ atau komplemen, dapat terdeteksi pada
uji antiglobulin langsung [2]. Autoantibodi dingin ( IgM) mengikat pada membran
sel darah merah, mengaktifkan komplemen, dan mendepositkan komplemen faktor
C3 permukaan sel. Sel darah merah yang dilapisi C3 kemudian dihapus perlahan
oleh makrofag dari hati ( hemolisis ekstravaskuler). Selain itu, kaskade lengkap
komplemen akan teraktivasi pada permukaan membran sel darah merah,
menyebabkan kerusakan dan terjadinya hemolisis intravaskular
[3].





BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Mecky Rusdiyanto
Jenis Kelamin: Laki-laki
Umur : 29 tahun
Alamat : JL. Gadang VI/11 RT 07/ RW 06 Malang
Pekerjaan : Swasta (bekerja di perusahaan percetakan)
Status : Belum kawin
Etnis/Suku : Jawa
Agama : Islam
MRS : 23 Februari 2011

2.2 Anamnesis
Keluhan utama: lemas
Pasien datang ke poli Penyakit Dalam dengan keluhan lemas disertai pusing
sejak satu minggu yang lalu. Lemas sebenarnya sudah dirasakan sejak satu tahun
yang lalu, namun seminggu terakhir ini dirasakan semakin berat. Karena lemas
tidak kunjung berkurang, maka pasien datang memeriksakan diri ke dokter, dan
kemudian didapatkan Hb: 5,7 pasien kemudian dianjurkan untuk transfusi darah.
Pasien juga mengeluh sesak (ngongsrong) bila berjalan kurang lebih 50
meter, sehingga pasien tidak bias bekerja. Sesak bertambah saat beraktivitas, dan
berkurang dengan istirahat. Pasien tidur dengan 2 bantal .
Pasien mengeluhkan kulit berubah warna menjadi kekuningan, buang air
kecil berwarna seperti teh. Buang air besar normal, tidak didapatkan keluhan.
Pasien memiliki riwayat panas, menggigil, dan sempat dicurigai menderita malaria.
Pasien memiliki riwayat MRS di RSSA Malang pada bulan September tahun
2010 dengan keluhan sama, dan didiagnosa AIHA, kemudian pasien menjalani
transfusi (pasien tidak ingat berapa kali), kemudian setelah membaik pasien
dipulangkan. Setelah itu kemudian pasien kembali bekerja di Kalimantan, pasien
tidak rutin kontrol dan berobat.
Review of Systems
Umum Lelah + Abdomen Nafsu makan Normal
Penurunan
BB
- Anoreksia -
Demam - Mual -
Menggigil - Muntah -
Berkeringat - Perdarahan -
Kulit Rash - Melena -
Gatal - Nyeri -
Luka - Diare -
Tumor - Konstipasi -
Kepala/
Leher
Sakit

pusing BAB Normal
Nyeri - Hemoroid -
Kaku Leher - Hernia -
Trauma - Ginekologi Perdarahan -
Telinga Pendengaran Dbn Spotting -
Infeksi - Sekret -
Nyeri - Gatal -
Benjolan - Penyakit
Kelamin
-
Mulut &
Tenggorokan
Nyeri - Kontrasepsi -
Kering - Menarche -
Suara serak - Siklus Haid -
Sulit
menelan
- Menopause -
Sakit saat
menelan
- Kehamilan -
Gusi - Prematur -
Infeksi - Abortus -
Pernafasan Batuk - Pap Smear -
Riak - Ginjal dan
saluran kencing
Disuria -
Nyeri - Hematuria -
Mengi - Inkontinensia -
Sesak nafas + Nokturia -
Hemoptisis - Frekuensi Normal
Pneumonia - Hematologi Anemia +
Nyeri
Pleuritik
- Perdarahan -
Tuberkulosis - Endokrin Diabetes -
Payudara


Sekret - Penurunan
BB
-
Nyeri - Goiter -
Benjolan - Toleransi
terhadap
suhu
-
Perdarahan - Asupan
cairan
Cukup
Infeksi - Muskuloskeletal Trauma -
Jantung Angina - Nyeri -
Sesak nafas + Kaku -
Orthopnea + Bengkak -
PND - Merah -
Edema - Nyeri
punggung
-
Murmur + Kram -
Palpitasi - Sistem Syaraf Sinkop -
Infark - Kejang -
Hipertensi - Tremor -
Vaskuler Klaudikasio - Nyeri -
Flebitis - Sensorik Normal
Ulkus - Tenaga Lemas
Arteritis - Daya ingat Normal
Vena
Varikose
- Emosi Kecemasan -
Tidur Normal
Depresi -

2.3 Pemeriksaan Fisik
Deskripsi Umum
Kesan sakit: Tampak sakit berat
Gizi: Kesan gizi cukup
Berat badan: 55kg Tinggi badan: 160cm IMT: 21,5 kg/m
2
Tanda Vital:
Kesadaran: Compos Mentis, GCS 456
Tekanan darah: 110/50 mmHg
Nadi: 110x/menit
Tax: 37
o
C
Pernafasan: 18x/menit
KULIT
Inspeksi: pigmentasi, tekstur, turgor, rash,
luka, infeksi, ptechiae, hematom,
ekskoriasi, ikterus, kuku, rambut.
Palpasi: nodul, atrofi, sklerosis
Ikterus (+)
Tumor (-), ptechiae (-), turgor kulit dalam
batas normal
KEPALA DAN LEHER
Inspeksi: bentuk kepala, sikatrik,
pembengkakan.
Palpasi: kelenjar limfe, pembengkakakan,
nyeri tekan, tiroid, trakea, pulsasi vena.
Normocephali, pucat , bengkak (-)
Pembesaran KGB (-)


Auskultasi: bruit
Pemeriksaan: JVP, kaku kuduk

JVP R+5cm H
2
O (30
o
)
TELINGA
Inspeksi: serumen, infeksi, membrane
timpani, tophi
Palpasi: mastoid, massa
Serumen (+/+)
Infeksi (-/-)
Massa (-)
HIDUNG
Inspeksi: septum, mukosa, sekret,
perdarahan, polip
Palpasi: nyeri
Septum deviasi (-), sekret (-), pedarahan (-
), polip (-)
Nyeri (-)
RONGGA MULUT DAN TENGGOROKAN
Inspeksi: pigmentasi, leukoplakia, ulkus,
tumor, gusi, gigi, infeksi, lidah, faring,
tonsil
Palpasi: nyeri, tumor, kelenjar ludah
Leukoplakia (-), ulkus (-), tumor (-), infeksi
(-). Tonsil T2/T2, atrofi papil lidah.

Nyeri (-), tumor (-)
MATA
Inspeksi: ptosis, sclera, ikterus, pucat,
kornea, arkus, merah, infeksi, air mata,
tumor, perdarahan, pupil (kanan/kiri),
lapangan pandang
Palpasi: tonometri (kanan/kiri)
Funduskopi: (kanan/kiri)
Ptosis (-), sclera icteric (+/+), konjungtiva
pucat (+/+). Tumor (-). Perdarahan (-).
Pupil isokhor.

Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
TORAKS (PULMO)
Inspeksi: simetri, gerakan, respirasi, irama,
payudara, tumor
Palpasi: gerakan, fremitus fokal
Perkusi: resonansi
Auskultasi: suara nafas, rales, ronkhi,
wheezing, bronkofoni, pectoriloquy
Simetris, ritmis
Simetris, SF D=S
s s v v rh - - wh - -
s s v v - - - -
s s v v - - - -
JANTUNG
Inspeksi: iktus
Palpasi: iktus, thrill
Perkusi: batas kiri, batas kanan, pinggang
jantung
Auskultasi: denyut jantung (frekuensi,
irama) S1, S2, S3, S4, gallop, murmur,
ejection click, friction rub
Iktus visible
Iktus palpable @ ICS IV MCL S
LHM~iktus, RHM~SL D
S1S2 single, murmur sistolik pulmonal gr.II
gallop (-)


ABDOMEN
Inspeksi: kontur, striae, sikatrik, vena
caput medusa, hernia
Auskultasi: peristaltic usus, bruit, rub
Palpasi: nyeri, defans/rigiditas, massa,
hernia, hati, limpa, ginjal
Perkusi: resonansi, shifting dullness,
undulasi
Flat
BU (+) normal

Supple
splenomegali schuffner VII.
Shifting dullness (-)
Liver span 10cm, Traube space dullness.
PUNGGUNG
Inspeksi: postur, mobilitas, skoliosis,
kifosis, lordosis
Palpasi: nyeri, gybus, tumor
Dalam batas normal
Nyeri (-), tidak teraba adanya tumor
EKSTREMITAS
Inspeksi: gerak sendi, pembengkakan,
merah, deformitas, simetri, edema,
sianosis, pucat, ulkus, varises, kuku
Palpasi: panas, nyeri, massa, edema,
denyut nadi perifer
anemi + +
+ +
edema - -
- -
Akral hangat

ALAT KELAMIN
Perempuan: introitus, vagina, serviks,
uterus, adneksa, nyeri, tumor
Laki-laki: penis, scrotum, nyeri, tumor
(PRIA)

Tidak diperiksa
REKTUM
Hemoroid, fisura, kondiloma, darah, Tidak diperiksa
sfingter ani, massa, prostat
NEUROLOGI
Berdiri, gaya jalan, tremor, koordinasi,
kelemahan, flaksid, paralitik, fasikulasi,
syaraf kranial, refleks fisiologis, refleks
patologis
Dalam batas normal
BICARA
Disartria, apraxia, afasia Tidak ditemukan kelainan

2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Tanggal 23 Februari 2011
Darah Lengkap: Leukosit: 5300 (N:3.500-10.000/mm
3
)
Hb: 3,1 g/dL (14-18 g/dL)
Hematokrit: 10,3% (42-52%)
Thrombosit: 232.000 (150.000-390.000/mm
3
)
LED: 135 mm/jam
Hitung Jenis: eos/bas/stab/seg/lym/mono: 3 / - / - / 69 / 26 / 2
Normoblast: 20/100
Evaluasi Hapusan Darah:
Eritrosit: hipokrom mikrositik, anisositosis, poikilositosis, polikrom,
fragmentosit (+), normoblast (+), tear drop cell (+), basophilic
stippling (+).
Leukosit: Kesan jumlah normal
Thrombosit: Kesan jumlah normal, giant thrombosit (+)
Ureum/ Creatinine: 15,8 (10-50) / 0,57 (0,7-1.5)
Asam urat: 9,7
Billirubin Total: 5,63 mg/dL (<1,10).
Direk: 1,38mg/dL (<0,25).
Indirek 4.25 mg/dL (0,75)
SGOT: 37 U/L (11-41) SGPT: 31 U/L (10-41)
LDH: 1239 U/L

















BAB 4
PEMBAHASAN

Anemia hemolitik autoimune merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi
terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek
[4]
.
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi beraksi secara
optimal pada suhu 37C. Kurang lebih 50% pasien AIHA disertai penyakit lain
[4].
Awalan penyaklit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan
demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin bewarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopathik splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali terjadi pada 30%, dan limadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25%
pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi
[4].
Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7g/dl. Pemeriksaan Coom direk biasanya
positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan
dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari
kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Auto antibodi tipe hangat ini
biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh
[4].
Terapinya meliputi:
Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukkan respon klinis baik ( Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coomb direk
positif lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari
ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap
minggu 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis<30 mg/hari diberikan secara selang sehari.
Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah,
namum bila dosis perhari melebihi 1,5 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt,
maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering
dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa
terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit
terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan
eritrosit yang sama. Remisi komplit pasaca splenektomi mencapai 50-75% namun tidak
bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah
splenektomi.
Imunosupresi. Azatioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari
Terapi lain : danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama
steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400mg/hari. Terapi immunoglobulin ( 400 mg/kgBB per hari
selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi
ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi
lain dan responsinya bersifat sementara.tetapi plasmafaresis masih kontroversial.
Terapi transfusi : terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada
kondisi yang mengancam jiwa ( misal Hb < 3g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil
menunggu steroid dan immunoglobulin yang berefek
[4].

Selain tipe hangat ada pula tipe dingin, Sering terjadi aglutinisasi pada suhu
dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl
sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif. Sering didapatkan akrosianosis, dan
splenomegali. Untuk terapinya dapat dilakukan dengan menghindari udara dingin yang
dapat memicu hemolisis, Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu,
klorambusil 2-4 mg/hari. Plasmafaresis untuk mengurangi hemolisis, namun secara
praktik hal ini sukar dilakukan.
Pada pasien (Tn.M/29th) ini didapatkan lemas disertai pusing sejak satu minggu
yang lalu. Lemas sebenarnya sudah dirasakan sejak satu tahun yang lalu, namun
seminggu terakhir ini dirasakan semakin berat. Karena lemas tidak kunjung berkurang,
maka pasien datang memeriksakan diri ke dokter, dan kemudian didapatkan Hb: 5,7
pasien kemudian dianjurkan untuk transfusi darah.
Pasien juga mengeluh sesak (ngongsrong) bila berjalan kurang lebih 50 meter,
sehingga pasien tidak bias bekerja. Sesak bertambah saat beraktivitas, dan berkurang
dengan istirahat. Pasien tidur dengan 2 bantal .
Pasien mengeluhkan kulit berubah warna menjadi kekuningan, buang air kecil
berwarna seperti teh. Buang air besar normal, tidak didapatkan keluhan. Pasien
memiliki riwayat panas, menggigil, dan sempat dicurigai menderita malaria.
Pasien memiliki riwayat MRS di RSSA Malang pada bulan September tahun
2010 dengan keluhan sama, dan didiagnosa AIHA, kemudian pasien menjalani
transfusi (pasien tidak ingat berapa kali), kemudian setelah membaik pasien
dipulangkan. Setelah itu kemudian pasien kembali bekerja di Kalimantan, pasien tidak
rutin kontrol dan berobat
.Dengan demikian, maka pada pasien ini didapatkan gejala-gejala dan tanda
yang sesuai dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat, seperti ikterik (40%
pasien), riwayat demam, urin berwarna seperti teh dan juga splenomegali (50-60%
pasien) schuffner VIII. Pada hasil laboratorium didapatkan anemia berat (Hb:3.1 g/dL)
dan direct coombs test positif.
Pada pasien (Tn.M/29tahun) didapatkan keterlambatan pemberian terapi
kortikosteroid, yang seharusnya dilakukan terapi sejak awal pasien MRS (karena
diagnosa AIHA sudah tegak sebelumnya). Sehingga dapat dlihat pada follow up hari
kedua MRS Hb nya semakin turun meskipun sudah mendapatkan transfusi 2 labu
PRC/hari. Pada pasien ini baru diberikan terapi dexamethasone setelah hari ke-5 MRS.
Setelah dilakukan pemberian dexamethasone 3x1amp i.v. respon post-tranfusi pun
menjadi lebih baik.
Kemudian dari hasil anamnesa lebih lanjut pasien mengeluh sesak bila berjalan
kurang lebih 50 meter. Dari pemeriksaan fisik didapatkan murmur sistolik pulmonal gr II
.diagnosa sebagai HF St C Fc III. Gagal jantung ini mungkin disebabkan oleh anemia.
Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan hemodinamik sebagai
kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin. Mekanisme nonhemodinamik
diantaranya yaitu peningkatan produksi eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan
meningkatkan oxygen extraction. Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat
kompleks, antara lain terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vascular
sistemik, peningkatan preload akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi
ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatetik dan faktor
inotropik. Pada anemia kronik, terjadi peningkatan kerja jantung menyebabkan
pembesaran jantung dan hipertrofi ventrikel kiri.
Pada pemeriksaan laboratoris terjadi penurunan Hb sebanyak 3.1 g/dl,
peningkatan LDH sebanyak 1239. LDH atau laktate dehydrogenase dijumpai dalam
kebanyakan jaringan . LDH dilepaskan apabila terdapat kerusakan jaringan. Kosentrasi
LDH tertinggi dapat di jumpai pada jantung, hepar, paru-paru, ginjal, sel darah merah
dan sel otot skeletal. Pada pasien ini didapatkan peningkatan LDH karena terjadi
hemolisis ( pemecahan sel darah merah) yang melepaskan enzim LDH, justeru
menyebabkan peningkatan dari enzim tersebut.
Laju Endap Darah (LED) atau dalam bahasa inggrisnya Erythrocyte
Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah.
Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan memasukkan
darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel darah merah yang
mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah (LED)-nya. Harga normal LED pada
dengan cara Westergen untuk wanita adalah 0-15 mm/jam dan untuk pria adalah 0-10
mm/jam. Pada pasien ini terdapat peningkatan LED sebanyak 135mm/jam.
Peningkatan ini adalah disebabkan hemolisis dari eritrosit yang menyebabkan darah
cepat mengendap.
Pada pasien ini juga didapatkan peningkatan dari asam urat sebanyak 9.7.
Peningkatan ini disebabkan oleh destruksi sel darah merah nucleated oleh autoantibodi
yang menyebabkan pelepasan metabolit purin. Purin ini kemudian diubah menjadi
asam urat justru menyebabkan peningkatan asam urat.



















BAB 5
RINGKASAN

Telah dilaporkan pasien seorang pria, 29 tahun dengan keluhan utama badan
lemas, didapatkan keluhan lainnya pusing, sesak dan perubahan warna kulit menjadi
kuning, kencing berwarna seperti teh, riwayat demam, riwayat dirawat di RSSA dengan
diagnosa AIHA pada tahun 2010. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva
anemis +/+, sclera icterus +/+, splenomegali sebesar schuffner VIII. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 3,1 g/dL, hapusan darah eritrosit hipokrom mikrositik,
anisositosis, poikilositosis, polikromasi, fragmentosit (+). Serta didapatkan peningkatan
bilirubin T/D/I: 5,63/ 1,38/ 4,25. Sehingga pasien didiagnosis Anemia Hemolitik
Autoimun.
Terapi standard pada pasien AIHA adalah pemberian kortikosteroid,
immunosupresan, dan dapat dilakukan splenektomi apabila terapi dengan
medikamentosa tidak memberikan respon yang baik. Dapat juga dilakukan terapi
transfuse darah pada kondisi yang mengancam jiwa (Hb<=3g/dL). Pada pasien ini
dilakukan pengobatan dengan dexamethasone 3x1amp iv dan transfusi PRC 2lb/hari
sampai Hb>=10g/dL.
Prognosa pada pasien ini dubia ad. Bonam, karena pasien memberikan respon
baik terhadap terapi. Pasien dipulangkan dengan kadar Hb 10,9.


DAFTAR PUSTAKA
1. Gehrs BC & Friedberg RC (2002) Autoimmune hemolytic anemia. Am J Hematol,
69: 258271.
2. WHO, 2006 , Principles and methods for assesing autoimmunity associated with
exposure to chemicals.
3. Dhalilwal G et al. Hemolytic Anemia, American family physician. June 1, 2004,
Volume 69 Number 1.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S dalam: Ilmu Penyakit
Dalam Vol.2, ed.4.Jakarta: FKUI 2007
5. Favoreel H.W et al. Virus Complement evasion strategies, Journal of General
Virology ( online) http://www.sgm.ac.uk/jgvdirect/18709/18709ft.htm#FIG1 di
akses pada tanggal 14 April 2011
6. Lechner K, Jager U, How I treat autoimmune hemolytic anemia in adults,
American Society of Hematology, 16 September 2010, Volume 116,Number 11
7. Draper D.J, Splenomegaly, http://emedicine.medscape.com/article/206208-
overview#a0104 di akses pada tanggal 14 April 2011
8. Collins R.D,2007, Differential diagnosis in primary care, Lippincot and Wiliams,
http://books.google.com/books?id=4OxNgiA3IiUC&dq=pathophysiology+of+splen
omegaly,hemolysis&source=gbs_navlinks_s, diakses pada 14 April 2011.
9. PR Reich, MD, Hematology: Hysiopathologic Basis for Clinical Practice, Boston,
MA: Little, Brown & Company Inc, 1984.
10. Henry G, Complete blood count, American nurse today, January 2009, Volume 4
Number 1.
11. Miale J.B, Laboratory medicine Hematology Third Edition, The C.V Mosby
Company 1967

Anda mungkin juga menyukai