LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2011 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autoimun anemia hemolitik ( AIHA ) disebabkan oleh produksi antibodi terhadap sel darah merah sendiri [1] . Autoimun anemia hemolitik adalah kelainan yang jarang terjadi; estimasi kejadian, berdasarkan studi yang dilakukan pada 1960-an, adalah 1-3 kasus per 100 000 tahun [1] . Dua kriteria yang harus dipenuhi untuk mendiagnosis anemia hemolitik autoimun adalah bukti serologis dari autoantibodi, dan bukti gejala klinis atau laboratorium dari hemolisis. Penyakit ini ditandai dengan uji direk positif antiglobulin ( Coombs) dan dibagi menjadi autoimun anemia tipe hangat dan dingin berdasarkan apakah antibodi bereaksi lebih kuat dengan sel darah merah pada suhu 37C atau pada 4C. Selanjutnya, beberapa obat yang menyebabkan terjadinya drug induced autoimun hemolitik anemia. Perbedaan dari ketiga mekanisme dapat dibuat berdasarkan ada reaksi serologis dari serum dan eluat tersebut [2] . Anemia hemolitik tipe hangat mungkin dapat disebabkan oleh idiopathik atau sekunder untuk leukemia limfositik kronis, limfoma, lupus eritematosus sistemik, atau gangguan autoimun lain atau infeksi. Autoantibodi hangat bertanggungjawab atas 48-70% dari kasus anemia hemolitik autoimun dan dapat terjadi pada usia berapa pun ; karena penyebab sekunder, bagaimanapun, insiden meningkat mulai sekitar umur 40 tahun. Ada perkiraan bahawa insiden AIHA pada perempuan 2:1 berbanding lelaki, mungkin karena hubungan dengan penyakit autoimun yang lain. Sel darah merah biasanya dilapisi dengan IgG dan/atau komplemen, dapat terdeteksi pada uji antiglobulin langsung, dan dieliminasi oleh sel-sel sistem retikuloendothelial. Selanjutnya, sel darah merah bisa berubah bentuk menjadi bola ( spherical) dan akhirnya dihancurkan oleh makrofag di limpa, menghasilkan mikrosferosit yang merupakan karekterikstik khas dari AIHA [2].
Seperti pada anemia hemolitik autoimun hemolitik hangat, autoimun anemia tipe dingin bisa idiopathic atau sekunder seperti pada gangguan lymphoproliferative atau infeksi, pada infeksi mononukleosis khususnya atau Mycoplasma pneunomia. Autoimun anemia hemolitik tipe dingin mewakili sekitar 16-32% dari kasus autoimun hemolitik anemis. Anemia hemolitik autoimun tipe dingin primer lebih sering terjadi pada orang dewasa terutama yang lebih tua, dan lebih sedikit dominan pada perempuan. Jelas sekali lingkungan dingin dapat memperburuk kondisi. Sel-sel merah biasanya dilapisi dengan IgM dan/ atau komplemen, dapat terdeteksi pada uji antiglobulin langsung [2]. Autoantibodi dingin ( IgM) mengikat pada membran sel darah merah, mengaktifkan komplemen, dan mendepositkan komplemen faktor C3 permukaan sel. Sel darah merah yang dilapisi C3 kemudian dihapus perlahan oleh makrofag dari hati ( hemolisis ekstravaskuler). Selain itu, kaskade lengkap komplemen akan teraktivasi pada permukaan membran sel darah merah, menyebabkan kerusakan dan terjadinya hemolisis intravaskular [3].
BAB 2 LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien Nama : Tn. Mecky Rusdiyanto Jenis Kelamin: Laki-laki Umur : 29 tahun Alamat : JL. Gadang VI/11 RT 07/ RW 06 Malang Pekerjaan : Swasta (bekerja di perusahaan percetakan) Status : Belum kawin Etnis/Suku : Jawa Agama : Islam MRS : 23 Februari 2011
2.2 Anamnesis Keluhan utama: lemas Pasien datang ke poli Penyakit Dalam dengan keluhan lemas disertai pusing sejak satu minggu yang lalu. Lemas sebenarnya sudah dirasakan sejak satu tahun yang lalu, namun seminggu terakhir ini dirasakan semakin berat. Karena lemas tidak kunjung berkurang, maka pasien datang memeriksakan diri ke dokter, dan kemudian didapatkan Hb: 5,7 pasien kemudian dianjurkan untuk transfusi darah. Pasien juga mengeluh sesak (ngongsrong) bila berjalan kurang lebih 50 meter, sehingga pasien tidak bias bekerja. Sesak bertambah saat beraktivitas, dan berkurang dengan istirahat. Pasien tidur dengan 2 bantal . Pasien mengeluhkan kulit berubah warna menjadi kekuningan, buang air kecil berwarna seperti teh. Buang air besar normal, tidak didapatkan keluhan. Pasien memiliki riwayat panas, menggigil, dan sempat dicurigai menderita malaria. Pasien memiliki riwayat MRS di RSSA Malang pada bulan September tahun 2010 dengan keluhan sama, dan didiagnosa AIHA, kemudian pasien menjalani transfusi (pasien tidak ingat berapa kali), kemudian setelah membaik pasien dipulangkan. Setelah itu kemudian pasien kembali bekerja di Kalimantan, pasien tidak rutin kontrol dan berobat. Review of Systems Umum Lelah + Abdomen Nafsu makan Normal Penurunan BB - Anoreksia - Demam - Mual - Menggigil - Muntah - Berkeringat - Perdarahan - Kulit Rash - Melena - Gatal - Nyeri - Luka - Diare - Tumor - Konstipasi - Kepala/ Leher Sakit
Tidak dilakukan Tidak dilakukan TORAKS (PULMO) Inspeksi: simetri, gerakan, respirasi, irama, payudara, tumor Palpasi: gerakan, fremitus fokal Perkusi: resonansi Auskultasi: suara nafas, rales, ronkhi, wheezing, bronkofoni, pectoriloquy Simetris, ritmis Simetris, SF D=S s s v v rh - - wh - - s s v v - - - - s s v v - - - - JANTUNG Inspeksi: iktus Palpasi: iktus, thrill Perkusi: batas kiri, batas kanan, pinggang jantung Auskultasi: denyut jantung (frekuensi, irama) S1, S2, S3, S4, gallop, murmur, ejection click, friction rub Iktus visible Iktus palpable @ ICS IV MCL S LHM~iktus, RHM~SL D S1S2 single, murmur sistolik pulmonal gr.II gallop (-)
Tidak diperiksa REKTUM Hemoroid, fisura, kondiloma, darah, Tidak diperiksa sfingter ani, massa, prostat NEUROLOGI Berdiri, gaya jalan, tremor, koordinasi, kelemahan, flaksid, paralitik, fasikulasi, syaraf kranial, refleks fisiologis, refleks patologis Dalam batas normal BICARA Disartria, apraxia, afasia Tidak ditemukan kelainan
Anemia hemolitik autoimune merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek [4] . Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi beraksi secara optimal pada suhu 37C. Kurang lebih 50% pasien AIHA disertai penyakit lain [4]. Awalan penyaklit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. Urin bewarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopathik splenomegali terjadi pada 50-60%, hepatomegali terjadi pada 30%, dan limadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi [4]. Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7g/dl. Pemeriksaan Coom direk biasanya positif. Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Auto antibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh [4]. Terapinya meliputi: Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik ( Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coomb direk positif lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari. Terapi steroid dosis<30 mg/hari diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namum bila dosis perhari melebihi 1,5 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasaca splenektomi mencapai 50-75% namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi. Imunosupresi. Azatioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari Terapi lain : danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400mg/hari. Terapi immunoglobulin ( 400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsinya bersifat sementara.tetapi plasmafaresis masih kontroversial. Terapi transfusi : terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa ( misal Hb < 3g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin yang berefek [4].
Selain tipe hangat ada pula tipe dingin, Sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 g/dl sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif. Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegali. Untuk terapinya dapat dilakukan dengan menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis, Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu, klorambusil 2-4 mg/hari. Plasmafaresis untuk mengurangi hemolisis, namun secara praktik hal ini sukar dilakukan. Pada pasien (Tn.M/29th) ini didapatkan lemas disertai pusing sejak satu minggu yang lalu. Lemas sebenarnya sudah dirasakan sejak satu tahun yang lalu, namun seminggu terakhir ini dirasakan semakin berat. Karena lemas tidak kunjung berkurang, maka pasien datang memeriksakan diri ke dokter, dan kemudian didapatkan Hb: 5,7 pasien kemudian dianjurkan untuk transfusi darah. Pasien juga mengeluh sesak (ngongsrong) bila berjalan kurang lebih 50 meter, sehingga pasien tidak bias bekerja. Sesak bertambah saat beraktivitas, dan berkurang dengan istirahat. Pasien tidur dengan 2 bantal . Pasien mengeluhkan kulit berubah warna menjadi kekuningan, buang air kecil berwarna seperti teh. Buang air besar normal, tidak didapatkan keluhan. Pasien memiliki riwayat panas, menggigil, dan sempat dicurigai menderita malaria. Pasien memiliki riwayat MRS di RSSA Malang pada bulan September tahun 2010 dengan keluhan sama, dan didiagnosa AIHA, kemudian pasien menjalani transfusi (pasien tidak ingat berapa kali), kemudian setelah membaik pasien dipulangkan. Setelah itu kemudian pasien kembali bekerja di Kalimantan, pasien tidak rutin kontrol dan berobat .Dengan demikian, maka pada pasien ini didapatkan gejala-gejala dan tanda yang sesuai dengan anemia hemolitik autoimun tipe hangat, seperti ikterik (40% pasien), riwayat demam, urin berwarna seperti teh dan juga splenomegali (50-60% pasien) schuffner VIII. Pada hasil laboratorium didapatkan anemia berat (Hb:3.1 g/dL) dan direct coombs test positif. Pada pasien (Tn.M/29tahun) didapatkan keterlambatan pemberian terapi kortikosteroid, yang seharusnya dilakukan terapi sejak awal pasien MRS (karena diagnosa AIHA sudah tegak sebelumnya). Sehingga dapat dlihat pada follow up hari kedua MRS Hb nya semakin turun meskipun sudah mendapatkan transfusi 2 labu PRC/hari. Pada pasien ini baru diberikan terapi dexamethasone setelah hari ke-5 MRS. Setelah dilakukan pemberian dexamethasone 3x1amp i.v. respon post-tranfusi pun menjadi lebih baik. Kemudian dari hasil anamnesa lebih lanjut pasien mengeluh sesak bila berjalan kurang lebih 50 meter. Dari pemeriksaan fisik didapatkan murmur sistolik pulmonal gr II .diagnosa sebagai HF St C Fc III. Gagal jantung ini mungkin disebabkan oleh anemia. Pada keadaan anemia terjadi perubahan nonhemodinamik dan hemodinamik sebagai kompensasi dari penurunan konsentrasi hemoglobin. Mekanisme nonhemodinamik diantaranya yaitu peningkatan produksi eritropoetin untuk merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen extraction. Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat kompleks, antara lain terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya tahanan vascular sistemik, peningkatan preload akibat peningkatan venous return dan peningkatan fungsi ventrikel kiri yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatetik dan faktor inotropik. Pada anemia kronik, terjadi peningkatan kerja jantung menyebabkan pembesaran jantung dan hipertrofi ventrikel kiri. Pada pemeriksaan laboratoris terjadi penurunan Hb sebanyak 3.1 g/dl, peningkatan LDH sebanyak 1239. LDH atau laktate dehydrogenase dijumpai dalam kebanyakan jaringan . LDH dilepaskan apabila terdapat kerusakan jaringan. Kosentrasi LDH tertinggi dapat di jumpai pada jantung, hepar, paru-paru, ginjal, sel darah merah dan sel otot skeletal. Pada pasien ini didapatkan peningkatan LDH karena terjadi hemolisis ( pemecahan sel darah merah) yang melepaskan enzim LDH, justeru menyebabkan peningkatan dari enzim tersebut. Laju Endap Darah (LED) atau dalam bahasa inggrisnya Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur dengan memasukkan darah ke dalam tabung khusus selama satu jam. Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi Laju Endap Darah (LED)-nya. Harga normal LED pada dengan cara Westergen untuk wanita adalah 0-15 mm/jam dan untuk pria adalah 0-10 mm/jam. Pada pasien ini terdapat peningkatan LED sebanyak 135mm/jam. Peningkatan ini adalah disebabkan hemolisis dari eritrosit yang menyebabkan darah cepat mengendap. Pada pasien ini juga didapatkan peningkatan dari asam urat sebanyak 9.7. Peningkatan ini disebabkan oleh destruksi sel darah merah nucleated oleh autoantibodi yang menyebabkan pelepasan metabolit purin. Purin ini kemudian diubah menjadi asam urat justru menyebabkan peningkatan asam urat.
BAB 5 RINGKASAN
Telah dilaporkan pasien seorang pria, 29 tahun dengan keluhan utama badan lemas, didapatkan keluhan lainnya pusing, sesak dan perubahan warna kulit menjadi kuning, kencing berwarna seperti teh, riwayat demam, riwayat dirawat di RSSA dengan diagnosa AIHA pada tahun 2010. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis +/+, sclera icterus +/+, splenomegali sebesar schuffner VIII. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 3,1 g/dL, hapusan darah eritrosit hipokrom mikrositik, anisositosis, poikilositosis, polikromasi, fragmentosit (+). Serta didapatkan peningkatan bilirubin T/D/I: 5,63/ 1,38/ 4,25. Sehingga pasien didiagnosis Anemia Hemolitik Autoimun. Terapi standard pada pasien AIHA adalah pemberian kortikosteroid, immunosupresan, dan dapat dilakukan splenektomi apabila terapi dengan medikamentosa tidak memberikan respon yang baik. Dapat juga dilakukan terapi transfuse darah pada kondisi yang mengancam jiwa (Hb<=3g/dL). Pada pasien ini dilakukan pengobatan dengan dexamethasone 3x1amp iv dan transfusi PRC 2lb/hari sampai Hb>=10g/dL. Prognosa pada pasien ini dubia ad. Bonam, karena pasien memberikan respon baik terhadap terapi. Pasien dipulangkan dengan kadar Hb 10,9.
DAFTAR PUSTAKA 1. Gehrs BC & Friedberg RC (2002) Autoimmune hemolytic anemia. Am J Hematol, 69: 258271. 2. WHO, 2006 , Principles and methods for assesing autoimmunity associated with exposure to chemicals. 3. Dhalilwal G et al. Hemolytic Anemia, American family physician. June 1, 2004, Volume 69 Number 1. 4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S dalam: Ilmu Penyakit Dalam Vol.2, ed.4.Jakarta: FKUI 2007 5. Favoreel H.W et al. Virus Complement evasion strategies, Journal of General Virology ( online) http://www.sgm.ac.uk/jgvdirect/18709/18709ft.htm#FIG1 di akses pada tanggal 14 April 2011 6. Lechner K, Jager U, How I treat autoimmune hemolytic anemia in adults, American Society of Hematology, 16 September 2010, Volume 116,Number 11 7. Draper D.J, Splenomegaly, http://emedicine.medscape.com/article/206208- overview#a0104 di akses pada tanggal 14 April 2011 8. Collins R.D,2007, Differential diagnosis in primary care, Lippincot and Wiliams, http://books.google.com/books?id=4OxNgiA3IiUC&dq=pathophysiology+of+splen omegaly,hemolysis&source=gbs_navlinks_s, diakses pada 14 April 2011. 9. PR Reich, MD, Hematology: Hysiopathologic Basis for Clinical Practice, Boston, MA: Little, Brown & Company Inc, 1984. 10. Henry G, Complete blood count, American nurse today, January 2009, Volume 4 Number 1. 11. Miale J.B, Laboratory medicine Hematology Third Edition, The C.V Mosby Company 1967