Anda di halaman 1dari 30

UNIVERSITAS

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

ISLAM
INDONESIA

STATUS PASIEN UNTUK UJIAN

FAKULTAS

Untuk Dokter Muda

KEDOKTERAN
Nama Dokter Muda
NIM
Tanggal Ujian

Nila Indria Utami


09711110
5 Maret 2015
RSUD Dr.R Goeteng Taroenadibrata

Rumah sakit

Tanda Tangan

Purbalingga

Gelombang Periode
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny.K

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 61 tahun

Alamat

: Karang nangka 02/01, Purbalingga

Agama

: Islam

Mondok di bangsal

: Lavender

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Tanggal masuk

: 5 Maret 2015

Nomor CM

: 531992

II. ANAMNESIS
(Anamnesis dilakukan pada tanggal : 5 Maret 2015 pukul : 12.30 WIB)
Keluhan Utama

: Lemas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien merupakan penderita anemia aplastik dengan tranfusi darah rutin
setiap dua bulan sekali. Pasien telah didiagnosis anemia aplastik dan dinyatakan
memiliki supresi pada sumsum tulang sejak 2 tahun yang lalu. Pasien datang ke IGD
dengan keluhan lemas sejak 1 minggu SMRS. Keluhan disertai dengan keluhan letih
(+), lesu (+), mudah lelah (+),demam (+), pusing (+), mual (+), muntah (-), dan nyeri
Manajemen Kasus I-Interna

ulu hati (+). Selain itu pasien juga mengeluh muncul bintik-bintik merah dan lebam
pada tangan dan kaki pasien. BAK (+) N,BAB (+) N. Keluhan BAB hitam, muntah
darah, mimisan dan perdarahan mukosa dan gusi disangkal. Nafsu makan pasien
menurun.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa (+). Riwayat terdiagnosis anemia aplastik dan
memiliki supresi pada sumsum tulang sejak dua tahun lalu. Riwayat HT (-). Riwayat
DM (+). Riwayat hepatitis (-). Riwayat penggunaan obat jangka panjang (-).
Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan serupa (-), HT (-), DM (-)


Kebiasaan & Lingkungan :
Pasien makan teratur 3 kali sehari dengan menu ayam, telur, tahu tempe
dan sayur. Namun semenjak sakit nafsu makan pasien menurun. Riwayat merokok
dan mengkonsumsi alcohol (-).
Anamnesis Sistem

Sistem Saraf

: pusing (+), kejang (-), demam (+)

Sistem Respirasi

: Sesak nafas (-), batuk (-)

Sistem Kardiovaskuler

: nyeri dada (-), berdebar-debar(-)

Sistem Digestive

: Mual (+), muntah (-), diare (-), nyeri epigastrium

(+), BAB hitam (-)


Sistem Urogenital

: BAK (+) N, warna kuning (+)

Sistem Integumentum

: kemerahan pada kulit (+) gatal (-)

III. PEMERIKSAAN TANDA VITAL (VITAL SIGN)


(Dilakukan pada tanggal : 5 Maret 2015 pukul : 12.30 WIB)
Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Suhu tubuh

: 39 oC

Frekuensi denyut nadi

: 80 x/m

Frekuensi nafas

: 18 x/m

Manajemen Kasus I-Interna

IV. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


A. KEADAAN UMUM
Kedaan Umum

: Cukup

Kesadaran

: Compos Mentis

Tinggi badan

: 150 cm

Berat badan

: 45 kg

BMI

: 20

Kesan

: normoweight

Status gizi

: cukup

Skema manusia

Gambarkan pada skema di atas jika ada kelainan lokal dan berikan keterangan
secukupnya
B. PEMERIKSAAN KEPALA :
1. Mata

: Konjungtiva anemis

: +/+

Sklera Ikterik
2. Hidung

3. Telinga

: Discharge

:-

Deviasi

:-

Nyeri tekan hidung

:-

Nyeri tekan sinus paranasal

:-

: Kelainan bentuk telinga

4. Mulut
Manajemen Kasus I-Interna

: -/-

:-

Discharge

:-

Epistaksis

:-

Benjolan

:-

Pembesaran limfonodi pre/post

:-

Nyeri tekan

:-

: Bentuk bibir

: Normal

Pucat

:+

C. PEMERIKSAAN LEHER :
Inspeksi :

Benjolan/Massa

:-

Pembesaran kelenjar limfonodi

:-

Vena Jugularis

: Tidak meningkat

Palpasi :

Benjolan/Masa

:-

Nyeri tekan

:-

Pemeriksaan trakea :

Deviasi trakea

:-

Pemeriksaan kelenjar tiroid :

Pembesaran Kelenjar Tiroid

:-

Pemeriksaan Sudut Tangensial

: TDL

Ikut bergerak saat gerakan menelan : +

Konsistensi

: Kenyal, Tidak Berbenjol

Nyeri Tekan

:-

Bruit

: TDL

Pemeriksaan tekanan vena sentral : 5+2 cm H2O Interpretasi : Normal


D. PEMERIKSAAN THORAKS

Jantung
Inspeksi

: Sianosis sentral

:-

Pulsasi ictus cordis : Tidak terlihat


Palpasi

: Pulsasi ictus cordis : Teraba di SIC V, linea midclavikularis


sinistra, tidak kuat angkat, thrill (-)

Perkusi

: Batas jantung kanan di SIC IV linea sternalis dextra

Manajemen Kasus I-Interna

Batas jantung kiri di SIC V linea midclavikularis sinistra


Batas jantung atas di SIC II linea sternalis sinistra
Batas pinggang jantung di SIC III linea parasternal sinistra

Interpretasi

: Batas jantung normal

Auskultasi

: S1 - S2 reguler, bising (-)

Paru
Inspeksi

Palpasi

: Deformitas dinding dada : Barrel chest

:-

Deviasi tulang belakang

:-

Retraksi dinding dada

:-

Ketinggalan gerak

:-

Spatium intercosta

: normal

: Vocal fremitus ki/ka

: simetris, normal

Nyeri tekan

:-

Perkusi

: Sonor pada semua lapang paru

Auskultasi

: Vesikuler (+/+), wheezing (-), ronkhi (-)

Interpretasi

: Keadaan paru dalam batas normal

E. PEMERIKSAAN ABDOMEN :
Inspeksi

: Pelebaran vena

:-

Caput medusa

:-

Umbilikus

: warna kemerahan (-), bentuk dbn

Bentuk dinding abdomen

: sejajar dengan dinding dada

Simetrisitas

: simetris

Benjolan

:-

Peristaltik

: Tidak terlihat

Pulsasi aorta

: Tidak terlihat

Auskultasi

: Peristaltik

: (+) normal

Perkusi

:Dominan timpani

:+

Batas kanan atas hepar

: SIC V linea midclavikularis dextra

Batas lobus hepar kiri

: 2 cm di bawah Proc. Xyphoideus

Lien

: Tidak ada pembesaran

Manajemen Kasus I-Interna

Palpasi

: Hepar

: tidak teraba

Lien

: Tidak teraba

Masa abdomen

:-

Nyeri tekan

:-

Spasme otot

:-

PEMERIKSAAN REN :
Pemeriksaan nyeri ketok ginjal

: -/-

PEMERIKSAAN EKSTREMITAS :
Lengan

: ekimosis (+/+)

Tangan

: ekimosis (+/+)

Kaki

: ekimosis (+/+) akral hangat (+/+), edema

(-/-)
V. RESUME PEMERIKSAAN FISIK :
Dari hasil pemeriksaan fisik Ny. K, 61 tahun tahun didapatkan keadaan umum
pasien cukup, compos mentis, gizi baik. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan
tekanan darah 120/80 mmHg, suhu 390C, nadi 80x/menit, frekuensi nafas 18x. Dari
pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva anemis (+/+) dan bibir pucat. Pemeriksaan
leher dalam batas normal. Pemeriksaan

jantung dan paru dalam batas normal.

Pemeriksaan abdomen dalam batas normal. nyeri ketok ginjal (-/-). Pada pemeriksaan
ekstremitas ditemukan ekimosis pada kedua tangan dan kaki.
VI.

DAFTAR MASALAH PASIEN (BERDASARKAN DATA ANAMNESIS


DAN PEMERIKSAAN FISIK) :
A. Masalah aktif : lemas, letih, lesu, mudah lelah, demam, pusing, ekimosis pada
kedua tangan dan kaki, mual, nyeri ulu hati.
B. Masalah pasif : nafsu makan turun.

VII.

Tindakan Diagnostik/Pemeriksaan Penunjang


VIII. EKG :

Manajemen Kasus I-Interna

Normal sinus ritme, HR 94x/menit, normal EKG.


IX.

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 02 Maret 2015:


PEMERIKSAAN

HASIL

SATUAN

NILAI
NORMAL

Hematologi
Darah rutin
Hb

7,5

g/dl

11,7-15,5

Leukosit

0,8

103/ul

3,6-11

Hematokrit

22

35-47

Eritrosit

2,7

106/ul

3.8-5,2

Trombosit

16

103/ul

150-440

MCV

82

fL

80-100

MCH

34

Pg

26-34

MCHC

28

g/dL

32-36

Eosinofil

1-3

Basofil

0-1

Netrofil Segmen

18

50-70

Limfosit

66

25-40

Monosit

12

2-8

mg/dL

100-150

DIFF COUNT

Kimia Klinik
ELEKTROLIT
Gula Darah Sewaktu
Manajemen Kasus I-Interna

195

SGOT

74,9

U/L

<=31

SGPT

155

U/L

<=32

Ureum

38,4

mg/dL

10-50

Creatinin

0,42

mg/dL

0,6-1,1

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 4 Maret 2015 :


PEMERIKSAAN

HASIL

SATUAN

NILAI
NORMAL

Hematologi
Darah rutin
Hb

7,2

g/dl

11,7-15,5

Leukosit

0,6

103/ul

3,6-11

Hematokrit

21

35-47

Eritrosit

2,6

106/ul

3.8-5,2

Trombosit

13

103/ul

150-440

MCV

82

fL

80-100

MCH

28

Pg

26-34

MCHC

34

g/dL

32-36

Eosinofil

1-3

Basofil

0-1

Netrofil Segmen

15

50-70

Limfosit

75

25-40

Monosit

2-8

DIFF COUNT

X.

DIAGNOSIS :
-

Anemia aplastik sangat berat

Manajemen Kasus I-Interna

XI.

Febril netropenia

Dyspepsia

Tindakan/ Terapi

Infus NaCl 30 tpm

Antibiotik Inf. Levofloxacin 1 x 1

Antipiretik Inf. Parasetamol 2 x 1

Antiemetik Inj ondansentron 4 mg 2x1

Corticosteroid Inj. MP 62,5 2 x 1

PPI omeprazol 1 x 1 tab

Syr antacid 3 x 2 cth

Sukralfat 3 x 1 tab

Tranfusi PRC 1 kolf/hari + premedikasi inj dexametason 1 ampul hingga Hb


8.

Manajemen Kasus I-Interna

DAFTAR HASIL FOLLOW UP


5 Maret 2015
S
lemas, letih, lesu,

KU : Cukup

mudah lelah,

TD : 120/80 mmHg

O
o

demam, pusing,

Suhu tubuh: 39 C

mual, nyeri ulu hati,

N: 80 x/m

timbul bintik merah

RR : 18 x/m

dan lebam pada

Hasil lab :

kedua tangan dan

Hb : 7,2/dl

kaki.

AL : 0,6 x 103/ul

A
Anemia aplastik

sangat berat

Infus NaCl 30 tpm

Febril

Antibiotik Inf.

neutropenia
-

Dyspepsia

Levofloxacin 1 x 1
Antipiretik Inf.
Parasetamol 2 x 1
Antiemetik Inj
ondansentron 4 mg

Hematokrit : 21%

2x1

AE : 2,6 x 106/ul

Corticosteroid Inj.

AT : 13 x 103/ul

MP 62,5 2 x 1

Eosinofil : 0%

PPI omeprazol 1 x

Basofil : 7%

1 tab

Netrofil segmen : 15%

Syr antacid 3 x 2 cth

Limfosit :75%

Sukralfat 3 x 1 tab

Monosit : 4

Tranfusi PRC 1
kolf/hari +
premedikasi inj
dexametason 1
ampul hingga Hb
8 (tranfusi PRC
sudah masuk 2 kolf)
6 maret 2015
Lemas, mual,

KU : cukup

nyeri ulu hati,


bintik merah dan
lebam berkurang

Anemia

Infus NaCl 30 tpm

TD : 100/90

aplastik sangat

Antibiotik Inf.

N : 82 x/m

berat

S : 36.5 C

RR : 18 x/m

neutropenia
-

Manajemen Kasus I-Interna

Febril

Levofloxacin 1 x 1

Dyspepsia

Antipiretik Inf.
Parasetamol 2 x 1

Antiemetik Inj

ondansentron 4 mg
2x1

Corticosteroid
Inj. MP 62,5 2 x 1

PPI omeprazol
1 x 1 tab

Syr antacid 3 x 2
cth

Sukralfat 3 x 1 tab
Tranfusi PRC 1
kolf/hari +
premedikasi inj
dexametason 1
ampul hingga Hb
8 (tranfusi PRC
sudah masuk 3 kolf)

7 maret 2015
Keluhan (-)

KU : cukup

Anemia

Tranfusi PRC 1

TD : 110/90

aplastik sangat

kolf/hari +

N : 82 x/m

berat

premedikasi inj

Febril

dexametason 1

neutropenia

ampul hingga Hb

Dyspepsia

8 (tranfusi PRC

S : 36.7 C

RR : 20 x/m
-

sudah masuk 4
kolf)

BLPL

Cek Hb ulang saat


kontrol

Antibiotik
Levofloxacin 1 x 1

Antipiretik
Parasetamol 3 x 1
K.P

Manajemen Kasus I-Interna

Antiemetik
ondansentron 4 mg
3x1

PPI omeprazol
1 x 1 tab

Syr antacid 3 x 2
cth

Manajemen Kasus I-Interna

Sukralfat 3 x 1 tab

Dasar Teori
Anemia Aplastik
Definisi
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan
sumsum tulang dengan penurunan selsel hematopoietik dan penggantiannya oleh
lemak, menyebabkan anemia, dan sering disertai dengan granulositopenia dan
trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat dikarenakan faktor herediter
(genetik), faktor sekunder oleh berbagai sebab seperti toksisitas, radiasi atau reaksi
imunologik pada sel sel induk sumsum tulang, berhubungan dengan beragam penyakit
penyerta, atau faktor idiopatik.

Primer
Kongenital (jenis Fanconi dan non-Fanconi)

Sekunder
Radiasi

Idiopatik

radionuklir
Zat kimia: benzena, dan pelarut organik lain,

pengion:

radioterapi,isotop,

TNT, insektisida, pewarna rambut, klordan,


DDT
Obat-obatan yang bisa menyebabkan depresi
sumsum tulang (busulfan, siklofosfamid,
antrasiklin,

nitrosurea,

kloramfenikol,

sulfonamida, emas, dll)


Infeksi: Hepatitis, HIV, EBV
Etiologi dan Faktor Risiko

Secara etiologik penyakit anemia aplastik ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu:
1. Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan
faktor kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang herediter
antara lain : sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya disertai dengan
kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan kelainan
ginjal;

diskeratosis

kongenital;

Manajemen Kasus I-Interna

sindrom

Shwachman-Diamond;

dan

trombositopenia amegakaryositik. Kelainan kelainan ini sangat jarang


ditemukan dan juga jarang berespons terhadap terapi imunosupresif.
Kegagalan sumsum tulang herediter biasanya muncul pada usia sepuluh tahun
pertama dan kerap disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan,
hipogonadisme, bintik-bintik caf-au-lait pada anemia Fanconi (sindroma
Fanconi)). Beberapa pasien mungkin mempunyai riwayat keluarga dengan
sitopenia. Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah
penyakit yang paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi)
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA
repair dan memiliki predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada pasien
anemia Fanconi (sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif langka
dengan prognosis buruk yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia sumsum
tulang, dan perubahan warna kulit yang berbercak bercak coklat akibat
deposisi melanin (bintik bintik caf-au-lait). Anemia Fanconi biasanya disertai
dengan kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan
kelainan ginjal. Salah satu gejala yang khas adanya fasies anemia fanconi, yang
ditandai dengan mikrosefali, lipatan epikantus, dan juga abnormalitas bentuk,
ukuran, dan letak telinga.
Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan
secara klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal berupa
pigmentasi kulit pada tubuh bagian atas, distrofi kuku, dan leukoplakia mukosa.
Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi klinik yang beragam.
Terdapat bentuk bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan autosomal
resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen DKC1,
yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi telomerase.
Gangguan telomerase menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih cepat,
kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging). Diskeratosis
kongenital autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen TERC (yang
menyandi komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya mengganggu
aktivitas telomerase dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien
(kurang dari 5%) yang dicurigai menderita anemia aplastik memiliki mutasi
TERC.

Manajemen Kasus I-Interna

2. Anemia aplastik didapat


Timbulnya anemia aplastik didapat dapat dikarenakan oleh :
-

Penggunaan obat, anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas


atau penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat yang paling banyak
menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat obatan lain
yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, antirematik, anti-tiroid, preparat emas dan antikonvulsan, obat obatan

sitotoksik seperti mileran atau nitrosourea.


Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat menyebabkan

anemia aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).


Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara atau
permanen, yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus influenza A,
tuberkulosis milier, Cytomegalovirus (CMV) yang dapat menekan produksi
sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel sel stroma sumsum tulang,
Human Immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi Acquired
Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS), virus hepatitis non-A, non-B dan
non-C, infeksi parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis.
Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik
yang disebabkan oleh berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron
akan ditemukan virus dalam eritroblas dan dengan pemeriksaan serologi
akan dijumpai antibodi virus ini. DNA parvovirus dapat mempengaruhi
progenitor eritroid dengan mengganggu replikasi dan pematangannya.

Terapi radiasi dengan radioaktif dan pemakaian sinar Rontgen.


Adanya Paroksismal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH)

ternyata

berhubungan dengan kejadian anemia aplastik. Pada PNH, terjadi mutasi


pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis struktur
glikosilfosfatatidilinositol yang mempengaruhi protein yang dimana pada
defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravaskular. Defisiensi
protein akibat mutasi PGI-A ini berpengaruh tidak hanya pada sel darah
merah, tetapi juga granulosit, dan trombosit. Penghancuran ini lama-lama
berpengaruh kepada pembentukan sel darah di sumsum tulang, yang
mengarah kepada kegagalan sumsum tulang.

Manajemen Kasus I-Interna

Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka
pasien tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik.
Klasifikasi
Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat
diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas dan
mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia daripada selularitas
sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja
untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80% dengan infeksi
jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak
berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.
Klasifikasi Anemia Aplastik
Klasifikasi
Anemia Aplastik Berat

Selularitas

tulang
Sitopenia sedikitnya dua

Kriteria

sumsum < 25%

dari tiga seri sel darah

Hitung neutrofil < 500/l


Hitung trombosit < 20.000/l
Hitung
retikulosit
absolut

<

60.000/l
Anemia Aplastik Sangat Berat

Sama seperti diatas kecuali hitung neutrofil

Anemia Aplastik Tidak Berat

< 200/l
Sumsum

tulang

hiposelular

namun

sitopenia tidak memenuhi kriteria berat

Hitung neutrofil 500-1500/l


Hitung trombosit 20.000-1000/l
Hitung
retikulosit
absolut
<
60.000/l

Patofisiologi

Manajemen Kasus I-Interna

Di akhir tahun 1960-an, Math et al memunculkan teori baru berdasarkan


kelainan autoimun setelah melakukan transplantasi sumsum tulang kepada pasien
anemia aplastik. Keberhasilan transplantasi sumsum tulang untuk menyembuhkan
anemia aplastik memperlihatkan adanya kondisi defisiensi sel induk asal (stem cell).
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik juga dibuktikan oleh
percobaan in vitro yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat
pembentukan koloni hemopoietik alogenik dan autologus. Setelah itu, diketahui bahwa
limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi sel sel asal hemopoietik pada kelainan
ini. Sel sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah
tepi pasien anemia aplastik. Sel sel tersebut menghasilkan interferon- dan TNF-
yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada
sel sel CD34+. Klon sel sel imortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia
aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-1 (Th1) yang bersifat toksik langsung ke sel
sel CD34+ positif autologus.
Sebagian besar anemia aplastik didapat secara patofisiologis ditandai oleh
destruksi spesifik yang diperantarai sel T ini. Pada seorang pasien, kelainan respons
imun tersebut kadang kadang dapat dikaitkan dengan infeksi virus atau pajanan obat
tertentu atau zat kimia tertentu. Sangat sedikit bukti adanya mekanisme lain, seperti
toksisitas langsung pada sel asal atau defisiensi fungsi faktor pertumbuhan
hematopoietik. Dan derajat destruksi sel asal dapat menjelaskan variasi perjalanan klinis
secara kuantitatif dan variasi kualitatif respons imun dapat menerangkan respons
terhadap terapi imunosupresif. Respons terhadap terapi imunosupresif menunjukkan
adanya mekanisme imun yang bertanggung jawab atas kegagalan hematopoietik.
Kegagalan Hematopoietik
Kegagalan produksi sel darah berkaitan erat dengan kosongnya sumsum tulang
yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core
biopsy sumsum tulang. Hasil pencitraan dengan magnetic resonance imaging (MRI)
vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak yang merata.
Secara kuantitatif, sel sel hematopoietik yang imatur dapat dihitung dengan flow
cytometry. Sel sel tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive yang disebut
CD34+. Pada pemeriksaan flow cytometry, antigen sel CD34+ dideteksi secara fluoresens
satu per satu, sehingga jumlah sel sel CD34 + dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia
aplastik, sel sel CD34+ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel sel induk
Manajemen Kasus I-Interna

pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya.


Assay lain untuk sel sel hematopoietik yang sangat primitif dan tenang (quiescent)
yang sangat mirip jika tidak dapat dikatakan identik dengan sel sel asal, juga
memperlihatkan adanya penurunan jumlah sel. Pasien yang mengalami pansitopenia
mungkin telah mengalami penurunan populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1%
atau kurang. Defisiensi berat ini mempunyai konsekuensi kualitatif yang dicerminkan
oleh pemendekan telomer granulosit pada pasien anemia aplastik.
Destruksi Imun
Banyak data pemeriksaan laboratorium yang menyokong hipotesis bahwa pada
pasien anemia aplastik didapat, limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen
sel hematopoietik. Eksperimen awal memperlihatkan bahwa limfosit pasien menekan
hematopoiesis. Sel sel ini memproduksi faktor penghambat yang akhirnya diketahui
adalah interferon-. Adanya aktivasi respons sel T-helper-1 (Th1) disimpulkan dari
sifat imunofenotipik sel T dan produksi interferon, tumor necrosis factor (TNF), dan
interleukin-2 (IL2) yang berlebihan. Deteksi interferon- intraselular pada sampel
pasien secara flow cytometry mungkin berkorelasi dengan respons terapi imunosupresif
dan dapat memprediksi relaps.
Pada anemia aplastik, sel sel CD34+ dan sel sel induk (progenitor)
hemopoietik sangat sedikit jumlahnya. Namun, meskipun defisiensi myeloid
(granulositik, eritroid dan megakariositik) bersifat universal pada kelainan ini, defisiensi
imunologik tidak lazim terjadi. Hitung limfosit umumnya normal pada hampir semua
kasus, demikian pula fungsi sel B dan sel T. Dan pemulihan hemopoiesis yang normal
dapat terjadi dengan terapi imunosupresif yang efektif. Oleh karena itu, sel sel asal
hemopoietik akan tampak masih ada pada sebagian pasien anemia aplastik.
Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 +
yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan
penghentian siklus sel (cell-cycle arrest). Sel sel T dalam tubuh pasien membunuh sel
sel asal hemopoietik dengan aktivasi HLA-DR-restricted melalui ligan Fas. Sel sel
asal hemopoietik yang paling primitif tidak atau sedikit mengekspresikan HLA-DR atau
Fas, dan ekspresi keduanya meningkat sesuai pematangan sel sel asal. Oleh karena
itu, sel sel asal hemopoietik primitif, yang normalnya berjumlah kurang dari 10% sel
sel CD34+ total, relatif tidak terganggu oleh sel sel T autoreaktif; dan di lain pihak,
sel sel asal hemopoietik yang lebih matur dapat menjadi target utama serangan sel
Manajemen Kasus I-Interna

sel imun. Sel sel asal hemopoietik primitif yang selamat dari serangan autoimun
memungkinkan pemulihan hemopoietik perlahan lahan yang terjadi pada pasien
anemia aplastik setelah terapi imunosupresif.

Destruksi Imun Pada Sel Hematopoietik

DIAGNOSIS
Untuk

menegakkan

diagnosis

anemia

aplastik

dan

menyingkirkan

kemungkinan penyebab lain yang juga menyebabkan pansitopenia, dapat


dilakukan pemeriksaan, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik hingga
pemeriksaan penunjang.

ANAMNESIS
Dari anamnesis, tidak ada gejala klinis khas yang bisa didapatkan untuk
mengarah ke anemia aplastik. Biasanya gejala klinis timbul akibat adanya
pansitopenia, yaitu anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Gejalanya dapat
berupa :
a. Gejala anemia : lemah, letih, lesu, pucat, pusing, penglihatan terganggu,
nafsu makan menurun, sesak nafas, serta jantung berdebar. Variasi gejala
bermacam-macam dari gejala yang ringan hingga berat.

Manajemen Kasus I-Interna

b. Gejala perdarahan akibat trombositopenia : paling sering timbul dalam


bentuk perdarahan kulit seperti petekie atau ekimosis. Perdarahan mukosa
juga dapat terjadi seperti epistaksis, perdarahan subkonjungtiva, perdarahan
gusi, hematemesis/melena, dan pada wanita dapat terjadi menorhagia.
Perdarahan organ dalam lebih jarang dijumpai, tetapi jika terjadi
perdarahan otak sering bersifat fatal.
c. Gejala infeksi : febris, nyeri badan, ulserasi mulut atau tenggorok selulitis
leher, sepsis hingga syok septik.
Selain itu perlu juga ditanyakan dari riwayat keluarga apakah ada yang
menderita gejala yang serupa atau apakah gejala seperti ini sudah terlihat sejak
masih kecil atau tidak untuk mengetahui faktor resiko apakah penyebab karena
bawaan (kongenital) atau karena didapat (acquired).

PEMERIKSAAN FISIK
Dari pemeriksaan fisik anemia aplastik juga bervariasi dan disini
ditegaskan kembali apakah sesuai dengan gejala yang dikeluhkan pasien. Pada
pemeriksaan kepala, dapat ditemukan tanda-tanda anemia, seperti konjungtiva
anemis atau mukosa kering dan pucat. Sebagian besar pasien didapatkan tandatanda umum anemia, terutama pucat dan lemas. Pada pemeriksaan leher,
seharusnya

tidak

didadapatkan

adanya

pembesaran

limfonodi.

Pada

pemeriksaan thoraks biasanya tidak didapatkan kelainan yang berarti. Pada


pemeriksaan abdomen tidak didapatkan adanya organomegali seperti
hepatomegali maupun splenomegali. Hal ini dikarenakan kelainan darah yang
terjadi pada anemia aplastik merupakan kelainan primer langsung dari
pembentukan darah di sumsum tulang, bukan karena kerusakan pada organ
lain. Adanya organomegali bisa membuat diagnosis anemia aplastik tidak dapat
ditegakkan. Pada ekstremitas juga dapat terjadi pucat atau sianosis.
Untuk tanda-tanda perdarahan, dapat ditemukan pada macam-macam
tempat, seperti di kulit, gusi, hidung, retina yang dapat mengganggu
penglihatan, melena, dan hematemesis atau muntah darah.
Tanda-tanda infeksi juga dapat ditemukan. Dari vital sign bila ada tanda
infeksi maka akan terjadi peningkatan suhu tubuh sehingga akan dikeluhkan
demam pada anak. Pada ekstrremitas maupun badan dapat ditemukan nyeri
badan atau pegal-pegal pada sendi akibat proses peradangan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Manajemen Kasus I-Interna

a. Pemeriksaan darah lengkap


Pada pemeriksaan darah lengkap dapat diketahui jumlah masingmasing sel darah baik eritrosit, leukosit maupun trombosit. Pasien dengan
anemia aplastik memiliki bermacam-macam derajat pansitopenia. Pada
stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang
terjadi bersifat normokromik, normositer, tidak disertai tanda-tanda
regenerasi. Anemia juga dihubungkan dengan indeks retikulosit yang
rendah, biasanya kurang dari 1% dan kemungkinan nol walaupun
eritropoetinnya tinggi. Anemia juga dapat berat dengan didapatkan kadar
Hb < 7 gr/dL.
Pemeriksaan leukosit biasanya ditemukan leukopenia. Jumlah
granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif
terdapat pada 75% kasus. Jumlah neutrofil < 500/mm3 dan trombosit <
20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil <
200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat. Nanti akan dijelaskan
kriteria berat tidaknya pada anemia aplastik.
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitas sedangkan secara
kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari
eritrosit, leukosit atau trombosit bukan gambaran klinis dari anemia
aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Jumlah trombosit <
30.000/uL menunjukkan derajat anemia yang berat. Pada beberapa
keadaan, awalnya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga
diagnosis menjadi red cell aplasia atau amegakariositik ttrombositopenia.
Pada pasien seperti ini, produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam
beberapa hari atau minggu sehingga nantinya diagnosis anemia aplastik
dapat ditegakkan.
Pada apusan darah tepi ditemukan gambaran anemia normokromik,
normositer. Adanya eritorsit muda atau leukosit muda dalam apusan
menunjukkan bukan anemia aplastik. Persentase retikulosit umumnya
normal atau rendah. Hal ini dapat membedakan dengan anemia hemolitik
dimana ditemukan sel eritrosit muda yang ukurannya lebih besar dari yang
tua dan persentase retikulosit meningkat.

Manajemen Kasus I-Interna

Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu perdarahan juga


biasanya memanjang, dan juga waktu pembekuan darah akibat dari
trombositopenia. Selain itu pada anemia aplastik anak juga ditemukan
Hemoglobin F yang meningkat.
Pada plasma darah bisa ditemukan growth factor hematopoiesis,
termasuk eritropoietin, trombopoietin, dan faktor stimulan koloni myeloid.
Kadar Fe serum meningkat dan klirens Fe memanjang dengan adanya
penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit dalam sirkulasi.
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada pemeriksaan sumsum tulang ada 2 pemeriksaan yaitu biopsi dan
aspirasi.

Tujuan

pemeriksaan

ini

adalah

untuk

menyingkirkan

kemungkinan penyebab pansitopenia lainnya seperti leukimia atau


myelodisplastic syndrome (MDS). Pemeriksaan sumsum tulang akan
menunjukkan secara tepat jenis dan jumlah sel sumsum tulang yang sudah
ditandai, kadar sel-sel muda pada sumsum tulang (sel darah putih yang
imatur) dan kerusakan kromosom (DNA) pada sel-sel dari sumsum tulang
yang disebut kelainan sitogenik. Pada pasien anemia aplastik akan
ditemukan hanya beberapa sel hematopoietik khas dan banyak diisi sel
stroma dan sel lemak. Walau pada leukimia atau keganasan lain juga ada
penurunan sel hematopoietik, tetapi dapat ditemukan sel kanker yang khas
pada keganasan darah.
Lebih spesifik, pada aspirasi sumsum tulang ditemukan sejumlah
spikula dengan daerah kosong yang diisi lemak dan sedikit sel
hematopoiesis. Kebanyakan kasus gambaran sel yang ditemukan adalah
hiposelular. Tapi hal ini dapat akibat kesalahan teknis, misal terdilusi
dengan darah perifer sehingga dianjurkan aspirasi ulang atau dikonfirmasi
dengan biopsi.
Sedangkan pada biopsi dilakukan untuk penilaian selularitas, baik
kualitatif atau kuantitatif. Dan pada semua pasien anemia aplastik
ditemukan gambaran hiposelular.Spesimen biopsi dianggap hiposelular bila
ditemukan < 30% sel pada individu berusia kurang dari 60 tahun, atau <
20% pada pasien usia lebih dari 60 tahun.

Manajemen Kasus I-Interna

International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik


berat bila selularitas sumsum tulang < 25% atau < 50% dengan < 30% sel
hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.
c. Pemeriksan radiologis
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak begitu penting untuk
mendiagnosis anemia aplastik. Pada pemeriksaan X-Ray rutin dari os
radius dapat menganalisa kromosom darah tepi untuk menyingkirkan
diagnosis anemia fanconi. Pada USG abdominal, pembesaran limpa
dan/atau kelenjar limfa dapat mengindikasikan kemungkinan penyakit
keganasan penyebab pansitopenia. Sedangkan pada pasien muda, letak
ginjal abnormal merupakan gambaran anemia fanconi. Pada pemeriksaan
MRI (Magnetic Resonance Imaging) memperlihatkan gambaran khas yaitu
ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan jaringan lemak. Pemeriksaan
ini adalah yang terbaik untuk tahu luas perlemakan karena dapat membuat
pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum
tulang berselular.
Diagnosis

pasti

anemia

aplastik

ditegakkan

berdasarkan

pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik


ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang dengan miskin selularitas
dan kaya sel lemak.
Dari International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study
Group (IASSG) mendeskripsikan kriteria diagnosis anemia aplastik sebagai
berikut.
1. Satu dari tiga kriteria berikut.
Hemoglobin < 10g/dL atau hematokrit <30%.
Trombosit < 50x109/L
Leukosit < 3,5x109/L
2. Retikulosit < 30x109/L (<1%)
3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat):
Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel
hematopoietik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal
dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit
Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.
4. Pansitopenia akibat obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus
dieksklusi.

Manajemen Kasus I-Interna

Setelah diagnosis ditegakkan, dapat ditentukan tingkat keparahan dari


anemia aplastik. Klasifikasi keparahan dapat dibagi menjadi 3 tingkatan
berikut.
1. Anemia aplastik tidak berat apabila sumsum tulang tidak hiposelular
namun sitopenia atau pansitopenia tidak memenuhi kriteria berat
2. Anemia aplastik berat, apabila selulitas sumsum tulang < 25% atau
selularitas <50% dengan <30% sel-sel hematopoietik. Dan apabila
sitopenia sedikitnya 2 dari 3 seri sel darah yaitu neutrofil <500/L,
trombosit <20.000/ L, retikulosit absolut <20.000/L atau <1%.
3. Anemia aplastik sangat berat, sama dengan anemia aplastik berat dengan
neutrofil <200/L.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding anemia aplastik perlu dibedakan dengan kelainan lain yang
ditandai dengan pansitopenia perifer. Berikut beberapa contoh penyebab
pansitopenia.
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia syndrome (MDS)
Leukimia akut

Kelainan non sumsum tulang


Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi : tuberculosis, AIDS, leishmaniasis,
brucellosis

Myelofibrosis
Penyakit infiltratif : limfoma, myeloma,
carcinoma, hairy cell leukimia
Anemia megaloblastik
Kelainan yang paling mirip dengan anemia aplastik berat adalah sindrom
myelodisplastik (MDS) atau myeloid leukimia (AML) dimana kurang dari 5
-10% kasus tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri yang dapat
membedakan MDS dengan anemia aplastik yaitu pada MDS terdapat morfologi
darah yang abnormal (misal poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudopelger-Huet), prekursor eritroid sumsum tulang MDS menunjukkan gambaran
disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan dibandingkan
pada anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau
terlihat granulasi abnormal dan megakariosit yang menunjukkan lobulasi
Manajemen Kasus I-Interna

nukleus abnormal. Intinya, pada MDS dapat ditemukan sel displasia dari
granulosit dan megakarisot, serta adanya sel blast pada darah atau sumsum
tulang.
Pada leukimia limfoblastik hiposeluler akut (ALL) dapat dibedakan dengan
anemia aplastik dari adanya morfologi abnormal atau peningkatan sel blast atau
dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Selain itu, pada
leukimia akut juga ditemukan limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi
gusi.Lebih spesifik, pada ALL neutropenia lebih dominan dibanding
trombositopenia dan kadang ada peningkatan retikulin pada sel sumsum tulang
hiposelular. Pada pengobatan anemia aplastik berat juga tidak dibedakan dengan
leukimia karena dimungkinkan dapat menjadi ALL.
Hairy cell leukimia sering salah didiagnosis sebagai anemia aplastik. Hairy
cell leukimia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya
splenomegali dan sel limfoid abnormal pada pemeriksaan biopsi sumsum tulang.
Walau didapatkan juga pansitopenia, namun dengan adanya monositopenia
adalah bentuk khas pada penyakit ini.
Limfoma, baik limfoma Hodgkin atau limfoma non-Hodgkin dan
myelofibrosis kadang muncul pansitopenia dan sumsum tulang hiposelular.
Biopsi sumsum tulang harus diperiksa secara cermat adanya sel limfoma atau
fibrosis. Pada myelofibrosis juga biasanya ditemukan splenomegali.
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi, atau hipersplenisme. Selularitas
sumsum tulang yang normoselular yang membedakan dengan anemia aplastik.
Sebenarnya anemia aplastik muncul diawali trombositopenia yang diikuti
pansitopenia. Beberapa pasien dapat salah diagnosis yaitu autoimmune
thrombocytopenia purpura (ITP), tetapi pemeriksaan sumsum tulang anemia
aplastik menunjukkan hiposelular dan menurunnya bahkan tidak ditemukan
megakariosit, yang tidak ditemukan pada ITP.
TATALAKSANA
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia

dan

monositopenia

memerlukan

tatalaksana

untuk

menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa untuk memperbaiki

Manajemen Kasus I-Interna

keadaan pasien. Prinsip terapi terdiri dari terapi kausal, terapi suportif, dan
terapi definitif.
1. Terapi Kausal
Prinsipnya adalah usaha menghilangkan agen penyebab. Menghindari
paparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi agak
sulit dilakukan karena sebagian besar etiologi tidak jelas atau penyebab
tidak dapat dikoreksi.
2. Terapi Suportif
Infeksi : identifikasi penyebab infeksi dengan kultur mikroorganisme
lalu pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat. Sebelum hasil kultur
keluar berikan antibiotik spektrum luas untuk mengatasi kuman gram
positif maupun negatif. Biasanya dipakai derivat penisilin (ampisilin)
dan gentamisin. Dapat juga digunakan sefalosporin generasi ketiga.
Bila hasil kultur sudah ada sesuaikan antibiotik dengan jenis
bakterinya. Bila dalam 5-7 hari panas tidak turun, bisa kemungkinan
infeksi jamur. Dapat diberikan amphotericin-B atau flukonazol
parenteral. Pasien anemia aplastik memiliki resiko tinggi mengalami
infeksi bakteri maupun jamur. Infeksi Aspergillus memiliki angka
mortalitas yang tinggi pada pasien anemia aplastik berat karena

periode pemanjangan neutropenia berat (dan monositopenia).


Usaha menangani anemia dengan transfusi PRC bila Hb <7 gr/dL atau
anemia yang sangat simtomatik. Koreksi dapat dilakukan hingga Hb
9-10 gr/dL, dan tidak perlu sampai normal karena dapat menekan

eritropoiesis internal.
Untuk mengatasi perdarahan dapat diberikan transfusi konsentrat
trombosit bila ada perdarahan masif atau trombosit < 20.000/uL.
Pemberian trombosit berulang dapat menyebabkan penurunan
efektivitas trombosit karena timbul antibodi antitrombosit. Pemberian

kortikosteroid dapat mengurangi perdarahan kulit.


3. Terapi Definitif
Terapi ini bertujuan untuk memberikan kesumbuhan jangka panjang. Ada 2
jenis.

Terapi imunosupresif, yaitu :


a. Pemberian anti lymphocyte globuline (ALG) atau anti thymocyte
globulin (ATG), dan siklosporin A (CSA) dapat menekan proses

Manajemen Kasus I-Interna

imunologik. Mekanisme kerja ATG dan ALG belum diketahui


dengan pasti, kemungkinan koreksi terhadap destruksi T-cell
immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak
langsung terhadap hemopoiesis. ALG dikatakan meningkatkan
pelepasan haemopoiesis growth factor.
ATG dan ALG diindikasikan pada :
Anemia aplastik tidak berat
Pasien tidak ada donor sumsum tulang yang cocok
Anemia aplastik berat, yang berumur > 20 tahun dan saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau
dengan granulosit > 200/mm3
Karena merupakan produk biologis, ATG dapat menyebabkan
terjadi reaksi alergi ringan sampai berat maka selalu diberi
bersama kortikosteroid. Dapat digunakan prednison 100 mg/mm 2
peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan ATG. Metilprednisolon
juga bisa digunakan untuk ganti prednison. Kombinasi ATG,
siklosporin, dan metilprednisolon memberi angka remisi sekitar
70% pada anemia aplastik berat sedangkan kombinasi ATG dan
metilprednisolon sebesar 46%.
b. Ada

juga

pemberian

metilprednisolon

dengan/atau

CSA

memberikan hasil yang baik pada beberapa kasus. Selain itu,


dilaporkan juga keberhasilan pemakaian siklosfosfamid dosis

tinggi.
Transplantasi sumsum tulang
Metode transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi

terbaik pada pasien anemia aplastik sejak tahun 1970. Donor sumsum
tulang terbaik berasal dari saudara sekandung dengan Human Leucocyte
Antigen (HLA) yang cocok. Transplantasi sumsum tulang merupakan
pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang
memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi
sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien
(hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan
HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi
primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih
Manajemen Kasus I-Interna

baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya


umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan
sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD). Pasien
dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek
dibandingkan pasien yang berusia muda.
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki
survival yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi
imunosupresif. Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal
dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi
sumsum tulang dapat dipertimbangkan.
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali
diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah
tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang bukan potensial
sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi
penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk
akibat tansfusi.
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow
Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut :
-

Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya

2000/mm3 dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.


Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit

dibawah 2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3.


Refrakter : tidak ada perbaikan

PROGNOSIS
Prognosis penyakit anemia aplastik bergantung pada:
1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.
2. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang lebih
baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik.
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi
masih tinggi.
5. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk menentukan
prognosis.
Riwayat alamiah penderita anemia aplastik dapat berupa:
Manajemen Kasus I-Interna

1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali jika dikarenakan
faktor iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya
terjadi segera.
2. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
3. Dapat bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Kondisi penderita anemia
aplastik dapat membaik dan bertahan hidup lama, namun masih ditemukan pada
kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.
Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan
mulamula terlihat perbaikan pada sistem eritropoitik, kemudian sistem granulopoitik
dan terakhir sistem trombopoitik. Kadang kadang remisi terlihat pada sistem
granulopoitik lebih dahulu lalu disusul oleh sistem eritropoitik dan trombopoitik. Untuk
melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah retikulosit, granulosit/leukosit
dengan hitung jenisnya dan jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang sebulan
sekali merupakan indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial
telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas eritropoitik dan granulopoitik, bahaya
perdarahan yang fatal masih tetap ada, karena perbaikan sistem trombopoitik terjadi
paling akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung
trombosit mencapai 50.000 100.000/mm3.
Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat pada kematian
yang seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:
1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap
tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison) jangka panjang.
2. Timbulnya keganasan sekunder akibat penggunaan imunosupresif. Pada sebuah
penelitian yang dilakukan di luar negeri, dari 103 pasien yang diobati dengan
ALG, 20 penderita yang diterapi jangka panjang, berubah menjadi leukemia
akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya risiko terjadi hepatoma. Kejadian ini
mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit anemia aplastik, namun
komplikasi ini jarang ditemukan pada penderita yang telah menjalani
transplantasi sumsum tulang.
3. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan kondisi trombositopenia.

Manajemen Kasus I-Interna

DAFTAR PUSTAKA

Ambruso, D.R., Hays, T., Goldenberg, N.A., 2009. Hematology Disorder (in) Hay,
W.A., Levin, M.., Sondheimer, J.M., Current Diagnosis & Treatment Pediatrics.
Mc Graw Hill, New York.
Bakta, I Made., 2007, Hematologi Klinik Ringkas, EGC, Jakarta.
Ginan,E.C., 2011, Diagnosis and Management of Aplastic Anemia, American Society of
Hematology.
Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2001. Setiawan, L., 2002 (Alih Bahasa),
EGC, Jakarta.
Marsh, J.C, et al., 2009, Guidelines for the diagnosis and management of aplastic
anemia, British Journal of Haematology, 147 :43-70.
Widjanarko A, Sudoyo A.W, Salonder H. Anemia aplastik dalam Buku ajar ilmu
penyakit dalam edisi V. Interna publishing: Jakarta.2009;1116-2
Young, N. S., et al., 2008, Aplastic Anemia, Curr Opin Hematol, 15(3):162-168.
Young, N.S., Scheinberg, P., Calado, R.T., 2008, Aplastic Anemia, Curr Open Hematol ;
15 (3);162-168.

Manajemen Kasus I-Interna

Anda mungkin juga menyukai