Anda di halaman 1dari 47

PRESENTASI KASUS

Evira Syahfitri
1102008096

Pembimbing :
Dr. Agung, Sp.PD.
IDENTITAS
Nama : Ny. R
Usia : 31 tahun
Agama : Islam
Alamat : jl. Kebon Jahe, Serang, Banten
Status : Sudah menikah
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tgl Masuk : 1 oktober 2012
ANAMNESA
Keluhan Utama : Tidak bisa BAK

Keluhan Tambahan : Demam, pusing, mual,
batuk, seluruh tulang belakang terasa sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Serang dengan keluhan tidak bisa
BAK sejak 3 hari SMRS. Pasien mengaku seminggu
belakangan ini BAK nya tidak lancar dan terasa sakit.
Pasien juga mengeluh demam sejak 3 hari SMRS. Pasien
mengatakan kalau pasien sudah minum obat demam
namun demamnya tidak kunjung turun.
Pasien juga mengeluh pusing sejak 3 hari SMRS. Mual juga
dirasakan pasien 3 hari SMRS. Pasien juga mengeluh
batuk tanpa dahak sejak 3 hari SMRS. Pasien juga merasa
seluruh tulang belakangnya sakit sejak 3 hari SMRS.
Pasien mengaku 2 bulan SMRS pernah dirawat di RSUP
Fatmawati dengan diagnosis SLE. Pasien juga mengaku
sudah 3 kali melakukan hemodialisa, terakhir kali
seminggu SMRS. Riwayat keluarga dengan SLE disangkal
pasien.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Diabetes mellitus : disangkal
Hipertensi : disangkal
Penyakit jantung : disangkal
Penyakit paru : disangkal
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Diabetes mellitus : disangkal
Hipertensi : disangkal
Penyakit jantung : disangkal
Penyakit paru : disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 140/90
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 37,7
o
C
Status Gizi
BBI : (TB-100) - 10% (TB-100)
(160-100) - 10% (160-100)
60 - 6
54
Status gizi : BB/BBI x 100%
50/54 x 100%
92 (gizi cukup)
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephale, rambut hitam tidak
mudah dicabut
Mata : Refleks cahaya (+/+), conjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Bentuk normal, septum nasi deviasi (-),
sekret (-)
Telinga : Serumen (-), Nyeri tekan tragus dan
mastoid (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), uvula di tengah,
hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), kelenjar tyroid (-)
Cor : Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS 4
linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS 5
linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri di ICS 5
linea midclavicularis sinistra
Batas pinggang jantung di
ICS 2 linea parasternalis
sinistra
Auskultasi : S1 S2 reguler, Gallop (+),
Murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris pada saat statis
dan dinamis
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal
simetris kiri dan kanan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang
paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki
(-/-), wheezing (+/+)
Abdomen : Inspeksi : Perut datar, kelainan
kulit (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Tympani di seluruh
wilayah abdomen
Palpasi : Pembesaran hepar (-),
pembesaran lien (-),
pembesaran ginjal (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
LAB (1/10/12)
URIN
Warna kuning keruh
Albumin (+)
Leukosit penuh /LPB
Eritrosit 4-8 /LPB
Epitel (+) /LPK
Bakteri (+)
HEMATOLOGI
Haemoglobin : 6,2 g/dl
Leukosit : 6500 uL
Hematokrit : 20,6%
Trombosit : 151.000 uL

KIMIA DARAH
Gula darah sewaktu : 115 mg/dl
LAB (2/10/12)
HEMATOLOGI
Basofil : 0 %
Eosinofil : 0 %
Batang : 0%
Segmen : 82 %
Limfosit : 18 %
Monosit : 0 %
LED : 28 mm/jam
KIMIA DARAH
Cholesterol : 127 mg/dl
Triglyserida : 121 mg/dl
SGOT : 12 U/l
SGPT : 27 U/l
Asam urat : 16,4 mg/dl
Ureum : 221 mg/dl
Creatinin : 3,4 mg/dl
LAB (10/10/12)
KIMIA DARAH
Albumin : 2,5 g/dl
LAB (11/10/12)
KIMIA DARAH
Ureum : 76 mg/dl
Creatinin : 2,10 mg/dl
DIAGNOSA
Sistemic Lupus Erythematosus
PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan autoantibody
c/ Anti dsDNA, antibodi antinuklear (ANA)
Rontgen dada
melihat adanya pleuritis/perikarditis
Urinalisis
Tes fungsi hepar
Hitung jenis darah
Biopsi ginjal
Pemeriksaan saraf
RENCANA PENGELOLAAN
Non medikamentosa :
Pengaturan istirahat dan olahraga yang
teratur dan seimbang
Hindari merokok
Menghindari paparan sinar matahari
langsung
Menghindari hal-hal yang menyebabkan
stres
Medikamentosa :
IVFD D5% 10 tpm
Inj Cefotaxim 2x1 gr
Inj Ranitidin 2x1 ampul
Inj Lasix 1x1
Tab spironolacton 2x1
Tab methylprednisolone 3x1
Tab ambroxol 3x1
Tab prorenal 3x1
Tab Bicnat 3x1
Tab paracetamol 3x1
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia at malam
Quo ad functionam : dubia at malam
SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS
Definisi
suatu penyakit autoimun dimana organ dan
sel mengalami kerusakan yang disebabkan
oleh tissue-bindingautoantibody dan
kompleks imun.
Prevalensi
90% pasien adalah wanita umur subur;
walaupun semua jenis kelamin, umur, dan
kelompok ras dapat terkena

Etiologi
Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui
dengan pasti. Selain factor keturunan
(genetis) dan hormon, diketahui bahwa
terdapat beberapa hal lain yang dapat
menginduksi SLE, diantaranya adalah virus
(Epstain Barr), obat (contoh : Hydralazin
dan Procainamid), sinar UV, dan bahan
kimia seperti hidrazyn yang terkandung
dalam rokok, mercuri dan silica.
Penyebab utama terjadinya SLE adalah
karena produksi antibody dan pembentukan
kompleks imun yang abnormal, sehingga
dapat terbentuk antibody terhadap multiple
nuclear, sitoplasmik, dan komponen
permukaan sel dari berbagai tipe sel di
berbagai system organ, dengan bantuan
suatu penanda Ig G dan factor koagulan.
Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa
SLE dapat menyerang berbagai system
organ.
Patogenesis

Manifestasi klinis
dapat melibatkan satu atau beberapa sistem
organ
dalam selang waktu tertentu
gejala tambahan dapat terjadi

Gejala sistemik, utamanya malaise dan
myalgia/arthralgia

Penyakit sistemik yang berat memerlukan terapi
glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih,
berat badan berkurang, dan anemia disertai atau
tanpa manifestasi organ target lainnya.
Manifestasi Muskuloskeletal
Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten,
berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai dengan
pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling
sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut.
Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada
10% pasien.
Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan kadar
creatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot dan
peradangan pada biopsy dapat terjadi, walaupun
kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis
yang jelas.
Terapi glucocoticoid dan antimalaria dapat juga
menyebabkan kelemahan otot; efek samping ini mesti
dibedakan dari penyakit aktif
Manifestasi Penyakit Kulit
Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus
erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute
cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau lainnya.
Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan
sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi
bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana
semua bagian demal secara permanent rusak.
Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitive,
eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya
pada pipi dan sekitar hidung the buterfly rash), telinga,
dagu, daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian
ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang
disertai dengan serangan penyakit sistemik.
Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum
pada SLE; lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.
Manifestasi Renal
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang
paling berat, terutama karena nephritis dan
infeksi merupakan penyebab utama
mortalitas pada decade pertama penyakit
ini.
Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus
proliferatif berbahaya (ISN III dan IV)
biasanya memiliki hematuria dan proteinuria
mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar
setengah pasien mengalami sindrom
nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi
Manifestasi Sistem Saraf
Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi
kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan
memberikan alasan. Sakit kepala juga umum
terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini
menandakan serangan SLE.
Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh
lupus
Psikosis dapat menjadi manifestasi dominant pada
SLE
Manifestasi Pulmoner
Manifestasi pulmoner yang paling sering
terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan
atau tanpa efusi pleural.
Manifestasi pulmoner yang membahayakan
nyawa termasuk peradangan interstitial
yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru
menyusut, dan perdarahan intraalveolar
Manifestasi Penyakit Jantung
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang
paling umum terjadi.
Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah
myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks
fibrinous.
Pasien dengan SLE mengalami peningkatan resiko
infark myocard, biasanya akibat percepatan
terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan
diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau
kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.
Manifestasi Hematologik
Manifestasi hematologik yang paling sering
pada SLE adalah anemia, biasanya
normochromic normocytic, menandakan
adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat
cepat dalam onsetnya dan berat.
Leukopenia dan trombositopenia sering
terjadi.
Manifestasi Gastrointestinal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare
dapat menjadi manifestasi dari suatu
serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus
yang disebakan oleh peritonitis autoimun
dan/atau peritonitis.
Vaskulitis yang melibatkan usus dapat
mengancam nyawa; perforasi, iskemia,
perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi
yang sering terjadi.
Manifestasi Okuler
Sindrom Sicca (Sindrom Sjgren's) dan
konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada
SLE namun jarang membahayakan
penglihatan.
Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis
optic yang merupakan manifestasi berat:
kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari
atau minggu.
Komplikasi
-vaskulitis (radang pembuluh)
-perikarditis
-myokarditis
-anemia hemolitik
-intravaskular trombosis

Diagnosis
11 Kriteria SLE oleh ARA
1. ruam di daerah malar
2. ruam discoid
3. fotosensitivitas
4. ulkus pada mulut
5. arthritis : tidak erosive, pada dua atau lebih sendi-sendi perifer
6. serositis : pleuritis atau perikarditis
7. gangguan pada ginjal ; proteinuria persisten yang lebih dari 0,5 g/hari
8. gangguan neurulogik : kejang atau psikosis
9. gangguan hematologik : anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, atau
trombositopenia
10.gangguan imunologik : sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti DNA
11.antibody antinuclear (ANA)

Jika ada 4 atau lebih maka diagnosisnya adalah SLE
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan auto antibody nuklear (ANA)
Antibody terhadap dsDNA
Batas normal : 70 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet,
dan urinalysis
Tatalaksana
Terapi Non Farmakologis :
1. pengaturan istirahat dan olah raga ringan yang teratur dan seimbang.
Hal ini dalakukan untuk mengatasi fatigue yang umumnya dialami oleh
pasien SLE.
2. hindari merokok, terkait dengan kandngan hydrazine yang terkadung
dalam rokok dan dapat menjadi factor pencetus SLE serta menambah
resiko terjadinya CAD
3. pemberian asupan minyak ikan, untuk menghindari terjadinya
keguguran pada wanita hamil dengan antifosfolipid antibody.
4. menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang dapat
dilakukan adalah dengan menggunakan paying, topi, hingga memakai
sunscreen maupun sunblok
5. menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stress karena dapat
memicu terjadinya SLE.
Terapi farmakologis
1. OAINS
Dipakai untuk mengatasi arthritis dan
artralgia. Penggunaan OAINS pada pasien
dengan gejala yang masih awal merupakan
pilihan yang logis.
Pasien SLE juga memiliki resiko tinggi
terhadap efek samping OAINS pada kulit,
hepar, dan ginjal, sehingga penggunaannya
perlu dimonitoring.
2. Obat Antimalaria
Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila
OAINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE.
Biasanya anti malaria mula-mula diberikan dosis tinggi
untuk memperoleh keadaan remisi. Antimalaria dapat
mengatasi beberapa manifestasi klinis, seperti arthalgia,
pleuritis, inflamasi pericardial, fatigu, dan leukopenia.
Hidroksikloroquin diketahui lebih aman dibandingkan
dengan cloroquine dan merupakan pilihan pertama dalam
terapi SLE.
Mekanisme antimalaria belum jelas, namun telah diketahui
bahwa obat antimalaria menggangu aktivitas limfosit T
Dosis yang direkomendasikan adalah 200-400 mg/hari untuk
hidroksikloroquin dan 250-500 mg/hari untuk cloroquin.
Efek samping pada system CNS diantaranya adalah sakit
kepala, insomnia, kegugupan, dll. Selain itu rash,
dermatitis, perubahan pigmen rambut dan kulit, muntah,
dan toksisitas ocular reversible
3. Kortikosteroid
Merupakan obat yang paling sering digunakan dalam terapi SLE.
Beberapa pertimbangan yang matang harus dilakukan sebelum
memutuskan menggunakannya terkait dengan resiko yang
ditimbulkan, seperti kemungkinan terjadinya infeksi, hipertensi,
diabetes, obesitas, osteoporosis, dan beberapa penyakit psikiatris.
Prednison dosis rendah (10-20 mg/hari) digunakan untuk mengatasi
gejala ringan SLE tetapi apabila gejala yang terjadi termasuk gejala
yang berat maka penggunaan dosis yang lebih tinggi (10-20
mg/kg/hari) dapat diberikan. Ketika gejala telah teratasi maka dosis
harus ditapering dan dipertahankan pada dosis terendah yang dapat
memberikan efek.
Terapi steroid jangka pendek dengan dosis tinggi dapat diberikan bagi
pasien dengan gejala nefritis parah, gejala pada system CNS, dan
manifestasi hemolitik. Dosis yang digunakan biasanya adalah 500-
1000 mg metilprednisolon i.v berurutan selama 3-6 hari, dan diikuti
dengan 1-1,5 mg/kg/hari prednison, yang kemudian ditapering sampai
dosis terendah yang masih dapat memberikan efek.
4. Obat Sitotoksik
Terapi penekan imun (siklofosfamid, azatioprin) dapat dilakukan untuk
menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai
ketika :
1. diagnosis pasti sudah ditegakkan
2. adanya gejala-gejala berat yang dapat mengancam jiwa gangguan
neurologik SSP, anemia hemolitik akut.
3. kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila
pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid
harus diturunkan karena adanya efek samping.
4. Tidak adanya kehamilan, infeksi, dan neoplasia.
Dosis siklofosfamid yang digunakan untuk terapi kombinasi adalah 1-3
mg/kg BB per oral dan 0,5-1,0 g/m BSA secara intra vena. Efek
samping yang ditimbulkan adalah infeksi oportunistik, komplikasi
kandung kemih, kemandulan, dan efek teratogenesis
Penanganan SLE Pada Kehamilan
SLE memperburuk kehamilan , keadaan postpartum,
aborsi, dan preekalampsia. Pada pasien hamil,
SLE berkembang terutama trimester ketiga
kehamilan, sehingga penanganannya berbeda
pada orang normal.
Kortikosteroid adalah drug of choice, walaupun
menembus plasenta kortikosteroid dimetabolisme
oleh plasenta hidroksigenase sebelum mencapai
fetus.
Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis
penderita lupus semakinmembaik, banyak
penderita yang menunjukkan penyakit yang
ringan.
Angka harapan hidup 10 tahun meningkat
sampai 85%.
Prognosis yang paling buruk ditemukan pada
penderita yang mengalamikelainan otak,
paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

Anda mungkin juga menyukai