Anda di halaman 1dari 75

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan autoantibodi maupun kompleks imun terhadap komponen-komponen inti sel sehingga terjadi kerusakan organ dan sel.1,2 SLE terutama menyerang wanita dengan perbandingan terhadap pria 9:1. Pada wanita, biasanya terjadi saat usia produktif dengan puncak insiden 1540 tahun.2 Meski demikian, baik pria maupun wanita, segala usia, dan semua etnis beresiko terhadap penyakit ini.1 Prevalensi SLE bervariasi antara negara, etnis, jenis kelamin dan selalu berubah setiap waktu. Prevalensi SLE terbesar dilaporkan di Itali, Spanyol, Martinique, dan populasi AfroKaribian di Inggris.3 Di Amerika Serikat, insiden SLE sebesar 15-50 per 100.000 orang tiap tahun. Kejadian pada wanita kulit hitam empat kali lebih besar dibandingkan wanita kulit putih.1 Kebanyakan terjadi pada wanita keturunan Afrika Barat yang beremigrasi, hal ini menunjukkan lingkungan juga dapat menjadi pencetus seperti genetik.3 Data untuk SLE di Indonesia masih sangat sedikit. RS Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1988-1990 dilaporkan 37,7 kasus per 10.000 perawatan. Tarigan melaporkan terdapat 1,4 per 10.000 perawatan di Medan pada tahun 1984-1986. Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai Agustus 2006 terdapat 14 orang dan 1 orang meninggal dunia.2 Lupus eritomatosus sistemik biasa menyerang kulit, sendi, darah, dan sistem saraf.3 Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan biasa muncul secara tidak bersamaan. Akibatnya, jarang terdiagnosa di awal perjalanan penyakit.2 Harapan hidup penderita LES

saat ini telah meningkat, harapan untuk hidup selama 4 tahun sebesar 50% pada tahun 1950 meningkat menjadi 15 tahun sebesar 80% saat ini. Pada ras Asia dan Afrika, prognosa lebih buruk dengan angka harapan hidup yang lebih kecil yaitu 10 tahun hanya sebesar 60-70%.3 Keterbatasan biasanya disebabkan oleh fatigue kronis, arthritis, nyeri, dan penyakit ginjal. Sebanyak 25% penderita SLE dapat mengalami remisi dalam beberapa tahun. Penyebab utama kematian penderita SLE pada dekade pertama penyakit adalah penyakit sistemik, gagal ginjal, dan infeksi.1 Dalam 35 tahun, penyebab utama kematian penderita adalah infark miokard dan stroke.3

1.2 Tujuan Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta mengkritisi kasus bagi penulis dan pembaca mengenai sistemik lupus eritomatosus, dan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Cut Meutia.

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis Pasien MRS pada tanggal 11 November 2013, anamnesis dilakukan pada tanggal 12 Juli 2013. Identitas Nama Umur : Nn. Nurjannah : 20 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan Alamat Agama Suku Status Pendidikan Pekerjaan No. MR : Desa Seunubok Punti, Sp. Kramat : Islam : Aceh : Belum Menikah : SLTA : Tidak bekerja : 05.29.94

Keluhan Utama Tidak dapat bangun dari tempat tidur dan lemah selama 2 bulan SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan tidak dapat bangun dari tempat tidur dan kondisi lemah selama 2 bulan SMRS. Pasien mengeluhkan lemah yang semakin bertambah sejak 1 minggu SMRS. Rasa lemah ini sudah dirasakan pasien sejak 3 bulan ini. Lemah membuat pasien semakin sulit untuk bergerak bahkan tidak dapat bangun dari tempat tidur. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada seluruh bagian sendinya sejak lama, kurang lebih 1 tahun yang lalu.

Nyeri pada sendi-sendi ini membuat pasien sakit ketika disentuh bagian tubuhnya, dan lebih terasa nyeri kurang lebih 2 minggu ini. Selain itu pasien juga merasa nafsu makannya menurun dan berat badan juga menurun, kurang lebih 10 kg dalam 1 tahun terakhir. Pasien juga mengeluhkan tidak tahan jika terpapar cahaya sinar matahari, karena kulitnya akan memerah dan terasa panas. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 2 tahun lalu sebelum di diagnosis SLE. Pasien mengalami demam yang timbul perlahan-lahan dan bersifat hilang timbul serta merasakan menggigil selama 2 minggu ini. Pasien juga merasakan kepalanya terasa pusing. Pasien merasakan ada perasaan mual dan muntah-muntah. BAB normal, berwarna kuning kecoklatan, lunak dan jumlah sedikit, BAB terakhir 1 hari sebelum MRS. BAK sedikit, berwarna kuning jernih, 2 x per hari, jumlah 1 gelas kecil air mineral setiap kali BAK. Pasien juga merasakan nyeri pada dada setempat tidak bersifat menjalar, rasa tertusuk dan seperti ada beban, pasien juga ada batuk-batuk kering dengan berdahak sedikit berwarna bening kental. Pasien merasakan kondisi cepat lelah dan sesak pada dada. Nyeri pada perut dirasakan oleh pasien. Riwayat Penyakit Dahulu Sejak 1 tahun lalu pasien beberapa kali MRS dengan keluhan ruam pada wajah sampai dada, dan kemudian di diagnosis Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) 3 bulan yang lalu. Sejak 2 tahun yang lalu pasien sering mengalami adanya koreng-koreng pada bagian tubuhnya yang juga berawal seperti memar kemerahan akan tetapi cepat sembuh, kering, dan tidak mengeluarkan nanah, dan 2 bulan yang lalu keluhan ini disertai dengan adanya luka luka pada mulutnya sehingga pasien tidak bisa mengunyah makanan. Riwayat DM (-) Riwayat HT (-)

Riwayat Kebiasaan Merokok (-), olahraga (-), aktifitas minimal, terbatas hanya di rumah. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga dengan penyakit yang sama. Riwayat DM (-), Riwayat HT (-).

2.2 Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran Status gizi : Indeks Massa Tubuh (IMT): BB (kg) : TB (m)2 37 kg : (1,56 m)2 = 37 kg : 2,4336 m2 = 15,20 (BB kurang) Penentuan status gizi : Berat badan ideal : (TB cm 100) kg 10% = (156-100) kg 10% = 56 Kg 10% = 65 kg 5,6 kg = 50,4 kg : Sakit berat : Compos mentis, E4V5M6

Penentuan status gizi : (BB aktual : BB idaman) x 100% (37 : 50,4) x 100% = 73,41% ( Berat badan kurang)

Vital Sign TD : 80/60 mmHg N : 62 x/menit RR : 26 x/menit T : 39,9 0C

Kepala/leher

: anemis (+/+), ikterik (-/-), sianosis (-/-), malar rash (+), hiperpigmentasi pada daerah nasal (+), butterfly rash (+), alopecia di bagian frontal (garis depan rambut), ceilitis angularis (-), stomatitis (+); pembesaran KGB (+), deviasi trachea (-)

Pulmo: Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, discoid rash (+), retraksi ICS (+) Palpasi : fremitus raba dekstra=sinistra Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru Auskultasi : suara nafas vesikuler, bronkial, rhonkhi (+/+), wheezing (+/+) Cor: Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba Perkusi : Kanan : ICS III parasternal dekstra Kiri : ICS V midclavicular sinistra Auskultasi : A1<A2, P1<P2, M1>M2 tunggal, regular, murmur (+), gallop (+) Abdomen: Inspeksi Palpasi : flat : sofel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba Perkusi Auskultasi : hipertimphani, shifting dullness (-) : bising usus (+) normal

Ekstremitas: Superior : hangat, oedem (-), nail bed atrophy (+/+), telangektasis pada kutikula kuku (+/+)

Inferior

: hangat, oedem (+/+), ruam diskoid (+/+) nail bed atrophy (+/+),

telangektasis pada kutikula kuku (+/+) Status Lokalis Tampak Anterior

Alopesia Malar rash Limpadenopati Diskoid Nyeri sendi tubuh

Nail bed atrophy

Oedem

eritema

2.3 Pemeriksaan Penunjang Hasil Laboratorium : Hb Hematokrit Leukosit Eritrosit Trombosit : 6,9 g% : 22,3% : 3,3 x103/mm3 : 2,6 x106/mm3 : 152 x 103/mm3
7

RDW MCV MCH MCHC

: 15,5% : 85 fl : 26,3 pg : 30,9 g%

RFT: Ureum Kreatinin Uric Acid : 68 mg/dl : 1,44 mg/dl : 5,8 mg/dl

LFT : Total Protein Albumin Globulin : 4,1 g/dl : 1,3 g/dl : 2,8 g/dl

Widal Test: S. Thypi S. Para A S. Para B S. Para C

O 1/80 1/160 1/320 1/80

H 1/80 1/80 1/80 1/160

2.4 Diagnosis Diagnosis kerja IGD : SLE Diagnosis kerja : SLE + Typoid + Malnutrisi + Anemia

2.5 Penatalaksanaan : IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i Inj. Cefotaxime 1 gr/12jam


8

Inj. Ranitidine 1 A/ 12 jam Inj. Ketorolac 1 A/12 jam Inj. Methyl Prednisolone 125 mg/6 jam Asam Folat 2 x 1 tab Ambroxol 3 x 1 tab Antasida syr 3 x 1 C Hidrokortison zalf Kandistatin drops

2.6

Prognosa : : dubia ad malam : dubia ad malam : dubia ad malam

Sanactionam Vitam Functionam

2.7 Follow Up Date 12-11-2013 Subjective(S), Objective (O), Assesment (A) S : tidak sanggup bangun (+), nyeri seluruh sendi (+), demam (+), menggigil (+), lemah (+), nyeri perut (+), mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+), sesak (+), nyeri dada (+), cepat lelah (+), batuk (+), BAB (-), BAK (+) O : compos mentis, sakit berat TD: 80/60 mmHg N: 62x /menit RR: 26x / menit T: 39,9 C A : SLE + Malnutirisi P : U/D Rutin, RFT, LFT, Widal Test, Ro Foto Thorax, EKG, konsul Sp.KK S : tidak sanggup bangun (+), nyeri seluruh sendi (+), demam (-), menggigil (-), lemah (+), nyeri Planning therapy IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/it Inj. Ranitidine 1 A/ 12 jam Inj. Ceftriaxone 1gr/ 12 jam Inj. Ketorolac 1 A/12 jam Inj. Methyl Prednisolone 125 mg/6 jam Asam Folat 2 x 1 tab Ambroxol 3 x 1 tab Antasida syr 3 x 1 C Curcuma 3 x 1 C PCT 3 x 1 tab IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/it
9

13-11-2013

perut (+), mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun (+), sesak (+), nyeri dada (+), cepat lelah (+), batuk (+), BAB (-), BAK (+) O : compos mentis, sakit berat TD: 80/60 mmHg N: 58x /menit RR: 27x / menit T: 36,1 C A : SLE + Malnutrisi + Anemia + Typoid Fever

13-11-2013 Exit : 02.00 WIB

S : penurunan kesadaran (+), pupil dilatasi maksimal (+). O : koma, meninggal TD : tidak terukur N : tidak teraba RR : T :A : SLE + Malnutrisi + Anemia + Typoid Fever

Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam Inj. Ranitidine 1 A/ 12 jam Inj. Ketorolac 1 A/12 jam Inj. Methyl Prednisolone 125 mg/6 jam Asam Folat 2 x 1 tab Ambroxol 3 x 1 tab Antasida syr 3 x 1 C Hidrokortison zalf Kandistatin drops Ventolin nebul/12 jam IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/it Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam Inj. Ranitidine 1 A/ 12 jam Inj. Ketorolac 1 A/12 jam Inj. Methyl Prednisolone 125 mg/6 jam Asam Folat 2 x 1 tab Ambroxol 3 x 1 tab Antasida syr 3 x 1 C Hidrokortison zalf Kandistatin drops Ventolin nebul/12 jam

10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Definisi Sistemik lupus eritomatosus atau yang biasa disingkat dengan SLE adalah penyakit

autoimun dimana terdapat autoantibodi maupun kompleks imun terhadap komponen inti sel sehingga memiliki manifestasi yang luas, berupa kerusakan sel dan organ.1,2 Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri.1 Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata lupus dalam bahasa Latin berarti serigala, erythro berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash. Tetapi pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan dari istilah topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan Loup,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau wolf dalam bahasa Inggris.3

3.2

Sejarah Lupus Eritematosus Sejarah penyakit lupus eritmatosus dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu (3) :

1. Periode Klasik Dimulai ketika penyakit ini ditemukan pada zaman abad pertengahan dan memperlihatkan gambaran adanya gangguan pada manifestasi kulit. Istilah lupus muncul pada abad 13 yaitu pada masa Rogerius, seorang tenaga medis yang mendeskripsikan classic malar rash, yaitu lesi berupa erosi pada kulit wajah yang menyerupai gigitan serigala. Sejarah lupus pada zaman klasik berdasarkan atas gambaran klinis berupa lesi di kulit yang meliputi

11

lupus vulgaris, lupus profundus, lupus diskoid, dan fotosensitivitas pada ruam malar/ butterfly rash.1,4 Gambaran klasik penampakan kulit lupus dideskripsikan juga oleh beberapa penemu, yaitu: Thomas Bateman, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Inggris Robert William, pada awal abad XIX, kemudian oleh Cazenave, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Perancis Laurent Biett, pada tengah abad XIX, dan oleh Moriz Kaposi (Moriz Kohn), seorang murid dan menantu ahli kulit berkebangsaan Austria bernama Ferdinand von Hebra, pada akhir abad XIX Lesi berupa ruam diskoid pertama kali diperkenalkan pada tahun 1833 oleh Cazenave dengan nama eritema sentrifugum, sedangkan ruam yang sekarang dikenal sebagai ruam malar pertama kali diperkenalkan oleh Hebra pada tahun 1846. Gambaran lupus eritematosus yang pertama kali dipublikasikan berasal dari tulisan von Hebra yang berjudul Atlas Penyakit Kulit, dipublikasikan pada tahun 1856.1 2. Periode Neoklasikal Dimulai oleh Moric Kaposi pada tahun 1872 yang menemukan manifestasi penyakit sistemik. Kaposi mengemukakan dua tipe lupus eritematosus, yaitu tipe diskoid dan tipe disseminated. Kaposi juga menyebutkan beberapa tanda/gejala yang menggambarkan tipe disseminated, yaitu : nodul subkutan, artritis dengan hipertrofi, sinovial pada sendi kecil maupun besar, limfadenopati, demam, berat badan berkurang, anemia, keterlibatan SSP.1 3. Periode Modern Mulai tahun 1984 ditemukan sel lupus eritematosus (sel LE) oleh Hargraves dkk. yang meneliti sel yang berasal dari sumsum tulang penderita lupus eritematposus tipe disseminated akut. Dua penanda imunologik pada penyakit lupus ditemukan pada tahun 1950, yaitu tes false-positif biologis untuk sifilis dan tes imunofluoresen untuk antinuclear antibodi. Ada dua kemajuan utama pada periode modern yaitu perkembangan studi lupus pada binatang, dan pengenalan aturan predisposisi genetik pada perkembangan lupus. 1

12

3.3

Epidemiologi 90% pasien SLE adalah wanita umur subur, walaupun semua jenis kelamin, umur,

dan kelompok ras dapat terkena. Perbandingan antara penderita perempuan dan laki-laki adalah 8:1. Kemungkinan terjadi pada ras negro 3 kali lebih besar dibandingkan ras Caucasoid. Suatu survei epidemiologi di Amerika menunjukkan bahwa angka kematian dan kesakitan tertinggi berada di kalangan Negro, kemudian diikuti oleh orang-orang dari Puerto Ricans baru oleh orang-orang kulit putih. Perbedaan ras, disebabkan oleh variasi normal dari g globulin, di mana kadar ini lebih tinggi di kalangan kaum Negro.1,2 Prevalensi SLE ada tendesi familiar. Faktor keluarga berkisar 10%, di mana anggota keluarga yang menderita SLE, mempunyai angka insidens yang meningkat untuk penyakit ini. SLE sering terjadi pada usia dewasa muda dengan puncaknya pada perempuan pada usia 30-an, dan pada laki-laki pada usia 40-an. Walaupun insidensi SLE masih tidak diketahui dan SLE dapat ditemukan pada semua usia namun didapatkan bahawa 20% kasus SLE mulai pada masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun.3 Pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris dilaporkan bahawa kelainan ginjal pada SLE lebih sering ditemukan di populasi Asia. Prevalensi penyakit SLE di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena system pelaporan masih berupa laporan kasus dengan jumlah penderita terbatas. Isidensi dan prevalensi penyakit SLE telah berubah secara dramatis menjadi semakin meningkat sejak 1970. Hal ini disebabkan karena tersedianya sarana diagnostic yang lebih baik yaitu criteria ACR 1997 untuk diagnosis penyakit SLE dan pemeriksaan laboratorium penunjang yang lebih baik.4 3.4 Etiologi dan Patogenesis Etiologi serta patogenesis dari SLE masih belum jelas. Namun, bukti-bukti yang ada menunjukkan patogenesisnya bersifat multifaktorial. Faktor yang mendasari munculnya SLE
13

berupa faktor genetik, lingkungan, serta hormonal yang menghasilkan respon imun abnormal.1,2 Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody. 4

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001) Ultraviolet B light Hormon sex rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1 Faktor diet Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats. Faktor Infeksi DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri Faktor paparan dengan obat tertentu : Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; DPenicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a; Interferon-a.

Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga

14

berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.3, Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu : 1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.2 2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA. 2 Respon yang terjadi berupa aktivasi imunitas bawaan berupa sel dendritik oleh CpG DNA, kompleks imun DNA, dan RNA pada protein antigen RNA itu sendiri; penurunan ambang aktivasi sel imunitas adaptif berupa antigen spesifik limfosit T dan B; adanya inefektif regulasi dan inhibisi CD4+ dan CD8+; terakhir yaitu penurunan pembersihan apoptosis dan kompleks imun. Antigen, autoantibody, dan kompleks imun yang berada dalam waktu lama mengakibatkan inflamasi dan berkembang menjadi SLE. Antigen, autoantibody dan kompleks imun berikatan dengan jaringan target, melalui aktivasi komplement dan sel phagosit yang mengenali immunoglobulin di sirkulasi darah.1 Lupus eritomatosus sistemik merupakan penyakit yang bersifat genetik.1 Pada penderita SLE terdapat 10-20% yang memiliki kerabat dekat dengan SLE, pada saudara

15

kembar identik SLE terdapat 24-69% yang juga menderita penyakit yang sama. Angka ini lebih tinggi dibandingkan saudara kembar yang tidak identik yaitu 2-9%. Berdasarkan penelitian terdapat banyak gen yang berperan dalam pathogenesis penyakit ini, misalnya C1q, C2, C4, HLA-D2, 3, 8, IL-10, MCP-1, dan PTPN22. Gen-gen tersebut berperan dalam mengkode system imun. Pada individu yang rentan menjadi SLE terdapat gen yang dalam jumlah kecil dapat bekembang menjadi pencetus respon imun abnormal. Akumulasi dari respon imun tersebut akhirnya bermanifestasi menjadi SLE.1,2 Defisiensi homozigot komponen complement (C1q,r,s, C2, C4) merupakan predisposisi kuat menjadi SLE, namun hal ini jarang terjadi. Gen tersebut meningkatkan resiko SLE hanya 1,5-3 kali, namun terdapat gen yang lain ikut meningkatkan kerentanan menjadi SLE. Gen yang mempengaruhi bersihan sel apoptosis (C1q, MBL), kompleks imun (FcR 2A dan 3A), antigen (HLA DR2,3,8), maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22), maupun kemotaksis (MCP-1).1,2 Autoantibodi yang terbentuk menyerang antigen pada nukleoplasma meliputi DNA, protein histon, dan nonhiston. Autoantigen ini tidak bersifat tissue-specific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi tersebut dinamakan anti nuclear antibody (ANA). Antibodi ini membentuk kompleks imun yang mengendap pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi koplemen dan timbul inflamasi. Hal ini lah yang menimbulkan gejala pada organ seperti ginjal, sendi, pleura, kulit, dan lain-lain.2

16

Gambar 2.2. Butterfly rash

Gambar 1. Gejala pada SLE

Autoantibodi pada orang normal tidak menyebabkan kelainan karena adanya mekanisme protektif, sedangkan pada penderita SLE mekanisme tersebut tidak ada. Penelitian pada tikus menunjukkan adanya antibody IgG yang berikatan dengan dsDNA melalui ikatan dengan afinitas tinggi. Kompleks ini membuat kerusakan jaringan bahkan lebih dari IgM atau IgG dengan afinitas yang rendah. Produksi IgG yang berafinitas tinggi dipengaruhi oleh antigen yang disebut dengan antigen-driven.4 Sel T memiliki reseptor di permukaan selnya yang mampu berinteraksi dengan antigen tertentu membentuk kompleks dengan MHC pada permukaan antigen-presenting cell (APC). APC harus membuat interaksi sekunder dengan limfosit T melalui costimulasi. Costimuasi ini terbagi dua yaitu melaui CTLA-4 dan CD-28. Costimulasi melalui CD-28 memberikan sinyal aktifasi sel T, sedangkan bila melalui CTLA-4 akan terjadi inhibisi.4

17

Gambar 2. Autoantibodi pada SLE

Gambar 3. Patogenesis

18

GAMBAR Hipotesis pathogenesis penyakit SLE. (Dikutip dari: Nguyen et al Hypothetical pathways involved in the pathogenesis of SLE Arthritis Research 2002, Vol.4:3, pp.S255.) Wanita memiliki respon imun yang lebih besar dibandingkan dengan pria karena hormonal. Pada wanita terdapat estrogen, termasuk paparan pil kontrasepsi hormonal atau sulih hormone yang meningkatkan resiko kejadian SLE.1 Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa hormone prolaktin dapat meningkatkan respon imun.2 Estradiol berikatan dengan reseptor sel limfosit B dan T, sehingga memperlama respon imun.1 Wanita penderita SLE mengalami perburukan gejala pada masa subur dan membaik saat menstruasi. Saat ini, ada dugaan estrogen berpengaruh terhadap hal tersebut, namun mekanismenya belum jelas.5 Faktor lingkungan turut berpengaruh pada kejadian SLE. Sinar ultraviolet menimbulkan kekambuhan SLE pada 70% kasus. Hal ini mungkin disebabkan peningkatan apoptosis sel kulit maupun perubahan DNA dan protein intraseluler sehingga berubah

19

menjadi antigenic. Virus Epstein Barr (EBV) merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada individu yang rentan.1 Saudara kembar identik memiliki resiko lebih tinggi, namun tidak semua mengalami SLE, hal ini menunjukkan pengaruh lingkungan.5

3.5

Klasifikasi Lupus

1) Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan bentuk yang paling sering disebut lupus. Kata sistemik berarti penyakit yang dapat mempengaruhi beberapa bagian tubuh. Gejala SLE dapat ringan atau berat. Walaupun SLE biasanya pertama kali terjadi pada usia 15 dan 45 tahun, dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa. 2) Discoid lupus erythematosus merupakan kelainan kulit kronik yang berwarna merah, ruam yang permukaannya meninggi pada kulit wajah, kulit kepala, atau di tempat lain. Area yang meninggi dapat menjadi tebal dan bersisik dan menyebabkan timbulnya skar. Ruam dapat sembuh dalam beberapa hari atau beberapa tahun tetapi dapat berulang. Sedikit persentase pasien dengan discoid lupus berkembang menjadi SLE.

Gambar 4. Discoid Lupus Erythematosus Lengan atas

20

3) Subacute cutaneous lupus erythematosus yaitu adanya lesi pada kulit terutama pada bagian yang terekspos sinar matahari. Lesi tidak menyebabkan timbulnya skar.

Gambar 5. Subacute cutaneous lupus erythematosus Lesi awal 4) Drug-induced lupus merupakan bentuk lupus yang disebabkan pengobatan. Beberapa obat yang berbeda dapat menyebabkan drug-induced lupus, yaitu antara lain pengobatan anti kejang, hipertensi, antibiotik dan antijamur, pengobatan tiroid, dan kontrasepsi oral. Gejala hampir sama dengan SLE (arthritis, rash, demam, and nyeri dada), dan biasanya akan sembuh sempurna saat pengobatan dihentikan. Ginjal dan otak jarang terlibat.

21

Gambar 6. Drug-induced lupus Macula dan papula eritematous pada wajah, dada atas, dan lengan sesuai distribusi cahaya

5) Neonatal lupus merupakan bentuk yang jarang terjadi, dimana terjadi pada bayi yang baru lahir dari ibu dengan SLE. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa neonatal lupus desebabkan oleh autoantibodi darah ibu yaitu anti-Ro (SSA) dan anti-La (SSB). Autoantibodi merupakan protein darah yang bekerja pada bagian tubuh itu sendiri. Saat lahir, bayi memiliki ruam pada kulit, gangguan hati, dan rendahnya jumlah darah. Gejala biasanya hilang dalam beberapa bulan. Pada kasus yang jarang, bayi dengan neonatal lupus memiliki congenital heart block, kelainan jantung serius pada formasi jaringan fibrous pada jantung bayi dengan impuls elektrik yang menyebabkan gangguan pada irama jantung. Neonatal lupus jarang terjadi, dan kebanyakan bayi dari ibu dengan SLE hidup sehat. Seluruh wanita yang mengandung dan diketahui memiliki antibodi anti-Ro (SSA) atau anti-La (SSB) seharusnya dimonitor dengan echocardiogram (tes yang memonitor jantung dan pembuluh darah jantung) selama 16 dan 30 minggu kehamilan.

22

Sangat penting untuk wanita dengan SLE atau kelainan autoimun lain berada dalam pengawasan dokter selama kehamilan.6

Gambar 7. Neonatal lupus erythematosus

3.6

Diagnosis Diagnosis SLE di klinis cukup sulit karena SLE sering menyerupai gejala penyakit

lain. American College of Rheumatology pada tahun 1982 mengajukan 11 kriteria SLE. Diagnosis SLE dapat ditegakkan bila minimal terdapat empat kriteria. Kriteria ini memiliki sensitifitas 75% dan spesifitas 95%. Kriteria tersebut dapat dilihat di table 2.1 berikut. Tabel 2. Kriteria diagnosis lupus eritomatosus sistemik menurt American College of Rheumatology1,6 No 1. 2. Kriteria Malar rash Discoid rash Keterangan Eritema, datar atau meninggi Sirkular eritem, meninggi, dengan perlengketan keratotic dan follicular, bisa terdapat scar atropi 3. Fotosensitif Muncul rash bila terpapar sinar ultraviolet

23

4. 5.

Luka mulut Arthritis

Termasuk luka oral dan nasopharyng Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer, nyeri, bengkak, efusi

6. 7.

Serositis Kelainan ginjal

Pleuritis atau pericarditis melalui EKG atau efusi Proteinuria > 0,5 g/24 jam atau +3, atau casts seluler

8. 9.

Kelainan neurologis Kelainan hematologi

Kejang atau psikosis tanpa sebab yang lain Anemia hemolitik atau leukopeni (< 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan) atau limfopeni (<1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan) atau trombositopeni (<100.000/mm3) yang bukan akibat pengaruh obat

10.

Kelainan imunologi

a. Peningkatan kadar anti-dsDNA b. Peningkatan anti-Sm c. Peningkatan anti-fosfolipid berdasarkan : -Peningkatan IgG atau IgM antibody antifosfolipid -Lupus koagulan positif menggunakan metode standar yang dianjurkan -Positif palsu sifilis selama 6 bulan

11.

Antinuclear antibody

Titer abnormal ANA melalui pemeriksaan immunofluoresensi atau pemeriksaan yang sebanding tanpa pengaruh obat-obatan

24

Autoantibodi pada SLE dapat dilihat pada table di bawah ini.1 Antibodi ANA Prevalensi (%) 98 Antigen yang dikenali Multiple nuclear Kegunaan Klinis Tes screening terbaik, namun tidak spesifik Anti-dsDNA 70 DNA Titer yang tinggi spesifik untuk SLE dan berhubungan dengan aktifitas penyakit, nefritis, vaskulitis Anti-Sm 25 Kompleks protein nuclear U1 RNA6 spesies Anti-RNP 40 Protein kompleks U1RNA Tidak spesifik SLE, titer tinggi berhubungan dengan beberapa syndrome rhematologi Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks protein hyRNA Tidak spesifik, berhubungan dengan syndrome sicca, lupus kutaneus subakut, lupus neonatal, penuruna resiko nefritis Anti-La (SS-B) 10 Kompleks protein hyRNA Antihiston 70 Histon sehubungan DNA (pada nucleosom, kromatin) Antifosfolipid 50 Fosfolipid, 2 ELISA untuk cardilipin dan 2G1,
25

Spesifik untuk SLE, tidak berhubungan dengan klinik

Beruhubungan dengan anti-Ro, penurunan resiko nefritis Lebih sering pada lupus yang disebabkan obat-obatan

glikogen 1 cofaktor, prothrombin Antieritrosit 60 Membrane eritrosit

waktu sensitive prothrombim (DRWT) Pengukuran melalui direk Coombs tes

Antiplatelet

30

Permukaan dan merubah antigen sitplasma platelet

Berhubungan dengan thrombocytopenia, tidak sensitive dan spesifik Pada beberapa tes CSF positif berhubungan dengan lupus CSF

Antineural

60

Antigen permukaan neuronal dan limfosit

Antiribosomal P

20

Protein ribosom

Pada beberapa tes serum positif berhubungan dengan depresi atau psokosis karena lupus SSP.

Antinuclear antibody (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit. Hasil tes negatif meyingkirkan diagnosis SLE, meskipun terdapat autoantibodi yang lain. Titer IgG antibodi anti ds-DNA dan anti-SM yang tinggi spesifik untuk LES.1 SLE sulit untuk didiagnosis, dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk dokter dapat mengumpulkan gejala yang kompleks ini menjadi diagnosis yang akurat. Untuk diagnosis yang benar dibutuhkan pengetahuan dan komunikasi yang baik dengan pasien. Pasien memberikan perjalanan penyakit yang lengkap kepada dokter. Informasi tersebut, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium, membantu dokter menegakkan diagnosis.6 Tidak ada tes tunggal yang dapat menentukan seseorang menderita SLE, tetapi beberapa laboratorium dapat membantu penegakkan diagnosis SLE. Tes identifikasi yang

26

paling berguna adalah adanya autoantibodi pada darah penderita SLE. Contohnya, tes antinuclear antibody (ANA) yang biasanya digunakan untuk melihat autoantibodi yang bereaksi pada komponen nukleus, atau sel tubuh. Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki hasil tes ANA positif; walaupun pada beberapa kasus selain SLE didapatkan hasil tes ANA positif, termasuk infeksi dan penyakit autoimun lain, dan terkadang ditemukan pada orang yang sehat. Ditambah dengan tes darah untuk jenis autoantibodi yang lebih spesifik pada pasien SLE, tetapi tidak semua pasien dengan SLE positif dan tidak semua orang yang memiliki antibodi ini menderita SLE. Antibodi ini adalah anti-DNA, anti-Sm, anti-RNP, antiRo (SSA), dan anti-La (SSB). Beberapa tes yang jarang digunakan tetapi dapat membantu yaitu dengan biopsi kulit atau ginjal jika sistem tubuh tersebut terlibat. Beberapa dokter melakukan tes untuk antibodi anticardiolipin (atau antiphospholipid), adanya antibodi ini mengindikasikan peningkatan resiko untuk SLE pada darah dan pada ibu hamil.6 Tes laboratorium lain digunakan untuk memonitor perkembangan penyakit setelah pasien telah terdiagnosis. Jumlah darah lengkap, urinalisis, kimia darah, dan sedimentasi eritrosit (untuk mengukur inflamasi) dapat memberikan informasi yang bermakna.

Pemeriksaan komplemen yang bekerja membantu antibodi, jumlah komplemen yang rendah menunjukkan substansi ini banyak digunakan karena respon imun tubuh yang rendah. Pemeriksaan sinar X dan imaging lain dapat membantu dokter untuk melihat organ yang terlibat SLE.6 Data laboratorium: 1. Anti ds-DNA Batas normal : 70 200 IU/mL Negatif Positif : < 70 IU/mL : > 200 IU/mL

27

Antibodi ini ditemukan 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman). Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodiantigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik.6 2. Antinuclear antibodies (ANA) Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE hasil yang positif terjadi 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika

28

hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La).6 3. Tes Laboratorium lain Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin, antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), darah lengkap, urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002). Pemeriksaan sinar X dan imaging lain dapat membantu dokter untuk melihat organ yang terlibat SLE.6

3.7

Manifestasi Klinis Manifestasi klinik SLE sangat beragam, biasanya diawali dengan gejala yang tidak

khas berupa demam, lemah, lesu, mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.7 Manifestasi klinis yang luas dan gejala yang timbul sering tidak bersamaan, membuat penyakit ini pada awalnya sering tidak dikenali.2

29

Gambar 8. Manifestasi klinis SLE

1. Manifestasi Muskuloskeletal Keluhan ini paling sering ditemui pada penderita SLE yaitu sebesar 90%. Manifestasi dapat berupa mialgia, artralgia. Keluhan ini biasanya serupa dengan rheumatoid arthritis sehingga perlu dibedakan dengan SLE. Pada SLE, tidak sampai menyebabkan deformitas, kaku sendi hanya berlangsung beberapa menit.2 Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran X-Ray sendi jarang ditemukan. Keberadaannya menandakan peradangan arthropati non lupus seperti rheumatoid arthritis. Beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, terutama jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya.1

30

Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis, peningkatan kadar kreatinin kinase, MRI Scan positif, nekrosis otot dan peradangan pada biopsi dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glukokortikoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan kelemahan otot. Efek samping ini mesti dibedakan dari penyakit aktif.1 Untuk ini, perlu dibedakan dengan artritis reumatoid dimana pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dsb. Hampir semua pasien mengalami artralgia dan mialgia; sebagian besar mengalami artritis intermitten. Nyeri sering melebihi temuan fisis yang berupa pembengkakan fusiform sendi (paling sering mengenai sendi interfalang proksimal (AFP) dan matakarpofalang ( MKF) pada tangan, pergelangan tangan dan lutut. 1,7

Gambar 9. Manifestasi Muskuloskletal pada SLE

2. Manifestasi Mukokutaneus Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythomatosus (DLE), rash sistemik, subacute cutaneus lupus erythematosus (SCLE), atau lainnya.1 a. Kutaneus lupus akut: Malar rash berupa gambaran butterfly rash yaitu ruam di kedua pipi tidak melebihi lipatan nasolabial, dan menyambung dengan ruam pada hidung membentuk gambaran kupu-kupu. Bentuk akut lain yaitu morbili, bulosa, toksik epidermal nekrolitik. Biasanya bersifat fotosensitif.
31

Gambar 10. Buterfly rush

Gambar 11. Bulosa bersifat fotosensitif

b. Subacute cutaneus lupus erythematosus berupa simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema, psoriatic, pitriasis, dan makulo papulo fotosensitif. Manifestasi ini dapat menghilang tanpa meninggalkan bekas.

Gambar 12. Subakut lesi kulit berbentuk anular c. Kutaneus lupus kronis. Bentuknya adalah nodul dalam, keras, berukuran 1-3 cm. Bentuk klasik berupa discoid berupa bercak merah dengan kerak keratotik di permukaannya. Sifatnya kronik dan rekuren pada lesi dengan parut dan atropi pada sentral serta hiperpigmentasi di tepi. Lesi ini dapat ditemukan di telinga, leher, lengan, dan wajah. Kelainan ini ditemukan pada 2% penderita SLE.

32

Gambar 13. Lesi Diskoid d. Lupus kutaneus nonspesifik, berupa vaskulitis kutaneus dengan manifestasi tergantung pembuluh darah yang terkena. Bentuk kelainan ini berupa urtikaria, ulkus, purpura, bulosa, splinter hemorrhage, eritema periungual, eritema tenar dan hipotenar. Kelainan ini dapat ditemukan pada 70% pasien.

Gambar 14. Vaskulitis Kutaneus e. Raynauds phenomenon, dengan gambaran berupa vasospasme dimana sianosis menjadi kemerahan bila terkena panas. Gejala ini berhubungan dengan antibody anti-U1 RNP.

Gambar 15. Raynaunds Phenomeon


33

f. Alopesia. Gejala ini bersifat sementara dan bersifat difus. Biasanya dimulai dari garis rambut depan.

Gambar 15. Alopesia g. Sklerodaktil, sklerotik kepucatan pada tangan dari perubahan tipe scleroderma. Hanya ditemukan pada 7% penderita. h. Nodul rheumatoid i. Hipo atau hiperpigmentasi pada daerah yang terpapar matahari j. Luka pada mulut yang tidak nyeri. Pada kutaneus lupus bisa dilihat gambaran histopatologis berupa kompleks imun pada epidermal junction yang berbentuk pita sehingga disebut sebagai lupus band. 3. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. 2,3,4

34

Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm. Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada penderita SLE adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. 1

4.

Manifestasi Paru Manifestasi paling sering adalah pleuritis baik dengan maupun tanpa efusi pleura.

Gejala yang ringan dapat diterapi dengan NSAID, namun bila lebih berat diperlukan terapi dengan glukokortikosteroid.1 Efusi pleura berupa cairan jernih dengan protein yang meningkat, glukosa normal, dan leukosit < 10.000.7 Manifestasi lain yang berupa pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonal, pulmonary haemorrage, dan shrinking lung syndrome.2,6 Pneumonitis musti dibedakan dengan pneumonia bacteria, bila perlu dengan bilas bronkhoalveolar. Pasien merasa sesak, batuk kering, dan ronkhi di basal. Hal ini disebabkan penumpukan kompleks imunalveolus maupun vascular paru.2 Perikarditis merupakan manifestasi tersering lupus pada jantung. Efusi dapat terjadi dan kadang-kadang menyebabkan tamponade. Pleuritis dan efusi pleura merupakan gejala yang sering ditemukan pada SLE. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Pemeriksaan sinar x memperlihatkan infiltrat yang berbentuk spt awan. Penyebab tersering pada infiltrat paru pada pasien SLE adalah infeksi. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut manjadi kronik. Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkhoalveolar.biasanya penderita akan menderita sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru., baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon yang baik dengan pemberian steroid.
35

Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan penanganan tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid namun tindakan pengobatan lain seperti lasmafaresis atau pemberian sitostatika 1. ,7 Pasien SLE dengan presentasi tachypneu, batuk, hemoptysis dan deman harus diurigai adanya manifestasi di paru. Gejala ini, jika ringan, dapat berespons dengan pemberian terapi nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs). Jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar. Semua kemungkinan ini membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini, begitu pula dengan perawatan suportif.1 5. Manifestasi Jantung Perikarditis merupakan manifestasi jantung yang tersering. Manifestasi ini ditemukan pada 66% penderita dan jarang mengalami komplikasi. Perikarditis dicurigai bila ditemukan nyeri substernal, friction rub, shillouet sign pada foto dada, atau pada EKG.1,2,7 Manifestasi lain yaitu efusi pericardium, miokarditis, endokarditis, kelainan katup, penyakit koroner, hipertensi, gagal jantung, serta kelainan konduksi. Vegetasi pada katup adalah akibat kumpulan kompleks imun, sel mononuclear, jaringan nekrosis, jaringan parut, fibrin, serta thrombus trombosit.2,7 Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi. Biasanya pericarditis ini berespon dengan terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah miokarditis dan endocarditis LibmanSacks fibrinous. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakannya pada katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa
36

terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Pasien dengan SLE mengalami peningkatan risiko infark miokard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.1

Gambar 16. Endokarditis 6. Manifestasi Renal Manifestasi ini terjadi pada 45-70% penderita, umumnya terjadi setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Keterlibatan ginjal akan tampak setelah terjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik. Gambaran klinis bervariasi dapat berupa hematuria, proteinuria, atau pun cast selular tergantung dari kerusakan glomerolus. Agar dapat menilai kerusakan ginjal dengan baik sebaiknya dilakukan biopsi ginjal. World Health Organization membagi menjadi 5 kelas berdasarkan histopatologi hasil biopsy.2,7

37

Kelas I Kelas IIA Kelas IIB Kelas III Kelas IV Kelas V

Normal Mesangeaal deposit Mesangeal hiperseluler Fokal segmental glomerulonefritis Difus glomerulonefritis Membranus glomerulonefritis

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Rasio wanita:pria dengan kelainan ini adalah 10:1. dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/ 24 jam atau 3 + semi kwantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin,tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyuria ( > 5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita SLE Sebagian besar pasien SLE memiliki imunoglobulin yang mengendap di glomerulus, tetapi hanya separuh yang menderita nefritis secara klinis, yang di definisikan dengan adanya proteinuria. Pada awal perjalanan penyakit, sebagian besar pasien asimtomatik, walaupun sebagian mengalami edema akibat sindroma nefrotik. Urinalisis memperlihatkan hematuria, silinderuria, proteinuria. Sebagian besar pasien dengan nefritis proliferatif mesangial atau fokal ringan dapat mempertahankan fungsi ginjal normal. Pasien dengan nefritis proliferatif difus mengalami gagal ginjal bila tidak diobati. Karena nefritis yang kronik memerlukan imunosupresi agresif dengan obat sitostatik dan glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan lesi ringan tidak. . 1,7

38

Normal

Glomerulonefritis

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama penyakit ini. Lupus nephritis diperkirakan terjadi pada 50% pasien SLE. Pada kebanyakan pasien ini, lupus nephritis terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE, urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis. Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan immunofluoresensi. Class II: Mesangial Proliferative Lupus Nephritis Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matriks mesangial dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samar dapat terlihat dengan immunofluoresensi atau mikroskop elektron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa. Class III: Focal Lupus Nephritis Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau

39

ekstrakapiler terjadi pada <50%. Class III (A) : Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis.

Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis. Class III (C) : Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular-focal sclerosing lupus nephritis. Class IV: Diffuse Lupus Nephritis Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan >50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan deposit imun yang difus, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika >50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika >50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus. Class IV-S (A) : Lesi aktif Lupus nephritis diffuse segmental proliferative Class IV-G (A) : Lesi aktif Lupus nephritis diffuse global proliferative Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis sclerosing Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis sclerosing. Class IV-S (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut lupus nephritis diffuse segmental sclerosing Class IV-G (C) : Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut lupus nephritis diffuse global sclerosing

40

Class V: Membranous Lupus Nephritis Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop elektron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat. Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis >90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual. TABEL Klasifikasi nefritis lupus menurut International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003. (Dikutip dari: Weening JJ et al, The Classification of Glomerulonephritis in Systemic Lupus Erythematosus Revisited Journal of the American Society of Nephrology 2004, Vol.15, pp. 241 250.) Biopsi renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau di masa akan datang. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam). Sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika

glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami End Stage Renal Disease (ESRD) dalam 2 tahun diagnosis. Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria memiliki perubahan glomerulus

membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsi ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang dengan lupus nephritis, terjadi percepatan pada

41

proses aterosklerosis sehingga untuk mengendalikan tekanan darah, hiperlipidemia, dan hiperglikemia pada pasien ini. 7. Manifestasi Gastrointestinal Manifestasi berupa nausea, mual, muntah, dan diare. Peritonitis maupun vasculitis intestinal dapat menimbulkan nyeri abdomen. Peningkatan SGOT dan SGPT dapat terjadi saat SLE aktif.1,7 Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas. Keluhan dispepsia yang dijumpai pada lebih kurang 50% penderita SLE, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan pemakaian obat ini. Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8 % penderita SLE. Keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase. Sampai saat ini penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena SLE itu sendiri atau akibat pengobatan seperti steroid, azathioprin yang diketahui dapat menyebabkan pankreatitis. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini berkaitan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan NSAID, terutama salisilat. Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita muda dengan poliartritis dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan serum SGOT/SGPT.transaminase ini akan kembali normal apabila aktivitas SLE dapat dikontrol dan antiinflamasi dihentikan. 1 Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT)

42

umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi tambahan.1 8. Manifestasi Neuropsikiatri Kelainan ini memiliki gambaran yang sangat luas sehingga sukar ditegakkan. Kelainan ini dikelompokkan sebagai kelainan neurologic dan psikiatrik.2 American College Rheumatology mengelompokkan manifestasi ini menjadi 19 sindrom. 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropthy (Guillain-Barre syndrome) 2. Meningitis aseptic 3. Kelainan saraf autonom berupa hipertensi ortostatik, anhidrosis, gangguan ejakulasi, intoleransi panas, dan konstipasi 4. Penyakit serebrovaskular dapat berupa stroke, TIA, kronis multifocal, perdarahan subintrakranial, thrombosis sinus 5. Sindrom demyelinating 6. Pusing berupa migraine, tension headache, cluster headache, atau dikarenakan pseudotumor atau kenaikan tekanan intrakranial 7. Mononeuropati single atau multiple 8. Chorea 9. Myasthenia gravis 10. Myelophati (tranverse myelitis) 11. Nueropathy cranial 12. Plexopathy 13. Polineuropathy

43

14. Kejang 15. Delirium akut 16. Kecemasan 17. Disfungsi kognitif 18. Gangguan emosi 19. Psikosis 9. Manifestasi Hematologi Kelainan hematologi yang sering ditemukan adalah anemia. Anemia ini terbagi menjadi anemia yang diperantarai imun dan yang tidak diperantarai oleh imun. Anemia yang diperantarai imun berupa pure red cell aplasti, anemia aplastik, anemia hemolotik autoimun, dan anemia pernisiosa. Anemia non-imun berupa anemia karena penyakit kronis, defisiensi besi, sickle cell anemia, dan anemia siredoblast. Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia. 2,7
Anemia akibat penyakit kronik terjadi pada sebagian besar pasien lupus aktif. Pada sebagian kecil pasien yang uji coombsnya positif terjadi hemolisis. Hemolisis ini biasanya berespon terhadap pemberian glukokortikoid dosis tinggi; pada kasus tertentu mungkin berespon dengan splenektomi. Bila hitung trombosit tidak mencapai angka yang memuaskan dalam 2 minggu, harus di pertimbangkan tindakan splenektomi. Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan pemanjangan waktu tromboplastin parsial ( partial troboplastin time,PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal memperbaiki pemanjangan tersebut. 7 Kriteria Diagnosis SLE dari ACR pada 1971 menyatakan bahwa leukopenia, trombositopenia dan anemia hemolitik merupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari : 1. Anemia hemolitik autoimun

44

2. Leukopenia ( < 4000 / l pada dua kali atau lebih pemeriksaan ). 3. Limfopenia ( < 1500 / l pada dua kali atau lebih pemeriksaan ). 4. Trombositopenia ( < 100.000 / l tanpa pemberian obat ). Pada Carolina Lupus Study, dari 265 pasien SLE yang didiagnosis antara 1995 sampai 1999, frekuensi kelainan hematologi pada diagnosis awal adalah 11 % anemia hemolitik, 18 % leukopenia, 21 % limfopenia, dan 11 % trombositopenia. Sumsum tulang menjadi target pada pasien SLE dengan sitopenia. Sebuah penelitian pada pasien-pasien SLE dengan sitopenia, yang tidak menggunakan obat imunosupresif, melaporkan gambaran sumsum tulang hiposelularitas menyeluruh ( 47,6 % ), peningkatan proliferasi retikulin ( 76,2 % ) dengan mielofibrosis pada satu pasien, dan nekrosis ( 19 % ). Plasmasitosis tampak pada 26,7 % pasien dan cadangan besi menurun atau tidak ada pada 73,3 %.

Anemia pada pasien SLE dapat merupakan penyakit imun atau non-imun. Anemia yang merupakan penyakit non-imun adalah anemia pada penyakit kronik, anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakit ginjal, anemia diinduksi obat, dan anemia sekunder terhadap penyakit lain ( misalnya anemia sel sabit ). Anemia yang diperantarai imun pada pasien SLE adalah anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik diinduksi obat, anemia aplastik, pure red cell aplasia, dan anemia pernisiosa. Voulgarelis dkk. melaporkan pada dari 132 pasien SLE, 37,1 % menderita anemia pada penyakit kronik, 35,6 % anemia defisiensi besi, 14,4 % anemia hemolitik autoimun dan 12,9 % karena penyebab lain. Salah satu penyebab anemia pada penyakit kronik dan anemia karena sebab lainnya adalah berkurangnya produksi eritropoetin dan resistensi eritropoetin pada sel eritroid. Resistensi eritropoetin dapat terjadi karena adanya autoantibodi terhadap eritropoetin ( antiEpo ). Voulgarelis melaporkan bahwa anti-Epo ditemukan pada 21 % pasien SLE dengan anemia dan berhubungan bermakna dengan aktivitas penyakit. Respons peningkatan eritropoetin juga akibat penurunan hemoglobin juga tidak adekuat pada 41,2 % pasien anemia hemolitik autoimun dan 42,4 % pasien anemia penyakit kronik.

45

Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology). (Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005) No 1 2 Kriteria Bercak malar (butterfly rash) Bercak diskoid Definisi Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi a. Pleuritis Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik. atau b. Perikarditis Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan. atau b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

3 4 5 6

Fotosensitif Ulkus mulut Artritis Serositif

Gangguan ginjal

10

Kejang Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau Psikosis Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah Anemia hemolitik dengan retikulositosis Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan Anti ds-DNA diatas titer normal Anti-Sm(Smith) (+) Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
46

Gangguan saraf

kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau antibodi treponema 11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+) *Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100% spesifisitas

3.8

Penatalaksanaan Dalam memberikan pengobatan perlu diperhatikan apakah pasien memerlukan terapi

konservatif atau immunosupresif yang agresif. Pasien yang tidak mengancam jiwa serta tidak berhubungan dengan kerusakan organ perlu dilakukan terapi konservatif.2 Misalnya adalah pasien SLE dengan gejala panas, arthritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, dan kelelahan.8 Namun, bila penyakit mengancam jiwa dan melibatkan organ mayor dipertimbangkan terapi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.2 Misalnya yaitu penderita SLE dengan gejala efusi pleura dan perikard yang massif, penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, dan miokarditis.8 Terapi Konservatif Artritis, artalgia, mialgia diterapi dengan analgetik atau antiinflamasi nonsteroid, namun harus diperhatikan efek sampingnya agar memperberat keadaan pasien. Apabila tidak berespon dapat diberikan antimalaria seperti hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan perlu evaluasi oftalmologik karena toksik pada retina. Bila tetap tidak respon, dapat diberikan kortikosteroid dosis rendah 15 mg tiap pagi atau metotreksat 7,5-15 mg/minggu untuk arthritis.2 Penderita SLE sebesar 70% mengalami fotosensitif sehingga harus menggunakan pelindung berupa baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menggunakan sunscreen. Glukokortikoid local dapat digunakan pada dermatitis lupus dengan hati-hati karena dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitas.2
47

Keluhan fatigue dapat diatasi dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja, pembatasan aktifitas fisik yang berlebihan, serta mengubah gaya hidup tidak perlu terapi spesifik.2,8 Serositis dapat diterapi dengan salisilat, antiinflamasi nonsteroid, antimalaria, atau glukokortikoid.2 Terapi Agresif Terapi ini dilakukan bila terdapat manifestasi yang berat atau mengancam jiwa penderita seperti vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis, anemia hemolitik, trombositopenia, mielopati, neuropati perifer, dan krisis lupus.2 Terapi berupa glukokortikosteroid dosis tinggi yaitu 0,5-2 mg/KgBB/hari per oral. Pilihan lain adalah injeksi dengan 1000 mg atau 15 mg/KgBB/hari methylprednisolon iv selama 3-5 hari, dilanjutkan prednisone oral 0,5-1 mg/KgBB/hari. Setelah pemberian selama 6 minggu dilakukan tapering off dengan menurunkan dosis 5-10% tiap minggu. Setelah tercapai 30 mg/hari penurunan dilakukan 2,5 mg/minggu, setelah tercapai 10-15 mg/hari, penurunan dilakukan 1 mg/minggu. Bila terjadi kekambuhan, dosis dinaikkan ke dosis efektif terendah sebelumnya.1,2 Apabila dalam 4 minggu tidak ada kemajuan dapat ditambahkan imunosupresif lain. Siklofosfamid (alkilating agen) diberikan dengan dosis 0,5-1 gr/m2. Azatioprin (antagonis purin) memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan siklofosfamid, dosis agen ini yaitu 2-3 mg/KgBB/hari. Agen lain yaitu metotreksat 7,5-20 mg/minggu dalam dosis tunggal atau terbagi 3, siklosporin 2,5-5 mg/KgBB/hari dalam dua dosis, atau mofetil mikofenolat 2gr/hari terbagi dua dosis.1,2 Penatalaksanaan Umum 1,4,14 Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi, sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan

48

kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan mencakup penatalaksanaan umum dan terapi konservatif. Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain : Edukasi Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup memadai tentang berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi, dan derajat keparahan penyakit yang berbada-beda, sehingga penderita SLE memahami dan dapat mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Kelelahan Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi dari pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup. Merokok Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada rokok. Cuaca Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.

49

Stres dan trauma fisik Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya. Diet Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal. Sinar ultra violet Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut. Kontrasepsi oral Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

50

Penatalaksanaan Farmakologis Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. 1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID) 3,15 NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3 kali sehari. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. NSAID golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik. 2. Antimalaria 3,10,11,13 Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama Lupus Erithematosus Diskoid dan Lupus Erithematosus Kutaneus Subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi neutrofil dan metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Hidroksiklorokuin juga dapat menurunkan kadar lipid dan kemungkinan juga bersifat sebagai anti trombotik. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia iaitu hidroksiklorokuin (dosis 200 mg 2x per hari), klorokuin (250 mg per hari) dan kuinarkrin (100 mg 4x per hari). Hidroksiklorokuin

51

lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah, timbulnya ruam, toksisitas retina dan toksisitas neurologis. Perlu pemantauan kelainan mata setiap 3 bulan untuk memantau efek samping antimalaria. 3. Kortikosteroid 4,12,14 Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intraartikuler digunakan untuk arthritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya bervariasi antara 5 mg-30 mg prednisone atau metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Sering kali, kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian dapat segera diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari. Kortikosteriod parenteral juga dapat digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya. Pada keadaan sangat berat yang mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3 hari berturut-turut. Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirtutism, percepatan osteoporosis, osteonekrosis, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, miopati, hipokalemia, menstruasi tidak teratur, iritabilitas, insomnia dan psikosis. Oleh itu, setelah aktivitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan. Prednisone dengan dosis 15 mg/hari diberikan pada pagi hari tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat meminimalisasi beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping

52

osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D 50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam mencegah osteoporosis dapat juga diberikan calcitonin dan bisfosfonat. 4. Terapi Imunomodulator 3,4

a. Cyclophosphamide Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang berat, terutama lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan cyclosphosphamide bolus intravena 0,5-1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya kortikosteriod saja dalam pencegahan sequel ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence base tingkat 4, respon paling baik adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi nonrenal yang efektif dengan cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan system saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis. Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai 2,5-3,0 mg/kg dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi setiap 2 minggu. Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut rontok kadang kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan. Leukopenia yang bersifat dose dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dengan jumlah leukosit. Juga terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus terutama herpes zoster. Efek samping pada gonad dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azoospermia. Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat menyebabkan iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis hemoragik, fibrosis dan karsinoma sel skuamosa transitional pada penggunaan jangka panjang. Pada pemberian cyclophosphamide bolus intravena diberikan hidrasi yang adekuat dan Mesna sebagai

53

pengikat acrolein dengan dosis 20% dari total dosis cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika urinaria juga perlu dilakukan. b. Mycophenolate mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversible inosine monophosphate dehydrogenase, suatu enzim yang penting untuk sintesis purine. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan sel T dan mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang efektif terhadap lupus nefritis. MMF dapat mengurangkan proteinuria dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita SLE dan nefritis yang resisten dengan cyclophosphamide. Efek samping

MMF pada umumnya adalah leucopenia, nausea dan diare. MMF diberikan dengan dosis antara 500-1000 mg, 2 kali per hari. c. Azathioprine Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini digunakan sebagai alternative cyclophosphamide untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine diindikasikan untuk miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian dimulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan neutrofil > 1000/mm3. Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek samping gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di ginjal, fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis diperlukan pada gangguan fungsi hati dan ginjal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensifitas dengan manifestasi demam, rash di kulit dan peningkatan serum tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible dan menghilang setelah obat dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya

54

keganasan, seperti limfoma non Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang mendapat azathioprine. d. Leflunomide Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan pada pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE yang mulai ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose 100 mg/hari untuk 3 hari, kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari. e. Methotrexate Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral satu kali seminggu. Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping methotrexate antara lain adalah peningkatan serum transaminase, keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer. f. Cyclosporine Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi seperti C3, C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hyperplasia gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum kreatinin. 5. Agen Biologis 3,4 Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoantigen dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel yang selanjutnya akan mempengaruhi respon imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibody monoclonal chimeric yang melawan reseptor DC 20 yang dipresentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau Rituximab memiliki potensi terapi

55

untuk SLE yang refrakter, antara lain pada system saraf sentral, renal, vaskulitis dan gangguan hematologic. LJP 394 atau Abetimus sodium dapat mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan mengurangi antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoxyribonukleotida yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator limfosit B atau BlyS merupakan bagian dari keluarga tumor necrosis factor (TNF) cytokine yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibody monoclonal human terhadap BlyS. 6. Terapi Hormon 4 Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE. Dehydroepiandrosterone (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan dan sedang. Danazole, sejenis sintetik kortikosteroid dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia autoimmune terutama trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti (Estrogen Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause. 7. Terapi Lain 4 Thalidomide dapat digunakan untuk pengobatan lupus discoid dengan dosis maintenance 25-50 mg/hari. Thalidomide dapat menginduksi remisi partial sebanyak 30% dan remisi lengkap sebanyak 60%. Thalidomide berguna pada kasus lupus discoid yang refrakter dengan kortikosteroid dan antimalaria. Neuropati perifer dapat terjadi pada penggunaaan thalidomide dan obat ini tidak boleh digunakan pada kehamilan karena efek teratogeniknya. Dapsone merupakan suatu sulfone yang efektif untuk mengatasi beberapa kelainan kulit termasuk lupus discoid. Retinoid yang memiliki efek anti inflamasi dan

56

immunosuppressive telah digunakan luas baik secara oral maupun topical untuk pengobatan lupus cutaneous yang kronis. Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosuppressant, IVIgG tidak mempunyai efek meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut terjadi perbaikan trombositopenia, arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika. Kontraindikasinya adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA. Follow Up 4 Apabila diagnosis SLE telah dibuat, maka penting untuk menentukan beratnya serta potensi reversibilitas penyakit dan kemungkinan pengobatannya. Tidak ada istilah sembuh untuk penyakit SLE, dan jarang didapatkan remisi sempurna yang bertahan lama. Dalam pengelolaan SLE, penting untuk ditentukan apakah kondisinya mengancan jiwa, atau mungkin untuk menimbulkan kerusakan organ, di mana keadaan tersebut memerlukan terapi yang agresif. Juga penting untuk ditentukan apakah manifestasi penyakit SLE tersebut berpotensi reversible dan bagaimana upaya terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit tersebut dan pengelolaannya. Dalam monitoring aktivitas penyakit SLE, dapat digunakan MEX LESDAI Score.

57

TABEL MEX LESDAI Score. (Dikutip dari: Tim Reumatologi RS Dr. Hasan Sadikin, Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik Bandung 2007.)

58

Gambar 17. Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan SLE 3.9 Komplikasi Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri atau komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita yang

immunocompromised. Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatan antiphospholidip antibodi.9 Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark miokard prematur.9 Komplikasi LES pada anak meliputi: 2,3

Hipertensi (41%) Gangguan pertumbuhan (38%) Gangguan paru-paru kronik (31%)


59

Abnormalitas mata (31%) Kerusakan ginjal permanen (25%) Gejala neuropsikiatri (22%) Kerusakan muskuloskeleta (9%) Gangguan fungsi gonad (3%).

3.10 Prognosis SLE tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat diterapi. Pada tahun 1950, sebagian besar pasien yang didiagnosis SLE hidup kurang dari 5 tahun. Kemajuan pada diagnosis dan terapi telah meningkatkan angka bertahan hidup yaitu lebih dari 90% dapat bertahan hidup selama lebih dari 10 tahun. Prognosis biasanya memburuk pada pria dan anak-anak daripada wanita; bagaimanapun jika gejala timbul pada usia lebih dari 60 tahun, penyakit ini akan memberat. Mortalitas dini, dalam 5 tahun, terjadi pada kegagalan organ atau infeksi yang berat, keduanya dapat dicegah dengan diagnosis dan terapi dini.6 Untuk menurunkan potensi kelainan kardiovaskular, hipertensi dan kolesterol yang tinggi harus dicegah dan diterapi secara agresif. Steroid seharusnya digunakan dengan dosis terendah pada periode yang singkat. Kreatinin serum yang tinggi, hipertensi, sindrom nefrotik, anemia dan hipoalbuminemia merupakan faktor prognosis yang buruk.6 Masa kanak-kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal seragam. Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr survival rate lebih besar dari 90%.. Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin komplikasi akibat administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan penyakit kompleks. 1 LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 195060

1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap. 4 Prognosis dari perjalanan penyakit SLE bervariasi. Sebelum steroid ditemukan, 52% penderita meninggal dalam 2 tahun dan sisanya bertahan sampai 11 tahun. Pada tahun 1977, 91% penderita dilaporkan hidup hingga 5 tahun. Sekarang, 75% penderita mampu hidup hingga 15 tahun dan lebih dari 90% dilaporkan hidup hingga 10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari organ-organ yang terkena. Keterlibatan organ ginjal dan sistem saraf pusat memberikan prognosis yang buruk. 84% penderita tanpa kelainan pada ginjal mampu bertahan hidup hingga 15 tahun dibandingkan dengan penderita yang mengalami kelainan (57%). Penderita yang mengalami remisi spontan sebanyak 35% dapat hidup hingga 20 tahun. Prognosis yang lebih baik pada penderita tidak hanya karena pemberian kortikosteroid, tetapi juga karena adanya penegakan diagnosis yang dini.3,4 Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan ginjal yang parah, bronchopneumonia, atau peritonitis spontan yang merupakan komplikasi dari lupus nephritis yang dapat diterapi dengan kortiosteroid. Selain itu, dapat juga terjadi karena vaskulitis pada sistem saraf pusat yang muncul dengan kejang, psikosis dan paralisis pada penderita. Penderita yang meninggal awal, biasanya terjadi pada fase aktif dari lupus

erythematosus disertai kelainan pada organ ginjal, menerima dosis tinggi dari steroid, serta mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit infeksi. Sedang pada penderita yang meninggal belakangan mempunyai angka insiden yang tinggi karena atherosclerotic heart disease dan infarct myocardial. Walaupun penyakit ini lebih sering terjadi pada

perempuan, namun prognosisnya lebih buruk pada penderita laki-laki.4

61

BAB IV ANALISA KASUS

Anamnesis Fakta Seorang wanita Nn. N, umur: 20 tahun Teori SLE terutama menyerang wanita dengan perbandingan terhadap pria 9:1. Pada wanita, biasanya terjadi saat usia produktif dengan puncak insiden 15-40 tahun. Eritema nodosky sudah ada 1 minggu Nonspesifik kutaneus lupus ditemukan pada 70% penderita. Bentuk kelainan ini berupa ulkus, urtikaria, purpura, bulosa, splinter haemorraghe, eritema. Lemah yang semakin bertambah sejak 1 minggu. Pasien mengalami demam yang timbul perlahan-lahan dan bersifat hilang timbul selama 2 minggu ini. Nafsu makan menurun dan berat badan juga menurun, kurang lebih 10 kg dalam 1 tahun. Nyeri seluruh bagian sendi sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Manifestasi musculoskeletal merupakan gejala yang paling banyak dirasakan yaitu pada 90% penderita, berupa nyeri otot dan
62

Manifestasi klinik SLE sangat beragam, biasanya diawali dengan gejala yang tidak khas berupa demam, lemah, lesu, mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

nyeri sendi. Tidak tahan jika terpapar cahaya sinar matahari, karena kulitnya akan memerah dan terasa panas. Subacute cutaneus lupus erythematosus berupa simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema, psoriatic, pitriasis, dan makulo papulo fotosensitif. Pasien juga merasakan kepalanya terasa pusing. Pusing berupa migraine, tension headache, cluster headache, atau dikarenakan pseudotumor atau kenaikan tekanan intrakranial Ruam pada wajah sampai dada. Salah satu manifestasi mukokutaneus SLE adalah perubahan pigmentasi kulit, biasanya pada daerah yang terpapar matahari. Riwayat luka - luka pada mulut. Luka pada mulut biasa terdapat pada palatum molle atau durum, mukosa pipi, gusi, tidak nyeri. Nyeri dada, sesak, dan udem di kedua kaki. Salah satu manifestasi klinis yang sudah terjadi komplikasi SLE pada jantung.

Pada kasus ini didapatkan seorang wanita Nn. MN umur 20 tahun. SLE terutama menyerang wanita dengan perbandingan terhadap pria 9:1. Pada wanita, biasanya terjadi saat usia produktif dengan puncak insiden 15-40 tahun. SLE pada wanita berhubungan dengan
63

hormon estrogen, dan pada pria yang berperan adalah hormon androgen. Diperkirakan estrogen mempengaruhi perkembangan dari gangguan autoimun, sedangkan androgen memiliki beberapa perlindungan. Sehingga, estrogen yang tinggi pada wanita dapat menjadi salah satu penyebab tingginya prevalensi SLE pada wanita, dan androgen yang rendah diperkirakan berhubungan dengan gangguan autoimun pada pria.9 Berdasarkan anamnesis didapatkan manifestasi lupus eritematosus sistemik yang sesuai dengan teori, yaitu gejala konstitusional, manifestasi mukokutaneus dan muskuloskeletal. Gejala konstitusional dari anamnesa berupa kelelahan, demam, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Kelelahan biasanya mendahului gejala yang lain. Manifestasi ini juga dapat disebabkan oleh anemia, psikis, atau pun penggunaan prednisone. Manifestasi konstitusional yang lain dapat berupa penurunan berat badan, demam, penurunan nafsu makan, sakit kepala, serta mual, dan muntah. Manifestasi pada mukokutaneus diperoleh eritema pada daerah betis kanan dan kiri, riwayat luka pada mulut, ruam pada wajah dan dada, serta tidak tahan jika terpapar cahaya sinar matahari. Manifestasi ini masing-masing berupa lupus discoid yaitu kutaneus lupus kronis, hiperpigmentasi, ulkus yaitu nonspesifik kutaneus lupus, dan oral ulcer. Berdasarkan anamnesis, pasien tidak tahan jika terpapar sinar matahari karena kulitnya akan menjadi merah dan terasa panas, yang dapat menghilang dengan menjauhi paparan sinar matahari. Manifestasi musculoskeletal yang dirasakan pasien adalah nyeri pada seluruh sendi. Manifestasi ini paling sering dialami penderita SLE yaitu lebih dari 90%. Keluhan berupa nyeri otot dan nyeri sendi. Nyeri sendi (arthritis) dapat terjadi dari ringan sampai berat dengan bengkak pada sendi dan nyeri. Biasanya nyeri didapatkan pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi hanya dialami 10% penderita dan erosi jarang terjadi.

64

Manifestasi kardiovaskular yang dirasakan pasien adalah nyeri pada dada, sesak, dan ada udem di kedua kaki. Manifestasi ini ditemukan pada 66% penderita dan jarang mengalami komplikasi. Perikarditis dicurigai bila ditemukan nyeri substernal, friction rub, shillouet sign pada foto dada, atau pada EKG.

Pemeriksaan Fisik Fakta Sendi : nyeri Eritema nodosky Butterfly rash Discoid rash pada dinding thorax anterior Alopecia region frontalis (garis depan rambut) Pitting oedem pada pretibia Limfadenopati Whezing dan ronki terdengar Suara gallop dan desah terdengar Teori Muskuloskeletal : arthritis dengan sendi bengkak dan kemerahan Mukokutaneus : kutaneus lupus akut, kutaneus lupus subakut, kutaneus lupus kronis, vaskulitis kutaneus, alopesia, sklerodaktili, perubahan pigmentasi, dan luka pada mulut. Malar rash berupa gambaran butterfly rash Paru : pleuritis berupa efusi pleura atau friction rub Jantung : Berupa perikarditis dan efusi pericardium Ginjal : lupus nefritis GIT : hepatosplenomegali Kelenjar getah bening: Limfadenopati

65

Pada pemeriksaan fisik kasus ini didapatkan pemerikasaan fisik yang khas SLE pada sistem musculoskeletal dan mukokutaneus. Ditemukan malar rash (butterfly rash), alopecia di garis depan rambut, discoid rash pada dinding thoraks anterior, ulkus, serta arthritis. Sayangnya, tidak ditemukan pada kasus ini yang merupakan tanda spesifik SLE. Alopecia disebabkan oleh kerontokan rambut karena aktifitas penyakit yang bersifat difus dan tanpa jaringan parut. Kelainan ini biasa dimulai dari garis depan rambut, dapat menetap bila disebabkan oleh discoid lupus yang meninggalkan parut. Discoid rash pada dinding thoraks anterior merupakan diskoid lupus yang termasuk dalam kutaneus lupus kronis. Gambaran klinis berupa nodul yang dalam, keras, diameter 1-3 cm. Hanya didapatkan pada 2% penderita. Eritema merupakan nonspesifik kutaneus lupus. Selain eritema nodosky, kelainan ini dapat berupa urtikaria, purpura, bulosa, splinter hemorraghe, eritema periungual, dan eritema pada tenar dan hipotenar. Manifestasi musculoskeletal berupa nyeri pada sendi. Nyeri sendi (arthritis) dapat terjadi dari ringan sampai berat dengan bengkak pada sendi dan nyeri. Biasanya nyeri didapatkan pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi hanya dialami 10% penderita dan erosi jarang terjadi. Manifestasi kardiovaskular yang dirasakan pasien adalah nyeri pada dada, sesak, dan ada udem di kedua kaki. Manifestasi ini ditemukan pada 66% penderita dan jarang mengalami komplikasi. Perikarditis dicurigai bila ditemukan nyeri substernal, friction rub, shillouet sign pada foto dada, atau pada EKG. Adanya ditemukan pembesaran kelenjar getah bening pada pasien. Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE.

66

Pemeriksaan Penunjang Fakta Hb Hematokrit Leukosit Eritrosit Trombosit RDW MCV MCH MCHC : 6,9 g% : 22,3% : 3,3 x103/mm3 : 2,6 x106/mm3 : 152 x 103/mm3 : 15,5% : 85 fl : 26,3 pg : 30,9 g% : 68 mg/dl : 1,44 mg/dl : 5,8 mg/dl DL UL ANA Anti ds-DNA, anti-Sm, anti phospolipiid C3 dan C4 Coomb test SGOT/SGPT Ureum Creatinin Biopsi ginjal EKG Echokardiografi Teori

RFT: Ureum Kreatinin Uric Acid

LFT : Total Protein Albumin Globulin : 4,1 g/dl : 1,3 g/dl : 2,8 g/dl

Widal Test: S. Thypi S. Para A S. Para B

O 1/80 1/160 1/320

H 1/80 1/80 1/80

67

S. Para C

1/80

1/160

EKG : Tidak dilakukan pemeriksaan. Foto Roentgen Thoraks: Tidak layak baca, tidak inspirasi maksimal dan posisi telentang dengan agak miring

Pada pemeriksaan penunjang darah lengkap didapatkan hasil pansitopenia yaitu, leukosit rendah yaitu 3300, eritrosit rendah yaitu 2,6 x106, Hb rendah yaitu 6,9 g%, Ht juga rendah 22,3% sedangkan trombosit masih dalam batas normal yaitu 152.000. Pada pemeriksaan fungsi ginjal terdapat kadar ureum yang tinggi yaitu 68. Sedangkan hasil fungsi hati dalam batas normal. Untuk pemeriksaan widal test terdapat peningkatan titer O pada Parathypi B yaitu 1/320. Pada kasus ini didapatkan leukosit yang rendah karena pasien datang ke RS dalam keadaan demam dengan peningkatan titer O pada parathypi B, ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Kadar ureum yang meningkat biasa ditemukan saat SLE aktif sudah terdapat gangguan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan oleh aktivitas penyakit itu sendiri yaitu gangguan imonulogi maupun efek penggunaan NSAID terutama salisilat. Kelainan ini akan kembali normal bila SLE dapat dikontrol dan penggunaan NSAID dihentikan. Hubungan antara kelainan ginjal dengan aktivitas SLE atau merupakan bagian dari lupus itu sendiri umumnya setelah 5 tahun perjalanan penyakit itu sendiri. Pemeriksaan ureum tinggi, kreatinin didapatkan hasil normal. Pemeriksaan protein total, albumin, serta globulin tidak dilakukan. Jadi, belum dapat disingkirkan sindrom nefrotik dan gagal ginjal yang masing-masing ditemukan sebesar 25% dan 5-10% pada penderita SLE. Keterlibatan ginjal biasanya tampak bila telah terjadi sindrom nefrotik atau gagal ginjal. Namun, kelainan pada ginjal juga dapat diketahui dari pemeriksaan urin lengkap

68

dengan ditemukannya proteinuria +3, cast granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit, atau pyuria tanpa bukti adanya infeksi. Hasil yang lebih akurat diperoleh melalui biopsi ginjal. Pada kasus ini sebenarnya telah dilakukan pemeriksaan anti ds DNA dan tes ANA untuk menegakkan diagnosis SLE 1 tahun lalu. Pemeriksaan ini dikirim ke laboratorium swasta yang menyediakan fasilitas tersebut atau rumah sakit umum tipe A yang menyediakan fasilitas tersebut. Data hasil pemeriksaan tersebut tidak disimpan oleh pasien, pasien hanya mengingat hasilnya adalah positif SLE. Pada kasus ini pasien ditemukan udem pada kedua tungkai dan merasa sesak nafas dan nyeri dada, dilakukan pemeriksaan foto roentgen thorax tetapi didapatkan hasil tidak layak baca, sedangkan pemeriksaan EKG tidak dilakukan. Manifestasi ini ditemukan pada 66% penderita. Perikarditis dicurigai bila ditemukan nyeri substernal, friction rub, shillouet sign pada foto dada, atau pada EKG. Diagnosis Fakta SLE + Malnutrisi + Anemia + Typoid Fever Teori Menurut ACR, diagonsa SLE ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 : 1. Ruam malar 2. Ruam discoid 3. Fotosensitif 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Arhtritis 6. Serositis, pleuritis atau perikarditis 7. Kelainan ginjal 8. Kelainan neurologi 9. Kelainan hematologi

69

10. Kelainan imunologi 11. Antibodi anti nuclear positif

Diagnosa SLE memang sukar ditegakkan karena gejala yang muncul jarang bersamaan. Pada kasus ini, saat pemeriksaan dilakukan dipenuhi tiga kriteria ACR yaitu ruam discoid, oral ulcer, dan arthritis. Sebenarnya sebelumnya terdapat gejala malar rash namun menghilang saat pemeriksaan. Gejala fotosensitif juga tidak khas, sedangkan pemeriksaan anti ds-DNA belum diketahui hasilnya karena pasien pulang sebelum hasil pemeriksaan keluar. 1. Ruam malar : ditemukan pada pemeriksaan fisik. 2. Ruam discoid : didapatkan pada dinding thoraks anterior. 3. Fotosensitif : Berdasar anamnesa didapatkan rash yang muncul pada kulit jika terpapar sinar matahari. 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring : terdapat riwayat luka-luka pada mulut pasien 1 tahun yang lalu. 5. Arhtritis : nyeri sendi pada seluruh sendi. 6. Serositis, pleuritis atau perikarditis : tidak bisa ditegakkan tetapi pada pemeriksaan fisik adanya suara murmur dan gallop serta manifestasinya menunjukkan adanya komplikasi ke jantung. 7. Malnutrisi : salah satu gejala pada SLE yaitu penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan merupakan gejala gastointestinal. 8. Kelainan ginjal : ditemukan uremia dan kreatinin normal, perlu dilakukan pemeriksaan urin lengkap untuk melihat adanya proteinuria +3, cast granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit. 9. Kelainan neurologi : tidak ditemukan

70

10. Kelainan hematologi : anemia, dan leukopenia, trombosit dalam batas normal. 11. Kelainan imunologi : riwayat positif 1 tahun lalu dan ditemukan peningkatan titer pada widal test serta ditemukan menifestasi dari limfadenopati. 12. Antibodi anti nuclear positif : riwayat positif 1 tahun lalu. Pengobatan Fakta IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i Inj. Cefotaxime 1 gr/12jam Inj. Ranitidine 1 A/ 12 jam Inj. Ketorolac 1 A/12 jam Inj. Methyl Prednisolone 125 mg/6 jam Asam Folat 2 x 1 tab Ambroxol 3 x 1 tab Antasida syr 3 x 1 C Hidrokortison zalf Kandistatin drops Terapi agresif bila manifestasi serius dan mengancam jiwa 1. Glukokortikosteroid dosis tinggi 2. Bila 4 minggu (1) tak berespon diberikan imunosupresan lain, dapat berupa siklofosfamid, azatioprin, klorambucil, metotreksat, leflunomid Teori Terapi konservatif: 1. Analgetik dan NSAID 2. Hidroksiklorokuin bila (1) tak berespon 3. Kortikosteroid dosis rendah bila (2) tak berespon

Pada kasus ini diberikan terapi konservatif yaitu steroid berupa metil prednisolon. Terapi ini di kombinasikan dengan NSAID. Pada pasien ini, setelah diberikan terapi NSAID, nyeri pada sendi dan tetapi masih terasa nyeri sehingga pasien tidak dapat tidur di malam hari. Selain itu pasien juga diberikan terapi simptomatik berupa perawatan luka serta
71

antibiotik dan obat batuk. Pasien juga diberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein untuk menaikkan nutrisinya.

72

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan 1. Diagnosis pada pasien ini adalah SLE + Malnutrisi + Anemia + Typoid Fever. 2. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan tambahan lengkap yang membantu melihat perkembangan penyakit. 3. Penatalaksanaan yang didapatkan oleh pasien ini kurang memenuhi standar terapi yang sesuai dengan literatur dengan komplikasi yang mengakibatkan pasien meninggal.

5.2 Saran 1. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan terutama pemeriksaan penunjang yang dilakukan terhadap pasien seharusnya dilakukan secara holistik dan optimal sehingga diagnosis dapat lebih ditegakkan sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien. 2. Penatalaksanaan terhadap pasien sebaiknya lebih lengkap. Tidak hanya dari intervensi farmakologis, mulai dari edukasi, pengaturan diet dan aktivitas sebaiknya sudah dilakukan sejak awal penatalaksanaan. 3. Sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap pengobatan dan perkembangan penyakit pasien dengan komplikasi sehingga mortilitas dini dapat dicegah.

73

DAFTAR PUSTAKA

1. Hahn, BH. Systemic Lupus Erythematosus. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, dkk. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 17. Toronto: Mc Graw Hill Medical, 2008; Vol.2, 313, 2075-83. 2. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir I, Setiyohadi B. Lupus Eritomatosus Sistemik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; 284, 1224-31. 3. Borigini MJ. Systemic Lupus Erythematosus. USA : Medline Plus. [Online, 25 Juli 2010] Hyperlink: http://emedicine.medscape.com/article/809378-overview. 4. Rahman A, Isenberg DA. Mechanism of Disease Systemic Lupus Erythemtatosus. The New England Journal of Medicine 2008; 358,9. 5. Wachjudi RG, Dewi S, Hamijoyo L, Pramudiya R. Diagnosis & Terapi penyakit Reumatik. Jakarta : Sagung Seto 2006; 21-33. 6. Buyon JP. Systemic Lupus Erythematosus, National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS). [Online, 25 Juli 2010] Hyperlink: www.niams.nih.qov 7. Yuliasih, Soeroso, J. Sistemik Lupus Eritomatosus (SLE). Dalam : Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Fakultas kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr Soetomo Surabaya; VI, 235-41. 8. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran Fakiultas kedokteran UI. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Indonesia 2001; 52, 568-72. 9. Tennant JJ. How Lupus Affects Men. 2008. [Online, 25 Juli 2010] Hyperlink: www.about.com/lupus 10. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Last update: 1 Desember 2003. Available at: http://www.aafp.org 11. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 16 Mei, 2009. Available at htttp://www.childrenclinic.wordpress.com.

74

12. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Last update : 14 Februari, 2010. Available at http://www.pediatrik.com. 13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders, Philadelphia. 2003. p810-813. 14. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Last update : February, 2007. Available at htttp://www.emedicine.com. 15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

75

Anda mungkin juga menyukai