Disusun oleh:
dr. Radian Pandhika
Pembimbing:
dr. Didik Arief Setyadi, Sp.PD
Pendamping:
dr. Jose Rizal
dr. Heni Gembirawati
PROGRAM INTERNSIP
RSUD PRINGSEWU
2019-2020
BAB I
PENDAHULUAN
Morbiditas dan mortalitas akibat SLE cukup tunggi. SLE menurunkan kualitas
hidup pasien dan meningkatkan angka kematian.[1] Oleh karena itu diperlukan
pengenalan dini serta penatalaksanaan penyakit yang tepat agar prognosis pasien
SLE menjadi lebih baik.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. T
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : DS 1 Sukanegara
Masuk RS : 25 September 2019
Nomor RM : 571813
B. Anamnesis
1.) Keluhan Utama
Perdarahan di bibir tiba-tiba sejak 2 jam SMRS.
Pasien pernah muncul ruam kemerahan pada kedua pipi dan di jari kaki
sejak sekitar 2 minggu yang lalu, awalnya terasa seperti terbakar yang
lama-lama berkurang dan memudar dengan sendirinya, tidak gatal, dan
tidak nyeri.
4.) Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki keluhan yang serupa.
Riwayat penyakit kronis seperti Diabetes Melitus, penyakit jantung dan
hipertensi dalam keluarga disangkal.
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
• Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4V5M6)
• Keadaan umum : tampak lemas
• Tinggi badan : 150 cm
• Berat badan : 35 kg
• BMI : 15,6 kg/m2 (Underweight)
• TD : 80/60 mmHg
• Nadi : 135 kali/menit, reguler, kuat
• Respirasi : 28 kali/menit, teratur
• Suhu : 38,5 °C
• Skala Nyeri : 5, pada bibir dan epigastrium
Hematologi
Hb : 4,3 g/dl
RBC : 1,56 x 106/µl
Hct : 12,7 %
MCV : 81,4 fl
MCH : 27,6 pg
MCHC : 33,9 g/dl
WBC : 2,67 x 103/µl
Trombosit : 123 x 103/µl
Clotting Time : 4 menit
Bleeding Time : 2 menit 30 detik
Hitung Jenis
Neutrofil : 70 %
Limfosit : 18,4 %
Monosit : 11,6 %
Eosinofil :0%
Basofil :0%
Urine Rutin
Warna : kuning keruh
pH :5
BJ : 1,025
Reduksi urine : negatif
Protein urine : positif 1
Bilirubin urine : negatif
Urobilinogen : negatif
Nitrit : negatif
Sedimen
Epitel cell : blast, neer
Bakteri : positif
Leukosit : 2-9 /lp
Eritrosit : 10-25 /lp
Kristal : Ca oksalat
Pemeriksaan Immunologi
Anti dsDNA : 200 U/ml
Normal : < 25 U/ml
Elevated : ≥ 25 U/ml
E. Diagnosis
Diagnosis utama : SLE
Diagnosis komplikasi:
Malnutrisi
Pansitopenia (anemia, leukopenia, dan trombositopenia)
Acute dan Sub Acute Cutaneous Lupus Erythematosus
Vaskulitis kutaneus
Alopesia areata
Athritis genu
Nefritis lupus
Pleuritis
F. Penatalaksanaan
Non Farmakologi
Edukasi mengenai penyakit SLE (penyebab, perjalanan penyakit dan
komplikasinya)
Edukasi untuk mengurangi paparan sinar matahari dan penggunaan
sunblock
Diet lunak
Bed rest
Farmakologi
= 2 cc x BB ideal x 24 jam
= 2 cc x 40 kg x 24 jam
Domperidon 3 x 1 tab
Paracetamol 3 x 1 tab
G. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Malam
Ad Sanationam : Dubia ad Malam
H. Perkembangan Pasien
Tgl S O A P
26/9/ Perdarahan KU : lemas SLE IVFD NaCl
2019 di bibir KS : CM 0,9% 20 tpm
sudah TD : 80/50 mmHg makro
berkurang, Nadi : 96x/menit Inj
lemas (+), RR : 20x/menit Methylprednisol
nyeri lutut Temp : 36,50C on 3 x 125 mg
berkurang, Inj Asam
batuk (+), Mata : anemis +/+ Traneksamat 2 x
demam Thorax : cor S1 S2 1 amp
hilang tunggal regular murmur Inj Ranitidin 2 x
timbul, mual (-), pulmo vesikuler +/+ 1 amp
(+), nyeri ulu wheezing -/- rhonki +/+, Inj Omeprazole
hati (+) dan pleural friction rub (+/+) 1x1 vial
penurunan Abdomen : distensi (-), Domperidon 3 x
nafsu makan bising usus + normal 1 tab
Ekstremitas : akral Asam folat 1 x 2
hangat (+), edema (-) tab
Paracetamol 3 x
1 tab
Transfusi PRC
hingga Hb ≥ 10
g/dl
Cek DR besok
Lab
Hb = 9,7 g/dl
WBC : 7,55 x 103 /µL
Trombosit : 127.000 //µL
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
2. EPIDEMIOLOGI
Global
Di dunia, dilaporkan setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu penderita SLE
baru. Di Inggris pada tahun 2012 prevalensi SLE mencapai 1 dari 1000 penduduk.
Di Amerika Serikat insiden tahunan SLE sebesar 2-7,6 per 100.000 penduduk dan
prevalensi sebanyak 19-159 kasus per 100.000 penduduk. Prevalensi SLE di Asia
Pasifik diperkirakan antara 4,3-45,3 per 100.000 penduduk dengan insiden 0,9-3,1
kasus per 100.000 penduduk per tahun.[1,2,4,5]
SLE lebih banyak terjadi pada pada perempuan usia produktif (14-64 tahun)
dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 9-15 banding 1. Perempuan ras kulit
hitam memiliki risiko paling tinggi terkena SLE diikuti oleh perempuan Asia dan
perempuan kulit putih. Insiden SLE pada anak bervariasi antara 0,36-2,5 per
100.000 penduduk per tahun dengan prevalensi antara 1,89-25,7 per 100.000
penduduk.[1,4,5,7,9]
Indonesia
Mortalitas
Mortalitas dan morbiditas akibat SLE cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh
aktivitas penyakit yang memicu akumulasi kerusakan jaringan. Angka kesintasan
SLE untuk 5 tahun 93-97% dan turun menjadi 53-64% pada 20 tahun. Angka
kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
umum. Mortalitas yang terjadi pada umumnya disebabkan karena infeksi pada
beberapa tahun pertama dan penyakit kardiovaskular pada jangka panjang.[2,4,9]
3. PATOFISIOLOGI
Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun yang tidak
seharusnya kepada partikel sel tubuh. Salah satunya adalah pembentukan
autoantibodi terhadap asam nukleat yang disebut antinuclear antibodies (ANA).
Pada umumnya ANA dapat ditemukan pada populasi umum, namun tidak seluruh
orang yang memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu terdapat mekanisme
lain yang menyebabkan progresi kondisi autoimun ini menjadi penyakit. Selain
ANA, terdapat dua autoantibodi yang spesifik ditemukan pada pasien SLE
dibandingkan dengan penyakit autoimun lainnya yaitu antibodi anti-Smith (Sm)
dan antibodi anti-double-stranded DNA (dsDNA).[1,4,5]
Debris sel menjadi pemicu langsung aktivasi sistem imun bawaan. Asam nukleat
yang berikatan kompleks imun menjadi stimulus yang potensial untuk aktivasi sel
endosom. Dalam endosom, asam nukleat mengaktivasi TLR (khususnya TLR7
dan TLR9). Selanjutnya kondisi ini memicu produksi IFN tipe I. Aktivasi TLR7
juga memicu produksi antibodi anti-Sm. IFN tipe I memiliki peran penting dalan
disfungsi imun pada SLE. Kondisi ini dibuktikan dengan ditemukannya ekspresi
berbagai tipe IFN tipe I di sel darah perifer dan jaringan yang terkena pada pasien
dengan SLE.[4-6]
4. ETIOLOGI
Faktor Genetik
Terdapat lebih dari 100 lokus gen yang berhubungan dengan kerentanan
seseorang mengalami SLE. Beberapa diantaranya seperti defisiensi gen tunggal
yang mengkode komplemen C2,C4,C1q. Kekurangan C4 menyebabkan
berkurangnya eliminiasi sel B self-reactive, sedangkan kekurangan C1q
menyebabkan gangguan pembersihan debris selular pasca apoptosis.
Polimorfisme nukleotida tunggal juga menjadi faktor yang dapat memicu
terjadinya SLE seperti yang ditemukan pada gen STAT4, PTPN22, CD3, PP2Ac,
TNIP1, PRDM1, JAZF1, UHRF1BP1, dan IL10. Selain itu kelainan jumlah gen
C4, FCGR3B dan TLR7 berhubungan dengan ekspresi penyakit.[4-7]
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang berperan dalam SLE di antaranya adalah infeksi virus,
beberapa obat-obatan, paparan sinar UV, dan merokok.
Infeksi Virus
Infeksi virus terutama Epstein-Barr Virus (EBV) dapat memicu timbulnya gejala
SLE. Pada penderita SLE, respon sel T terhadap infeksi EBV tidak normal dan
menyebabkan peningkatan sel mononuklear yang terinfeksi sekaligus
meningkatkan jumlah DNA EBV dalam darah pasien SLE. Kondisi ini
menyebabkan aktivasi sistem imun didapat dan diferensiasi sel B serta produksi
autoantibodi yang spesifik terhadap sekuens asam amino yang dimiliki oleh
protein sel tubuh dan protein yang dihasilkan oleh EBV. EBV juga mengkode
RNA yang menginduksi aktivasi sistem imun melalui ekspresi IFN tipe I.
Antibodi spesifik terhadap antigen nukleus EBV1 (EBNA1) juga dapat bereaksi
silang dengan dsDNA karena kesamaan konformasi epitope sehingga infeksi EBV
juga dapat memicu respon autoimun.[1,4,7-9]
Paparan Sinar UV
Obat-Obatan
Beberapa jenis obat menyebabkan metilasi DNA seperti hidralazin. Hidralazin
menghambat jalur sinyal yang menyebabkan penurunan ekspresi DNA
metiltransferase yang memediasi metilasi DNA. Terganggunya proses metilasi
DNA menyebabkan gangguan ekspresi gen dan memediasi aktivasi sistem imun.
[1,4,7,8]
Merokok dan menghirup silika memicu respon inflamasi di sel epitel dan
mononuklear di paru. Kondisi ini menyebabkan modifikasi protein atau memicu
proses inflamasi nonspesifik. [1,4,7,8]
Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko lain yang dapat memicu timbulnya gejala SLE yaitu:
Anamnesis
Keluhan akibat SLE dapat sangat beragam, dari yang ringan hingga yang berat.
Pasien dapat datang dengan berbagai keluhan tidak spesifik seperti:
Gejala awal seperti kelelahan, demam, nyeri sendi, penurunan berat badan
Kulit : malar rash, fotosensitif dan lesi discoid
Muskuloskeletal : nyeri sendi, kekakuan sendi, nyeri otot, nekrosis
avascular
Neuropsikiatri : kejang, psikosis
Ginjal : bengkak akibat gagal ginjal akut atau kronik
Paru : sesak karena efusi pleura, hipertensi pulmonal, pneumonitis)
Jantung : sesak atau nyeri dada akibat pericarditis atau miokarditis
Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri perut
Hematologi : pucat akibat anemia, trombositopenia, leukopenia[2,5]
Selain itu apabila ditemuka trias demam, nyeri sendi dan ruam pada wanita usia
produktif maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ke arah SLE. Pada saat
anamnesis apabila memang ditemukan adanya gejala SLE maka perlu ditanyakan
mengenai riwayat keluarga dengan penyakit autoimun.[2,5]
Pemeriksaan Fisik
Walaupun kriteria klasifikasi ACR untuk SLE sudah lama digunakan, berbagai
studi menunjukkan terdapat kecenderungan pasien yang hanya memenuhi kriteria
klinis tanpa didukung adanya bukti kelainan imunologis tetap dianggap
mengalami SLE. Sebaliknya terkadang penyakit didiagnosis berdasarkan adanya
autoantibodi dan kelainan hematologi saja tanpa mempertimbangkan tampilan
klinisnya.[1,4]
Oleh sebab itu Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC) pada
tahun 2012 membuat kriteria klasifikasi alternatif untuk membantu dalam
diagnosis SLE. Dalam kriteria ini pasien diklasifikasikan sebagai SLE bila
memiliki 4 dari 17 kriteria (Tabel 2) yang paling tidak diantaranya terdapat 1
kriteria klinis dan 1 kriteria imunologis. Selain itu kriteria ini juga memasukkan
nefritis lupus yang telah terbukti berdasarkan biopsi didukung dengan adanya
ANA atau anti-dsDNA sebagai dasar diagnosis SLE tanpa memerlukan adanya
kriteria lainnya.[11] Kriteria SLICC memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas
84% dan penggunaannya sudah diterima oleh European Medicines Agency, US
Food and Drug Administration and NHS Inggris.[1]
Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang memiliki gambaran klinis atau hasil beberapa tes
laboratorium yang mirip yaitu:
Sindroma Sjogren
Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
Lupus imbas obat
Undifferentiated connective tissue disease
Fibromialgia (ANA positif)
Vaskulitis
Rheumatoid arthritis
Purpura trombositopeni idiopatik
Pemeriksaan Penunjang
Tata laksana pasien dengan SLE bergantung pada derajat keparahan penyakit
yang dibagi menjadi:
Ringan
Secara klinis tenang, tidak ada keterlibatan organ yang mengancam nyawa, fungsi
organ normal atau stabil. Misalnya SLE dengan manifestasi kulit dan artritis
Pilihan penatalaksanaan : penghilang nyeri (paracetamol, OAINS), kortikosteroid
topikal, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kortikosteroid dosis rendah, tabir surya,
Sedang
Manifestasi klinis yang lebih serius yang bila tidak ditangani dapat menyebabkan
kerusakan jaringan kronis. Misalnya bila ditemukan nefritis ringan hingga sedang,
trombositopenia, dan serositis.
Pilihan penatalaksanaan : metil prednisolon atau prednisone, AZA atau MTX atau
MMF, hidroksiklorokuin.
Berat
Dokter umum memiliki tugas utama dalam deteksi dini kemungkinan SLE pada
pasien dan melakukan rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam, selain itu
dokter umum juga membantu melakukan pemantauan pada pasien dengan SLE
khususnya derajat ringan.[2]
7. PROGNOSIS
Komplikasi
Prognosis
Angka kesintasan SLE untuk 5 tahun melebihi 90% sedangkan untuk 15 tahun
sekitar 80%. Saat ini, kebanyakan kematian disebabkan karena efek samping obat
(infeksi akibat imunosupresi) atau masalah kardiovaskular.[2,4,5]
DAFTAR PUSTAKA