Anda di halaman 1dari 33

CASE REPORT

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Disusun oleh:
dr. Radian Pandhika

Pembimbing:
dr. Didik Arief Setyadi, Sp.PD

Pendamping:
dr. Jose Rizal
dr. Heni Gembirawati

PROGRAM INTERNSIP
RSUD PRINGSEWU
2019-2020
BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE) merupakan


penyakit inflamasi autoimun kronis multisistemik.[1] Perempuan usia reproduktif
memiliki prevalensi yang paling tinggi. SLE memiliki manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Faktor genetik,
imunologis, hormonal serta lingkungan berperan penting dalam patofisiologi
SLE.[1,2] Berdasarkan data Infodatin 2017, diperkirakan jumlah pasien SLE di
Indonesia mencapai 1.250.000 orang.[3]

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan kriteria imunologis.


Pedoman yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kriteria
berdasarkan American College of Rheumatology tahun 1997 yang sudah direvisi
dan divalidasi oleh The Systemic Lupus International Collaborating Clinics
(SLICC).[2] Manifestasi klinis SLE meliputi keterlibatan kulit, mukosa, sendi,
darah, jantung, paru, ginjal, susunan sistem saraf pusat dan sistem imun. Kriteria
imunologis didasarkan pada hasil pemeriksaan ANA dan anti-dsDNA. Terapi SLE
berupa obat anti inflamasi non-steroid (OAINS), kortikosteroid, dan disease
modifiying drug yang pemberiannya disesuai dengan derajat keparahan penyakit.
Diperlukan pemeriksaan secara periodik untuk mengetahui adanya keterlibatan
sistem organ lain serta pemantauan respon terapi dan efek samping.[1,2,4-7]

Morbiditas dan mortalitas akibat SLE cukup tunggi. SLE menurunkan kualitas
hidup pasien dan meningkatkan angka kematian.[1] Oleh karena itu diperlukan
pengenalan dini serta penatalaksanaan penyakit yang tepat agar prognosis pasien
SLE menjadi lebih baik.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. T
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : DS 1 Sukanegara
Masuk RS : 25 September 2019
Nomor RM : 571813

B. Anamnesis
1.) Keluhan Utama
Perdarahan di bibir tiba-tiba sejak 2 jam SMRS.

2.) Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan perdarahan di bibir tiba-tiba sejak 2 jam
SMRS. Perdarahan awalnya sedikit tapi lama-lama makin banyak sekitar
setengah gelas, disertai juga dengan rasa nyeri di bibir. Akibatnya, pasien
sulit membuka mulut dan berbicara. Sebelumnya, pasien mengalami
keluhan muncul ruam di bibir yang terasa kering, tebal, dan tidak terasa
nyeri sejak ± 5 bulan yang lalu.

Keluhan lain yang dirasakan:


• Nyeri pada kedua lutut yang dirasakan sejak 1 bulan ini, nyeri hilang
timbul, nyeri dirasakan terutama saat beraktivitas, berkurang saat
beristirahat dan setelah minum obat warung, disertai dengan rasa kaku
dan nyeri otot sehingga membuat pasien cenderung hanya berbaring di
tempat tidur.
• Nyeri menusuk/tajam pada dada kiri dan kanan sejak 1 minggu yang
lalu, nyeri memberat saat beraktivitas atau bersin, disertai batuk kering
dan sesak napas yang muncul bersamaan.
• Rambut rontok yang dirasakan sejak 1 bulan terakhir ini, terutama
setelah os berkeramas.
• Buang air kecil menjadi berwarna lebih gelap seperti teh sejak 5 hari
ini, frekuensi BAK 4-7 kali dalam sehari, tanpa disertai nyeri dan tanpa
keluar pasir/batu dari saluran kemih.
• Nyeri ulu hati yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu, nyeri dirasakan
hilang timbul dan tidak berkurang walau sudah makan, disertai dengan
keluhan mual dan muntah sebanyak 1x sebelum masuk rumah sakit
serta penurunan nafsu makan.
• Menstruasi tidak teratur sejak 1 tahun ini, siklus haid cenderung
memanjang (>35 hari), lama menstruasi 2-4 hari, kadang hanya muncul
flek saja, tidak ada riwayat hubungan intim.
• Gejala konstitusional:
- Demam sejak 1 minggu yang lalu, hilang timbul sepanjang hari,
kadang menggigil, demam turun jika pasien minum obat paracetamol.
- Mudah lelah sejak 1 bulan ini, terutama saat beraktivitas fisik sehari-
hari, terasa lemas, pusing, dan sulit fokus.
- Penurunan berat badan yang dirasakan dalam 6 bulan terakhir,
penurunan BB sekitar lebih dari 5 kg.
• Pasien dinyatakan dokter menderita SLE sejak 5 bulan yang lalu tapi
selama 2 minggu terkahir tidak minum obat.

3.) Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami kebotakan hampir di seluruh kulit kepala sekitar
6 bulan lalu.

Pasien pernah muncul ruam kemerahan pada kedua pipi dan di jari kaki
sejak sekitar 2 minggu yang lalu, awalnya terasa seperti terbakar yang
lama-lama berkurang dan memudar dengan sendirinya, tidak gatal, dan
tidak nyeri.
4.) Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki keluhan yang serupa.
Riwayat penyakit kronis seperti Diabetes Melitus, penyakit jantung dan
hipertensi dalam keluarga disangkal.

5.) Riwayat Pribadi / Lingkungan Sosial


Pasien menyatakan jarang terpapar sinar matahari karena lebih cenderung
berada di dalam rumah.
Pasien sering makan tidak teratur atau sering telat makan
Pasien tidak memiliki riwayat merokok, konsumsi alkohol, ataupun
penggunaan kontrasepsi (KB).

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
• Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4V5M6)
• Keadaan umum : tampak lemas
• Tinggi badan : 150 cm
• Berat badan : 35 kg
• BMI : 15,6 kg/m2 (Underweight)
• TD : 80/60 mmHg
• Nadi : 135 kali/menit, reguler, kuat
• Respirasi : 28 kali/menit, teratur
• Suhu : 38,5 °C
• Skala Nyeri : 5, pada bibir dan epigastrium

Pemeriksaan Fisik Khusus


 Kepala : normocephal, kulit kepala tidak ada lesi, panjang
rambut ± 5 cm, penyebaran rambut tidak rata (tampak jarang-jarang),
rambut mudah rontok, warna kulit wajah pucat
 Mata : conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, tidak
tampak tanda peradangan, pertumbuhan bulu mata dan alis merata
 Telinga : bentuk telinga simetris, tidak ada sekret yang keluar,
tidak ada nyeri tekan
 Hidung : tidak tampak lesi, kelainan septum nasi dan lubang
hidung, tidak ada sekret, tidak ada nyeri tekan saat palpasi nasal, sinus
maksilaris, frontalis, dan ethmoidalis
 Mulut : tampak kulit bibir mengelupas, disertai luka dan
bekuan darah yang menempel pada kulit bibir, perdarahan sudah tidak
aktif, pemeriksaan rongga mulut sulit dinilai karena nyeri saat membuka
mulut
 Leher : posisi trakea simetris, tidak tampak pembesaran
kelenjar tiroid, pembesaran kelenjar getah bening, ataupun pelebaran vena
jugularis
 Thorax : normochest, tampak sesak, tidak tampak retraksi
intercostae dan retraksi suprasternal, tidak ada nyeri tekan, fremtitus taktil
normal, perkusi sonor, suara napas vesikular +/+, ronkhi +/+, wheezing -/-,
pleural friction rub (+/+), BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : datar, tidak tampak ada lesi atau benjolan, bising usus
positif normal, perkusi timpani, hepar dan lien tidak teraba membesar,
nyeri tekan epigastrium (+)
 Ekstremitas :
 tampak multipel purpura yang tersebar di beberapa tempat pada
ekstremitas superior dan inferior,
 tampak pembengkakan pada kedua lutut, teraba hangat, nyeri tekan (-),
ROM (+) tapi terbatas
 tampak bercak hiperpigmentasi pada regio pedis dextra dan sinistra,
akral hangat, edema (-)
D. Pemeriksaan Penunjang

 Hematologi
Hb : 4,3 g/dl
RBC : 1,56 x 106/µl
Hct : 12,7 %
MCV : 81,4 fl
MCH : 27,6 pg
MCHC : 33,9 g/dl
WBC : 2,67 x 103/µl
Trombosit : 123 x 103/µl
Clotting Time : 4 menit
Bleeding Time : 2 menit 30 detik
Hitung Jenis
Neutrofil : 70 %
Limfosit : 18,4 %
Monosit : 11,6 %
Eosinofil :0%
Basofil :0%
 Urine Rutin
Warna : kuning keruh
pH :5
BJ : 1,025
Reduksi urine : negatif
Protein urine : positif 1
Bilirubin urine : negatif
Urobilinogen : negatif
Nitrit : negatif

Sedimen
Epitel cell : blast, neer
Bakteri : positif
Leukosit : 2-9 /lp
Eritrosit : 10-25 /lp
Kristal : Ca oksalat

 Pemeriksaan Immunologi
Anti dsDNA : 200 U/ml
Normal : < 25 U/ml
Elevated : ≥ 25 U/ml
E. Diagnosis
 Diagnosis utama : SLE
 Diagnosis komplikasi:
 Malnutrisi
 Pansitopenia (anemia, leukopenia, dan trombositopenia)
 Acute dan Sub Acute Cutaneous Lupus Erythematosus
 Vaskulitis kutaneus
 Alopesia areata
 Athritis genu
 Nefritis lupus
 Pleuritis

F. Penatalaksanaan

 Non Farmakologi
 Edukasi mengenai penyakit SLE (penyebab, perjalanan penyakit dan
komplikasinya)
 Edukasi untuk mengurangi paparan sinar matahari dan penggunaan
sunblock
 Diet lunak
 Bed rest
 Farmakologi

 IVFD NaCl 0,9%

= 2 cc x BB ideal x 24 jam

= 2 cc x 40 kg x 24 jam

= 1920 cc/24 jam (20 tpm makro)

 Inj Methylprednisolon 3 x 125 mg

 Inj Asam Traneksamat 2 x 1 amp

 Inj Ranitidin 2 x 1 amp

 Inj Omeprazole 1x1 vial

 Domperidon 3 x 1 tab

 Asam folat 1 x 2 tab

 Paracetamol 3 x 1 tab

 Transfusi PRC hingga Hb ≥ 10 g/dl

G. Prognosis
 Ad Vitam : Dubia ad Bonam
 Ad Functionam : Dubia ad Malam
 Ad Sanationam : Dubia ad Malam
H. Perkembangan Pasien

Tgl S O A P
26/9/ Perdarahan KU : lemas SLE  IVFD NaCl
2019 di bibir KS : CM 0,9% 20 tpm
sudah TD : 80/50 mmHg makro
berkurang, Nadi : 96x/menit  Inj
lemas (+), RR : 20x/menit Methylprednisol
nyeri lutut Temp : 36,50C on 3 x 125 mg
berkurang,  Inj Asam
batuk (+), Mata : anemis +/+ Traneksamat 2 x
demam Thorax : cor S1 S2 1 amp
hilang tunggal regular murmur  Inj Ranitidin 2 x
timbul, mual (-), pulmo vesikuler +/+ 1 amp
(+), nyeri ulu wheezing -/- rhonki +/+,  Inj Omeprazole
hati (+) dan pleural friction rub (+/+) 1x1 vial
penurunan Abdomen : distensi (-),  Domperidon 3 x
nafsu makan bising usus + normal 1 tab
Ekstremitas : akral  Asam folat 1 x 2
hangat (+), edema (-) tab
 Paracetamol 3 x
1 tab
 Transfusi PRC
hingga Hb ≥ 10
g/dl
 Cek DR besok

27/9/ Perdarahan KU : lemas SLE  IVFD NaCl


2019 bibir (-), KS : CM 0,9% 20 tpm
nyeri lutut TD : 90/60 mmHg makro
berkurang, Nadi : 89 x/menit  Inj
batuk (-) RR : 20x/menit Methylprednisol
demam (-), Temp : 36,50C on 3 x 125 mg
mual (+)  Inj Ranitidin 2 x
lemas (+) Mata : anemis +/+ 1 amp
Thorax : cor S1 S2  Inj Omeprazole
tunggal regular murmur 1x1 vial
(-), pulmo vesikuler +/+  Domperidon 3 x
wheezing -/- rhonki -/- 1 tab
Abdomen : distensi (-),  Asam folat 1 x 2
bising usus + normal tab
Ekstremitas : akral  Paracetamol 3 x
hangat (+), edema (-) 1 tab
 Transfusi PRC
Lab hingga Hb ≥ 10
Hb = 4,3 g/dl g/dl
WBC : 2,67 x 103 /µL
Trombosit : 102.000 //µL
28/9/ Perdarahan KU : lemas SLE  IVFD NaCl
2019 bibir (-), KS : CM 0,9% 20 tpm
nyeri lutut (-) TD : 100/60 mmHg makro
batuk (-) Nadi : 88 x/menit  Inj
demam (-), RR : 20x/menit Methylprednisol
mual (+), Temp : 36,30C on 3 x 125 mg
lemas (+)  Inj Ranitidin 2 x
Mata : anemis +/+ 1 amp
Thorax : cor S1 S2  Inj Omeprazole
tunggal regular murmur 1x1 vial
(-), pulmo vesikuler +/+  Domperidon 3 x
wheezing -/- rhonki -/- 1 tab
Abdomen : distensi (-),  Asam folat 1 x 2
bising usus + normal tab
Ekstremitas : akral  Paracetamol 3 x
hangat (+), edema (-) 1 tab
 Transfusi PRC
hingga Hb ≥ 10
g/dl

29/9/ Perdarahan KU : lemas SLE  IVFD NaCl


2019 bibir (-), KS : CM 0,9% 20 tpm
nyeri lutut (-) TD : 10/60 mmHg makro
batuk (-) Nadi : 86 x/menit  Inj
demam (-), RR : 20x/menit Methylprednisol
mual (-) Temp : 36,30C on 3 x 125 mg
lemas (+)  Inj Asam
Mata : anemis +/+ Traneksamat 2 x
Thorax : cor S1 S2 1 amp
tunggal regular murmur  Inj Ranitidin 2 x
(-), pulmo vesikuler +/+ 1 amp
wheezing -/- rhonki -/-  Inj Omeprazole
Abdomen : distensi (-), 1x1 vial
bising usus + normal  Asam folat 1 x 2
Ekstremitas : akral tab
hangat (+), edema (-)  Paracetamol 3 x
1 tab
 Transfusi PRC
hingga Hb ≥ 10
g/dl

30/9/ Perdarahan KU : klinis membaik SLE Acc pulang


2019 bibir (-), KS : CM Obat pulang
nyeri lutut (-) TD : 90/60 mmHg - Methylprednisol
batuk (-) Nadi : 89 x/menit on 3x 8mg
demam (-), RR : 20x/menit - Ranitidin 2x1
mual (-) , Temp : 36,50C tab
lemas - Asam folat 1x2
berkurang Mata : anemis +/+ tab
Thorax : cor S1 S2 Edukasi untuk
tunggal regular murmur kontrol rutin ke
(-), pulmo vesikuler +/+ poli penyakit dalam
wheezing -/- rhonki -/-
Abdomen : distensi (-),
bising usus + normal
Ekstremitas : akral
hangat (+), edema (-)

Lab
Hb = 9,7 g/dl
WBC : 7,55 x 103 /µL
Trombosit : 127.000 //µL
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE) merupakan


penyakit inflamasi autoimun kronis multisistemik. Lupus Eritematosus
didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang
jaringannya sendiri. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan
pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks. Sistemic Lupus Erythematosus juga merupakan
penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi terhadap komponen
inti sel yang berhubungan dengan manifestasi yang luas, dimana tubuh pasien
lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.[1]

2. EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE)


sangat bervariasi antar negara di dunia, hal ini dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin,
usia serta ketepatan diagnosis dan pelaporan yang baik.

Global

Di dunia, dilaporkan setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu penderita SLE
baru. Di Inggris pada tahun 2012 prevalensi SLE mencapai 1 dari 1000 penduduk.
Di Amerika Serikat insiden tahunan SLE sebesar 2-7,6 per 100.000 penduduk dan
prevalensi sebanyak 19-159 kasus per 100.000 penduduk. Prevalensi SLE di Asia
Pasifik diperkirakan antara 4,3-45,3 per 100.000 penduduk dengan insiden 0,9-3,1
kasus per 100.000 penduduk per tahun.[1,2,4,5]

SLE lebih banyak terjadi pada pada perempuan usia produktif (14-64 tahun)
dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 9-15 banding 1. Perempuan ras kulit
hitam memiliki risiko paling tinggi terkena SLE diikuti oleh perempuan Asia dan
perempuan kulit putih. Insiden SLE pada anak bervariasi antara 0,36-2,5 per
100.000 penduduk per tahun dengan prevalensi antara 1,89-25,7 per 100.000
penduduk.[1,4,5,7,9]

Indonesia

Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh wilayah


Indonesia. Namun diperkirakan terdapat sekitar 1.250.000 orang yang terkena
SLE (berdasarkan asumsi prevalensi 0,5% dari hasil penelitian terdahulu).
Walaupun jumlahnya cukup banyak, baru sebagian kecil orang yang menyadari
bahwa dirinya menderita SLE. Pada tahun 2016, Perhimpunan SLE Indonesia
(PESLI) mendapatkan rata-rata insiden kasus baru SLE dari 8 rumah sakit di
Indonesia sebesar 10,5%.[2,3]

Mortalitas

Mortalitas dan morbiditas akibat SLE cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh
aktivitas penyakit yang memicu akumulasi kerusakan jaringan. Angka kesintasan
SLE untuk 5 tahun 93-97% dan turun menjadi 53-64% pada 20 tahun. Angka
kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
umum. Mortalitas yang terjadi pada umumnya disebabkan karena infeksi pada
beberapa tahun pertama dan penyakit kardiovaskular pada jangka panjang.[2,4,9]
3. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE)


didasari oleh autoantibodi dan kompleks imun yang berikatan ke jaringan dan
menyebabkan inflamasi multisistem. Penyebab spesifik SLE hingga saat ini belum
diketahui, namun berbagai faktor seperti faktor genetik, sistem imun, hormonal
serta lingkungan berhubungan dengan perkembangan penyakit ini.

Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun yang tidak
seharusnya kepada partikel sel tubuh. Salah satunya adalah pembentukan
autoantibodi terhadap asam nukleat yang disebut antinuclear antibodies (ANA).
Pada umumnya ANA dapat ditemukan pada populasi umum, namun tidak seluruh
orang yang memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu terdapat mekanisme
lain yang menyebabkan progresi kondisi autoimun ini menjadi penyakit. Selain
ANA, terdapat dua autoantibodi yang spesifik ditemukan pada pasien SLE
dibandingkan dengan penyakit autoimun lainnya yaitu antibodi anti-Smith (Sm)
dan antibodi anti-double-stranded DNA (dsDNA).[1,4,5]

Patofisiologi SLE disebabkan oleh respon imun yang abnormal berupa:

 aktivasi sistem imun bawaan (sel dendritik, monosit/makrofag) oleh DNA


dari kompleks imun, DNA atau RNA virus dan RNA dari protein self-
antigen
 ambang batas aktivasi sel imun adaptif (limfosit T dan limfosit B) yang
lebih rendah dan jaras aktivasi yang abnormal
 regulasi sel T CD4+ dan CD8+, sel B dan sel supresor yang tidak efektif,
 penurunan pembersihan kompleks imun dan sel yang mengalami
apoptosis[8]

Autoantibodi mengenali self-antigen yang ada di permukaan sel yang apoptosis


dan membentuk kompleks imun. Oleh karena proses pembersihan debris sel
terganggu maka autoantigen, autoantibodi dan kompleks imun tersedia dalam
waktu yang lama, memicu terjadinya proses inflamasi dan menyebabkan
timbulnya gejala.
Aktivasi sel imun juga disertai dengan peningkatan sekresi interferon tipe 1 dan 2
(IFN), tumor necrosis factors α (TNF- α), interleukin (IL) 17, stimulator maturasi
sel B, dan IL-10 yang seluruhnya mendukung reaksi inflamasi. Pada kondisi SLE
juga terjadi penurunan produksi berbagai sitokin seperti sel natural killer yang
gagal memproduksi IL-2 dan transforming growth factor beta (TGF-β) yang
berfungsi untuk meregulasi sel T CD4+ dan CD8+, akibatnya produksi
autoantibodi dan kompleks imun tidak terkendali dan tetap berlanjut.[4,5,8]

Autoantibodi dan kompleks ini kemudian berikatan dengan jaringan target,


menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan pelepasan sitokin,
kemokin dan peptida vasoaktif, oksidan dan enzim proteolitik. Kondisi tersebut
menyebabkan aktivasi sel endothelial, makrofag jaringan, sel mesangial, podosit
yang ada di jaringan serta mengakibatkan sel B, sel T, sel dendritik dan makrofag
mendatangi jaringan target tersebut dan menyebabkan terjadinya proses inflamasi.
Inflamasi kronis ini menyebabkan kerusakan jaringan yang irevesibel di
glomerulus ginjal, arteri, paru dan jaringan lainnya.[4,5,7-9]

Aktivasi Sistem Imun Bawaan

Debris sel menjadi pemicu langsung aktivasi sistem imun bawaan. Asam nukleat
yang berikatan kompleks imun menjadi stimulus yang potensial untuk aktivasi sel
endosom. Dalam endosom, asam nukleat mengaktivasi TLR (khususnya TLR7
dan TLR9). Selanjutnya kondisi ini memicu produksi IFN tipe I. Aktivasi TLR7
juga memicu produksi antibodi anti-Sm. IFN tipe I memiliki peran penting dalan
disfungsi imun pada SLE. Kondisi ini dibuktikan dengan ditemukannya ekspresi
berbagai tipe IFN tipe I di sel darah perifer dan jaringan yang terkena pada pasien
dengan SLE.[4-6]

Aktivasi Sistem Imun Didapat

Pasien dengan SLE mengalami gangguan fungsi sel T, berupa defisiensi


pembentukan sinyal sel T, produksi sitokin, proliferasi serta pengaturan fungsi sel.
Salah satu penyebab gangguan aktivasi sel T adalah akibat perubahan reseptor sel
T. Perubahan ini mengakibatkan augmentasi sinyal kalsium intraselular dan
hiperpolarisasi mitokondria sehingga membuat sel T lebih peka pada nekrosis. Sel
T dari pasien SLE juga mengekspresikan ligan CD40 aktif yang lebih lama dari
pada sel T pada kontrol sehat, akibatnya ligan ini menstimulasi aktivasi dan
diferensiasi sel B lebih lama. Populasi sel T helper folikular yang meningkat
menyebabkan peningkatan sel B yang memproduksi autoantibodi, sedangkan sel
T regulator mengalami penurunan dan sel T helper-17 mengalami peningkatan,
akibatnya produksi IL-17 meningkat, dan produksi IL-2 menurun. Padahal IL-2
penting dalam proses regulasi sel T. Selain gangguan pada regulasi sel T, juga
terjadi gangguan regulasi sel B. Kondisi ini menyebabkan produksi autoantibodi,
dan sitokin inflamasi serta perlambatan presentasi antigen ke sel T.[4-6]

4. ETIOLOGI

Etiologi lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE)


disebabkan karena interaksi berbagai faktor yaitu kerentanan genetik, faktor
lingkungan, dan hormonal. Selain itu beberapa kondisi lain juga dapat menjadi
faktor yang memicu timbulnya gejala.

Faktor Genetik

Terdapat lebih dari 100 lokus gen yang berhubungan dengan kerentanan
seseorang mengalami SLE. Beberapa diantaranya seperti defisiensi gen tunggal
yang mengkode komplemen C2,C4,C1q. Kekurangan C4 menyebabkan
berkurangnya eliminiasi sel B self-reactive, sedangkan kekurangan C1q
menyebabkan gangguan pembersihan debris selular pasca apoptosis.
Polimorfisme nukleotida tunggal juga menjadi faktor yang dapat memicu
terjadinya SLE seperti yang ditemukan pada gen STAT4, PTPN22, CD3, PP2Ac,
TNIP1, PRDM1, JAZF1, UHRF1BP1, dan IL10. Selain itu kelainan jumlah gen
C4, FCGR3B dan TLR7 berhubungan dengan ekspresi penyakit.[4-7]

Mutasi pada major histocompatibility complex (MHC) 8.1 haplotype termasuk


alel HLA-B8, HLA-DR3 dan C4B yang mengatur diferensiasi sel B untuk
memproduksi antibodi anti-dsDNA pada tahap awal aktivasi sistem imun juga
ditemukan pada pasien dengan SLE. Selain itu kondisi ini juga dapat berhubungan
dengan mutasi pada gen pengkode nuklease seperti TREX1, polimorfisme
nukleotida yang mengkode protein yang memproduksi interferon tipe I, serta
mutasi lain yang menyebabkan gangguan dalam pembentukan sitokin pengatur
sinyal aktivasi reseptor antigen di permukaan sel T dan sel B. Tiap perubahan
genetik memiliki kontribusi dan memberikan efek kumulatif terhadap timbulnya
SLE.[4-7,9]

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berperan dalam SLE di antaranya adalah infeksi virus,
beberapa obat-obatan, paparan sinar UV, dan merokok.

Infeksi Virus

Infeksi virus terutama Epstein-Barr Virus (EBV) dapat memicu timbulnya gejala
SLE. Pada penderita SLE, respon sel T terhadap infeksi EBV tidak normal dan
menyebabkan peningkatan sel mononuklear yang terinfeksi sekaligus
meningkatkan jumlah DNA EBV dalam darah pasien SLE. Kondisi ini
menyebabkan aktivasi sistem imun didapat dan diferensiasi sel B serta produksi
autoantibodi yang spesifik terhadap sekuens asam amino yang dimiliki oleh
protein sel tubuh dan protein yang dihasilkan oleh EBV. EBV juga mengkode
RNA yang menginduksi aktivasi sistem imun melalui ekspresi IFN tipe I.
Antibodi spesifik terhadap antigen nukleus EBV1 (EBNA1) juga dapat bereaksi
silang dengan dsDNA karena kesamaan konformasi epitope sehingga infeksi EBV
juga dapat memicu respon autoimun.[1,4,7-9]

Paparan Sinar UV

Paparan sinar UV memicu terjadinya kerusakan DNA sehingga mengubah


ekspresi gen, menyebabkan fragmentasi asam nukleat serta memicu apoptosis atau
kematian sel. [1,4,7-9]

Obat-Obatan
Beberapa jenis obat menyebabkan metilasi DNA seperti hidralazin. Hidralazin
menghambat jalur sinyal yang menyebabkan penurunan ekspresi DNA
metiltransferase yang memediasi metilasi DNA. Terganggunya proses metilasi
DNA menyebabkan gangguan ekspresi gen dan memediasi aktivasi sistem imun.
[1,4,7,8]

Merokok dan Menghirup Silika

Merokok dan menghirup silika memicu respon inflamasi di sel epitel dan
mononuklear di paru. Kondisi ini menyebabkan modifikasi protein atau memicu
proses inflamasi nonspesifik. [1,4,7,8]

Hormon dan Jenis Kelamin

Wanita usia reproduksi memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami


SLE. Beberapa faktor yang mendasari hal ini yaitu hormon estrogen yang terdapat
pada perempuan dapat memodulasi aktivasi limfosit. Selain itu pada penderita
SLE terdapat peningkatan kadar serum prolaktin dibandingkan dengan kontrol,
kemungkinan timbulnya gejala SLE dipengaruhi oleh kadar prolaktin namun
mekanismenya belum dapat dijelaskan secara pasti. [1,4,7,8]

Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko lain yang dapat memicu timbulnya gejala SLE yaitu:

 Bayi lahir prematur (≥ 1 bulan lebih cepat)


 Bayi dengan berat lahir rendah (<2.500 g)
 Anak yang terkena paparan pestisida
 Kehamilan
 Defisiensi vitamin D[5]
5. DIAGNOSIS

Diagnosis lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE)


membutuhkan kombinasi presentasi klinis yang mendukung dan adanya paling
tidak bukti imunologis yang relevan.

Anamnesis

Keluhan akibat SLE dapat sangat beragam, dari yang ringan hingga yang berat.
Pasien dapat datang dengan berbagai keluhan tidak spesifik seperti:

 Gejala awal seperti kelelahan, demam, nyeri sendi, penurunan berat badan
 Kulit : malar rash, fotosensitif dan lesi discoid
 Muskuloskeletal : nyeri sendi, kekakuan sendi, nyeri otot, nekrosis
avascular
 Neuropsikiatri : kejang, psikosis
 Ginjal : bengkak akibat gagal ginjal akut atau kronik
 Paru : sesak karena efusi pleura, hipertensi pulmonal, pneumonitis)
 Jantung : sesak atau nyeri dada akibat pericarditis atau miokarditis
 Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri perut
 Hematologi : pucat akibat anemia, trombositopenia, leukopenia[2,5]

Selain itu apabila ditemuka trias demam, nyeri sendi dan ruam pada wanita usia
produktif maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ke arah SLE. Pada saat
anamnesis apabila memang ditemukan adanya gejala SLE maka perlu ditanyakan
mengenai riwayat keluarga dengan penyakit autoimun.[2,5]

Pemeriksaan Fisik

Karena manifestasinya yang sangat bervariasi, pemeriksaan fisik pada pasien


dengan kecurigaan SLE perlu dilakukan secara lengkap dari ujung kaki hingga
ujung kepala. Dalam penegakkan diagnosis, terdapat beberapa kriteria yang
digunakan. Salah satu yang paling lama dan paling sering digunakan adalah
kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR) modifikasi tahun
1997.[10] Berdasarkan kriteria ini, pasien dinyatakan menderita SLE apabila
memiliki 4 dari 11 kriteria (Tabel 1). Kriteria klasifikasi ACR modifikasi tahun
1997 ini memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas 94%.[4]

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi SLE berdasarkan ACR modifikasi tahun 1997

No. Kriteria Definisi


Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
1. Ruam malar
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
2. Ruam diskoid
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
3. Fotosensitivitas
sinar matahari
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
5. Artritis
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi.
6. Serositis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
- Pleuritis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction
- Perikarditis
rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
7. Gangguan renal
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif, atau
Silinder seluler dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
Gangguan Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
8.
neurologi gangguan metabolik, atau
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik
Gangguan
9. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
hematologik
Leukopenia <4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Gangguan Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
10.
imunologik yang abnormal, atau
Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm, atau
Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
Antibodi pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
11. antinuclear (ANA) pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa
positif keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan
sindroma lupus yang diinduksi obat.

Walaupun kriteria klasifikasi ACR untuk SLE sudah lama digunakan, berbagai
studi menunjukkan terdapat kecenderungan pasien yang hanya memenuhi kriteria
klinis tanpa didukung adanya bukti kelainan imunologis tetap dianggap
mengalami SLE. Sebaliknya terkadang penyakit didiagnosis berdasarkan adanya
autoantibodi dan kelainan hematologi saja tanpa mempertimbangkan tampilan
klinisnya.[1,4]

Oleh sebab itu Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC) pada
tahun 2012 membuat kriteria klasifikasi alternatif untuk membantu dalam
diagnosis SLE. Dalam kriteria ini pasien diklasifikasikan sebagai SLE bila
memiliki 4 dari 17 kriteria (Tabel 2) yang paling tidak diantaranya terdapat 1
kriteria klinis dan 1 kriteria imunologis. Selain itu kriteria ini juga memasukkan
nefritis lupus yang telah terbukti berdasarkan biopsi didukung dengan adanya
ANA atau anti-dsDNA sebagai dasar diagnosis SLE tanpa memerlukan adanya
kriteria lainnya.[11] Kriteria SLICC memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas
84% dan penggunaannya sudah diterima oleh European Medicines Agency, US
Food and Drug Administration and NHS Inggris.[1]

Tabel 2. Kriteria SLE berdasarkan SLICC tahun 2012 [11]

No. Kriteria Definisi


Kriteria Klinis
ruam malar, lupus bulosa, toxic epidermal necrolysis, ruam
Lupus kulit
1. makulopapular, ruam fotosensitif, lesi bentuk psoriasis
akut
nonindurasi dan arat lesi polisiklik anular.
Lupus kulit ruam diskoid terlokalisir maupun generalisata, hipertrofi,
2.
kronis verukosa, mengenai mukosa, liken planus
3. Ulkus mulut ulkus mulut di palatum, bukal, lidah atau ulkus nasal
4. Alopesia penipisan rambut difus, atau rambut yang mudah patah
mengenai 2 sendi atau lebih, dicirikan dengan pembengkakan
5. Sinovitis
atau efusi atau nyeri dan kekakuan sendi pada pagi hari
nyeri pleuritis >1hari atau pleuritic friction rube atau bukti efusi
6. Serositis pleura atau nyeri pericardial >1 hari, efusi pericardium yang
terbukti dari rekaman EKG atau pericardial friction rub.
protein:kreatinin rasio atau protein urin 24 jam setara dengan
7. Renal
500mg protein/24 jam atau adanya siliner sel darah merah
kejang, psikosis, mononeuritis multipleks, myelitis, neuropati
8. Neurologi
perifer atau kranial, acute confusional state
9. Anemia Hemolitik
10. Leukopenia (leukosit < 4000/mm3) atau limfopenia (limfosit < 1000/mm3)
11. Trombositopenia (trombosit <100.000/mm3)
Kriteria imunologi
12. Kadar ANA diatas batas normal laboratorium
13. Anti-dsDNA diatas batas normal laboratorium
14. Anti-Sm
15. Antibodi antifosfolipid
16. Kadar komplemen yang rendah (C3, C4, CH50)
17. Direct Coombs’ test

Diagnosis Banding

Beberapa penyakit yang memiliki gambaran klinis atau hasil beberapa tes
laboratorium yang mirip yaitu:

 Sindroma Sjogren
 Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
 Lupus imbas obat
 Undifferentiated connective tissue disease
 Fibromialgia (ANA positif)
 Vaskulitis
 Rheumatoid arthritis
 Purpura trombositopeni idiopatik

Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk keperluan diagnosis dan


monitoring SLE yaitu:

 Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)


 Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah
 Analisis urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam
 Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
 Foto polos thorax
 EKG
 Pemeriksaan tambahan lain seperti echocardiografi, CT-Scan, MRI, dan
biopsi renal disesuaikan dengan kondisi klinis pasien.[2,5]
6. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus


(SLE) menggunakan medikamentosa antara lain:

 Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)


o Ibuprofen : 30-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis, maksimal
2,4 gram per hari pada anak atau 3,2 g/hari pada dewasa
o Natrium diklofenak : 100 mg per oral satu kali per hari
 Kortikosteroid
o Prednison : 0.5 mg/kg/hari
o Metil prednisolon : 2-60 mg dalam 1-4 dosis terpisah
o Peningkatan dosis harus melihat respon terapi dan penurunan dosis
harus tappering off
 Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) non-biologis :
o Azathioprin (AZA) : 1-3 mg/kg/hari per oral, dihentikan bila tidak
ada respon dalam 6 bulan
o Siklofosfamid (CYC) : dosis rendah 500 mg IV setiap 2 minggu
sebanyak 6 kali, atau dosis tinggi 500-1000 mg/m2 luas permukaan
tubuh setiap bulan sebanyak 6 kali
o Mikofenolat mofetil (MMF) : 2-3 gram/hari selama 6 bulan
dilanjutkan 1-2 gram/hari
 Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) biologis:
o Rituximab : 1 gram IV dibagi menjadi dua dosis dengan jarak 2
minggu [1,2,5]

Tata laksana pasien dengan SLE bergantung pada derajat keparahan penyakit
yang dibagi menjadi:

Ringan

Secara klinis tenang, tidak ada keterlibatan organ yang mengancam nyawa, fungsi
organ normal atau stabil. Misalnya SLE dengan manifestasi kulit dan artritis
Pilihan penatalaksanaan : penghilang nyeri (paracetamol, OAINS), kortikosteroid
topikal, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kortikosteroid dosis rendah, tabir surya,

Sedang

Manifestasi klinis yang lebih serius yang bila tidak ditangani dapat menyebabkan
kerusakan jaringan kronis. Misalnya bila ditemukan nefritis ringan hingga sedang,
trombositopenia, dan serositis.

Pilihan penatalaksanaan : metil prednisolon atau prednisone, AZA atau MTX atau
MMF, hidroksiklorokuin.

Berat

Terdapat ancaman kerusakan organ berat hingga kehilangan nyawa, merupakan


bentuk terparah dari SLE dan membutuhkan imunosupresi yang poten. Misalnya
ditemukan gejala endokarditis, hipertensi pulmonal, vaskulitis berat, keterlibatan
neurologi, anemia hemolitik, dll.

Pilihan penatalaksanaan : metil prednisolon atau prednison, siklofosfamid IV bila


perlu ditambah siklosporin atau IVIg. [1,2,5]
Algoritma Penatalaksanaan SLE Berdasarkan Systemic Lupus International
Collaborating Clinics (SLICC)
Edukasi merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan pasien lupus
eritematosis sistemik atau systemic lupus eritematosus (SLE), hal ini dikarenakan
SLE merupakan penyakit kronis yang apabila tidak dimengerti dengan baik akan
menyulitkan pengobatan dan berisiko memperburuk kondisi. Beberapa hal yang
perlu ada pada edukasi pasien SLE yaitu:

 Penjelasan mengenai sle, penyebab, perjalanan penyakit dan


komplikasinya
 Aktivitas fisik yang cukup, cara mengurangi atau mencegah kekambuhan
antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari dengan memakai
tabir surya, payung atau topi
 Pencegahan infeksi, pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
osteoporosis atau terjadi dislipidemia
 Pengobatan jangka panjang dan pemantauan penyakit
 Kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan sle
dan sebagainya[2,5]

Dokter umum memiliki tugas utama dalam deteksi dini kemungkinan SLE pada
pasien dan melakukan rujukan ke dokter spesialis penyakit dalam, selain itu
dokter umum juga membantu melakukan pemantauan pada pasien dengan SLE
khususnya derajat ringan.[2]
7. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus


eritematosus (SLE) sangat bervariasi sesuai dengan patofisiologi dan perjalanan
penyakitnya, reaksi imun akibat SLE dapat menyebabkan komplikasi berupa
kerusakan berbagai organ dari mulai yang ringan seperi sendi dan kulit hingga
organ yang vital seperti jantung, paru-paru dan otak.

Komplikasi

SLE dapat menyerang semua organ di tubuh sehingga dapat menimbulkan


berbagai komplikasi, di antaranya:

 Urologi : lupus nefritis, gagal ginjal


 Neurologi : gangguan memori, gangguan bahasa, gangguan kognitif
 Kardiovaskuler : anemia, vaskulitis, perikarditis, infark miokard akut
 Respirasi : pleuritis, efusi pleura, pneumonia
 Muskuloskeletal : osteoporosis, fraktur, avaskular nekrosis tulang
 Infeksi akibat penggunaan steroid

Prognosis

Beberapa instrument digunakan untuk memperkirakan prognosis pasien dengan


SLE seperti Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), SLEDAI, Lupus Activity
Index (LAI), dan European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM).

Angka kesintasan SLE untuk 5 tahun melebihi 90% sedangkan untuk 15 tahun
sekitar 80%. Saat ini, kebanyakan kematian disebabkan karena efek samping obat
(infeksi akibat imunosupresi) atau masalah kardiovaskular.[2,4,5]
DAFTAR PUSTAKA

1. C. Gordon, M. Amissah-Arthur, M. Gayed, S. Brown, I.N. Bruce, D. D’Cruz,


et al, Rheumatology, 2018, 57, 1-45.
https://academic.oup.com/rheumatology/article-abstract/57/1/e1/4318863
2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik, Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, 2011.
https://www.pbpapdi.org/images/file_guidelines/14_Rekomendasi_Lupus.pdf
3. Infodatin, Situasi Lupus di Indonesia, Pusdatin, Jakarta, 2017.
www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Lupus-
2017.pdf
4. A. Kaul, C. Gordon, M.K. Crow, Z. Touma, M.B. Urowitz, R. van
Vollenhoven, et al, Nature Reviews Disease Primers, 2016, 2, 1-21.
http://www.nature.com/articles/nrdp201639
5. C.M. Bartels, H.S. Diamond, et al. Systemic Lupus Erythematosis (SLE),
2017. https://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
6. G.C. Tsokos, N Engl J Med, 2011, 365, 2110-2121.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1100359
7. D. J. Tunnicliffe, D. Singh-Grewal, S. Kim, JC. Craid, A. Tong, Arthritis
Care Res, 2015, 67(10), 1440-1452.
http://onlinelibrary.wiley.com/resolve/doi?DOI=10.1002/acr.22591
8. D.L. Kasper, S.L. Hauser, J.L. Jameson, A. S. Fauci, D.L. Longo, J.
Loscalzo, Harrison’s Principles of Internal Medicine, Mc Graw Hill, New
York, 2012.
9. G.M.C. La Paglia, M.C. Leone, G. Lepri, R. Vagelli, E. Valentini, et al. Clin
Exp Rheumatol, 2017, 35, 551-561.
http://www.clinexprheumatol.org/article.asp?a=12006
10. M.C. Hochberg, Arthritis Rheum, 1997, 40, 1725.
http://onlinelibrary.wiley.com/resolve/openurl?genre=article&sid=nlm:pubme
d&issn=0004-3591&date=1997&volume=40&issue=9&spage=1725
11. Petri M, Orbai AM, Alarcón GS, et al. Derivation and validation of the
Systemic Lupus International Collaborating Clinics classification criteria for
systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. 2012;64(8):2677–2686.
doi:10.1002/art.34473

Anda mungkin juga menyukai