Pembimbing :
Sindrom yang pertama kali dideskripsikan oleh Dr. Edward Lambert dan Dr. Lee Eaton pada tahun
1957 ini merupakan kelainan autoimun langka yang menyebabkan kelemahan otot. Termasuk otot
tangan, otot kaki, otot bahu, otot bicara dan menelan maupun otot mata. Kelainan ini terjadi karena
adanya miskomunikasi antara sel saraf dengan otot. Tidak seperti stroke, LEMS merupakan
kelainan yang terjadi secara bertahap, memburuk seiring waktu.
Menurut keterangan dari National Organization for Rare Disorders, LEMS dibagi menjadi dua
jenis, yaitu LEMS yang terkait dengan kanker paru-paru sel kecil dan LEMS yang tidak terkait
kanker. LEMS terkait kanker umumnya memengaruhi sekitar 60 persen penderita, dan cenderung
dialami laki-laki. LEMS jenis ini sering kali terdiagnosis pada usia rata-rata 60 tahun.
Sementara itu, LEMS tanpa kanker cenderung terjadi pada kelompok usia lebih muda, bahkan pada
anak-anak. Namun, kasus pada anak jarang terjadi. Umumnya, onset kejadian adalah pada usia
pertengahan 30-an.
Pada kasus LEMS, sistem pertahanan tersebut menyerang protein yang disebut voltage-gated
calcium channels (VGCCs) di membran saraf motorik. Protein ini diperlukan tubuh untuk
pelepasan asetilkolin, yaitu senyawa kimia yang memicu kontraksi otot.
Kontraksi otot ini memungkinkan seseorang untuk melakukan aktivitas fisik, seperti berjalan,
berbicara, mengangkat bahu, dan lain sebagainya. Adanya serangan tersebut menyebabkan
pelepasan asetilkolin berkurang, sehingga menyebabkan kelemahan otot.
• Etiologi LEMS
Pada kasus LEMS dengan kanker, diyakini bahwa sel kanker tersebut menghasilkan sel VGCC,
sehingga memicu sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi untuk menyerang sel kanker.
Namun, yang terjadi adalah autoantibodi yang dibuat untuk melawan VGCC pada sel kanker keliru
menyerang VGCC di membran saraf. Kebiasaan merokok juga bisa menjadi penyebab kondisi ini.
Sementara itu pada LEMS tanpa kanker, umumnya memiliki variasi gen sistem kekebalan tertentu
yang disebut human leukocyte antigen (HLA). Gen ini meningkatkan risiko seseorang terhadap
penyakit autoimun
• Patofisiologi
Fungsi neuromuskuler normal, impuls saraf turun ke akson (proyeksi panjang dari sel saraf) dan
dari sumsum tulang belakang. Saraf berakhir pada sambungan neuromuskuler, dimana impuls
tersebut pindah ke sel otot, impuls saraf menyebabkan terbukanya saluran kalsium tegangan-gated
(VGCC), ion kalsium masuk ke dalam terminal saraf dan kalsium memicu fusi vesikel sinaptik
dengan membrane plasma. Vesikel sinaptik mengandung acetylcholine yang dilepaskan ke celah
sinaptik dan menstimulasi reseptor asetilkolin pada otot dan otot mengalami kontraksi.
Dalam LEMS, antibodi VGCC kususnya P/Q-jenis VGCC, mengurangi jumlah kalsium yang dapat
masuk ke ujung Saraf, maka asetilkolin berkurang. Otot rangka juga memerlukan asetilkolin
neurotransmisi.Untuk mengetahui terjadinya gejala otonom LEMS dengan ketegangan – gated
saluran kalsium ditemukan di otak kecil, dan disana ditemukan masalah koordinasi. Berkurangnya
kalsium yang masuk menyebabkan penurunan kontraktilitis otot. Antibodi yang ditemukan pada
LEMS (Lambert – Eaton Miastenia Sindrom) berhubungan dengan kanker terutama kanker paru –
paru yang mengikat kalsium dalam sel kanker berkembang sebagai reaksi terhada sel. Kekebalan
reaksi sel kanker menekan pertumbuhan dan meningkatkan prognosis penyakit kanker.
Gejala utama LEMS adalah kelemahan dan kelelahan otot, terutama pada otot-otot kaki dan lengan.
Onset-nya bertahap, yang berlangsung selama beberapa minggu bahkan bulan.
Perkembangan gejala sering kali memengaruhi otot tubuh lainnya, seperti otot bahu, otot bicara,
otot menelan, dan otot mata. Pada pasien LEMS dengan kanker, gejala tersebut umumnya
berkembang lebih cepat.
Tidak hanya itu, pasien LEMS juga sering menunjukkan gejala sebagai respons terhadap masalah
saraf otonom, yaitu bagian saraf yang secara tidak sadar mengatur banyak fungsi tubuh, meliputi
mulut kering, mata kering, sembelit, impotensi, dan penurunan jumlah keringat.
Pasien LEMS juga sering kali mengalami penurunan berat badan yang signifikan, juga ditemukan
tidak memiliki refleks yang normal (refleks tendon menurun). Refleks ini biasanya diperiksa oleh
dokter dengan menepuk lutut.
Secara singkat, LEMS digambarkan sebagai “triad” klinis dari kelemahan otot, gejala otonom, serta
refleks tendon yang berkurang
• Diagnosa
Gejala khas dari sindrom ini sangat mirip dengan gejala umum yang ditunjukkan oleh pasien
dengan miastenia gravis, namun ada beberapa perbedaan penting dalam perkembangan penyakit ini.
Sehingga sindrom Lambert-Eaton awalnya mungkin didiagnosis sebagai miastenia gravis akibat
3,9
kesamaan gejala klinis yang ditunjukkannya.
Karakteristik klinis sindrom Lambert-Eaton terdiri dari kelemahan dan cepat lelahnya otot
proksimal pada ekstremitas bawah yang bersifat progresif subakut, dengan berkurang atau
menghilangnya refleks peregangan otot dan didapatkannya disfungsi otonom. Diagnosis sering
tertunda selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun karena gejala sering tidak mengganggu
dan kelainan pada pemeriksaan fisik mungkin tidak terdeteksi pada awal perjalanan penyakit.
Distribusi khas dari kelemahan melibatkan otot fleksor pinggul dan otot-otot pinggul lainnya, otot-
otot proksimal pada ekstremitas atas, otot leher, dan otot-otot interosei. Otot-otot pinggul biasanya
mengalami kelemahan lebih parah daripada otot-otot pada ekstremitas atas sehingga menunjukkan
kecacatan yang jelas. Pasien sering mengeluh kesulitan yang timbul ketika berdiri dari posisi duduk
dan menaiki tangga dan terkadang pasien bahkan terjatuh. Pasien umumnya melaporkan bahwa
kelemahan pada otot berulang, memburuk ketika beraktivitas berat dan membaik dengan sendirinya
setelah beristirahat. Atrofi otot jarang terjadi.
Pasien mungkin mengalami keluhan nyeri pada pinggul dan paha bagian belakang. Sekitar 25%
kasus memiliki keterlibatan saraf kranial. Ptosis, kelemahan wajah, disfagia, disartria, dan kesulitan
mengunyah dapat terjadi tetapi biasanya ringan dan cenderung terjadi dalam fase lanjut
dibandingkan dalam perjalanan penyakit dari miastenia gravis. Keterlibatan sistem pernapasan
jarang terjadi dan biasanya secara signifikan lebih ringan daripada miastenia gravis. Kejadian gagal
nafas juga amat jarang terjadi. Sekitar 80% dari pasien dengan sindrom Lambert-Eaton memiliki
gejala disfungsi otonom. Gejala gangguan otonom yang paling umum adalah disfungsi ereksi pada
pria dan xerostomia (mulut kering) pada kedua jenis kelamin. Gejala lainnya adalah terdapat
perlambatan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya, dismotilitas gastrointestinal, hipotensi
ortostatik, dan retensi urin. Pemeriksaan modalitas otonom dapat mengungkapkan kelainan pada
2,7
berkeringat, refleks kardiovagal, dan sekresi air liur.
Pada pasien ini didapatkan keluhan ptosis pada kedua mata, yang didahului adanya kelemahan pada
keempat ekstremitas. Pasien juga memiliki kesulitan untuk bangun dari posisi duduk dan kesulitan
untuk berjalan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kelemahan otot-otot proksimal
• Diagnosa diferensial
Pada 60% pasien LEMS, diagnosis yang berbeda awalnya seperti myastenia gravis (MG), inklusi
myositis tubuh, sindrom Guillain-Barre (GBS), amyotrophic lateral sclerosis (ALS), stenosis kanal
lumbar, fase awal parkinsonisme tubuh bagian bawah
• Pemeriksaan penunjang
Diagnosis LEMS didasarkan pada tanda dan gejala klinis. Dokter mungkin akan menanyakan
tentang riwayat merokok pada pasien. Beberapa tes yang dapat digunakan sebagai acuan diagnosis
meliputi:
• Tes elektromiografi untuk menguji serat otot. Hasil tes ini biasanya menunjukkan adanya
penurunan compound motor action potential (CMAP)
• Pengujian antibodi untuk mengidentifikasi keberadaaan antibodi anti-VGCC
• Tes pemindaian computed tomography (CT) dada untuk diagnosis kankerDaftar pustaka
• Tatalaksana
Tidak ada obat untuk LEMS dan pengobatan sebagian besar bersifat simtomatik. Ini termasuk 3, 4-
diaminopyridine phosphate (DAP) yang biasanya ditoleransi dengan baik dan efektif. Pada
beberapa pasien, kombinasi piridostigmin dengan 3,4-DAP telah disarankan untuk memiliki efek
positif. Jika pengobatan simtomatik tidak mencukupi, terapi imunosupresif dengan prednison,
sendiri atau dalam kombinasi dengan azathioprine, dapat mencapai kontrol jangka panjang dari
gangguan tersebut dan pemberian imunoglobulin intravena (IVIG) dosis tinggi memiliki efek yang
singkat. Pengobatan yang efektif terhadap tumor yang ada adalah wajib, baik untuk mengendalikan
tumor maupun untuk memperbaiki gejala klinis LEMS. Jika pengobatan simtomatik tidak
mencukupi, terapi imunosupresif dengan prednison, sendiri atau dalam kombinasi dengan
azathioprine, dapat mencapai kontrol jangka panjang dari gangguan tersebut
• Prognosis
Secara umum, LEMS merespon dengan baik terhadap pengobatan simtomatik dan imunosupresif.
Namun, LEMS dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan kualitas hidup pasien secara individu.
Harapan hidup tergantung pada adanya kanker paru-paru. Tanpa kanker, harapan hidup dianggap
normal. karena SCLC ini adalah kanker yang sangat agresif, prognosis pasien dengan LEMS dan
SCLC sering kali agak buruk hidup rata-rata adalah 17-24 bulan, meskipun jumlah pasien dengan
remisi lama atau sembuh adalah sekitar 20% (dibandingkan dengan <2% pasien dengan SCLC
tanpa LEMS).
• Kesimpulan
Sindrom Lambert-Eaton adalah kasus yang jarang ditemukan, terjadi sebagai akibat adanya suatu
sindrom paraneoplastik yang berhubungan dengan karsinoma paru maupun penyakit autoimun
idiopatik, dengan etiologi yang tidak diketahui. Gejala khas dari sindrom ini sangat mirip dengan
gejala umum yang ditunjukkan miastenia gravis, dengan karakteristik klinis sindrom terdiri dari
kelemahan progresif otot proksimal pada ekstremitas bawah, dengan menurunnya refleks
peregangan otot dan disfungsi otonom. Elektrodiagnostik sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis, yaitu pada stimulasi repetitif dengan frekuensi perangsangan yang tinggi akan terjadi
peningkatan amplitudo (increment). Penalataksanaan terhadap etiologi yang mendasari mampu
secara efektif menyebabkan perbaikan gejala neurologis
Daftar pustaka