MAKALAH
disusun oleh :
YAYASAN HAZANAH
BANDUNG
2020
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci
jenis rematik secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun
banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA.
Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan,
faktor sosial ekonomi, faktor hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti
merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif
sehingga apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan
menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan
kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang
memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau berfungsi
normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa
disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti
level remisi, status fungsional, dan derajat kerusakan sendi
(Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun
masih merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab
secara fisik, biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan
erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang
onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan produktifitas
masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi
imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun
angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia namun tidak menutup
kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan
adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA
dan memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah
terdiagnosis salah satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat
usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam
mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria ARA (American
3
pencitraan masih meragukan atau agen etiologi tidak dapat ditentukan karena
pemberian antibiotik sebelumnya, atau hasil kultur yang membingungkan.
Secara umum osteomielitis terbagi menjadi osteomielitis akut dan
osteomielitis kronis yang memiliki manajemen pengobatan yang berbeda.
Manajemen osteomielitis saat ini masih kurang memuaskan dan masih
sedikitnya bukti ilmiah pedoman pengobatan, sehingga sering sekali
osteomielitis akut berkembang menjadi osteomielitis kronik, sebagaimana
penelitian yang dilakukan di Amerika, ditemukan sekitar 25% osteomielitis
akut berlanjut menjadi osteomielitis kronis. Kondisi ini yang menyebabkan
osteomielitis semakin sulit diobati karena sering disertai kekambuhan. Salah
satu penyebabnya adalah terhambatnya eradikasi kuman oleh antibiotika
dikarenakan Staphylococcus aureus menghasilkan biofilm yang dapat
menyebabkan antibiotika sulit menembus dinding bakteri.
Foto polos tulang rutin dilakukan untuk membantu penegakan
diagnosis osteomielitis, walaupun tidak terlalu sensitif bila dibandingkan
dengan scan tulang ataupun MRI. Pecitraan foto polos pada osteomielitis
menjadi tantangan tersendiri untuk membantu penegakan diagnosis, hal ini
disebabkan pada minggu pertama infeksi, hanya terdapat sedikit bahkan tidak
ada perubahan yang terlihat pada tulang, namun adanya infeksi dapat dilihat
melalui tanda tidak langsung, seperti pembengkakan jaringan di sekitar tulang
yang mengalami infeksi. Selain itu, gambaran osteomielitis tahap lanjut dapat
menyerupai sarkoma tulang panjang yang maligna pada anak-anak, terutama
sarkoma Ewing dan osteosarkoma. Diagnosis osteomielitis sering kali
terlambat ditegakkan sehingga dapat menyebabnya infeksi persisten dan
kecacatan pada anak. Terlalu percaya pada hasil foto polos tanpa memeriksa
pasien secara cermat sering menjadi penyebab terlambatnya diagnosis
osteomielitis ditegakkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rheumatoid Arthritis
a. Definisi Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada
sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun
dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan,
sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan
pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan
ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada
masa dini belum didapatkan gambaran karakteristik yang akan berkembang
sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai
pengobatan yang kuat (Febriana,2015).
b. Epidemiologi Rheumatoid Arthritis
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA
sekitar 1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan
Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar
0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di
Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia
diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan
5
6
antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular,
humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini,
satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan
pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya.
Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan.
Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang
terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari
sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta
merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix
metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).
hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies.
Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi
vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler.
Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen,
tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh
cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi
serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk, 2013).
e. Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan
tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar
sendi (Putra dkk, 2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat
badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena
seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki.
Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku
sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,
namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard.
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru
obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang
sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop.
11
2.2 Osteomielitis
a. Definisi Osteomielitis
b. Penyebab Osteomielitis
e. Terapi Osteomielitis
Stabilisasi tulang
Stabilisasi tulang pada fraktur nonunion diperlukan untuk
kontrolinfeksi. Namun, dengan adanya fiksasi interna, mikroorganisme
dilindungi oleh biofilm yang melekat pada permukaan implan. Oleh
karena itu, keputusan untuk mempertahankan atau mengeluarkan
implant yang terinfeksi berbeda-beda untuk setiap pasien, bergantung
pada beberapa faktoryaitu status penyambungan tulang, stabilitas yang
disediakan oleh implant, lokasi fraktur, dan waktu sejak dilakukan
fiksasi fraktur.
Antibiotiklokal
Ruangan kosong yang terjadi akibat debridemen dapat diisi
oleh polymethylmethacrylate (PMMA) beads yang dikombinasi dengan
antibiotik, seperti tobramycin, vancomycin, atau antibiotik spesifik
lainnnya yang tahan panas dan tersedia dalam bentuk serbuk (Patzakis
dkk, 2005). Penggunaan PMMA beads dengan antibiotik lokal dapat
mengurangi insiden infeksi pada patah tulang terbuka yang berat. Bila
perlu, debridemen ulang dapat dilakukan setelah 24 hingga 48 jam
berdasarkan tingkat kontaminasi dan kerusakan jaringan lunak.
Konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi dan rendahnya level
sistemik meningkatkan kerja terhadap patogen dan mengurangi efek
sistemik. Jumlah yang direkomendasikan per 40 g PMMA adalah 2.4
hingga 4.8 g tobramycin, dan vancomycin.Antibiotic-impregnated
beads digunakan bila terdapat ruangan kosong dan revisi akan
dikerjakan, seperti debridemen ulang, penutupan jaringan lunak dan
bone graft. Bila memungkinkan, defek dapat diisi dengan flap otot.
Selain itu, beads dapat digunakan sebagai pengisi dibawah flap hingga
digantikan oleh bone graft pada prosedur berikutnya.
Banyak antibiotik mempunyai penetrasi yang buruk ke dalam
tulang. Antibiotic beads, sebaliknya menyediakan konsentrasi
antibiotik lokalyang tinggi, tidak bergantung pada aliran darah ke
dalam tulang(Spiegel & Penny, 2005,DeCoster dkk, 2008).
23
26
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rheumatoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp. 2569 – 81.
Berdajs DA, Trampuz A, Ferrari E, Ruchat P, Hurni M, vonSegesser LK.
Delayed primary versus late secondary woundclosure in the t
reatment of postsurgical sternum osteomyelitis. Interact Cardiovasc
Thorac Surg. 2011;12(6):914-8
Brady RA, Leid JG, Costerton JW, Shirtliff ME. Osteomyelitis: overview and
mechanisms of infection persistence. Clin Microbiol Newsl.
2006;28(9):65-728
27
28
Suarjana, I.N. (2009). Arhtritis Rheumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508.
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20.
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-
Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu
Wilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48.
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment,
GeoEpidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis,
Elsevier, doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019.
Walenkamp GH.Chronic osteomyelitis.Acta Orthop Scand.1997; 68 (5): 497-506.