Anda di halaman 1dari 30

FARMAKOTERAPI DAN PENATALAKSANAAN RHEMATOID

ARTHRITIS DAN OSTEOMIELITIS

MAKALAH

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Farmakoterapi

disusun oleh :

Devira Lukita A 171 063

Raifa Sachra H.N A 171 095

Sheli Meliani Suryati A 171 096

Sony Saefulloh A 171 101

Windania Barkah A 171 110

PROGRAM STUDI FARMASI

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

YAYASAN HAZANAH

BANDUNG

2020
i

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................1

1.1 Latar Belakang .....................................................................1

1.1.1 Rhematoid Arthritis ............................................................1

1.1.2 Osteomielitis .....................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................5

2.1 Rhematoid Arthritis .....................................................................5

a. Definisi Rhematoid Arthritis ....................................................5

b. Epidemiologi Rhematoid Arthritis ...........................................5

c. Faktor Resiko Rhematoid Arthritis ..........................................6

d. Etiopagonesis dan Patofisilogi Rhematoid Arthritis ................8

e. Manifestasi Klinis Rhematoid Arthritis ...................................10

f. Pemeriksaan Penunjang Rhematoid Arthritis ...........................11

g. Diagnosis Rheumatoid Arthritis ...............................................11

h. Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis .....................................13

i. Prognosis Rheumatoid Arthritis ................................................15

2.2 Osteomielitis .....................................................................16

a. Definisi Osteomielitis ..............................................................16

b. Penyebab Osteomielitis ............................................................16

c. Diagnosis Osteomielitis ...........................................................17

d. Penatalaksanaan dan Pengobatan Osteomielitis ......................19

e. Terapi Osteomielitis .................................................................22

BAB III KESIMPULAN .....................................................................26

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Rhematoid Arthritis
Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan
struktur di sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari
penyakit reumatik adalah Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009).
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan
inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat
melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai
gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan
prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup
etnik yang berkaitan dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan
pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di
Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan
yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk
negara dengan pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis
adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%,
Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%. Prevalensi pada laki-laki
lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan dinyatakan
signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta wanita
menderita RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-
laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk,
2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas.
Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan
bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni
2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien.
Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi

1
2

penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci
jenis rematik secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun
banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA.
Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan,
faktor sosial ekonomi, faktor hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti
merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif
sehingga apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan
menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan
kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang
memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau berfungsi
normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa
disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti
level remisi, status fungsional, dan derajat kerusakan sendi
(Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun
masih merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab
secara fisik, biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan
erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang
onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan produktifitas
masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi
imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun
angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia namun tidak menutup
kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan
adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA
dan memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah
terdiagnosis salah satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat
usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam
mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria ARA (American
3

Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR


(American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.
Menurut WHO (2010) lebih dari 355 juta orang di dunia ternyata
menderita penyakit rheumatoid Arthritis. Itu berarti setiap enam orang di
dunia, satu di antaranya adalah penyandang rheumatoid Arthritis. Namun,
sayangnya pengetahuan tentang penyakit rheumatoid Arthritis belum tersebar
secara luas, sehingga banyak mitos yang keliru beredar di tengah masyarakat
yang justru menghambat penanganan penyakit itu. Hal yang 2 perlu jadi
perhatian adalah angka kejadian penyakit rheumatoid arthritis ini yang relatif
tinggi, yaitu 1-2 persen dari total populasi di Indonesia. Pada tahun 2004 lalu,
jumlah pasien rheumatoid arthritis ini mencapai 2 Juta orang, dengan 2
perbandingan pasien wanita tiga kali lebih banyak dari pria. Diperkirakan
angka ini terus meningkat hingga tahun 2025 dengan indikasi lebih dari 25%
akan mengalami kelumpuhan. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
melaporkan bahwa 20%, penduduk dunia terserang penyakit arthritis
rheumatoid. Dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20%
mereka yang berusia 55 tahun (Febriana, 2015).
1.1.2 Osteomielitis
Osteomielitis merupakan peradangan yang terjadi pada tulang dan
medula spinalis. Osteomielitis dapat terjadi karena penyebaran bakteri secara
hematogen dari suatu fokus infeksi yang jauh, biasanya dari kulit dan paru-
paru, ataupun melalui ekspansi lokal dari infeksi jaringan disekitarnya.
Osteomielitis akut paling sering menyerang anak-anak, terutama pada usia 5-
15 tahun.
Tulang panjang merupakan tulang yang paling sering mengalami
infeksi pada anak-anak, sedangkan pada dewasa, tulang vertebrae menjadi
tulang yang paling sering mengalami infeksi. Osteomielitis dapat didiagnosis
secara klinis. Namun, osteomielitis terkenal sebagai “great pretender” karena
sulitnya untuk menegakkan diagnosis. karena manifestasi klinisnya yang
dapat mirip dengan berbagai penyakit lain, perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang lainnya, termasuk pencitraan radiologis.
Diagnosis definitif osteomielitis membutuhkan biopsi tulang untuk
pemeriksaan kultur dan histologis jaringan. Biopsi bedah dilakukan bila hasil
4

pencitraan masih meragukan atau agen etiologi tidak dapat ditentukan karena
pemberian antibiotik sebelumnya, atau hasil kultur yang membingungkan.
Secara umum osteomielitis terbagi menjadi osteomielitis akut dan
osteomielitis kronis yang memiliki manajemen pengobatan yang berbeda.
Manajemen osteomielitis saat ini masih kurang memuaskan dan masih
sedikitnya bukti ilmiah pedoman pengobatan, sehingga sering sekali
osteomielitis akut berkembang menjadi osteomielitis kronik, sebagaimana
penelitian yang dilakukan di Amerika, ditemukan sekitar 25% osteomielitis
akut berlanjut menjadi osteomielitis kronis. Kondisi ini yang menyebabkan
osteomielitis semakin sulit diobati karena sering disertai kekambuhan. Salah
satu penyebabnya adalah terhambatnya eradikasi kuman oleh antibiotika
dikarenakan Staphylococcus aureus menghasilkan biofilm yang dapat
menyebabkan antibiotika sulit menembus dinding bakteri.
Foto polos tulang rutin dilakukan untuk membantu penegakan
diagnosis osteomielitis, walaupun tidak terlalu sensitif bila dibandingkan
dengan scan tulang ataupun MRI. Pecitraan foto polos pada osteomielitis
menjadi tantangan tersendiri untuk membantu penegakan diagnosis, hal ini
disebabkan pada minggu pertama infeksi, hanya terdapat sedikit bahkan tidak
ada perubahan yang terlihat pada tulang, namun adanya infeksi dapat dilihat
melalui tanda tidak langsung, seperti pembengkakan jaringan di sekitar tulang
yang mengalami infeksi. Selain itu, gambaran osteomielitis tahap lanjut dapat
menyerupai sarkoma tulang panjang yang maligna pada anak-anak, terutama
sarkoma Ewing dan osteosarkoma. Diagnosis osteomielitis sering kali
terlambat ditegakkan sehingga dapat menyebabnya infeksi persisten dan
kecacatan pada anak. Terlalu percaya pada hasil foto polos tanpa memeriksa
pasien secara cermat sering menjadi penyebab terlambatnya diagnosis
osteomielitis ditegakkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rheumatoid Arthritis
a. Definisi Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya
belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada
beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada
sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun
dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan,
sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan
pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan
ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada
masa dini belum didapatkan gambaran karakteristik yang akan berkembang
sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai
pengobatan yang kuat (Febriana,2015).
b. Epidemiologi Rheumatoid Arthritis
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan
lainnya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA
sekitar 1% pada kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan
Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar
0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di
Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia
diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan

5
6

0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN 4 Cipto


Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1%
dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin
didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002
(Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data
terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa
jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien.
Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi
penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci
jenis rematik secara detail. Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013)
memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama
para lansia yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan
pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di Bali.
c. Faktor Resiko Rheumatoid Arthritis
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan
menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor
risiko yang dapat dimodifikasi:
A. Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA.
Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen
tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada
faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLADRB1
terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22
teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia. Selain itu
ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga dengan kejadian RA
pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak
7

(Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk timbulnya


RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya RA
semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah
pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia
diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio
3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas.
Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
B. Dapat Dimodifikasi
1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan
antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di
Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan
perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok
berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor (RF) yang akan
berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan
dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok menjadi 10 hingga 40
kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian pada perokok
pasif masih belum terjawab namun kemungkinan peningkatan risiko
tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah
makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison
dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan
jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian
tersebut menyebutkan daging merah dapat meningkatkan risiko RA
sedangkan buah-buahan dan minyak ikan memproteksi kejadian RA.
8

Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi juga sebagai


faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus
(EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial
pada pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma
pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan
risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun
risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan
paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler,
dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30.
d. Etiopagonesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan
penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor
dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi
virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab
dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus. Patogenesis
terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan reaksi
imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, 7 mungkin
infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap
antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun). Proses
autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya
masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait,
9

antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular,
humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini,
satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan
pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya.
Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan.
Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang
terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari
sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta
merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix
metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1 Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA


Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan
di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan
penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang
secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema
dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat
10

hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies.
Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi
vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler.
Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen,
tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh
cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi
serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk, 2013).
e. Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan
tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar
sendi (Putra dkk, 2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat
badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena
seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki.
Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku
sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan,
namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard.
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru
obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang
sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop.
11

e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa


kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase
perforans.
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali,
limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni.
f. Pemeriksaan Penunjang Rheumatoid Arthritis
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) meningkat.
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun
RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-
98% dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP
terhadap beratnya penyakit tidak konsisten.
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau
subluksasi sendi.
g. Diagnosis Rheumotoid Arthritis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.
Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat
ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang
direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik.
Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002).
12

Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang


direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1
jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif.
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang
terlibat Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria
di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu.
Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA
berdasarkan skor dari American College of Rheumatology (ACR/Eular)
2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6
pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif)
maupun retrospektif (Putra dkk, 2013).
Tabel 1 Kriteria Diagnosis RA
13

h. Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis


A. Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko :
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk
mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health
Study AS yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan
mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-
B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,
menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot
lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja
lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan
diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang
pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu
vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah
inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas
pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan
mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan
sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa
14

terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.


(Candra, 2013).
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa
merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu
upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak
menjadi perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
B. Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah
deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan
lebih lanjut (Kapita Selekta, 2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug) Diberikan sejak awal
untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat
diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam,
dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug) Digunakan untuk
melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin.
DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra
dkk,2013).
3. Kortikosteroid Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison
5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan
pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-
16 minggu.
4. Rehabilitasi Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang
terlibat melalui 15 pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan
sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan
fisioterapi.
5. Pembedahan Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil
yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang
15

bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip


replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 2 DMARD untuk Terapi RA

i. Prognosis Rheumatoid Arthritis


Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari
ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh
hingga tujuh puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam
dua tahun. Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian
mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang
tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang
berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas,
gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami
hendaya dalam 10 tahun ke depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12
minggu setelah gejala awal menunjukkan hasil remisi yang lebih. Indikator
prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi,
RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial
ekonomi rendah baik (Kapita Selekta, 2014).
16

2.2 Osteomielitis

a. Definisi Osteomielitis

Osteomielitis adalah infeksi pada tulang. Berasal dari kata osteon


(tulang) dan myelo (sum-sum tulang) dan dikombinasi dengan itis
(inflamasi) untuk menggambarkan kondisi klinis dimana tulang
terinfeksi oleh mikroorganisme Osteomielitis kronis didefinisikan
sebagai osteomielitis dengan gejala lebih \dari 1 bulan (Berdajs DA,
Trampuz,2011)
Osteomielitis kronis dapat juga didefinisikan sebagai tulang mati
yang terinfeksi didalam jaringan lunak yang tidak sehat Gambaran
patologi dari osteomielitis kronis adalah adanya tulang mati,
pembentukan tulang baru, dan eksudat dari leukosit
polymorphonuclear bersama dengan jumlah besar dari limfosit,
histiosit, dan juga sel plasma .Pada osteomielitis kronis dapat terjadi
episode infeksi klinis yang berulang. Tulang tibia merupakan tempat
paling sering terjadinya infected nonunion dan osteomielitis kronis
setelah trauma (Lazzarini dkk, 2004).

b. Penyebab Osteomielitis

Penyebab osteomielitiskronis, adanya kondisi avaskuler dan


iskemik pada daerah infeksi dan pembentukan sequestrum pada daerah
dengan tekanan oksigen rendah sehingga tidak bisa dicapai oleh
antibiotik. Rendahnya tekanan oksigen mengurangi efektivitas
bakterisidal dari polymorpholeukocytes dan juga merubah infeksi
aerobikmenjadi anaerob). Penyebab tersering osteomyelitis termasuk
patah tulang terbuka, penyebaran bakteri secara hematogen, dan
prosedur pembedahan orthopaedi yang mengalami komplikasi infeksi
(Brady RA, Leid JG : 2006)
Organisme utama penyebab infeksi adalah Staphylococcus
aureus,organisme ini ditemukan baik sendiri maupun kombinasi
dengan patogen yang lain pada 65% hingga 70% pasien. Pseudomonas
aeruginosa, penyebab tersering kedua, ditemukan pada 20% hingga
17

37% pasien. Osteomielitis biasanya terdapat lebih dari satu organisme


pada 32% hingga 70% pasien. Atypical mycobacteria atau jamur dapat
menjadi patogen pada pasien dengan immunocompromised. Adanya
implant dapat mendukung terjadinya perlengketan mikroba dan
pembentukan biofilm, dan dapat mengganggu proses fagositosis
sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Menghilangkan biofilm
dengan cara mengeluarkan implant dan debridemen jaringan mati
diperlukan dalam pengobatan infeksi yang sukses (Calhoun JH,2009)
Zat-zat yang diproduksi oleh biofilm Staphylococcus aureus dapat
memberikan konstribusi terhadap kehilangan tulang selama
osteomielitis kronis dengan cara menurunkan viabilitas osteoblas dan
potensi osteogenik sehingga membatasi pertumbuhan tulang baru dan
meningkatkan resorpsi tulang dengan cara peningkatan ekspresi
RANK-L oleh osteoblas (Chihara S,2010)
c. Diagnosis Osteomielitis

Pasien dapat menderita nyeri pada daerah yang terkena, eritema,


bengkak dan terdapat sinus. Demam biasanya tidak ditemukan pada
osteomielitiskronis (Patzakis dkk, 2005, Salomon dkk, 2010). Oleh
karena infeksi biasanya tenang, diperlukan kecurigaan yang tinggi
dalam diagnosis, terutama pada pasien dengan atrophic nonunion
setelah patah tulang terbuka atau fiksasi internal dari patah tulang
tertutup. Pada sekitar 0.2% hingga 1.6% pasien, sinus yang kronik
dapat berakhir pada metaplasia pada epitel traktus sinus, tranformasi
ganas dan pembentukan squamous cell carcinoma (Marjolin’s ulcer)
Osteomielitis multifokal kronis merupakan kondisi yang jarang
dengan penyebab yang belum diketahui. Gambaran klinis berupa lemas
yang memberat, nyeri local dan nyeri tekan pada tempat infeksi. Lesi
tulang dapat muncul berurutan dengan lokasi predominan pada
metafise tulang panjang, dapat juga melibatkan bagian medial
clavicula, korpus vertebra atau sendi sacroiliakus. Lesi tulang sering
berulang dan dapat simetris (Gomes D, Pereira:2013).
18

Laju endap darah dan C-reactive protein (CRP) merupakan tanda


dari proses inflamasi, baik disebabkan oleh infeksi maupun tidak.
Keduanya dapat meningkat sekitar 64% pada pasien osteomyelitis
kronis. Hitung sel darah putih (WBC) sering normal pada sebagian
besar pasien dengan osteomyelitis kronik atau infected nonunion.
Pemeriksaan x-ray dapat menunjukan daerah yang mencurigakan
terhadap infeksi, berupa resorpsi tulang, sequestrum, pembentukan
tulang baru pada periosteal atau endosteal dan iregularitas korteks. CT
scan menjelaskan tulang lebih detail, adanya sequestrum dan
perubahan kecil seperti erosi atau kerusakan korteks, reaksi periosteal
atau endosteal, dan fistula intraoseus. Magnetic resonance imaging
(MRI) dapat dipercaya untuk mendeteksi perubahan pada sum-sum
tulang akibat dari infeksi. Ini merupakan modalitas dengan sensitivitas
tinggi untuk menilai pasien dengan osteomielitis. Peningkatan cairan
sekunder karena edema atau hyperemia menunjukan penurunan sinyal
sum-sum tulang pada T1, dan peningkatan sinyal pada T2. Erdman dkk
menggunakan MRI untuk mengevaluasi 110 pasien yang dicurigai
menderita osteomyelitis dan mendapatkan sensitivitas sebesar 98% dan
spesifisitas sebesar 75%.
Standar baku untuk diagnosis infeksi yaitu mengisolasi patogen
dari kultur. Pengecatan Gram dapat juga membantu. Pemberian
antibiotik sebelumnya atau penanganan yang salah saat mengambil
spesimen dapat mengganggu pertumbuhan kuman. Kultur yang
diambil dari swab luka dan biopsi dengan jarum pada tempat infeksi
tidak cukup untuk menentukan patogen. Perry dkk melaporkan bahwa
swab luka dan biopsy jarum mengidentifikasi patogen yang sama
dengan pada specimen saat debridemen sebesar 62% dan 55% dari
pasien, secara berurutan.

d. Penatalaksanaan dan Pengobatan Osteomielitis


19

Tahap pertama: Debridemen, stabilisasi tulang dan terapi


antibiotik. Debridemen
Ahli bedah Perancis yang mempopulerkan istilah
“débridement,” yang artinya memotong jaringan yang kontraktur
disekitar luka. Saat ini istilah tersebut digunakan untuk prosedur yang
lebih ekstensif dari insisi dan eksisi jaringan yang rusak. Untuk
menentukan jaringan mana yang akan di eksisi, ahli bedah
mengidentifikasi otot yang masih hidup dengan bantuan 4 C:
contraction (kontraksi saat dijepit), consistency (tidak lunak), capillary
bleeding saat dipotong, dan color (warna merah, bukan pucat atau
gelap) (Khan AN:2017).
Tahap pertama dimulai dengan debridemen radikal terhadap
semua jaringan mati dan terinfeksi, termasuk kulit, jaringan lunak dan
tulang. Untuk memastikan semua fokus infeksi sudah dibuang,
debridemen dilakukan hingga berdarah, jaringan yang hidup harus
terdapat pada batas reseksi. Tulang yang hidup ditandai dengan titik-
titik perdarahan (paprika sign). Debridemen harus radikal dan tidak
dibatasi oleh kekhawatiran membuat defek tulang atau jaringan lunak
Tidak ada perbedaan bermakna dari angka kejadian infeksi
pada patah tulang terbuka yang dilakukan debridemen awal dan
terlambat berdasarkan waktu
Bila terdapat jaringan lunak yang sehat untuk menutup luka dan
pembentukan involucrum yang cukup, sequesterektomi,drainase,
debridemen jaringan nekrotik dan irigasi yang banyak harus
dikerjakan. Perhatian harus diberikan untuk tidak merusak jaringan
lunak diatas periosteum dan merusak involucrum. Periosteum
sebaiknya diinsisi secara longitudinal untuk membuang sequestrum.
Meninggalkan sequestrum di dalam involucrum tidak dianjurkan
karena dapat membentuk tempat pertumbuhan bakteri. Periosteum
harus dipertahankan dan dijahit membentuk struktur tubuler.
Imobilisasi sangat penting setelah operasi. Pemasangan gips dapat
membantu. Debridemen dengan pembedahan merupakan hal penting
20

dalam penanganan osteomielitis kronis selain antibiotic dan imobilisasi


pada anak-anak(Lew DP, Waldvogel:2004)
Debridemen agresif menggunakan high-speed, saline-cooled
burr diperlukan untuk membuang jaringan tulang yang nekrotik.
Osseous laser Doppler flowmetry dengan nilai lebih dari 100 mV
digunakan untuk meyakinkan tulang yang tersisa masih viabel, level
normal pada tulang kortikal adalah 100 mV (Swiontkowski dkk, 1999).
Infeksi kronik sulit ditangani dengan cara tanpa pembedahan.
Untuk mencegah kekambuhan, biofilm harus dieksisi dan luka harus di
revitalisasi. Luka yang hidup,bersih dan dapat dikendalikan sangat
diperlukan untuk keberhasilan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
termasuk kesehatan inang, ekstensi dari jaringan nekrotik, lokasi dari
infeksi, dan keterbatasan karena penyakit. Pemilihan pasien untuk
penyelamatan ekstremitas, amputasi ataupun paliatif diperlukan pada
factor tersebut.
Prosedur dari Lautenbach melibatkan debridemen,
intramedullary reaming dan pemasangan double-lumen tubes untuk
membuat sistem antibiotik lokal dan analisis ruangan untuk volume
dan kultur. Hasil akhir dari terapi saat irigasi menghasilkan kultur yang
bersih tiga kali berturut-turut disertai perbaikan pada darah dan
hilangnya ruangan kosong (Hashmi dkk, 2004).
Irigasi pada patah tulang terbuka tetap menjadi komponen yang
sangat penting dalam penanganan luka, dengan tujuan mengurangi
jumlah benda asing dan jaringan nekrotik serta jumlah bakteri,
sehingga dapat mengurangi angka kejadian infeksi. Penelitian pada
hewan menunjukan bahwa irigasi dengan tekanan yang tinggi dan
jumlah yang banyak lebih efektif untuk mengurangi bakteri dan debris
dibandingkan dengan tekanan yang rendah dan jumlah yang sedikit
(dengan syringe). Walaupun jumlah volume yang pasti tidak diketahui,
kebanyakan setuju cairan irigasi sebanyak 6 sampai 10 liter diperlukan
untuk irigasi patah tulang terbuka grade 2 atau 3.
Tahap dua : manajemen luka
21

Bergantung pada ekstensi dari infeksi, penundaan atau


penutupan luka primer dapat dikerjakan pada pasien dengan jaringan
lunak yang cukup. Debridemen ulang sering diperlukan. Dengan
adanya jaringan yang rusak, penutupan dapat dicapai dengan flap
lokalatau free flap, tergantung pada lokasi dan ekstensi defek jaringan
lunak .
Penutupan luka primer setelah debridemen yang cermat tidak
berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi, dapat mencegah
kontaminasi sekunder dan dapat mengurangi morbiditas, lama dirawat
dan biaya. Akan tetapi dapat berpotensi terjadinya clostridial
myonecrosis, yang dapat berakhir bukan hanya hilangnya ekstremitas
tetapi juga kehilangan nyawa (Sia IG, BerbariEF:2006)
Negative pressure wound therapy (NPWT) telah menjadi terapi
tambahan yang penting pada manajemen luka trauma dan insisi
pembedahan yang berhubungan dengan trauma musculoskeletal.
Mekanisme kerja NPWT termasuk stabilisasi lingkungan luka,
mengurangi edema, meningkatkan perfusi jaringan, dan stimulasi sel-
sel pada permukaan luka. NPWT menstimulasi jaringan granulasi dan
angiogenesis dapat mendukung penutupan primer dan mengurangi
kebutuhan untuk transfer jaringan. Sebagai tambahan, NPWT
mengurangi kontaminasi bakteri gram negative.
Tahap Tiga : Manajemen defek tulang dan fraktur nonunion
Bone Graft
Bone graft dari iliac crestdapat digunakan untuk
penanganan defek tulang hingga 6 cm. Bone graft dikerjakan bila
jaringan lunak penutup sudah sembuh, adanya flap yang viable dan
infeksi telah terkontrol, biasanya dalam 6 hingga 8 minggu setelah
transfer otot (Patzakis dkk, 2005).
Tulang cancellous mempunyai daya tahan yang lebih
dibandingkan dengan tulang kortikal, mungkin karena paling
terakhir terjadi gangguan vaskularisasi. Untuk vaskularisasi graft
diperlukan dasar graft yang baik vaskularisasinya.
22

e. Terapi Osteomielitis

Stabilisasi tulang
Stabilisasi tulang pada fraktur nonunion diperlukan untuk
kontrolinfeksi. Namun, dengan adanya fiksasi interna, mikroorganisme
dilindungi oleh biofilm yang melekat pada permukaan implan. Oleh
karena itu, keputusan untuk mempertahankan atau mengeluarkan
implant yang terinfeksi berbeda-beda untuk setiap pasien, bergantung
pada beberapa faktoryaitu status penyambungan tulang, stabilitas yang
disediakan oleh implant, lokasi fraktur, dan waktu sejak dilakukan
fiksasi fraktur.
Antibiotiklokal
Ruangan kosong yang terjadi akibat debridemen dapat diisi
oleh polymethylmethacrylate (PMMA) beads yang dikombinasi dengan
antibiotik, seperti tobramycin, vancomycin, atau antibiotik spesifik
lainnnya yang tahan panas dan tersedia dalam bentuk serbuk (Patzakis
dkk, 2005). Penggunaan PMMA beads dengan antibiotik lokal dapat
mengurangi insiden infeksi pada patah tulang terbuka yang berat. Bila
perlu, debridemen ulang dapat dilakukan setelah 24 hingga 48 jam
berdasarkan tingkat kontaminasi dan kerusakan jaringan lunak.
Konsentrasi antibiotik lokal yang tinggi dan rendahnya level
sistemik meningkatkan kerja terhadap patogen dan mengurangi efek
sistemik. Jumlah yang direkomendasikan per 40 g PMMA adalah 2.4
hingga 4.8 g tobramycin, dan vancomycin.Antibiotic-impregnated
beads digunakan bila terdapat ruangan kosong dan revisi akan
dikerjakan, seperti debridemen ulang, penutupan jaringan lunak dan
bone graft. Bila memungkinkan, defek dapat diisi dengan flap otot.
Selain itu, beads dapat digunakan sebagai pengisi dibawah flap hingga
digantikan oleh bone graft pada prosedur berikutnya.
Banyak antibiotik mempunyai penetrasi yang buruk ke dalam
tulang. Antibiotic beads, sebaliknya menyediakan konsentrasi
antibiotik lokalyang tinggi, tidak bergantung pada aliran darah ke
dalam tulang(Spiegel & Penny, 2005,DeCoster dkk, 2008).
23

Pada patah tulang tertutup, konsentrasi tinggi antibiotic dari


antibiotic-impregnated polymethylmethacrylate (PMMA) beads dapat
menghilangkan koloni biofilm. Lebih lanjut, antibiotic-impregnated
polymethylmethacrylate (PMMA) beads dapat mengisi ruangan kosong
(spacer effect). Setelah penyembuhan luka, depot dapat dibuang dan
dapat dilakukan rekonstruksi sebagai pembedahan yang bersih .
Beads menutupi ruangan kosong sehingga mencegah akumulasi
hematom yang dapat berpotensi sebagai tempat infeksi. Beads
antibiotik juga dapat mengurangi pembentukan jaringan parut pada
defek tulang. Bila infeksi menetap, debridemenulang, kultur dan
pergantian beads antibiotic dapat dikerjakan beberapa hari atau minggu
kemudian. Setelah infeksi telah terkontrol, beads dikeluarkan. Untuk
kasus non union, bone graftdapat ditempatkan pada daerah beads.
Antibiotik sistemik
Pemberian secara intravena biasanya diberikan selama 4
sampai 6 minggu dan dapat dikerjakan pada pasien rawat jalan.
Manajemen dengan periode yang lebih singkat dari terapi intravena
(hingga 1 minggu), diiikuti oleh antibiotikoral selama 6 minggu,
sukses dicatat pada 91% pasien.

Prosedur rekonstruksi khusus


Defek tulang >6 cm membutuhkan prosedur rekonstruksi
khusus, seperti vascularized bone grafts atau distraction
24

osteogenesis. Distraction osteogenesis berguna untuk rekonstruksi


defek tibia yang terinfeksi.
Alasan terjadinya angka kekambuhan yang tinggi adalah
(1) tidak adekuatnya debridemendalam membuang semua
sequestrum, (2) penurunan aliran darah secara primer atau
sekunder karena operasi menurunkan kapasitas penyembuhan dan
resistensi terhadap infeksi berulang, (3) jaringan parut atau sisa
ruangan mati sebagai tempat berkembangnya infeksi, dan (4)
adanya kombinasi infeksi bakteri aerobic dan anaerobik.
Waktu dilakukan intervensi pembedahan masih kontroversi.
Ada yang merekomendasikan sequesterektomi dini untuk eradikasi
infeksi dan memberikan lingkungan yang lebih baik untuk
periosteum, yang lain merekomendasikan untuk menunggu hingga
sudah terbentuk involucrum sebelum mengerjakan sequesterektomi
untuk mengurangi resiko komplikasi seperti fraktur, nonunion,
deformitas, dan kehilangan tulang. Untuk kehilangan tulang, dapat
dikerjakan bone graft atau bone transport (Ilizarovatau implan
yang lain)
Profesor Simpson dkk. di Edinburgh telah menghasilkan
informasi yang berguna untuk menilai efek eksisi terhadap tulang.
Mereka secara prospektif mempelajari, 50 pasien yang menderita
osteomyelitis kronis.Pasien dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
kelompok pertama: reseksi luas, dengan batas bersih 5 mmatau
lebih, kelompok ke duayaitu reseksi marginal dengan batas bersih
kurang dari 5 mm dan kelompok ke tiga yaitu intralesi, dengan cara
debulking daerah yang bermasalah
. Semua pasien mendapatkan antibiotik intravena selama
enam minggu, diikuti antibiotik oral selama enam minggu
berikutnya. Tidak ada pasien di kelompok satu yang mengalami
kekambuhan. Pada pasien dengan reseksi marginal, delapan dari 29
(28%) mengalami kekambuhan. Semua pasien yang dikerjakan
25

debulking mengalami kekambuhan dalam waktu setahun setelah


operasi. Eksisi yang cermat sangat diperlukan.
BAB III
KESIMPULAN

Rheumatoid arthritis lebih sering diderita oleh wanita, terutama yang


berusia antara 40 hingga 60 tahun, dan biasanya terjadi simetris pada sendi yang
sama di kedua sisi tubuh. Gejala rheumatoid arthritis terkadang bisa mirip dengan
penyakit lain, contohnya osteoarthritis dan polimialgia reumatik.

Osteomielitis, disebabkan oleh infeksi bakteri. Osteomielitis umumnya


terjadi pada pasien yang sedang menjalani terapi cuci darah atau mengidap
kondisi medis tertentu. Bakteri penyebab osteomielitis ini bisa masuk ke dalam
tulang lewat berbagai cara. Mulai dari lewat aliran darah setelah patah tulang,
rusaknya kulit, bisul, pneumonia, infeksi telinga bagian tengan, atau karena
infeksi lainnya

26
DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rheumatoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp. 2569 – 81.
Berdajs DA, Trampuz A, Ferrari E, Ruchat P, Hurni M, vonSegesser LK.
Delayed primary versus late secondary woundclosure in the t
reatment of postsurgical sternum osteomyelitis. Interact Cardiovasc
Thorac Surg. 2011;12(6):914-8

Brady RA, Leid JG, Costerton JW, Shirtliff ME. Osteomyelitis: overview and
mechanisms of infection persistence. Clin Microbiol Newsl.
2006;28(9):65-728

Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The


Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12.
Calhoun JH, Manring MM, Shirtliff M. Osteomyelitis of the long bones. Semin
Plast Surg. 2009;23(2):59–72.
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan
Pasien Non Koperatif. Academia Edu.
Chihara S, Segreti J. Osteomyelitis. Dis Mon. 2010;56(1):5-31

Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis


Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Gomes D, Pereira M, Bettencourt AF. Osteomyelitis: an overview of
antimicrobialtherapy.Braz J Pharm Sci. 2013;49: 13–27.
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839.
Khan AN(2017).Osteomyelitis chronicimaging.Medscape. https://
emedicine.medscape.com/article/393345-overview–DiaksesDesember
2018
Lazzarini L, Mader J, Calhoun J. Osteomyelitis in long bones.J Bone Joint Surg
Am.2004;86 (10):2305-18
Lew DP, Waldvogel FA. Osteomyelitis. Lancet. 2004;364(9431): 369-79

McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N


Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19.
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di
Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594.

27
28

Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi


Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan
Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
ISBN.
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And
Middle– Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of
Global Health, vol.5, no.1, pp.1-1.
Sia IG, BerbariEF. Infection and musculoskeletal conditions: osteomyelitis.
BestPract Res Clin Rheumatol. 2006; 20(6):1065-81.

Suarjana, I.N. (2009). Arhtritis Rheumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508.
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.
Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20.
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-
Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu
Wilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48.
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment,
GeoEpidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis,
Elsevier, doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019.
Walenkamp GH.Chronic osteomyelitis.Acta Orthop Scand.1997; 68 (5): 497-506.

Anda mungkin juga menyukai