Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

RHEUMATOID ARTHRITIS
Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Gizi Penyakit Degeneratif

Disusun Oleh:
Kelompok 9

Haslinda (21803052)
Putri Ayu Delima (21803071)
Raodatul Jannah (21803072)
Venska Metelda Lethulur (21803078)

Program Studi Kesehatan Masyarakat


Sekolah Tinggi Ilmu kesehatan Makassar
Tahun 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Rheumatoid Arthritis”.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen pengampu yang telah
memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini.

MAKASSAR, 25 JUNI 2021

KELOMPOK 9

i
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan masalah............................................................................... 2
C. Tujuan................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Rheumatoid Arthritis........................................................ 3


B. Klasifikasi........................................................................................... 4
C. Diagnosis............................................................................................ 4
D. Patofisiologi........................................................................................ 7
E. Gejala Rheumatoid Arthritis.............................................................. 10
F. Faktor risiko....................................................................................... 11
G. Pencegahan dan Penanggulangan....................................................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................... 16
B. Saran................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih
merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Banyak penyakit
degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun. Salah satu penyakit tersebut adalah
Rheumatoid Arthritis (RA) dimana proses patologi imunologinya terjadi
beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA
banyak terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses
patologi telah terjadi seiring peningkatan usia dan adanya berbagai faktor
risiko yang saling berkaitan
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang
berkaitan dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada
masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di
Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan
yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009)
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data
terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa
jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien.
Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi
penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci
jenis rematik secara detail.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yag di maksud dengan Rheumatoid Arthritis?
2. Bagaimana Klasifikasi Rheumatoid Arthritis?
3. Bagaimana cara mendiagnosis Rheumatoid Arthritis?
4. Bagaimana Patofisiologi Rheumatoid Arthritis?
5. Apa saja gejala Rheumatoid Arthritis?
6. Apa saja Faktor risiko Rheumatoid Arthritis?
7. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan Rheumatoid Arthritis?

8. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Rheumatoid Arthritis
2. Untuk mengetahui Klasifikasi Rheumatoid Arthritis
3. Untuk mengetahui cara mendiagnosis Rheumatoid Arthritis
4. Untuk mengetahui Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
5. Untuk mengetahui gejala Rheumatoid Arthritis
6. Untuk mengetahui Faktor risiko Rheumatoid Arthritis
7. Untuk mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan Rheumatoid
Arthritis

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Rheumatoid Arthritis
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi,
dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang
pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun
dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan,
sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan
pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan
struktur di sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari
penyakit reumatik adalah Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009).
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan
inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat
melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai
gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan
peradangan kronis pada sendi. Penyakit autoimun adalah penyakit yang
terjadi ketika jaringan-jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri
yang keliru (Aletaha et al., 2010).
Penyakit rheumatoid arthritis sering menyebabkan kerusakan sendi,
kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga
memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif
sehingga apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan
menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan
kematian.

3
B. Klasifikasi
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe yaitu:
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 3 bulan.
C. Diagnosis
Diagnosis Rheumatoid Arthritis memerlukan sejumlah tes untuk
meningkatkan kepastiandiagnosis, membedakannya dengan bentuk artritis
yang lain,memprediksi perkembangan penyakit pasien, serta
melakukanmonitoring untuk mengetahui perkembangan penyakit yaitu:
1. Laju endap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan
adanya proses inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah
untuk RA. Tes ini berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan
responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2009).
2. Tes RF (Rheumatoid Factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin
mengindikasikan penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu).
Pada beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RF (negatif palsu). RhF
ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien RA. Level RF jika
dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat menunjukkan
tingkat keparahan penyakit (NHMRC, 2009).

4
3. Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes untuk
mendiagnosis rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa tes tersebut memiliki sensitivitas yang mirip dengan
tes RF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih tinggi dan merupakan
prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit yang erosif
(NHMRC, 2009).
4. Analisis cairan sinovial. Peradangan yang mengarah pada rheumatoid
arthritis ditandai dengan cairan sinovial abnormal dalam hal kualitas dan
jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari
sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda
peradangannya (Shiel, 2011).
5. X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi adanya
erosi dan memprediksi perkembangan penyakit dan untuk membedakan
dengan jenis artritis yang lain, seperti osteoartritis (Shiel, 2011). 9
http://repository.unimus.ac.id 6. Scan tulang. Tes ini dapat digunakan
untuk mendeteksi adanya inflamasi pada tulang (Shiel, 2011)
Diagnosis RA di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism
2010 yaitu

No score
1 Keterlibatan sendi
1 sendi besar 0
2-1o sendi besar 1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 2
4-10 sendi keci (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3
Lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 5

2 Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)


RF dan ACPA negative 0
RF dan ACPA positif rendah 2
RF dan ACPA positif tinggi 3

5
3 Reaktan Fase akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk
klasifikasi)
LED dan CRP normal 0
LED dan CRP abnormal 1

4 Lamanya sakit
Kurang 6 minggu 0
6 minggu atau lebih 1

Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru. Disamping itu,
pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit
yang cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai AR.
Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai
RA, kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat
terpenuhi seiring berjalannya waktu
Untuk mendeteksi rheumatoid arthritis, dokter akan menanyakan seputar
keluhan yang dirasakan dan penyakit yang pernah dialami, serta melakukan
pemeriksaan fisik pada penderita. Pemeriksaan tersebut terutama untuk
melihat tanda peradangan dan perubahan bentuk sendi.
Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan yang meliputi:
1. Tes darah
Tes ini dilakukan untuk melihat adanya peradangan dalam tubuh, misalnya
dengan tes laju endah darah atau CRP, dan munculnya antibodi akibat
kelainan sistem kekebalan tubuh.
2. Tes pemindaian
Tes ini dilakukan untuk melihat kondisi sendi, guna menilai keparahan
dari peradangan atau kerusakan pada Pemindaian dapat dilakukan dengan
foto Rontgen, CT scan atau MRI.

Dari keseluruhan pemeriksaan tersebut, barulah dokter akan menentukan


penyakit yang diderita, guna menentukan penanganan yang tepat

6
D. Patofisiologi
Pada penyakit rheumatoid artritis, tanpa sebab yang jelas, sistem
pertahanan tubuh (sistem imunitas tubuh) menganggap membran sinovial di
sendi sebagai ‘benda yang asing’ bagi tubuh sehingga harus dilawan. Hal
inilah yang menyebabkan sendi-sendi mengalami peradangan. Terjadi
pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal,
sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun). Dikatakan terjadi berbagai
peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta
peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator
keradangan. Semua peran ini, satu sama lainnya saling terkait dan pada
akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi
disekitarnya atau mungkin organ lainnya
Rheumatoid arthritis akibat reaksi autoimun dalam jaringan sinovial yang
melibatkan proses fagositosis. Dalam prosesnya, dihasilkan enzim-enzim
dalam sendi. Enzim-enzim tersebut selanjutnya akan memecah kolagen
sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya terjadi
pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan
sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan merasakan nyeri akibat
serabut otot mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya
kemampuan elastisitas pada otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer &
Bare, 2002). Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan,
ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran
oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan
granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
Patofisiologi rheumatoid arthritis ditandai dengan adanya peradangan dan
hiperplasia sinovial, produksi autoantibodi (faktor rheumatoid dan antibodi
protein anti-citrullinated [ACPA]), serta kerusakan tulang dan/atau tulang
rawan serta tampilan sistemik yang dapat menimbulkan gangguan

7
kardiovaskular, paru, psikologis, dan skeletal. Penyebab pasti dari keadaan ini
masih belum diketahui namun RA melibatkan interaksi yang kompleks antara
faktor genetik, faktor lingkungan, dan beberapa faktor predisposisi.
Pada patofisiologi rheumatoid arthritis, terjadi migrasi sel inflamasi yang
dipicu oleh aktivasi endotel pada pembuluh darah mikro sinovial yang
meningkatkan ekspresi molekul adhesi (termasuk integrin, selektif, dan
anggota superfamili imunoglobulin) dan kemokin serta menimbulkan
proliferasi leukosit pada kompartemen sinovial.
Keadaan ini sebagian besar melibatkan sistem imun adaptif dan
dimediasi oleh sel T-helper tipe 1 (Th-1). Terjadi aktivasi makrofag oleh
sitokin Th-1, seperti interferon-g (IFN-g), interleukin 12 (IL-12), dan IL-18,
yang menyebabkan aktivasi sel T oleh antigen presenting cells. Makrofag
juga dapat diaktivasi melalui kontak langsung dengan sel T, kompleks imun,
atau produk bakterial di cairan sinovial. Aktivasi makrofag ini melepaskan
beberapa sitokin dan mediator inflamasi seperti interleukin, faktor nekrosis
tumor (TNF), transforming growth factor-β (TGF-β), fibroblast growth
factor (FGF), platelet-derived growth factor (PDGF), dan interferon (IFN-α
dan IFN-β).
1. Respon Jaringan Mesenkimal
Pada keadaan normal, sinovium terdiri dari sel sinovial seperti
fibroblas yang berasal dari jaringan mesenkimal (FLS; fibroblast-like
synoviocytes). Pada RA, terjadi semi-otonomi regulasi FLS dengan
perluasan lapisan membran, tingginya ekspresi sitokin dan kemokin
terkait, molekul adhesi, matriks metalloproteinase (MMP), dan tissue
inhibitors of metalloproteinases (TIMP). Keadaan ini menyebabkan
destruksi kartilago di area tersebut, memperpanjang inflamasi sinovial dan
menimbulkan kondisi yang kondusif dalam pertahanan sel T, sel B, dan
sistem imun adaptif.
Perubahan lingkungan mikrosinovial diikuti dengan reorganisasi
arsitektural sinovial yang mendalam dan aktivasi fibroblas lokal
menyebabkan penumpukan jaringan inflamasi sinovial pada rheumatoid

8
arthritis. Terjadi hiperplasia sinovium yang terasa sebagai pembengkakan
di sekitar sendi yang kemudian menyebar dari daerah sendi ke permukaan
tulang rawan. Penyebaran ini menyebabkan kerusakan pada sinovium dan
tulang rawan serta menghalangi masuknya gizi ke dalam sendi sehingga
tulang rawan menjadi menipis dan nekrosis.
Interaksi berkesinambungan antara sel dendritik, sel B, dan sel T
utamanya terjadi di kelenjar getah bening dan menimbulkan respon
autoimum terhadap protein yang mengandung sitrulin. Umpan balik positif
yang dimediasi oleh interaksi antara leukosit, fibroblas sinovial, kondrosit,
osteoklas, dan produk destruksi serta ketidakseimbangan antara sitokin
pro- dan anti-inflamasi menimbulkan kronisitas dalam perjalanan penyakit
rheumatoid arthritis.
Perkembangan perjalanan rheumatoid arthritis terbagi dalam lima
fase, yaitu:
a. Fase I: interaksi antara faktor genetika dan lingkungan
b. Fase II: produksi autoantibodi, seperti RF dan anti-CCP
c. Fase III: gejala arthralgia dan kekakuan sendi tanpa disertai bukti
klinis arthritis
d. Fase IV: artritis pada satu atau dua sendi, yang dapat bersifat intermiten
dan disebut sebagai palindromic rheumatism
e. Fase V: timbulnya tampilan klasik RA [4]

Peningkatan reaktan fase akut sebagai akibat dari proses inflamasi


merupakan faktor risiko independen kardiovaskular melalui peningkatan
aktivasi endothelial dan menjadikan plak ateromatosa tidak stabil. Sitokin
juga menyebabkan resistensi insulin pada otot dan jaringan adiposa pada
sindrom ‘metabolik inflamatori’.
2. Perubahan Sistemik Rheumatoid Arthritis
Selain itu, perubahan sistemik lainnya yang berkaitan dengan
peningkatan aktivitas inflamasi pada rheumatoid arthritis dapat terjadi
pada:

9
a. Sistem serebrovaskular: penurunan fungsi kognitif
b. Sistem hepatika: peningkatan respon fase akut dan penyakit anemia
kronis
c. Sistem pernapasan: radang dan penyakit fibrotik pada paru
d. Sistem endokrin: sindrom Sjogren sekunder
e. Sistem muskuloskeletal: sarkopenia dan osteoporosis pada tulang aksial
dan apendikular
f. Sistem limfatik: limfoma [3,4]
E. Gejala Rheumatoid Arthritis
Ada beberapa keluhan pada sendi yang dirasakan oleh penderita, antara lain:
1. Nyeri sendi
2. Sendi bengkak
3. Sendi kemerahan,   terasa hangat atau kaku  (terutama pada pagi hari atau
setelah lama tidak digerakkan)

Keluhan pada sendi ini biasanya berawal dari sendi di kaki, sehingga dapat
menimbulkan keluhan:
1. Nyeri pada pergelangan kaki saat berjalan di tanjakan.
2. Nyeri pada tumit dan tulang kering saat berjalan di atas tanah yang tidak
rata.
3. Perubahan bentuk telapak kaki sehingga sulit memakai sepatu, serta
bentuk jari kuku dan kuku kaki.

Rheumatoid arthritis merupakan peradangan yang bersifat kronis atau


jangka panjang, dan dapat kambuh kembali setelah menghilang selama
beberapa saat. Selain gejala pada sendi, penderita rheumatoid arthritis juga
dapat merasakan gejala di bagian tubuh yang lain, yaitu pada mata
berupa mata kering, serta pada jantung dan paru-paru berupa nyeri dada

10
F. Faktor risiko Rheumatoid Arthritis
Meskipun penyebab utama dari rheumatoid arthritis belum diketahui,
tetapi para peneliti yakin ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
penyakit ini. Memiliki satu atau lebih faktor risiko belum tentu Anda akan
pasti terkena penyakit ini. Di sisi lain, tidak memiliki faktor risiko ini pun
belum pasti Anda terbebas dari rematik.
Sebagai referensi, berikut beberapa faktor risiko yang kemungkinan bisa
menjadi penyebab penyakit rematik atau rheumatoid arthritis:
1. Pertambahan usia
Rheumatoid arthritis adalah penyakit yang dapat terjadi pada usia
berapapun, baik orang dewasa, lansia, remaja, maupun anak-anak. Namun,
rematik lebih sering ditemukan pada orang dewasa antara usia 20-50
tahun. Oleh karena itu, orang dewasa pada usia paruh baya lebih berisiko
terkena rematik dibandingkan golongan usia lainnya.
2. Jenis kelamin wanita
Wanita disebut lebih berisiko hingga dua atau tiga kali lipat terkena
rematik dibandingkan pria. Meski belum diketahui secara pasti, para
peneliti meyakini hal ini bisa terjadi karena efek dari hormon estrogen,
yang dikenal sebagai hormon wanita.
Sementara itu, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pun
menyebut, wanita yang belum pernah melahirkan mungkin berisiko lebih
besar terkena rematik. Adapun, wanita yang sudah memiliki RA umumnya
mengalami remisi atau penyakitnya mereda ketika hamil dan menyusui.
Risiko terjadinya rematik juga disebut meningkat pada wanita
pascamenopause. Wanita golongan ini bahkan disebut mengalami
peningkatan risiko hingga dua kali lipat untuk mengembangkan rematik.
3. Riwayat keluarga atau faktor genetic
Riwayat keluarga atau genetik merupakan faktor lainnya yang bisa
menjadi penyebab rematik. Dengan kata lain, jika anggota keluarga Anda

11
memiliki rheumatoid arthritis, Anda lebih berisiko mengalami penyakit
yang sama pada masa mendatang.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa hal ini disebabkan karena ada gen
tertentu pada seseorang yang dapat meningkatkan risiko rematik. Gen
tersebut adalah HLA (human leukocyte antigen), terutama gen HLA-
DRB1. Gen ini berperan untuk membedakan antara protein tubuh dengan
protein organisme yang menginfeksi tubuh.
Selain itu, ada pula gen-gen lainnya yang berperan walau tidak begitu
signifikan, seperti STAT4, TRAF1 dan C5, serta PTPN22. Gen-gen yang
bisa menjadi penyebab rematik ini mungkin dapat diturunkan atau
diwariskan di garis keluarga. Namun, bukan berarti gen tersebut akan
menimbulkan penyakit yang sama setelah diturunkan.
Selain itu, tidak semua orang yang mengalami RA memiliki gen-gen
ini. Begitu juga sebaliknya, tidak semua orang dengan gen ini pasti akan
terkena RA pada masa mendatang. Umumnya, RA lebih mungkin muncul
karena ada pemicu lainnya, seperti obesitas atau faktor lingkungan.
Gen-gen terkait dengan rheumatoid arthritis di atas pun umumnya
berperan dalam penyakit autoimun lainnya, termasuk diabetes tipe 1. Oleh
karena itu, seseorang yang memiliki diabetes tipe 1 pun berisiko
mengalami rematik.
4. Berat badan berlebih atau obesitas
Memiliki berat badan berlebih atau obesitas dapat meningkatkan risiko
seseorang terkena rheumatoid arthritis. Bahkan, penelitian menunjukkan,
semakin berlebih berat badan Anda, semakin tinggi pula risiko Anda
terkena rematik.
Pasalnya, jaringan lemak yang berlebih akan melepaskan sitokin, yaitu
protein yang dapat menyebabkan peradangan di seluruh tubuh. Adapun ini
merupakan protein yang sama yang diproduksi oleh jaringan sendi pada
penderita RA.
5. Kebiasaan merokok

12
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat menjadi faktor
penyebab sakit rematik atau rheumatoid arthritis pada seseorang. Bahkan,
penderita rematik yang masih merokok lebih berisiko mengalami
peradangan di bagian lain dari tubuh daripada mereka yang tidak merokok.
Alasan pasti terkait hal ini memang tidak sepenuhnya dipahami.
Namun, para peneliti menduga merokok dapat memicu kerusakan fungsi
sistem kekebalan, terutama pada orang yang memiliki genetik terkait
dengan rematik.
6. Paparan asap rokok atau zat kimia
Paparan lingkungan merupakan salah satu faktor risiko yang disebut
bisa menjadi penyebab penyakit rematik, seperti asap rokok atau zat asbes
dan debu silika. Anak kecil yang terpapar asap rokok disebut memiliki
risiko dua kali lipat terkena rematik saat dewasa nanti.
G. Pencegahan dan Penanggulangan Rheumatoid Arthritis
1. Pencegahan Rheumatoid Arthritis
Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Olahraga teratur dan ringan untuk menjaga fleksibilitas sendi. Pilihan
olahraga yang baik untuk pengidap arthritis adalah berenang karena
tidak memberikan tekanan pada sendi.
b. Hindari melakukan aktivitas berlebihan dan terus-menerus, yang
melibatkan persendian.
c. Makan makanan yang kaya antioksidan untuh mencegah dan
mengurangi peradangan sendi. Atau mengkonsumsi makanan kaya
kalsium selain itu vitamin A,C,D,E juga sebagai antioksidan yang
mampu memecah inflamasi akibat radikal bebas
d. Pertahankan diet yang sehat dan jaga berat badan ideal untuk
mengurangi risiko timbulnya arthritis dan mengurangi gejala pada
pengidapnya.
e. Membiasakan berjemur dibawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA

13
f. Upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak
menjadi perikok aktif dan pasif
g. memenuhi kebutuhan air tubuh
2. Penanggulangan Rheumatoid Arthritis
Pengobatan rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi rasa
nyeri dan peradangan, sekaligus mencegah kerusakan sendi lebih lanjut.
Berikut ini adalah beberapa metode pengobatan yang dapat dilakukan
untuk menangani rheumatoid arthritis.
a. Penanganan mandiri
Penanganan yang dapat dilakukan di rumah untuk mengurangi gejala
rheumatoid arthritis adalah:
1) Membatasi aktifitas kerja
2) Mengompres area yang nyeri dengan es yang dibalut kain selama 20
menit
3) Menggunakan sepatu sol khusus
4) Mengkonsumsi makanan yang mengandung omega 3
5) Mengkonsumsi maknan kaya antioksidan
6) Melibatkan herbal yang bisa sebagai obat rematik alami
dimanfaatkan seperti kunyit, bawang putih
b. Obat-obatan
Dokter akan memberikan obat-obatan untuk meredakan gejala,
menghambat perkembangan penyakit, sekaligus mencegah kerusakan
sendi. Obat yang dapat diberikan antara lain:
1) Obat antirematik (disease-modifying antirheumatic drugs)
Contoh obat ini antara lain methotrexate, hydroxylchloroquine,
leflunomide, sulfasalazine, adalimumab, etanercept, atau infliximab.
2) Obat antiinflamasi nonsteroid Contoh obat jenis ini adalah
meloxicam, diclofenac  ibuprofen, dan etodolac.
3) Obat kortikosteroid Contoh obat ini adalah prednisone dan
methylprednisolone
c. Terapi khusus untuk rheumatoid arthritis 

14
Di samping pemberian obat, terapi khusus juga bisa dilakukan untuk
menjaga kelenturan sendi, sehingga penderita dapat kembali menjalani
aktivitas. Terapi khusus ini berupa:
1) Fisioterapi
Terapi ini dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot dan
fleksibilitas sendi.
2) Terapi okupasi
Terapi ini diberikan untuk membantu penderita menjalani aktivitas
sehari-hari.
d. Operasi
Jika sudah terjadi kerusakan sendi, dokter ortopedi dapat melakukan
operasi untuk mengembalikan kemampuan sendi dalam melakukan
aktivitas. Operasi yang dilakukan dapat berupa:
1) Operasi perbaikan tendon
Operasi ini dilakukan untuk memperbaiki tendon yang putus atau
mengendur
2) Sinovektomi
Operasi ini dilakukan dengan mengangkat lapisan sendi yang
mengalami peradangan.
3) Penggantian sendi total
Operasi ini mengangkat bagian sendi yang rusak dan menggantinya
dengan sendi buatan dari bahan logam atau plastik.
4) Operasi penggabungan sendi
Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat jaringan yang rusak dan
menyambungkan kembali dengan pen. Bila perlu, tulang penderita
yang sudah rusak ditambahkan dengan tulang dari bagian tubuh
lain.

Beberapa operasi dapat dilakukan dengan teknik sayatan kecil (sebesar


lubang kunci) yang dinamakan artroskopi. Teknik operasi ini
menggunakan alat khusus berbentuk selang panjang dengan kamera di

15
ujungnya. Walaupun ada beragam metode pengobatan untuk rheumatoid
arthritis, belum ada obat yang dapat menyembuhkan rheumatoid arthritis.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan
peradangan kronis pada sendi. Penyakit autoimun adalah penyakit yang
terjadi ketika jaringan-jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri
yang keliru. Pada penyakit rheumatoid artritis, tanpa sebab yang jelas, sistem
pertahanan tubuh (sistem imunitas tubuh) menganggap membran sinovial di
sendi sebagai ‘benda yang asing’ bagi tubuh sehingga harus dilawan. Hal
inilah yang menyebabkan sendi-sendi mengalami peradangan.
Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi
abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun). Dengan gejala
seperti sendi terasa kaku pada pagi hari dan kekakuan pada daerah lutut,
bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat
bengkak setelah beberapa bulan.
Faktor risiko penyakit ini terbagi menjadi dua yaitu tidak dapat
dimodifikasi seperti faktor genetik, jenis kelamin, dan umur sedangkan yang
dapat dimodifikasi seperti gaya hidup, faktor hormonal dan bentuk tubuh,
adapun pencegahan yang dapat dilakukan dengan rajin berolahraga, tidak
menjadi perokok aktif maupun pasif, mengkonsumsi makanan yang kaya
akan kalsium dan vitamin, membiasakan berjemur dibawah sinar matahari,
melakukan peregangan dan menjaga asupan air
B. Saran
Arthritis rheumatoid dapat menyerang segala usia maka penangana penyakit
ini diupayakan secara maksimal dengan peningkatan mutu pelayanan
kesehatan baik melalui tenaga kesehatan, prasarana dan sarana kesehatan.

16
17
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha, D., Neogi, T., Silman, A. J., et al. (2010). Rheumatoid Arthritis
Classification Criteria. An American College of Rheumatology/European
League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis &
Rheumatism, 62(9), 2569-81. doi: 10.1002/art.27584
Chabib, Lutfi. Dkk. (2016). Review Rheumatoid Arthritis : Terapi
Farmakologi, Potensi Kurkumin, dan Analognya, serta Pengembangan Sistem
Nanopartikel. Jurnal Pharmascience. 1.

Diagnosis dan Pengelolaan ARTRITIS REUMATOID. Perhimpunan


Reumatologi Indonesia. 2014. FKUI/RSCM Jakarta Pusat

Febriana. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid


Arhritis Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Naskah
Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta , 1-15.

Masyeni, K. (2018). RHEUMATOID ARTHRITIS. (Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana 2018)

McInnes IB, Schett G (2011). Mechanisms of disease: The pathogenesis of


rheumatoid arthritis. Journal of Medicine: 2205-2219.

Suarjana I.N., 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, Interna
Publishing, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai