Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

REMATHOID ARTRITIS ( RA )
Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas KMB 3 yang di ampu oleh “Ns. Aoladul
Muqarrobin,S.Kep.,M.Kep”

Di Susun Oleh Kelompok 1 :


1. Mariadah
2. M. Rizwan Ayogi
3. M. Rafi Akbar
4. M. Mughiyatsyah
5. M. Hidayat Akbar
6. M. Adrian Saputra
7. Maulana Hari Sopyan
8. M. Azmi Jayadin
9. M. Zaini
10. M. Syahid Abdullah
11. M. Ihza Fahlifi

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDDIN
2023

1
KATA PENGANTAR

Puja beserta puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat, karunia, serta nikmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas kelompok
makalah RHEMATOID ARTRITIS (RA) ini. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan keharibaan junjungan alam Nabi Muhammad SAW, karena berkat perjuangan
Beliau kita dapat merasakan nikmatnya Islam dan Ihsan.

Makalah RHEMATOID ARTRITIS (RA) disusun sebagai syarat mengikuti


pembelajaran Mata Kuliah KMB 3 pada Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas
Kesehatan, Universitas Qamarul Huda Badaruddin.

Kami selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini belum bisa dikatakan
sempurna. Untuk itu, saya dengan sangat terbuka menerima kritik dan saran dari para
pembaca sekalian. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
KATA PENGANTAR..............................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................7
1. Definisi RA....................................................................................................7
2. Etiologi RA....................................................................................................7
3. Fatofisiologi RA.............................................................................................8
4. Tanda dan gejala RA......................................................................................11
5. Pemeriksaan penunjang RA...........................................................................12
6. Komplikasi RA...............................................................................................12
7. Penatalaksanaan RA.......................................................................................13
8. Askep RA.......................................................................................................14
BAB III PENUTUP..................................................................................................17
A. Kesimpulan....................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................18

BAB I

3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di
sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah
Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun
dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan
pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan
susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima,
Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di
dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA
untuk negara dengan pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di
Asia Tenggara sebesar 0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan
Amerika sebesar 1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan
Wanita yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan
12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta
laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali
memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak
diperinci jenis rematik secara detail. Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara
pasti, namun banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA.
Diantaranya adalah genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi,
factor hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan,
dan urbanisasi (Tobon et al,2009). Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan
fluktuatif sehingga apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan
menyebabkan kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian.
Menurut Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara
medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan

4
hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai
parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat
kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan
sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak
penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak
terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan. Banyak upaya
yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan pengobatan secara
cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya dengan melakukan deteksi dini
pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan
dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria ARA (American
Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of
Rheumatology) yang direvisi tahun 2010
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari RA
2. Bagaimana etiologic RA
3. Bagaimana klasifikasi RA
4. Bagaimana patofisiologi dari RA
5. Apa saja tanda dan gejala RA
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari RA
7. Apa saja komplikasi dari RA
8. Bagaimana penatalaksanaan dari RA
9. Bagaimana asuhan keperawatan dari RA
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari RA
2. Mengetahui etiologic RA
3. Mengetahui klasifikasi RA
4. Mengetahui patofisiologi dari RA
5. Mengetahui tanda dan gejala RA

5
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari RA
7. Mengetahui komplikasi dari RA
8. Mengetahui penatalaksanaan dari RA
9. Mengetahui asuhan keperawatan dari RA

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Rheumatodoid Arthris merupakan penyakit sendi atau radang pada sendi yang di
sebabkan oleh autoimun, biasnya akan timbul nyeri pada sendi seperti, : lutut,, tangan,
maupun jari-jari (Supianto, 2019). Menurut Bawarodi (2019) Rheumatoid Arthritis
merupakan penyakit peradangan pada sendi yang mengalami pembengkakka, nyeri dan
akhirnya menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi. Penderita Rheutoid Arthritis
menurutWord Health Organisation (Word Health Organisation, 2016 ) 335 juta penduduk
dunia yang mengalami Rheumatoid Arthritis . Setiap 6 orang di dunia satu di antaranya
adalah penderita Rheumatoid Arthritis, dan RA telah berkembang menyerang 2,5 juta warga
eropa yaitu sekitar 75 % diantaranya adalah Wanita dan kemungkinan akan mengurangi
harapan hidup mereka sampai 10 tahun. Bukan hanya eropa, menurut Arthritis foundation
(2017), sebanyak 22% orang dewasa di Amerika Serikat berusia 18 tahun atau lebih di
diagnosa menderita arthritissss. Data RISKESDES Indonesia tahun 2018 jumlah penderita
Arthritis di Indonesia mencapai 7,30%
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan
gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering
sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

B. Etiologi
Penyebab rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal
mengenai patogenesisnya telah terungkap. Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan
telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk
menderita rheumatoid arthritis dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang
hamil menimbulkan dugaan
terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap penyakit ini. Walaupun demikian karena pembenaran hormon esterogen eksternal
tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum
berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini
(Aspiani, 2014).

7
Infeksi telah diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis. Dugaan factor infeksi
timbul karena umumnya omset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan
disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil
dilakukan isolasi suatu organisme dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan
kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin
mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya rheumatoid arthritis. Agen infeksius
yang diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis Antara lain bakteri, mikoplasma atau
virus (Aspiani, 2014). Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya factor
genetik yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit beberapa penyakit virus, seperi
infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock Protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran
sedang yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap stress. Walaupun
telah diketahui terdapa hubungan antara Heat Shock Protein dan sel T pada pasien
Rheumatoid arthritis namun mekanisme hubungan ini belum diketahui dengan jelas.

C. Patofisiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit
autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin,
keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal
RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor
pencetus. Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan
reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, 7 mungkin infeksi
virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibody terhadap antibodi abnormal,
sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya
masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain
peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan
berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada
akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau
mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin
berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh
monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast
sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan,

8
enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013). monosit atau makrofag
menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas,
kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix
metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan
laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah
antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap
antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-
CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan
terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan
sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal
ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin
yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui
pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi
diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran
sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi
yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel
radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh
sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan
protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta
mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary-adrenalaxis, sehingga menyebabkan
kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah
sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah
oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan
terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili.
Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual
bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena,
penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi
kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat

9
dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat
jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).

Pathway

Umur Jenis genetik Aktivitas Kegemukan


kelamin

Kerusakan tulang local, Pembentukan tulang baru


tulang rawan sendi yang pada tulang rawan, sendi
progresif dan tepi sendi

Perubahan metabolisme tulang

Peningkatan aktivitas enzim yang merusak makro


molekul Matrika tulang rawan sendi

Penurunan kadar protoeglikan

Perubahan sifat kolagen

Berkurangnya kadar air pada tulang


rawan sendi

Permukaan tulang sendi terbelah


pecah dan terjadi robekan

Timbul laserasi

10
Rematik

D. Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering
pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa
keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun,
peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut
dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu
sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan
sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit: nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung: kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40%
pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
 Paru: kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan
pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
 Saraf: berupa sindrom multiple neuritis akibat vasculitis yang sering terjadi
berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or
wrist drop
 Mata: terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan
mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
 Kelenjarlimfe: sindrom felty adalah RA dengan spleenomegali,
limpadenopati nanemia,trombositopeni, dan neutropeni

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)
meningkat

11
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c.Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam
diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan
sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya
penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi

G. Komplikasi
Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain
dari tubuh selain sendi. Menurut (Aspiani, 2014) rheumatoid arthritis dapat menimbulkan
komplikasi pada bagian lain dari tubuh :
a. Sistem respiratori
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada rheumatoid
arthritis. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan,
nyeri menelan, atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Pada
rheumatoid arthritis yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru
yang luas (Aspiani, 2014).
b. Sistem kardiovaskuler
Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada rheumatoid arthritis jarang dijumpai
gejala perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan faal jantung. Akan tetapi pada
beberapa pasien dapat juga dijumpai gejala perikarditis yang berat. Lesi inflamatif
yang menyerupai nodul rheumatoid dapat dijumpai miokardium dan katup jantung.
Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan
konduksi, aortitis dan kardiomiopati (Aspiani, 2014).
c. Sistem gastrointestinal
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptic
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying
antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan
mortalitas utama pada rheumatoid arthritis (Aspiani, 2014).
d. Sistem persarafan

12
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai rheumatoid arthritis umumnya tidak
memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi
neurologis akibat lesi artikular dari lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi
neurologis pada umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas
vertebre, servikal, neuropai jepitan atau neuropati iskemik akibat
vasculitis (Aspiani, 2014).
e. Sistem perkemihan : ginjal
Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik pada rheumatoid arthritis jarang sekali
dijumpai kelainan glomelural. Jika pada pasien rheumatoid arthritis dijumpai
proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena efek samping
pengobatan seperi garam emas dan D-penisilamin atau erjadi sekunder akibat
amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial dapat dijumpai pada syndrome
sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan penggunaan
OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan
nekrosis papilar ginjal (Aspiani, 2014).
f. Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit
normosistik-normokromik (hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi
serum yang rendah serta kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah
merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada rheumatoid arthritis.
Enemia akibat penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia defisiensi besi yang
juga dapat dijumpai pada rheumatoid arthritis akibat penggunaan OAINS atau
DMARD yang menyebabkan erosi mukosa lambung (Aspiani, 2014).

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan
adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan
mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.NSAID yang
dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak,
dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi
dan tulang dari proses destruksi.

13
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi
oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin,
metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD
dapat diberikan tunggal maupun kombinasi (Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai
“bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambal menunggu efek
DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui 15 pemakaian tongkat,
pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai
dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka
dapat diperti mbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya
sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta,
2014)

i. Asuhan Keperawata
1. Diagnosa keperawatan
 Nyeri kronis b.d kondisi muskuluskuletal kronis (D.0078)
No Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1. Tingkat nyeri menurun (L.08066) a. Menejemen nyeri (I.08238)
dengan KH:  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
1. Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Meringis menurun  Identifikasi skala nyeri
3. Sikap protektif menurun  Indentifikasi skala nyeri
4. Gelisah dan kesulitan tidur  Identifikasi respon nyeri non verbal
menurun  Identifikasi factor yang memperberat
5. Anoreksea, mual, muntah dan memperingan nyeri

14
menurun  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
6. Ketegangan otot dan pupil tentang nyeri
dilatasi menurun  Identifikasi pengaruh budaya terhadap
7. Pola nafas dan tekanan respon nyeri
darah membaik  Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan
analgetic
 Berikan Teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
 Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan,kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
 jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
 jelaskan strategi meredakan nyeri
 anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
 anjurkan menggunakan analgetic secara
tepat
 ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi sara nyeri
 kolaborasi pemberian analgetic jika
perlu
15
 Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri dan kekakuan sendi (D.0054)
No Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1. Mobilitas fisik meningkat Dukungan ambulasi (I.06171)
(L.05042) dengan KH:  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
1. Pergerakan ekstremitas fisik lainnya
meningkat  Identifikasi toleransi fisik melakukan
2. Kekuatan otot meningkat ambulasi
3. Rentang gerak (ROM)  Monitor frekuensi jantung dan tekanan
meningkat darah sebelum memulai ambulasi
4. Gerakan tidak  Monitor kondisi umum selama
terkoordinasi menurun melakukan ambulasi
5. Gerakan terbatas menurun  Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat
6. Kelemahan fisik menurun bantu seperti tongkat, dan kruk
 Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
jika perlu
 Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan seperti berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda, berjalan dari tempat
tidur ke kamar mandi, sesuai toleransi

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi
kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan
sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta
destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian
prematur. Terdapat banyak factor risiko terjadinya RA diantaranya ada yang bersifat
tidak dapat dimodifikasi (genetik, ras, jenis kelamin, dan usia) dan yang dapat
dimodifikasi (gaya hidup, infeksi, dan bentuk tubuh). Manifestasi klinis RA dapat berupa
keluhan umum, kelainan sendi, dan kelainan diluar sendi. Dengan penegakkan diagnosis
berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 ataupun ACR tahun 2010 dimana meliputi dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien
perempuan 49 tahun ini didapatkan tanda tanda yang serupa dengan manifestasi klinis
artritis yang mengarah ke diagnosis rheumatoid arthritis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang mendukung. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan RA, saat ini pasien
menjalani perawatan di rumah sakit dan mendapatkan terapi suportif dan medikamentosa
untuk menghilangkan inflamasi
dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.

17
DAFTAR PUSTAKA
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of
Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J
Med, vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.
Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income
Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5,
no.1, pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, FKUI,
Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis. indonesian
Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-Epidemiology, and
sssssssssAutoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,
doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019
PPNI, 2017. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP
PPNI. Jakarta
PPNI, 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia edisi (SIKI) 1 cetakan II. DPP
PPNI. Jakarta

18
PPNI, 2019. Standart I Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP
PPNI. Jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai