Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

RHEUMATOID ARTHRITIS

Dosen Pembimbing :
Trijati Puspita L, S.Kep., Ns., M.Kep
Disusun Oleh Kelompok 4 :
1. Adhellia zalfa nabilah (1902012734) 9. Ika Daimatur Rodhiyah (1902012735)
2. Alifia Meliana Ramadhani (1902012724) 10.Nadia Ayu Salsabila 1902012742
3. Azizah Ayu Puspitasari (1902012745) 11.Naili luthfiati (1902012741)
4. Dianna Ika Ernawati (1902012732) 12.Noviana Sadhila (1902012746)
5. Fitria Asmorosari (1902012743) 13.Nur muhtarinin iftidayati (1902012747)
6. Friska nanda eka faiza (1902012736) 14.Siti Asmaul Khusna (1902012760)
7. Gia Ayu Shinta (1902012725) 15.Risky Dwi Kartika (1902012723)
8. Ihsal Alifiah Ma’sumah (1902012727)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2021
Kata Pengantar

Alhamdulillah segala puji syukur hanya terlimpah kepada Allah SWT yang selalu
memberikan berupa rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya kepada seluruh umatnya.
Sehingga penulis dan pembuat makalah dapat menyelesaikan makalahnya tentang
“ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATOID ARTHRITIS”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh jauh dari sempurna,
untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, untuk
kesempurnaan makalah kami selanjutnya.Semoga makalah yang saya buat ini bermabfaat
dan dapat menambah pengetahuan pembaca.
Daftar Isi

Kata Pengantar..............................................................................................................................2
Daftar Isi.........................................................................................................................................3
BAB IPENDAHULUAN...............................................................................................................4
1.1. Latar Belakang................................................................................................................4
1.2. Tujuan..............................................................................................................................6
BAB IIKONSEP MEDIS..............................................................................................................7
2.1. Definisi Rheumatoid Arthritis.......................................................................................7
2.2. Faktor Resiko Rheumathoid Arthritis..........................................................................7
2.3. Etiologi Rheumathoid Arthritis.....................................................................................9
2.4. Patofisiologi dan Pathway............................................................................................10
2.5. Manifestasi Klinik Rheumotoid Arthritis...................................................................12
2.6. Penatalaksanaan............................................................................................................12
2.7. Komplikasi pada Reumatoid Arthritis.......................................................................14
BAB IIIKONSEP ASUHAN KEPERAWATAN......................................................................16
3.1. Pengkajian.....................................................................................................................16
3.2. Diagnosis Keperawatan Yang Sering Muncul............................................................17
3.3. Rencana Keperawatan..................................................................................................18
BAB IVASUHAN KEPERAWATAN........................................................................................21
4.1. Kasus Siatem Imun.......................................................................................................21
4.2. Pembahasan...................................................................................................................22
4.2.1. Pengkajian..............................................................................................................22
4.2.2. Analisa Data...........................................................................................................22
4.2.3. Prioritas Diagnosis Keperawatan.........................................................................22
4.2.4. Rencana Keperawatan..........................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di


sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah
Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal
namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai
dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai
gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011). Dalam ilmu
penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan
lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan susunan genetik.
Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-
suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif
konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk
negara dengan pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di
Asia Tenggara sebesar 0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%,
dan Amerika sebesar 1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16%
dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6
juta laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian
meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada
tahun 2010 (Rudan dkk, 2015). Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA
masih terbatas. Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan
bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)
memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka
nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail. Walaupun
penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor risiko yang dapat
meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis
kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor 2 hormonal, etnis, dan faktor
lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan urbanisasi (Tobon et
al,2009). Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga
apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan
sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward,
hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami
remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan
tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level
remisi, status fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010). Masyarakat
usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan masa-masa
produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi dan sosial
sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini. Banyak
penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA
banyak terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah
terjadi seiring peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan
pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya dengan
melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria
yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria
ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR
(American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum : Menjelaskan konsep dan proses keperawatan pada radang sendi
rheumatoid
1.2.2. Tujuan Khusus :
1.2.2.1. Mahasiswa memahami apa itu Rhematoid Arthritis
1.2.2.2. Mahasiswa memahami factor resiko Rhematoid Arthritis
1.2.2.3. Mahasiswa memahami etiologi Rhematoid Arthritis
1.2.2.4. Mahasiswa memahami patofisiologi dan pathway Rhematoid Arthritis
1.2.2.5. Mahasiswa memahami manifestasi klinik Rhematoid Arthritis
1.2.2.6. Mahasiswa memahami penatalaksanaan Rhematoid Arthritis
1.2.2.7. Mahasiswa memahami komplikasi Rhematoid Arthritis
1.2.2.8. Mahasiswa memahami konsep asuhan keperawatan pada Rhematoid Arthritis
BAB II
KONSEP MEDIS

2.1. Definisi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum


diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai
keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian
dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014). Kata arthritis berasal dari
bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti peradangan. Secara
harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu
penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan
kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015). Penyakit ini sering menyebabkan
kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga
memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai
kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang
baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk
memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

2.2. Faktor Resiko Rheumathoid Arthritis

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan


menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi:
2.2.1. Tidak dapat dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang
berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22
di kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara
populasi Eropa dan Asia. HLADRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian,
sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada
populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga dengan
kejadian RA pada keturunan selanjutnya.

2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga
dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari
semua faktor risiko untuk 5 timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat.
Prevalensi dan beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA
hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering
pada usia diatas 60 tahun.

3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1.
Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada
hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.

2.2.2. Dapat dimodifikasi


1. Gaya hidup
a. Status sosial
ekonomi Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan
antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia
yang menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan
paparan saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok tembakau
berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan dengan
produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10 hingga 20
tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok
menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian
pada perokok pasif masih belum terjawab namun kemungkinan peningkatan
risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang
mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai
faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar
mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah
dapat 6 meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi
juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus (EBV)
karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien RA.
Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus,
Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani, pertambangan, dan
yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi terdapat
pada orang yang bekerja dengan paparan silica.

2. Faktor Hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada perempuan dengan
sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk Tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT)
lebih dari 30.

2.3. Etiologi Rheumathoid Arthritis


Penyebab rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal
mengenai patogenesisnya telah terungkap. Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan
telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk
menderita rheumatoid arthritis dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang
hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap penyakit ini. Walaupun demikian karena
pembenaran hormon esterogen eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan
sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor
hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini (Aspiani, 2014). Infeksi telah
diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis. Dugaan faktor infeksi timbul karena
umumnya omset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh
gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan
isolasi suatu organisme dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan
bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang
dapat mencetuskan terjadinya rheumatoid arthritis. Agen infeksius yang diduga
merupakan penyebab rheumatoid arthritis Antara lain bakteri, mikoplasma atau virus
(Aspiani, 2014). Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya factor
genetik yang akan menjurus pada penyakit setelah terjangkit beberapa penyakit virus,
seperi infeksi virus Epstein-Barr. Heat Shock Protein (HSP) adalah sekelompok protein
berukuran sedang yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respon terhadap stress.
Walaupun telah diketahui terdapa hubungan antara Heat Shock Protein dan sel T pada
pasien Rheumatoid arthritis namun mekanisme hubungan ini belum diketahui dengan
jelas (Aspiani, 2014).

2.4. Patofisiologi dan Pathway


Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Sistem imun merupakan bagian pertahanan
tubuh yang dapat membedakan komponen self dan non-self. Pada kasus rheumatoid
arthritis system imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan
synovial serta jaringan penyokong lain. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim
tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membrane synovial
dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami
perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot
(Aspiani, 2014). Imflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi synovial seperti edema,
kongesti vascular, eksudat fibrin, dan infiltrasi selular. Peradangan yang berkelanjutan,
synovial menjadi menebal, terutama pada sendi articular kartilago dari sendi. Pada
persendian ini granulasi membentuk pannus, atau penutup yang menutupi kartilago.
Pannus masuk ke tulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang
menimbulkan gangguan pada nutrisi kartilago artikuler, sehingga kartilago menjadi
nekrosis. Tingkat erosi dari kartilago menentukan ketidakmampuan sendi.Bila kerusakan
kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan sendi, karena jaringan
fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan
tendon dan ligament menjadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari
persendian. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya
jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Aspiani, 2014).
2.5. Manifestasi Klinik Rheumotoid Arthritis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan.
Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat
berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).

1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun,
peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut
dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu
sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada
leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada
autopsi RA didapatkan kelainan perikard
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura
(efusi pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi
berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist
drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan
mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati,
anemia, trombositopeni, dan neutropenia

2.6. Penatalaksanaan
Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang akan
dilakukan sehingga terjalin hubungan baik serta ketaatan pasien untuk tetap berobat
dalam jangka waktu yang lama (Aspiani, 2014). OAINS (Obat Anti Inflamasi Non
Steroid ) diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering
dijumpai. OAINS yang diberikan yaitu aspirin, pasien dibawah umur 65 tahun dapat
dimulai dengan dosis 3-4 x 1g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6 perminggu sampai
terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl. Ibuprofen, naproksen,
piroksikam, diklofenak dan sebagainya (Aspiani, 2014). DMARD (Disease Modifying
Antirheumatoid Drugs) digunakan unuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proes
destruksi akibat rheumatoid arthritis. Keputusan penggunaannya bergantung pada
pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera diberikan setelah diagnosis
rheumatoid arthritis diegakkan, atau bila respon OAINS tidak ada. DMARD yang
diberikan: (Aspiani, 2014)
1. Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari
2. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalu enteric, digunakan dalam dosis 1 x 500
mg/hari, ditinggikan 500 mg/minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg.
3. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam
dosis 250-300 mg/ hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar
250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 20-300 mg/hari.
4. Garam emas adalah gold standart bagi DMARD.
5. Obat imunosupresif atau imonoregulator; metotreksat dosis dimulai 5-7, mg
setiap minggu. Bila dalam 4 bulan idak menunjukkan perbaikan, dosis harus
ditingkatkan.
6. Korikosteroid, hanya dipakai untuk pengobatan Rheumatoid arthritis dengan
komplikasi berat dan mengancam jiwa seperti vasculitis, karena obat ini
memiliki efek samping yang sangat berat.

Rehabilitasi bertujuan meningkatkan kualitas harapan hidup pasien. Caranya antara lain
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan, pemanasan dan sebagannya.
Fisioterapi dimulai segera setelah rasa sakit pada sendi berkurang. Bila tidak juga behasil,
diperlukan pertimbangan untuk pertimbangan operatif. Sering juga diperlukan alat-alat
seperti pemakaian alat bidai, tongkat penyangga, kursi roda, terapi mekanik, pemanasan
baik hidroterapi maupun elekroterapi, occupational therapy (Aspiani, 2014).Jika berbagai
cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta terdapat alasan yang cukup kuat,
dapat dilakukan tindakan pembedahan. Jenis pengobatan ini pada pasien rheumatoid
arthritis umunya bersifat orthopedic, misalnya sinovektomi, artrodesis, memperbaiki
deviasi ulnar (Aspiani, 2014). Kompres jahe hangat dapat menurunkan nyeri rheumatoid
arthritis. Kompres jahe merupakan pengobatan tradisional atau terapi alternative untuk
mengurangi nyeri rheumatoid arthritis. Kompres jahe hangat memiliki kandungan enzim
siklo-oksigenasi yang dapat mengurangi peradangan pada penderita rheumatoid arthritis,
selain itu jahe juga memiliki efek farmakologis yaitu rasa panas dan pedas, dimana rasa
panas ini dapat meredakan rasa nyeri, kaku, dan spasme otot atau terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah, mamfaat yang maksimal akan dicapai dalam waktu 20 menit sesudah
pengaplikasian (Agustin, 2015).

2.7. Komplikasi pada Reumatoid Arthritis


Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain dari
tubuh selain sendi. Menurut (Aspiani, 2014) rheumatoid arthritisdapat menimbulkan
komplikasi pada bagian lain dari tubuh :
1. Sistem respiratori
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada rheumatoid
arthritis. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan,
nyeri menelan, atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Pada
rheumatoid arthritis yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru
yang luas (Aspiani, 2014).
2. Sistem kardiovaskuler
Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada rheumatoid arthritis jarang dijumpai
gejala perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan faal jantung. Akan tetapi pada
beberapa pasien dapat juga dijumpai gejala perikarditis yang berat. Lesi inflamatif
yang menyerupai nodul rheumatoid dapat dijumpai miokardium dan katup jantung.
Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan
konduksi, aortitis dan kardiomiopati (Aspiani, 2014).
3. Sistem gastrointestinal
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptic
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid
drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama
pada rheumatoid arthritis (Aspiani, 2014).

4. Sistem persarafan
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai rheumatoid arthritis umumnya tidak
memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi
neurologis akibat lesi artikular dari lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi
neurologis pada umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas
vertebre, servikal, neuropai jepitan atau neuropati iskemik akibat vasculitis (Aspiani,
2014).
5. Sistem perkemihan : ginjal
Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik pada rheumatoid arthritis jarang sekali
dijumpai kelainan glomelural. Jika pada pasien rheumatoid arthritis dijumpai
proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena efek samping
pengobatan seperi garam emas dan D-penisilamin atau erjadi sekunder akibat
amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial dapat dijumpai pada syndrome
sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan penggunaan
OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan
nekrosis papilar ginjal (Aspiani, 2014).
6. Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit normosistik-
normokromik (hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi serum yang
rendah serta kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan
gambaran umum yang sering dijumpai pada rheumatoid arthritis. Enemia akibat
penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia defisiensi besi yang juga dapat
dijumpai pada rheumatoid arthritis akibat penggunaan OAINS atau DMARD yang
menyebabkan erosi mukosa lambung (Aspiani, 2014).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
menurut (Istianah, 2017): 100 dan (Lukman & Ningsih, 2013): 223

1. Biodata
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan, alamat.
2. Riwayat keperawatan
Adanya perasaan tidak nyaman,antara lain nyeri, kekakuan pada tangan atau kaki
dalam beberapa periode / waktu sebelum klien mengetahui dan merasakan adanya
perubahan sendi.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi persendian untuk masing-masing sisi, amati adanya kemerahan,
pembengkakan, teraba hangat, dan perubahan bentuk (deformitas).
b. Lakukan pengukuran rentang gerak pasif pada sendi. Catat jika terjadi
keterbatasan gerak sendi, krepitasi dan jika terjadi nyeri saat sendi digerakkan.
c. Ukur kekuatan otot
d. Kaji skala nyeri dan kapan nyeri terjadi.
4. Riwayat psikososial
Penderita rheumatoid arthritis mungkin merasa khawatir mengalami deformitas pada
sendi-sendinya. Ia juga merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada fungsi tubuh
dan perubahan pada kegiatan sehari-hari.
5. Aktivitas/ Istirahat
Nyeri sendi karena pergerakkan, nyeri tekan, kekakuan sendi pada pagi hari.
Keterbatasan fungsional yang berpengaruh pada gaya 12 hidup, aktivitas istirahat,
dan pekerjaan. Gejala lain adalah keletihan dan kelelahan yang hebat.
6. Kardiovaskuler
Kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal
7. Integritas Ego
Faktor stres akut/kronis, misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan,keputusasaan dan ketidakberdayaan. Ancaman konsep diri, citra
diri, perubahan bentuk badan
8. Makanan / cairan
Ketidakmampuan untuk mengonsumsi makan/cairan yang adekuat: mual, anoreksia.
Menghindari makanan yang tinggi purin seperti: kacang-kacangan, daun singkong,
jeroan. Menghindari minum kopi
9. Higiene
Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara mandiri.
Ketergantungan pada orang lain
10. Neurosensori
Kebas/ kesemutan pada tangan dan kak, hilangnya sensai pada jari tangan,
pembengkakan sendi simetris.
11. Nyeri /kenyamanan
Fase akut dari nyeri (disertai / tidak disertai pembekakan jaringan lunak pada sendi.
Rasa nyeri kronis dan kekakuan pada pagi hari.
12. Keamanan
Kulit mengilat, tegang. Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah
tangga,kekeringan pada mata dan membran mukosa. 13
13. Interaksi sosial
Kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain ,perubahan peran.

3.2. Diagnosis Keperawatan Yang Sering Muncul


Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons pasien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung actual maupun potensial. Tujuan diagnosis keperawatan adalah untuk
mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga, komunitas, terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien rheumatoid
arthritis yaitu gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
ditandai dengan mengeluh susah menggerakkan ekstremitas, rentang gerak menurun.
Adapun diagnosa yang mungkin muncul pada pasien rheumatoid arthritis ,yaitu :
a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
b. Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi musculoskeletal kronis.
c. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh.
d. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
e. Risiko cedera berhubungan dengan kurang perubahan fungsi psikomotor

3.3. Rencana Keperawatan


3.3.1. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah setiap tindakan berdasarkan penilaian klinis
dan pengetahuan, yang perawat lakukan untuk meningkatkan hasil pada
pasien.Intervensi rheumatoid arthritis secara umum adalah kaji keadaan umum pasien
meliputi nyeri, aktivitas fisik/pergerakan, persepsi terhadap penyakit serta
pengetahuan mengenai penyakit, observasi tanda-tanda vital dan ekspresi non verbal
pasien.
Tujuan keperawatan yang digunakan pada diagnosa keperawatan gangguan
mobilitas fisik berdasarkan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) dan
intervensi keperawatan mengacu pada SLKI (Satuan Luaran Keperawatan
Indonesia), berikut adalah tujuandanintervensikeperawatanrheumatoid arthritis
dengan gangguan mobilitas fisik:

Luaran Intervensi
Diagnosa Keperawatan
(SLKI) (SIKI)
1 2 3
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi
berhubungan dengan nyeri keperawatan selama 5 x Observasi
kunjungan, maka Mobilitas 1. Identifikasi adanya nyeri
Fisik meningkat,dengan atau keluhan fisik lainnya
kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik
1. Pergerakan ekstremitas melakukan pergerakan
meningkat 3. Monitor kondisi umum
2. Kekuatan otot meningkat selama melakukan mobilisasi
3. Nyeri menurun
4. Kecemasan menurun Terapeutik
5. Kaku sendi menurun 4. Fasilitasi aktivitas
6. Gerakan tidak mobilisasi dengan alat bantu
terkoordinasi menurun (misalnya tongkat)
7. Gerakan terbatas menurun 5. Fasilitasi melakukan
8. Kelemahan fisik menurun pergerakan, jika perlu

Edukasi
6. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
7. Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
8. Informasikan kepada
keluarga untuk memberi
dukungan kepada klien.
9. Berikan terapi
komplementer
 Pemberian boreh jahe pada
sendi yang sakit.
 Kompres hangat pada sendi
yang kaku

3.3.2. Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah fase ketika perawat mengimplementasikan
intervensi keperawatan. Implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan tindakan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang
diperlukan untuk melaksanakan intervensi (atau program keperawatan). Perawat
melaksanakan atau mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang
disusun dalam tahap perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap implementasi
dengan mencatat tindakan keperawatan dan respons pasien terhadap tindakan
tersebut
3.3.3. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan yang
ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri,
dilanjutkan, atau diubah. Evaluasi berjalan kontinu, evaluasi yang dilakukan ketika
atau segera setelah mengimplementasikan program keperawatan memungkinkan
perawat segera memodifikasi intervensi (Kozier et al., 2010).
Evaluasi keperawatan terhadap pasien rheumatoid arthritis dengan masalah gangguan
mobilitas fisik diantaranya:
1. Pergerakan ekstremitas meningkat
2. Kekuatan otot meningkat
3. Nyeri menurun
4. Kaku sendi menurun
5. Gerakan tidak terkoordinasi menurun
6. Gerakan terbatas menurun
7. Kelemahan fisik menurun
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

4.1. Kasus Sistem Imun


Ny U, 55 tahun dengan keluhan nyeri di sendi bahu, kedua tangan, kedua kaki yang
mengganggu aktivitas. Pada pemeriksaan fisik secara umum kondisi stabil. Nyerinya
seperti tertimpa benda berat. Nyeri ketika mau berdiri setelah duduk. Skala nyeri 4 – 6
yang mengganggu aktifitas fisik. Lamanya nyeri ± 5 – 10 menit. ± 2 bulan yang lalu
perna mengalami nyeri pada persendian pada lutut kaki kiri dan kanan, nyeri pada telapak
kaki kiri dan kanan. Kekuataan otot yaitu ekstremitas atas dan bawah kanan dan kiri
adalah 4 seluruh gerakan dapat dilakukan otot tetapi terbatas : seperti jika pasien mau
duduk pasien memegangi ursi/meja/tembok/dipapah suaminya. Anggota keluarga tidak
ada yang mengalami sakit sendi dengan gelaja yang sama. Tekanan darah : 120/70
mmHg, respirasi : 20 x/mnt, suhu : 362OC, nadi : 86 x/mnt Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan LED 109 mm/jam, rheumatoid factor positif, HbsAg rapid non
reaktif. Pemeriksaan HbsAg pada pasien dilakukan untuk mengetahui tingkat resiko
pemberian terapi imunosuprean yang akan diberikan. Hasil foto thorax menunjukkan
tidak ditemukan adanya TBC sehingga pasien dapat diberikan imunosupresan. Hasil foto
manus tampak penyempitan sela sendi distal interphalangeal digiti 1 manus bilateral ec
artritis. Hasil foto pedis tampak penyempitan sela sendi interphalangeal digiti V pedis
bilateral ec artritis. Hasil foto sendi bahu/ shoulder joint tampak bayangan opak
proksimal humerus dextra. Pasien ini didiagnosis dengan rheumatoid arthritis. Skor
derajat keparahan penyakit pada pasien saat diagnosis adalah 7 dengan rincian
keterlibatan sendi 3, serologi 2, reaktan fase akut 1, dan durasi dari gejala 1, sehingga
pasien memenuhi kriteria definitif RA. Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan
adalah methylprednisolone 3x8 mg, CaCo3 3x500 mg, vitamin D3 1x400 IU,
methotrexate 1x7,5 mg.
4.2. Pembahasan

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
 Nama : Ny. U
 Umur : 55 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Suku : Jawa
 Agama : Islam
 Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Alamat : Gang Mawar RT 02

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

1. Keluhan Utama : Nyeri Sendi

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang sadar dengan keluhan nyeri di sendi bahu, kedua tangan, kedua kaki yang
mengganggu aktivitas. Pada pemeriksaan fisik secara umum kondisi stabil. Nyerinya
seperti tertimpa benda berat. Nyeri ketika mau berdiri setelah duduk.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

± 2 bulan yang lalu pernah mengalami nyeri pada persendian pada lutut kaki kiri dan
kanan, nyeri pada telapak kaki kiri dan kanan. Kekuataan otot yaitu ekstremitas atas dan
bawah kanan dan kiri adalah 4 seluruh gerakan dapat dilakukan otot tetapi terbatas :
seperti jika pasien mau duduk pasien memegangi ursi/meja/tembok/dipapah suaminya.

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

Anggota keluarga tidak ada yang mengalami sakit sendi dengan gelaja yang sama.

C. PSIKOSOSIAL
1. Sosial /Interaksi : Hubungan Px terhadap keluarga dan lingkungan berjalan dengan baik
D. PEMERIKSAAN fISIK
Status Present
 SUHU : 362OC
 RR : 20 x/mnt
 TD : 120/70 mmHg
 NADI : 86 x/mnt
 HbsAg : rapid non reaktif.
 Pemeriksaan laboratorium: LED 109 mm/jam
 Rheumatoid: factor positif
 Skala nyeri 4-6

Status General
Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), releks pupil (+/+), isokor, edema palbebra(-/-)
THT : Dalam batas normal
Leher : pembesaran kelenjar lime (-)
Thoraks : normal
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Status Lokalis
Sendi distal interphalangeal
ANALISA DATA

No Tgl Data ( Subyektif, Obyektif ) Etiologi Problem


Ps : Px mengatakan nyeri sendi Respon imun
1. Do : Nyeri sendi Gangguan rasa
TD : 120/70 mmHg nyaman
N : 86 x/ menit Respon tubuh membentuk ( nyeri )
S : 36,2 C antibody leokosit dalam
RR : 20 x / menit cairan synovial

Faktor Rheumatoid dikapsula


sendi

Peradangan kronik

Dikstruksi jaringan

Gangguan rasa nyaman


( nyeri )

2.
Px: pasien mengatakan susah untuk Intervensi juman pyogenic ke
melakukan aktifitas seperti duduk px dalam rongga sendi Gangguan
harus di papah Mobilitas fisik
P : TD normal
Q : nyeri seperti di timbah benda berat Reaksi Inflamasi pada
R : sendi bahu, kedua tangan, kedua jaringan sanovia
kaki
S : skala nyeri 4-6 Pembentukan PUS pada
T : 5- 12 menit membran dan cairan synovial

Abes rongga sendi

Rawan sendi ruak

An kilosim

Gangguan mobilitas fisik

3. Perubahan aktivitas di sebabkan karna Gangguan citra


adanya penurunan massa otot Gangguan citra tubuh tubuh
Diagnosis Keperawatan

No Dx Tgl Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri kronis b/d kerusakan jaringan ( distraksi jaringan )
2. Gangguan mobilitas b/d penurunan masa otot
3. Gangguan citra tubuh b/d penurunan fungsi tubuh

Rencana Keperawatan

No Dx Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional

1. Nyeri Setelah dilakukan 1. Berikan control 1. Mengontrol suhu


kronis perawatan / intervensi linkungan yang ruangan, pencahayaan
selama 3 jam diharapkan memperberat rasa danmenghindari
nyeri kronis menurun nyeri kebisingan
 Kemampuan 2. Berikan teknik 2. Memberikan teknik
menuntaskan nonarmakologis untuk kompres hangat dan
aktivitas mengurangi rasa nyeri dingin terapi pijat,
meningkat 3. Ajarkan strategi bioveedback, TENS
 Keluhan nyeri meredakan nyeri 3. Vasiltasi istirahat dan
menurun 4. Kolaborasi pemberian pola tidur yang cukup
dengan skala analgesi/ anti nyeri dan olahraga
nyeri (0-1) 4. Mengurangi nyeri pada
 Meringis Px
menurun

Setelah dilakukan 1. Identivikasi adanya 1. Mengkaji tanda tanda


2. Mobilitas perawatan / intervensi nyeri atau keluhan nyeri dan keluhan nyeri
Fisik selama 3 jam diharapkan Fisik lainnya 2. Membantu Px untuk
 Pergerakan 2. Vasilitasi aktivitas aktivitasnya secara
ekstrmitas mobilisasi dengan alat mandiri
meningkat bantu 3. Kebutuhan Px
 Kekuatan otot 3. Anjurkan mobilitas terpenuhi
meningkat sederhana yang harus
 Rentang gerak dilakukan ( seperti
ROM meningkat duduk di tempat tidur
dan pindah dari
tempat tidur ke kursi
Setelah dilakukan 1. Latih Fungsi tubuh 1. Membentuk kekuatan
3. Gangguan perawatan / intervensi yang dimiliki otot tubuh dan sendi ,
citra selama 3 jam diharapkan 2. Anjurkan melatih kelenturan daya
tubuh  Fokus pada menggunakan alat otot kelincahan
kekuatan masa bantu 2. Memberikan alat bantu
lalu meningkat 3. Anjurkan jalan ( cane, crutch,
 Fokus pada menggunakan walker ) pada Px
bagian tubuh gambaran diri 3. Memberikan gambaran
meningkat terhadap citra tubuh diri terhadap citra tubuh
 Respon non
verbal pada
perubahan tubuh
membaik

IMPLEMENTASI

NO DX.NO IMPLEMENTASI EVALUASI PARAV


PERAWAT
1. melakukan pengkajian nyeri secara S: klien mengatakan
1. komprehensi , meliputi : lokasi, sudah tidak merasakan
kuwalitas, intensitas nyeri nyeri pada sendi
2. mengobservasi reaksi non verbal O: klien tampak rileks
dari nyeri Skala nyeri (0-1)
3. mengajarkan teknik A: masalah rasa nyeri
nonvarmakologis teratasi
4. memonitor tanda tanda vital P: intervensi di
hentikan

2. 1.
DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010). Rematoid
Arthritis Classification Criteria An American College of Rheumatology/European League
Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of
Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of
Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle Billateral
Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia. Maj
Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR 2010
pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan Artritis
Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income
Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1,
pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, FKUI,
Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis. Indonesian
Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20

Anda mungkin juga menyukai