Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH KEPERAWATAN KESEHATAN MATRA LAUT

ASUHAN KEPERAWATAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN PADA


PASIEN DENGAN LUKA ULKUS GANGREN

Dosen Pembimbing :
Mawar Eka Putri S.Kep, Ns, M.Kep

Disusun Oleh :

1. NILAM NIM :181813011


2. YULIA HARIATI NIM :
3. YAYANG DELIRAHFY NIM :181813022

PROGRAM STUDI D-3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
TANJUNGPINANG

TA. 2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta bimbingan
dari beberapa pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kami ucapkan
terimakasih kepada :

1. Komala Sari, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Ka. prodi D-3 Keperawatan
2. Mawar Eka Putri, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing pada mata
kuliah Kesehatan Matra Laut
3. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material

Penyusun memahami jika makalah ini masih terdapat kekurangan baik dari
segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menambah wawasan dan
pengetahuan kami.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik
bagi pembaca maupun penyusun.

Tanjungpinang, 19 januari 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Daftar Isi..........................................................................................................ii

Kata Pengantar...............................................................................................i

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................................5
B. Rumusan Masalah..................................................................................9
C. Tujuan Masalah......................................................................................9
D. Metode Penulisan..................................................................................10
E. Manfaat Penulisan.................................................................................10
BAB II TINJAUAN TEORITIS
I. KONSEP DASAR MEDIK
A. Definisi..................................................................................................11
B. Anatomi Fisiologi..................................................................................11
C. Klasifikasi Diabetes Melitus..................................................................15
D. Etiologi Diabetes Melitus......................................................................15
E. Manisfetasi Klinis Diabetes Melitus......................................................16
F. Patofisiologi Diabetes Melitus...............................................................16
G. Komplikasi Diabetes Melitus.................................................................23
H. Pemeriksaan Diagnostik.........................................................................24
I. Definisi Ulkus gangren...........................................................................25
J. Klasifikasi Ulkus Gangren......................................................................25
K. Etiologi Ulkus Gangren..........................................................................26
L. Manisfetasi Klinis Ulkus Gangren..........................................................27
M. Faktor Resiko Terjadinya Ulkus Gangren...............................................27
N. Pemeriksaan Diagnostik..........................................................................27
O. Penatalksanaan Medik.............................................................................28

3
II. KONSEP DASAR MEDIK TOHB
A. Definisi HOBT...................................................................................29
B. Jenis Chamber HOBT........................................................................30
C. Indikasi HOBT...................................................................................30
D. Kontra indikasi HBO..........................................................................31
E. Komplikasi HBO................................................................................31
F. Fisiologi Terapi HBO..........................................................................33
G. Fisiologi HBO bermacam-macam penyakit........................................33
H. Manisfetasi Terapi HBO......................................................................35
I. Peran Perawat/tender dengan terapi HBO...........................................35
J. Hubungan Terapi HBO dengan diabetes melitus................................36
III. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian...........................................................................................38
B. Diagnosa Keperawatan........................................................................40
C. Intervensi Keperawatan.......................................................................42
D. Impelementasi Keperawatan...............................................................47
E. Evaluasi Keperawatan.........................................................................47
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................4
8
B. Saran....................................................................................................4
9
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................50

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) menjadi fenomena di tingkat global


terutama di Negara berkembang seperti Indonesia, karena morbiditas dan
mortalitas DM yang masih tinggi. Di Indonesia, DM menjadi salah satu
penyakit dengan beban biaya pelayanan medis tertinggisetelah penyakit
jantung dan stroke (Kemenkes, 2016). Pencegahan dan pengendalian
penyakit DM sudah banyak diketahui, akan tetapi masih banyak dijumpai
DM dengan komplikasi yang menjadi penyebab kematian tertinggi
ketiga di Indonesia. Diantara komplikasi kronik DM, ulkus kaki diabetik
(UKD) merupakan komplikasi menahun yang paling ditakuti bagi
penderita DM, baik ditinjau dari lama perawatan maupun tingginya biaya
yang diperlukan (Langi, 2011). Proses penyembuhan dan pengobatan yang
cukup lama membuat timbulnya perasaan negatif seperti perasaan pasrah
dan putus asa (Maskuri et al., 2014).

Data dari Global status report on Noncommunicable Diseases


(NCD) World Health Organization (WHO) DM menempati peringkat ke-6
sebagai penyebab kematian. International Diabetes Federation (IDF)
memperhitungkan angka kejadian DM di dunia pada tahun 2012 adalah
371 juta jiwa, tahun 2013 meningkat menjadi 382 juta jiwa dan
diperkirakan pada tahun 2035 DM akan meningkat menjadi 592 juta jiwa
(Triyanisya, 2013). Di Indonesia angka kejadian DM termasuk urutan
terbesar ke-7 dunia yaitu sebesar 7,6 juta jiwa sedangkan angka kejadian
penderita UKD sebesar 15% dari penderita DM. Bahkan angka kematian
dan amputasi masih tinggi yaitu sebesar 32,5% dan 23,5% (Prastica,
2013).

5
DM dengan Ulkus gangren merupakan penyakit kronik sehingga
diperlukan pengelolaan yang terus menerus agar tidak terjadi komplikasi
yang dapat berakibat pada penurunan kualitas hidup penderita (Hasanat
dan Ningrum, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Roni, (2012) dengan
hasil bahwa pasien DM yang mengalami UKD di RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru memiliki tingkat kualitas hidup rendah. Penurunan kualitas
hidup pada penderita DM dengan UKD bisa dikarenakan sifat penyakit
yang kronik sehingga dapat berdampak pada pengobatan dan terapi yang
sedang dijalani (Rahmat, 2010). Menurut Mandagi, (2010), faktor-faktor
yang berhubungan dengan kualitas hidup pada pasien DM diantaranya
adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi,
status pernikahan, lama menderita, dan komplikasi DM.

Penurunan kualitas hidup pada penderita UKD berkaitan dengan

keterbatasan dalam melakukan aktivitas, disabilitas, dan nyeri akibat ulkus

(Ribu and Wahl, 2004). Studi yang dilakukan oleh Meeijer et al., (2001)

juga melaporkan bahwa health quality of life penderita DM dengan UKD

lebih rendah dari pada penderita DM bukan dengan ulkus. Selain faktor

fisik, penderita yang mengalami UKD melaporkan kualitas hidup mereka

juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial. Masalah psikososial

tersebut diantaranya adanya pembatasan berinteraksi dan isolasi dari

kehidupan sosialnya (Kinmond et al., 2003).

Kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan menunjang untuk

mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya. Hiperbarik oksigen (HBO)

merupakan salah satu pilihan terapi adjuvan dalam pengobatan ulkus

gangren(Heyman et al., 2016). HBO merupakan pemberian oksigen 100%

6
dimana penderita berada dalam suatu ruangan bertekanan tinggi dan

bernafas dengan oksigen murni pada tekanan udara lebi

7
besar daripada udara atmosfir normal yaitu 1 ATA (Atmosfir Absolut). Peranan

HBO adalah memperbaiki jumlah oksigen yang dihantarkan ke daerah luka, baik

yang berikatan dengan haemoglobin maupun yang terlarut dalam plasma. Dengan

demikian, tingkat kesembuhan luka berhubungan langsung dengan kadar oksigen

dalam jaringan (Carls et al., 2013).

Efektifitas HBO dalam penanganan Ulkus gangren udah banyak

didokumentasikan di berbagai pusat kesehatan dunia. Berdasarkan hasil dari

beberapa Randomized Control Trial (RCT) yang pernah dilakukan, HBO

direkomendasi sebagai terapi tambahan yang segera diberikan pada penderita

UKD Wagner derajat 3 atau lebih (moderate recomendation), untuk mencegah

amputasi mayor dan meningkatkan penyembuhan luka (Huang et al., 2015).

Dengan proses penyembuhan luka yang cepat, dapat menurunkan risiko amputasi,

meminimalkan risiko kematian, serta menurunkan biaya perawatan pada pasien

UKD. Hal tersebut akan meningkatkan kuliatas hidup penderita.

Edukasi kualitas hidup dianggap penting karena kualitas hidup merupakan

persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan, budaya, sistem nilai yang

erat hubungannya dengan tujuan hidup, harapan dan standar hidup (WHO, 2004).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi adanya perubahan kualitas hidup

diantaranya yakni mengurangi intensitas nyeri dan bau pada ulkus sehingga

penderita Ulkus gangren mendapatkan kesempatan yang sama dalam beraktivitas

dan bersosialisasi dengan lingkungan, mencegah terjadinya amputasi pada ulkus

gangren dengan manajemen perawatan luka yang tepat dan HBO sebagai terapi

8
adjuvant dalam mempercepat penyembuhan luka.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada


makalah ini adalah “apakah terapi oksigen hiperbarik berpengaruh
terhadap pasien dengan luka ulkus gangren”.

C. Tujuan Penulisan

A. Tujuan Umum
Untuk mengertahui dan mamahami pengaruh terapi HBO pada
pasien degan luka ulkus gangren
B. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami Definisi dari penyakit
diabetes melitus dan luka ulkus ganggren
2. Untuk mengetahui dan memahami anatomi fisiologi kulit
3. Untuk mengetahui dan memahami klasifikasi dari ulkus
gangren
4. Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari ulkus gangren
5. Untuk mengetahui dan memahami manisfestasi klinis dari
ulkus gangren
6. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dari ulkus
gangren
7. Untuk mengetahui dan memahami komplikasi dari ulkus
gangren
8. Untuk mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik
dari ulkus gangren
9. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksaanaan medik
dari ulkus gangren

9
10. Untuk mengetahui dan memahami apakah terapi oksigen
hiperbarik berpengaruh terhadap pasien dengan luka ulkus
gangren.
D. Metode Penulisan
Metode yang digunkan untuk penulisan makalah ini menggunakan
metode deskriptif yang tujuan nya untuk menyajikan gambaran lengkap
mengenai suatu masalah.
E. Manfaat Penulisan
Mahasisiwa dapat mengetahui dan memahami definis, etiologi,
klasifikasi, patofis, peneriksaan penunjang, penatalaksanaan medis, dan
komlikasi dari ulkus gangren, begitu juga asuhan keperawatan ulkus
gangrene,dan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami apakah terapi
oksigen hiperbarik berpengaruh terhadap luka ulkus gangren.

10
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

I. KONSEP DASAR MEDIK


A. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik karena adanya
masalah pada pengeluaran insulin, aksi insulin atau keduanya
(Ignatavicus et al., 2016).
DM atau yang sering disebut kencing manis adalah suatu penyakit
kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin
atau tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan
didiagnosa melalui pengamatan kadar glukosa di dalam arah. Insulin
merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang
berperan dalam meamsukkan glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh
untuk digunakan sebagai sumber energi (IDF, 2015).

B. Anatomi Fisiologi

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira –


kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan
beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis
1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di
dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala )
kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum
dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian
utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya
menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan
embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari

11
lapisan epitel yang membentuk usus.

12
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :

Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.Pulau Langerhans yang


tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan
glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas
tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas.
Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda.
Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300
m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau langerhans
di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu:
a. Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon
yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti
insulin like activity “.
b .Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
c. Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat
pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna
pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel
beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak
menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin
manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu
rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ),
yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri
dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik
pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein
reseptor yang besar di dalam membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran

13
berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin
dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar
glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat
cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan
hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda.
Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport
glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel
lemak.

A. ANATOMI FISIOLOGI KULIT (LUKA ULKUS GANGREN)

Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai
fungsi sebagai pelindung tubuh dan berbagai trauma ataupun masuknya
bakteri, kulit juga mempunyai fungsi utama reseptor yaitu untuk mengindera
suhu, perasaan nyeri, sentuhan ringan dan tekanan, pada bagian stratum
korneum mempunyai kemampuan menyerap air sehingga dengan demikian
mencegah kehilangan air serta elektrolit yang berlebihan dan
mempertahankan kelembaban dalam jaringan subkutan.

Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai hasil


metabolisme makanan yang memproduksi energi, panas ini akan hilang
melalui kulit, selain itu kulit yang terpapar sinar ultraviolet dapat mengubah
substansi yang diperlukan untuk mensintesis vitamin D. kulit tersusun atas 3
lapisan utama yaitu epidermis, dermis dan jaringan subkutan.

1. Lapisan epidermis, terdiri atas :

1. Stratum korneum, selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel, inti
selnya sudah mati dan mengandung keratin, suatu protein fibrosa
tidak larut yang membentuk barier terluar kulit dan mempunyai

14
kapasitas untuk mengusir patogen dan mencegah kehilangan cairan
berlebihan dari tubuh.
2. Stratum lusidum. Selnya pipih, lapisan ini hanya terdapat pada
telapak tangan dan telapak kaki.
3. Stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel-sel pipi seperti
kumparan, sel-sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar
dengan permukaan kulit.
4. Stratum spinosum/stratum akantosum. Lapisan ini merupakan
lapisan yang paling tebal dan terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya
terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut dan
mempunyai tanduk).
5. Stratum basal/germinatum. Disebut stratum basal karena sel-selnya
terletak di bagian basal/basis, stratum basal menggantikan sel-sel
yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk.

2. Lapisan dermis terbagi menjadi dua yaitu:

a. Bagian atas, pars papilaris (stratum papilaris)

Lapisan ini berada langsung di bawah epidermis dan tersusun dari


sel-sel fibroblas yang menghasilkan salah satu bentuk kolagen.

b. Bagian bawah, pars retikularis (stratum retikularis).

Lapisan ini terletak di bawah lapisan papilaris dan juga


memproduksi kolagen.

Dermis juga tersusun dari pembuluh darah serta limfe, serabut


saraf, kelenjar keringat serta sebasea dan akar rambut.

3. Jaringan subkutan atau hipodermis

15
Merupakan lapisan kulit yang terdalam. Lapisan ini terutamanya adalah
jaringan adipose yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur
internal seperti otot dan tulang. Jaringan subkutan dan jumlah deposit lemak
merupakan faktor penting dalam pengaturan suhu tubuh. (Pamela, 2011)

C. Klasifikasi Diabetes Melitus


Tipe DM berdasarkan etiologi atau faktor penyebabnya. American
Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa secara umum DM dibagi
menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2 (Lewis et al., 2014). Berikut
penjelasannya:
DM tipe 1 terjadi karena kelainan autoimun dimana sel β pakkreas
hancur pada orang yang rentan secara genetik dan tidak menghasilkan
insulin (Ignatavicus et al., 2016). ADA menyatakan bahwa DM tipe 1
biasanya didiagnosa pada anak-anak dan dewasa muda yang sebelumnya
disebut sebagai diabetes juvenile. Black dan Hawks (2014) mengatakan
bahwa DM tipe 1 diturunkan secara heterogen, sifat multigenik, dimana
risiko terkena penyakit ini adalah 25-50% pada kembar identik, 6% pada
saudara kandung, dan 5% kepada anak cucu. Gejala yang timbul pada DM
tipe 1 adalah poliuri, polidipsi, polifagi, dan kehilangan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan (Khadori, 2016).
DM tipe 2 adalah masalah pada tubuh karena menurunnya
kemampuan sel untuk menerima insulin yang disebut resistensi insulin
(Ignatavicus et al., 2016). Pada orang dewasa, DM tipe2 ditemukan 90%
dari semua kasus diabetes (Centers for Control Disease Pervention, 2014).
Biasanya terdiagnosis setelah usia 40 tahun dan lebih umum diantara
dewasa tua, dewasa obesitas, dan etnik serta populasi ras tertentu (Black
dan Hawks, 2014). DM tipe 2 terjadi karena faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik berhubungan dengan sekresi insulin dan retensi
insulin, sedangkan faktor lingkungan berhubungan dengan obesitas, makan
berlebih, kurang olahraga dan stress serta penuaan (Kaku, 2010).
D. Etiologi Diabetes Melitus

16
Diabetes mellitus etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi
dapat menyebabkan insufisiensi insulin tetapi determinan genetik biasanya
memegang peranan penting pada mayoritas diabetes mellitus, faktor lain
yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi diabetes mellitus adalah :
Kelainan sel b pankreas, berkisar dari hilangnyaa sel b sampai kegagalan
sel b melepas insulin.
Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fuingsi sel b antara lain
agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat
dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.
Gangguan sistem imunitas, sistem ini dapat dilakukan oleh
automunitas yang disertai pembentukan sel-sel antibodi. Antipankreatik
dan mengakibatkan kerusakan sel-sel penyekresi insulin, kemudian
peningkatan kepekaan sel b oleh virus.
Kelainan insulin pada pasien obesitas terjadi gangguan kepekaan
jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat
pada membran sel yang responsif terhadap insulin.
E. Manisfetasi Klinis Diabetes Melitus
DM sering muncul dan berlangsung tanpa timbulnya tanda dan
gejala klinis yang mencurigakan, bahkan kebanyakan orang tidak
merasakan adanya gejala. Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita
DM setelah timbulnya komplikasi. DM tipe 1 yang dimulai paa usia uda
memberikan tanda-tanda yang mencolok seperti tubuh kurus, hambatan
pertumbuhan, retardasi mental (Agoes, 2013). Berbeda dengan DM tipe 2
yang kebanyakan mengalami penurunan berat badan, penderita DM tipe 2
seringkali peningkatan berat badan. Hal ini disebabkan terganggunya
metabolisme karbohidrat karena hormon lainnya terganggu (Mahenra et
al., 2008).

F. Patofisologi Diabetes Melitus


1. DM tipe 1

17
Pada DM tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel β - pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi
glukosa yang tidak terukur oleh hati. Selain itu, glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemi pospandrial.
Konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal
tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika
glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini
akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan.
Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme
protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan.
Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia)
akibat menurunnya asupan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan)
dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam
amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin,
proses ini tidak akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan
turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan  peningkatan produksi
badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan
asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang
diakibatkan dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti nyeri
abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton, dan
bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma

18
bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit
sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan
metabolic tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta
ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah
yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
2. DM tipe 2

Pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang


berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin
dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
pengingkatan jumlah insulin yang diekskresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan
pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan cirri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin
dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak
dan produksi badan keton yang menyertainya. Oleh karena itu
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2. Meskipun
demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan

19
masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik
hiperosmoler nonketotik (HHNK).
DM tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yan
berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoelransi glukosa
yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif,
maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika
gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan
dapat mencakup kelalahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka
pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur
(jika kadar glukosa sangat tinggi).

20
Pathway diabetes mellitus

Konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut
muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan
ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan

21
selera makan (polifagia) akibat menurunnya asupan kalori. Gejala lainnya
mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin
mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi
lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini tidak akan terjadi tanpa
hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu
akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan  peningkatan produksi badan
keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkan dapat menyebabkan tanda
dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau
aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma
bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolic tersebut dan
mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang
penting.

1. DM tipe 2
Pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel.
Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin
pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan.
Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat pengingkatan jumlah insulin yang
diekskresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan

22
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan
akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan cirri khas DM
tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.
Oleh karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2. Meskipun
demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik
(HHNK).

2. DM tipe 2
Paling sering terjadi pada penderita diabetes yan berusia lebih dari 30
tahun dan obesitas. Akibat intoelransi glukosa yang berlangsung lambat
(selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelalahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan
kabur (jika akdar glukosa sangat tinggi)
Gangguan-gangguan patofisiologi DM dikaitkan dengan
ketidakmampuan tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi karena
tidak ada atau kurangnya produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah
suatu hormon pencernaan yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan
berfungsi untuk memasukkan gula ke dalam sel tubuh untuk digunakan
sebagai sumber energi. Pada penderita DM, insulin yang dihasilkan tidak
mencukupi sehingga menumpuk dalam darah (Agoes, 2013).
Patofisiologi DM tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-imun. Pada
autoimun- mediated DM, faktor lingkungan dan genetik diperkirakan
menjai faktor pemicu kerusakan sel β pancreas. Tipe ini disebut tipe 1A,
sedangkan tipe non-imun lebih umum daripada autoimun. Tipe non-imun

23
tejadi sebagai akibat sekunder dari penyakit lain seperti pankreatitis atau
gangguan idiopatik (Brashers et al., 2014).
DM tipe 2 adalah hasil dari gabungan resistensi dan sekresi insulin
yang tidak adekuat, hal tersebut menyebabkan predominan resistensi insulin
sampai dengan predominan kerusakan sel β. Kerusakan sel β yang ada
bukan suatu autoimun mediated. Pada DM tipe 2 tidak ditemukan pertanda
autontibodi. Pada resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar
mungkin tinggi tetapi pada keadaan gangguan fungsi sel β yang berat
kondisinya dapat rendah. Pada dasarnya resistensi insulin dapat terjadi
akibat perubahan yang mencegah insulin mencapai reseptor perubahan
dalam pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh reseptor, atau
perubahan dalam salah satu tahap kerja insulin pra reseptor. Semua kelainan
yang menyebabkan gangguan transpor glukosa dan resistensi insulin akan
menyebabkan hiperglikemia sehingga menimbulkan manifestasi DM
(Rustama et al., 2010).

G. Komplikasi Diabetes Melitus


Hiperglikemia yang terjadi dari waktu ke waktu dapat
menyebabkan kerusakan berbagai sistem tubuh terutama syaraf dan
pembuluh arah. Khan et al., (2015) menyatakan bahwa masalah yang
mengancam kehidupan orang dengan DM yang tidak terkontrol adalah
hiperglikemia dengan ketoasidosis atau sindrom hiperglikemia
hiperosmolar nonketosis (hyperglycemic hyperosmolat nonketotic
syndrome). Ketoasidosis merupakan gangguan metabolik paling serius
pada DM tipe 1 dan terjadi paling sering pada remaja dan lansia,
sedangkan HHNS terjadi pada lansia dengan DM tipe 2 (Black dan Hawks,
2014). Beberapa penyakit lanjutan dari DM secara umum (Kemenkes RI,
2014) adalah:
1. Meningkatnya risiko penyakit jantung dan stroke
2. Neuropati atau kerusakan syaraf paa kaki sehingga terjadi
ulkus kaki, infeksi bahkan amputasi kaki

24
3. Retinopati diabetikum sebagai penyebab utama kebutaan
karena rusaknya pembuluh darah kecil pada retina mata
4. Penyebab utama gagal ginjal
5. Risiko kematian pda penderita DM dua kali lipat
dibandingkan dengan yang tidak menderita DM.
H. Pemeriksaan Diagnostik
DM didiagosis menggunakan tes laboratorium dengan mengukur
level glukosa darah (Hannon et al., 2010). Tes glukosa darah tersebut
menurut Willias dan Hopper, (2015) yaitu:
1. Glukosa Darah Puasa (GDP)
ADA menyampaikan bahwa normal gluosa darah adalah
kurang dari 100 mg/dl. Pasien didiagnosa dengan DM apabila nilai
GDP 126 mg/dl atau lebih, yang diambil minimal 18 jam puasa.
Jika GDP antara 100-126 mg/dl maka pasien mengalami glukosa
puasa terganggu dan prediabetes.
2. Glukosa Darah Acak (GDA)
GDA disebut juga sebagai Gula Darah Sewaktu (GDS).
Pemeriksaan GDS bertujuan untuk mengetahui kadar gluosa darah
pasien dan ketentuan program terapi medik tanpa ada persiapan
khusus ataupun bergantung pada waktu makan pasien. DM
ditegakkan apabila nilai GDS 200 mg/dl atau lebih dengan gejala
diabetes.
3. Tes Toleransi Glukosa Oral atau Oral Glucose Tolerance Test
(OGTT)
OGTT dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis DM
pada pasien yang memiliki kadar gula darah dalam batas normal-
tinggi atau sedikit meningkat. OGTT mengukur glukosa darah pada
interval setelah pasien minum minuman karbohidrat terkonsentrasi.
DM ditegakkan bila level GD adalah 200 mg/dl atau lebih setelah 2
jam, jika GD 140-199 mg/dlsetelah 2 jam didiagnosa dengan IFG
dan prediabetes.

25
4. Glycohemoglobin test
Glycohemoglobin disebut juga sebagai glycosylated hemoglobin
(HbA1c) atau hemoglobin A1c. HbA1c adalah 4% hingga 6%, dikatakan
DM apabila HbA1c adalah 6.5% atau lebih, sementara nilai HbA1c 6%
hingga 6.5% berisiko tinggi mempunyai diabetes (pradiabetes)
I. Definisi Ulkus Gangren
Gangrene adalah kondisi jaringan tubuh yang mati akibat tidak
mendapat pasokan darah yang cukup atau akibat infeksi bakteri yang berat.
Kondisi serius ini umumnya terjadi di tungkai, jari kaki, atau jari tangan,
namun juga bisa terjadi pada otot serta organ dalam. Gangrene adalah
kondisi serius yang bisa mengarah ke amputasi hingga kematian.
J. Klasifikasi Ulkus Gangren
Gangrene terbagi ke dalam beberapa jenis, di antaranya adalah:
1. Gangrene kering. Kulit kering dan mengerut dengan warna kulit
cokelat, biru, atau hitam adalah ciri gangrene kering.
Gangrene ini terjadi secara bertahap, dan umumnya menimpa
penderita penyakit arteri perifer.
2. Gangrene basah. Gangrene ini umumnya menimpa penderita
diabetes yang tidak sadar saat mengalami luka di kaki. Gangrene
basah juga bisa terjadi pada seseorang yang mengalami Luka
Bakaratau frostbite. Ciri gangrene basah adalah kulit bengkak,
melepuh, dan terlihat basah. Jika tidak segera ditangani, gangrene
basah bisa menyebar dan akan berakibat fatal.
3. Gangrene gas. Gangrene gas umumnya menyerang jaringan
otot. Pada awalnya, kulit penderita gangrene gas terlihat
normal. Namun seiring waktu, kulit akan terlihat pucat lalu
berubah menjadi ungu kemerahan, kemudian gelembung udara
akan terbentuk. Gangrene gas umumnya disebabkan oleh bakteri
Clostridium perfringens, yang berkembang pada luka akibat
bedah atau cedera yang mengeluarkan banyak darah. Infeksi
tersebut menghasilkan racun yang melepaskan gas dan

26
menyebabkan kematian jaringan. Sama seperti gangrene basah,
gangrene gas juga bisa berakibat fatal jika tidak segera ditangani.
4. Gangrene internal, yaitu gangrene yang terjadi akibat
terhambatnya aliran darah ke organ dalam tubuh, seperti usus atau
empedu. Gangrene internal bisa menyebabkan demam serta nyeri
hebat, dan bisa berbahaya jika tidak cepat ditangani.
5. Gangrene Fournier. Gangrene ini menyerang daerah genital
atau kelamin,dan kebanyakan penderitanya adalah Kondisi ini
umumnya terjadi karena infeksi pada area kemaluan atau saluran
kemih, yang menyebabkan pembengkakan dan nyeri pada
kemaluan.
6. Gangrene Meleney. Jenis gangrene ini tergolong langka, yang
terjadi 1-2 minggu pasca operasi.
K. Etiologi Ulkus Gangren
Gejala gangrene sangat beragam, tergantung pada penyebab yang
mendasarinya. Gangrene bisa menyerang bagian tubuh mana pun, namun
umumnya terjadi pada kaki atau tangan. Gejala gangrene meliputi:
1. Perubahan warna pada kulit menjadi biru, merah, ungu,
atau bahkan hitam, tergantung jenis gangrene yang dialami.
2. Nyeri hebat yang muncul mendadak pada area yang
terserang, diikuti sensasi kebas.
3. Muncul bengkak dan lepuhan pada kulit, disertai keluarnya
nanah dari lepuhan. Kulit yang terserang gangrene tampak
pucat dan terasa dingin bila disentuh. Sangat jelas terlihat,
berbeda dengan area kulit yang sehat.
4. Pada gangrene gas atau gangrene internal yang menyerang
jaringan di bawah kulit, penderita akan mengalami
pembengkakan disertai nyeri pada area yang terdampak.
Selain itu, penderita juga akan mengalami demam.
5. Bakteri penyebab infeksi gangrene juga bisa menyebar ke
seluruh tubuh. Kondisi tersebut disebut dengan sepsis dan

27
dapat menimbulkan gejala tekanan darah rendah, demam, gangguan
irama jantung, sesak napas, dan pusing.
L. Manifetasi Klinis Ulkus Gangren
Gangrene bisa disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1. Kekurangan aliran darah. Darah mengandung sejumlah senyawa
yang dibutuhkan tubuh, antara lain oksigen, nutrisi, serta antibodi.
Kekurangan senyawa penting tersebut bisa membuat sel-sel tubuh
mati.
2. Infeksi. Bakteri yang dibiarkan berkembang terlalu lama bisa
menimbulkan infeksi dan menyebabkan gangrene.
3. Luka. Luka parah, seperti luka akibat tembakan atau cedera akibat
kecelakaan mobil, bisa menyebabkan bakteri tumbuh dan
menyerang jaringan di dalam kulit.
M. Faktor Resiko TerjadinyaUlkus Gangren
Ada beberapa kondisi yang bisa meningkatkan risiko seseorang
terserang gangrene, yaitu penyakit Raynaud, aterosklerosis, diabetes,
hernia, usus buntu, dan penyakit penggumpalan darah. Faktor lain yang
juga dapat meningkatkan risiko gangrene adalah:
Sistem kekebalan tubuh rendah akibat kondisi kesehatan atau
pengobatan kanker.Frostbite, cedera kepala, luka bakar, atau gigitan
binatang.Mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan pada
jaringan tubuh.Baru menjalani operasi.Merokok, mengonsumsi alkohol,
dan menggunakan narkoba suntik.
N. Pemeriksaan Diagnostik
Pada tahap awal pemeriksaan, dokter akan mengecek kondisi fisik
dan luka pasien, serta menanyakan riwayat kesehatan pasien dan
keluarganya. Untuk memastikan diagnosis, dokter akan menyarankan
pemeriksaan lebih lanjut, seperti:
1. Tes darah. Jumlah sel darah putih yang tinggi bisa menjadi tanda
adanya infeksi. Tes darah juga dilakukan untuk mengecek apakah
ada bakteri atau kuman di dalam darah.

28
2. Tes pencitraan. Foto Rontgen, CT scan atau MRI dilakukan untuk
melihat kondisi organ dalam, dan untuk mengetahui sejauh mana
gangrene menyebar. Tes ini juga bisa membantu dokter mengetahui
apakah ada gas di bawah kulit. Selain 3 tes ini, ada juga tes
angiografi, yaitu tes untuk melihat adanya arteri yang tersumbat.
O. Penatalaksanaan Medik
Jaringan yang rusak akibat gangrene sudah tidak bisa lagi
diperbaiki, namun ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk
mencegah gangrene berkembang. Dokter akan memilih dari beberapa
tindakan berikut ini, tergantung dari keparahan gangrene yang dialami
pasien.Operasi. Langkah ini dilakukan untuk mengangkat jaringan mati,
sehingga penyebaran gangrene bisa dicegah, dan memungkinkan jaringan
yang sehat untuk pulih. Bila memungkinkan, operasi untuk memperbaiki
pembuluh darah akan dilakukan. Tindakan tersebut untuk memperlancar
aliran darah ke area yang terserang gangrene.
Pencangkokan kulit bisa dilakukan untuk memperbaiki kulit yang
rusak akibat gangrene. Namun pada kasus gangrene yang parah, pasien
terpaksa harus menjalani amputasi.
Antibiotik. Dokter bisa memberikan antibiotik dalam bentuk obat minum
atau infus untuk menangani infeksi gangrene.
Terapi oksigen hiperbarik. Terapi ini menggunakan ruangan seperti
tabung dengan tekanan tinggi dan hanya terdapat gas oksigen. Tekanan
oksigen yang kuat akan membuat darah membawa lebih banyak oksigen,
sehingga memperlambat perkembangan bakteri dan membantu luka untuk
cepat pulih.

29
II. KONSEP DASAR MEDIK TOHB
A. Definisi HBOT
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang
masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1
atmosfer absolut (ATA) terhadap tubuh sebagai bentuk pengobatan
(Hariyanto et al, 2009).
Terapi oksigen hiperbarik merupakan sebuah terapi yang
menggunakan oksigen 100% di dalam suatu chamber dengan tekanan lebih
besar daripada tekanan laut (satu atmosfer absolut / ATA). Peningkatan
tekanan ini bersifat sistemik dan dapat diaplikasikan di dalam monoplace
chamber maupun multiple chamber (Ali et al, 2004; Grill & Bell et al,
2004; Biomedical engineering, 2014).
Kondisi ruang terapi HBO harus memiliki tekanan udara yang
lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1
ATA). Keadaan ini dapat dialami seseorang pada waktu menyelam atau
dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik
untuk kasus penyelaman maupun pengobatan klinis. Setiap penurunan
kedalaman 33 kaki (10 meter), tekanan akan naik 1 atm. Setiap terapi
diberikan 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen terlarut dalam 100 ml
plasma dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-90 menit. Dosis yang
digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman
bagi pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan,
juga dikatakan bahwa tekanan diatas tidak boleh lebih dari 3 ATA karena
tidak aman bagi pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang
dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas 2,5 ATA mempunyai
efek imunosupresid (Ali et al, 2004).
Meskipun banyak keuntungan yang diperoleh dari HBOT, cara ini
pun juga mengandung risiko, sehingga harus dilaksanakan secara hari-hati
sesuai prosedur yang berlaku, agar mencapai hasil yang maksimal dengan
risiko minimal (Hariyanto et al, 2009).

30
B. Jenis Chamber HBOT
Ruangan hiperbarik dibedakan menjadi 4 yaitu:
1. Monoplace chamber : chamber yang digunakan untuk pengobatan
satu orang penderita.
2. Multiplace chamber : chamber yang digunakan untuk pengobatan
beberapa penderita pada waktu yang bersamaan dengan bantuan
masker untuk setiap pasiennya.
3. Animal chamber : chamber yang digunakan untuk penelitian
khususnya untuk binatang (seperti mencit dan kelinci).
4. Portable chamber : suatu jenis chamber yang dapat digunakan atau
dibawa ke tempat kejadian (seperti hyperlite).
C. Indikasi HBOT
Terapi HBO dapat diterapkan pada penyakit-penyakit berikut ini:
1. Penyakit dekompresi (DCS)
2. Aktinomikosis
3. Emboli udara
4. Anemia karena kehilangan banyak darah
5. Insufisiensi arteri perifer akut
6. Infkesi bakteri, gas gangren, ulkus diabetik
7. Keracunan CO dan sianida
8. Cangkok kulit
9. Infeksi jaringan lunak oleh kuman aerob dan anaerob
10. Osteoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak
11. Sistitis akibat radiasi dan ekstrasi gigi pada rahang yang diobatI
dengan radiateoradiokenesis dan radionekrosis jaringan luna
12. Kandiobolus koronutus
13. Mukomikosis
14. Osteomielitis
15. Ujung amputasi yang tidak sembuh, luka tidak sembuh akibat
hipoperfusi dan trauma lain, ulkus stasis refraktori
16. Tromboangitis obliterans

31
17. Inhalasi asap, luka bakar
18. Ulkus yang terkait vaskulitis
D. Kontraindikasi HBO
1. Kontraindikasi absolut
Kontraindikasi absolut adalah pneumothoraks yang belum dirawat,
kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan
tindakan bedah untuk mengatasi pneumothoraks tersebut (LAKESLA,
2009).
2. Kontraindikasi relatif
1. ISPA
2. Sinusitis kronik
3. Penyakit kejang
4. Emfisema yang disertai retensi CO2
5. Panas tinggi yang tidak terkontrol
6. Riwayat pneumothoraks spontan
7. Riwayat operasi dada dan telinga
8. Infeksi virus
9. Spherositosis kongenital
10. Riwayat neuritis optik
11. Kerusakan paru asimptomatik yang ditentukan pada penerangan
atau pemotretan dengan sinar X (LAKESLA, 2009)
E. Komplikasi HBO
1. Barotrauma telinga, paru, dan gigi
2. Keracunan oksigen
3. Gangguan neurologis
4. Fibroplasia retrolental
5. Katarak
6. Trantsientmiopia reversible

32
F. Fisiologi terapi HBO
Terdapat 3 hukum yang Terdapat 3 hukum yang berperan dalam
terapi oksigen hiperbarik, yaitu (Gill & Bell, 2004):
1. Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan
volume Rumus à P1 V1 = P2 V2 = P3 V3
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik.
Dasar ini terjadi ketika tuba eustachius tertutup mencegah
pemerataan tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa
nyeri di telinga bagian tengah. Pada pasien yang tidak bisa secara
independen melakukan ekualisasi tekanan, tympanostomy harus
dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam
dan ruang harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran
antara bagian dalam dan ruang telinga bagian luar. Demikian pula
gas yang terperangkap dapat membesar dan membahayakan
selama dekompresi, seperti pneumothorakx yang terjadi selama
pemberian tekanan.
2. Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan
jumlah tekanan parsial dari masing-masing bagian gas.
Rumus à P = P1 + P2 + P3 + . . .

3. Hukum Henry
Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding
lurus dengan tekanam parsial gas tersebut dalam cairan atau
jaringan pada suhu yang tetap. Ini adalah dasar teori untuk
meningkatkan tekanan oksigen jaringan dengan dengan
pengobatan HBO. Implikasi pada kasus dimana seseorang
bernafas menggunakan oksigen 100% bertekanan tinggi,

33
sehingga konsentrasi gas inert apda jarungan (terutama nitrogen)
juga meningkat. Nitrogen dapat larut dalam darah dan juga
dapat keluar dari plasma membentuk emboli gas arterial selama
fase dekompresi.
G. Fisiologi dari HBO bermacam-macam yakni:
Hiperoksigenasi atau peningkatan jumlah oksigen terlarut dalam
jaringan. Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat dalam
hemoglobin (Hb2O2), dimana 97% tersaturasi pada tekanan atmosfer,
namun beberapa oksigen dibawa oleh plasma. Pada bagian ini akan
meningkat pada terapi hiperbarik sesuai dengan Hukum Henry yang akan
memaksimalkan oksigen jaringan. Ketika menghirup udara normobarik,
tekanan oksigen arteri adalah sekitar 100 mmHg, dan tekanan oksigen
jaringan sekitar 55 mmHg. Namun, oksigen 100% pada tekanan 3 ATA
dapat meningkatan tekanan oksigen arteri 2000 mmHg, dan tekanan
oksigen jaringan menajdi sekitar 500 mmHg, dan hal ini memungkinkan
pengiriman 60 ml oksigen per liter darah (dibandingkan dengan 3 ml.l
pada tekanan atmosfer), yang cukup untuk mendukung jaringan
berisitirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena oksigen terlarut
banyak didalam plasma maka dapat menjangkau daerah-daerah yang
terhambat dimana sel-sel darah merah tidak bisa lewat, dan juga dapat
mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdaapt gangguan
hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen, seperti pada
keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat (Andrew, 2001).

Peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan


partial oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang
besar untuk proses difusi oksigen dari darah ke jaringan. Keadaan tersebut
sangat berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati
mikrovaskular seperti pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu HBO
juga membantu menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek patologis

34
primer karena penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam
jaringan iskemik (Andrew, 2001).
Vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi
yang cepat dan signifikan pada sebagian besar jaringan.HBO juga biasanya
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bradiakrdi serta menurunkan
CO sebanyak 10-20%, dengan stroke volume masih dipelihara. Meskupun
demikian, hal ini masih dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan
oksigen plasma yang dua kali besar daripada baisanya (Gill dan Bell,
2004).
Efek terhadap pertumbuhan bakteri (antimikroba). HBO yang
meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi
protein dan lipid membran, yang kemudian akan menyebabkan kerusakan
DNA sehingga mencegah multiplikasi, menghambat fungsi metabolisme
bakteri serta memfasilitasi sistem peroksidase yang digunakan leukosit
untuk membunuh materi. HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob dan
bakteri microaerophilic.
Efek pada perfusion injury. HBO menstimulasi pertahanan melawan
radikal bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Apda reperfusion
injury, leukosit menempel pada endotel venule, kemudian terjadi
pengeluaran unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi
arteriol lokal. HBO mecegah proses tersebut dengan memperbaiki hidup
dari kulit atau bahkan tungkai yang diimpantasi (Andrew, 2001).

35
H. Manfaat terapi HBO
1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh,
bahkan pada aliran darah yang kurang (hiperoksigenasi).
2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk
meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang
sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan
pembentukan fibroblast (neovaskularisasi).
3. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti
clostridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren).
4. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) anatara
lain bakteri E. coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya
ditemukan pada luka-luka mengganas.
5. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin dengan
meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu.
6. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan
hidup.
7. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam
menjadi 20 menit pada penyakit keracunan gas CO.
8. Mereduksi ukuran bubble nitrogen.
9. Mereduksi edema.
10. Menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen dan
menjaga elastisitas kulit.
11. Badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup
meningkat, tidur lebih enakd an pulas (Amira et al, 2014).
I. Peran perawat / tender dengan terapi HBO
a. Pra terapi HBO
1. Anamnesis (identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, kontraindikasi);
2. Persiapan alat (masker, air minum, selimut, pispot);
3. Pemeriksaan fisik lengkap;

36
4. Pemeriksaan tambahan bila perlu; dan
Informed consent (manfaat, proses, cara adaptasi ketika ada
tekanan, benda-benda yang tidak boleh dibawa).
b. Intra HBO
1. Bantu transfer input pasien
2. Safety klien
3. Cek kembali barang-barang yang dibawa
4. Ingatkan jangan terlambat valsavah secara benar
5. Monitor tanda-tanda barotraumas, keracunan O2
6. Monitor keadaan umum pasien
7. Koordinasi dengan operator atau dokter jika terjadi masalah
c. Post HBO
1. Bantu pasien keluar
2. Monitor tanda-tanda barotraumas, keracunan CO
3. Lepas masker
4. Rapikan/ bersihkan chamber
5. Pendokumentasian
J. Hubungan terapi HBO dengan diabetes mellitus
Gangren merupakan komplikasi kronik dari DM yang paling sering terjadi.
Hal ini diperoleh akibat peningkatan kadar gula darah yang tidak terkontrol
sehingga menyebabkan perubahan tekanan pada telapak kaki akibatnya
mempermudah terjadinya gangren. Adanya kerentanan infeksi pada kasus DM
gangren dapat menyebabkan infeksi tersebut menyebar keseluruh area luka
(menjadi luas). Gangren ini merupakan kompliaksi akibat angiopati pembuluh
darah yang diakibatkan karena adanya penyempitan dan penyumbatan pembuluh
darah perifer (utamanya di kaki). Perfusi jaringan distal (tungkai) yang kurang
baik mengakibatkan gangren sulit diobati dan dapat berakibat fatal yaitu pada
amputasi.
Terapi HBO pada dasarnya adalah memberikan oksigen 100% pada
tekanan > 1 ATA. Terapi HBO ini merupakan indikasi pada penyakit
nekrosis/hipoksia jaringan. Dengan paparan HBOT maka terjadi IFN-γ, i-NOS,

37
dan VEGF. IFN-γ mengakibatkan TH-1 meningkat menstimulasi β-cell sehingga
terjadi peningkatan Ig-G. Peningkatan Ig-G dapat berefek fagositosis, leukosit
juga meningkat sehingga dapat membunuh bakteri anaerob pada area luka.
Selain itu dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan terjadi neovasSelain
itu dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan terjadi neovaskularisasi
jaringan luka (angiogenesis) sehingga terjadilahaliran darah mikrovaskuler. Jika
daerah gangren susi maka jaringan yang mengalami iskemik akan mendapatkan
oksigen klmengalami iskemik akan mendapatkan oksigen lagi dan terjadi
reperfusi jaringan karena banyak jaringan yang diikat oleh hemoglobin maupun
terlarut dalam plasma. Sehingga oksigen yang dibawa hemoglobim dan plasma
dialirkan ke seluruh jaringan tubuh sehinggadapat meningkatkan proses
penyembuhan luka dan membunuh bakteri.
Disimpulkan bahwa terapi HBO sangat bermanfaat sebagai terapi
alternatif pada pasien DM dengan gangren karena dapat membantu proses
penyembuhan luka. Adapun manfaatnya sebagai berikut:
1. Memperbaiki hipoksia jaringan
2. Meningkatkan daya bunuh leukosit
3. Menghasilkan radikal bebas oksigen
yangmematikan/menghambatpertumbuhan kuman
4. Meningkatkan sensitivitas insulin
5. Mempercepat angiogenesis
6. Mempercepat replikasi sel fibroblast maupun produksi kolagen yang
diperlukan untuk pembentukan jaringan baru.
7. Vasokonstriksi
8. Meningkatkan aktivitas osteoblast

38
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Identitas pasien : nama, umur (berpengaruh pada jenis DM: tipe I
pada usia < 25 tahun, tipe II > 45 tahun), alamat, jenis kelamin, nomor
RM, pekerjaan, diagnosa medis.
1.Keluhan utama : keluhan klinis seperti luka pada kaki tidak
kunjung embuh, kaki terasa mati rasa)
2.Riwayat penyakit sekarang : berisi perjalanan penyakit
pasien sampai direkomendasikan HBOT (kapan mulai DM,
kapan muncul gangren, dan apa penyebabnya)
3.Riwayat penyakit dahulu : mengkaji beberapa penyakit
yang pernah dialami dan memungkinkan menjadi hal yang
dikontraindikasikan dalam HBOT
4.Riwayat keluarga
5.Pemeriksaan fisik
6.Keadaan umum meliputi kondisi kesehatan pasien (lemah /
baik), TTV
7.ROS (review of system) meliputi B1 sampai B6 (breathing,
blood, brain, bladder, bowel, bone and integumen)
2. Pengkajian HBOT
1. Pra HBOT
1.Periksa TTV terutama tekanan darah (bila sistol
mencapai > 180 mmHg atau diastol >100 mmHg
maka aps00 mmHg maka pasien tidak
diperbolehkan masuk chamber)
2.Periksa ambang demam (suhu tidak boleh melebihi
380 celcius)
3.Evaluasi tanda-tanda flu (batuk, pilek, sakit
tenggorokan, mual, diare) tidak diperbolehkan
masuk chamber

39
4.Auskultasi lapang paru
5.Lakukan uji glukosa darah pasien pada DM I
6.Tes pada pasien dengan keracunan gas CO atau O2
7.Observasi cedera orthopedic mum dan luka trauma
8.Uji visus mata
9.Mengkaji tingkat nyeri pasien dan claustrophobia
10. Mengkaji status nutrisi teruitama pad pasien pada
DM yang menjalani pengobatan
3. Intra HBOT
1. Mengamati gejala dan tanda barotrauma, keracunan
O2 dan efek samping terapi HBO
2. Menganjurkan pasien menggunakan tehnik valsava yang
benar dan efektif
3. Perlu mengingatkan pasien bahwa valsava hanya
diperlukan pada saat penekanan / kompresi, dan dapat
bernapas normal selama terapi jika terjadi nyeri ringan
sampai sedang maka hentikan kompresi hingga nyeri
hilang, jika nyeri berlanjutkan maka pasien harus
dikeluarkan dari chamber dan diperiksa oleh dokter
THT
4. Mencegah barotrauma GI dengan menganjurkan pasien
bernapas normal dan menghindari makan atau minum
bergas sebelum perawatan
5. Monitoring menganjurkan pasien bernapas normal da
6. menghindari makan atau minum bergas sebelum perawatan
7. Monitoring pasien selama dekompresi terutama selama
dekompresi darurat
8. Segera periksa gula darah jika terdapat tanda hipoglikemia

40
4. Post HBOT
Jika terdapat tanda barotrauma maka uji ontologis
1. Pada pasien DM tipe I maka tes gula darah
2. Pada iskemik trauma akut , kompartemen sindrom, nekrosis,
post implant maka harus dinilai status neurovas, kompartemen
sindrom, nekrosis, post implant maka harus dinilai status
neurovaskular, kompartemen sindrom, nekrosis, post implant
maka harus dinilai status neurovaskular dan luka. Untuk DM
gangren lakukan perawatan luka/debridement
3. Pasien dengan intoksikasi CO segera lakukan tes psicometri /
tingkat HbCO
4. Pasien dengan DCS harus dilakukan uji neurologis
5. Pasien yang mengkonsumsi obat ansietas selama terapi
dilarang mengemudikan motor/mobil atau menghidupkan
mesin
6. Melakukan pendokumentasian pasien pasca HBO
2. Diagnosa keperawatan HBOT
Terdapat 4 diagnosa utama diantara 14 diagnosa yang paling mungkin
terjadi pada pasien HBOT, yaitu:
1. Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang
HBOT dan prosedur perawatan
2. Risiko cedera berhubungan dengan pasien transfer in/out
dari RUBT (chamber), ledakan peralatan, kebakaran
3. Risiko barotrauma (telinga, sinus, gigi,paru-paru) atau gas
emboli serebri berhubungan dengan perubahan tekanan
udara dalam RUBT (>1 ATA)
4. Risiko keracunan oksigen berhubungan dengan pemberian
oksigen 100% selama tekanan atmosfer meningkat

41
42
C. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI NAMA/PARA


KRITERIA HASIL F
KEPERAWATAN
1. Ansietas berhubungan Tujuan: setelah Pre HBOT
dengan defisit pengetahuan dilakukan asuhan 1. Bina hubungan
saling percaya
tentang HBOT dan prosedur keperawatan HBOT dengan pasien
perawatan selama 1 jam 2. Identifikasi
pemahaman
diharapkan ansietas pasien/
pasien dapat diatasi, keluarga
tentang HBOT
dengan kriteria hasil: 3. Berikan
informasi
Mengetahui alasan tentang tujuan,
prosedur, efek
HBOT samping
HBOT
Pasien dapat 4. Berikan
kesempatan
mengungkapkan klien untuk
tujuan, prosedur, dan bertanya
5. Cek tekanan
risiko HBOT darah pasien
Intra HBOT
1. Dampingi
pasien
2. Observasi
keadaan dan
respon pasien
di dalam
chamber
Post HBOT
1. Dokumentasik
an respon
pasien setelah
HBOT

43
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI NAM
HASIL
KEPERAWATAN
2. Risiko cedera Tujuan: setelah dilakukan asuhan Pre HBOT
keperawatan HBOT selama 1 jam 
berhubungan dengan Bina
maka cidera tidak akan terjadi, hubungan
pasien transfer in/out dari dengan kriteria hasil: saling percaya
RUBT (chamber), ledakan 1. Pasien keluar dengan pasien
RUBTdengan kondisi 
peralatan, kebakaran Bantu
aman pasien masuk
2. Tidak terjadi kebakaran ke RUBT /
3. Tidak ditemukan cidera chamber
pada tubuh
 Ingatkan
pasien
mengenai
barang-barang
yang tidak
boleh dibawa
kedalam
RUBT
Intra HBOT
 Amankan
peralatan
dalam RUBT
sesuai
kebijakan dan
SOP
 Dampingi
dan obeservasi
kondisi pasien
Post HBOT
 Bantu
pasien keluar
RUBT /
chamber

44
45
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI NAMA/PARAF
HASIL
KEPERAWATAN
3. Risiko barotrauma Tujuan: setelah Pre HBOT
dilaksanakan asuhan 
(telinga, sinus, gigi,paru- Bina
keperawatan HBOT selama hubungan
paru) atau gas emboli 1 jam, diharapkan saling percaya
barotruma tidak terjadi
serebri berhubungan dengan pasien
pada pasien dengan kriteria
dengan perubahan hasil:  Ajari pasien
untuk valsava
tekanan udara dalam 1. Pasien tidak (pengosongan
mengeluh nyeri
RUBT (>1 ATA) telinga) dengan
pada telinga, sinus, cara menelan
gigi, dan paru-paru ludah,
2. Tidak ditemukan mengunyah
tanda-tanda permen,
barotrauma pada menggerakkan
pasien: rahang keatas
kebawah,
3. Nyeri telinga,
menutup hidung
sinus, gigi, dan
dan mulut lalu
paru-paru
meniupkan
4. Nyeri dada tajam, udara keluar
napas cepat dengan benar
 Cek tekanan
darah pasien
Intra HBOT
 Kaji
kemampuan
pasien
melakukan
tehnik
pengosongan
telinga saat
dilakukan
penekanan
 Lakukan
tindakan
keperawatan:
 Ingatkan

46
pasien untuk
bernapas
normal selama
perubahan
tekanan
 Beritahu
operator jika
pasien tidak
dapat
menyesuaikan
perubahan
tekanan
(pusing, telinga
sakit)
3. Monitoring
tanda dan gejala
barotrauma
Post HBOT
 Dokumentasi
kan respon
pasien terhadap
terapi HBO

47
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI NAMA/PARA
HASIL F
KEPERAWATAN
4. Risiko keracunan Tujuan: setelah dilakukan Pre HBOT
asuhan keperawatan selama 
oksigen berhubungan Catat hasil
1 jam keracunan oksigen pengkajian pasien
dengan pemberian tidaka kan terjadi, dengan dari dokter HBO
kriteria hasil:
oksigen 100% selama meliputi tekanan
 Pasien tidak darah, suhu, riwayat
tekanan atmosfer mengeluh pusing penggunaan obat
meningkat kortikosteroid,
 Tidak ditemukan
riwayat kejang
tanda-tanda keracunan
oksigen Intra HBOT
 Mati rasa dab  Monitor kondisi
berkedut, vertigo pasien saat terapi
berlangsung
 Penglihatan kabur
 Dampingi dan
 Mual
observasi tanda dan
gejala keracunan
oksigen
Post HBOT
 Beritahu dokter
jika tanda dan gejala
keracunan oksigen
muncul

48
D. Implementasi Keperawatan

Adalah serangkaian kegitan yang dilakuka oleh perawat untuk


membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan hasil yang diharapkan

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi dalam keperawatan adalah kegiatan dalam menilai


tindakan keperawatan yang telah ditentukan untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil proses keperawatan

49
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik karena adanya


masalah pada pengeluaran insulin, aksi insulin atau keduanya (Ignatavicus
et al., 2016).

DM atau yang sering isbut kencing manis adalah suatu penyakit kronik
yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau
tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan didiagnosa
melalui pengamatan kadar glukosa di dalam arah. Insulin merupakan
hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berperan dalam
meamsukkan glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh untuk digunakan
sebagai sumber energi (IDF, 2015).
Gangrene adalah kondisi jaringan tubuh yang mati akibat tidak
mendapat pasokan darah yang cukup atau akibat infeksi bakteri yang berat.
Kondisi serius ini umumnya terjadi di tungkai, jari kaki, atau jari tangan,
namun juga bisa terjadi pada otot serta organ dalam. Gangrene adalah
kondisi serius yang bisa mengarah ke amputasi hingga kematian.
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang
masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1
atmosfer absolut (ATA) terhadap tubuh sebagai bentuk pengobatan
(Hariyanto et al, 2009).
Terapi oksigen hiperbarik merupakan sebuah terapi yang
menggunakan oksigen 100% di dalam suatu chamber dengan tekanan lebih
besar daripada tekanan laut (satu atmosfer absolut / ATA). Peningkatan
tekanan ini bersifat sistemik dan dapat diaplikasikan di dalam monoplace
chamber maupun multiple chamber (Ali et al, 2004; Grill & Bell et al,
2004; Biomedical engineering, 2014).

50
51
Manfaat terapi HBO
1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada
aliran darah yang kurang (hiperoksigenasi).
2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran
darah pada sirkulasi yang berkurang sehingga dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dengan pembentukan fibroblast (neovaskularisasi).
3. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti clostridium
perfingens (penyebab penyakit gas gangren).
4. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) anatara lain bakteri E.
coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada luka-luka
mengganas.
5. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin dengan meningkatkan
produksi antioksidan tubuh tertentu.
6. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup.
7. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20 menit
pada penyakit keracunan gas CO.
8. Mereduksi ukuran bubble nitrogen.
9. Mereduksi edema.
10. Menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen dan menjaga
elastisitas kulit.
11. Badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup meningkat,
tidur lebih enakd an pulas (Amira et al, 2014).
B. SARAN
Sebagai calon tenaga keperawatan, sudah seharusnya kita mengetahui
tentang berbagai penyakit dan jenis terapi salah satunya terapi TOHB yang
mempunyai banyak sekali manfaat terutam auntuk luka seperti luka ulkus
ganggren .

52
DAFTAR PUSTAKA

Dentistry.6th..Canada:Elsevier Inc.pp:218-219

Agus,R.2013.Kapita Selekta Kuesiner Pengetahuan dan Sikap dalam Penelitian


Kesehatan.Jakarta:Salemba Medika

Agoes,A.Achdiat,A.2013.Penyakit di usia tua.ECG,Jakarta

Brasher,V.L,Robert, E.J, Sue, E.H.2014.Alteations of Hormonal Regulation.


Dalam: Kathryn L. McCANCE, Sue E. Hueter, Pathophysiology:The Biologic
Basic for Disease in Adults and Children ELSEVIER

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : definisi dan klasifikasi


2012-2014. Jakarta: EGC.

53

Anda mungkin juga menyukai