Anda di halaman 1dari 28

TUGAS IV

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III


RHEUMATOID ARTHRITIS

Disusun Oleh:
RAMANI (18101050115)

Keperawatan 5C

Dosen Pembimbing:
Ns. Revi Neini Ikbal,M.Kep

PROGRAM KEPERAWATAN
STIKES ALIFAH PADANG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Pengalaman Belajar
Lapangan (PBL) yang berjudul “Rheumatoid Arthritis” ini tepat pada waktunya. PBL ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

Dalam penulisan laporan PBL ini penulis banyak mendapatkan bimbingan maupun
bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr.dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 3. dr. Ketut
Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, saran-saran
dan bantuan dalam penyusunan laporan PBL ini.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan PBL ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan PBL ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan PBL ini
dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Padang 02 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……………………………………………………………………. i
Kata Pengantar………………………………………………………………… ii
Daftar Isi …………………………………………………………………………iii
Daftar Tabel…………………………………………………………………………. iv

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………… 3


2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis …………………………………………3
2.1 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis……………………………………… 3
2.3 Faktor Resiko Rheumatoid Arthritis…………………………………… 4
2.4 Etiopagonesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis ………………..6
2.5 Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis…………………………….. 10
2.6 Pemeriksaan Penunjang Rheumatoid Arthritis………………………. 11
2.7 Diagnosis Rheumatoid Arthritis……………………………………… 11
2.8 Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis………………………………. 13
2.9 Prognosis Rheumatoid Arthritis …………………………………………16

BAB III LAPORAN KASUS………………………………………………….….. 17

3.1 Identitas Pasien………………………………………………………………. 17


3.2 Anamnesis……………………………………………………………. 17
3.4 Pemeriksaan Fisik ……………………………………………………..19
3.5 Pemeriksaan Penunjang …………………………………………………21
3.7 Diagnosis……………………………………………………………. 26
3.8 Penatalaksanaan………………………………………………………… 26
BAB IV SIMPULAN……………………………………………………………… 30

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya
yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah
Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal
namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan
pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan
susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima,
Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di
dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA
untuk negara dengan pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah
di Asia Tenggara sebesar 0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%,
dan Amerika sebesar 1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16%
dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6
juta laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian
meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada tahun
2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali
memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak
diperinci jenis rematik secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik,
usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan
urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila
tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang
progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15%
pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau
berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa
disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi,
status fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi
dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini.
Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak
terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan
pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya dengan
melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria
yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria
ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR
(American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui
dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai
keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian
dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis”
yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan
Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan
dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum
didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu
dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

2.2 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis


Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainnya, di
Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar 1% pada kaukasia
dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat
1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di
Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000.
Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan
prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan
prevalensi RA 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik
Reumatologi RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari
seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali
memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak
diperinci jenis rematik secara detail. Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013)
memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia
yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu
wilayah pedesaan di Bali.

2.3 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis


Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi dua
yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang berkaitan
kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1.
Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia.
HLA
DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22
teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya
juga antara riwayat dalam keluarga dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga dapat
terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor
risiko untuk
timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya RA semakin
meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada
usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1. Meskipun
mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon seks
kemungkinan memiliki pengaruh.

2.3.2 Dapat Dimodifikasi


1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan antara faktor sosial
ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat
kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok tembakau berhubungan
dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan dengan produksi dari rheumatoid
factor(RF) yang akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga
berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok menjadi 10 hingga 40 kali
lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum
terjawab namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang mempengaruhi
perjalanan RA. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak
ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian
tersebut menyebutkan daging merah dapat
meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan memproteksi kejadian
RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko
namun masih belum jelas bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus (EBV) karena virus
tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya
parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga
memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani, pertambangan, dan yang
terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang
yang bekerja dengan paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada perempuan dengan
sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih
dari 30.

2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit autoimun
yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin,
keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal
RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor
pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan
reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal,
mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap
antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun). Proses autoimun
dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang
terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik,
infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai
mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya
menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin
organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin
berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh
monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast
sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan,
enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

7
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA Proses
keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium
dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi
terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi
dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-
CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan
terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan
sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal
ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin
yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui
pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi
diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran
sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi
yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel
radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh
sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut,
dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung,
osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary adrenalaxis, sehingga
menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).

8
Gambar 2.

Patofisiologi Rheumatoid Arthritis


Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah
sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh
darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros
akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan
vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan
residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi
vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA
kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang.
Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat
penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra
dkk,2013).
2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid Arthritis
2.5.1 Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering pada
keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa keluhan
umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun, peningkatan
panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki
(sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-
klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada leher.
Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada autopsi RA
didapatkan kelainan perikard
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura (efusi
pleura, nodul subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi berupa keluhan
kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan mata, skleritis
atau eriskleritis dan skleromalase perforans
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati, anemia,
trombositopeni, dan neutropeni
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak
menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis dini
dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan
antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.
2.5.3 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini disebabkan
oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat
berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism
Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai
contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas hanya 54%.
(Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun
1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA: 1. Kaku pagi hari pada sendi
dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau
lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan
persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),
atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP
(proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP
(metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan
ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau
pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan
kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas, dapat pula
digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College of Rheumatology
(ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6
pasien mungkin memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun
retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit) (Putra dkk,2013).
Distribusi Sendi (0-5) Skor
1 sendi besar
0
2-10 sendi besar
1
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)
2

>10 sendi kecil


5
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif
0
Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA
2
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA
3

12
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu
0
≥6 minggu
1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal
0
CRP abnormal ATAU LED abnormal
1

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan
faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko
peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314
wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di
bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-gerakan yang
dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun
gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau
senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat untuk
menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga dapat
mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam,
buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai
antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi juga
terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup
dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi
yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang
disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013) 6. Berdasarkan sejumlah penelitian
sebelumnya, ditemukan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga
salah satu upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi
perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).

2.6.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan bila
diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah
menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan
mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat
diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya.
Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat,
sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal
maupun kombinasi
(Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge”
terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru
muncul setelah 4-16 minggu. 4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang,
dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat
dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis,
total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io17,5mg/minggu
ditingkatkan setiap dalam 8-12 minggu
Digunakan sebagai lini pertama
minggu hingga
4x500mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 mg/
minggu/IV Diberikan pada kasus lanjut dan berat. Efek
samping: rentan infeksi, intoleransi GIT,
atau peroral 12,5-
gangguan fungsi hati dan hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan tajam penglihatan,
mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis, proteinuria, rash

2.7 Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis


RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif yang
berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat
lainnya seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES), yang mungkin

15
mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan.
Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada artritis gout maka
pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu, osteoartritis juga memiliki kemiripan
gejala dengan RA.

2.8 Prognosis Rheumatoid Arthritis


Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan pasien untuk
berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen
penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis
yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal
dibandingkan mereka yang tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan
manifestasi yang berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal
nafas, gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami
hendaya dalam 10 tahun ke depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah
gejala awal menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator
prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi
dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : M
Umur : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Pedagang dan penjaga villa
Alamat : Jl. Goa Gong Br. Kutuh Unggasan Kuta Badung
Tanggal MRS : 13 September 2015
Tanggal Pemeriksaan Pasien : 17 September 2015

3.2 KELUHAN UTAMA


Nyeri sendi

3.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang sadar pada tanggal 13 September 2015 dengan keluhan nyeri sendi di
lutut kiri dan kanan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) sampai tidak bisa
berjalan. Keluhan dikatakan oleh pasien pertama kali dirasakan sejak 2 bulan SMRS,
semakin hari semakin memberat dan terparah sejak 2 hari SMRS. Selain itu, nyeri sendi
juga dirasakan di pergelangan tangan dan jari-jari tangan kanan dan kiri terutama pada ibu
jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Awal mula keluhan adalah rasa kaku di pangkal jari-jari
tangan dan pergelangan tangan kanan kiri yang muncul bersamaan pada pagi hari dan
berlangsung kurang dari 30 menit namun semakin hari muncul hingga lebih dari 1 jam.
Semakin lama, pasien merasa sendi jari-jarinya menjadi bengkak. Selanjutnya nyeri
dirasakan pula di kedua lutut pasien yang semakin memberat dari hari ke hari, dimana
pasien masih
bisa menahan dan beraktivitas seperti biasa hingga nyeri yang dirasakannya menjadi
kemerahan dan bengkak sehingga tidak bisa berjalan. Kemudian pasien juga merasakan
nyeri di sendi-sendi seluruh badan. Utamanya di leher, bahu, siku, dan pinggang. Keluhan
tersebut membaik saat pasien beristirahat dan memberat saat beraktivitas atau saat sendi
digerakkan.
Pasien juga mengeluhkan lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas dikatakan tidak membaik
dengan istirahat. Keluhan demam, sesak, diare, mual, muntah dan kekeringan pada mata
disangkal pasien. Pasien tidak merasakan adanya penurunan nafsu makan dan berat badan
dikatakan biasa saja. Riwayat BAB dan BAK dikatakan tidak ada masalah dan dalam batas
normal.

Riwayat Pengobatan
Sejak keluhan muncul, pasien sempat memeriksakan diri ke dokter klinik sebanyak
3 kali. Saat periksa tersebut pasien dicek kadar asam uratnya dan dinyatakan normal,
pasien juga tidak dijelaskan mengenai jenis penyakit yang dideritanya dan hanya diberikan
berbagai macam obat mulai dari obat oral dan suntik namun pasien mengatakan lupa jenis
dan merk obatnya. Ketika obat habis, pasien memeriksakan kembali keluhannya yang
tidak membaik ke dokter lainnya. Pasien juga membeli obat-obatan sendiri seperti tablet
penambah stamina dan parasetamol. Karena merasa lemas sejak satu hari SMRS, pagi hari
SMRS pasien meminum tablet penambah stamina dan beberapa saat kemudian semakin
lemas karena mengganggap mengonsumsi obat tanpa makan terlebih dahulu.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan nyeri sendi dan bengkak
seperti ini. Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus disangkal oleh
pasien. Sekitar 2 tahun lalu pasien hanya pernah MRS di RS Kasih Ibu karena sakit
muntaber.

Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat
hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus pada keluarga disangkal oleh
pasien.

Riwayat Sosial dan Pribadi


Pasien bekerja sebagai pedagang dan penjaga villa. Terkadang pasien membuat dan
berjualan krupuk di rumahnya, namun tidak sampai berkeliling dalam menjajakan
dagangannya. Setiap harinya pasien beraktivitas membersihkan villa yang satu kawasan
dengan rumahnya. Riwayat konsumsi rokok dan alkohol disangkal oleh pasien. Pasien
hanya memiliki kebiasaan minum kopi 3 gelas setiap harinya yang diminum setiap pagi,
siang, dan sore. Pasien tidak memiliki kebiasaan khusus dalam mengonsumsi makanan
karena selalu berganti-ganti menu di setiap harinya, pasien menyangkal sering
mengonsumsi daging merah. Pasien juga tidak terlalu sering makan sayur-sayuran dan
buah-buahan.

3.4 PEMERIKSAAN FISIK (17 September 2015)


Status Present
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit reguler
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur : 36,5ºC
BB / TB : 45 kg / 152 cm
BMI : 19,47 kg/m2
Satus Gizi : Baik
VAS : 3/10 (nyeri sendi)
Status General
Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra (-/-)
THT : dalam batas normal,
Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : simetris
Cor: Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung parasternal line dekstra, batas kiri
jantung
midclavicular line sinistra ICS V
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo:Inspeksi : Simetris saat statis & dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus N|N
N|N
N|N
Perkusi : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
Auskultasi : vesikuler +|+, ronkhi -|-, wheezing -|- +|+, -|-, -|-
+|+, -|-, -|-

Abdomen
Inspeksi : Distensi (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Hangat +|+ edema -|-


+|+ -|-

Status Lokalis
Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III dekstra dan sinistra Inspeksi : eritema
(-), edema (+), kontraktur(-),nodul rematoid(-)
Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)
ROM : terbatas

Sendi Genu Dekstra dan Sinistra


Inspeksi : eritema (+), edema (+), kontraktur (-)
Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+), bulging (-), krepitasi (-) ROM : terbatas

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap (13 September 2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks WBC 13,31 103µL 4,10-11,00 Tinggi %
NEUT 81,8 % 47,00-80,00 Tinggi % LYMPH 9,2 % 13,00-40,00 Rendah % MONO 6,3
% 2,00-11,00 % EOS 1,6 % 0,00-5,00 % BASO 0,1 % 0,00-2,00 #NEUT 10,89 103µL
2,50-7,50 Tinggi #LYMPH 1,23 103µL 1,00-4,00 #MONO 0,84 103µL 0,10-1,20 #EOS
0,21 103µL 0,00-0,50 #BASO 0,02 103µL 0,00-0,10 RBC 4,69 106µL 4,00 – 5,20
Hemoglobin 11,1 g/dL 12,00-16,00 Rendah Hematokrit 38,0 % 36,00-46,00 Platelet 426
103µL 140,00-440,00 MCV 81,0 fL 80,00-100,00 MCH 23,6 Pg 26,00-34,00 MCHC 29,2
g/dL 31,00-36,00 RDW 11,4 % 11,60-14,80 Rendah MPV 5,3 fL 6,80-10,00 Tinggi

Kimia Klinik (13 September 2015)


Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks SGOT 11,8 U/L 11-27 SGPT 10,5 U/L
11,00-34,00 Rendah Albumin 3,14 g/dL 3,40-4,80 Rendah BS Acak 110 mg/dL 70,00-
140,00 BUN 6 mg/dL 8,00-23,00 Rendah Creatinin 0,54 mg/dL 0,50-0,90
Uric acid 2,9 mg/dL 2,00-5,70 Natrium (Na) 132 mmol/L 136-145 Rendah Kalium (K)
3,08 mmol/L 3,50-5,10 rendah
Urinalisis (13 September 2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks Specific gravity 1,005 Negatif PH 7
7,35-7,45 Rendah Leucocyte Negatif leuco/uL Negatif Nitrite Negatif Negatif Protein
(urine) Negatif mg/dL Negatif Glukosa (urine) Normal mg/dL Normal KET Negatif
Negatif Urobilinogen Normal mg/dL Normal Bilirubin (urine) Negatif mg/dL Negatif ERY
25 (++) Ery/uL Negatif Colour Amber p-yellow-yellow

Hematologi (13 September 2015)


Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks LED I 30 Mm 0-2 Tinggi LED II 60
Mm 2-11 Tinggi Hematologi (15 September 2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks LED I 1 Mm 0-2 LED II 14 Mm 2-11
Tinggi

Imunologi (15 September 2015)


Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks RF (Kuantitatif) 16 <8 Tinggi

Kimia Klinik (15 September 2015)


Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks
CRP 71,4 mg/L 0,00-5,00 Tinggi
(Kuantitatif)

22
Pemeriksaan Radiologi (13 September 2015)

Foto Thorax AP:


Cor : kesan membesar
Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri normal
Tulang-tulang tidak tampak kelainan
Kesan : cardiomegaly
Pulmo tak tampak kelainan

23

Foto Manus Kanan-Kiri AP/Oblique:


Tampak non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri Trabekulasi
tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesan : non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri Tulang-
tulang manus kanan tak tampak kelainan
Foto Genu Kanan-Kiri AP/Lateral:
Aligment baik
Tampak osteophyte pada condylus lateralis et medialis dan eminentia intercondylaris os
tibia kanan-kiri, margo posteroinferior os patella kanan kiri
Trabekulasi tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tampak soft tissue swelling regio genu kanan-kiri
Kesan : osteoarthritis genu bilateral grade I (Kellgren-lawrence) Soft tissue
swelling regio genu kanan-
Foto Pedis Kanan-Kiri AP/Lateral:
Aligment b2aik
Tak tampak garis fraktur/dislokasi
Trabekulasi tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesan : Tulang-tulang pedis kanan-kiri tak tampak kelainan
3.6 DIAGNOSIS
- Rheumatoid Arthritis dd SLE
- Secondary Osteoarthritis Genu D et S
3.7 PLANNING
Terapi
∙ IVFD NS 20 tpm
∙ Paracetamol 4x750mg io
∙ Na diclofenac 3x50mg io
∙ Metotrexat 1x7,5mg io
∙ Diet tinggi kalori tinggi protein
∙ Kompres hangat
Diagnostik
∙ Analisis synovial fluid
Monitoring:
∙ Keluhan
∙ Tanda vital : Kesadaran, Tekanan Darah, Nadi, Suhu, Respirasi ∙ CM-CK
3.8 Prognosis
− Vitally : dubius ad bonam
− Functionally : dubius ad bonam
− Sanationum : dubius ad bonam
BAB IV
SIMPULAN

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi


kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem
tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi
jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur.
Terdapat banyak faktor risiko terjadinya RA diantaranya ada yang bersifat tidak dapat
dimodifikasi (genetik, ras, jenis kelamin, dan usia) dan yang dapat dimodifikasi (gaya
hidup, infeksi, dan bentuk tubuh). Manifestasi klinis RA dapat berupa keluhan umum,
kelainan sendi, dan kelainan diluar sendi. Dengan penegakkan diagnosis berdasarkan
kriteria ARA tahun 1987 ataupun ACR tahun 2010 dimana meliputi dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien perempuan 49 tahun ini
didapatkan tanda tanda yang serupa dengan manifestasi klinis artritis yang mengarah ke
diagnosis rheumatoid arthritis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung.
Berdasarkan prosedur penatalaksanaan RA, saat ini pasien menjalani perawatan di rumah
sakit dan mendapatkan terapi suportif dan medikamentosa untuk menghilangkan inflamasi
dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis
Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of
Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien
Non Koperatif. Academia Edu
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of
Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J
Med, vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.
Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income
Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1,
pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, FKUI,
Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis. Indonesian
Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20

Anda mungkin juga menyukai