Disusun Oleh:
RAMANI (18101050115)
Keperawatan 5C
Dosen Pembimbing:
Ns. Revi Neini Ikbal,M.Kep
PROGRAM KEPERAWATAN
STIKES ALIFAH PADANG
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Pengalaman Belajar
Lapangan (PBL) yang berjudul “Rheumatoid Arthritis” ini tepat pada waktunya. PBL ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penulisan laporan PBL ini penulis banyak mendapatkan bimbingan maupun
bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr.dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 3. dr. Ketut
Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, saran-saran
dan bantuan dalam penyusunan laporan PBL ini.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan PBL ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan PBL ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga laporan PBL ini
dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul……………………………………………………………………. i
Kata Pengantar………………………………………………………………… ii
Daftar Isi …………………………………………………………………………iii
Daftar Tabel…………………………………………………………………………. iv
BAB I PENDAHULUAN 1
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di sekitarnya
yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik adalah
Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal
namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai gangguan
pergerakan diikuti dengan kematian prematur (Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan dengan
susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima,
Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di
dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA
untuk negara dengan pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah
di Asia Tenggara sebesar 0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%,
dan Amerika sebesar 1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16%
dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6
juta laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian
meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA pada tahun
2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir
dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali
memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak
diperinci jenis rematik secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak faktor
risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah faktor genetik,
usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet, polutan, dan
urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga apabila
tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan kerusakan sendi yang
progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut Fuch dan Edward, hanya 15%
pasien RA yang memperoleh pengobatan secara medis yang mengalami remisi atau
berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal onset dan hanya 17% dengan tanpa
disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi dari berbagai parameter seperti level remisi,
status fungsional, dan derajat kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih merupakan
masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik, biologis, ekonomi
dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status kesehatannya saat ini.
Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak usia pertengahan menyebabkan
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Salah satu penyakit tersebut adalah RA dimana proses patologi imunologinya
terjadi beberapa tahun sebelum muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak
terjadi pada lansia namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan memberikan
pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah satunya dengan
melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak alat ukur dan kriteria
yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya adalah berdasarkan kriteria
ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR
(American College of Rheumatology) yang direvisi tahun 2010.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA Proses
keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium
dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi
terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi
dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-
CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan
terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan
sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal
ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin
yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui
pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi
diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran
sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi
yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel
radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh
sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut,
dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung,
osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary adrenalaxis, sehingga
menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
8
Gambar 2.
12
Durasi Gejala (0-1)
<6 minggu
0
≥6 minggu
1
Acute Phase Reactant (0-1)
CRP normal DAN LED normal
0
CRP abnormal ATAU LED abnormal
1
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan
faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko
peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314
wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di
bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-gerakan yang
dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun
gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau
senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat untuk
menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga dapat
mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam,
buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai
antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi juga
terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup
dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi
yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang
disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013) 6. Berdasarkan sejumlah penelitian
sebelumnya, ditemukan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga
salah satu upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi
perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
2.6.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan bila
diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah
menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan
mencegah destruksi jaringan lebih lanjut (Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat
diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya.
Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat,
sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal
maupun kombinasi
(Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge”
terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru
muncul setelah 4-16 minggu. 4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang,
dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat
dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis,
total hip replacement, dan sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io17,5mg/minggu
ditingkatkan setiap dalam 8-12 minggu
Digunakan sebagai lini pertama
minggu hingga
4x500mg/hari
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10 mg/
minggu/IV Diberikan pada kasus lanjut dan berat. Efek
samping: rentan infeksi, intoleransi GIT,
atau peroral 12,5-
gangguan fungsi hati dan hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan tajam penglihatan,
mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis, proteinuria, rash
15
mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan.
Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada artritis gout maka
pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu, osteoartritis juga memiliki kemiripan
gejala dengan RA.
Riwayat Pengobatan
Sejak keluhan muncul, pasien sempat memeriksakan diri ke dokter klinik sebanyak
3 kali. Saat periksa tersebut pasien dicek kadar asam uratnya dan dinyatakan normal,
pasien juga tidak dijelaskan mengenai jenis penyakit yang dideritanya dan hanya diberikan
berbagai macam obat mulai dari obat oral dan suntik namun pasien mengatakan lupa jenis
dan merk obatnya. Ketika obat habis, pasien memeriksakan kembali keluhannya yang
tidak membaik ke dokter lainnya. Pasien juga membeli obat-obatan sendiri seperti tablet
penambah stamina dan parasetamol. Karena merasa lemas sejak satu hari SMRS, pagi hari
SMRS pasien meminum tablet penambah stamina dan beberapa saat kemudian semakin
lemas karena mengganggap mengonsumsi obat tanpa makan terlebih dahulu.
Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat
hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus pada keluarga disangkal oleh
pasien.
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba Perkusi : Timpani
Status Lokalis
Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III dekstra dan sinistra Inspeksi : eritema
(-), edema (+), kontraktur(-),nodul rematoid(-)
Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)
ROM : terbatas
22
Pemeriksaan Radiologi (13 September 2015)
23
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).
Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of
Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis
Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The Journal of
Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan Pasien
Non Koperatif. Academia Edu
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of
Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the British Society for
Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle
Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N Engl J
Med, vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia.
Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan ACR/EULAR
2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan Pengelolaan
Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income
Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1,
pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, FKUI,
Jakarta, pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis. Indonesian
Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20