Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PROJECT PERTEMUAN 7

FARMAKOTERAPI TERAPAN

“Farmakoterapi Penyakit Rhematoid Arthritis”

KELOMPOK 5

Hernamirah (2043700233)

Aprilia Ade Kartini (2043700239)

Paskalia Sihombing (2043700228)

Kurnia Telaumbanua (2043700232)

Vikomilando (2043700241)

Kelas : Apoteker Pagi D

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA

PROFESI APOTEKER JAKARTA

TAHUN 2020/2021

i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah dengan judul “Farmakoterapi Penyakit Rheumatoid Arthritis”

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah Interpretasi
Data Klinik yaitu Ibu Dr. Aprilita Rina Yanti Eff., M.Biomed., Apt. atas bimbingannya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jakarta, November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER.............................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................................1
1.4 Manfaat.............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................................3
2.1 Pengertian..........................................................................................................................3
2.2 Patofisiologi......................................................................................................................3
2.3 Gejala Klinik.....................................................................................................................4
2.4 Sasaran Pengobatan...........................................................................................................5
2.5 Penatalaksanaan..............................................................................................................11
2.6 Evaluasi hasil Terapi.......................................................................................................12
BAB III PENUTUP......................................................................................................................13
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................13
3.2 Saran................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimune dan sistem imun
yang mnyebabkan peradangan kronis pada sendi. RA akibat reaksi autoimun dalam
jaringan synovial melibatkan proses fagositosi. Penyebab RA belum jelas sampai
sekarang, namun faktor keturunan berpengaruh atas timbulnya keluhan sendi ini. Nyeri
RA umumnya sering di tangan, senid sikum kaki, pergelangan kaki da lutut. Nyeri dan
bengkak pada sendi dapat berlangsung terus menerus dan semakin lama gejala
keluhannya akan semakin berat.

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun yang bnyak diderita oleh


kaum lanjut usia. Penderita perempuan 2-3 kali lebih banyak dari pada penderita laki-
laki. Artritis Reumatoid merupakan penyakit autoimun yang memerlukan pengobatan dan
kontrol jangka panjang. Dalam 15 tahun terakhir telah banyak dijumpai perkembangan
dalam pengelolaan penyakit ini sehingga kualitas dan harapan hidup pasien AR
bertambah baik. Pemahaman bahwa AR berkaitan dengan komorbiditas lain dan
mortalitas dini membuat penatalaksanaan AR harus agresif dan sedini mungkin sehingga
akan meningkatkan hasil jangka pendek dan panjang yang lebih baik.

Rheumatoid arthritis dapat mengancam jiwa pasien atau hanya menimbulkan


gangguan kenyamanan. Maslah yang disebabkan oleh penyakit rheumatois arthritis tidak
hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup sehari-
hari tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas yang dapat menimbulkan masalah seperti
nyeri, keadaan mudah lelah serta gangguan tidur.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Rheumatoid Arthritis?
2. Bagaimana patofisiologi dan gejala klinik dari Rheumatoid Arthritis?

1
3. Bagaimana Penatalaksanaan dari Rheumatoid Arthritis?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan apa itu rheumoatoid arthritis
2. Menjelaskan patofisiologi dan gejala klinik dari Rheumatoid Arthritis
3. Menjelaskan Penatalaksanaan dari Rheumatoid Arthritis

1.4 Manfaat
1. Mahasiswa memahami apa itu Rheumatoid arthritis
2. Mahasiswa memahami patofisiologi dan gejala klinik dari Rheumatoid Arthritis
3. Mahasiswa memahami Penatalaksanaan dari Rheumatoid Arthritis

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Penyakit rheumatoid arthritis (RA) merupakan salah satu penyakit autoimun
berupa inflamasi arthritis pada pasien dewasa (Singh et al., 2015). Rasa nyeri pada
penderita RA pada bagian sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa akan mengalami
penebalan akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar
sendi (Syamsuhidajat, 2010) hingga dapat menyebabkan kecacatan (Yazici & Simsek,
2010).
Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan
peradangan kronis pada sendi. Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi ketika
jaringan-jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri yang keliru (Aletaha et
al., 2010).
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainya,
di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1% pada
kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika
Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%.
Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-
24/1000003-4. Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi AR 0,3 %5, sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40
tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah
Kabupaten6. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada
tahun 2000 kasus baru Artritis Reumatoid merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di
poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik
baru pada tahun 2000-2002 (PRI. 2014).

2.2 Patofisiologi

3
Rheumatoid arthritis akibat reaksi autoimun dalam jaringan sinovial yang
melibatkan proses fagositosis. Dalam prosesnya, dihasilkan enzim-enzim dalam sendi.
Enzim-enzim tersebut selanjutnya akan memecah kolagen sehingga terjadi edema,
proliferasi membran sinovial dan akhirnya terjadi pembentukan pannus. Pannus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan
merasakan nyeri akibat serabut otot mengalami perubahan degeneratif dengan
menghilangnya kemampuan elastisitas pada otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer &
Bare, 2002).

Patogenesis RA belum sepenuhnya dipahami.Rangsangan eksternal (misalnya


merokok, infeksi, atau trauma) dapat memicu reaksi autoimun, yang mengarah ke
hipertrofi sinovial dan peradangan sendi kronik (intraartikular). Selain itu, rangsangan ini
juga berpotensi untuk bermanifestasi ekstraartikular, diduga terutama pada individu yang
memiliki faktor genetik.Faktor genetik dan kelainan sistem kekebalan berkontribusi
terhadap penyebaran penyakit.Hiperplasia sinovial dan aktivasi endotel adalah proses
patologis awal yang berkembang menjadi peradangan kronik dan mengakibatkan
kerusakan tulang dan tulang rawan.Sel-sel yang terlibat pada peradangan seluler pada
patofisiologi RA antara lain: sel limfosit T CD4, sel fagosit mononuklear, sel fibroblas,
sel osteoklas, dan sel neutrofil. Sedangkan sel yang terlibat pada peradangan humoral
adalah sel limfosit B yang menghasilkan autoantibodi (faktor reumatoid).Pada RA,
diketahui terjadi peningkatan berbagai sitokin, kemokin, dan mediator inflamasi sebagai
berikut: Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-
6), Interleukin-8(IL-8), Transforming Growth Factor Beta (TGF-ß), Fibroblast Growth
Factor (FGF), Platelet Derived Growth Factor (PDGF).Pada akhirnya, proses
peradangan dan proliferasi sinovium (pannus) yang berlebihan menyebabkan kerusakan
berbagai jaringan, termasuk tulang rawan, tulang, tendon, ligamen, dan pembuluh darah.
Meskipun struktur artikular adalah organ utama yang terlibat, jaringan lain juga
terpengaruh.

2.3 Gejala Klinik

4
RA pada umumnya sering di tangan, sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut.
Nyeri dan bengkak pada sendi dapat berlangsung dalam waktu terus-menerus dan
semakin lama gejala keluhannya akan semakin berat. Keadaan tertentu, gejala hanya
berlangsung selama beberapa hari dan kemudian sembuh dengan melakukan pengobatan
(Tobon et al., 2010).

Rasa nyeri pada persendian berupa pembengkakan, panas, eritema dan gangguan
fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis.Persendian
dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30
menit. (Smeltzer &

Bare, 2002). Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki.

Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan


kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Adapun tanda dan gejala yang
umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu:
sendi terasa kaku pada pagi hari dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan
tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah 13 Volume 3, Nomor 1
(2016)Jurnal Pharmascience beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi
kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam
dan terjadi berulang dapat terjadi berulang. Gejala RA timbul perlahan-lahan, dan
biasanya tidak selalu dapat diketahui kapan pertama kali penyakit ini muncul. Banyak
pasien yang memiliki gejala yang berlangsung terus menerus, ada beberapa yang sembuh
dan yang lainnya mempunyai periode gejala yang timbul dan resolusi yang lengkap.
Onset, tingkat keparahan dan gejala yang spesifik dari RA dapat bervariasi pada masing-
masing pasien.

2.4 Sasaran Pengobatan

Sasaran pengobatan RA adalah untuk mencapai kondisi remisi. Definisi remisi


berbeda-beda, beberapa uji klinik menggunakan kriteria berikut:

1. ACR/EULAR Boolean-based (memenuhi semua kriteria berikut):

5
a. Jumlah sendi yang nyeri < 1
b. Jumlah sendi yang bengkak < 1
c. Kadar CRP (C-Reactive Protein)< 1 mg/dL
d. PGA (Patient Global Assessment) < 1 (skor 1 – 10)

2. Nilai SDAI (Simpli- ed Disease Activity Index < 3,3

Akan tetapi, pasien jarang yang berhasil mencapai remisi. Karena itu, uji
klinik sering menggunakan kriteria ACR20, ACR50, atau ACR70, artinya terdapat
perbaikan skor ACR sebesar 20%, 50%, atau 70%.

Terapi RA mempunyai peranan penting dalam mengontrol inflamasi dan


meminimalisasi kerusakan pada sendi. Tujuan terapi RA telah bergeser dari awalnya
pengobatan yang bersifat simtomatik menuju pada pengurangan atau menghilangkan
aktivitas penyakit dan mengubah progresifitas penyakit RA itu sendiri

Modalitas Terapi Farmakologi Rheumatoid Arthtritis

a. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)


Obat anti inflamasi nonsteroid sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri
dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat golongan ini tidak mengubah perjalanan
penyakit, maka tidak boleh digunakan secara tunggal. Penderita RA mempunyai
risiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat penggunaan
OAINS dibandingkan dengan penderita osteoarthtritis, oleh karena itu perlu
pemantauan secara ketat terhadap gejala gastrointestinal .
b. Glukokortikoid (Steroid)
Steroid mempunyai efek anti inflamasi yang kuat dan juga mempunyai efek
sebagai imunosupresan.Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah meti
prednisolon, prednison dan prednisolon. Dosis steroid yang digunakan tergantung
respon farmakologi yang diharapkan. Respon fisiologi terjadi pada dosis prednison
0.1- 0.2 mg/KgBB/hari, respon antiinflamasi terjadi pada dosis 0.5-1 mg/KgBB/
hari dan respon imunosupresif terjadi pada dosis 2-4 mg/KgBB/hari. Steroid dapat

6
diberikan per oral, intravena ataupun disuntikkan langsung pada persendian.Steroid
secara cepat mengurangi gejala RA seperti nyeri dan kekakuan serta mengurangi
pembengkakan sendi dan nyeri.
Steroid biasanya diberikan untuk mengobati RA yang sangat membatasi
kemampuan seseorang untuk melakukan fungsi yang normal. Pada beberapa orang
terapi steroid mungkin membantu mengontrol gejala dan mempertahankan
fungsinya sampai obat lainnya yang kerjanya lambat, tetapi mempunyai manfaat
yang besar untuk mencegah kerusakan sendi, mulai bekerja. Disamping itu, steroid
biasanya juga digunakan untuk mengobati flare dari RA, walaupun penderita ini
sedang mendapat pengobatan obat golongan lain.
c. DMARD Konvensional (cDMARD)
Konvensional DMARD pada prinsipnya dapat mengurangi inflamasi pada
RA, mengurangi atau mencegah kerusakan sendi, melindungi fungsi dan struktur
dari sendi dan dapat membuat seseorang melanjutkan aktifitasnya . Walaupun
beberapa cDMARD bekerja lambat, obat-obat ini mungkin memerlukan tambahan
seperti OAINS, glukokortikoid dosis rendah untuk mengontrol gejala nyeri dan
proses inflamasi.
Obat-obatan golongan cDMARD yang paling sering dipakai adalah
methotrexate, hidroksiklorokuin, sulfasalazine dan leflunomide. Beberapa yang
jarang dipakai adalah garam emas, azathioprine dan siklosporin. Perbaikan dari
gejala mungkin membutuhkan waktu empat sampai enam bulan untuk yang
mendapat terapi methotrexate , satu sampai dua bulan untuk yang mendapat terapi
sulfazalasine dan dua sampai tiga bulan untuk yang mendapat terapi
hidroksiklorokuin. Bahkan diperlukan waktu yang lebih lama lagi.
Semua DMARD memiliki beberapa ciri yang sama yaitu bersifat relatif
slow acting yang memberikan efek setelah 1-6 bulan pengobatan kecuali agen
biologik yang efeknya lebih awal. Setiap DMARD mempunyai toksisitas masing-
masing yang memerlukan persiapan dan monitor dengan cermat. Keputusan untuk
memulai pemberian DMARD harus dibicarakan terlebih dahulu kepada pasien
tentang risiko dan manfaat dari pemberian obat DMARD ini. Pemberian DMARD
bisa diberikan tunggal atau kombinasi. Pada pasien-pasien yang tidak respon atau

7
respon minimal dengan pengobatan DMARD dengan dosis dan waktu yang
optimal, diberikan pengobatan DMARD tambahan atau diganti dengan DMARD
jenis yang lain.

Prinsip-prinsip penggunaan DMARD 1. Semua pasien AR yang


diagnosisnya sudah tegak harus mendapatkan DMARD sedini mungkin kecuali ada
kontra indikasi. Idealnya dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya gejala. 2.
Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil. Sebagian besar pasien AR akan
membaik selama kehamilan. Hasil observasi dari sejumlah penelitian didapatkan
60-94% AR akan mengalami perbaikan selama kehamilan dan sebagian besar (74-
76%) terjadi pada trimester pertama. Tetapi kemudian terdapat risiko terjadi
kekambuhan pada saat postpartum15. Tidak didapatkan peningkatan kejadian
abortus atau kematian ibu hamil dengan AR. Pengobatan AR dengan kehamilan
merupakan masalah khusus, karena sebagian besar obat-obat yang digunakan pada
pengobatan AR (DMARD) belum terbukti keamananya sehingga tidak bisa
diberikan pada kehamilan. Berdasarkan laporan penelitian pada pasien LES,
klorokuin dan azatioprin dapat diberikan pasien yang hamil sehingga obat tersebut
dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien AR yang hamil33.
Kortikosteroid merupakan obat yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada
wanita hamil dengan AR, tetapi perlu penilaian lebih cermat mengenai manfaat dan
risikonya sebelum memberikan obat ini13-16. Pengelolaan pasien seperti ini perlu
kerjasama yang baik antara dokter kebidanan dan dokter ahli penyakit dalam
konsultan reumatologi.
Pemilihan jenis DMARD ditentukan oleh 3 faktor :
a. Faktor obat : efektivitasnya, kemudahan pemberian, sistem pemantauan,
waktu yang diperlukan sampai obat memberikan khasiat, kemungkinan efek
samping dan yang tidak kalah penting adalah biaya pengobatan.
b. Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya penyakit dan
kemungkinan prognosisnya.
c. Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan pemantauan obat.

8
d. Agen Biologik
Masing-masing pasien mempunyai gambaran klinik dan aktivitas penyakit
yang berbeda-beda dengan beberapa pasien tidak menunjukkan respon yang
memuaskan bahkan dengan kombinasi DMARD nonbiologik. Dengan
ditemukannya agen biologik yang baru maka timbul harapan adanya kontrol
terhadap penyakit pada pasien-pasien tersebut. Semakin banyak bukti yang

9
menunjukkan efikasi agen Biologik yang lebih baik pada pengobatan AR, akan
tetapi respon pasien dan adanya efek samping obat dapat berbeda-beda.
Mengingat harga dan efek samping serius yang dapat timbul pada obat ini,
maka penggunaannya untuk penyakit reumatik seperti AR, artritis Psoriatik,
Spondilitis Ankilosa dan LES harus dilakukan oleh dokter konsultan rematologi
atau spesialis penyakit dalam yang sudah mendapat pelatihan khusus. Pasien yang
diberi obat ini seharusnya diberikan penjelasan yang memadai tentang risiko dan
manfaat jangka panjang obat tersebut.
Beberapa DMARD biologik dapat berkaitan dengan infeksi bacterial yang
serius, aktif kembalinya hepatitis B dan aktivasi TB. Mengingat hal ini, perlu
pemeriksaan awal dan pemantauan yang serius untuk infeksi. Khususnya untuk
anti TNF-α, dimana Indonesia merupakan daerah endemis untuk Tb, maka
skrining untuk Tb harus dilakukan sebaik mungkin (termasuk tes tuberkulin dan
foto toraks). Efek samping DMARD biologik yang lain adalah reaksi infus,
gangguan neurologis, reaksi kulit dan keganasan.

10
2.5 Penatalaksanaan

11
2.6 Evaluasi hasil Terapi

12
 Tanda klinis perbaikan termasuk penurunan pembengkakan sendi, penurunan rasa
hangat pada sendi yang terlibat aktif dan penurunan yeri tekan pada palpasi sendi.
 Perbaikan gejala termasuk pengurangan nyeri sendi dan kaku dipagi hari, waktu
yang lebih lama untuk timbulnya kelelahan sore hari, dan peningkatan
kemampuan untuk bekerja setiap hari kegiatan.
 Radiografi sendi periodik mengkin berguna untuk menilai perkembangan
penyakit
 Pemantauan laboratorium tidak banyak berguna dalam menilai respons terhadap
terapi tetapi penting untuk mendeteksi dan mencegah efek samping obat
 Tanyakan pasien tentang adanya gejala yang mungkin terkait dengan obat yang
merugikan.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penyakit rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimune dan sistem imun
yang mnyebabkan peradangan kronis pada sendi. RA akibat reaksi autoimun dalam
jaringan synovial melibatkan proses fagositosi. Penyebab RA belum jelas sampai
sekarang, namun faktor keturunan berpengaruh atas timbulnya keluhan sendi ini. Nyeri
RA umumnya sering di tangan, senid sikum kaki, pergelangan kaki da lutut. Nyeri dan
bengkak pada sendi dapat berlangsung terus menerus dan semakin lama gejala
keluhannya akan semakin berat.

3.2 Saran
Diharapkan agar mahasiswa mampu memahami dan mengerti tentang
farmakoterapi dari penyakit Rheumatoid Arthritis.

14
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha D, Neogi, Silman J, Funovits, Felson T. 2010. Rhematoid Arthritis Collaborative
Initiative. Arthritis Rheum. 62: 2569 – 2581

Iskandar A, Wachjudi RG. Diagnosis dan Penatalaksanaan Artritis Reumatoid, Himpunan


Makalah Lengkap Rheumatologi Klinik Bandung. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Padjajaran, 2014: 309-340.

PRI. 2014. Diagnosis dan Pengelolaan Arthritis Rheumatoid. Perhimpunan Reumatologi


Indonesia. ISBN 978-979-3730-20-2

Singh, J., Saag, K., Bridges, L., Aki, E., Bannuru, R., 2015, 2015 American College of
Rheumatology Guideline for the Treatment of Rheumatoid Arthritis, Arthritis Care &
Research, DOI 10.1002/acr.22783, VC 2015, American College of Rheumatology.

Smeltzer, Suzanne. dan Bare, Brenda, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth Ed.8. EGC, Jakarta.

Tobon G.J., P. Youinou, A. Saraux. 2010, The Environment, Geo Epidemiology, and
Autoimmune Disease: Rematoid arthritis. J Autoimmun 35: 10-4

Yazici, Y & Simsek I. 2005. Traetment Options for Rhematoid Arthritis Beyond TNF-Alpha
Inhibitors. Expert Rev Clin Phamrcol. 3: 663- 666.

15
16

Anda mungkin juga menyukai