Anda di halaman 1dari 22

Paper Orthopaedi & Traumatologi

OSTEOARTHRITIS

Oleh:

Cynthia Margaretha 140100163


Eric Yudhianto 140100180

Pembimbing:

dr. Heru Rahmadany, Sp.OT (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ORTHOPAEDI & TRAUMATOLOGI
RUMAH SAKIT PENDIDIKAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat serta karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan paper yang
berjudul “Osteoarthritis” tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian paper ini, penyusun banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Heru Rahmadany, Sp.OT (K) atas kesediaannya untuk meluangkan
waktu dan pikiran untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan
kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan paper ini dengan
sebaikbaiknya. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang turut membantu dalam menyelesaikan paper ini.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan paper ini masih jauh dari
sempurna, baik dalam isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penyusun
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penyusunan
paper selanjutnya. Semoga paper ini dapat bermanfaat, akhir kata penyusun
mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2019

Penyusun,
ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1.Latar Belakang..........................................................................................1
1.2.Tujuan.......................................................................................................2
1.3.Manfaat.....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
2.1. Definisi....................................................................................................3
2.2. Epidemiologi...........................................................................................3
2.3. Etiologi....................................................................................................4
2.4. Patofisiologi.............................................................................................5
2.5. Klasifikasi................................................................................................8
2.6. Diagnosis...............................................................................................11
2.7. Diagnosis Banding.................................................................................16
2.8. Tatalaksana............................................................................................16
2.9. Komplikasi............................................................................................18
BAB III KESIMPULAN......................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20
iii

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas ........................... 7
Tabel 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perfusi jaringan lokal .................. 8
Tabel 2.3 Sistem staging UTMB untuk osteomielitis pada individu dewasa .... 11
Tabel 2.4 Pilihan terapi antibiotik pada kasus osteomielitis ............................... 17

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Ilustrasi patofisiologi osteomielitis akut dan kronik ...................... 5
Gambar 2.2. Proses inflamasi dan kerusakan jaringan tulang ............................ 7
Gambar 2.3. Sub klasifikasi osteomielitis kronik .............................................. 6
Gambar 2.4. Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal IV dan distal
phalanges III dan IV menunjukkan adanya osteomielitis ................................... 14
Gambar 2.5. Gambaran röntgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan
riwayat osteomielitis berulang selama 20 tahun ................................................. 14
Gambar 2.6. MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os femur dan
gambaran inhomogenisitas tulang ....................................................................... 15
Gambar 2.7. Gambaran disrupsi kortikal inferior dan edema menunjukkan adanya
osteomielitis pada os calcaneus.......................................................................... 15
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Osteomielitis adalah peradangan tulang yang biasanya disebabkan oleh
infeksi bakteri. Penyakit ini dibagi menjadi dua jenis berdasarkan tahapan
perjalanan penyakitnya, yaitu tahap akut dan kronik. Osteomielitis akut paling
sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus sebagai agen infeksinya (Roy et
al., 2012).
Berdasarkan rute infeksinya, osteomielitis akut dapat dibagi menjadi 2 jenis,
yaitu hematogenik dan eksogenik. Infeksi tulang pada anak-anak terutama terjadi
secara hematogenik, meskipun kasus akibat sekunder dari trauma yang penetratif,
pembedahan, ataupun infeksi pada daerah yang terkena juga pernah dilaporkan.
Osteomielitis hematogenik banyak ditemukan pada anak-anak terutama tulang
panjang yang kaya pembuluh darah, terutama ekstremitas bawah. Pada orang
dewasa, penyebaran hematogenik lebih sering mengenai corpus vertebrae lumbal
daripada di tempat lain (Baltensperger, 2009).
Insidensi osteomielitis berkisar antara 0,1–1,8% dari populasi orang dewasa.
Prevalensinya pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun adalah 1 kasus per
1000 populasi sedangkan pada anak-anak yang lebih tua adalah 1 kasus dari 5000
populasi. Prevalensi osteomielitis kronik berkisar antara 5–25% dari kasus
osteomielitis akut (Ciampolini & Harding, 2000).
Mortalitas osteomielitis terjadi sekitar 5–25% dan ada pula yang melaporkan
hingga 40% pada era sebelum antibiotik ditemukan. Sekarang, mortalitas telah
mencapai angka 0%. Sedangkan morbiditas mencapai angka 5% menjadi
komplikasi. Komplikasinya antara lain adalah arthritis septik, kerusakan jaringan
lunak sekitar, keganasan, amiloidosis sekunder, & fraktur patologis
(Baltensperger, 2009). Dengan mengingat masih banyaknya kejadian osteomielitis
di Indonesia, prevalensi osteomielitis kronik sebagai kelanjutan dari osteomieitis
akut serta komplikasi yang disebabkan oleh osteomielitis, penyusun merasa perlu
untuk melakukan telaah pustaka mengenai salah satu penyakit infeksi pada tulang
ini.
2

1.2 TUJUAN
Penyusunan telaah pustaka mengenai osteoarthritis ini bertujuan untuk
mengkaji terutama mengenai patofisiologi, penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan osteoarthritis yang merupakan kasus sering di bidang orthopaedi
dan traumatologi sehingga bisa menjadi acuan dan bahan referensi untuk para
tenaga kesehatan.

1.3 MANFAAT
Penyusunan telaah pustaka ini diharapkan dapat mengembangkan
kemampuan dan pemahaman penyusun serta pembaca khususnya peserta P3D
untuk lebih memahami dan mengenal osteoarthritis.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Osteoarthritis Research Society International (OARSI) mendefinisikan
osteoartritis (OA) sebagai gangguan yang melibatkan sendi yang dapat digerakkan
yang ditandai oleh stress sel dan degradasi matriks ekstraseluler yang diprakarsai
oleh cedera mikro dan makro yang mengaktifkan respons perbaikan maladaptif
termasuk jalur pro-inflamasi imunitas bawaan. Gangguan ini nantinya
bermanifestasi sebagai metabolisme jaringan sendi yang abnormal, dan
selanjutnya sebagai gangguan anatomis dan fisiologis (El-Tawil, 2016).

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2011,
penderita osteoarthritis di dunia mencapai angka 151 juta dan 24 juta jiwa pada
kawasan Asia Tenggara. Sedangkan National Centers for Health Statistics
memperkirakan terdapat 15,8 juta (12%) orang dewasa antara rentang usia 25-74
tahun memiliki keluhan osteoarthritis (Kauret al, 2018).

Prevalensi OA di dunia termasuk dalam kategori tinggi berkisar antara


2.3% hingga 11.3%, selain itu OA merupakan penyakit muskuloskeletal yang
sering terjadi yaitu pada urutan ke 12 di antara seluruh penyakit yang ada. Hal
tersebut dapat diketahui bahwa prevalensi OA pada lansia usia > 60 tahun
diestimasikan sebesar 10 -15% dengan angka kejadian 18.0% pada perempuan
dan 9.6% pada laki - laki, dari angka tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi OA
pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki - laki (Ireneu et al, 2017).
Bagi masyarakat barat, OA merupakan masalah yang semakin umum dan sering
terjadi. Diperkirakan 8,5 juta orang di Inggris menderita penyakit osteoarthritis
sehingga menyebabkan rasa sakit bahkan kecacatan (Kingsbury et al, 2013).

Angka kejadian osteoartritis di Indonesia yang didiagnosis oleh tenaga


kesehatan sejak tahun 1990 hingga 2010 telah mengalami peningkatan sebanyak
4

44,2% yang diukur dengan DALY (Disability Adjust Lost Years). Berdasarkan
hitungan DALY kualitas hidup pada penderita OA mengalami kemunduran yaitu
per 100.000 pada laki - laki hanya 907,7 tahun dan pada tahun 2013, perhitungan
OA berdasarkan DALY per 100.000 perempuan mencapai puncak pada 1.327,4
tahun (Alyling et al, 2017). Prevalensi OA berdasarkan usia di Indonesia cukup
tinggi yaitu 5% pada usia 40 tahun, 30% pada usia 40 - 60 tahun, dan 65% pada
usia tua (lansia) lebih dari 61 tahun (Ireneu et al, 2017).

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


OA tidak memiliki penyebab tunggal. OA merupakan penyakit yang
disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor risiko yang memengaruhi individu
berbeda dan lokasi sendi yang berbeda. OA muncul sebagai hasil gabungan
predisposisi sistemik dan faktor risiko biomekanik lokal (Blom et al, 2018).

Gambar Predisposisi sistemik dan faktor risiko biomekanik lokal pada OA

Faktor risiko utama terjadinya OA adalah (Blom et al, 2018):


1. Predisposisi genetik
Dari studi telah diperkirakan bahwa sekitar 40% dari faktor predisposisi OA
adalah genetik. Namun, tidak terdapat 'gen OA’. Yang ada adalah beberapa
lokasi berbeda dalam genom masing-masing berkontribusi terhadap
peningkatan risiko. Banyak lokasi yang terkait dengan peningkatan risiko ini
berhubungan dengan gen penting untuk perkembangan tulang, yang
5

menambah bukti lain bahwa ukuran dan bentuk tulang merupakan salah satu
penentu seseorang mendapatkan OA.
2. Usia
OA sangat terkait dengan pertambahan usia. Hubungan OA dengan usia
berkitan dengan stabilitas sendi dan otot. Seiring bertambahnya usia, tulang
rawan kita semakin menipis dan otot kita bertambah lemah, dan stabilitas
sendi utama seperti sendi lutut terpengaruh oleh perubahan ini. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa kelemahan otot mendahului perkembangan OA
lutut.
3. Jenis kelamin
Terdapat perbedaan prevalensi OA antara pria dan wanita. Alasan untuk ini
tidak jelas. Perubahan terkait dengan menopause pada wanita tampaknya
sangat penting, karena prevalensi OA lutut pada wanita meningkat tajam
setelah menopause, dan OA inflamatori pada tangan sering terjadi sesudah
menopause.
4. Diet dan obesitas
Obesitas menyebabkan peningkatan beban pada sendi penahan penahan berat
badan, yang merupakan kontribusi mekanis obseitas yang paling penting.
Penderita obesitas memiliki momen adduksi lutut absolut yang lebih besar
karena massa tubuh yang lebih besar, dan terlibat dalam pola gaya jalan
kompensatoris seperti kecepatan berjalan yang lebih lambat dan peningkatan
sudut toe-out. Selain itu, adipokine berlebih juga memberikan efek pada
jaringan sendi, termasuk kartilago, synovial, dan tulang. Leptin dan
adiponektin adalah adipokin yang paling banyak diproduksi, dan reseptornya
diekspresikan pada permukaan kondrosit, sinoviosit dan osteoblas subkondral.
Leptin telah ditemukan meningkatkan kadar enzim degradatif, seperti matrix
metalloproteinases (MMPs) dan nitrit oxide serta produksi sitokin
proinflamasi (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3788203/).
5. Bentuk dan ukuran sendi yang abnormal
Bentuk sendi merupakan faktor risiko penting, terutama untuk OA panggul.
Displasia panggul menjadi faktor predisposisi untuk mengalami OA di
kemudian hari. Perbedaannya bentuk panggul pada orang Cina dibandingkan
6

orang Kaukasia juga dapat menjelaskan rendahnya prevalensi OA panggul di


Cina. Ada kemungkinan bahwa ukuran dan bentuk sendi juga penting dalam
OA lutut.
6. Cedera sebelumnya
Cedera yang mempengaruhi bentuk atau stabilitas sendi merupakan
predisposisi OA. Di sendi lutut, cedera meniskus dan ligamen, terutama
pecahnya ACL, adalah faktor predisposisi penting untuk OA.
7. Gangguan neuromuskular
Kelonggaran sendi merupakan predisposisi OA. Sebaliknya, spastisitas
menyebabkan persendian menjadi sangat kencang disertai oleh penumpukan
beban sendi yang abnormal sehingga terjadi kerusakan sendi dan osteoartritis
sekunder. OA panggul khususnya sering terjadi pada orang yang menderita
serebral palsi tipe spastic.
8. Beban pada sendi, pekerjaan, dan obesitas
Pekerjaan spesifik tertentu yang melibatkan penggunaan sendi secara
berlebihan dapat menjadi faktor predisposisi OA. Contohnya, para pekerja di
percetakan berisiko mengalami OA di dasar jempol karena sehari-harinya
mereka bekerja menggeser blok pencetakan dengan ibu jari mereka.
9. Densitas mineral tulang
Studi telah mengkonfirmasi bahwa, di kedua lutut dan panggul, kepadatan
mineral tulang yang tinggi adalah faktor risiko OA, dan kepadatan mineral
tulang yang rendah adalah faktor protektif.
7

2.4 Patofisiologi
Terdapat hubungan yang jelas antara OA dan proses penuaan serta cedera
mekanis. Awalnya, terjadi kehilangan glikosaminoglikan dari tulang rawan yang
menurunkan tekanan osmotik kartilago dan membuat kartilago lebih lunak dan
berkurangnya resistensi terhadap gaya tekan. Respons perbaikan kemudian
mengarah ke peningkatan produksi proteoglikan dan kolagen tipe II, dan
proliferasi serta pengelompokan kondrosit.

Namun, peningkatan ekspresi sitokin dan protease inflamatoris


mengakibatkan dominasi aktivitas katabolik, dan kartilago menjadi terdegradasi.
Awalnya fibrilasi terjadi di zona superfisial, diikuti oleh fisura dalam dan
hilangnya chondral secara penuh. Sitokin yang terlibat di dalamnya termasuk IL-
6, IL-1β, TNF-α, IL-10, IL-13 dan IL-4. Sitokin-sitokin ini bertindak melalui jalur
proinflamasi dan antiinflamasi, dan juga terlibat dalam angiogenesis dan
kemotaksis.

Sebuah studi laboratorium ini menunjukkan kondrosit penderita OA


menunjukkan kadar importer zink ZIP8 yang lebih tinggi yang mengarah ke
peningkatan kadar zink intraseluler yang memicu kaskade katabolic melalui
peningkatan ekspresi matriks metalloproteinase (MMP3, MMP9, MMP12,
MMP13).

Peran Sinovial
Penelitian menunjukkan infiltrasi limfositik dan agregasi limfoid
perivaskular dengan pelepasan mediator inflamasi yang secara langsung
mempromosikan degradasi tulang rawan pada cairan sinovial. Ada bukti bahwa
rasa nyeri pada OA berasal dari peradangan sinovium, dimana terdapat
peningkatan kadar faktor pertumbuhan saraf (NGF) proalgesik pada fibroblas
sinovial dan makrofag (El-Tawil, 2016).
8

Gambar Patogenesis osteoarthritis (El-Tawil, 2016)

2.5 KLASIFIKASI

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis osteomielitis akut dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan
adanya riwayat trauma, riwayat luka terbuka sampai tulang, maupun riwayat
infeksi di tempat lain yang tidak spesifik, serta adanya gejala infeksi sistemik
seperti demam dan malaise maupun gejala infeksi lokal seperti bengkak, rasa
panas, kemerahan, penurunan kemampuan gerak, kekakuan tulang, dan rasa sakit
pada lokasi infeksi. Pemeriksaan fisik pun menunjukkan hal-hal seperti yang ada
dalam anamnesis yaitu berupa tanda-tanda infeksi sistemik dan infeksi lokal.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pemeriksaan
laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis, pemeriksaan kultur darah
atau tulang, serta pemeriksaan histopatologi tulang yang mengalami infeksi.
Pemeriksaan radiologi pada daerah yang diduga infeksi pun dapat dilakukan. Kata
akut pada osteomielitis akut menunjukkan bahwa tanda dan gejala yang muncul
memiliki onset yang cepat, yaitu kurang dari 4 minggu (Baltensperger, 2009).
9

Kriteria diagnosis osteomielitis kronik pun meliputi manifestasi klinis (yang


didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratoium dan
pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium memang tidak spesifik untuk
osteomielitis, tetapi kadar C-reactive protein (CRP) yang normal dapat
menyingkirkan diagnosis osteomielitis kronik. Pemeriksaan paling meyakinkan
untuk mendiagnosis osteomielitis kronik adalah kultur tulang dan pemeriksaan
histopatologi. Kultur terhadap jaringan superfisial luka tidak dapat mendeteksi
bakteri penyebab osteomielitis secara akurat karena biasanya osteomielitis
disebabkan oleh polimikrobial. Selain itu, anamnesis yang mendalam mengenai
manifestasi sistemik (letargi, malaise, nyeri pada tulang, demam) dan faktor
predisposisi (diabetes mellitus, penyakit pembuluh darah perifer, dan riwayat
trauma) juga penting dalam menunjang proses penegakkan diagnosis
(Baltensperger, 2009).
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto röntgen maupun
MRI. Foto röntgen baru menunjukkan adanya abnormalitas setelah dua minggu
pasca infeksi karena 50% mineral tulang telah hilang. Sedangkan MRI dapat
mendeteksi osteomielitis setelah 3–5 hari pasca infeksi dengan sensitivitas dan
spesifisitas sekitar 90%. CT scan jarang digunakan karena kurangnya kemampuan
CT scan untuk mendeteksi nekrosis. Modalitas radiologi lain dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis osteomielitis (seperti bone scintigraphy, positron
emission tomography) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%,
namun modalitas-modalitas tersebut tidak rutin digunakan di Indonesia karena
harga yang mahal dan ketersediaan alat (Baltensperger, 2009).
Mikroorganisme penyebab osteomielitis dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan kultur dan histopatologi yang berasal dari tulang yang terkena.
Biopsi dan kultur untuk osteomielitis harus mencakup tulang yang terkena, dan
tidak melalui daerah sinus atau ulkus karena rawan terkontaminasi bakteri flora
normal kulit. Hal ini juga berlaku untuk luka neuropati pada kaki
osteomielitis.Tindakan swab melalui luka kulit terbatas manfaatnya, sehingga
tidak dianjurkan.

Pengambilan sampel tulang hars melalui jaringan sehat (Manz et al., 2018)
Pada sebagian jaringan dilakukan pemeriksaan pewarnaan gram dan Ziehl-
10

Nielssen untuk memberikan hasil yang lebih cepat dan menyingkirkan penyebab
Mycobacterium sp. Pemeriksaan kultur yang dilakukan adalah pemeriksaan aerob
dan anaerob, dan bila tidak ditemukan koloni kuman tumbuh, pemeriksaan
dilanjutkan dengan kultur mycobacterium dan fungus yang membutuhkan waktu
lebih lama (Solomon et al., 2010).
Pada kasus akut, didapatkan sel-sel inflamasi akut, edema, kongesti
vaskular, dan trombosis pembuluh darah. Pada kasus lanjut dapat ditemukan
tulang nekrotik, jaringan granulasi, sel PMN leukosit, makrofag, dan osteoklas.
Sekuestrum terbentuk bila tulang mati terpisah komplit dari tulang hidup
disekitarnya. Pada kasus kronik, dapat ditemukan sel limfosit, histiosit, dan sel
plasma (Solomon et al., 2010).
Bila dari pemeriksaan histopatologi didapatkan hasil neutrofil lebih dari 6
per lapang pandang besar, mengindikasikan positif terjadinya proses infeksi.
Pewarnaan Ziehl-Nelssen dan penemuan sel polidatia Langhans pada pemeriksaan
histopatologi merujuk pada mycobacterium sehingga terapi segera dapat
dilaksanakan tanpa menunggu hasil kultur. Pada kecurigaan infeksi pada implan,
biopsi harus dilakukan pada beberapa tempat untuk memastikan representasi dari
jaringan yang diambil. Minimal dilakukan tiga biopsi dari jaringan periprostesis
dan dilakukan pemeriksaan kultur (Lew & Wadvogel, 2004).
11

Gambar 2.4Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal IV dan distal phalanges
III dan IV menunjukkan adanya osteomielitis.

Gambar 2.5Gambaran röntgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwayat osteomielitis
berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas dan sklerosis sumsum tulang
12

Gambar 2.6 MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os femur dan gambaran
inhomogenisitas tulang

Gambar 2.7 Gambaran disrupsi kortikal inferior dan edema menunjukkan adanya osteomielitis
pada os calcaneus
13

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Pada orang dewasa, gout dan pseudogout menyerupai gejala klinis septic
arthritis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis cairan sendi dan
pemeriksaan polarized microscope. Pada anak, sarkoma tulang memberikan gejala
demam, nyeri, dan bengkak sekitar tulang yang mirip dengan osteomielitis.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan röntgen, MRI, dan biopsi
(Solomon et al., 2010).

a. Cellulitis, ditandai dengan adanya kemerahan yang meluas, tenderness dan


bersifat superfisial. Dapat menggunakan MRI untuk membedakan antara
infeksi tulang dan infeksi jaringan lunak
b. Septic Arthritis, nyeri tekan bersifat difus di sendi dengan tanda inflamasi
lokal, ROM sendi sangat terbatas, Analisis cairan sendi dengan jumlah sel
>50.000/mm3
c. Streptococcal Necrotizing Myositis, jarang terjadi, nyeri berat ditandai
dengan pembengkakan meluas. Pada MRI didapatkan adanya
pembengkakkan otot dan adanya muscle break down.
d. Acute Rheumatism, nyeri sendi yang bersifat lebih ringan, berulang di
sendi, Analisis cairan sendi dengan jumlah sel 2.000-50.000/mm 3. Dapat
ditandai dengan adanya karditis, nodul rematoid, eritema marginatum
e. Sickle Cell-Crisis, gambaran klinis sulit dibedakan dengan AHOM, terjadi
multifokal
f. Gaucher's disease, pseudo-osteitis,dapat disertai dengan stigmata lain
seperti pembesaran limpa dan hepar

2.8 TATALAKSANA
Tatalaksana pada osteomielitis akut melalui penyebaran hematogen dapat
dilakukan dengan pemberian antibiotik parenteral selama 4 hari dan dilanjutkan
dengan antibiotik oral sampai 4 minggu tebukti mencegah rekurensi. Pada
pasienpasien immunocompromised, transisi menuju antibiotik oral ditunda dan
lama terapi ditambah menjadi 6 minggu (Walter et al., 2012).
14

Terapi osteomielitis kronik terdiri dari terapi antibiotik dan pembedahan.


Pilihan antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur, namun jika tidak ada informasi
hasil kultur, antibiotik spektrum luas dapat diberikan. Antibiotik ini diberikan
parenteral selama 2–6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral
sampai total waktu terapi 4–8 minggu. Adapun indikasi dilakukannya terapi
pembedahan ialah terapi antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, terdapat
peralatan yang terpasang pada tulang dan mengalami infeksi, serta osteomielitis
kronik dengan nekrosis tulang dan jaringan lunak (Walter et al., 2012).

Tabel 2.4 Pilihan terapi antibiotik pada kasus osteomielitis


15

2.9 KOMPLIKASI
Pada kasus akut, komplikasi yang sering ditemukan berupa suppurative
arthritis, sepsis, Pada anak, dapat terjadi gangguan pertumbuhan tulang bila
infeksi mengenai lempeng epifisis dan fraktur patologis. Dapat terjadi abses
paravertebral yang menekan persarafan pada osteomielitis vertebral, dan dapat
terjadi loosening implant (Chiappini et al., 2018).
Penanganan yang tepat merupakan kunci dalam pencegahan terjadinya
komplikasi, sedangkan keterlambatan penanganan dari osteomielitis kronik juga
meningkatkan risiko meluasnya kerusakan tulang dan merupakan sumber dari
septikemia berulang yang dapat menyebabkan infeksi ke bagian tubuh lain.–terapi
antibiotik spesifik sedini mungkin merupakan kunci untuk mencegah terjadinya
komplikasi dari osteomielitis (Chiappini et al., 2018).

BAB III KESIMPULAN

Osteomielitis adalah peradangan pada tulang oleh infeksi mikroorganisme


berupa bakteri, mycobacterium, maupun jamur. Terbentuknya sekuestra dan
16

kemampuan mikroorganisme untuk membentuk biofilm dan hidup secara


intraselular memberi tantangan dalam eradikasi infeksi. Deteksi dini dan
pemberian antibiotika adekuat pada osteomielitis hematogenik akut dapat
memberi kesembuhan komplit tanpa tindakan pembedahan.
Tindakan pemberian antibiotik dini pada situasi emergensi, pembersihan dan
irigasi luka yang adekuat, dan stabilisasi tulang dapat menurunkan kejadian
osteomielitis pasca-trauma. Pada osteomielitis kronik, sekuestra harus dieliminasi
dengan tindakan bedah agresif. Defek tulang yang terjadi dapat dilakukan
implantasi dengan spacer antibiotic atau diisi dengan osteomyocutaneous flap.
Osteomelitis akibat pemasangan prostesis atau implan membutuhkan pelepasan
implan, pembersihan jaringan infeksi, temporary spacer, dan pemasangan implan
kembali pada operasi berikutnya.
Proses infeksi yang terus berlanjut dapat menyebabkan kerusakan tulang
yang semakin luas mengakibatkan morbiditas dan sepsis yang dapat berujung
pada kematian. Pada fase lanjut ini, tatalaksana membutuhkan biaya tinggi, defek
tulang yang luas, cacat permanen bahkan dapat berakhir pada amputasi. Oleh
karenanya, deteksi dini, identifikasi mikroorganisme penyebab, eradikasi jaringan
tulang nekrotik, dan pemberian antibiotik jangka panjang merupakan tatalaksana
prinsip untuk keberhasilan pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Baltensperger M. 2009. Osteomyelitis of the Jaws. ISBN: 978-3-540-28764- 3.

Chairuddin M. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomielitis akut dan


kronik. CV.Wiyasana. Makasar.
17

Chiappini E, Krzysztofiak A, Bozzola E, Gabiano C, Esposito E, Vecchio AL, et


al. Risk factors associated with complications/sequelae of acute and
subacute hematogenous osteomyelitis: an Italian multicenter study. Expert
Rev Anti Infect Ther. 2018;16(4):351-8.

Ciampolini JK & Harding G. 2000. Pathophysiology of chronic bacterial


osteomyelits. Postgrad Med J, 76: 479-483.

Cierny G, Mader JT, Pennick JJ. A clinical staging system for adult osteomyelitis.
Clin Orthop Relat Res. 2003;414:7-24.

Hofmann SR, Wolff G. Hahn C. & Hedrich M. 2012. Update: Cytokine


Dysregulation in Chronic Nonbacterial Osteomyelitis (CNO). International
Journal of Rheumatology; 2012(10): 1-7.

Kremers HM, Nwojo ME, Ransom JE, Wood-Wentz CM & Melton LJ 3rd,
Huddleston PM 3rd. Trends in the epidemiology of osteomyelitis: a
population-based study, 1969 to 2009. J Bone Joint Surg Arm.
2015;97(10):837-45.

Lew PD &Wadvogel FA. Osteomyelitis. Lancet. 2004;364:369-79.

Michno A, Nowak A & Królicki K. Review of contemporary knowledge of


osteomyelitis diagnosis. World Sci News. 2018;92(2):272-82.
Roy MJ. Somerson S, Kerr K & Konroy JL. 2012. Pathophysiology and
Pathogenesis of Osteomyelitis. ISBN 978-953-51-0399-8.

Solomon L, Warwick D, Nayagam S & Apley A. Apley's system of orthopaedics


and fractures. 9th ed. London: Hodder Education; 2010.
18

Walter GM. Kemmere C, Kappler R & Hoffmann SR. 2012. Treatment


Algorithms for Chronic Osteomyelitis. Deutsches Arzteblatt International;
109(14): 257-
64.

Anda mungkin juga menyukai