Anda di halaman 1dari 61

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lower Back Pain (LBP) atau nyeri punggung bawah adalah alasan umum
terbanyak kelima untuk kunjungan-kunjungan dokter, yang memengaruhi sekitar
60-80% dari sekelompok orang seumur hidupnya. Sejauh ini prevalensi dari nyeri
punggung bawah tercatat sebanyak 84%. Prevalensi dari nyeri punggung kronis
adalah sekitar 23%, di mana sebanyak 11-12% dari populasi mengalami
disabilitas oleh karena nyeri punggung bawah.1
Ada beragam definisi dari nyeri punggung bawah berdasarkan sumber
tertentu. Menurut European Guidelines untuk pencegahan dari nyeri punggung
bawah, nyeri punggung bawah didefinisikan sebagai “Nyeri dan rasa tidak
nyaman, terlokalisir di bawah margin costalis dan di atas lipatan-lipatan-lipatan
gluteus inferior, dengan atau tanpa nyeri kaki”. 2 Definisi lainnya, menurut S.
Kinkade, yang persis dengan European Guidelines menyatakan bahwa nyeri
punggung bawah adalah “Nyeri yang muncul di bagian posterior pada regio di
perbatasan margin costa inferior dan bagian proksimal paha”. 3 Bentuk yang paling
lazim dari nyeri punggung bawah salah satunya disebut sebagai ‘nyeri punggung
bawah nonspesifik’ dan didefinisikan sebagai ‘nyeri punggung bawah yang tidak
termasuk ke dalam dikenali; diketahui sebagai patologi spesifik’. 2
Nyeri punggung bawah biasanya digolongkan ke dala 3 subtipe: acute,
subakut, dan nyeri punggung bawah kronis. Subdivisi ini didasarkan pada durasi
dari nyeri punggung. Nyeri punggung bawah akut adalah suatu episode dari nyeri
punggung bawah yang kurang dari 6 minggu, nyeri punggung bawah subakut di
antara 6 dan 12 minggu dan nyeri punggung bawah kronis selama 12 minggu
ataupun lebih.2
Nyeri punggung bawah yang telah muncul lebih dari 3 bulan digolongkan
ke dalam nyeri kronik. Lebih dari 80% dari dana-dana perawatan kesehatan
dipasok untuk nyeri punggung bawah kronik. Hampir seperti populasi mencari
pengobatan untuk nyeri punggung bawah akan memiliki nyeri moderat persisten
2

selama selama 1 tahun sesudah sebuah episode akut.3,4 Menurut data tersebut
diestimasikan bahwa tujuh juta orang dewasa di Amerika Serikat memiliki
keterbatasan aktivitas sebagai akibat dari nyeri punggung bawah kronik.1
Studi baru-baru ini berfokus pada nyeri punggung bawah dan pengobatan
dengan terapi jangka panjang pada sekelompok populasi tertentu. Kriteria inklusi
di antaranya riwayat herniasi diskus sebelumnya, nyeri punggung >6 bulan, dan
modic changes tipe 1 yang berdekatan dengan herniasi sebelumnya pada MRI
scan. Modic changes menggambarkan keadaan di mana edema muncul di korpus
vertebralis. Pasien-pasien ini diberi pengobatan terlebih dahulu dengan antibiotik
selama 100 hari. Pada penilaian ulang dan follow up 1 tahun menunjukkan suatu
perbaikan signifikan statistikal pada level nyeri mereka. Oleh karena itu ini
sesuatu yang bernilai potensial untuk dipertimbangkan pada populasi ini. 3,4

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori
lower back pain / nyeri punggung bawah mulai dari definisi sampai etiologi yang
mendasarinya hingga penatalaksanaan. Penyusunan laporan kasus ini sekaligus
untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi
Dokter (P3D) di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

1.3 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan
pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih
memamahami dan mengenal lower back pain / nyeri punggung bawah,
karakteristik, etiologi yang mendasarinya dan tatalaksana.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Low Back Pain


2.1.1 Definisi
Low back pain adalah suatu periode nyeri di punggung bawah yang
berlangsung lebih dari 24 jam, yang didahului dan diikuti oleh 1 bulan atau lebih
tanpa nyeri punggung bawah. Sumber lain menyebutkan LBP adalah nyeri dan
ketidaknyamanan yang terlokalisasi di bawah sudut iga terakhir (costal margin)
dan diatas lipat bokong bawah dengan atau tanpa nyeri pada daerah tungkai. LBP
termasuk salah satu dari gangguan akibat dari mobilisasi yang salah. Penyebab
umum yang sering terjadi adalah regangan otot serta bertambahnya usia yang
menyebabkan intensitas berolahraga dan intensitas bergerak semakin berkurang
sehingga otot- otot pada punggung dan perut yang berfungsi mendukung tulang
belakang menjadi lemah.5

2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, LBP mekanik dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :
a. Mekanik Statik
LBP mekanik statik terjadi apabila postur tubuh dalam keadaan posisi
statis (duduk atau berdiri) sehingga menyebabkan peningkatan pada sudut
lumbosakral (sudut antara segmen vertebra L5 dan S1 yang sudut normalnya 30°
- 40°) dan menyebabkan pergeseran titik pusat berat badan. Peningkatan sudut
lumbosakral dan pergeseran titik pusat berat badan tersebut akan menyebabkan
peregangan pada ligamen dan kontraksi otot-otot yang berusaha untuk
mempertahankan postur tubuh yang normal sehingga dapat terjadi strain atau
sprain pada ligamen dan otot-otot di daerah punggung bawah yang menimbulkan
nyeri.
b. Mekanik Dinamik
LBP mekanik dinamik dapat terjadi akibat beban mekanik abnormal pada
struktur jaringan (ligamen dan otot) di daerah punggung bawah saat melakukan
4

gerakan. Beban mekanik tersebut melebihi kapasitas fisiologik dan toleransi otot
atau ligamen di daerah punggung bawah. Gerakan-gerakan yang tidak mengikuti
mekanisme normal dapat menimbulkan LBP mekanik, seperti gerakan kombinasi
(terutama fleksi dan rotasi) dan repetitif, terutama disertai dengan beban yang
berat.

Berdasarkan perjalanan klinisnya, LBP dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:7


a. LBP Akut
Keluhan pada fase akut awal terjadi <2minggu dan pada fase akut akhir
terjadi antara 2-6 minggu, rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba
namun dapat hilang sesaat kemudian.
b. LBP Sub-Akut
Keluhan pada fase akut berlangsung antara 6-12 minggu
c. LBP Kronik
Keluhan pada fase kronik terjadi >12minggu atau rasa nyeri yang
berulang. Gejala yang muncul cukup signifikan untuk mempengaruhi
kualitas hidup penderitanya dan sembuh pada waktu yang lama.

2.1.3 Etiologi
Etiologi low back pain menurut dapat berupa:9
1. Proses degeneratif, seperi spondilosis, HNP, stenosis spinalis, dan
osteoartritis. Perubahan pada vertebrata lumbosakral dapat terjadi pada
arkus dan prosesus artikularis serta ligamen yang menguhubungkan antar
ruas tulang belakang. Perubahan degeneratif juga dapat menyerang
annulus fibrosus dari diskus intervertebralis.
2. Penyakit inflamasi, seperti rheumatoid artritis yang sering timbul sebagain
penyakit akut dengan ciri persendian keempat anggota gerak terkena
secara serentak atau spondilitis ankilopoetika dengan keluhan sakit
punggung dan pinggang yang sifatnya pegal, kaku
3. Osteoporosis, pada orang tua dan jompo terutama menyerang kaum
wanita. Sakit bersifat pegal, tajam dan radikuler 4. Kelainan kongenital,
5

yang diperlihatkan foto rontgen polos dari vertebra lumbosakralis sering


dianggap sebagai penyebab LBP dan dapat menyerupai HNP.
4. Gangguan sirkulasi, seperti aneurisma aorta abdominalis dapat
menyebabkan LBP yang hebat. Gangguan sirkulasi lain seperti thrombosis
aorta terminalis, dengan gejala nyeri yang menjalar sampai bokong,
belakang paha dan tungkai kedua sisi.
5. Tumor, dapat berupa tumor jinak seperti osteoma, Paget’s disease,
osteoblastoma, hemangioma, neurioma, meningioma, atau tumor ganas
seperti mieloma multipel, maupun sekunder
6. Infeksi akut, yang disebabkan oleh kuman piogenik seperti streptococcus
atau staphylococcus, atau infeksi kronik seperti spondilitis tuberculosis
dan osteomielitis
7. Psikoneuritik, seperti histeria, depresi, malingering.

2.1.4 Faktor Risiko


Faktor resiko nyeri pinggang meliputi umur, jenis kelamin, berat badan,
pekerjaan, paparan getaran, angkat beban yang berat yang berulang-ulang,
membungkuk, duduk lama, geometri kanal lumbal spinal dan faktor psikososial.
Pada laki-laki resiko nyeri pinggang meningkat sampai usia 50 tahun kemudian
menurun, tetapi pada wanita tetap terus meningkat. Peningkatan insiden pada
wanita lebih 50 tahun kemungkinan berkaitan dengan osteoporosis. 10

a. Umur
Nyeri pinggang merupakan keluhan yang berkaitan erat dengan umur.
Secara teori, nyeri pinggang atau nyeri punggung bawah dapat dialami oleh siapa
saja, pada umur berapa saja. Namun demikian keluhan ini jarang dijumpai pada
kelompok umur 0-10 tahun, hal ini mungkin berhubungan dengan beberapa faktor
etiologik tertentu yag lebih sering dijumpai pada umur yang lebih tua. Biasanya
nyeri ini mulai dirasakan pada mereka yang berumur dekade kedua dan insiden
tertinggi dijumpai pada dekade kelima. Bahkan keluhan nyeri pinggang ini
semakin lama semakin meningkat pada umur sekitar 55 tahun.
6

b. Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap keluhan
nyeri pinggang sampai umur 60 tahun, namun pada kenyataannya jenis kelamin
seseorang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan nyeri pinggang, karena pada
wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya pada saat mengalami siklus
menstruasi, selain itu proses menopause juga dapat menyebabkan kepadatan
tulang berkurang akibat penurunan hormon estrogen sehingga memungkinkan
terjadinya nyeri pinggang.

c. Berat badan
Pada orang yang memiliki berat badan yang berlebih risiko timbulnya
nyeri pinggang lebih besar, karena beban pada sendi penumpu berat badan akan
meningkat, sehingga dapat memungkinkan terjadinya nyeri pinggang. Tinggi
badan berkaitan dengan panjangnya sumbu tubuh sebagai lengan beban anterior
maupun lengan posterior untuk mengangkat beban tubuh.

d. Pekerjaan
Keluhan nyeri ini juga berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban
berat, sehingga riwayat pekerjaan sangat diperlukan dalam penelusuran penyebab
serta penanggulangan keluhan ini. Pada pekerjaan tertentu, misalnya seorang kuli
pasar yang biasanya memikul beban di pundaknya setiap hari. Mengangkat beban
berat lebih dari 25 kg sehari akan memperbesar resiko timbulnya keluhan nyeri
pinggang.

e. Aktivitas / Olahraga
Sikap tubuh yang salah merupakan penyebab nyeri pinggang yang sering
tidak disadari oleh penderitanya. Terutama sikap tubuh yang menjadi kebiasaan.
Kebiasaan seseorang, seperti duduk, berdiri, tidur, mengangkat beban pada posisi
yang salah dapat menimbulkan nyeri pinggang, misalnya, pada pekerja kantoran
yang terbiasa duduk dengan posisi punggung yang tidak tertopang pada kursi, atau
seorang mahasiswa yang seringkali membungkukkan punggungnya pada waktu
7

menulis. Posisi berdiri yang salah yaitu berdiri dengan membungkuk atau
menekuk ke muka. Posisi tidur yang salah seperti tidur pada kasur yang tidak
menopang spinal. Kasur yang diletakkan di atas lantai lebih baik daripada tempat
tidur yang bagian tengahnya lentur. Posisi mengangkat beban dari posisi berdiri
langsung membungkuk mengambil beban merupakan posisi yang salah,
seharusnya beban tersebut diangkat setelah jongkok terlebih dahulu.
Selain sikap tubuh yang salah yang seringkali menjadi kebiasaan, beberapa
aktivitas berat seperti melakukan aktivitas dengan posisi berdiri lebih dari 1 jam
dalam sehari, melakukan aktivitas dengan posisi duduk yang monoton lebih dari 2
jam dalam sehari, naik turun anak tangga lebih dari 10 anak tangga dalam sehari,
berjalan lebih dari 3,2 km dalam sehari dapat pula meningkatkan resiko timbulnya
nyeri pinggang.

2.1.5 Diagnosa Banding


Diagnosis banding LPB dapat dilihat pada tabel berikut : 10
8

2.2 Spondilosis
2.2.1 Definisi
Spondilosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti vertebra/ tulang
belakang. Spondilosis lumbalis dapat diartikan sebagai perubahan pada sendi
tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi diskus intervertebralis
9

yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak atau dapat berarti
pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek
anterior, lateral dan kadang – kadang posterior dari tepi superior dan inferior
vertebra sentralis (korpus).11-13

2.2.2 Epidemiologi
Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang
asimtomatis. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari
40 tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat mulai dari 3% pada individu
berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbalis dapat mulai berkembang pada
usia 20 tahun. Hal ini meningkat dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan
dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit pada tulang
belakang, yang sering terjadi pada level T9-10 dan L3. Kira-kira 30% pria dan
28% wanita berusia 45-64 tahun mengalami osteofit lumbalis. Rasio jenis kelamin
bervariasi namun pada dasarnya sama.14

2.2.3 Etiologi
Spondilosis lumbalis merupakan suatu fenomena penuaan yang non
spesifik. Kebanyakan penelitian menyatakan tidak ada hubungannya dengan gaya
hidup, tinggi badan, berat badan, massa tubuh, aktifitas fisik, merokok dan
konsumsi alkohol atau riwayat reproduksi. Adipositas sepertinya merupakan
faktor risiko pada populasi Inggris, tapi tidak pada populasi Jepang. Efek dari
aktifitas fisik yang berat masih kontraversial, sebagaimana diduga berhubungan
dengan degenerasi diskus.12

2.2.4 Gambaran Klinis


Keluhan dapat berupa nyeri yang terpusat pada bagian tulang belakang
yang terlibat, bertambah dengan pergerakan, dan berkaitan dengan kekakuan dan
keterbatasan gerakan. Perlu diperhatikan bahwa tidak ada gejala sistemik seperti
keletihan, malaise, dan demam. Nyeri biasanya berkurang dengan istirahat. Dan
yang lebih penting diketahui bahwa tidak ada tanda penekanan radiks saraf.
10

Beberapa pasien mengeluhkan nyeri yang samar-samar dan intermiten pada


tungkai atas atau tungkai belakang, tapi bukan suatu bentuk nyeri skiatika dan
straight-leg raising test tidak menimbulkan nyeri ini. Pasien memilih posisi sedikit
fleksi. Posisi duduk biasanya membuat pasien nyaman, meskipun rasa kaku dan
tak nyaman bisa terjadi jika pasien dalam posisi tegak (erect). Keparahan dari
gejala sering sedikit berhubungan dengan gambaran radilogik, nyeri bisa muncul
meskipun gambaran radiologik yang dijumpai minimal. Malah berkebalikan,
osteofit yang bermakna dengan spur formation pada vertebra dapat terlihat pada
pasien dengan ataupun tanpa gejala.15
Jika spondilosis lumbalis (osteofit) menonjol ke dalam kanalis spinalis,
maka dapat terjadi komplikasi berupa kanalis stenosis.8 Delapan puluh persen
pasien dengan kanalis stenosis mengalami klaudikasio intermiten neurogenik,
tergantung pada beratnya stenosis kanalis. Gejala yang mengarah kepada hal
tersebut adalah defisit motorik, sensorik, nyeri tungkai bawah dan kadang-kadang
terdapat inkontinensia urin.11

2.2.5 Diagnosis
a. Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan.
b. Pemeriksaan Radiologik
- Foto X-ray polos
Pemeriksaan foto polos lumbosakral dengan arah anteroposterior, lateral
dan oblique berguna untuk menunjukkan spondilosis (osteofit),
spondilolisthesis, sementara stenosis kanalis sentralis tidak dapat
ditentukan dengan metode ini.11,12
- CT Scan vertebra
CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi osseus (tulang). Dengan
potongan setebal 3 mm, ukuran dan bentuk kanalis spinalis, resessus
lateralis, sendi faset, lamina dan morfologi diskus intervertebralis, lemak
epidural dan ligamentum flavum juga terlihat.11
11

Gambar 8. Foto polos lumbosakral arah anteroposterior, tampak gambaran


osteofit.
- MRI Spine
MRI lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non osseus dan
saat ini merupakan metode terbaik untuk memvisualisasi isi kanalis
spinalis. Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan
dengan gejala-gejala, karena penyempitan asimtomatik yang terlihat pada
MRI atau CT sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang
asimtomatik atau pasien yang sama sekali asimtomatik dan seharusnya
tidak diperhitungkan.11

2.2.6 Diagnosa Banding4


1. Hernia Nukleus Pulposus (HNP)
2. Spondilolisthesis
3. Lumbar sprain/strain
4. Fraktur kompresi osteoporotik

2.2.7 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Tujuan pemberian medikamentosa meliputi:17
- Simtomatik:
Mengurangi/ menghilangkan nyeri Obat-obat yang digunakan meliputi
NSAID (nonsteroid anti inflammatory drugs), analgesik non opioid dan
12

analgesik opioid. Pemilihan analgesik tersebut dapat didasarkan pada


intensitas nyeri (ringan, sedang dan berat). Nyeri ringan digunakan NSAID
atau analgesik non opioid seperti parasetamol, aspirin, ibuprofen. Nyeri
sedang diberikan analgesik opioid ringan seperti kodein, dihidrokodein,
dekstropropoksifen, pentazosin.
Kombinasi antara NSAID dengan analgesik opioid ringan dapat juga
diberikan. Nyeri berat diberikan opioid seperti morfin, diamorfin, petidin,
buprenorfin. Universitas Sumatera Utara Untuk kasus tertentu dapat diberikan
analgesik ajuvan seperti golongan fenotiazin, antidepresan trisiklik dan
amfetamin.
- Kausal: Menghilangkan spasme otot misalnya baklofen, diazepam, eperison,
tizanidine, dan lain-lain Menghilangkan kecemasan (antiansietas)

b. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya
gejala permanen khususnya defisit motorik. Pembedahan tidak dianjurkan pada
keadaan tanpa komplikasi. Prosedur operasi yang dapat dilakukan antara lain:
operasi dekompresi, operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil dan
kombinasi keduanya.11

c. Terapi Fisik
- Penentraman dan Edukasi Pasien Edukasi meliputi pemberian keterangan
sebanyak mungkin sesuai kebutuhan pasien, sehingga pasien mengerti
tentang penyakitnya. Sebagai tambahannya, dokter harus berempati,
menyemangati dan memberikan informasi yang positif kepada pasien.
Menentramkan pasien, yaitu mengatakan bahwa tak ada kelainan serius yang
mendasari penyakitnya, prognosisnya baik dan pasien dapat tetap melakukan
aktifitas sehari-hari. Hal ini untuk mengatasi pemikiran negatif dan kesalahan
penerimaan informasi terhadap pasien tentang nyeri punggung bawahnya.
Ada suatu bukti yang kuat dari systematic reviews bahwa nasehat untuk
13

beraktifitas secara normal akan mempercepat pemulihan dan mengurangi


disabilitas daripada nasehat untuk beristirahat dan ”let pain be your guide”. 18
- Tirah Baring
Modalitas kunci pengobatan nyeri punggung akut adalah tirah baring.
Istirahat harus menyeluruh dan spesifik, yang berarti bahwa tidak ada beban
pada punggung, karena dengan adanya beban akan menyebabkan trauma,
otot-otot akan berkontraksi sehingga timbul rangsangan nosiseptif dan nyeri
ini akan mendasari kontraksi otot dan menyebabkan spasme. Dengan
menghindari gerak pada jaringan yang meradang selama periode tertentu
dapat secara bermakna mengurangi rangsangan nosiseptif. Posisi istirahat
yang diterima adalah posisi modifikasi Fowler, yakni suatu posisi dimana
tubuh bersandar dengan punggung dan lutut fleksi dan punggung bawah pada
posisi sedikit fleksi.19

Gambar 9. Posisi istirahat (tirah baring). Dikutip dari: Thumbaraj V. Lumbar


Spondilosis.20
- Exercise (Latihan)
Latihan sudah menjadi standar penatalaksanaan nyeri pada punggung.
Latihan dapat dilakukan secara pasif maupun aktif dan dalam pengawasan
atau tanpa pengawasan.20 Tujuan dari latihan meliputi memelihara
fleksibilitas fisiologik kekuatan otot, mobilitas sendi dan jaringan lunak serta
ketahanan badan.19 Beberapa penelitian prospektif acak gagal membuktikan
manfaat dari latihan dibanding plasebo pada NPB akut 20, namun penelitian
lain menunjukkan bahwa latihan memberikan outcome yang baik pada
penatalaksanaan NPB kronik.18
14

2.3 Nyeri Radikuler


2.3.1 Definisi Nyeri Radikuler
Nyeri radikuler adalah nyeri yang diakibatkan oleh keadaan radikulopati
yang berpangkal pada radiks saraf dan menjalar ke daerah persyarafan radiks
yang terkena, dimana daerah ini sesuai dengan kawasan dermatom. 21

2.3.2 Klasifikasi Nyeri Radikuler


Nyeri radikuler dibedakan menjadi 3 berdasarkan lokasi radiks saraf yang
diserang yang dikenal dengan keadaan radikulopati, yaitu:21
1. Radikulopati lumbar
Radikulopati lumbar merupakan problema yang sering terjadi yang
disebabkan oleh iritasi atau kompresi radiks saraf daerah lumbal. disebut sciatica.
Gejala yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa sebab seperti bulging diskus
(disk bulges), spinal stenosis, deformitas vertebra atau herniasi nukleus
pulposus.Radikulopati dengan keluhan nyeri pinggang bawah sering didapatkan
(low back pain).21
2. Radikulopati cervical
Radikulopati cervical umumya dikenal dengan “pinched nerve” atau saraf
terjepit merupakan kompresi [ada satu atau lebih radix saraf yang halus pada
leher. Gejala pada radikulopati cervical seringnya disebabkan oleh spondilosis
cervical.
3. Radikulopati torakal
Radikulopati torakal merupakan bentuk yang relatif jarang dari kompresi
saraf pada punggung tengah.Daerah ini tidak didesain untuk membengkok
sebanyak lumbal atau cervical. Hal ini menyebabkan area thoraks lebih jarang
menyebabkan sakit pada spinal. Namun, kasus yang sering yang ditemukan pada
bagian ini adalah nyeri pada infeksi herpes zoster.
15

Gambar 10. Distribusi serabut sensoris saraf pada permukaan tubuh; Dermatom. 21

Pengetahuan anatomi, pemeriksaan fisik diagnostik dan pengetahuan


berbagai penyebab untuk radikulopati sangat diperlukan sehingga diagnosa dapat
ditegakkan secara dini dan dapat diberikan terapi yang sesuai. 22
Terdapat 5 ruas tulang vertebra lumbalis dan diantaranya dihubungkan
dengan discus intervertebralis.Vertebra lumbalis ini menerima beban paling besar
dari tulang belakang sehingga strukturnya sangat padat. Tiap vertebra lumbalis
terdiri dari korpus dan arkus neuralis. Korpus vertebra lumbal paling besar
dibandingkan korpus vertebra torakal dan cervikal. Arkus neuralis terdiri dari 2
pedikel, prosesus tranversus, faset artikularis (prosesus artikularis) superior dan
inferior, lamina arkus vertebra dan prosesus spinosus. Tiap vertebra dihubungkan
dengan diskus intervertebralis, beberapa ligament spinalis dan prosesus
artikularis/faset artikularis/sendi faset. Diskus intervertebralis berfungsi sebagai
16

shock absorbers dan bila terjadi rupture ke dalam kanalis spinalis dapat menekan
radiks-radiks saraf.23
Pada vertebra lumbalis yang lebih atas, hubungan antara prosesus artikularis
arahnya vertical, faset inferior menghadap ke lateral dan faset superior menghadap
ke medial. Akibat susunan anatomi yang demikian menyebabkan terbatasnya
rotasi ke aksial yang memungkinkan fleksi atau ekstensi.
Pada dua vertebra lumbalis yang paling bawah, hubungan antara faset
artikularis tersebut lebih horizontal sehingga mobilitas rotasi aksialnya lebih besar
atau luas. Hal ini menjelaskan sering terjadinya herniasi diskus pada lumbal 4 dan
5.

Manifestasi klinis radikulopati pada daerah lumbal antara lain :


- Rasa nyeri pada daerah sakroiliaka, menjalar ke bokong, paha, hingga ke
betis, dan kaki. Nyeri dapat ditimbulkan dengan Valsava maneuvers (seperti
: batuk, bersin, atau mengedan saat defekasi).
- Pada ruptur diskus intervertebra, nyeri dirasakan lebih berat bila penderita
sedang duduk atau akan berdiri. Ketika duduk, penderita akan menjaga
lututnya dalam keadaan fleksi dan menumpukan berat badannya pada
bokong yang berlawanan. Ketika akan berdiri, penderita menopang dirinya
pada sisi yang sehat, meletakkan satu tangan di punggung, menekuk tungkai
yang terkena (Minor’s sign).
- Nyeri mereda ketika pasien berbaring. Umumnya penderita merasa nyaman
dengan berbaring telentang disertai fleksi sendi coxae dan lutut, dan bahu
disangga dengan bantal untuk mengurangi lordosis lumbal. Pada tumor
intraspinal, nyeri tidak berkurang atau bahkan memburuk ketika berbaring.
- Gangguan postur atau kurvatura vertebra. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan berkurangnya lordosis vertebra lumbal karena spasme involunter
otot-otot punggung. Sering ditemui skoliosis lumbal, dan mungkin juga
terjadi skoliosis torakal sebagai kompensasi. Umumnya tubuh akan condong
menjauhi area yang sakit, dan panggul akan miring, sehingga sendi coxae
akan terangkat. Bisa saja tubuh penderita akan bungkuk ke depan dan ke
17

arah yang sakit untuk menghindari stretching pada saraf yang bersangkutan.
Jika iskialgia sangat berat, penderita akan menghindari ekstensi sendi lutut,
dan berjalan dengan bertumpu pada jari kaki (karena dorsifleksi kaki
menyebabkan stretching pada saraf, sehingga memperburuk nyeri).
Penderita bungkuk ke depan, berjalan dengan langkah kecil dan semifleksi
sendi lutut disebut Neri’s sign.
- Hernia Nucleus Pulposus (HNP) biasanya terletak di posterolateral dan
mengakibatkan gejala yang unilateral. Namun bila letak hernia agak besar
dan sentral, dapat menyebabkan gejala pada kedua sisi yang mungkin dapat
disertai gangguan berkemih dan buang air besar.

2.3.3 Etiologi Nyeri Radikuler


Jika ditinjau dari penyebabnya ada 3 proses yang dapat menyebabkan
nyeri radikuler, yaitu:
1. Proses kompresif
Kelainan-kelainan yang bersifat kompresif sehingga mengakibatkan
radikulopati adalah seperti : hernia nucleus pulposus (HNP) atau herniasi diskus,
tumor medulla spinalis, neoplasma tulang, spondilolisis dan spondilolithesis,
stenosis spinal, traumatic dislokasi, kompresif fraktur, scoliosis dan spondilitis
tuberkulosa, cervical spondilosis
2. Proses inflammatori
Kelainan-kelainan inflamatori sehingga mengakibatkan radikulopati adalah
seperti : Gullain-Barre Syndrome dan Herpes Zoster
3. Proses degeneratif
Kelainan-kelainan yang bersifat degeneratif sehingga mengakibatkan
radikulopati adalah seperti Diabetes Mellitus.

2.3.4 Diagnosis Nyeri


Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini
diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri.
Langkah ini meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
18

laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging


dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama ditujukan untuk mencari
penyebab. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau
hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri
tidak ada.
1. Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui
bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang
ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus
mengetahui lokasi dari nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau
hanya pada bagian tubuh tertentu. intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk
menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau
memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit sebelumnya, penggobatan
yang pernah dijalani, dan alergi obat.
Anamnesis mulai mempersempit penyebab nyeri yang dialami.
a. Radikulopati Servikal
Mendapatkan riwayat penyakit yang rinci merupakan hal yang penting
untuk menegakkan diagnosis dari radikulopati servikal. Pemeriksa harus
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1) Pertama, apa keluhan utama pasien (misalnya :nyeri, mati rasa (baal),
kelemahan otot), dan lokasi dari gejala?
 Skala analog visual dari 0-10dapat digunakan untuk menentukan
tingkat nyeri yang dirasakan oleh pasien.
 Gambaran anatomi nyeri juga dapat membantu dokter dalam
memberikan suatu tinjauan singkat pola nyeripada pasien.
2) Apakah aktivitas dan posisi kepala dapat memperparah atau
meringankan gejalanya?
3) Apakah pasien pernah mengalami cedera diarea leher? Jika iya, kapan
terjadinya, seperti apa mekanisme terjadi cederanya, dan apa yang
dilakukan pada saat itu?
19

4) Apakah pasien pernah mengalami episode gejala serupa sebelumnya


atau nyeri leher yang terlokalisir?
5) Apakah pasien memiliki gejalasugestif darimyelopathyservikal, seperti
perubahangaya berjalan, disfungsi usus atau kandung kemih, atau
perubahan sensoris atau kelemahan pada ekstremitas bawah?
6) Apa pengobatan sebelumnya yang telah dicoba oleh pasien (baik berupa
resep dokter atau mengobati sendiri) :
 Penggunaan dari es dan/atau penghangat
 Obat-obatan (seperti : acetaminophen, aspirin, nonsteroidal anti-
inflammatory drugs [NSAIDs])
 Terapi fisik, traksi, atau manipulasi
 Suntikan
 Operasi
7) Tanyakan riwayat sosialpasien, meliputiolahragadan posisi pasien,
pekerjaan, dan penggunaandari nikotin dan/atau alkohol.
8) Kekhasan pasien dengan radikulopati servikal ialah datang dengan
mengeluh adanya ketidaknyamanan pada leher dan lengan.
Ketidaknyamanan tersebut dapat berupa sakit tumpul sampai nyeri
hebat seperti rasa terbakar. Biasanya, nyerinya ini menjalar
menujubatas medial skapula, dankeluhan utamapasien ialahnyeri bahu.
Ketika radikulopatinya sedang berlangsung, nyeri tersebut menjalar
menuju lengan atas atau bawah dan menuju tangan, sepanjang distribusi
sensori dari radiks saraf yang terlibat.
9) Pasien yang lebih tua kemungkinan memiliki episode sakit leher
sebelumnya atau memberitahukan riwayat memiliki radang sendi
tulang servikal atau leher.
10) Herniasi diskus akut dan penyempitan tiba-tiba foramen saraf juga
dapat terjadi pada cedera yang melibatkan ekstensis ervikal, lateral
bending, atau rotasi dan pembebanan aksial. Pasien-pasien mengeluh
peningkatan rasa sakit dengan posisi leher yang menyebabkan
20

penyempitan foraminal (misalnya, ekstensi, lateral bending, atau rotasi


menuju sisi yang bergejala).
11) Banyak pasien yang menceritakan bahwa mereka dapat mengurangi
gejala radikularnya dengan mengabduksikan bahunya dan
menempatkan tangannya dibelakang kepala. Manuver ini diduga untuk
meringankan gejala dengan mengurangi ketegangan pada radiks saraf.
12) Pasien mungkin mengeluhkan perubahan sensorik di sepanjang
dermatom radiks saraf yang terlibat, dapat berupa kesemutan, mati rasa
(baal), atau hilangnya sensasi.
13) Beberapa pasien mungkin mengeluh kelemahan motorik. Sebagian
kecil pasien akan datang dengan kelemahan otot saja, tanpa rasa sakit
yang signifikan atau keluhan sensorik

b. Radikulopati Lumbal
1) Timbulnya gejala pada pasien dengan radikulopati lumbosakral sering
tiba-tiba dan berupa LBP (nyeri punggung bawah). Beberapa pasien
menyatakan nyeri punggung yang sudah ada sebelumnya menghilang
ketika sakit pada kaki mulai terasa.
2) Duduk, batuk, atau bersin dapat memperburuk rasa sakit, yang berjalan
dari bokong turun ketungkai kaki posterior atau postero lateral menuju
pergelangan kaki atau kaki.
3) Tanyakan penjalaran dari nyerinya, kelemahan otot, dan adanya
perubahan postur tubuh, cara duduk dan berdiri, kesulitan ketika berdiri
setelah duduk atau berbaring, dan perubahan dalam posisi berjalan.
4) Tanyakan apakah ada gangguan sensasi (seperti : kesemutan, baal, dan
rasa terbakar) dan gangguan dalam berkemih ataupun defekasi.
5) Ketika memperoleh riwayat pasien, waspadai setiap red flags(yaitu,
indikator kondisi medis yang biasanya tidak hilang dengan sendirinya
tanpa manajemen). Red flags tersebut dapat menyiratkan kondisi yang
lebih rumit yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut (misalnya,
tumor, infeksi). Adanya demam, penurunan berat badan, atau menggigil
21

memerlukan evaluasi menyeluruh. Usia pasien juga merupakan faktor


ketika mencari kemungkinan penyebab lain dari gejala-gejala pasien.
Individu dengan usia kurang dari 20 tahun dan yang lebih dari 50 tahun
memiliki risiko keganasan lebih tinggi yang dapat menyebabkan nyeri
(misalnya, tumor, infeksi).

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan
patofisiologi nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk
mendapatkan hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan
stimulus simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan
Glasgow come scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses
patologi di intracranial.
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat
penting dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia,
hiperastesia, hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting
menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik. Pemeriksaan fisik yang lengkap
adalah suatu hal yang penting. Penting memperhatikan abnormalitas postur,
deformitas, nyeri tekan, dan spasme otot. Pada pemeriksaan neurologis harus
diperhatikan :
 Gangguan sensorik (hipesthesia atau hiperesthesia). Perlu dibedakan
gangguan saraf perifer dan segmental.
 Gangguan motorik (pemeriksaan kekuatan otot, atrofi, fasikulasi, dan
spasme otot).
 Perubahan refleks.
Pemeriksaan panggul dan rektum perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya
neoplasma dan infeksi di luar vertebra.
a. Pemeriksaan Fisik Radikulopati Servikal
Pada pemeriksaan radikulopati servikal, antara lain akan didapatkan :
1) Terbatasnya “range of motion” leher.
2) Nyeri akan bertambah berat dengan pergerakan (terutama hiperekstensi).
22

3) Tes Lhermitte (Foramina Compression Test). Tes ini dilakukan dengan


menekan kepala pada posisi leher tegak lurus atau miring. Peningkatan
dan radiasi nyeri ke lengan setelah melakukan tes ini mengindikasikan
adanya penyempitan foramen intervertebralis servikal, sehingga berkas
serabut sensorik di foramen intervertebra yang diduga terjepit, secara
faktual dapat dibuktikan.

Gambar 19. Lhermitte’s Test


4) Tes Distraksi. Tes ini dilakukan ketika pasien sedang merasakan nyeri
radikuler. Pembuktian terhadap adanya penjepitan dapat diberikan
dengan tindakan yang mengurangi penjepitan itu, yakni dengan
mengangkat kepala pasien sejenak.

Gambar 20. Distraction Test


b. Pemeriksaan Fisik Radikulopati Lumbar
1) Tes Lasegue (Straight Leg Raising Test)
Pemeriksaan dilakukan dengan cara :
a) Pasien yang sedang berbaring diluruskan (ekstensi) kedua
tungkainya.
23

b) Secara pasif, satu tungkai yang sakit diangkat lurus, lalu


dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya (sendi coxae),
sementara lutut ditahan agar tetap ekstensi.
c) Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan lurus
(ekstensi).
d) Fleksi pada sendi panggul/coxae dengan lutut ekstensi akan
menyebabkan stretching nervus iskiadikus (saraf spinal L5-S1).
e) Pada keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat atau
lebih sebelum timbul rasa sakit dan tahanan.
f) Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan di sepanjang nervus
iskiadikus sebelum tungkai mencapai sudut 70 derajat, maka
disebut tanda Lasegue positif (pada radikulopati lumbal).

2) Modifikasi/Variasi Tes Lasegue (Bragard’s Sign, Sicard’s Sign, dan


Spurling’s Sign)
Merupakan modifikasi dari tes Lasegue yang mana dilakukan tes
Lasuge disertai dengan dorsofleksi kaki (Bragard’s Sign) atau dengan
dorsofleksi ibu jari kaki (Sicard’s Sign). Dengan modifikasi ini, stretching
nervus iskiadikus di daerah tibial menjadi meningkat, sehingga
memperberat nyeri. Gabungan Bragard’s sign dan Sicard’s sign disebut
Spurling’s sign.
24

Gambar 21. Lasseque sign

Gambar 22. Bragard’s sign Gambar 24. Spurling’s sign

3) Tes Lasegue Silang atau O’Conell Test


Tes ini sama dengan tes Lasegue, tetapi yang diangkat tungkai yang
sehat. Tes positif bila timbul nyeri radikuler pada tungkai yang sakit
(biasanya perlu sudut yang lebih besar untuk menimbulkan nyeri radikuler
dari tungkai yang sakit).
4) Nerve Pressure Sign
Pemeriksaan dilakukan dengan cara :
a) Lakukan seperti pada tes Lasegue (sampai pasien merasakan adanya
nyeri) kemudian lutut difleksikan hingga membentuk sudut 20 derajat.
b) Lalu, fleksikan sendi panggul/coxae dan tekan nervus tibialis pada
fossa poplitea hingga pasien mengeluh adanya nyeri.
c) Tes ini positif bila terdapat nyeri tajam pada daerah lumbal, bokong
sesisi, atau sepanjang nervus iskiadikus.

5) Naffziger Tests
Tes ini dilakukan dengan menekan kedua vena jugularis selama 2
menit. Tekanan harus dilakukan hingga pasien mengeluh adanya rasa penuh
di kepalanya. Kompresi vena jugularis juga dapat dilakukan dengan
sphygmomanometer cuff, dengan tekanan 40 mmHg selama 10 menit.
Dengan penekanan tersebut, dapat mengakibatkan tekanan intrakranial
25

meningkat. Meningkatnya tekanan intrakranial atau intraspinal, dapat


menimbulkan nyeri radikular pada pasien dengan space occupying lesion
yang menekan radiks saraf. Pada pasien ruptur diskus intervertebra, akan
didapatkan nyeri radikular pada radiks saraf yang bersangkutan.Pasien dapat
diperiksa dalam keadaan berbaring atau berdiri.
3. Pemeriksaan psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri
yang subjektif, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus
dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang
menyertai.Test yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa
the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam menetahui
permasalahan psikologis yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat
yang tepat untuk penaggulangan nyeri.
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
penyebab dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan
laboratorium dan imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.
Pemeriksaan Penunjang Radikulopati
a. Radiografi atau Foto Polos Roentgen
Tujuan utama foto polos Roentgen adalah untuk mendeteksi adanya
kelainan structural.
b. MRI dan CT-Scan
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang utama untuk mendeteksi
kelainan diskus intervertebra. MRI selain dapat mengidentifikasi kompresi
medulla spinalis dan radiks saraf, juga dapat digunakan untuk mengetahui
beratnya perubahan degenerative pada diskus intervertebra. MRI memiliki
keunggulan dibandingkan dengan CT-Scan, yaitu adanya potongan sagital dan
dapat memberikan gambaran hubungan diskus intervertebra dan radiks saraf yang
jelas,sehingga MRI merupakan prosedur skrining yang ideal untuk menyingkirkan
diagnose banding gangguan structural pada medulla spinalis dan radiks saraf.
26

CT-Scan dapat memberikan gambaran struktur anatomi tulang vertebra


dengan baik, dan memberikan gambaran yang bagus untuk herniasi diskus
intervertebra. Namun demikian, sensitivitas CT-Scan tanpa myelography dalam
mendeteksi herniasi masih kurang bila dibandingkan dengan MRI.

c. Myelography
Pemeriksaan ini memberikan gambaran anatomis yang detail, terutama
elemen osseus vertebra. Myelography merupakan proses yang invasif, karena
melibatkan penetrasi pada ruang subarakhnoid. Secara umum myelogram
dilakukan sebagai tes preoperative dan seringkali dilakukan bersamaan dengan
CT-Scan.

d. Nerve Conduction Study (NCS) dan Electromyography (EMG)


NCS dan EMG sangat membantu untuk membedakan asal nyeri atau untuk
menentukan keterlibatan saraf, apakah dari radiks, pleksus saraf, atau saraf
tunggal. Selain itu, pemeriksaan ini juga membantu menentukan lokasi kompresi
radiks saraf. Namun bila diagnosis radikulopati sudah pasti secara pemeriksaan
klinis, maka pemeriksaan elektrofisiologis tidak dianjurkan.

e. Laboratorium
Pemeriksaan darah perifer lengkap, laju endap darah, faktor rematoid,
fosfatase alkali/asam, dan kalsium.Urin analisis, berguna untuk penyakit
nonspesifik seperti infeksi.

2.4 Tatalaksana Nyeri


1. Terapi Multimodal
Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk
itu berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan
sebagai berikut24 :
a. Modalitas fisik: Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS),
tusuk jarum, perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
27

b. Modalitas kognitif-behavioral: Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik


pasien, dan pendekatan spiritual.
c. Modalitas Invasif: Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan
blok saraf.
d. Modalitas Psikoterapi: Dilakukan secara terstruktur dan terencana,
khususnya bagi mereka yang mengalami depresi dan berpikir ke arah
bunuh diri
e. Modalitas Farmakoterapi: Mengikuti ”WHO Three-Step Analgesic
Ladder”
2. Farmakoterapi Nyeri
Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk
mengatasi nyeri akut. Dalam melaksanakan farmakoterapi terdapat beberapa
prinsip umum dalam pengobatan nyeri. Perlu diketahui sejumlah terbatas obat dan
pertimbangkan berikut:
 Bisakan pasien minum analgesik oral?
 Apakah pasien perlu pemberian iv untuk mendapat efek analgesik
cepat?
 Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan
dalam kombinasi dengan analgesik sistemik?
 Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri,
misal pemasangan bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.

Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang
dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.
a. Obat analgetika non narkotika.
Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS). Banyak jenis
obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum
memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai
titik tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk
mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh
oleh obat ini. Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan
28

sampai sedang. Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral
(tablet, kapsul, sirup), dalam kemasan suntik. Kontraindikasi AINS antara lain:
 Riwayat tukak peptik
 Insufisiensi ginjal atau oliguria
 Hiperkalemia
 Transplantasi ginjal
 Antikoagulasi atau koagulopati lain
 Disfungsi hati berat
 Dehidrasi atau hipovolemia
 Terapi dengan frusemide
 Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

AINS harus digunakan dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada:
 Pasien > 65 tahun
 Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit
pembuluh darah ginjal
 Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
 Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
 Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium,
penyekat beta, cyclosporin, atau metoreksat.
 Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi
ginjal atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.

Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam)


cenderung memiliki efek samping lebih banyak. Penghambat spesifik dari siklo-
oksigenase 2 (COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya
minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal. Pemberian AINS
dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping daripada pemberian
singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan
bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.
29

b. Obat analgetika narkotik


Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak
terdapat didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi
nyeri akut dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu,
Kappa, Sigma, Delta dan Epsilon.
Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat
alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan
efek depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi. Efek samping
yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual sampai muntah
serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh efek
toleransi dan ketergantungan. Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk
pemberian secara suntik, baik intra muskuler maupun intravena. Pemberian
intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural atau
intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus).

c. Kelompok obat anestesia lokal.


Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase
depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah
cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom sumber nyeri,
didaerah perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang epidural atau interatekal.

Tabel 4.Dosis maksimum aman dari anestesi lokal


Obat Maksimum Maksimum
untuk infiltrasi untuk anestesi
lokal pleksus
Lidocaine 3 mg/kg 4 mg/kg
(lignocaine)
Lidocaine 5 mg/kg 7 mg/kg
(lignocaine) dengan
adrenalin (epinefrin)
30

Bupivacaine 1,5 mg/kg 2 mg/kg


Bupivacaine dengan 2 mg/kg 3,5 mg/kg
adrenalin(epinefrin)
Prilocaine 5 mg/kg 7 mg/kg
Prilocaine dengan 5 mg/kg 8 mg/kg
adrenalin(epinefrin)

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik.
Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang
diberikan intratekal hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara
intratekal. Obat anesthesia lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam
pembuluh darah. Memberikan analgesia tambahan untuk semua jenis operasi.
Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh terhadap kesadaran. Teknik
sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir prosedur akan
menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak menggunakannya.
Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung beberapa jam
atau hari jika digunakan teknik kateter. Komplikasi bisa terjadi berupa:
 Komplikasi tersering berkaitan dengan teknik spesifik, misal hipotensi
pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot yang
menyertai blok saraf besar.
 Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis berlebihan atau pemberian
aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Ini bermanifestasi mulai dari
kebingungan ringan, sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan
henti jantung.

Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi


mengikuti ”WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu:
 Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti
NSAID atau COX2 spesific inhibitors.
31

 Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan
obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
 Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang
lebih kuat.

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi


dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada
transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses
modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan
pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol.

Tabel 3.Daftar Indikasi dan dosis obat farmakoterapi nyeri berdasarkan derajat
nyeri
NYERI RINGAN
Farmakoterapi Tingkat I
Nama Dosis Jadwal
Obat
Aspirin 325-650 mg, maks 4 g/hari 4 jam sekali
Asetaminofen 325-650 mg 4-6 jam sekali

Farmakoterapi Tingkat II
Ibuprofen 200 mg 4-6 jam sekali
Sodium Awalan 440 mg 8-12 jam sekali
Naproksen
Selanjutnya 220 mg
Ketoprofen 12,5 mg 4-6 jam sekali
32

NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat VI
Nama Obat Dosis Jadwal
Tramadol 50-100 mg 4-6 jam

NYERI BERAT
Farmakoterapi Tingkat VII
Nama Obat Indikasi Mekanisme
Morfin Bila terapi non narkotik tidak
efektif & terdapat riwayat
terapi narkotik untuk nyeri
Campuran agonis- Blok aktifasi
antagonis pentazosin komponen m
kompleks reseptor
Blok aktifasi
Agonis parsial
komponen m
kompleks reseptor

3. Analgesia Balans
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif
untuk mengatasi nyeri dengan intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu
mudah dapat dikerjakan.Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang
adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya
efek samping.
Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan
beberapa macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang
berbeda. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang
berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut
menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih
adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang
dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari.
33

Otak
Inhibisi
desenden
TCA
Lesi T Tramadol Th/
NE/5HT
Opioid GABAPENTIN

Medulla dll Okskarbasepin


Sensitisasi
Spinalis Lamotrigin
sentral
Sensitisasi perifer/ (NMDA,
Ketamin
ion Na
GABAPENTIN Dextrome-
Calcium)
Karbamasepin
Th
Okskarbasepin
PHENYTOIN

Gambar 14. Skema Farmakoterapi pada analgesia balans

Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang


menggunakan pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses
transduksi ditekan dengan AINS, proses transmisi dengan obat anestetik lokal,
dan proses modulasi dengan opiat. Pendekatan ini, memberikan penderita obat
analgetika dengan titik tangkap kerja yang berbeda seperti obat obat analgetika
non narkotika, obat analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal secara
kombinasi disebut Balans analgesia atau pendekatan polifarmasi.
Secara ringkas, tatalaksana nyeri dapat dijelaskan dengan poin-poin berikut.
1. Terapi Non Farmakologi
a. Akut:
1) Imobilisasi
2) Pengaturan berat badan, posisi tubuh, dan aktivitas
3) Modalitas termal (terapi panas dan dingin)
4) Pemijatan
5) Traksi (tergantung kasus)
34

6) Pemakaian alat bantu (misalnya korset atau tongkat)


b. Kronik
1) Terapi psikologis
2) Modulasi nyeri (akupunktur atau modalitas termal)
3) Latihan kondisi otot
4) Rehabilitasi vokasional
5) Pengaturan berat badan, posisi tubuh, dan aktivitas

2. Terapi Farmakologi
a. NSAIDs
- Contoh: Ibuprofen
- Mekanisme Aksi : Menghambat reaksi inflamasi dan nyeri dengan
cara menurunkan sintesis prostaglandin
- Dosis dan penggunaan :
Dewasa : 300 – 800 mg per oral setiap 6 jam (4x1 hari) atau 400 –
800 mg IV setiap 6 jam jika dibutuhkan
b. Tricyclic Antidepressants
- Contoh : Amitriptyline
- Mekanisme Aksi : Menghambat reuptake serotonin dan/atau
norepinefrin oleh membran saraf presynaptic, dapat meningkatkan
konsentrasi sinaptik dalam SSP. Berguna sebagai analgesik untuk
nyeri kronis dan neuropatik tertentu.
- Dosis dan penggunaan :
Dewasa : 100 – 300 mg 1x1 hari pada malam hari
c. Muscle Relaxants
- Contoh: Cyclobenzaprine
- Mekanisme Aksi : Relaksan otot rangka yang bekerja secara sentral
dan menurunkan aktivitas motorik pada tempat asal tonik somatic
yang mempengaruhi baik neuron motor alfa maupun gamma.
- Dosis:Dewasa : 5 mg per oral setiap 8 jam (3x1 hari)
35

d. Analgesik
- Contoh: Tramadol (Ultram)
- Mekanisme Aksi : Menghambat jalur nyeri ascenden, merubah
persepsi serta respon terhadap nyeri, menghambat reuptake
norepinefrin dan serotonin
- Dosis: Dewasa : 50 – 100 mg per oral setiap 4 – 6 jam (4x1 hari) jika
diperlukan
e. Antikonvulsan
- Contoh: Gabapentin (Neurontin)
- Mekanisme Aksi : Penstabil membran, suatu analog struktural dari
penghambat neurotransmitter gamma-aminobutyric acid (GABA),
yang mana tidak menimbulkan efek pada reseptor GABA.
- Dosis: Dewasa : Neurontin
 Hari ke-1 : 300 mg per oral 1x1 hari
 Hari ke-2 : 300 mg per oral setiap 12 jam (2x1 hari)
 Hari ke-3 : 300 mg per oral setiap 8 jam (3x1 hari)

3. Invasif Non Bedah


- Blok saraf dengan anestetik local
- Injeksi steroid (metilprednisolone) pada epidural untuk mengurangi
pembengkakan sehingga menurunkan kompresi radiks saraf

4. Bedah (pada HNP)


Indikasi :
- Skiatika dengan terapi konservatif selama > 4 minggu : nyeri berat,
menetap, dan progresif
- Defisit neurologis memburuk
- Sindroma kauda
36

BAB III
STATUS ORANG SAKIT

3.1 Anamnesis
3.1.1 Identitas Pribadi
No. Rekam Medis : 010870
Nama : Salmah
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 73 Tahun
Suku Bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl. K Bakti Gg. Ascor No. 12 LK 1 Medan Polonia
Status : Sudah Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Mausk : 06 Juli 2018

3.2 Riwayat Perjalanan Penyakit


3.2.1 Keluhan
Keluhan Utama : Nyeri punggung bawah
Telaah : Ny. S, Perempuan, 73 tahun datang dengan keluhan nyeri
punggung bawah. Keluhan dialami sejak ± 5 hari ini, memberat sejak ± 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan pada punggung bawah dan menjalar
ke tungkai kanan dengan VAS 3-4. Nyeri dirasakan Os seperti pegal-pegal dan
bersifat hilang timbul. Nyeri memberat pada saat Os duduk dan berbaring.
Riwayat kebas didapati sejak ± 3 hari yang lalu. Kebas dirasakan bersamaan
dengan nyeri. Kebas dirasakan pada punggung bawah dan menjalar ke tungkai
kanan. Kebas dirasakan hilang timbul. Riwayat nyeri pada punggung bawah
didapati ± 5 tahun yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul. Nyeri timbul pada saat
Os berjalan jauh dan menaiki tangga. Riwayat trauma punggung dan jatuh
terduduk disangkal Os. BAB dan BAK kesan normal.
37

Riwayat Penggunaan Obat : Bisoprolol, Furosemid, Glukosamin


Riwayat Penyakit Terdahulu : Hipertensi dan Gagal Jantung

3.2.2 Anamnesa Traktus


Traktus Sirkulatorius : Nyeri dada (-), hipertensi (+)
Traktus Respiratorius : Sesak (-), batuk (-)
Traktus Digestivus : Tidak dijumpai kelainan, BAB normal
Traktus Urogenitalis : Tidak dijumpai kelainan, BAK normal
Penyakit Terdahulu : Hipertensi dan Gagal Jantung
Intoksikasi dan Obat-obatan : Bisoprolol, Furosemid, Glukosamid

3.2.3 Anamnesa Keluarga


Faktor Herediter :-
Faktor Familier :-
Lain-lain :-

3.2.4 Anamnesa Sosial


Kelahiran dan Pertumbuhan : Tidak diketahui
Imunisasi : Tidak jelas
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perkawinan : Sudah Menikah

3.3 Pemeriksaan Jasmani


3.3.1 Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15 E4V5M6)
VAS : 3-4
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Temperatur : 36,40C
Kulit : Ikterik (-), akral hangat, CRT<3”
38

Leher : Pembesaran KGB (-)


Persendian : Tidak dijumpai pembengkakan

3.3.2 Kepala dan Leher


Bentuk dan Posisi : Noemocephali, simetris
Pegerakan : Dalam batas normal
Kelainan Panca Indera : Tidak dijumpai kelainan
Kelenjar Parotis : Dalam batas normal
Desah : Tidak dijumpai
Dan lain-lain : (-)

3.3.3 Rongga Dada dan Abdomen


Rongga Dada Rongga Abdomen
Inspeksi : Simetris Fusiformis Simetris
Palpasi : SF: ka=ki, N Soepel
Perkusi : Sonor Timpani
Auskultasi : SP: Vesikuler,ST:(-), Peristaltik (+), N
SJ: dbn

3.4 Pemeriksaan Neurologis


3.4.1 Sensorium : Compos Mentis, GCS 15 (E4V5M6)

3.4.2 Kranium
Bentuk : Bulat
Fontanella : Tertutup
Palpasi : Pulsasi a. Temporalis (+), a. Carotis (+)
Perkusi : Cracked pot sign (-)
Auskultasi : Desah (-)
Transluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4.3 Perangsangan Meningeal


39

Kaku kuduk : (-)


Tanda kernig : (-)
Tanda brudzinski I : (-)
Tanda brudzinski II : (-)

3.4.4 Peningkatan Tekanan Intrakranial


Muntah proyektil : (-)
Sakit kepala : (-)
Kejang : (-)

3.4.5 Saraf Otak/Nervus Kranialis


Nervus I Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra
Normosmia (+) (+)
Anosmia (-) (-)
Parosmia (-) (-)
Hiposmia (-) (-)

Nervus II, III Oculi Dextra Oculi Sinistra


Visus 60/60 60/60
Lapangan Pandang Normal Normal
Refleks Ancaman (+) (+)
Pupil Ø 3 mm Ø 3 mm
Bentuk Bulat Bulat
Refleks Cahaya Langsung (++) (++)
Refleks Cahaya Tidak Langsung (++) (++)
Rima Palpebra 7 mm 7 mm
Fundus Oculi :
Warna Tidak dilakukan pemeriksaan
Batas Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekskavasio Tidak dilakukan pemeriksaan
Arteri Tidak dilakukan pemeriksaan
40

Vena Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus III, IV, VI Oculi Dextra Oculi Sinistra


Gerakan Bola Mata (++) (++)
Nistagmus (-) (-)
Deviasi Conjugate (-) (-)
Fenomena Doll’s Eye (-) (-)
Strabismus (-) (-)

Nervus V Kanan Kiri


Motorik :
Membuka dan menutup mata (+) (+)
Palpasi otot masseter dan (+) (+)
temporalis
Kekuatan gigitan (+) (+)
Sensorik :
Kulit Dalam batas normal
Selaput Lendir Dalam batas normal
Refleks Kornea Langsung Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Kornea Tidak Langsung Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Masseter Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Bersin Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus VII Kanan Kiri


Motorik :
Motorik (+) (+)
Mimik (+) (+)
Kerut Kening Simetris
Menutup Mata (+) (+)
Meniup Sekuatnya Tidak ada kebocoran udara
Memperlihatkan Gigi Simetris
41

Tertawa Simetris
Sensorik :
Pengecapan 2/3 Depan Lidah Dalam batas normal
Produksi Kelenjar Ludah Dalam batas normal
Hiperakusis Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks Stapedial Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus VIII Kanan Kiri


Auditorius :
Pendengaran Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Rinne Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Weber Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Schwabach Tidak dilakukan pemeriksaan
Vestibularis Nistagmus Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Kalori (-)
Vertigo (-)
Tinitus (-)

Nervus IX, X
Pallatum Mole Medial
Uvula Medial
Disfagia (-)
Disartria (-)
Disfonia (-)
Refleks Muntah Tidak dilakukan pemeriksaan
Pengecapan 1/3 Belakang Lidah Dalam batas normal

Nervus XI Kanan Kiri


Mengangkat Bahu (+) (+)
Fungsi M. Sternocleidomastoideus (+) (+)
42

Nervus XII
Lidah Tremor (-)
Atrofi (-)
Fasikulasi (-)
Ujung Lidah Sewaktu Istirahat Medial
Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan Medial

3.4.6 Sistem Motorik


Trofi (-)
Tonus Otot Dalam batas normal
Kekuatan Otot ESD: 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID: Sulit dinilai EIS: 55555/55555
Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring) Dibantu untuk duduk, berdiri dan berbaring
Gerakan Spontan Abnormal :
Tremor (-)
Khorea (-)
Ballismus (-)
Atetosis (-)
Distonia (-)
Spasme (-)
Tic (-)
Dan Lain-lain (-)

3.4.7 Tes Sensibilitas


Eksteroseptif Dalam batas normal
Proprioseptif Dalam batas normal

3.4.8 Refleks
Refleks Fisiologis : Kanan Kiri
Biceps (++) (++)
Triceps (++) (++)
43

Radioperiost (++) (++)


KPR (+) (++)
APR (++) (++)
Strumple (++) (++)
Refleks Patologis :
Babinski (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Hoffman- Tromner (-) (-)
Klonus Lutut (-) (-)
Klonus Kaki (-) (-)
Refleks Primitif (-) (-)

3.4.9 Koordinasi
Bicara Dapat berbicara dengan jelas
Menulis Dapat menulis dengan jelas
Percobaan Apraksia Tidak dilakukan pemeriksaan
Mimik Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Telunjuk-telunjuk Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Telunjuk-hidung Tidak dilakukan pemeriksaan
Diadokhokinesia Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Tumit-lutut Tidak dilakukan pemeriksaan
Test Romberg Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4.10 Vegetatif
Vasomotorik Dapat berbicara dengan jelas
Sudomotorik Dapat menulis dengan jelas
Pilo-Erektor Tidak dilakukan pemeriksaan
Miksi Dalam batas normal
44

Defekasi Tidak dilakukan pemeriksaan


Potens dan Libido Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4.11 Vertebra
Bentuk Normal
Pergerakan Leher Dalam batas normal
Pinggang Dalam batas normal

3.4.12 Tanda Perangsangan Radikuler


Laseque (+)
Cross Laseque (+)

3.4.13 Gejala-Gejala Serebelar


Ataksia (-)
Disartria (-)
Tremor (-)
Nistagmus (-)
Fenomena Rebound (-)
Vertigo (-)
Dan Lain-lain (-)

3.4.14 Gejala-Gejala Ekstrapiramidal


Tremor (-)
Rigiditas (-)
Bradikinesia (-)
Dan Lain-lain (-)

3.4.15 Fungsi Luhur


Kesadaran Kualitatif Compos Mentis
Ingatan Baru Dalam batas normal
Ingatan Lama Dalam batas normal
45

Orientasi Diri Dalam batas normal


Tempat Dalam batas normal
Waktu Dalam batas normal
Situasi Dalam batas normal
Intelegensia Dalam batas normal
Daya Pertimbangan Dalam batas normal
Reaksi Emosi Dalam batas normal
Afasia :
Ekspresif (-)
Reseptif (-)
Apraksia (-)
Agnosia :
Visual (-)
Jari-jari (-)
Akalkulia (-)
Disorientasi Kanan-Kiri (-)

3.5 Pemeriksaan Penunjang


3.5.1 Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Rutin
- Haemoglobin 12.3 12-14 g/dL
- Hematokrit 35.9 37-43 %
- Leukosit 9.000 5-10.103 /uL
- Trombosit 223.000 150-400.103 /uL
Kimia Klinik
- Ureum 40 < 50 mg/dL
- Kreatinin 0.4 0.6-1.2 mg/dL
- Asam Urat 2.9 < 5.7 mg/dL
- Glukosa Sewaktu 84 < 200 mg/dL
- Cholesterol Total 197 < 200 mg/dL
46

- HDL Cholesterol 59 > 40 mg/dL


- LDL Cholesterol 90 < 100 mg/dL
- Trigliserida 130 < 150 mg/dL

3.5.2 Rontgen Thorax

Keterangan : CTR >50%, diafragma normal, tidak tampak adanya infiltrat.


Kesimpulan : Cardiomegali
47

3.5.3 Rontgen Dada

Keterangan : Curve dan Alignment dalam batas normal, Corpus vertebra


lumbosacral dalam batas normal, Discus dan foramen intervertebralis tidak
menyempit, Paedicle dalam batas normal. Tidak tampak fraktur, lesi litik maupun
sklerotik. Tampak osteofit vertebra lumbalis
Kesimpulan : Spondilosis Lumbal
48

3.6 Kesimpulan Pemeriksaan


S, Perempuan usia 73 tahun, dibawa ke Rumah Sakit Putri Hijau dengan
keluhan nyeri punggung bawah. Nyeri dialami Os sejak 5 hari yang lalu bersifat
hilang timbul dengan VAS 3-4. Nyeri yang dirasakan Os menyebar hingga ke
tungkai kanan. Apabila berjalan jauh, Os akan merasakan nyeri.

Status Presens
Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15; E4M6V5)
Tekanan Darah : 160/100mmHg
Nadi : 72x/menit
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Temperature : 36,4°C

Nervus Kranialis
N. I : Normosmia
N. II,II I : Refleks cahaya (+/+), Pupil isokor Ø=3mm/Ø=3mm
N. III,IV,VI : Gerak bola mata (+/+)
N. V : Buka tutup mulut kesan normal
N. VII : Sudut mulut simetris
N. VIII : Pendengaran normal
N. IX, X : Uvula medial
N. XI : Angkat bahu (+/+)
N. XII : Lidah dijulurkan medial

STATUS NEUROLOGIS
Sensorium : Compos mentis
Peningkatan TIK : (-)
Rangsang Meningeal : (-)
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
B/T ++/++ ++/++
KPR/APR +/++ ++/++
49

Refleks Patologis Kanan Kiri


H/T -/- -/-
Babinski - -
Kekuatan Motorik ESD : 55555/55555 ESS: 55555/55555
EID : Sulit dinilai EIS : 55555/55555

3.7 Diagnosis
DIAGNOSIS FUNGSIONAL : Nyeri Punggung Bawah Kanan + Nyeri
Radikuler
DIAGNOSIS ETIOLOGI : Spondilosis Lumbal
DIAGNOSIS ANATOMIK : Lumbal Vertebra
DIAGNOSIS BANDING : 1. Spondilosis
2. HNP Lumbal
3. Spondilolitesis
4. Spondilitis
5. Kompresi Fraktur Spinal
DIAGNOSA KERJA : Low Back Pain ec. Spondilosis Lumbal +
Radikulopati

3.8 Penatalaksanaan
1. Tirah Baring
2. O2 2-4 L/I via nasal canule
3. IVFD R-Sol 20 gtt/i
4. Inj. Ranitidin 25mg/12 jam
5. Inj. Ketorolac 10mg/12 jam
6. Glucosamine 2 x 500mg

3.9 Rencana Pemeriksaan


1. CT – Scan Lumbal
50

BAB IV
FOLLOW UP

Tanggal S O A P
06/07/2018 Nyeri Sens : CM LBP ec. - Tirah Baring
Pinggang (+) TD : 160/100 Spondilosis - O2 2-4 L/I via
Nyeri Kedua HR : 72x/i Lumbal + nasal canule
bahu (+) RR : 20x/i Radikulopati - IVFD R-Sol
Badan lemas Temp.: 36,40C 20 gtt/i
(+) Penigkatan TIK (-) - Inj. Ranitidin
R.Meningeal (-) 25mg/12 jam
- Inj. Ketorolac
N. kranialis 10mg/12 jam
N. I : normal - Glucosamine
N. II,III: RC +/+, 2 x 500mg
Pupil isokor =
3mm/= 3mm
N. II,IV,VI: gerak
bola mata +/+
N. V: buka tutup
mulut normal
N. VII: sudut
mulut simetris,
kerut kening
simetris
N. VIII:
pendengaran kesan
normal
N. IX,X: uvula
medial
N. XI: angkat bahu
+/+
N. XII: lidah
dijulurkan medial

R. Fisiologis
B/T: ++/++ ++/++
KPR/APR: +/++
++/++
51

R.Patologis
H/T: -/- -/-
Babinski: -

K. Motorik
ESD: 55555/55555
EID: Sulit dinilai
ESS: 55555/55555
EIS: 55555/55555
07/07/2018 Nyeri Sens : CM LBP ec. - Tirah Baring
Pinggang (+) TD : 150/90 Spondilosis - Beri posisi
berkurang HR : 82x/i Lumbal + nyaman
RR : 20x/i Radikulopati - Inj. Ranitidin
Temp.: 36,90C 25mg/12 jam
Penigkatan TIK (-) - Inj. Ketorolac
R.Meningeal (-) 10mg/12 jam
- Glucosamine
N. kranialis 2 x 500mg
N. I : normal - Methycobal
N. II,III: RC +/+, 2 x 500mg
Pupil isokor = - Gabexal
3mm/= 3mm 2 x 100mg
N. II,IV,VI: gerak
bola mata +/+
N. V: buka tutup
mulut normal
N. VII: sudut
mulut simetris,
kerut kening
simetris
N. VIII:
pendengaran kesan
normal
N. IX,X: uvula
medial
N. XI: angkat bahu
+/+
N. XII: lidah
dijulurkan medial
52

R. Fisiologis
B/T: ++/++ ++/++
KPR/APR: +/++
++/++

R.Patologis
H/T: -/- -/-
Babinski: -

K. Motorik
ESD: 55555/55555
EID: Sulit dinilai
ESS: 55555/55555
EIS: 55555/55555
08/07/2018 Nyeri Sens : CM LBP ec. - Tirah Baring
Pinggang (+) TD : 150/100 Spondilosis - Beri posisi
berkurang HR : 90x/i Lumbal + nyaman
RR : 20x/i Radikulopati - Inj. Ranitidin
Temp.: 36,10C 25mg/12 jam
Penigkatan TIK (-) - Inj. Ketorolac
R.Meningeal (-) 10mg/12 jam
- Glucosamine
N. kranialis 2 x 500mg
N. I : normal - Methycobal
N. II,III: RC +/+, 2 x 500mg
Pupil isokor = - Gabexal
3mm/= 3mm 2 x 100mg
N. II,IV,VI: gerak
bola mata +/+ R/ Fisioterapi
N. V: buka tutup
mulut normal
N. VII: sudut
mulut simetris,
kerut kening
simetris
N. VIII:
pendengaran kesan
normal
N. IX,X: uvula
medial
53

N. XI: angkat bahu


+/+
N. XII: lidah
dijulurkan medial

R. Fisiologis
B/T: ++/++ ++/++
KPR/APR: +/++
++/++

R.Patologis
H/T: -/- -/-
Babinski: -

K. Motorik
ESD: 55555/55555
EID: Sulit dinilai
ESS: 55555/55555
EIS: 55555/55555
09/07/2018 Nyeri Sens : CM LBP ec. - Tirah Baring
Pinggang (+) TD : 160/90 Spondilosis - Beri posisi
berkurang HR : 86x/i Lumbal + nyaman
RR : 20x/i Radikulopati - Fisioterapi
Temp.: 36,40C - Inj. Ranitidin
Penigkatan TIK (-) 25mg/12 jam
R.Meningeal (-) - Inj. Ketorolac
10mg/12 jam
N. kranialis - Glucosamine
N. I : normal 2 x 500mg
N. II,III: RC +/+, - Methycobal
Pupil isokor = 2 x 500mg
3mm/= 3mm - Gabexal
N. II,IV,VI: gerak 2 x 100mg
bola mata +/+
N. V: buka tutup
mulut normal
N. VII: sudut
mulut simetris,
kerut kening
simetris
54

N. VIII:
pendengaran kesan
normal
N. IX,X: uvula
medial
N. XI: angkat bahu
+/+
N. XII: lidah
dijulurkan medial

R. Fisiologis
B/T: ++/++ ++/++
KPR/APR: +/++
++/++

R.Patologis
H/T: -/- -/-
Babinski: -

K. Motorik
ESD: 55555/55555
EID: Sulit dinilai
ESS: 55555/55555
EIS: 55555/55555
10/07/2018 Nyeri Sens : CM LBP ec. - Tirah Baring
Pinggang (+) TD : 150/90 Spondilosis - Beri posisi
berkurang HR : 94x/i Lumbal + nyaman
RR : 20x/i Radikulopati - Inj. Ranitidin
Temp.: 36,40C 25mg/12 jam
Penigkatan TIK (-) - Inj. Ketorolac
R.Meningeal (-) 10mg/12 jam
- Glucosamine
N. kranialis 2 x 500mg
N. I : normal - Methycobal
N. II,III: RC +/+, 2 x 500mg
Pupil isokor = - Gabexal
3mm/= 3mm 2 x 100mg
N. II,IV,VI: gerak
bola mata +/+ R/ PBJ
N. V: buka tutup
55

mulut normal
N. VII: sudut
mulut simetris,
kerut kening
simetris
N. VIII:
pendengaran kesan
normal
N. IX,X: uvula
medial
N. XI: angkat bahu
+/+
N. XII: lidah
dijulurkan medial

R. Fisiologis
B/T: ++/++ ++/++
KPR/APR: +/++
++/++

R.Patologis
H/T: -/- -/-
Babinski: -

K. Motorik
ESD: 55555/55555
EID: Sulit dinilai
ESS: 55555/55555
EIS: 55555/55555
56

BAB V
DISKUSI KASUS

TEORI KASUS
LBP
Definisi Os mengeluhkan nyeri di punggung
Low back pain adalah suatu periode bawah sejak 3 hari yang lalu,
nyeri di punggung bawah yang memberat 1 hari sebelum masuk
berlangsung lebih dari 24 jam, yang rumah sakit. Riwayat nyeri punggung
didahului dan diikuti oleh 1 bulan atau bawah dijumpai sejak 5 tahun lalu
lebih tanpa nyeri punggung bawah.
Klasifikasi Os mengatakan nyeri timbul pada saat
Berdasarkan etiologinya: Os duduk, berjalan jauh dan berbaring.
- Mekanik Statik Os adalah seorang ibu rumah tangga,
Postur tubuh dalam keadaan posisi statis Os menyangkal adanya riwayat
(duduk atau berdiri) sehingga mengangkat beban berat tiap harinya.
menyebabkan peningkatan pada sudut
lumbosakral, hal tersebut akan Berdasarkan keluhan, Os dapat
menyebabkan nyeri. diklasifikasikan kedalam LBP Kronik,
- Mekanik Dinamik dikarenakan Nyeri dirasakan sejak 5
Gerakan-gerakan yang tidak mengikuti tahun yang lalu hilang timbul dan
mekanisme normal dapat menimbulkan terasa sangat berat 1 hari sebelum
LBP mekanik, seperti gerakan masuk rumah sakit
kombinasi (terutama fleksi dan rotasi)
dan repetitif, terutama disertai dengan
beban yang berat.
Berdasarkan perjalanan klinisnya:
a. LBP akut
Keluhan terjadi <2 minggu dan pada
fase akut akhir terjadi antara 2-6
minggu.
b. LBP sub akut
Keluhan berlangsung antara 6-12minggu
c. LBP kronik
Keluhan terjadi >12 minggu atau rasa
nyeri yang berulang.
Faktor resiko Os merupakan perempuan berusia 73
- Umur >50 tahun tahun. Os mengeluhkan dengan posisi
- Jenis kelamin perempuan duduk dan berbaringnya, Os merasa
- Berat badan berlebih nyeri kerap kali timbul.
- Beban fisik berat
- Posisi duduk, berdiri dan tidur yang
salah
57

SPONDILOSIS
Gambaran Klinis Nyeri dirasakan Os pada punggung
Nyeri yang terpusat pada bagian tulang bawah. Nyeri dirasakan Os seperti
belakang, bertambah dengan pergerakan, pegal-pegal. Karena nyeri tersebut Os
dan berkaitan dengan kekakuan dan tidak mampu berjalan jauh dan
keterbatasan gerakan. Perlu diperhatikan mengerjakan aktivitas seperti biasa.
bahwa tidak ada gejala sistemik seperti Nyeri dan kebas dirasaka Os menjalar
keletihan, malaise, dan demam. sampai ke tungkai kanan bawah. Pada
Beberapa pasien mengeluhkan nyeri pemeriksaan tidak dijumpai adanya
yang samar-samar pada tungkai bawah. gejala sistemik seperti demam dan
malaise
Pemeriksaan Penunjang CT Scan Lumbal
- X-Ray
Terlihat diskus intervertebralis yang Adanya diskus intervertebralis yang
menyempit, menyempit
Adanya osteosit
Tatalaksana - Aktivitas : Tirah Baring
- Tirah baring Fisioterapi
- Terapi panas dan dingin - Supportive : O2 2-4 L/I via nasal
- Exercise canule
IVFD R-Sol 20 gtt/i
Terapi farmakologis - Inj. Ranitidin 25mg/12 jam
- NSAIDs - Inj. Ketorolac 10mg/12 jam
- Tricyclic antidepressants - Glucosamine 2 x 500mg
- Muscle relaxants - Methycobal 2 x 500mg
- Analgesik - Gabexal 2 x 100mg
- Antikonvulsan
58

BAB VI
KESIMPULAN

Laporan kasus pasien atas nama Salma, Perempuan usia 73 tahun,


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien ini
didiagnosis dengan Low Back Pain ec. Spondilosis Lumbal + Radikulopati.
Selama dirawat inap, pasien diterapi dengan :
- Aktivitas : Tirah Baring
Fisioterapi
- Supportive : O2 2-4 L/I via nasal canule
IVFD R-Sol 20 gtt/i
- Inj. Ranitidin 25mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 10mg/12 jam
- Glucosamine 2 x 500mg
- Methycobal 2 x 500mg
- Gabexal 2 x 100mg
59

DAFTAR PUSTAKA

1. Balague F1, Mannion AF, Pellise F, Cedraschi C. Non-specific low


back pain. Lancet. 2012 Feb 4;379(9814):482-91.
2. Chou R. Pharmacological Management of Low Back Pain. Drugs
[online]. 2010;70 (4) :387-401. Available from MEDLINE with FULL
TEXT. Accesed July 10, 2018
3. Albert HB, Sorensen JS, Christensen BS, Manniche C. Antibiotic
Treatment in Patients with Chronic Low Back Pain and Vertebral Bone
Edema (Modic Type 1 Changes): A Double-Blind Randomized Clinical
Controlled Trial of Efficacy. Euro Spine Journal 2013; 22: 607-707
4. British Association of Spinal Surgeons. Antibiotic Treatment for
Chronic Low Back Pain. http://www.spinesurgeons.ac.uk//patients/
antibiotics-back-pain (accesed 9 July 2018)
5. Hasenbring Mi, Rusu Ac, Turk Dc. From Acute To Chronic Back Pain:
Risk Factors, Mechanisms, And Clinical Implications [Internet]. Oup
Oxford; 2012
6. Ramadhani Ae, Wahyudati S. Gambaran Gangguan Fungsional Dan
Kualitas Hidup Pada Pasien Low Back Pain Mekanik. Media Med
Muda; Vol 4, No 4 Media Med Muda.2015
7. Goertz M, Thorson D, Bonsell J, Bonte B, Campbell R, Haake B, Et Al.
Health Care Guideline Adult Acute And Subacute Low Back Pain. Inst
Clin Syst Improv. 2012;15
8. Tarwaka; Bakri S.H.A; Sudiajeng L. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan,
Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press, Universitas Islam Batik.
Surakarta.
9. Erizal, M.A.,2013. Faktor Resiko Penyebab Nyeri Punggung Bawah Pada
Perawat di RSUD DR.Pirngadi Medan pada FK USU Medan
60

10. Casazza, Brian A. MD. 2012. Diagnosis and Treatment of Acute Low
Back Pain. American Family Physician, vol. 85, no.4, 344-350. Diperoleh
dari : www.aafp.org/afp

11. Mahadewa TGB. Diagnosis dan Tatalaksana Spondylosis Lumbalis.


Dalam: Mahadewa TGB dan Maliawan S (Ed.). Diagnosis dan
tatalaksana kegawatdaruratan tulang belakang. Jakarta: Sagung Seto,
2009. Hal: 88-101.
12. Rothschild BM and Wyler AR. Lumbar Sponylosis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/249036. Updated: Apr 9th,
2009.
13. Thumbaraj V. Lumbar Spondilosis. Available at: http://www.globalspine.
net/lumbar_spondylosis.2003-2005. Access on: May 2011.
14. Aulina S. Anatomi dan Biomekanik Tulang Belakang Lumbal. Dalam:
Meliala LKRT, Suryamiharja A, Purba JS dan Sadeli HA (Ed.). Nyeri
punggung bawah. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2003. Hal: 5-16.
15. Ropper AH and Brown RH. Pain in the Back, Neck and Extrimities. In:
Adams and Victor’s Principle of Neurology, 8th Edition. New York:
McGraw Hill, 2005. p.168-191.
16. Dikutip dari: Rothschild BM and Wyler AR. Lumbar Sponylosis. Available
th
at: http://emedicine.medscape.com/article/249036. Updated: Apr 9 ,
2009.
17. Wibowo S. Farmakoterapi Nyeri Punggung Bawah. Dalam: Meliala
LKRT, Suryamiharja A, Purba JS dan Sadeli HA (Ed.). Nyeri
punggung bawah. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2003. Hal: 171-
184.
18. Barr KP and Harrast MA. Low Back Pain. In: Braddom
RL,Buschbacher RM, Chan L, Kowalske KJ, Laskowski ER,
Malthews DJ, et al (Ed.). Physical medicine & rehabilitation, third
edition. USA: Saunders, 2005.
61

19. Amir D. Terapi Fisik Pada NPB. Dalam: Meliala LKRT, Suryamiharja
A, Purba JS dan Sadeli HA (Ed.). Nyeri punggung bawah. Kelompok
Studi Nyeri PERDOSSI, 2003. Hal: 197-223. Available at:
http://www.globalspine.net/lumbar_spondylosis
20. Weinstein SM, Herring SA and Stanaert CJ. Low Back Pain. In: Delisa
AJ, Gans BM, Walsh NE, Bockenek WL, Frontera WR, Geiringer SR, et
al (Ed.). Physical medicine & rehabilitation, principles and practice, fourth
edition. New Jersey: Lippincott William & Wilkins, 2005
21. Cole, B. Eliot. 2002. Pain Management: Classifying, Understanding, and
Treating Pain. Turner White Communications Inc. Page 24-30, diunduh
dari www.turner-white.com pada 26 Juni 2015
22. Ropper, A. H. (2005). The Muscular Dystrophies in: Adams and Victor's
principles of neurology Eight Edition. New York: McGraw-Hill Medical
Pub. Division
23. Iskandar.(2002). Radikulopati thorakalis. Diperoleh tanggal 28 Juni 2015
dari http://www.perdossi.or.id/show_file.html?id=149
24. Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai