Anda di halaman 1dari 51

REFERAT

Rheumatoid on Hip and Knee, diagnostic and management

Disusun oleh:

Dengan Pembimbing:

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ORTHOPEDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit reumatik merupakan penyakit autoimun yang menyerang persendian serta

struktur di sekitarnya. Salah satunya adalah rheumatoid artritis (RA), penyakit autoimun

inflamasi sistemik umum yang ditandai dengan nyeri, pembengkakan sendi yang dapat
1
mengganggu fungsi fisik dan kualitas hidup. Penyakit ini melibatkan gangguan inflamasi

kronis yang disebabkan dalam banyak kasus oleh interaksi antara gen dan faktor
2
lingkungan, termasuk tembakau, yang terutama melibatkan sendi sinovial. Biasanya

dimulai pada sendi perifer kecil, biasanya simetris, dan berkembang untuk melibatkan sendi

proksimal jika tidak diobati. Peradangan sendi dari waktu ke waktu akan mengarah pada
2,3
kerusakan sendi dengan hilangnya tulang rawan dan erosi tulang. RA, jika tidak diobati,

adalah penyakit progresif dengan morbiditas dan peningkatan mortalitas. Penyebab

rheumatoid artritis masih memiliki patofisiologi yang jelas. Namun, terdapat faktor risiko

termasuk merokok, obesitas dan paparan polusi udara serta wanita dan orang lanjut usia
4
memiliki risiko lebih tinggi terkena RA.

Masyarakat usia lanjut yang terkena RA dapat menyebabkan beban ekonomi, di

mana hal ini dapat sangat membatasi kemampuan seseorang untuk melakukan tugas-tugas

yang berkaitan dengan pekerjaan dan bahkan dapat memaksa seseorang untuk mengurangi

jumlah mereka bekerja atau membuat perubahan dalam pekerjaan untuk mengakomodasi
disabilitas mereka. 1 Dalam beberapa kasus, di mana penyakitnya mempunyai derajat yang

parah, seseorang mungkin terpaksa meninggalkan dunia kerja sama sekali. Sehingga,

produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang

berkualitas. Meskipun kejadian RA sebagian besar terjadi pada orang tua namun tidak

menutup kemungkinan bahwa proses patologi telah terjadi dengan bertambahnya usia dan
1,3
adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.

Saat ini, tidak ada tes laboratorium yang khas untuk rheumatoid artritis, sehingga

diagnosis penyakit ini menjadi sulit pada tahap awal. Pendekatan klinis yang komprehensif

diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan mencegah kerusakan sendi yang


3,4
melemahkan. Jika didiagnosis tepat waktu, gejala dan perkembangan penyakit dapat

dikontrol dengan pengobatan farmakologis, dan fungsi optimal dapat dipertahankan melalui

rehabilitasi (termasuk penggunaan produk bantuan). Pada kasus dengan kerusakan sendi

yang parah, prosedur pembedahan, termasuk penggantian sendi, dapat membantu


3–5
memulihkan gerakan atau mengatasi rasa sakit, dan mempertahankan fungsi fisik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rheumatoid Arthritis

2.1.1. Definisi

Rheumatoid artritis (RA) adalah gangguan autoimun jangka panjang yang terutama
6
memengaruhi persendian. Sendi yang paling sering terlibat adalah sendi proksimal

interphalangeal (PIP) dan metakarpofalangeal (MCP) pada tangan, pergelangan tangan, dan

sendi-sendi kecil pada kaki, termasuk sendi metatarsophalangeal (MTP). Bahu, siku, lutut,
6
dan pergelangan kaki juga terpengaruh pada banyak pasien. Biasanya menyebabkan sendi

terasa hangat, bengkak, dan nyeri. Nyeri dan kekakuan sering kali memburuk setelah

beristirahat. Umumnya, pergelangan tangan dan tangan yang terlibat dengan sendi yang
7
sama biasanya terlibat di kedua sisi tubuh. Penyakit ini juga dapat memengaruhi bagian

tubuh lainnya. Hal ini dapat menyebabkan jumlah sel darah merah yang rendah, peradangan
8
di sekitar paru-paru, dan juga jantung.

2.1.2. Epidemiologi

Prevalensi RA lebih tinggi di Eropa Barat dan Utara, Amerika Utara, dan wilayah

lain yang memiliki penduduk keturunan Eropa, seperti Australia. Prevalensinya lebih

rendah di Amerika Tengah dan Selatan dan bahkan lebih rendah lagi di Asia Timur dan
Afrika. Menurut data epidemiologi, RA lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan

dengan pria, dengan risiko RA seumur hidup sebesar 3,6% pada wanita dibandingkan
9
dengan 1,7% pada pria. Risiko RA juga meningkat seiring bertambahnya usia, dengan
10
puncak kejadian antara usia 65 hingga 80 tahun. Sebuah tinjauan sistematis terhadap

penelitian berbasis populasi (termasuk 60 penelitian) menunjukkan prevalensi RA di


11
seluruh dunia sebesar 0,51% (1955-2015).

Seperti yang diuraikan di atas, terdapat disposisi genetik terhadap RA, yang
12
ditunjukkan sekitar 40% dalam sebuah penelitian besar dari Swedia pada tahun 2013.

Penelitian ini juga melaporkan heritabilitas yang lebih tinggi untuk RA seropositif dan RA

yang timbul lebih awal. Menurut laporan mereka, risiko RA dengan kerabat tingkat pertama

yang positif RA adalah tiga kali lipat lebih tinggi daripada kerabat tingkat kedua dengan RA
12
yang memberikan risiko dua kali lipat lebih tinggi. Berbagai kecenderungan genetik yang

berbeda untuk menjelaskan temuan ini sekarang telah diidentifikasi. Kecenderungan

genetik terkuat untuk RA adalah dari wilayah HLA-DRB1 (epitop bersama).

Di antara faktor risiko yang dapat dimodifikasi, merokok memiliki hubungan


13
terkuat dengan RA. Diet dan nutrisi telah terbukti memainkan peran penting sebagai

pemicu lingkungan untuk RA. Pola makan khas 'barat' yang kaya, tinggi kalori, dan rendah
14
serat meningkatkan risiko RA. Konsumsi asam lemak tak jenuh ganda omega-3 rantai

panjang dikaitkan dengan penurunan risiko RA. Obesitas adalah faktor risiko lain yang

sudah mapan untuk RA. Terdapat peningkatan risiko RA sebesar 30% pada pasien dengan
indeks massa tubuh (BMI) lebih besar dari 30 kg/m 2 dan peningkatan risiko sebesar 15%
15
pada pasien dengan BMI 25 hingga 29,9 kg/m2.

Terdapat banyak literatur yang signifikan mengenai hubungan RA pada pasien

dengan penyakit mukosa atau periodontal kronis. Terdapat bukti bahwa cedera mukosa
16
akibat paparan pekerjaan dan polutan lingkungan dapat meningkatkan risiko RA.

2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko

Rheumatoid Athritis (RA) adalah penyakit yang bersifat multifaktorial, di mana

interaksi kompleks antara faktor host dan lingkungan menentukan risiko keseluruhan

terhadap kerentanan, ketahanan, dan tingkat keparahan penyakit. Faktor host yang telah

dikaitkan dengan perkembangan RA dapat dibagi menjadi faktor-faktor genetik, epigenetik,

hormonal, reproduksi, neuroendokrin, dan faktor host lainnya yang bersifat komorbid.

Sementara itu, faktor lingkungan meliputi merokok dan paparan udara lainnya, mikrobiota
17
dan agen infeksi, pola makan, dan faktor-faktor sosioekonomi.
Gambar 2.1 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis 17

2.1.3.1. Faktor Host

Faktor genetik adalah salah satu faktor tuan rumah yang meningkatkan risiko

perkembangan RA. Risiko RA lebih tinggi pada saudara kandung pertama pasien RA, dan

risiko saudara kembar monozygotic dari pasien RA untuk mengembangkan RA adalah 9–

15%, yang hingga 4 kali lipat dari saudara kembar dizigotic, dan jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan populasi umum. Heritabilitas RA, yang merupakan kuantifikasi

kontribusi genetik terhadap penyakit, ditemukan sekitar 50–65%. Beberapa lokus antigen

leukosit manusia (HLA) seperti HLA-DRB1 telah ditemukan sangat terkait dengan RA di

sebagian besar populasi. Hipotesis epitop bersama (SE) mengusulkan bahwa sekuens dari

lima asam amino pada residu 70–74 (QKRAA, QRRAA, RRRAA) dalam wilayah

hipervariabel ketiga dari rantai DRß1, yang di-encode oleh gen HLA-DRB1,

memungkinkan pengikatan peptida tertentu pada molekul HLA sel antigen-presenting


(APC), yang dikenali oleh sel T, akhirnya memicu respons autoimun. Lebih dari 100 lokus

telah dikaitkan dengan peningkatan risiko RA dalam populasi trans-etnik. Risiko RA lebih
17
tinggi pada kasus RA yang positif ACPA dibandingkan dengan yang negatif ACPA.

Faktor epigenetik adalah modifikasi pada molekul DNA yang dapat memengaruhi

ekspresi gen tanpa mengubah urutan DNA. Perubahan epigenetik telah diidentifikasi

sebagai faktor yang secara langsung terlibat dalam patogenesis RA, mengatur risiko

perkembangan penyakit tersebut. Perubahan epigenetik, yang mungkin diinduksi oleh

rangsangan eksternal, mengatur ekspresi gen-gen penting dan lebih lanjut menentukan
17
risiko akhir penyakit.

Faktor hormonal, reproduksi, dan neuroendokrin telah diinvestigasi sebagai faktor

predisposisi untuk RA. Kelebihan jumlah wanita dalam distribusi kasus RA telah

mendorong penyelidikan terhadap faktor hormonal dan yang berhubungan dengan jenis

kelamin sebagai predisposisi terhadap penyakit tersebut. Estrogen telah dijelaskan sebagai

pro-inflamasi, berlawanan dengan efek anti-inflamasi dari progesteron dan androgen, yang

menurun pada pasien RA pria dan wanita. Melahirkan, menyusui, abortus, menarche dini,

usia saat kehamilan pertama, kontrasepsi oral, dan terapi penggantian hormon semuanya

telah dikaitkan dengan peluang peningkatan, tidak berubah, atau penurunan perkembangan

RA. Interaksi neuroendokrin-imun juga telah dikaitkan dengan RA. Selama peradangan

sistemik, baik aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) maupun sistem saraf otonom

diaktifasi secara fisiologis secara sentral, dalam upaya untuk menekan peradangan perifer.
Hal ini dicapai melalui hormon anti-inflamasi (kortisol, androgen adrenal) dan

neurotransmitter (norepinefrin, adenosin, dan opioid endogen). Beberapa penelitian telah

menunjukkan bahwa jalur-jalur ini mengalami disregulasi pada RA, menghasilkan


17,18
lingkungan pro-inflamasi pada tingkat persendian dan mengakibatkan sinovitis.

Faktor host yang bersifat komorbid adalah kondisi-kondisi yang bersamaan dengan

RA dan dapat berkontribusi pada perkembangan atau memburuknya penyakit. Faktor-faktor

ini meliputi obesitas, dislipidemia, hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit

kardiovaskular. Obesitas terkait dengan peningkatan risiko perkembangan RA, serta dengan

prognosis penyakit yang lebih buruk. Dislipidemia, hipertensi, dan diabetes mellitus juga

berkaitan dengan peningkatan risiko perkembangan RA dan dapat berkontribusi pada

perkembangan penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama morbiditas dan


19
mortalitas pada pasien RA.

Penyakit alergi dan pernapasan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko

pengembangan RA. Beberapa studi epidemiologi telah melaporkan peningkatan insiden RA

pada populasi alergi, dan sebagian besar studi kohort berbasis populasi berkualitas tinggi

menunjukkan hubungan yang positif antara atopi dan RA. Hal ini telah dikaitkan dengan

kemungkinan mekanisme genetik, imunologi, dan lingkungan yang sama, seperti HLA-

DRB1, IL-6R, CD40L, sel pembunuh alami, sel Th1 dan Th17, TNF, dan merokok.

Penyakit pernapasan, baik akut maupun kronis, dan pada saluran napas bagian atas atau

bawah, juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko RA seropositif dan seronegatif,
terutama pada non-perokok. Penelitian lain telah mengkonfirmasi hubungan antara penyakit

paru obstruktif kronik dengan RA berikutnya. Hubungan antara penyakit alergi dan

pernapasan dan RA menunjukkan kemungkinan jalur patogen yang terpisah atau saling
17
melengkapi dalam kondisi ini.

Penyakit yang autoimun telah diidentifikasi sebagai faktor komorbiditas yang

berhubungan dengan peningkatan risiko pengembangan RA. Penyakit-penyakit ini

termasuk lupus eritematosus sistemik, sindrom Sjogren, ankylosing spondylitis, atau

tiroiditis Hashimoto. Adanya penyakit-penyakit ini dapat meningkatkan risiko terkena RA

sebesar 1,5-3 kali lipat pada keturunan yang memiliki kondisi ini. Selain itu, pasien RA

memiliki peningkatan risiko terkena penyakit yang diperantarai oleh kekebalan tubuh
17
lainnya, seperti psoriasis, penyakit radang usus, dan sklerosis multipel.

Keberadaan komorbiditas juga dapat memengaruhi pilihan pengobatan untuk RA,

karena beberapa obat mungkin menjadi kontraindikasi atau memerlukan penyesuaian dosis

pada pasien dengan komorbiditas tertentu. Oleh karena itu, pengelolaan komorbiditas

adalah aspek penting dalam perawatan pasien RA, dan hal ini dapat meningkatkan kualitas
17
hidup dan prognosis pasien.

2.1.3.2. Faktor Lingkungan

Faktor-faktor lingkungan berkontribusi pada perkembangan artritis rematoid (RA)

melalui berbagai mekanisme. Merokok, sebagai contoh, dapat menyebabkan sitrulinasi


protein, yang dapat mengarah pada produksi antibodi anti-protein sitrulinasi (ACPAs) yang

berhubungan dengan RA. Paparan polutan udara, seperti silika, debu tekstil, dan polusi

udara, juga dapat menyebabkan produksi ACPAs dan meningkatkan risiko mengembangkan

RA. Mikrobiota dan agen infeksi, seperti virus Epstein-Barr, telah dikaitkan dalam
17
perkembangan RA, mungkin melalui mimikri molekuler atau mekanisme lain. Pola

makan juga telah diinvestigasi sebagai faktor risiko potensial untuk RA. Diet yang kaya

asam lemak omega-3, seperti ikan dan minyak zaitun, telah dikaitkan dengan penurunan

risiko mengembangkan RA. Sebaliknya, konsumsi tinggi daging merah dan minuman

bersoda yang mengandung gula telah dikaitkan dengan peningkatan risiko mengembangkan
20
RA. Terakhir, faktor-faktor sosioekonomi, seperti pendidikan rendah dan pekerja

lapangan, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko mengembangkan RA, mungkin

melalui paparan faktor-faktor lingkungan berbahaya. Secara keseluruhan, interaksi antara

faktor-faktor lingkungan dan host menentukan risiko keseluruhan terhadap kerentanan,


17
ketahanan, dan keparahan penyakit dalam RA.

2.1.4. Manifestasi Klinis

Penyakit autoimun sistemik yang dikenal sebagai rheumatoid arthritis merupakan

kondisi inflamasi yang menyebar ke seluruh tubuh, bersifat kronis, dan berlangsung secara

progresif. Gejala awal yang sering muncul adalah rasa kaku, nyeri, dan pembengkakan

pada persendian. Proses onsetnya biasanya berjalan lambat, berkisar antara beberapa
minggu hingga beberapa bulan. 21 Perubahan patologis, jika tidak terkendali, berlanjut dalam

empat tahap. Pada satu sendi tertentu, fitur-fitur berbagai tahap bisa terjadi secara

bersamaan, dan bahkan ketika sendi-sendi sudah sangat rusak, peradangan yang terus

berlanjut dapat terus merusak kesehatan sistemik dengan mempercepat proses penyakit lain
22
seperti penyakit jantung iskemik (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Tahapan Perubahan Patologis RA. (a) Tahap 1 – pra klinis, (b) Tahap 2 –

sinovitis, (c) Tahap 3 – destruksi awal sendi dengan erosi periartikular, (d) Tahap 4 –
22
destruksi sendi parah dan deformitas.

1. Tahap 1 - pra-klinis

Jauh sebelum RA menjadi jelas secara klinis, patologi sistem kekebalan tubuh

sudah dimulai. Tingginya ESR, protein C-reaktif (CRP), dan RF mungkin dapat
22
dideteksi bertahun-tahun sebelum diagnosis pertama.

2. Tahap 2 – sinovitis
Perubahan awal adalah pengumpulan pembuluh darah dengan pembentukan

pembuluh darah baru, proliferasi sinoviosit, dan infiltrasi lapisan sub sinovial oleh

sel-sel polymorph, limfosit, dan sel plasma. Terjadi penebalan struktur kapsular,

pembentukan vili pada sinovium, dan efusi yang kaya sel ke dalam sendi dan sarung

tendon. Meskipun nyeri, bengkak, dan nyeri saat disentuh, struktur ini masih utuh
22
dan dapat bergerak, dan gangguan ini berpotensi dapat dipulihkan.

3. Tahap 3 – destruksi

Peradangan yang persisten menyebabkan kerusakan sendi dan tendon. Kartilago

artikular tererosi, sebagian oleh enzim proteolitik, sebagian oleh jaringan vaskular

di lipatan refleksi sinovial, dan sebagian lagi karena invasi langsung kartilago oleh

pannus jaringan granulasi yang merambat di permukaan artikular. Di pinggiran

sendi, tulang tererosi oleh invasi jaringan granulasi dan resorpsi oleh osteoklas.

Perubahan serupa terjadi dalam sarung tendon, menyebabkan tenosinovitis, invasi

bundel kolagen, dan, akhirnya, robekan sebagian atau lengkap pada tendon. Efusi

sinovial, sering mengandung banyak material fibrinoid, menyebabkan


22
pembengkakan pada sendi, tendon, dan bursa.

4. Tahap 4 – deformitas

Kombinasi kerusakan artikular, peregangan kapsular, dan ruptur tendon

menyebabkan ketidakstabilan dan deformitas progresif pada sendi. Proses


peradangan biasanya masih berlanjut, tetapi efek mekanik dan fungsional dari
22
gangguan sendi dan tendon sekarang menjadi sangat penting.

Ciri khas manifestasi klinisnya adalah adanya poliartritis simetrik, yang berarti

peradangan pada beberapa sendi secara bersamaan, dan gejala ini biasanya berlangsung

selama lebih dari enam minggu. Sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki, seperti

metacarpophalangeal (MCP), proximal interphalang (PIP), dan metatarsophalangeal

(MTP), umumnya terlibat terlebih dahulu. Kemudian, kondisi ini bisa memengaruhi sendi-

sendi pergelangan tangan, kaki, siku, bahu, dan lutut, bahkan dapat melibatkan seluruh

sendi tubuh. Perlu diperhatikan bahwa keterlibatan sendi distal interphalangeal (DIP)

bukanlah karakteristik utama RA, sehingga jika gejala ini muncul, diagnosis yang lebih

teliti seperti osteoartritis dan artritis posiaris perlu dipertimbangkan. Pasien sering

melaporkan kekakuan pada persendian pada pagi hari yang berlangsung selama minimal
21,23
satu jam.

Pada tahap-tahap terakhir, deformitas sendi menjadi semakin terlihat, dan nyeri akut

dari sinovitis digantikan oleh rasa sakit yang lebih konstan akibat kerusakan sendi yang

progresif. Kombinasi ketidakstabilan sendi dan ruptur tendon menghasilkan deformitas

'rematoid' khas: deviasi ulnar pada jari-jari, pergeseran radial dan volar pada pergelangan

tangan, lutut valgus, kaki valgus, dan jari-jari kaki yang melengkung. Gerakan sendi

terbatas dan sering kali sangat menyakitkan. Sekitar sepertiga dari semua pasien mengalami
nyeri dan kekakuan pada tulang belakang leher. Fungsi tubuh semakin terganggu, dan
22
pasien mungkin memerlukan bantuan untuk berdandan, berpakaian, dan makan.

Lutut adalah lokasi umum bagi RA, terpengaruh pada 70–80% pasien. Meskipun

bukan target awal dari penyakit ini, lutut dapat terlibat secara signifikan pada tahap-tahap

selanjutnya. Atrofi otot, kontraktur fleksi, pembengkakan besar seperti Baker's cyst,

instabilitas valgus, dan ketidakmampuan untuk berjalan adalah manifestasi klasik yang

muncul pada tahap lanjut akibat sinovitis yang agresif. Ruptur Baker's cyst dapat

menyebabkan sindrom mirip tromboflebitis. Erosi adalah manifestasi yang muncul pada
24
tahap lebih lanjut.

Keterlibatan awal sendi pinggul adalah hal yang jarang terjadi, tetapi dapat

menyebabkan disabilitas berat pada 50% pasien RA yang telah terdiagnosis. Ciri radiologis

dari koksitis reumatoid mencakup penurunan densitas tulang di sekitar sendi dan

penyempitan kartilago artikular yang bersifat konsentris. Sinovitis yang merusak dapat

menyebabkan yang disebut protrusio acetabuli. Nyeri pinggul pada pasien RA mungkin

disebabkan oleh keterlibatan bursa, seperti pada bursa trokanterik, ilium, atau iskium.

Sinovitis pinggul yang sudah lanjut akan mengakibatkan disabilitas berat karena pasien

tidak dapat berjalan dan melakukan aktivitas sehari-hari yang bergantung pada rotasi dan
21
abduksi pinggul.

Biasanya, RA disertai dengan tanda-tanda gejala konstitusional seperti rasa lemah,

demam ringan dengan suhu kurang dari 38.5°C, dan penurunan berat badan. Ketika
dilakukan pemeriksaan pada persendian, sering terlihat adanya pembengkakan, nyeri saat

ditekan, perasaan hangat pada sendi, serta keterbatasan gerakan. Terjadinya keterlibatan

pada sendi yang lebih besar, terutama pada sendi lutut, dapat mengakibatkan adanya efusi
25
pada sendi tersebut.

Proses peradangan yang terjadi pada RA dapat mengakibatkan gejala di luar

persendian yang melibatkan berbagai organ seperti mata, jantung, pembuluh darah, paru-

paru, hematologi, otot, mukokutan, saraf, ginjal, dan kulit. Salah satu manifestasi

ekstraartikular yang paling umum pada AR adalah nodul reumatoid, yang ditemukan pada

sekitar 30% pasien. Nodul reumatoid adalah benjolan yang muncul di bawah kulit di atas

penonjolan tulang, permukaan ekstensor, atau di sekitar persendian. Selain itu, sindrom

Sjogren, anemia penyakit kronis, dan gejala paru-paru juga relatif sering terjadi, yaitu
25
sekitar 6-10%.

Tabel 2. 1 Manifestasi Ekstraartikular pada Pasien RA 25

Organ Manifestasi Klinis


Mata Episkleritis, skleritis, konjungtivitis sika, blefaritis kronik dan ulkus
perilimbik, keratokonjuntivitis sika
Jantung dan Perikarditis, miokarditis, endokarditis, vaskulitis, gangguan konduksi
Pembuluh jantung, penyakit jantung katup, infark miokard
Darah
Paru-paru Pleuritik, penyakit paru interstisial, penyakit paru obstruktif, nodul
reumatoid pada paru, pneumokoniosis (sindrom caplan), dilatasi
bronkial, efusi pleura
Hematologi Anemia (hemolitik autoimun, penyakit kronik), trombositopenia,
trombositosis, neutropenia (jika disertai splenomegali disebut sindrom
Felty), eosinofilia, large granular lymphocyte (LGL) syndrome
Otot Miositis, ruptur tendon dan ligamen
Mukokutan Nodul reumatoid, Fenomena Raynaud, Sindrom Sjogren sekunder,
Eritema palmar
Neurologi Neuropati entrapmen, mononeuritis kompleks, subluksasi servikal
Ginjal Glomerulonefritis, amiloidosis sekunder
Kulit Vaskulitis (arteritis distal dengan splinter hemorrhages, infark lipatan
kuku, dan gangren; ulserasi kutan termasuk pioderma gangrenosum;
neuropati perifer; purpura yang teraba; arteritis yang melibatkan organ
dalam mirip dengan poliarteritis nodosa; rheumatoid pachymeningitis
terbatas pada dura dan piameter)

Gejala di ekstraartikular bisa terjadi pada hingga 50% pasien RA dan biasanya

menunjukkan prognosis yang tidak baik, yang dapat meningkatkan tingkat keparahan dan

tingkat kematian lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan pasien yang tidak

mengalami gejala di luar persendian. Saat ini, tidak ada prediksi yang dapat digunakan

untuk memprediksi gejala di luar persendian ini, tetapi diketahui bahwa gejala tersebut

berhubungan dengan sejarah merokok, keparahan penyakit sendi, peningkatan titer penanda

peradangan, positif RF, positif ANA, positif anti-CCP, dan jenis epitop terkait HLA
25
tertentu, terutama subtipe homozigous DRB1*04.
2.1.5. Patogenesis

Faktor utama pada patogenesis RA adalah genetik, terutama HLA-DR yang

termasuk dalam gen kompleks imunohistobilitas mayor (MHC) kelas II. Selain itu, terdapat

>100 variasi gen lainnya dengan mekanisme respon imun, perpindahan sel, adhesi sel, dan

transduksi sinyal. Tingkat keparahan dan resiko yang meningkat dari RA terkait dengan

susunan epitop spesifik yang rentan pada rantai beta HLA-DR. Presentasi antigen dari

peptida imunogenik kepada sel sistem imun adaptif akan melibatkan gen HLA-DR. Gen

MHC terkait RA mengikat lebih baik dengan peptida yang telah dimodifikasi oleh

sitrulinasi arginin, yang nantinya berhubungan dengan antibodi protein anti-sitrulinasi

(ACPA), salah satu karakteristik pada RA. Derivasi sitrulin terjadi pada lokasi kerusakan
26,27
jaringan dan inflamasi, salah satunya adalah paru-paru pada perokok.

Terdapat beberapa modifikasi protein lainnya yang dapat menjadi target dari

autoantibodi. Pasien RA secara genetik terdisposisi untuk membentuk respon imun

terhadap protein termodifikasi dengan AMPA (protein antibodi anti-modifikasi). Sitrulinasi

diproduksi oleh aksi peptidyl arginine deiminase (PAD) pada arginin. Anti-PAD4 banyak

ditemukan pada pasien RA dan terkait dengan positivitas ACPA. Antibodi ini dapat

ditemukan terutama pada mukosa yang terinflamasi, sehingga peningkatan leukosit akan

menghasilkan PAD4. Patogen tertentu seperti P. gingivalis juga dapat menghasilkan enzim

seperti PAD yang dapat menjadi autoantigen. Asetilasi juga dapat terkait dengan RA di

mana proses ini melibatkan proses enzimatik yang mengonversi lisin menjadi asetilisin
dimediasi oleh bakteri, yang dapat menghasilkan hubungan antara RA dan disbiosis

mikrobiom. Selain itu, proses karbamilasi dapat menghasilkan protein antibodi anti-

karbamilasi (anti-CarP). Karbamilasi adalah proses konversi lisin menjadi homositrulin,

yang serupa dengan sitrulin. Terdapat beberapa autoantibodi lainnya yang ditemukan pada
27
pasien RA dengan target fibrinogen, enolase, dan vimentin.

Epigenetik pada RA terkait dengan metilasi DNA yang diatur oleh sekumpulan

enzim DNA metiltransferase dan akan menghasilkan pasangan nukleotida yang sering

disebut lokus CpG. Metilasi CpG di bagian promotor meniadakan gen dan prevensi

transkripsi. Sementara itu, apabila pada bagian tersebut terjadi demetilasi, transkripsi RNA
26
dan ekspresi gen akan terjadi.

FLS (fibroblast-like synoviocytes) atau yang sering disebut dengan sinoviosit,

adalah sel mesenkim yang membentuk garis intima sinovium dan membatasi ruang cairan

sinovial dan berperan utama dalam degradasi sinovial. Jumlah FLS pada RA meningkat

drastis dan mengasumsikan bahwa ada fenotipe agresif yang berkontribusi pada kerusakan

sendi. Mekanisme agresif ini belum bisa dijelaskan, tetapi hal ini dapat terjadi karena

keterlibatan dari mutase gen p53, protein SUMO, atau disregulasi gen seperti PTEN dan

sentrin. Pola metilasi FLS pada RA dapat dibedakan dengan FLS non-RA di mana

metilasinya stabil dan tetap persisten hingga tujuh pasase yang mengindikasikan bahwa

selnya telah tercetak, bukan hanya diubah. Aktivasi FLS dapat terjadi oleh karena sitokin
proinflamatori, PGDF, dan kemokin untuk proliferasi dan menghasilkan MMP dan
26–28
ADAMTS. Agen aktivasi dapat berbeda untuk setiap situs RA.

Pada RA, protein tersitrulinasi merupakan antigen utama yang menyebabkan

autoimun. Stimulus antigen akan menghasilkan respon dari sel T dan sel B. Aktivasi sel T

oleh protein yang termodifikasi tersebut akan menyebabkan sel B memproduksi

autoantibodi terkait. Di beberapa pasien, hal ini akan berkembang menjadi inflamasi yang

dimediasi imun pada sinovium. Sel T dan sel B akan menempati regio subsinovial.

Autoantibodi yang dihasilkan sel B kemudian akan berikatan dengan antigen dan

membentuk kompleks imun yang dapat meningkatkan respon inflamasi lebih lagi melalui

aktivasi sistem komplemen. Sel T yang teraktivasi juga dapat menjadi Th1 dan Th17 yang
27
menghasilkan IL sebagai sitokin proinflamatori dan merekrut sel T lain dan neutrofil.

Analisis komponen menunjukkan bahwa terdapat pola metilasi yang spesifik sesuai

lokasi RA. Perbedaan ini dapat digambarkan dari dua kategori cetakan spesifik sendi. Yang

pertama adalah gen yang bergantung dengan penyakit. Gen yang membedakan antara RA

pinggul dan lutut adalah HOX dan WNT, yang terlibat dalam diferensiasi sel. Karena setiap

sendi memiliki fungsi biomekanis yang berbeda, FLS di setiap lokasinya telah

diinstruksikan untuk menyesuaikan kebutuhan sendi tersebut. Kategori kedua adalah jalur

spesifik penyakit, yang hanya dapat membedakan antara RA pinggul dan lutut. Jalur ini

terkait mekanisme sinyal sitokin IL-6, IL-17, dan IL-22. Hal ini relevan karena beberapa
26
sitokin, terutama IL-6, dapat menjadi target inhibitor yang efektif di RA.
2.1.6. Histopatologi

Temuan histopatologis pertama dalam RA adalah angiogenesis yang menyebabkan

transmigrasi limfosit dan leukosit polimorfonuklear ke cairan sinovial. Hal ini disebabkan

oleh sitokin proinflamatori seperti TNF. Dengan angiogenesis, sitokin akan mengaktivasi

sel endotelial untuk memproduksi molekul adhesi yang memfasilitasi migrasi sel ke

sinovium. Cairan sinovial pada pasien RA merupakan keadaan yang hipoksik sehingga

meningkatkan produksi eikosanoid nosiseptif derivat COX-2 dan MMP yang meningkatkan

inflamasi pada sinovium. Pada fase awal, masuknya sel inflamasi ke dalam sinovium akan

meningkatkan proliferasi monosit dan penebalan membran sinovial dengan projeksi villi
27,29
kecil ke ruang sendi.

Tampakan jaringan sinovial dapat serupa dengan jaringan limfoid sekunder.

Terdapat aktivasi dan proliferasi FLS yang intens, akumulasi subsinovial dari sel T,

termasuk Th1, Th17, dan Treg. Sel B juga terakumulasi dan berdiferensiasi ke dalam sel

plasma. Jaringan reumatoid sinovial menjadi invasif dan dapat menyebabkan erosi pada
27,29
tulang.
Gambar 2.3 Gambaran Histopatologi RA 29

Nodul reumotoid seringkali terbentuk, terutama di paru-paru, pada RA dengan

melibatkan dermis dan subkutis di area periartikular. Nodul ini diawali dengan fenomena

vaskulitis pembuluh darah kecil melalui fase inflamasi granuloma kronis. Ukurannya

beragam dari beberapa milimeter hingga sentimeter, terlihat seperti lesi putih fibrosa

dengan area berwarna kuning yang merupakan nekrobiosis kolagen. Terdapat area ireguler,

seperti bentuk geografis, nekrobiosis dermis dan hipodermis yang dikelilingi oleh histiosit

yang tersusun oleh palisade, limfosit terkadang, dan neutrofil. Terkadang, giant cells dan

mast cells juga didapatkan. Fibrin dan kolagen ditemukan pada daerah nekrobiosis tengah.
27
Dermis dan hipodermis di sekitarnya memiliki infiltrasi perivaskuler sel plasma.

2.1.7. Diagnosis dan Klasifikasi


RA adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai oleh inflamasi sistemik yang

bersifat kronik dan progresif. Gejala awalnya mencakup kekakuan, nyeri, dan bengkak pada

sendi, dan onset penyakit biasanya terjadi secara perlahan dalam beberapa minggu hingga

bulan. Beberapa pasien mungkin mengalami artralgia yang tidak kunjung sembuh sebelum

pembengkakan sendi yang tampak secara klinis. Gejala sistemik seperti kelelahan,
25,27,30
penurunan berat badan, dan demam ringan dapat menyertai penyakit aktif.

RA terutama melibatkan sendi perifer kecil, terutama pada tangan. Keterlibatan

sendi aksial terbatas pada tulang belakang leher, dengan tulang belakang lumbal terhindar.

Perkembangan kronis tanpa pengobatan menyebabkan kerusakan sendi, kelainan bentuk,

kecacatan, dan peningkatan mortalitas. Rematik palindromik, suatu pola gejala episodik,

dapat mendahului RA yang tampak secara klinis. Pasien dengan RA biasanya menunjukkan
25,27,30
karakteristik berikut:

1. Keterlibatan Sendi:

a. Manifestasi klinis utama melibatkan poliartritis simetrik (nyeri dan

kekakuan pada beberapa sendi). Terutama pada sendi kecil seperti

metacarpophalangeal (MCP), proximal interphalangeal (PIP), dan

metatarsophalangeal (MTP) di tangan dan kaki. Keterlibatan sendi lainnya,

termasuk pergelangan tangan, siku, bahu, dan lutut, juga dapat terjadi.

Keterlibatan awal pada sendi kecil, berkembang ke sendi yang lebih besar.

Distal interphalangeal (DIP) bukan merupakan ciri khas RA, sehingga perlu
mempertimbangkan diagnosis banding seperti osteoartritis dan artritis

psoriasis.

b. Keluhan pasien meliputi kekakuan sendi selama satu jam atau lebih pada

pagi hari, mengindikasikan etiologi inflamasi. Disertai gejala konstitusional

seperti lemas, demam ringan (<38.5°C), dan penurunan berat badan.

c. Pemeriksaan sendi sering menunjukkan synovitis. Terdapat pembengkakan,

nyeri tekan, hangat, keterbatasan Gerakan, dan penebalan sinovial yang

teraba pada pemeriksaan sendi. Manuver pemeriksaan, seperti squeeze test,

dapat digunakan untuk menilai nyeri pada sendi MCP atau MTP.

d. Pada RA yang tidak mendapatkan terapi yang cukup, deformitas sendi

seperti swan neck dan boutonniere pada jari, serta deviasi ulnar, dapat

berkembang.

2. Manifestasi Ekstraartikular

Inflamasi pada RA juga dapat menyebabkan manifestasi ekstraartikular pada

organ-organ lain, termasuk mata, jantung, pembuluh darah, paru-paru, hematologi,

otot, mukokutan, saraf, ginjal, dan kulit. Nodul reumatoid merupakan manifestasi

ekstraartikular yang umum, terdapat pada sekitar 30% pasien, dan biasanya muncul

di umumnya pada titik-titik tekanan (seperti olekranon), atas penonjolan tulang,

permukaan ekstensor, atau di regio jukstaartikular. Sindrom Sjogren, anemia

penyakit kronis, dan manifestasi paru juga dapat ditemukan pada sekitar 6-10%
pasien. Penyakit paru interstisial (ILD) pada 5–16% pasien, terkait dengan

autoantibodi dan peningkatan mortalitas. Manifestasi oftalmologis termasuk

sindrom Sjogren sekunder, episkleritis, dan skleritis. Manifestasi yang jarang terjadi

seperti sindrom Felty dan vaskulitis, yang mengindikasikan penyakit yang


25,27,30
parah.

Manifestasi ekstraartikular dapat memengaruhi hingga setengah dari pasien

RA dan umumnya menunjukkan prognosis yang tidak baik, meningkatkan risiko

morbiditas dan mortalitas lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan pasien yang

tidak mengalami manifestasi ekstraartikular. Saat ini, tidak ada prediktor yang dapat

diandalkan untuk memprediksi kemunculan manifestasi ekstraartikular ini. Namun,

manifestasi ini sering terkait dengan faktor risiko seperti riwayat merokok,

keparahan penyakit sendi, tingginya penanda inflamasi seperti RF positif, ANA

positif, anti-CCP positif, dan keberadaan epitop terkait HLA, terutama subtipe
25,27,30
homozigot DRB1*04.

Artritis reumatoid adalah salah satu penyakit yang dapat didiagnosis dengan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Dalam proses diagnosis RA, anamnesis

diyakini memiliki peran signifikan sebesar 64%, sementara pemeriksaan fisik memiliki

peran sebesar 71%. Diagnosis RA biasanya melibatkan kombinasi pemeriksaan fisik, tes

pencitraan, dan tes laboratorium. Pemeriksaan ini dapat mencakup sinar-X, MRI, tes faktor
25,27,30
rheumatoid, dan tes laju endap darah (LED).
1. Pemeriksaan Klinis: Evaluasi gejala klinis seperti nyeri, kemerahan, pembengkakan,

dan keterbatasan gerakan pada pinggul dan lutut, serta pemeriksaan fisik untuk

menilai kekakuan sendi, deformitas, dan gejala lainnya:

a. Sendi yang terkena nyeri, terutama saat ditekan atau digerakkan.

b. Penebalan sinovial yang teraba dengan rasa "berair".

c. Tidak adanya eritema sendi dan rasa hangat; keterlibatan pergelangan tangan

dapat meniru sindrom lorong karpal.

d. Berkurangnya kekuatan cengkeraman dengan keterlibatan beberapa sendi.

e. Penyakit kronis yang sudah lanjut dapat muncul dengan kelainan bentuk

seperti deviasi ulnaris, leher angsa, dan kelainan bentuk Boutonniere.

f. Berkurangnya rentang gerak pada bahu, siku, dan lutut; kelainan bentuk kaki

yang umum terjadi seperti hallux valgus.

2. Pemeriksaan Laboratorium:

a. Temuan Hematologi: Anemia penyakit kronis dan trombositosis sering

terjadi. Neutropenia dapat terjadi pada kasus sindrom Felty yang jarang

terjadi.

b. Penanda Serologis:

i. Faktor Reumatoid (RF) terdapat pada 80-90% pasien RA

(sensitivitas: 69%, spesifisitas: 85%).


Faktor Reumatoid (RF) adalah jenis antibodi yang dapat berikatan

dengan bagian Fc dari immunoglobulin G (IgG) dan biasanya hadir pada 75-

85% pasien dengan RA. Perlu dicatat bahwa RF juga dapat muncul dalam

kondisi selain RA, termasuk penyakit reumatik lain, infeksi, keganasan, dan

bahkan pada individu yang sehat dengan tingkat keberadaan yang bervariasi.

Secara normal, RF berfungsi untuk meningkatkan eliminasi kompleks imun

oleh makrofag dan membantu aktivasi komplemen dengan mengikat

kompleks imun IgG. Pada kondisi patologis RA, RF dengan afinitas tinggi,

terutama yang ditemukan dalam cairan sinovial, diyakini dapat memperkuat

respons autoimun, termasuk berinteraksi dengan anti-citrullinated protein

antibody (ACPA). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kompleks imun

yang terbentuk dalam RA dapat merangsang pelepasan sitokin, seperti TNF-

α, dari sel mononuklear darah perifer melalui reseptor Fcg IIa. Keberadaan

RF cenderung meningkat seiring berjalannya waktu. Dalam konteks klinis,

RF memiliki nilai prediktif yang lebih tinggi pada pasien dengan bengkak

sendi poliartikular simetris daripada pada mereka dengan nyeri

muskuloskeletal difus tanpa pembengkakan sendi. Standar nilai RF dapat

bervariasi tergantung pada metode laboratorium yang digunakan, tetapi

umumnya diukur dengan batasan >45 IU/mL menggunakan teknik enzyme-


linked immunoabsorbent assay (ELISA) atau laser nephelometry, atau

dengan titer >1:80 menggunakan fiksasi lateks.

ii. Anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) atau Anti- citrullinated

protein antibodies (ACPAs) terdapat pada 70-80% pasien

(sensitivitas: 67%, spesifisitas: 97%).

Anti-citrullinated protein antibody (ACPA) merupakan jenis antibodi

yang menunjukkan reaktivitas terhadap peptide dan protein yang

mengandung sitrulin, suatu modifikasi dari asam amino arginin. Antibodi ini

memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi pada RA, dengan negative

predictive value sekitar 61%, dan positive predictive value mencapai 100%.

Lebih dari 35% pasien yang negatif terhadap RF dapat menunjukkan hasil

positif pada tes ACPA. Studi menunjukkan bahwa pengujian ACPA

bersamaan dengan RF memberikan nilai diagnostik yang lebih tinggi,

terutama pada pasien dengan artritis pada tahap awal. Kombinasi kedua tes

ini memberikan spesifisitas dan nilai prediksi positif yang lebih baik.

Antibodi ini memiliki peran penting dalam diagnosis RA dan dapat

memberikan informasi tentang keparahan penyakit serta prognosis. Nilai

cutoff untuk ACPA dapat bervariasi tergantung pada metode uji yang

digunakan, tetapi umumnya diukur dengan batas ≥80 IU/mL.


Artritis reumatoid seropositif mencakup pasien dengan RF, ACPA,

atau keduanya. Artritis reumatoid seronegatif terjadi pada sekitar 10%. RF

dan ACPA juga dapat ditemukan pada penyakit jaringan ikat lainnya dan

infeksi kronis. Faktor Reumatoid dan ACPA positif bersama-sama

meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas diagnostik. Kehadiran mereka

mendahului timbulnya artritis klinis selama beberapa bulan hingga beberapa

tahun.

c. Penyakit paru interstisial (ILD) terkait RA terkait dengan ACPA, anti-

carbamylated protein (anti-CarP,) dan antibodi anti-malondialdehyde-

acetaldehyde (anti-MAA).

3. Pemeriksaan Imunologi: Evaluasi respon imunologi yang terlibat, seperti tes marka

inflamasi/ reaktan fase akut sepertin protein c-reaktif (CRP) dan laju endap darah

(LED) meningkat selama penyakit aktif. Digunakan untuk menilai tingkat

peradangan, aktivitas penyakit dan memantau pasien RA.

4. Pemeriksaan Cairan Sinovial:

a. Jumlah leukosit 1500–25.000 / mm kubik, sebagian besar sel

polimorfonuklear.

b. Jumlah sel >25.000 / mm kubik dapat mengindikasikan penyakit yang

sangat aktif atau infeksi yang mendasarinya.


c. Kadar C3 dan C4 yang rendah dalam cairan sinovial meskipun kadar serum

meningkat.

5. Pemeriksaan Radiologi: Rontgen, magnetic resonance imaging (MRI), atau

ultrasonografi (USG) untuk menilai peradangan, kerusakan sendi, degradasi tulang,

dan pembentukan nodul. Magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasonografi

berguna pada penyakit dini.

a. Penyakit lanjut menunjukkan osteopenia periartikular, penyempitan ruang

sendi, dan erosi tulang (marjinal).

b. Erosi tulang rawan dan tulang dianggap patognomonik tetapi tidak

sepenuhnya spesifik.

Untuk mengevaluasi komplikasi penyakit, berbagai pemeriksaan tambahan seperti

rontgen sendi, USG muskuloskeletal, Bone Mineral Density (BMD), serta pemeriksaan

laboratorium dan penunjang lainnya sesuai indikasi dapat diperlukan. Pemeriksaan

radiologi, seperti rontgen sendi dan USG muskuloskeletal, sangat membantu dalam

diagnosis, penilaian komplikasi penyakit, dan evaluasi pengobatan RA. Penilaian awal

radiologi penting sebagai dasar untuk mengukur progresifitas penyakit, dengan perubahan

seperti osteopenia periartikular, erosi jukstaartikular, dan penyempitan celah sendi yang

merupakan tanda khas RA. Korelasi antara kerusakan sendi pada reontgen sendi dan tingkat

disabilitas pada AR menunjukkan bahwa perubahan radiologi dapat menjadi indikator

prognosis yang buruk. Beberapa faktor yang berhubungan dengan perubahan radiologi
yang lebih parah melibatkan durasi penyakit yang panjang, kurangnya pengobatan,

kebiasaan merokok, tingginya titer autoantibodi, manifestasi ekstraartikular, serta


25,27,30
perubahan radiologi pada tangan dan pergelangan tangan pada tahap awal penyakit.

Tabel 2. 2 Perbedaan Perubahan Radiologi pada RA Awal dan Lanjutan 31


Perubahan radiologi AR awal AR lanjut
Perubahan jaringan Pembengkakan simetris di sekitar Atrofi
lunak PIP dan pergelangan tangan
Mineralisasi Osteoporosis jukstarstikular Osteoporosis difus
Subluksasi Tidak ada MCP (falang proksimal
subluksasi ulnar dan palmar)
Penyempitan celah Tidak ada Terdapat di PIP, MCP, dan
sendi tulang karpal
Erosi Ringan, terkadang agresif Luas, agresif
Distribusi sendi PIP, MCP, dan carpal PIP, MCP, dan karpal

Pemeriksaan USG muskuloskeletal efektif dalam mengidentifikasi sinovitis

subklinis, sedangkan pemeriksaan MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap

patologi tulang, sinovial, dan jaringan lunak. Penyakit komorbid yang sering terjadi pada

pasien RA, seperti kardiovaskular, infeksi, keganasan, dan osteoporosis, memerlukan

pemantauan khusus dan evaluasi. Selain itu, pemantauan tekanan darah, kadar glukosa

darah, lipid, kolesterol, serum kreatinin, serta evaluasi terhadap osteoporosis sangat

penting. Keganasan juga dapat meningkat pada pasien RA, sehingga perlu dilakukan

skrining kanker dan pemeriksaan khusus tergantung pada risiko individual. Evaluasi efek

samping pengobatan, termasuk pemeriksaan darah rutin, fungsi hati dan ginjal, serta
25,27,30
pemeriksaan lain sesuai indikasi, perlu dilakukan sejak awal pemberian terapi.
Tabel 2. 3 Derajat radiologi berdasarkan Rontgen sendi pada RA berdasarkan
klasifikasi Larsen 32

Skor Larsen Perubahan Radiologi


0 Sendi normal, tidak ada perubahan
1 Osteoporosis dan pembengkakan
2 Penyembpitan celah sendi dan erosi
3 Erosi yang signifikan dan destruksi sedang
4 Kehilangan celah sendi dan destruksi berat
5 Mutilasi dan ankilosis

Mendeteksi penyakit RA secara dini memiliki tantangan, terutama karena onset

penyakit yang tidak pasti dan variasi hasil pemeriksaan fisik tergantung pada pemeriksa.

Walaupun begitu, studi sebelumnya menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA

menggunakan kriteria American Rheumatism Association (ARA) yang direvisi pada tahun

1987 memiliki sensitivitas sebesar 91%. Hasil laboratorium yang digunakan untuk

mendiagnosis RA memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang kurang memuaskan.

Contohnya, sensitivitas IGM Rheumatoid Factor hanya 54%, sementara spesifisitasnya


25,27,30
mencapai 90%.

Tabel 2. 4 Kriteria Klasifikasi RA Menurut ACR 1987 33

No Gejala dan Tanda Definisi


1 Kaku pagi hari (morning Kaku pada sendi dan sekitarnya di pagi hari, yang
stiffness) berlangsung dalam waktu minimal 1 jam sebelum
perbaikan maksimal
2 Artritis pada 3 sendi atau Minimal 3 area sendi mengalami pembengkakan
lebih jaringan lunak atau efusi sendi (bukan hanya
oenulangan saja) yang diamati oleh dokter secara
simultan. Keempat belas sendi yang mungkin
terkena adalah sendi PIP, MCP, pergelangan
tangan, siku, pergelangan kaki, dan sendi MTP kiri
dan kanan

3 Artritis pada sendi tangan Minimal 1 area sendi mengalami pembengkakan,


pada pergelangan tangan, MCP, atau interfalang
proksimal
4 Artritis simetrik Keterlibatan sendi secara bersamaan di area yang
sama pada kedua sisi tubuh (artritis bilateral pada
sendi interfalang proksimal, MCP atau MTP dapat
diterima tanpa simetris absolut)
5 Nodul rheumatoid Nodul subkutan di atas penonjolan tulang,
permukaan ekstensor atau di regio jukstaartikular
yang diamati oleh dokter
6 Faktor rheumatoid positif Faktor reumatoid yang abnormal dengan metode
pemeriksaan apapun yang menunjukkan hasil
positif
7 Perubahan gambaran Khas pada RA yaitu perubahan radiologi pada
radiologis tangan bagian posteroanterior dan pergelangan
tangan, yang mencakup erosi atau dekalsifikasi
tulang pada sendi yang terlibat (perubahan akibat
osteoartritis tidak termasuk)
Catatan:
1. Diperlukan empat dari tujuh kriteria untuk mengklasifikasikan pasien sebagai RA.
2. Pasien dengan dua atau lebih diagnosis klinis tidak dieksklusikan.
3. Kriteria 1 sampai dnegan 4, telah bermanifestasi minimal 6 minggu.
4. Kriteria 2 sampai dengan 5 harus diamati oleh dokter.

Kriteria klasifikasi, seperti kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1987,

memiliki spesifisitas 76% tetapi sensitivitas rendah sebesar 80%. Kriteria ini memerlukan

temuan yang spesifik, seperti distribusi klasik keterlibatan sendi dan erosi radiologis, yang

tidak selalu terjadi pada fase dini penyakit, sehingga tidak ideal untuk diagnosis kasus RA

pada tahap awal. Pada tahun 2010, diperkenalkan kriteria klasifikasi baru, yaitu kriteria

ACR/EULAR 2010, yang memiliki spesifisitas lebih rendah sebesar 55%, namun

sensitivitasnya lebih tinggi mencapai 97%. Kriteria ini dirancang untuk membantu

klasifikasi kasus RA pada fase awal, dengan harapan dapat mengurangi keterlambatan

dalam diagnosis. Kriteria diagnostik ACR/EULAR mencakup faktor-faktor seperti gejala


25,27,30
klinis, temuan laboratorium, dan durasi gejala.

Tabel 2. 5 Kriteria Klasifikasi RA Menurut ACR/EULAR 2010 34

Kriteria Skor
Jumlah sendi yang terlibat
 1 sendi besar 0 0
 2 – 10 sendi besar 1
 1 – 3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) 2
 4 – 10 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) 3
 >10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 5
Hasil pemeriksaan serologis
 RF negatif dan ACPA negatif 0
 RF positif rendah atau ACPA positif rendah 2
 RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi 3
Reaktan fase akut
 CRP normal dan LED normal 0
 CRP abnormal atau LED abnormal 1
Durasi gejala
 < 6 minggu 0
 ≥ 6 minggu 1
Keterangan: RF = rheumatoid factor; ACPA = Anti-Citrullinated Peptide Antibody; CRP=
C-reactive protein; LED = laju endap darah.
Catatan:
1. Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru
2. Kriteria ini digunakan pada kasus dengan minimal satu sendi yang terbukti adanya
synovitis
3. Kriteria ini digunakan untuk artritis yang tidak disebabkan penyakit lain
4. Diperlukan minimal total skor 6 dari maksimal 10 untuk klasifikasi RA

Penjelasan mengenai kriteria klasifikasi RA menurut ACR/EULAR 2010 (Tabel 2.2)

menyatakan bahwa pada pasien dengan skor <6 dan tidak memenuhi klasifikasi RA,

kondisi tersebut dapat dinilai ulang seiring berjalannya waktu, dan mungkin saja kriteria

dapat terpenuhi kemudian. Keterlibatan sendi didefinisikan sebagai adanya pembengkakan


atau nyeri tekan pada pemeriksaan, yang dapat dikonfirmasi dengan adanya sinovitis pada

gambaran pencitraan. Sendi besar mencakup bahu, siku, pangkal paha, lutut, dan

pergelangan kaki, sedangkan sendi kecil mencakup metacarpophalangeal (MCP), proximal

interphalangeal (PIP), metatarsophalangeal (MTP) jari kedua hingga kelima, pergelangan

tangan, dan sendi interfalang ibu jari. Distal interphalangeal, sendi carpometacarpal

pertama, dan sendi metatarsophalangeal pertama dikecualikan dari penilaian karena

keterlibatan sendi tersebut dapat terjadi pada osteoartritis. Hasil laboratorium yang negatif

adalah nilai kurang dari atau sama dengan batas atas normal, sementara positif rendah

adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal tetapi kurang dari tiga kali lipat nilai

tersebut. Positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari tiga kali lipat batas atas normal.

Jika faktor reumatoid (RF) hanya diketahui sebagai positif atau negatif, hasil positif harus

dianggap sebagai positif rendah. Lamanya sakit merujuk pada keluhan pasien mengenai
25,27,30
durasi gejala sinovitis, seperti nyeri, bengkak, atau nyeri pada palpasi.

2.1.8. Tatalaksana

Tatalaksana RA yang memengaruhi pinggul dan lutut melibatkan penggunaan obat-

obatan, rehabilitasi/ terapi fisik, dan tindakan operasi penggantian sendi seperti penggantian

pinggul atau lutut jika diperlukan, serta memberikan edukasi kepada pasien dan

keluarganya. Hal-hal tersebut dianggap sebagai bagian dari penanganan kondisi ini secara

efektif. Tujuan dari pengobatan ini adalah untuk mengurangi peradangan, meminimalkan
nyeri sendi dan pembengkakan, mencegah terjadinya deformitas, memulihkan fungsi sendi,

dan mencegah kerusakan jaringan yang lebih lanjut. Pendekatan komprehensif ini bertujuan

untuk meningkatkan mobilitas, mengurangi ketidaknyamanan, dan mencegah kerusakan


25,27,30
sendi jangka panjang.

1. Pemilihan obat: Harus diberikan berdasarkan keputusan bersama antara pasien dan

dokter.

2. Pengelolaan nyeri: Analgesik seperti parasetamol atau obat antiinflamasi untuk

mengelola nyeri. Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID) dapat digunakan sebagai

terapi simptomatik, digunakan untuk mengurangi nyeri dan peradangan.

3. Disease-Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs): Methotrexate dan

sulfasalazine termasuk DMARDs yang umumnya diresepkan untuk mengendalikan

aktivitas penyakit dan mencegah kerusakan sendi.

4. Terapi Biologis: Obat-obatan seperti tumor necrosis factor/TNF inhibitors

(etanercept, infliximab), rituximab, abatacept, dan tocilizumab, digunakan untuk

menghambat respon autoimun.

5. Kortikosteroid: Dapat diberikan secara oral atau disuntikkan pada sendi yang

terkena untuk mengurangi peradangan.

6. Terapi Fisik dan Rehabilitasi: Latihan fisik dan terapi fisik dapat membantu

mempertahankan gerakan sendi, menguatkan otot, dan meningkatkan fleksibilitas,

serta mengurangi nyeri.


7. Pembedahan: Untuk kasus yang parah, seperti kerusakan sendi yang signifikan,

pembedahan seperti penggantian sendi dapat menjadi opsi. Pilihan terakhir untuk

kasus yang parah, seperti penggantian sendi (artroplasti) pada pinggul atau lutut.

8. Pemantauan Rutin: Evaluasi berkala untuk memantau respons terhadap pengobatan

dan menyesuaikan rencana perawatan.

9. Edukasi Pasien: Memberikan informasi tentang penyakit, perawatan, dan

pentingnya peran pasien dalam manajemen AR.

Diagnosis dan terapi dini merupakan langkah yang paling penting untuk

mengendalikan progresivitas penyakit secara optimal dan mempengaruhi prognosis RA.

csDMARD harus segera diberikan setelah diagnosis RA ditegakkan dengan pilihan utama

metotreksat, kecuali bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi, dapat dipilih leflunomid,

sulfasalazin, klorokuin, hidroksiklorokuin, siklosporin, azatioprin. Penggunaan MTX dapat

diberikan dengan dosis 7,5 mg – 25 mg setiap minggunya. Pemantauan dilakukan


25,27,30
setiap:

 <3 bulan terapi: tiap 2-4 minggu

 3-6 bulan terapi: tiap 8-12 minggu

 >6 bulan terapi: tiap 12 minggu

Selama terapi MTX dibutuhkan suplemetasi asam folat dengan dosis 5mg/minggu
35,36
dan direkomendasikan 24 – 48 jam setelah penggunaan MTX.
Tabel 2. 6 DMARD untuk terapi RA 25

OBAT ONSET DOSIS Keterangan


Metotreksat 1 – 2 bulan Dosis awal 7,5-10 Diberikan pada kasus
mg/ minggu/IV lanjut dan berat. Efek
atau peroral 12,5- samping: rentan infeksi,
17,5mg/minggu intoleransi GIT, gangguan
dalam 8-12 minggu fungsi hati dan
hematologic.

Sulfasalazin 1 – 2 bulan 1x500mg/hari/io Digunakan sebagai lini


ditingkatkan setiap Pertama.
minggu hingga
4x500mg/hari
Hidroksiklorokui 2 – 4 bulan 400mg/hari Efek samping: penurunan
n tajam penglihatan, mual,
diare, anemia hemolitik.
Asatioprin 2 – 3 bulan 50-150mg/hari Efek samping: gangguan hati,
gejala GIT, peningkatan TFH.
D-penisilamin 3 – 6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,
proteinuria, rash.

Jika target pengobatan tidak tercapai dengan strategi csDMARD pertama/tunggal

(dengan dosis optimal), tanpa adanya faktor prognosis buruk, maka csDMA RD lain dapat

ditambahkan sebagai terapi kombinasi. Pada pasien dengan faktor prognosis buruk, jika
target pengobatan tidak tercapai dengan csDMARD pertama, maka bDMARD dapat
37
ditambahkan sebagai terapi kombinasi atau diberikan sebagai pengganti csDMARD. Jika

pasien tidak merespon dengan bDMARD lini pertama, dapat diberikan bDMARD yang lain

baik dari kelompok anti TNF-a maupun anti IL-6 yang berbeda, atau dapat diberikan

alternatif bDMARD dari kelompok lain yaitu anti CD-20 (rituximab) dan penghambat

kostimulator sel T (abatacept). Pilihan yang lain adalah kelompok tsDMARD yaitu Janus
37
Kinase inhibitor (tofacitinib).
Gambar 2. 4 Alur Terapi Medikamentosa RA (Modifikasi dari Rekomendasi EULAR
2019) 37
Selanjutnya, terapi farmakologis ini harus diiringi dengan terapi non-farmakologis

seperti latihan fisik. Terapi latihan fisik dan rehabilitasi ini penting untuk mempertahankan

fungsi sendi dan kekuatan otot. Manfaat latihan fisik yang lain yaitu dapat menurunkan

risiko kardiovaskular karena dapat meningkatkan fungsi endotel dan memperlambat proses

aterosklerosis. Selain itu latihan fisik juga dapat berefek pada tulang yaitu menurunkan

kehilangan tulang dan meningkatkan densitas tulang pada femur, menurunkan progresi

perubahan radiologi pada sendi kecil, mengurangi depresi, meningkatkan kualitas tidur,
25,27,30
menurunkan persepsi nyeri dan meningkatkan kualitas hidup.

Latihan fisik yang dianjurkan adalah selama 30 menit setiap harinya, 5 hari dalam

seminggu dengan low-impact exercise yaitu latihan fisik yang tidak membebani sendi dan

mengurangi risiko kerusakan pada sendi. Latihan fisik seperti berjalan, bersepeda dan

berenang. Ketika memulai untuk latihan fisik yaitu dimulai dengan prinsip start low, go

slow. Selain itu, latihan aerobik juga dapat dilakukan karena meningkatkan konsumsi

oksigen (VO2 maksimal) dengan meningkatkan detak jantung hingga 50-80% dari

maksimum detak jantung. Pada penelitian yang telah dilakukan, latihan aerobik dapat

mengurangi rasa nyeri serta meningkatkan fungsi dan mengurangi kerusakan structural,
25,27,30
sehingga meningkatkan kualitas hidup.
2.1.9. Prognosis

RA merupakan penyakit progresif yang terasosiasi dengan peningkatan mortalitas.

Setiap pasien akan menghadapi beberapa eksaserbasi yang apabila tidak diobati akan

berujung pada disabilitas dan prognosis yang buruk. Pengobatan dalam waktu <6 bulan

semenjak gejala awal menunjukkan kapasitas fungsional yang baik. Akan tetapi, angka

mortalitas pada kelompok yang menerima pengobatan awal dan tidak serupa, tetapi lebih

baik secara signifikan dibandingkan tidak mendapatkan pengobatan. Sekitar 40% pasien

RA akan mengalami disabilitas fungsional terkait pekerjaan dan aktivitas sehari-hari dalam

10 tahun setelah mendapat diagnosis. RA juga meningkatkan resiko penyakit


27,38–40
kardiovaskuler, paru-paru, dan keganasan yang menambah resiko mortalitas.
BAB III

KESIMPULAN

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit autoimun yang menyerang sendi

dan sekitarnya. Inflamasi kronis ini dapat mengganggu fungsi fisik dan kualitas hidup.

Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan hal yang penting untuk menghindari komplikasi

dan prognosis yang lebih buruk pada pasien. Tatalaksana yang tepat akan mengurangi

keterbatasan mobilitas, mengurangi ketidaknyamanan, dan mencegah kerusakan sendi lebih

lanjut. Selain itu, angka mortalitas juga dapat dikurangi melalui diagnosis dan tatalaksana

yang tepat pada pasien.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sparks JA. Rheumatoid Arthritis. Ann Intern Med [Internet]. 2019 Jan 1 [cited 2023 Nov

12];170(1):ITC1–15. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30596879/

2. Klareskog L, Rönnelid J, Saevarsdottir S, Padyukov L, Alfredsson L. The importance of

differences; On environment and its interactions with genes and immunity in the causation

of rheumatoid arthritis. J Intern Med [Internet]. 2020 May 1 [cited 2023 Nov

12];287(5):514–33. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32176395/

3. Smolen JS, Aletaha D, McInnes IB. Rheumatoid arthritis. Lancet [Internet]. 2016 Oct 22

[cited 2023 Nov 12];388(10055):2023–38. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27156434/

4. Bullock J, Rizvi SAA, Saleh AM, Ahmed SS, Do DP, Ansari RA, et al. Rheumatoid

Arthritis: A Brief Overview of the Treatment. Med Princ Pract [Internet]. 2018 Mar 1 [cited

2023 Nov 12];27(6):501–7. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30173215/

5. Pincus T, O’Dell JR, Kremer JM. Combination therapy with multiple disease-modifying

antirheumatic drugs in rheumatoid arthritis: a preventive strategy. Ann Intern Med

[Internet]. 1999 Nov 16 [cited 2023 Nov 12];131(10):768–74. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10577301/
6. Koller-Smith L, Mehdi AM, March L, Tooth L, Mishra GD, Thomas R. Rheumatoid

arthritis is a preventable disease: 11 ways to reduce your patients’ risk. Intern Med J

[Internet]. 2022 May 1 [cited 2023 Nov 12];52(5):711–6. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34553824/

7. Deane KD, Holers VM. Rheumatoid Arthritis Pathogenesis, Prediction, and Prevention: An

Emerging Paradigm Shift. Arthritis and Rheumatology. 2021 Feb 1;73(2):181–93.

8. Al-Rubaye AF, Kadhim MJ, Hameed IH. Rheumatoid Arthritis: History, Stages,

Epidemiology, Pathogenesis, Diagnosis and Treatment. INTERNATIONAL JOURNAL OF

TOXICOLOGICAL AND PHARMACOLOGICAL RESEARCH. 2017 May 1;9(02).

9. Crowson CS, Matteson EL, Myasoedova E, Michet CJ, Ernste FC, Warrington KJ, et al.

The lifetime risk of adult-onset rheumatoid arthritis and other inflammatory autoimmune

rheumatic diseases. Arthritis Rheum [Internet]. 2011 Mar [cited 2023 Nov 12];63(3):633–9.

Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21360492/

10. Eriksson JK, Neovius M, Ernestam S, Lindblad S, Simard JF, Askling J. Incidence of

rheumatoid arthritis in Sweden: a nationwide population-based assessment of incidence, its

determinants, and treatment penetration. Arthritis Care Res (Hoboken) [Internet]. 2013 Jun

1 [cited 2023 Nov 12];65(6):870–8. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23281173/

11. Almutairi KB, Nossent JC, Preen DB, Keen HI, Inderjeeth CA. The Prevalence of

Rheumatoid Arthritis: A Systematic Review of Population-based Studies. J Rheumatol


[Internet]. 2021 May 1 [cited 2023 Nov 12];48(5):669–76. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33060323/

12. Frisell T, Holmqvist M, Källberg H, Klareskog L, Alfredsson L, Askling J. Familial risks

and heritability of rheumatoid arthritis: role of rheumatoid factor/anti-citrullinated protein

antibody status, number and type of affected relatives, sex, and age. Arthritis Rheum

[Internet]. 2013 Nov [cited 2023 Nov 12];65(11):2773–82. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23897126/

13. Sugiyama D, Nishimura K, Tamaki K, Tsuji G, Nakazawa T, Morinobu A, et al. Impact of

smoking as a risk factor for developing rheumatoid arthritis: a meta-analysis of

observational studies. Ann Rheum Dis [Internet]. 2010 Jan [cited 2023 Nov 12];69(1):70–

81. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19174392/

14. Philippou E, Nikiphorou E. Are we really what we eat? Nutrition and its role in the onset of

rheumatoid arthritis. Autoimmun Rev [Internet]. 2018 Nov 1 [cited 2023 Nov

12];17(11):1074–7. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30213695/

15. Qin B, Yang M, Fu H, Ma N, Wei T, Tang Q, et al. Body mass index and the risk of

rheumatoid arthritis: a systematic review and dose-response meta-analysis. Arthritis Res

Ther [Internet]. 2015 Mar 29 [cited 2023 Nov 12];17(1). Available from:

/pmc/articles/PMC4422605/

16. De Roos AJ, Koehoorn M, Tamburic L, Davies HW, Brauer M. Proximity to Traffic,

Ambient Air Pollution, and Community Noise in Relation to Incident Rheumatoid Arthritis.
Environ Health Perspect [Internet]. 2014 Oct 1 [cited 2023 Nov 12];122(10):1075.

Available from: /pmc/articles/PMC4181921/

17. Romão VC, Fonseca JE. Etiology and Risk Factors for Rheumatoid Arthritis: A State-of-

the-Art Review. Front Med (Lausanne). 2021;8(November):1–20.

18. Alpízar-Rodríguez D, Pluchino N, Canny G, Gabay C, Finckh A. The role of female

hormonal factors in the development of rheumatoid arthritis. Rheumatology (United

Kingdom). 2017;56(8):1254–63.

19. Gabriel SE, Michaud K. Epidemiological studies in incidence, prevalence, mortality, and

comorbidity of the rheumatic diseases. Arthritis Res Ther. 2009;11(3).

20. Hu Y, Sparks JA, Malspeis S, Costenbader KH, Hu FB, Karlson EW, et al. Long-term

dietary quality and risk of developing rheumatoid arthritis in women. Ann Rheum Dis.

2017;76(8):1357–64.

21. Erickson AR, Cannella AC, Mikuls TR. Clinical features of rheumatoid arthritis. In: Kelley

and Firestein’s textbook of rheumatology. Elsevier; 2017. p. 1167–86.

22. Warwick D, Blom A, Whitehouse M. Apley and Solomon’s Concise System of

Orthopaedics and Trauma. CRC Press; 2021.

23. Tehlirian C V, Bathon JM. Rheumatoid arthritis: clinical and laboratory manifestations.

Primer on the rheumatic diseases. 2008;13:114–21.


24. Fauser BCJM, Tarlatzis, Fauser, Chang, Aziz, Legro, et al. Revised 2003 consensus on

diagnostic criteria and long-term health risks related to polycystic ovary syndrome. Human

Reproduction. 2004;19(1):41–7.

25. Hidayat R, Suryana B, Wijaya L, Ariane A, Hellmi R, Adnan E, et al. Diagnosis dan

Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia; 2021.

26. Firestein GS. PATHOGENESIS OF RHEUMATOID ARTHRITIS: THE INTERSECTION

OF GENETICS AND EPIGENETICS. Trans Am Clin Climatol Assoc. 2018;129:171–82.

27. Chauhan K, Jandu JS, Brent LH, Al-Dhahir MA. Rheumatoid Arthritis. Rosen and Barkin’s

5-Minute Emergency Medicine Consult: Fifth Edition [Internet]. 2023 May 25 [cited 2023

Nov 12]; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441999/

28. Nanke Y. The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis Breakthroughs in Molecular

Mechanisms 1 and 2. Int J Mol Sci. 2023 Jul 4;24(13):11060.

29. Bartok B, Firestein GS. Fibroblast‐like synoviocytes: key effector cells in rheumatoid

arthritis. Immunol Rev. 2010 Jan 23;233(1):233–55.

30. Wasserman AM. Diagnosis and management of rheumatoid arthritis. Am Fam Physician.

2011 Dec 1;84(11):1245–52.

31. Drosos AA, Pelechas E, Voulgari P V. Conventional radiography of the hands and wrists in

rheumatoid arthritis. What a rheumatologist should know and how to interpret the

radiological findings. Rheumatol Int. 2019 Aug;39(8):1331–41.


32. Trieb K, Hofstaetter SG. Treatment strategies in surgery for rheumatoid arthritis. Eur J

Radiol. 2009 Aug;71(2):204–10.

33. Arnett FC, Edworthy SM, Bloch DA, McShane DJ, Fries JF, Cooper NS, et al. The

American Rheumatism Association 1987 revised criteria for the classification of

rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum. 1988 Mar;31(3):315–24.

34. Neogi T, Aletaha D, Silman AJ, Naden RL, Felson DT, Aggarwal R, et al. The 2010

American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism classification

criteria for rheumatoid arthritis: Phase 2 methodological report. Arthritis Rheum. 2010

Sep;62(9):2582–91.

35. [Disease modifying antirheumatic drugs] - PubMed [Internet]. [cited 2023 Nov 12].

Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24701712/

36. Firestein & Kelley’s Textbook of Rheumatology, 2 - 9780323639200 [Internet]. [cited 2023

Nov 12]. Available from: https://www.us.elsevierhealth.com/firestein-kelleys-textbook-of-

rheumatology-2-volume-set-9780323639200.html

37. Smolen JS, Landewé RBM, Bijlsma JWJ, Burmester GR, Dougados M, Kerschbaumer A,

et al. EULAR recommendations for the management of rheumatoid arthritis with synthetic

and biological disease-modifying antirheumatic drugs: 2019 update. Ann Rheum Dis

[Internet]. 2020 Jun 1 [cited 2023 Nov 12];79(6):S685–99. Available from:

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31969328/
38. Gwinnutt JM, Symmons DPM, MacGregor AJ, Chipping JR, Marshall T, Lunt M, et al.

Twenty-Year Outcome and Association Between Early Treatment and Mortality and

Disability in an Inception Cohort of Patients With Rheumatoid Arthritis: Results From the

Norfolk Arthritis Register. Arthritis Rheumatol. 2017 Aug;69(8):1566–75.

39. Paul BJ, Kandy HI, Krishnan V. Pre-rheumatoid arthritis and its prevention. Eur J

Rheumatol. 2017 Jun;4(2):161–5.

40. Martin-Trujillo A, van Rietschoten JGI, Timmer TCG, Rodríguez FM, Huizinga TWJ, Tak

PP, et al. Loss of imprinting of IGF2 characterises high IGF2 mRNA-expressing type of

fibroblast-like synoviocytes in rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis. 2010 Jun;69(6):1239–

42.

Anda mungkin juga menyukai