Disusun oleh:
Dengan Pembimbing:
ORTHOPEDI
PENDAHULUAN
struktur di sekitarnya. Salah satunya adalah rheumatoid artritis (RA), penyakit autoimun
inflamasi sistemik umum yang ditandai dengan nyeri, pembengkakan sendi yang dapat
1
mengganggu fungsi fisik dan kualitas hidup. Penyakit ini melibatkan gangguan inflamasi
kronis yang disebabkan dalam banyak kasus oleh interaksi antara gen dan faktor
2
lingkungan, termasuk tembakau, yang terutama melibatkan sendi sinovial. Biasanya
dimulai pada sendi perifer kecil, biasanya simetris, dan berkembang untuk melibatkan sendi
proksimal jika tidak diobati. Peradangan sendi dari waktu ke waktu akan mengarah pada
2,3
kerusakan sendi dengan hilangnya tulang rawan dan erosi tulang. RA, jika tidak diobati,
rheumatoid artritis masih memiliki patofisiologi yang jelas. Namun, terdapat faktor risiko
termasuk merokok, obesitas dan paparan polusi udara serta wanita dan orang lanjut usia
4
memiliki risiko lebih tinggi terkena RA.
mana hal ini dapat sangat membatasi kemampuan seseorang untuk melakukan tugas-tugas
yang berkaitan dengan pekerjaan dan bahkan dapat memaksa seseorang untuk mengurangi
jumlah mereka bekerja atau membuat perubahan dalam pekerjaan untuk mengakomodasi
disabilitas mereka. 1 Dalam beberapa kasus, di mana penyakitnya mempunyai derajat yang
parah, seseorang mungkin terpaksa meninggalkan dunia kerja sama sekali. Sehingga,
produktifitas masyarakat menurun dan masa lansia di kemudian hari menjadi kurang
berkualitas. Meskipun kejadian RA sebagian besar terjadi pada orang tua namun tidak
menutup kemungkinan bahwa proses patologi telah terjadi dengan bertambahnya usia dan
1,3
adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.
Saat ini, tidak ada tes laboratorium yang khas untuk rheumatoid artritis, sehingga
diagnosis penyakit ini menjadi sulit pada tahap awal. Pendekatan klinis yang komprehensif
dikontrol dengan pengobatan farmakologis, dan fungsi optimal dapat dipertahankan melalui
rehabilitasi (termasuk penggunaan produk bantuan). Pada kasus dengan kerusakan sendi
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
Rheumatoid artritis (RA) adalah gangguan autoimun jangka panjang yang terutama
6
memengaruhi persendian. Sendi yang paling sering terlibat adalah sendi proksimal
interphalangeal (PIP) dan metakarpofalangeal (MCP) pada tangan, pergelangan tangan, dan
sendi-sendi kecil pada kaki, termasuk sendi metatarsophalangeal (MTP). Bahu, siku, lutut,
6
dan pergelangan kaki juga terpengaruh pada banyak pasien. Biasanya menyebabkan sendi
terasa hangat, bengkak, dan nyeri. Nyeri dan kekakuan sering kali memburuk setelah
beristirahat. Umumnya, pergelangan tangan dan tangan yang terlibat dengan sendi yang
7
sama biasanya terlibat di kedua sisi tubuh. Penyakit ini juga dapat memengaruhi bagian
tubuh lainnya. Hal ini dapat menyebabkan jumlah sel darah merah yang rendah, peradangan
8
di sekitar paru-paru, dan juga jantung.
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi RA lebih tinggi di Eropa Barat dan Utara, Amerika Utara, dan wilayah
lain yang memiliki penduduk keturunan Eropa, seperti Australia. Prevalensinya lebih
rendah di Amerika Tengah dan Selatan dan bahkan lebih rendah lagi di Asia Timur dan
Afrika. Menurut data epidemiologi, RA lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan
dengan pria, dengan risiko RA seumur hidup sebesar 3,6% pada wanita dibandingkan
9
dengan 1,7% pada pria. Risiko RA juga meningkat seiring bertambahnya usia, dengan
10
puncak kejadian antara usia 65 hingga 80 tahun. Sebuah tinjauan sistematis terhadap
Seperti yang diuraikan di atas, terdapat disposisi genetik terhadap RA, yang
12
ditunjukkan sekitar 40% dalam sebuah penelitian besar dari Swedia pada tahun 2013.
Penelitian ini juga melaporkan heritabilitas yang lebih tinggi untuk RA seropositif dan RA
yang timbul lebih awal. Menurut laporan mereka, risiko RA dengan kerabat tingkat pertama
yang positif RA adalah tiga kali lipat lebih tinggi daripada kerabat tingkat kedua dengan RA
12
yang memberikan risiko dua kali lipat lebih tinggi. Berbagai kecenderungan genetik yang
pemicu lingkungan untuk RA. Pola makan khas 'barat' yang kaya, tinggi kalori, dan rendah
14
serat meningkatkan risiko RA. Konsumsi asam lemak tak jenuh ganda omega-3 rantai
panjang dikaitkan dengan penurunan risiko RA. Obesitas adalah faktor risiko lain yang
sudah mapan untuk RA. Terdapat peningkatan risiko RA sebesar 30% pada pasien dengan
indeks massa tubuh (BMI) lebih besar dari 30 kg/m 2 dan peningkatan risiko sebesar 15%
15
pada pasien dengan BMI 25 hingga 29,9 kg/m2.
dengan penyakit mukosa atau periodontal kronis. Terdapat bukti bahwa cedera mukosa
16
akibat paparan pekerjaan dan polutan lingkungan dapat meningkatkan risiko RA.
interaksi kompleks antara faktor host dan lingkungan menentukan risiko keseluruhan
terhadap kerentanan, ketahanan, dan tingkat keparahan penyakit. Faktor host yang telah
hormonal, reproduksi, neuroendokrin, dan faktor host lainnya yang bersifat komorbid.
Sementara itu, faktor lingkungan meliputi merokok dan paparan udara lainnya, mikrobiota
17
dan agen infeksi, pola makan, dan faktor-faktor sosioekonomi.
Gambar 2.1 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis 17
Faktor genetik adalah salah satu faktor tuan rumah yang meningkatkan risiko
perkembangan RA. Risiko RA lebih tinggi pada saudara kandung pertama pasien RA, dan
15%, yang hingga 4 kali lipat dari saudara kembar dizigotic, dan jauh lebih tinggi
kontribusi genetik terhadap penyakit, ditemukan sekitar 50–65%. Beberapa lokus antigen
leukosit manusia (HLA) seperti HLA-DRB1 telah ditemukan sangat terkait dengan RA di
sebagian besar populasi. Hipotesis epitop bersama (SE) mengusulkan bahwa sekuens dari
lima asam amino pada residu 70–74 (QKRAA, QRRAA, RRRAA) dalam wilayah
hipervariabel ketiga dari rantai DRß1, yang di-encode oleh gen HLA-DRB1,
telah dikaitkan dengan peningkatan risiko RA dalam populasi trans-etnik. Risiko RA lebih
17
tinggi pada kasus RA yang positif ACPA dibandingkan dengan yang negatif ACPA.
Faktor epigenetik adalah modifikasi pada molekul DNA yang dapat memengaruhi
ekspresi gen tanpa mengubah urutan DNA. Perubahan epigenetik telah diidentifikasi
sebagai faktor yang secara langsung terlibat dalam patogenesis RA, mengatur risiko
rangsangan eksternal, mengatur ekspresi gen-gen penting dan lebih lanjut menentukan
17
risiko akhir penyakit.
predisposisi untuk RA. Kelebihan jumlah wanita dalam distribusi kasus RA telah
mendorong penyelidikan terhadap faktor hormonal dan yang berhubungan dengan jenis
kelamin sebagai predisposisi terhadap penyakit tersebut. Estrogen telah dijelaskan sebagai
pro-inflamasi, berlawanan dengan efek anti-inflamasi dari progesteron dan androgen, yang
menurun pada pasien RA pria dan wanita. Melahirkan, menyusui, abortus, menarche dini,
usia saat kehamilan pertama, kontrasepsi oral, dan terapi penggantian hormon semuanya
telah dikaitkan dengan peluang peningkatan, tidak berubah, atau penurunan perkembangan
RA. Interaksi neuroendokrin-imun juga telah dikaitkan dengan RA. Selama peradangan
diaktifasi secara fisiologis secara sentral, dalam upaya untuk menekan peradangan perifer.
Hal ini dicapai melalui hormon anti-inflamasi (kortisol, androgen adrenal) dan
Faktor host yang bersifat komorbid adalah kondisi-kondisi yang bersamaan dengan
kardiovaskular. Obesitas terkait dengan peningkatan risiko perkembangan RA, serta dengan
prognosis penyakit yang lebih buruk. Dislipidemia, hipertensi, dan diabetes mellitus juga
pada populasi alergi, dan sebagian besar studi kohort berbasis populasi berkualitas tinggi
menunjukkan hubungan yang positif antara atopi dan RA. Hal ini telah dikaitkan dengan
kemungkinan mekanisme genetik, imunologi, dan lingkungan yang sama, seperti HLA-
DRB1, IL-6R, CD40L, sel pembunuh alami, sel Th1 dan Th17, TNF, dan merokok.
Penyakit pernapasan, baik akut maupun kronis, dan pada saluran napas bagian atas atau
bawah, juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko RA seropositif dan seronegatif,
terutama pada non-perokok. Penelitian lain telah mengkonfirmasi hubungan antara penyakit
paru obstruktif kronik dengan RA berikutnya. Hubungan antara penyakit alergi dan
pernapasan dan RA menunjukkan kemungkinan jalur patogen yang terpisah atau saling
17
melengkapi dalam kondisi ini.
sebesar 1,5-3 kali lipat pada keturunan yang memiliki kondisi ini. Selain itu, pasien RA
memiliki peningkatan risiko terkena penyakit yang diperantarai oleh kekebalan tubuh
17
lainnya, seperti psoriasis, penyakit radang usus, dan sklerosis multipel.
karena beberapa obat mungkin menjadi kontraindikasi atau memerlukan penyesuaian dosis
pada pasien dengan komorbiditas tertentu. Oleh karena itu, pengelolaan komorbiditas
adalah aspek penting dalam perawatan pasien RA, dan hal ini dapat meningkatkan kualitas
17
hidup dan prognosis pasien.
berhubungan dengan RA. Paparan polutan udara, seperti silika, debu tekstil, dan polusi
udara, juga dapat menyebabkan produksi ACPAs dan meningkatkan risiko mengembangkan
RA. Mikrobiota dan agen infeksi, seperti virus Epstein-Barr, telah dikaitkan dalam
17
perkembangan RA, mungkin melalui mimikri molekuler atau mekanisme lain. Pola
makan juga telah diinvestigasi sebagai faktor risiko potensial untuk RA. Diet yang kaya
asam lemak omega-3, seperti ikan dan minyak zaitun, telah dikaitkan dengan penurunan
risiko mengembangkan RA. Sebaliknya, konsumsi tinggi daging merah dan minuman
bersoda yang mengandung gula telah dikaitkan dengan peningkatan risiko mengembangkan
20
RA. Terakhir, faktor-faktor sosioekonomi, seperti pendidikan rendah dan pekerja
kondisi inflamasi yang menyebar ke seluruh tubuh, bersifat kronis, dan berlangsung secara
progresif. Gejala awal yang sering muncul adalah rasa kaku, nyeri, dan pembengkakan
pada persendian. Proses onsetnya biasanya berjalan lambat, berkisar antara beberapa
minggu hingga beberapa bulan. 21 Perubahan patologis, jika tidak terkendali, berlanjut dalam
empat tahap. Pada satu sendi tertentu, fitur-fitur berbagai tahap bisa terjadi secara
bersamaan, dan bahkan ketika sendi-sendi sudah sangat rusak, peradangan yang terus
berlanjut dapat terus merusak kesehatan sistemik dengan mempercepat proses penyakit lain
22
seperti penyakit jantung iskemik (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Tahapan Perubahan Patologis RA. (a) Tahap 1 – pra klinis, (b) Tahap 2 –
sinovitis, (c) Tahap 3 – destruksi awal sendi dengan erosi periartikular, (d) Tahap 4 –
22
destruksi sendi parah dan deformitas.
1. Tahap 1 - pra-klinis
Jauh sebelum RA menjadi jelas secara klinis, patologi sistem kekebalan tubuh
sudah dimulai. Tingginya ESR, protein C-reaktif (CRP), dan RF mungkin dapat
22
dideteksi bertahun-tahun sebelum diagnosis pertama.
2. Tahap 2 – sinovitis
Perubahan awal adalah pengumpulan pembuluh darah dengan pembentukan
pembuluh darah baru, proliferasi sinoviosit, dan infiltrasi lapisan sub sinovial oleh
sel-sel polymorph, limfosit, dan sel plasma. Terjadi penebalan struktur kapsular,
pembentukan vili pada sinovium, dan efusi yang kaya sel ke dalam sendi dan sarung
tendon. Meskipun nyeri, bengkak, dan nyeri saat disentuh, struktur ini masih utuh
22
dan dapat bergerak, dan gangguan ini berpotensi dapat dipulihkan.
3. Tahap 3 – destruksi
artikular tererosi, sebagian oleh enzim proteolitik, sebagian oleh jaringan vaskular
di lipatan refleksi sinovial, dan sebagian lagi karena invasi langsung kartilago oleh
sendi, tulang tererosi oleh invasi jaringan granulasi dan resorpsi oleh osteoklas.
bundel kolagen, dan, akhirnya, robekan sebagian atau lengkap pada tendon. Efusi
4. Tahap 4 – deformitas
Ciri khas manifestasi klinisnya adalah adanya poliartritis simetrik, yang berarti
peradangan pada beberapa sendi secara bersamaan, dan gejala ini biasanya berlangsung
selama lebih dari enam minggu. Sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki, seperti
(MTP), umumnya terlibat terlebih dahulu. Kemudian, kondisi ini bisa memengaruhi sendi-
sendi pergelangan tangan, kaki, siku, bahu, dan lutut, bahkan dapat melibatkan seluruh
sendi tubuh. Perlu diperhatikan bahwa keterlibatan sendi distal interphalangeal (DIP)
bukanlah karakteristik utama RA, sehingga jika gejala ini muncul, diagnosis yang lebih
teliti seperti osteoartritis dan artritis posiaris perlu dipertimbangkan. Pasien sering
melaporkan kekakuan pada persendian pada pagi hari yang berlangsung selama minimal
21,23
satu jam.
Pada tahap-tahap terakhir, deformitas sendi menjadi semakin terlihat, dan nyeri akut
dari sinovitis digantikan oleh rasa sakit yang lebih konstan akibat kerusakan sendi yang
'rematoid' khas: deviasi ulnar pada jari-jari, pergeseran radial dan volar pada pergelangan
tangan, lutut valgus, kaki valgus, dan jari-jari kaki yang melengkung. Gerakan sendi
terbatas dan sering kali sangat menyakitkan. Sekitar sepertiga dari semua pasien mengalami
nyeri dan kekakuan pada tulang belakang leher. Fungsi tubuh semakin terganggu, dan
22
pasien mungkin memerlukan bantuan untuk berdandan, berpakaian, dan makan.
Lutut adalah lokasi umum bagi RA, terpengaruh pada 70–80% pasien. Meskipun
bukan target awal dari penyakit ini, lutut dapat terlibat secara signifikan pada tahap-tahap
selanjutnya. Atrofi otot, kontraktur fleksi, pembengkakan besar seperti Baker's cyst,
instabilitas valgus, dan ketidakmampuan untuk berjalan adalah manifestasi klasik yang
muncul pada tahap lanjut akibat sinovitis yang agresif. Ruptur Baker's cyst dapat
menyebabkan sindrom mirip tromboflebitis. Erosi adalah manifestasi yang muncul pada
24
tahap lebih lanjut.
Keterlibatan awal sendi pinggul adalah hal yang jarang terjadi, tetapi dapat
menyebabkan disabilitas berat pada 50% pasien RA yang telah terdiagnosis. Ciri radiologis
dari koksitis reumatoid mencakup penurunan densitas tulang di sekitar sendi dan
penyempitan kartilago artikular yang bersifat konsentris. Sinovitis yang merusak dapat
menyebabkan yang disebut protrusio acetabuli. Nyeri pinggul pada pasien RA mungkin
disebabkan oleh keterlibatan bursa, seperti pada bursa trokanterik, ilium, atau iskium.
Sinovitis pinggul yang sudah lanjut akan mengakibatkan disabilitas berat karena pasien
tidak dapat berjalan dan melakukan aktivitas sehari-hari yang bergantung pada rotasi dan
21
abduksi pinggul.
demam ringan dengan suhu kurang dari 38.5°C, dan penurunan berat badan. Ketika
dilakukan pemeriksaan pada persendian, sering terlihat adanya pembengkakan, nyeri saat
ditekan, perasaan hangat pada sendi, serta keterbatasan gerakan. Terjadinya keterlibatan
pada sendi yang lebih besar, terutama pada sendi lutut, dapat mengakibatkan adanya efusi
25
pada sendi tersebut.
persendian yang melibatkan berbagai organ seperti mata, jantung, pembuluh darah, paru-
paru, hematologi, otot, mukokutan, saraf, ginjal, dan kulit. Salah satu manifestasi
ekstraartikular yang paling umum pada AR adalah nodul reumatoid, yang ditemukan pada
sekitar 30% pasien. Nodul reumatoid adalah benjolan yang muncul di bawah kulit di atas
penonjolan tulang, permukaan ekstensor, atau di sekitar persendian. Selain itu, sindrom
Sjogren, anemia penyakit kronis, dan gejala paru-paru juga relatif sering terjadi, yaitu
25
sekitar 6-10%.
Gejala di ekstraartikular bisa terjadi pada hingga 50% pasien RA dan biasanya
menunjukkan prognosis yang tidak baik, yang dapat meningkatkan tingkat keparahan dan
tingkat kematian lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan pasien yang tidak
mengalami gejala di luar persendian. Saat ini, tidak ada prediksi yang dapat digunakan
untuk memprediksi gejala di luar persendian ini, tetapi diketahui bahwa gejala tersebut
berhubungan dengan sejarah merokok, keparahan penyakit sendi, peningkatan titer penanda
peradangan, positif RF, positif ANA, positif anti-CCP, dan jenis epitop terkait HLA
25
tertentu, terutama subtipe homozigous DRB1*04.
2.1.5. Patogenesis
termasuk dalam gen kompleks imunohistobilitas mayor (MHC) kelas II. Selain itu, terdapat
>100 variasi gen lainnya dengan mekanisme respon imun, perpindahan sel, adhesi sel, dan
transduksi sinyal. Tingkat keparahan dan resiko yang meningkat dari RA terkait dengan
susunan epitop spesifik yang rentan pada rantai beta HLA-DR. Presentasi antigen dari
peptida imunogenik kepada sel sistem imun adaptif akan melibatkan gen HLA-DR. Gen
MHC terkait RA mengikat lebih baik dengan peptida yang telah dimodifikasi oleh
(ACPA), salah satu karakteristik pada RA. Derivasi sitrulin terjadi pada lokasi kerusakan
26,27
jaringan dan inflamasi, salah satunya adalah paru-paru pada perokok.
Terdapat beberapa modifikasi protein lainnya yang dapat menjadi target dari
diproduksi oleh aksi peptidyl arginine deiminase (PAD) pada arginin. Anti-PAD4 banyak
ditemukan pada pasien RA dan terkait dengan positivitas ACPA. Antibodi ini dapat
ditemukan terutama pada mukosa yang terinflamasi, sehingga peningkatan leukosit akan
menghasilkan PAD4. Patogen tertentu seperti P. gingivalis juga dapat menghasilkan enzim
seperti PAD yang dapat menjadi autoantigen. Asetilasi juga dapat terkait dengan RA di
mana proses ini melibatkan proses enzimatik yang mengonversi lisin menjadi asetilisin
dimediasi oleh bakteri, yang dapat menghasilkan hubungan antara RA dan disbiosis
mikrobiom. Selain itu, proses karbamilasi dapat menghasilkan protein antibodi anti-
yang serupa dengan sitrulin. Terdapat beberapa autoantibodi lainnya yang ditemukan pada
27
pasien RA dengan target fibrinogen, enolase, dan vimentin.
Epigenetik pada RA terkait dengan metilasi DNA yang diatur oleh sekumpulan
enzim DNA metiltransferase dan akan menghasilkan pasangan nukleotida yang sering
disebut lokus CpG. Metilasi CpG di bagian promotor meniadakan gen dan prevensi
transkripsi. Sementara itu, apabila pada bagian tersebut terjadi demetilasi, transkripsi RNA
26
dan ekspresi gen akan terjadi.
adalah sel mesenkim yang membentuk garis intima sinovium dan membatasi ruang cairan
sinovial dan berperan utama dalam degradasi sinovial. Jumlah FLS pada RA meningkat
drastis dan mengasumsikan bahwa ada fenotipe agresif yang berkontribusi pada kerusakan
sendi. Mekanisme agresif ini belum bisa dijelaskan, tetapi hal ini dapat terjadi karena
keterlibatan dari mutase gen p53, protein SUMO, atau disregulasi gen seperti PTEN dan
sentrin. Pola metilasi FLS pada RA dapat dibedakan dengan FLS non-RA di mana
metilasinya stabil dan tetap persisten hingga tujuh pasase yang mengindikasikan bahwa
selnya telah tercetak, bukan hanya diubah. Aktivasi FLS dapat terjadi oleh karena sitokin
proinflamatori, PGDF, dan kemokin untuk proliferasi dan menghasilkan MMP dan
26–28
ADAMTS. Agen aktivasi dapat berbeda untuk setiap situs RA.
autoimun. Stimulus antigen akan menghasilkan respon dari sel T dan sel B. Aktivasi sel T
autoantibodi terkait. Di beberapa pasien, hal ini akan berkembang menjadi inflamasi yang
dimediasi imun pada sinovium. Sel T dan sel B akan menempati regio subsinovial.
Autoantibodi yang dihasilkan sel B kemudian akan berikatan dengan antigen dan
membentuk kompleks imun yang dapat meningkatkan respon inflamasi lebih lagi melalui
aktivasi sistem komplemen. Sel T yang teraktivasi juga dapat menjadi Th1 dan Th17 yang
27
menghasilkan IL sebagai sitokin proinflamatori dan merekrut sel T lain dan neutrofil.
Analisis komponen menunjukkan bahwa terdapat pola metilasi yang spesifik sesuai
lokasi RA. Perbedaan ini dapat digambarkan dari dua kategori cetakan spesifik sendi. Yang
pertama adalah gen yang bergantung dengan penyakit. Gen yang membedakan antara RA
pinggul dan lutut adalah HOX dan WNT, yang terlibat dalam diferensiasi sel. Karena setiap
sendi memiliki fungsi biomekanis yang berbeda, FLS di setiap lokasinya telah
diinstruksikan untuk menyesuaikan kebutuhan sendi tersebut. Kategori kedua adalah jalur
spesifik penyakit, yang hanya dapat membedakan antara RA pinggul dan lutut. Jalur ini
terkait mekanisme sinyal sitokin IL-6, IL-17, dan IL-22. Hal ini relevan karena beberapa
26
sitokin, terutama IL-6, dapat menjadi target inhibitor yang efektif di RA.
2.1.6. Histopatologi
transmigrasi limfosit dan leukosit polimorfonuklear ke cairan sinovial. Hal ini disebabkan
oleh sitokin proinflamatori seperti TNF. Dengan angiogenesis, sitokin akan mengaktivasi
sel endotelial untuk memproduksi molekul adhesi yang memfasilitasi migrasi sel ke
sinovium. Cairan sinovial pada pasien RA merupakan keadaan yang hipoksik sehingga
meningkatkan produksi eikosanoid nosiseptif derivat COX-2 dan MMP yang meningkatkan
inflamasi pada sinovium. Pada fase awal, masuknya sel inflamasi ke dalam sinovium akan
meningkatkan proliferasi monosit dan penebalan membran sinovial dengan projeksi villi
27,29
kecil ke ruang sendi.
Terdapat aktivasi dan proliferasi FLS yang intens, akumulasi subsinovial dari sel T,
termasuk Th1, Th17, dan Treg. Sel B juga terakumulasi dan berdiferensiasi ke dalam sel
plasma. Jaringan reumatoid sinovial menjadi invasif dan dapat menyebabkan erosi pada
27,29
tulang.
Gambar 2.3 Gambaran Histopatologi RA 29
melibatkan dermis dan subkutis di area periartikular. Nodul ini diawali dengan fenomena
vaskulitis pembuluh darah kecil melalui fase inflamasi granuloma kronis. Ukurannya
beragam dari beberapa milimeter hingga sentimeter, terlihat seperti lesi putih fibrosa
dengan area berwarna kuning yang merupakan nekrobiosis kolagen. Terdapat area ireguler,
seperti bentuk geografis, nekrobiosis dermis dan hipodermis yang dikelilingi oleh histiosit
yang tersusun oleh palisade, limfosit terkadang, dan neutrofil. Terkadang, giant cells dan
mast cells juga didapatkan. Fibrin dan kolagen ditemukan pada daerah nekrobiosis tengah.
27
Dermis dan hipodermis di sekitarnya memiliki infiltrasi perivaskuler sel plasma.
bersifat kronik dan progresif. Gejala awalnya mencakup kekakuan, nyeri, dan bengkak pada
sendi, dan onset penyakit biasanya terjadi secara perlahan dalam beberapa minggu hingga
bulan. Beberapa pasien mungkin mengalami artralgia yang tidak kunjung sembuh sebelum
pembengkakan sendi yang tampak secara klinis. Gejala sistemik seperti kelelahan,
25,27,30
penurunan berat badan, dan demam ringan dapat menyertai penyakit aktif.
sendi aksial terbatas pada tulang belakang leher, dengan tulang belakang lumbal terhindar.
kecacatan, dan peningkatan mortalitas. Rematik palindromik, suatu pola gejala episodik,
dapat mendahului RA yang tampak secara klinis. Pasien dengan RA biasanya menunjukkan
25,27,30
karakteristik berikut:
1. Keterlibatan Sendi:
termasuk pergelangan tangan, siku, bahu, dan lutut, juga dapat terjadi.
Keterlibatan awal pada sendi kecil, berkembang ke sendi yang lebih besar.
Distal interphalangeal (DIP) bukan merupakan ciri khas RA, sehingga perlu
mempertimbangkan diagnosis banding seperti osteoartritis dan artritis
psoriasis.
b. Keluhan pasien meliputi kekakuan sendi selama satu jam atau lebih pada
dapat digunakan untuk menilai nyeri pada sendi MCP atau MTP.
seperti swan neck dan boutonniere pada jari, serta deviasi ulnar, dapat
berkembang.
2. Manifestasi Ekstraartikular
otot, mukokutan, saraf, ginjal, dan kulit. Nodul reumatoid merupakan manifestasi
ekstraartikular yang umum, terdapat pada sekitar 30% pasien, dan biasanya muncul
penyakit kronis, dan manifestasi paru juga dapat ditemukan pada sekitar 6-10%
pasien. Penyakit paru interstisial (ILD) pada 5–16% pasien, terkait dengan
sindrom Sjogren sekunder, episkleritis, dan skleritis. Manifestasi yang jarang terjadi
morbiditas dan mortalitas lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan pasien yang
tidak mengalami manifestasi ekstraartikular. Saat ini, tidak ada prediktor yang dapat
manifestasi ini sering terkait dengan faktor risiko seperti riwayat merokok,
positif, anti-CCP positif, dan keberadaan epitop terkait HLA, terutama subtipe
25,27,30
homozigot DRB1*04.
Artritis reumatoid adalah salah satu penyakit yang dapat didiagnosis dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Dalam proses diagnosis RA, anamnesis
diyakini memiliki peran signifikan sebesar 64%, sementara pemeriksaan fisik memiliki
peran sebesar 71%. Diagnosis RA biasanya melibatkan kombinasi pemeriksaan fisik, tes
pencitraan, dan tes laboratorium. Pemeriksaan ini dapat mencakup sinar-X, MRI, tes faktor
25,27,30
rheumatoid, dan tes laju endap darah (LED).
1. Pemeriksaan Klinis: Evaluasi gejala klinis seperti nyeri, kemerahan, pembengkakan,
dan keterbatasan gerakan pada pinggul dan lutut, serta pemeriksaan fisik untuk
c. Tidak adanya eritema sendi dan rasa hangat; keterlibatan pergelangan tangan
e. Penyakit kronis yang sudah lanjut dapat muncul dengan kelainan bentuk
f. Berkurangnya rentang gerak pada bahu, siku, dan lutut; kelainan bentuk kaki
2. Pemeriksaan Laboratorium:
terjadi. Neutropenia dapat terjadi pada kasus sindrom Felty yang jarang
terjadi.
b. Penanda Serologis:
dengan bagian Fc dari immunoglobulin G (IgG) dan biasanya hadir pada 75-
85% pasien dengan RA. Perlu dicatat bahwa RF juga dapat muncul dalam
kondisi selain RA, termasuk penyakit reumatik lain, infeksi, keganasan, dan
bahkan pada individu yang sehat dengan tingkat keberadaan yang bervariasi.
kompleks imun IgG. Pada kondisi patologis RA, RF dengan afinitas tinggi,
α, dari sel mononuklear darah perifer melalui reseptor Fcg IIa. Keberadaan
RF memiliki nilai prediktif yang lebih tinggi pada pasien dengan bengkak
mengandung sitrulin, suatu modifikasi dari asam amino arginin. Antibodi ini
predictive value sekitar 61%, dan positive predictive value mencapai 100%.
Lebih dari 35% pasien yang negatif terhadap RF dapat menunjukkan hasil
terutama pada pasien dengan artritis pada tahap awal. Kombinasi kedua tes
ini memberikan spesifisitas dan nilai prediksi positif yang lebih baik.
cutoff untuk ACPA dapat bervariasi tergantung pada metode uji yang
dan ACPA juga dapat ditemukan pada penyakit jaringan ikat lainnya dan
tahun.
acetaldehyde (anti-MAA).
3. Pemeriksaan Imunologi: Evaluasi respon imunologi yang terlibat, seperti tes marka
inflamasi/ reaktan fase akut sepertin protein c-reaktif (CRP) dan laju endap darah
polimorfonuklear.
meningkat.
sepenuhnya spesifik.
rontgen sendi, USG muskuloskeletal, Bone Mineral Density (BMD), serta pemeriksaan
radiologi, seperti rontgen sendi dan USG muskuloskeletal, sangat membantu dalam
diagnosis, penilaian komplikasi penyakit, dan evaluasi pengobatan RA. Penilaian awal
radiologi penting sebagai dasar untuk mengukur progresifitas penyakit, dengan perubahan
seperti osteopenia periartikular, erosi jukstaartikular, dan penyempitan celah sendi yang
merupakan tanda khas RA. Korelasi antara kerusakan sendi pada reontgen sendi dan tingkat
prognosis yang buruk. Beberapa faktor yang berhubungan dengan perubahan radiologi
yang lebih parah melibatkan durasi penyakit yang panjang, kurangnya pengobatan,
subklinis, sedangkan pemeriksaan MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap
patologi tulang, sinovial, dan jaringan lunak. Penyakit komorbid yang sering terjadi pada
pemantauan khusus dan evaluasi. Selain itu, pemantauan tekanan darah, kadar glukosa
darah, lipid, kolesterol, serum kreatinin, serta evaluasi terhadap osteoporosis sangat
penting. Keganasan juga dapat meningkat pada pasien RA, sehingga perlu dilakukan
skrining kanker dan pemeriksaan khusus tergantung pada risiko individual. Evaluasi efek
samping pengobatan, termasuk pemeriksaan darah rutin, fungsi hati dan ginjal, serta
25,27,30
pemeriksaan lain sesuai indikasi, perlu dilakukan sejak awal pemberian terapi.
Tabel 2. 3 Derajat radiologi berdasarkan Rontgen sendi pada RA berdasarkan
klasifikasi Larsen 32
penyakit yang tidak pasti dan variasi hasil pemeriksaan fisik tergantung pada pemeriksa.
menggunakan kriteria American Rheumatism Association (ARA) yang direvisi pada tahun
1987 memiliki sensitivitas sebesar 91%. Hasil laboratorium yang digunakan untuk
memiliki spesifisitas 76% tetapi sensitivitas rendah sebesar 80%. Kriteria ini memerlukan
temuan yang spesifik, seperti distribusi klasik keterlibatan sendi dan erosi radiologis, yang
tidak selalu terjadi pada fase dini penyakit, sehingga tidak ideal untuk diagnosis kasus RA
pada tahap awal. Pada tahun 2010, diperkenalkan kriteria klasifikasi baru, yaitu kriteria
ACR/EULAR 2010, yang memiliki spesifisitas lebih rendah sebesar 55%, namun
sensitivitasnya lebih tinggi mencapai 97%. Kriteria ini dirancang untuk membantu
klasifikasi kasus RA pada fase awal, dengan harapan dapat mengurangi keterlambatan
Kriteria Skor
Jumlah sendi yang terlibat
1 sendi besar 0 0
2 – 10 sendi besar 1
1 – 3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) 2
4 – 10 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) 3
>10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 5
Hasil pemeriksaan serologis
RF negatif dan ACPA negatif 0
RF positif rendah atau ACPA positif rendah 2
RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi 3
Reaktan fase akut
CRP normal dan LED normal 0
CRP abnormal atau LED abnormal 1
Durasi gejala
< 6 minggu 0
≥ 6 minggu 1
Keterangan: RF = rheumatoid factor; ACPA = Anti-Citrullinated Peptide Antibody; CRP=
C-reactive protein; LED = laju endap darah.
Catatan:
1. Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru
2. Kriteria ini digunakan pada kasus dengan minimal satu sendi yang terbukti adanya
synovitis
3. Kriteria ini digunakan untuk artritis yang tidak disebabkan penyakit lain
4. Diperlukan minimal total skor 6 dari maksimal 10 untuk klasifikasi RA
menyatakan bahwa pada pasien dengan skor <6 dan tidak memenuhi klasifikasi RA,
kondisi tersebut dapat dinilai ulang seiring berjalannya waktu, dan mungkin saja kriteria
gambaran pencitraan. Sendi besar mencakup bahu, siku, pangkal paha, lutut, dan
tangan, dan sendi interfalang ibu jari. Distal interphalangeal, sendi carpometacarpal
keterlibatan sendi tersebut dapat terjadi pada osteoartritis. Hasil laboratorium yang negatif
adalah nilai kurang dari atau sama dengan batas atas normal, sementara positif rendah
adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal tetapi kurang dari tiga kali lipat nilai
tersebut. Positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari tiga kali lipat batas atas normal.
Jika faktor reumatoid (RF) hanya diketahui sebagai positif atau negatif, hasil positif harus
dianggap sebagai positif rendah. Lamanya sakit merujuk pada keluhan pasien mengenai
25,27,30
durasi gejala sinovitis, seperti nyeri, bengkak, atau nyeri pada palpasi.
2.1.8. Tatalaksana
obatan, rehabilitasi/ terapi fisik, dan tindakan operasi penggantian sendi seperti penggantian
pinggul atau lutut jika diperlukan, serta memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarganya. Hal-hal tersebut dianggap sebagai bagian dari penanganan kondisi ini secara
efektif. Tujuan dari pengobatan ini adalah untuk mengurangi peradangan, meminimalkan
nyeri sendi dan pembengkakan, mencegah terjadinya deformitas, memulihkan fungsi sendi,
dan mencegah kerusakan jaringan yang lebih lanjut. Pendekatan komprehensif ini bertujuan
1. Pemilihan obat: Harus diberikan berdasarkan keputusan bersama antara pasien dan
dokter.
5. Kortikosteroid: Dapat diberikan secara oral atau disuntikkan pada sendi yang
6. Terapi Fisik dan Rehabilitasi: Latihan fisik dan terapi fisik dapat membantu
pembedahan seperti penggantian sendi dapat menjadi opsi. Pilihan terakhir untuk
kasus yang parah, seperti penggantian sendi (artroplasti) pada pinggul atau lutut.
Diagnosis dan terapi dini merupakan langkah yang paling penting untuk
csDMARD harus segera diberikan setelah diagnosis RA ditegakkan dengan pilihan utama
metotreksat, kecuali bila terdapat kontraindikasi atau intoleransi, dapat dipilih leflunomid,
Selama terapi MTX dibutuhkan suplemetasi asam folat dengan dosis 5mg/minggu
35,36
dan direkomendasikan 24 – 48 jam setelah penggunaan MTX.
Tabel 2. 6 DMARD untuk terapi RA 25
(dengan dosis optimal), tanpa adanya faktor prognosis buruk, maka csDMA RD lain dapat
ditambahkan sebagai terapi kombinasi. Pada pasien dengan faktor prognosis buruk, jika
target pengobatan tidak tercapai dengan csDMARD pertama, maka bDMARD dapat
37
ditambahkan sebagai terapi kombinasi atau diberikan sebagai pengganti csDMARD. Jika
pasien tidak merespon dengan bDMARD lini pertama, dapat diberikan bDMARD yang lain
baik dari kelompok anti TNF-a maupun anti IL-6 yang berbeda, atau dapat diberikan
alternatif bDMARD dari kelompok lain yaitu anti CD-20 (rituximab) dan penghambat
kostimulator sel T (abatacept). Pilihan yang lain adalah kelompok tsDMARD yaitu Janus
37
Kinase inhibitor (tofacitinib).
Gambar 2. 4 Alur Terapi Medikamentosa RA (Modifikasi dari Rekomendasi EULAR
2019) 37
Selanjutnya, terapi farmakologis ini harus diiringi dengan terapi non-farmakologis
seperti latihan fisik. Terapi latihan fisik dan rehabilitasi ini penting untuk mempertahankan
fungsi sendi dan kekuatan otot. Manfaat latihan fisik yang lain yaitu dapat menurunkan
risiko kardiovaskular karena dapat meningkatkan fungsi endotel dan memperlambat proses
aterosklerosis. Selain itu latihan fisik juga dapat berefek pada tulang yaitu menurunkan
kehilangan tulang dan meningkatkan densitas tulang pada femur, menurunkan progresi
perubahan radiologi pada sendi kecil, mengurangi depresi, meningkatkan kualitas tidur,
25,27,30
menurunkan persepsi nyeri dan meningkatkan kualitas hidup.
Latihan fisik yang dianjurkan adalah selama 30 menit setiap harinya, 5 hari dalam
seminggu dengan low-impact exercise yaitu latihan fisik yang tidak membebani sendi dan
mengurangi risiko kerusakan pada sendi. Latihan fisik seperti berjalan, bersepeda dan
berenang. Ketika memulai untuk latihan fisik yaitu dimulai dengan prinsip start low, go
slow. Selain itu, latihan aerobik juga dapat dilakukan karena meningkatkan konsumsi
oksigen (VO2 maksimal) dengan meningkatkan detak jantung hingga 50-80% dari
maksimum detak jantung. Pada penelitian yang telah dilakukan, latihan aerobik dapat
mengurangi rasa nyeri serta meningkatkan fungsi dan mengurangi kerusakan structural,
25,27,30
sehingga meningkatkan kualitas hidup.
2.1.9. Prognosis
Setiap pasien akan menghadapi beberapa eksaserbasi yang apabila tidak diobati akan
berujung pada disabilitas dan prognosis yang buruk. Pengobatan dalam waktu <6 bulan
semenjak gejala awal menunjukkan kapasitas fungsional yang baik. Akan tetapi, angka
mortalitas pada kelompok yang menerima pengobatan awal dan tidak serupa, tetapi lebih
baik secara signifikan dibandingkan tidak mendapatkan pengobatan. Sekitar 40% pasien
RA akan mengalami disabilitas fungsional terkait pekerjaan dan aktivitas sehari-hari dalam
KESIMPULAN
dan sekitarnya. Inflamasi kronis ini dapat mengganggu fungsi fisik dan kualitas hidup.
Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan hal yang penting untuk menghindari komplikasi
dan prognosis yang lebih buruk pada pasien. Tatalaksana yang tepat akan mengurangi
lanjut. Selain itu, angka mortalitas juga dapat dikurangi melalui diagnosis dan tatalaksana
1. Sparks JA. Rheumatoid Arthritis. Ann Intern Med [Internet]. 2019 Jan 1 [cited 2023 Nov
differences; On environment and its interactions with genes and immunity in the causation
of rheumatoid arthritis. J Intern Med [Internet]. 2020 May 1 [cited 2023 Nov
3. Smolen JS, Aletaha D, McInnes IB. Rheumatoid arthritis. Lancet [Internet]. 2016 Oct 22
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27156434/
4. Bullock J, Rizvi SAA, Saleh AM, Ahmed SS, Do DP, Ansari RA, et al. Rheumatoid
Arthritis: A Brief Overview of the Treatment. Med Princ Pract [Internet]. 2018 Mar 1 [cited
5. Pincus T, O’Dell JR, Kremer JM. Combination therapy with multiple disease-modifying
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10577301/
6. Koller-Smith L, Mehdi AM, March L, Tooth L, Mishra GD, Thomas R. Rheumatoid
arthritis is a preventable disease: 11 ways to reduce your patients’ risk. Intern Med J
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34553824/
7. Deane KD, Holers VM. Rheumatoid Arthritis Pathogenesis, Prediction, and Prevention: An
8. Al-Rubaye AF, Kadhim MJ, Hameed IH. Rheumatoid Arthritis: History, Stages,
9. Crowson CS, Matteson EL, Myasoedova E, Michet CJ, Ernste FC, Warrington KJ, et al.
The lifetime risk of adult-onset rheumatoid arthritis and other inflammatory autoimmune
rheumatic diseases. Arthritis Rheum [Internet]. 2011 Mar [cited 2023 Nov 12];63(3):633–9.
10. Eriksson JK, Neovius M, Ernestam S, Lindblad S, Simard JF, Askling J. Incidence of
determinants, and treatment penetration. Arthritis Care Res (Hoboken) [Internet]. 2013 Jun
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23281173/
11. Almutairi KB, Nossent JC, Preen DB, Keen HI, Inderjeeth CA. The Prevalence of
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33060323/
antibody status, number and type of affected relatives, sex, and age. Arthritis Rheum
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23897126/
observational studies. Ann Rheum Dis [Internet]. 2010 Jan [cited 2023 Nov 12];69(1):70–
14. Philippou E, Nikiphorou E. Are we really what we eat? Nutrition and its role in the onset of
rheumatoid arthritis. Autoimmun Rev [Internet]. 2018 Nov 1 [cited 2023 Nov
15. Qin B, Yang M, Fu H, Ma N, Wei T, Tang Q, et al. Body mass index and the risk of
Ther [Internet]. 2015 Mar 29 [cited 2023 Nov 12];17(1). Available from:
/pmc/articles/PMC4422605/
16. De Roos AJ, Koehoorn M, Tamburic L, Davies HW, Brauer M. Proximity to Traffic,
Ambient Air Pollution, and Community Noise in Relation to Incident Rheumatoid Arthritis.
Environ Health Perspect [Internet]. 2014 Oct 1 [cited 2023 Nov 12];122(10):1075.
17. Romão VC, Fonseca JE. Etiology and Risk Factors for Rheumatoid Arthritis: A State-of-
Kingdom). 2017;56(8):1254–63.
19. Gabriel SE, Michaud K. Epidemiological studies in incidence, prevalence, mortality, and
20. Hu Y, Sparks JA, Malspeis S, Costenbader KH, Hu FB, Karlson EW, et al. Long-term
dietary quality and risk of developing rheumatoid arthritis in women. Ann Rheum Dis.
2017;76(8):1357–64.
21. Erickson AR, Cannella AC, Mikuls TR. Clinical features of rheumatoid arthritis. In: Kelley
23. Tehlirian C V, Bathon JM. Rheumatoid arthritis: clinical and laboratory manifestations.
diagnostic criteria and long-term health risks related to polycystic ovary syndrome. Human
Reproduction. 2004;19(1):41–7.
25. Hidayat R, Suryana B, Wijaya L, Ariane A, Hellmi R, Adnan E, et al. Diagnosis dan
27. Chauhan K, Jandu JS, Brent LH, Al-Dhahir MA. Rheumatoid Arthritis. Rosen and Barkin’s
5-Minute Emergency Medicine Consult: Fifth Edition [Internet]. 2023 May 25 [cited 2023
29. Bartok B, Firestein GS. Fibroblast‐like synoviocytes: key effector cells in rheumatoid
30. Wasserman AM. Diagnosis and management of rheumatoid arthritis. Am Fam Physician.
31. Drosos AA, Pelechas E, Voulgari P V. Conventional radiography of the hands and wrists in
rheumatoid arthritis. What a rheumatologist should know and how to interpret the
33. Arnett FC, Edworthy SM, Bloch DA, McShane DJ, Fries JF, Cooper NS, et al. The
34. Neogi T, Aletaha D, Silman AJ, Naden RL, Felson DT, Aggarwal R, et al. The 2010
criteria for rheumatoid arthritis: Phase 2 methodological report. Arthritis Rheum. 2010
Sep;62(9):2582–91.
35. [Disease modifying antirheumatic drugs] - PubMed [Internet]. [cited 2023 Nov 12].
36. Firestein & Kelley’s Textbook of Rheumatology, 2 - 9780323639200 [Internet]. [cited 2023
rheumatology-2-volume-set-9780323639200.html
37. Smolen JS, Landewé RBM, Bijlsma JWJ, Burmester GR, Dougados M, Kerschbaumer A,
et al. EULAR recommendations for the management of rheumatoid arthritis with synthetic
and biological disease-modifying antirheumatic drugs: 2019 update. Ann Rheum Dis
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31969328/
38. Gwinnutt JM, Symmons DPM, MacGregor AJ, Chipping JR, Marshall T, Lunt M, et al.
Twenty-Year Outcome and Association Between Early Treatment and Mortality and
Disability in an Inception Cohort of Patients With Rheumatoid Arthritis: Results From the
39. Paul BJ, Kandy HI, Krishnan V. Pre-rheumatoid arthritis and its prevention. Eur J
40. Martin-Trujillo A, van Rietschoten JGI, Timmer TCG, Rodríguez FM, Huizinga TWJ, Tak
PP, et al. Loss of imprinting of IGF2 characterises high IGF2 mRNA-expressing type of
42.