Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

Rheumatoid on Hip and Knee, diagnostic and management

Disusun oleh:

Dengan Pembimbing:

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

UROLOGI-2

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

2023
BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rheumatoid Arthritis


2.1.1. Definisi

2.1.2. Epidemiologi

2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Rheumatoid Athritis (RA) adalah penyakit yang bersifat multifaktorial, di mana interaksi
kompleks antara faktor host dan lingkungan menentukan risiko keseluruhan terhadap kerentanan,
ketahanan, dan tingkat keparahan penyakit. Faktor host yang telah dikaitkan dengan
perkembangan RA dapat dibagi menjadi faktor-faktor genetik, epigenetik, hormonal, reproduksi,
neuroendokrin, dan faktor host lainnya yang bersifat komorbid. Sementara itu, faktor lingkungan
meliputi merokok dan paparan udara lainnya, mikrobiota dan agen infeksi, pola makan, dan
faktor-faktor sosioekonomi.1
Gambar 2.1 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis1
2.1.3.1. Faktor Host
Faktor genetik adalah salah satu faktor tuan rumah yang meningkatkan risiko
perkembangan RA. Risiko RA lebih tinggi pada saudara kandung pertama pasien RA, dan risiko
saudara kembar monozygotic dari pasien RA untuk mengembangkan RA adalah 9–15%, yang
hingga 4 kali lipat dari saudara kembar dizigotic, dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
populasi umum. Heritabilitas RA, yang merupakan kuantifikasi kontribusi genetik terhadap
penyakit, ditemukan sekitar 50–65%. Beberapa lokus antigen leukosit manusia (HLA) seperti
HLA-DRB1 telah ditemukan sangat terkait dengan RA di sebagian besar populasi. Hipotesis
epitop bersama (SE) mengusulkan bahwa sekuens dari lima asam amino pada residu 70–74
(QKRAA, QRRAA, RRRAA) dalam wilayah hipervariabel ketiga dari rantai DRß1, yang di-
encode oleh gen HLA-DRB1, memungkinkan pengikatan peptida tertentu pada molekul HLA sel
antigen-presenting (APC), yang dikenali oleh sel T, akhirnya memicu respons autoimun. Lebih
dari 100 lokus telah dikaitkan dengan peningkatan risiko RA dalam populasi trans-etnik. Risiko
RA lebih tinggi pada kasus RA yang positif ACPA dibandingkan dengan yang negatif ACPA.1
Faktor epigenetik adalah modifikasi pada molekul DNA yang dapat memengaruhi
ekspresi gen tanpa mengubah urutan DNA. Perubahan epigenetik telah diidentifikasi sebagai
faktor yang secara langsung terlibat dalam patogenesis RA, mengatur risiko perkembangan
penyakit tersebut. Perubahan epigenetik, yang mungkin diinduksi oleh rangsangan eksternal,
mengatur ekspresi gen-gen penting dan lebih lanjut menentukan risiko akhir penyakit.1
Faktor hormonal, reproduksi, dan neuroendokrin telah diinvestigasi sebagai faktor
predisposisi untuk RA. Kelebihan jumlah wanita dalam distribusi kasus RA telah mendorong
penyelidikan terhadap faktor hormonal dan yang berhubungan dengan jenis kelamin sebagai
predisposisi terhadap penyakit tersebut. Estrogen telah dijelaskan sebagai pro-inflamasi,
berlawanan dengan efek anti-inflamasi dari progesteron dan androgen, yang menurun pada
pasien RA pria dan wanita. Melahirkan, menyusui, abortus, menarche dini, usia saat kehamilan
pertama, kontrasepsi oral, dan terapi penggantian hormon semuanya telah dikaitkan dengan
peluang peningkatan, tidak berubah, atau penurunan perkembangan RA. Interaksi
neuroendokrin-imun juga telah dikaitkan dengan RA. Selama peradangan sistemik, baik aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) maupun sistem saraf otonom diaktifasi secara fisiologis
secara sentral, dalam upaya untuk menekan peradangan perifer. Hal ini dicapai melalui hormon
anti-inflamasi (kortisol, androgen adrenal) dan neurotransmitter (norepinefrin, adenosin, dan
opioid endogen). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jalur-jalur ini mengalami
disregulasi pada RA, menghasilkan lingkungan pro-inflamasi pada tingkat persendian dan
mengakibatkan sinovitis.1,2
Faktor host yang bersifat komorbid adalah kondisi-kondisi yang bersamaan dengan RA
dan dapat berkontribusi pada perkembangan atau memburuknya penyakit. Faktor-faktor ini
meliputi obesitas, dislipidemia, hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit kardiovaskular.
Obesitas terkait dengan peningkatan risiko perkembangan RA, serta dengan prognosis penyakit
yang lebih buruk. Dislipidemia, hipertensi, dan diabetes mellitus juga berkaitan dengan
peningkatan risiko perkembangan RA dan dapat berkontribusi pada perkembangan penyakit
kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien RA.3
Penyakit alergi dan pernapasan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko pengembangan
RA. Beberapa studi epidemiologi telah melaporkan peningkatan insiden RA pada populasi alergi,
dan sebagian besar studi kohort berbasis populasi berkualitas tinggi menunjukkan hubungan
yang positif antara atopi dan RA. Hal ini telah dikaitkan dengan kemungkinan mekanisme
genetik, imunologi, dan lingkungan yang sama, seperti HLA-DRB1, IL-6R, CD40L, sel
pembunuh alami, sel Th1 dan Th17, TNF, dan merokok. Penyakit pernapasan, baik akut maupun
kronis, dan pada saluran napas bagian atas atau bawah, juga telah dikaitkan dengan peningkatan
risiko RA seropositif dan seronegatif, terutama pada non-perokok. Penelitian lain telah
mengkonfirmasi hubungan antara penyakit paru obstruktif kronik dengan RA berikutnya.
Hubungan antara penyakit alergi dan pernapasan dan RA menunjukkan kemungkinan jalur
patogen yang terpisah atau saling melengkapi dalam kondisi ini.1
Penyakit yang autoimun telah diidentifikasi sebagai faktor komorbiditas yang
berhubungan dengan peningkatan risiko pengembangan RA. Penyakit-penyakit ini termasuk
lupus eritematosus sistemik, sindrom Sjogren, ankylosing spondylitis, atau tiroiditis Hashimoto.
Adanya penyakit-penyakit ini dapat meningkatkan risiko terkena RA sebesar 1,5-3 kali lipat pada
keturunan yang memiliki kondisi ini. Selain itu, pasien RA memiliki peningkatan risiko terkena
penyakit yang diperantarai oleh kekebalan tubuh lainnya, seperti psoriasis, penyakit radang usus,
dan sklerosis multipel.1
Keberadaan komorbiditas juga dapat memengaruhi pilihan pengobatan untuk RA, karena
beberapa obat mungkin menjadi kontraindikasi atau memerlukan penyesuaian dosis pada pasien
dengan komorbiditas tertentu. Oleh karena itu, pengelolaan komorbiditas adalah aspek penting
dalam perawatan pasien RA, dan hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup dan prognosis
pasien.1

2.1.3.2. Faktor Lingkungan


Faktor-faktor lingkungan berkontribusi pada perkembangan artritis rematoid (RA)
melalui berbagai mekanisme. Merokok, sebagai contoh, dapat menyebabkan sitrulinasi protein,
yang dapat mengarah pada produksi antibodi anti-protein sitrulinasi (ACPAs) yang berhubungan
dengan RA. Paparan polutan udara, seperti silika, debu tekstil, dan polusi udara, juga dapat
menyebabkan produksi ACPAs dan meningkatkan risiko mengembangkan RA. Mikrobiota dan
agen infeksi, seperti virus Epstein-Barr, telah dikaitkan dalam perkembangan RA, mungkin
melalui mimikri molekuler atau mekanisme lain.1 Pola makan juga telah diinvestigasi sebagai
faktor risiko potensial untuk RA. Diet yang kaya asam lemak omega-3, seperti ikan dan minyak
zaitun, telah dikaitkan dengan penurunan risiko mengembangkan RA. Sebaliknya, konsumsi
tinggi daging merah dan minuman bersoda yang mengandung gula telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko mengembangkan RA.4 Terakhir, faktor-faktor sosioekonomi, seperti
pendidikan rendah dan pekerja lapangan, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko
mengembangkan RA, mungkin melalui paparan faktor-faktor lingkungan berbahaya. Secara
keseluruhan, interaksi antara faktor-faktor lingkungan dan host menentukan risiko keseluruhan
terhadap kerentanan, ketahanan, dan keparahan penyakit dalam RA.1

2.1.4. Manifestasi Klinis


Penyakit autoimun sistemik yang dikenal sebagai rheumatoid arthritis merupakan kondisi
inflamasi yang menyebar ke seluruh tubuh, bersifat kronis, dan berlangsung secara progresif.
Gejala awal yang sering muncul adalah rasa kaku, nyeri, dan pembengkakan pada persendian.
Proses onsetnya biasanya berjalan lambat, berkisar antara beberapa minggu hingga beberapa
bulan.5 Ciri khas manifestasi klinisnya adalah adanya poliartritis simetrik, yang berarti
peradangan pada beberapa sendi secara bersamaan, dan gejala ini biasanya berlangsung selama
lebih dari enam minggu. Sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki, seperti metacarpophalangeal
(MCP), proximal interphalang (PIP), dan metatarsophalangeal (MTP), umumnya terlibat terlebih
dahulu. Kemudian, kondisi ini bisa memengaruhi sendi-sendi pergelangan tangan, kaki, siku,
bahu, dan lutut, bahkan dapat melibatkan seluruh sendi tubuh. Perlu diperhatikan bahwa
keterlibatan sendi distal interphalangeal (DIP) bukanlah karakteristik utama RA, sehingga jika
gejala ini muncul, diagnosis yang lebih teliti seperti osteoartritis dan artritis posiaris perlu
dipertimbangkan. Pasien sering melaporkan kekakuan pada persendian pada pagi hari yang
berlangsung selama minimal satu jam.5,6
Lutut adalah lokasi umum bagi RA, terpengaruh pada 70–80% pasien. Meskipun bukan
target awal dari penyakit ini, lutut dapat terlibat secara signifikan pada tahap-tahap selanjutnya.
Atrofi otot, kontraktur fleksi, pembengkakan besar seperti Baker's cyst, instabilitas valgus, dan
ketidakmampuan untuk berjalan adalah manifestasi klasik yang muncul pada tahap lanjut akibat
sinovitis yang agresif. Ruptur Baker's cyst dapat menyebabkan sindrom mirip tromboflebitis.
Erosi adalah manifestasi yang muncul pada tahap lebih lanjut.7
Keterlibatan awal sendi pinggul adalah hal yang jarang terjadi, tetapi dapat menyebabkan
disabilitas berat pada 50% pasien RA yang telah terdiagnosis. Ciri radiologis dari koksitis
reumatoid mencakup penurunan densitas tulang di sekitar sendi dan penyempitan kartilago
artikular yang bersifat konsentris. Sinovitis yang merusak dapat menyebabkan yang disebut
protrusio acetabuli. Nyeri pinggul pada pasien RA mungkin disebabkan oleh keterlibatan bursa,
seperti pada bursa trokanterik, ilium, atau iskium. Sinovitis pinggul yang sudah lanjut akan
mengakibatkan disabilitas berat karena pasien tidak dapat berjalan dan melakukan aktivitas
sehari-hari yang bergantung pada rotasi dan abduksi pinggul.5
Biasanya, RA disertai dengan tanda-tanda gejala konstitusional seperti rasa lemah,
demam ringan dengan suhu kurang dari 38.5°C, dan penurunan berat badan. Ketika dilakukan
pemeriksaan pada persendian, sering terlihat adanya pembengkakan, nyeri saat ditekan, perasaan
hangat pada sendi, serta keterbatasan gerakan. Terjadinya keterlibatan pada sendi yang lebih
besar, terutama pada sendi lutut, dapat mengakibatkan adanya efusi pada sendi tersebut. 8
Proses peradangan yang terjadi pada RA dapat mengakibatkan gejala di luar persendian
yang melibatkan berbagai organ seperti mata, jantung, pembuluh darah, paru-paru, hematologi,
otot, mukokutan, saraf, ginjal, dan kulit. Salah satu manifestasi ekstraartikular yang paling umum
pada AR adalah nodul reumatoid, yang ditemukan pada sekitar 30% pasien. Nodul reumatoid
adalah benjolan yang muncul di bawah kulit di atas penonjolan tulang, permukaan ekstensor,
atau di sekitar persendian. Selain itu, sindrom Sjogren, anemia penyakit kronis, dan gejala paru-
paru juga relatif sering terjadi, yaitu sekitar 6-10%.8

Organ Manifestasi Klinis

Mata Episkleritis, skleritis, konjungtivitis sika, blefaritis kronik dan ulkus


perilimbik, keratokonjuntivitis sika

Jantung dan Perikarditis, miokarditis, endokarditis, vaskulitis, gangguan konduksi


Pembuluh jantung, penyakit jantung katup, infark miokard
Darah

Paru-paru Pleuritik, penyakit paru interstisial, penyakit paru obstruktif, nodul reumatoid
pada paru, pneumokoniosis (sindrom caplan), dilatasi bronkial, efusi pleura

Hematologi Anemia (hemolitik autoimun, penyakit kronik), trombositopenia,


trombositosis, neutropenia (jika disertai splenomegali disebut sindrom Felty),
eosinofilia, large granular lymphocyte (LGL) syndrome

Otot Miositis, ruptur tendon dan ligamen

Mukokutan Nodul reumatoid, Fenomena Raynaud, Sindrom Sjogren sekunder, Eritema


palmar

Neurologi Neuropati entrapmen, mononeuritis kompleks, subluksasi servikal

Ginjal Glomerulonefritis, amiloidosis sekunder

Kulit Vaskulitis (arteritis distal dengan splinter hemorrhages, infark lipatan kuku,
dan gangren; ulserasi kutan termasuk pioderma gangrenosum; neuropati
perifer; purpura yang teraba; arteritis yang melibatkan organ dalam mirip
dengan poliarteritis nodosa; rheumatoid pachymeningitis terbatas pada dura
dan piameter)
Tabel 2.1 Manifestasi Ekstraartikular pada Pasien RA8

Gejala di ekstraartikular bisa terjadi pada hingga 50% pasien RA dan biasanya
menunjukkan prognosis yang tidak baik, yang dapat meningkatkan tingkat keparahan dan tingkat
kematian lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami gejala di
luar persendian. Saat ini, tidak ada prediksi yang dapat digunakan untuk memprediksi gejala di
luar persendian ini, tetapi diketahui bahwa gejala tersebut berhubungan dengan sejarah merokok,
keparahan penyakit sendi, peningkatan titer penanda peradangan, positif RF, positif ANA, positif
anti-CCP, dan jenis epitop terkait HLA tertentu, terutama subtipe homozigous DRB1*04.8

2.1.5. Klasifikasi

2.1.6. Patogenesis

2.1.7. Diagnosis

2.1.8. Tatalaksana

2.1.9. Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Romão VC, Fonseca JE. Etiology and Risk Factors for Rheumatoid Arthritis: A State-of-
the-Art Review. Front Med. 2021;8(November):1–20.
2. Alpízar-Rodríguez D, Pluchino N, Canny G, Gabay C, Finckh A. The role of female
hormonal factors in the development of rheumatoid arthritis. Rheumatol (United
Kingdom). 2017;56(8):1254–63.
3. Gabriel SE, Michaud K. Epidemiological studies in incidence, prevalence, mortality, and
comorbidity of the rheumatic diseases. Arthritis Res Ther. 2009;11(3).
4. Hu Y, Sparks JA, Malspeis S, Costenbader KH, Hu FB, Karlson EW, et al. Long-term
dietary quality and risk of developing rheumatoid arthritis in women. Ann Rheum Dis.
2017;76(8):1357–64.
5. Erickson AR, Cannella AC, Mikuls TR. Clinical features of rheumatoid arthritis. In:
Kelley and Firestein’s textbook of rheumatology. Elsevier; 2017. p. 1167–86.
6. Tehlirian C V, Bathon JM. Rheumatoid arthritis: clinical and laboratory manifestations.
Prim Rheum Dis. 2008;13:114–21.
7. Fauser BCJM, Tarlatzis, Fauser, Chang, Aziz, Legro, et al. Revised 2003 consensus on
diagnostic criteria and long-term health risks related to polycystic ovary syndrome. Hum
Reprod. 2004;19(1):41–7.
8. Hidayat R, Suryana BPP, Wijaya LK, Ariane A, Hellmi RY, Adnan E, et al. Diagnosis
dan Pengelolaan Artritis Reumatoid [Internet]. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
2021. 1–80 p. Available from:
https://reumatologi.or.id/wp-content/uploads/2021/04/Rekomendasi-RA-Diagnosis-dan-
Pengelolaan-Artritis-Reumatoid.pdf

Anda mungkin juga menyukai