Anda di halaman 1dari 50

1

Laporan Kasus RA1


SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

PENYAJI

: IKRAR RANANTA SIMANJUNTAK


JESSLYN FELIX
MUHAMMAD IHSAN NASUTION
EURIKA LAWRENCE
WILLIAM OMAR

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2015

LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan pada tanggal : 23 Desember 2015
Nilai :

(dr. Ayu Sitoningrum)

(dr. M. Balada Amin)

( dr. Suryadi Panjaitan, Sp. PD)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus ini dengan judul SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada PPDS
pembimbing dr. Ayu Sitoningrum dan dr. M. Balada Amin dan supervisor dr.
Suryadi Panjaitan, Sp.PD yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Sehingga, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi kebaikan penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan
kasus ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 23 Desember 2015

Penulis

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1.

Latar Belakang
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun

kronis yang paling sering ditemukan pada perempuan usia produktif yaitu usia 15
44 tahun. Menurut The Lupus Foundation of America, diperkirakan sekitar 1,5
juta penduduk Amerika menderita lupus dengan rasio perbandingan 9 : 1 antara
perempuan dan laki-laki pada setiap 100.000 penduduk.1
Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia, jumlah ODAPUS di Indonesia
meningkat dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu tercatat 8018 orang,
sementara di RS. Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien lupus dari total
pasien yang berobat ke Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Dari data
Yayasan Lupus Indonesia, ternyata di Sumatera Utara juga terdapat sebuah
komunitas lupus yang bernama Cinta Kupu yang didirikan oleh para penderita
lupus yang ada di Sumatera Utara.2
Bukti ilmiah menyatakan bahwa etiologi utama penyakit SLE belum
diketahui. Meskipun demikian, beberapa faktor seperti genetik, imunologi,
hormonal serta lingkungan diketahui dapat berperan dalam patofisiologi SLE.1
SLE

dapat

berdampak

pada

beberapa

organ,

seperti

ginjal,

muskuloskeletal, saraf, kulit, kardiovaskular, termasuk rongga mulut. Manifestasi


yang timbul pada beberapa organ tersebut dapat terjadi secara rekuren dan dapat
mengganggu kualitas hidup para ODAPUS.2
Mengacu pada hal-hal yang telah dikemukakan di atas penulis ingin
menjelaskan mengenai Systemic Lupus Erythematosus berdasarkan laporan kasus
di bangsal RA1 RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2

Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,

sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah


lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh
gigitan anjing hutan. 1
Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi
kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat
eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan
akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan
kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibody yang muncul dan organ yang
terlibat.2
1.3

Epidemiologi
Angka prevalensi lupus diperkirakan 51 kasus per 100.000 penduduk di

Amerika Serikat. Wanita sembilan kali lebih sering menderita dibanding pria, dan
orang campuran afrika-amerika dan Amerika Latin lebih sering menderitanya
dibanding orang Kaukasia. Penyakit ini lebih sering dijumpai di daerah urban
dibanding daerah pedesaan. 65% pasien dengan SLE memiliki onset penyakit
antara usia 16 hingga 55 tahun, 20% usia di bawah 16 tahun dan 15% di atas 55
tahun. 1
Pria dengan SLE cenderung kurang memiliki fotosensitifitas, lebih tampak
serositis, onset lebih tua dan angka kematian 1 tahun lebih tinggi dibanding
wanita. SLE cenderung lebih ringan pada orang usia tua dengan lebih sedikit
dijumpai tampilan ruam malar, fotosensitifitas, purpura, alopesia, Raynauds
phenomenon, serta lebih sedikit pengaruhnya pada sistem saraf dan ginjal, tetapi
lebih sering terkena serositis, keterlibatan paru, gejala sika, dan keterlibatan
musculoskeletal.1,3

1.4

Etiologi
Etiologi SLE meliputi genetik dan komponen lingkungan dengan jenis

kelamin perempuan sangat berpengaruh dalam patogenesis SLE yang ditampilkan


dalam respon imun terhadap antigen nulkear.3
1.4.1

Faktor genetik
Seseorang dengan saudara menderita SLE adalah sekitar 30 kali lebih

mungkin mengembangkan SLE dibandingkan dengan individu tanpa saudara yang


menderita. Gen yang bertanggung jawab dalam perkembangan SLE antara lain :
Tabel 1 Gen yang bertanggung jawab terhadap SLE

1.4.2. Efek Epigenetik


Risiko untuk SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik seperti metilasi
DNA dan pasca- translasi kation modifi dari histon , yang dapat berupa diturunkan
ataupun modifikasi lingkungan. Epigenetik mengacu mewarisi perubahan dalam
ekspresi gen yang disebabkan oleh mekanisme lain dari perubahan urutan basa
DNA.3
1.4.3

Faktor Lingkungan

Faktor pemicu lingkungan dari SLE termasuk cahaya ultraviolet, obatobatan, dan infeksi atau elemen virus. Sinar matahari adalah faktor yang paling
jelas yang dapat memperburuk SLE. Epstein-Barr virus (EBV) telah
teridentifikasi sebagai faktor mungkin dalam pengembangan lupus. EBV dapat
tinggal dan berinteraksi dengan sel B dan mempromosikan produksi interferon
(IFN) oleh sel dendritik plasmasitoid (pDCs), menunjukkan bahwa IFN tinggi
di lupus.3.4
Hal ini juga ditetapkan bahwa obat-obatan tertentu menginduksi
autoantibodi di sejumlah pasien. Lebih dari 100 obat telah dilaporkan
menyebabkan lupus (DIL), termasuk sejumlah yang lebih baru biologis dan agen
antivirus. Meskipun patogenesis DIL tidak dipahami dengan baik, kecenderungan
genetik mungkin berperan dalam kasus obat-obatan tertentu, terutama yang agen
yang dimetabolisme oleh asetilasi seperti procainamide dan hydralazine. Obat
yang dapat mengubah ekspresi gen dalam sel CD4 + T dengan menghambat
metilasi DNA dan menginduksi ekspresi berlebihan dari antigen LFA-1 sehingga
mempromosikan autoreactivity.3,4
1.4.4

Faktor Hormonal
Penambahan estrogen atau prolaktin dapat menyebabkan fenotipe

autoimun dengan peningkatan sel B autoreaktif tinggi yang dapat dijumpai pada
penggunaan kontrasepsi oral.
1.5

Patogenesis
Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan

lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini
termasuk :3
1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA
dalam RNA/protein self-antigen
2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T
dan Limfosit B)
3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+

4. Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun.


Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat
ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga
antigen autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa
jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti
dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan
interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte
stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu
oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan
natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor
(TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah
produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun,
dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi
komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan
Ig.3,4
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan
kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada
keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu
pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak.
Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase
kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri,
paru-paru, dan jaringan lainnya. Respon imun terhadap antigen nuklear endogen
merupakan ciri khas dari SLE. Autoantigen dirilis oleh sel apoptosis disajikan
oleh sel dendritik ke sel T menyebabkan aktivasi. Sel T diaktifkan pada gilirannya
membantu sel B untuk memproduksi antibodi dan untuk mensekresi sitokin
seperti interleukin 10 (IL10) dan IL23 dan oleh molekul permukaan sel seperti
CD40L dan CTLA-4.3
Apoptosis : sumber autoantigen dan sitokin (IFN) menginduksi apoptosis, begitu
juga dengan sinar UV menginduksi apoptosis serta kegagalan pembersihan sel
darah perifer yang apoptotic.

Asam Nukleat (DNA dan RNA) : target pada Lupus


Innate immunity
Toll-like receptors (TLRs): mengubah innate immune system receptors di
permukaan sel membrane, sitosol, dan endosom. Autoreaktif Limfosit B dan T
akan mengaktifkan TLRs dan kemudian APC (dendritic, MO, B cells) melalui
stimulasi BCR dan TLR.
Sel Dendritic: terdiri dari dua tipe yaitu plasmacytoid dendritic cells (pDCs) and
myeloid (CD11c+) DC (mDCs).
pDCs: merepresentasikan IFN factories. Pada lupus, antigen atau autoantigen
akan mengaktifkan sistem imun innate dan reseptor sel dendritik dan TLRs dan
memproduksi IFN.yang nantinya juga akan mempromosikan maturasi mDCs:
yang juga menyebabkan autoreaktif.
Interferon : sitokin pluripoten yang dihasilkan pDCs melalui TLR-dependent
and TLR-independent
Complement: aktivasi komplemen menyebabkan respon imun dalam
pembersihan sel apoptotic.
Neutrophils: pada lupus menyebabkan kerusakan vascular dan memproduksi
IFN.
Endothelial cells: pada lupus, kegagalan degradasi DNA akibat defek enzim
endonucleases (TREX1) meningkatkan akumulasi ssDNA di sel endotel dan
merangsang produksi IFN
sel T dan B : interaksi antara ligan dan reseptor sel B dan sel T termasuk CD80
dan CD86, CD28, CD40 menyebabkan diferensiasi sel B menjadi sel plasma .
sitokin yang dihasilkan sel B dan T menyebabkan kerusakan jaringan.
B lymphocyte stimulator (Blys): TNF akan merangsang Blys menyebabkan
masa hidup sel B menjadi lebih lama.
Immune complexes: pada orang sehat, kompleks imun dibersihkan melalui FcR
dan reseptor komplemen. Pada pasien lupus, variasi genetic gen FcR dan C3bi
receptor gene (ITGAM) menyebabkan kegagalan pembersihan kompleks imun
yang dapat berdeposit di bagian tubuh seperti kulit dan ginjal. 4

1.6

Manifestasi Klinis

1.6.1 Tampilan Mukokutan


Keterlibatan mukokutan hampir universal dalam SLE. Ruam-ruam malar
akut dengan tanda klasik butterfly sign yang merupakan lesi eritematosa, lesi
meninggi, pruritus atau nyeri yang umumnya dipicu oleh paparan sinar matahari.
Ruam dapat berlangsung dari hari ke minggu dan umumnya disertai dengan
manifestasi inflamasi lain dari penyakit. Tampilan ruam malar harus dibedakan
dari penyebab lain dari eritema wajah seperti rosacea, seboroik, atopik, dan
dermatitis kontak, dan glukokortikoid-induced atrofi kulit dan flushing. Ruam
kulit akut lupus erythematosus dapat bersifat sementara dan sembuh tanpa
jaringan parut, meskipun terus-menerus ruam aktif dapat mengakibatkan
telangiectasias permanen.4
Ruam subakut. Subakut lupus kulit erythematosus (SCLE) hadir dengan
annular atau lesi kulit psoriasis, dan ini sangat terkait dengan anti-Ro (SS-A) dan
anti-La (SS-B) antibodi. Pasien dengan SCLE memiliki insiden tinggi
fotosensitifitas dan di kasus yang jarang dapat hadir dengan lesi seperti eritema
multiforme (sindrom Rowell). Lesi SCLE mulai kecil, eritematosa, papula sedikit
bersisik yang berkembang menjadi psoriasiform (papulosquamous) atau bentuk
annular. Lesi ini dijumpai di bahu, lengan, leher, dan tubuh bagian atas, wajah
biasanya terhindar.4,5
Ruam kronis. Pada Diskoid lupus erythematosus (DLE), lesi berkembang
pada sampai dengan 25% dari pasien SLE. Pasien dengan DLE memiliki sekitar
risiko 5-10% dari mengembangkan SLE yang cenderung ringan. Lesi diskoid
ditandai dengan diskrit, eritematosa, sedikit plak yang ditutupi folikel rambut
(folikel plugging). Lesi ini sering terlihat di wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi
juga terjadi pada telinga, dan jarang di atas torso. Lesi ini perlahan memperluas
dengan peradangan aktif pada pinggiran, dan kemudian sembuh, meninggalkan
bekas luka, atrofi, telangiectasias, dan dyspigmentation (hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi). Diagnosis banding meliputi liken planus hipertropi, eksim, dan
actinic keratosis, serta psoriasis.4

Selain kelainan kulit, pada SLE juga dapat dijumpai alopesia.


Fotosensitifitas pada pasien SLE diakibatkan paparan sinar UV B pada 60-100%
pasien SLE. Selain itu beberapa pasien juga sensitif terhadap radiasi UVA
(dipancarkan dari mesin fotokopi atau beberapa bola lampu). Tidak semua
individu fotosensitif memiliki lupus,
tidak pula dua gangguan kausal terkait pada semua pasien SLE.
Membran mukosa. Keterlibatan membrane mukosa terjadi pada 25-45%
pasien SLE. Manifestasi umum termasuk plak putih meninggi, daerah eritema,
dan ulkus dengan eritema sekitarnya pada langit-langit atau mukosa bukal. Lesi
ini harus dibedakan dari lichen planus, kandidiasis, stomatitis aftosa, herpes
intraoral,

Penyakit

Adamantiades-Behcet,

bekas

gigitan,

leukoplakia,dan

keganasan. Ulkus oral pada SLE biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Lesi oral
mungkin tanda-tanda pertama dari lupus. Lesi diskoid khas dengan eritema atrofi
dan depigmentasi dapat terjadi pada bibir. Ulkus di hidung dan keterlibatan
mukosa napas yang menimbulkan suara serak juga dapat ditemui.4
.
1.6.2 Tampilan Muskuloskeletal
Sistem muskuloskeletal dijumpai pada 53-95% dari pasien SLE. Arthritis /
arthropathy digambarkan dengan artralgia non erosifdan non deformasi dijumpai
pada sendi kecil tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Gejala yang timbul berupa
nyeri dan kaku pada sendi. Tenosinovitis adalah awal manifestasi SLE dan tendon
pecah dijumpai pada tendon patella, tendon Achilles, kepala panjang biseps,
triseps, dan ekstensor tangan. Nodul subkutan sepanjang tendon flexor tangan
dapat ditemukan pada SLE. Sakit dada atau ketidaknyamanan sekunder untuk
kostokondritis telah dilaporkan dan kondisi lain seperti angina pectoris,
perikarditis, dan kejang esofagus harus dikesampingkan. Kambuh polychondritis
juga dapat terjadi dan biasanya merespon dosis rendah pengobatan kortikosteroid.
Myositis. Mialgia dan nyeri otot yang menyeluruh terjadi selama
eksaserbasi penyakit. Myositis melibatkan otot-otot proksimal dengan nilai serum
creatine fosfokinase (CPK) rendah (CPK) nilai dapat ditemukan pada pasien
dengan penyakit jaringan ikat termasuk SLE.4

10

Nekrosis tulang Avascular. Nekrosis avascular (AVN) dari tulang adalah


penyebab utama morbiditas dan kecacatan pada SLE. Gejala AVN terjadi pada 512% yang terjadi pada bahu, pinggul, dan lutut. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan iskemia dan nekrosis tulang termasuk fenomena Raynaud,
vaskulitis, emboli lemak, kortikosteroid, dan sindrom antifosfolipid. 4
1.6.3 Tampilan Ginjal
Keterlibatan ginjal terjadi pada 40-70% dari semua pasien SLE dan
merupakan penyebab utama morbiditas. Formasi Immune kompleks formasi di
ginjal pada peradangan intra-glomerular dengan keterlibatan leukosit dan aktivasi
dan proliferasi sel ginjal. Proteinuria berbagai tingkatan adalah fitur dominan
lupus nephritis (LN) dan biasanya disertai dengan hematuria glomerulus.4
Urinalisis adalah metode yang paling penting dan efektif untuk mendeteksi
dan memantau aktivitas penyakit ginjal. Hematuria (biasanya mikroskopik, jarang
makroskopik) menunjukkan inflamasi glomerulus atau penyakit tubulointerstitial.
Eritrosit yang terfragmentasi atau misshaped (dismorfik) dan adanya silinder
granular dan lemak. Biopsi ginjal jarang membantu diagnosis lupus, tetapi cara
terbaik untuk mendokumentasikan patologi ginjal. 4,5
1.6.4

Tampilan Sistem Saraf


SLE mempengaruhi baik sistem saraf pusat (SSP) dan

Sistem saraf perifer (PNS). Kelainan pada sistem saraf dapat dilihat pada tabel
berikut ini :4

11

Tabel 1 Dampak SLE pada saraf pusat dan perifer


1.6.5

Tampilan Kardiovaskular
Perikarditis dapat terjadi pada sekitar 25% dari pasien SLE. Efusi

perikardial mungkin asimtomatik dan biasanya ringan sampai sedang. Tamponade


jarang terjadi. Keterlibatan miokard jarang. Keluhan yang timbul berupa demam,
dispnea, takikardia, dan gagal jantung kongestif, disfungsi ventrikel kiri,
perubahan gelombang ST-T, dan fraksi ejeksi menurun ditemukan di> 80%
pasien. Selain itu juga dapat dijumpai aterosklerosis prematur dan penyakit
jantung katup. Penyakit jantung katup adalah umum pada SLE dan telah terkait
dengan adanya antibodi antifosfolipid. Gabungan kejadian stroke, emboli perifer,
gagal jantung, endokarditis infektif, dan kebutuhan untuk penggantian katup
sekitar tiga kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan penyakit katup dibandingkan
dengan mereka tanpa itu. 4
1.6.6

Pleura dan paru


Manifestasi pleuropulmonary paling umum dari SLE adalah pleuritis.

Nyeri pleuritik hadir dalam 45-60% pasien dan dapat terjadi dengan atau tanpa
efusi pleura. Efusi pleura biasanya bilateral dan merata pada hemitoraks. Tampilan

12

efusi pleura selalu eksudatif dengan glukosa yang lebih tinggi dan tingkat laktat
dehidrogenase lebih rendah dari yang ditemukan di rheumatoid arthritis.4
Lupus pneumonitis akut tampil dengan batuk, dyspnoea, nyeri pleuritik,
hipoksemia, dan demam terjadi pada 1-4%. Radiografi dada mengungkapkan
unilateral atau bilateral infiltrat. Perdarahan paru adalah jarang namun berpotensi
komplikasi parah, dan yang sering dijumpai adalah perdarahan alveolar.
Sindroma penyusutan paru ditandai dengan dyspnoea progresif dan
volume paru-paru kecil pada radiografi dada, dan diduga disfungsi diafragma.
Hipertensi paru (PH) jarang namun berpotensi mengancam jiwa.4,5
1.6.7

Lymphadenopathy and splenomegaly


Limfadenopati terjadi pada sekitar 40 % dari pasie , biasanya pada onset

penyakit atau selama penyakit. Pembesaran kelenjar getah bening biasanya lunak,
tidak nyeri, diskrit, dan biasanya terdeteksi di leher, ketiak, dan inguinal.
Splenomegali terjadi pada 10-45 % dari pasien, terutama selama penyakit
aktif, dan tidak tentu terkait dengan cytopenias. Atrofi limpa dan hiposplenisme
fungsional juga telah dilaporkan pada SLE dan mungkin predisposisi komplikasi
septik parah.5
1.6.8

Tampilan Hematologi
Manifestasi termasuk anemia, leukopenia, trombositopenia, dan sindrom

antifosfolipid Anemia pada SLE adalah umum dan berkorelasi dengan aktivitas
penyakit. Patogenesis yang meliputi anemia penyakit kronis, hemolisis (autoimun
atau mikroangiopati), kehilangan darah, ginjal insuffiefisiensi, obat-obatan,
infeksi, hipersplenisme, myelodysplasia, fibrosis myelofi, dan anemia aplastik.
Penyebab yang sering adalah supresi proses eritropoiesis dari peradangan kronis.
Anemia hemolitik autoimun telah dilaporkan hingga 10% dari pasien; pasien SLE
mungkin memiliki tes Coombs positif tanpa hemolisis yang jelas. Kehilangan
darah, baik dari gastrointestinal (GI) saluran, biasanya efek sekunder untuk obat
(non-steroid anti inflamasi-infl obat (NSAID)), atau karena perdarahan menstruasi
yang berlebihan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Anemia hemolitik

13

mikroangiopati dengan atau tanpa fitur lainnya (demam, trombositopenia,


keterlibatan ginjal, gejala neurologis) dari trombotik thrombocytopenic purpura
(TTP) telah dijelaskan dalam SLE. kehadiran schistocytes dalam apusan darah
tepi dan peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) adalah tanda khas penyakit ini.4
Leukopenia adalah umum pada SLE; jumlah sel darah putih <4500 / mm3
telah dilaporkan dalam hingga 30-40% kasus, terutama dalam penyakit aktif.
Leukopenia berat (jumlah neutrofil <500 /mm3) jarang terjadi. Lymphocytopenia
(limfosit <1500 /mm3) terjadi pada sekitar 20% pasien SLE.5
Trombositopenia ringan (trombositcounts 100 000-150 000 / mm3) telah
dilaporkan di 25-50% pasien; jumlah <50 000 / mm3 terjadi hanya 10%.
Penyebab paling umum dari trombositopenia pada SLE dimediasi penghancuran
platelet, tetapi peningkatan konsumsi trombosit juga dapat terjadi karena anemia
hemolitik mikroangiopati atau hipersplenisme.5
Idiopatik Trombositopenia Purpura (ITP) mungkin merupakan tanda
pertama dari SLE, diikuti oleh gejala lain selama bertahun-tahun kemudian.
Dalam kasus tersebut, kehadiran tinggi titer ANA atau antigen nuklir extractable
(Enas) meningkatkan kemungkinan SLE yang mendasari trombositopenia pada
lupus.5
1.6.9

Tampilan Saluran Cerna dan Hati


Manifestasi GI dilaporkan dalam 25-40% dari pasien dengan SLE.

Dispepsia dilaporkan di 11-50%, dan tukak lambung di 4-21%.Nyeri perut disertai


dengan mual dan muntah terjadi pada 30% pasien SLE. Pertimbangan khusus
harus diberikan dalam kondisi seperti peritonitis, mesenterika vaskulitis dengan
usus infark, pankreatitis, dan penyakit inflamasi usus. Faktor risiko vasculitis
mesenterika termasuk vaskulitis perifer dan SSP lupus. Tampilan klinis akan
berselang selama berbulan-bulan sebelum pengembangan perut akut dengan mual,
muntah, diare, perdarahan saluran cerna, dan demam. Pasien dengan presentasi
akut mungkin juga memiliki trombosis mesenterika dan infark, sering dihubungan
dengan antibodi antifosfolipid. Tampilan vaskulitis mesenterika termasuk
pembuluh mesenterika yang menonjol dengan penampilan seperti sisir dan loop

14

usus melebar, penebalan usus kecil dan ascites. Vaskulitis umumnya melibatkan
arteri kecil, yang dapat menyebabkan arteriogram negatif. Pankreatitis karena
lupus bisa terjadi akibat vaskulitis atau trombosis dan terjadi di sebanyak 2-8%
dari pasien. Peningkatan kadar serum amilase telah dijelaskan pada pasien dengan
SLE tanpa pankreatitis dan dengan demikian harus ditafsirkan dalam terang
pemeriksaan klinis secara keseluruhan.4
Penyakit hati mungkin lebih umum di SLE daripada yang diperkirakan
semula. Kejadian hepatomegali adalah 12-25%. Infiltrasi Lemak berlebihan
(steatosis) sering ditemukan. Fungsi hati (aspartate aminotransferase (AST),
SGPT (ALT), LDH, alkaline fosfatase) mungkin abnormal pada pasien dengan
SLE aktif atau mereka yang menerima NSAID. Istilah 'lupoid hepatitis
'sebelumnya digunakan untuk menggambarkan autoimun hepatitis karena klinis
dan serologi kesamaan dengan SLE. Autoantibodi dapat membantu untuk
membedakan antara hepatitis autoimun dan penyakit hati terkait dengan lupus.
ANAs dapat dilihat di kedua gangguan, tapi antismooth antibodi otot dan antimitokondria tidak umum di SLE (<30%) dan biasanya ketika ditemukan berada di
titer rendah. Dalam lupus terkait hepatitis histologis jarang menunjukkan
periportal hepatitis dengan sedikit demi sedikit dengan karakteristik nekrosis
hepatitis autoimun, dan kimia hati terkait cenderung lebih rendah di lupus dengan
hanya ringan (biasanya sampai tiga sampai empat kali normal) elevasi. adanya
antibodi ini dan kehadiran anti-ribosom antibodi P protein bisa menjadi sugestif
lupus hepatitis.5
Asites jarang di SLE dan, ketika terdeteksi, penyebab infeksi dan / atau
perforasi harus dikeluarkan oleh paracentesis. Gagal jantung kongestif dan
hipoalbuminemia sekunder untuk sindrom nefrotik kemungkinan penyebab lain
asites pada pasien dengan lupus. Kehilangan protein-enteropati pada beberapa
pasien dengan SLE biasanya terjadi pada wanita muda dan ditandai oleh onset
edema mendalam dan hipoalbuminemia.

1.6.10 Tampilan Mata

15

Hingga 8 % pasien SLE mengalami inflamasi arteri retina selama


perjalanan penyakit mereka. Sejumlah pasien memiliki infark retina akibat
antibodi antifosfolipid . hal ini memberikan gambaran cotton-wall spot pada
retina yang merupakan tanda patognomomis iskemik retina.Vaskulitis retina
biasanya berhubungan dengan penyakit sistemik aktif umum dan terjadi awal
dalam proses penyakit. Kornea dan keterlibatan konjungtiva biasanya merupakan
bagian dari Sjogren sindrom yang berhubungan dengan SLE ; uveitis dan scleritis
adalah manifestasi sangat langka di SLE , terlihat pada < 1 % dari pasien .
Neuritis optik jarang dan mungkin terkait dengan mielitis transversa.4
1.7

Diagnosis
Diagnosis dari lupus eritematosus sistemik didasarkan pada kriteria klinis

dan laboratorium. Kriteria yang dikembangkan oleh American College of


Rheumatology (ACR) adalah kriteria yang paling luas digunakan. Pada kriteria
ini, diagnosis dari lupus eritematosus sistemik memerlukan adanya 4 atau lebih
dari 11 kriteria, secara serial atau simultan, selama periode observasi manapun.6
Kriteria klasifikasi American College of Rheumatology untuk lupus eritematosus
sistemik, yaitu:7
1. Ruam malar
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
2. Ruam diskoid
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE
lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
3. Fotosensitivitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
4. Ulkus oral
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
5. Artritis

16

Artritis nonerosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh
nyeri tekan, begkak, atau efusia.
6. Serositis
Pleuritis: terbukti nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa, atau terdapat bukti efusi pleura, atau
Perikarditis: terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat bukti efusi perikardium.
7. Kelainan ginjal
Proteinuria menetap >0,5gram/hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan
kuantitatif, atau silinder seluler dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
glanular, tubular, atau campuran.
8. Kelainan neurologis
Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit), atau
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit).
9. Kelaian hematologi
Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau Lekopenia <4.000/mm3 pada dua
kali pemeriksaan atau lebih, atau Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih, atau Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan.
10. Kelainan imunologi
Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang banormal, atau
Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm, atau
Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
1.Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
2.Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standar, atau
3.Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6
bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
11. Antibodi antinuklear (ANA)

17

Titer

abnormal

dari

antibodi

anti-nuklear

berdasarkan

pemeriksaan

imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan


penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma
lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes
ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan
observasi jangka panjang diperlukan.
1.8

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE13


Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama

menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan manifestasi
arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

18

a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,


tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g.

Hematologi:

anemia

hemolitik,

neutropenia

(leukosit

<1.000/mm3),

trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis


vena atau arteri.
1.9

Diagnosis Banding
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan

diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang
serupa, yaitu:7
a.

Artritis reumatoid

b.

Fibromialgia (ANA positif)

c.

Sindroma Sjgren

d.

Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

e.

Purpura trombositopenik idiopatik

f.

Lupus imbas obat

g.

Undifferentiated connective tissue disease

h.

Vaskulitis

1.10

Terapi
Sampai sekarang SLE belum disembuhkan dengan sempurna. Meskipun

demikian, pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi
yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut, dan dengan demikian memperpanjang
remisi dan survival rate.8

19

Program pengobatan yang tepat sangat individual karena gambaran klinis


dan perjalanan penyakit sangat bervariasi.8
-

Edukasi

Pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya
dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Pasien perlu penjelasan mengenai
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan.. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, osteoporosis, atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit
ataupun akibat pemakaian obat-obatan.7
Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE:7
1.

Penjelasan mengenai apa itu lupus dan penyebabnya

2.

Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut

3.

Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang


berkaitan dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat,
pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun
pemakaian kontrasepsi

4.

Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien


SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait
dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi
rasa nyeri.

5.

Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian, dan sebagainya.


Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang
dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa
jenis lainnya termasuk antibiotikum.

6.

Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah


kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE,
dan sebagainya.

Farmakoterapi

20

Bentuk pengobatan SLE ditentukan antara lain oleh aktivitas penyakit.


Meskipun agak sulit ditetapkan secara tepat, aktivitas penyakit sebenarnya
merupakan gabungan antara gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium
yang mencerminkan adanya inflamasi aktif, sekunder terhadap SLE.8
NSAID dan Salisilat
NSAID terutama dipakai pada SLE dengan gejala ringan, seperti
menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi, dan jaringan lain. Sering
juga dipakai bersama-sama dengan kortikosteroid untuk mengurangi dosis
kortikosteroid. Preparat salisilat atau preparat lain seperti indometasin
(3x25mg/hari), asetaminofen (6x650mg/hari), dan ibuprofen (4x300-400mg/hari).
Ini harus disertai dengan istirahat yang cukup.8
Kortikosteroid13
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan
imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan
masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi
berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Terminologi Pembagian Kortikosteroid
Terminologi pembagian dosis korkosteroid tersebut adalah :
Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa
hari
Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam
nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan
intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3
hari berturut-turut. Masukkan methylprednisolon (500 atau 1000 mg) ke dalam

21

NaCl 0,9 % 100 cc dan diberikan dalam 1 jam. Monitor tekanan darah dan tanda
vital lain setiap 15 menit selama pemberian pulse terapi. Jika didapatkan tekanan
darah meningkat atau menurun drastis, pemberian dihentikan sementara, atasi
tekanan darah. Jika tekanan darah telah teratasi pemberian dapat dilanjutkan
dengan kecepatan yang lebih perlahan, dan tetap dimonitor. Bilas dengan NaCl
0,9% 10-20 cc setelah infus selesai. Pemberian diulang pada hari berikutnya
dengan cara dan dosis yang sama, total
pemberian 3 hari berturut-turut.
Cara pengurangan dosis kortikosteroid
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai
dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara
hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan de isiensi kortisol
yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis.
Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal.
Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi,
serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40
mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti
dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari.
Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20
mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol
aktivitas penyakit. Kortikosteroid merupakan obat yang sangat penting dalam
pengobatan SLE. Dapat digunakan secara topikal untuk manifestasi kulit, dalam
dosis rendah untuk aktivitas minor, dan dalam dosis tinggi untuk aktivitas mayor.
Pada aktivitas minor, dapat diberikan prednison ( atau ekuivalennya)
<0,5mg/kg/hari, dosis tunggal atau terbagi. Pada aktivitas mayor, dapat diberikan
secara oral yaitu prednison (atau ekuivalennya) 1mg/kgBB/hari, dosis tunggal
atau terbagi, tidak lebih lama dari 4-6 minggu, maupun secara bolus intravena
1gram (atau 15mg/kgBB/hari) metilprednisolon Na-suksinat selama 30 menit;
sering diberikan 3 hari berturut-turut.

22

Pada keadaan yang berat, terutama gangguan SSP dengan kejang-kejang


dan

psikosis,

diberikan

prednison

dosis

tinggi

(100-200mg/hari

atau

2mg/kgBB/hari).
Setelah kelainan klinis menjadi tenang, dosis kortikosteroid diturunkan
(tapering)

dengan

kecepatan

2,5-5,0mg/minggu

sampai

mencapai

dosis

pemeliharaan yang diberikan selang sehari.


Jika terdapat kelainan ginjal, perlu dilakukan biopsi ginjal untuk
memastikan jenis kerusakan ginjal. Glomerulus nefritis lupus fokal memberikan
respon yang baik terhadap pengobatan atau dapat sembuh spontan. Biasanya
diberikan prednison atau prednisolon 40-60mg/hari selama beberapa minggu
sampai gejala klinis menghilang, diteruskan dengan dosis pemeliharaan.
Pada kerusakan fokal yang berat, glomerulonefritis difus atau membranos,
pemberian dosis tinggi (prednison atau prednisolon 150-200mg/hari) ternyata
dapat memberikan perbaikan pada beberapa pasien.3
Obat

antimalaria

efektif

dalam

mengatasi

manifestasi

kulit,

muskuloskeletal, dan kelainan sistemik ringan pada SLE. Preparat yang paling
sering dipakai ialah klorokuin atau hidroklorokuin dengan dosis 200-500mg/hari.
Selama pemakaian obat ini pasien harus kontrol ke Ahli Mata setiap 3-6 bulan,
karena adanya efek toksik berupa degenerasi makula. Mekanisme kerjanya belum
diketahui, tetapi beberapa kemungkinan telah diajukan seperti antiinflamasi,
imunosupresif, fotoprotektif, dan stabilisasi nukleoprotein. Klorokuin mengikat
DNA, sehingga tidak dapat bereaksi dengan anti-DNA.8
Biasanya

obat

imunosupresif

diberikan

bersama-sama

dengan

kortikosteroid. Pemakaiannya didasarkan atas efeknya terhadap fungsi imun.


Penggunaan obat imunosupresif sebenarnya masih diperdebatkan. Umumnya
hanya dianjurkan pada kasus gawat atau lesi difus dan membranosa ginjal yang
tidak memberikan respons baik terhadap kortikosteroid dosis tinggi.
Yang paling sering dipakai ialah azatropin dan siklofosfamid. Dosis awal
azatropin

adalah

3-4mg/kgBB/hari

(maksimum

200mg/hari),

diturunkan menjadi 1-2mg/kgBB/hari jika timbul gejala toksik.

kemudian

23

Siklofosfamid diberikan dengan dosis 100-500mg/hari. Diduga efek kedua obat


ini pada SLE lebih bertindak sebagai antivirus daripada sebagai obat
imunosupresif.8
-

Pengobatan Terhadap Komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah infeksi sekunder. Pada sistem


kardiopulmoner mungkin timbul gagal jantung karena miokarditis, efusi pleura
dan perikard sampai tamponade jantung yang memerlukan perikardiektomi.
Kelainan ginjal dapat berupa kegagalan ginjal ringan sampai berat. Dalam
keadaan ini dipertimbangkan pemberian diuretik, obat antihipertensi, dan
mungkin juga dilakukan dialisis serta transplantasi ginjal. Ada juga yang
menganjurkan

pemberian

antikoagulan.

Heparin

diberikan

dalam

dosis

antikoagulasi, kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 250mg/hari


subkutan.
Terhadap kejang-kejang yang timbul akibat gangguan susunan saraf pusat,
diberikan obat-obat antikonvulsi.8
1.11

Indikasi Rujuk
Lupus eritematosus sistemik termasuk ke dalam kompetensi IIIA yang

artinya lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.9
Tatalaksana yang sesuai untuk SLE membutuhkan partisipasi aktif dari
reumatologis. Keparahan dari keterlibatan organ menunjukkan rujukan ke
subspesialis lainnya, seperti nefrologis dan pulmonologis.10
1.12

Prognosis
Prognosis dari SLE sangat bervariasi. Namun secara umum angka

morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi. Angka kesintasan (survival) SLE


untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun masing-masing adalah 93-97%, 8495%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%.11 Perjalanan penyakit lebih ringan dan

24

survival rate lebih tinggi pada pasien dengan keterlibatan kulit yang terisolasi dan
muskuloskeletal dibandingkan pada yang dengan penyakit ginjal dan penyakit
SSP.12

25

BAB II
STATUS ORANG SAKIT
Nomor RM : 00.66.09.59
Tanggal Masuk: 16 Desember 2015
Jam: 15.00WIB
Ruang: RA1 III 3 bed 1

Dokter Ruangan:
dr. Darmadi
Dokter Chief of Ward:
Dr. Ayu/ Dr. Taufiq/ Dr. Julahir
Dokter Penanggung Jawab Pasien

ANAMNESIS PRIBADI
Nama

: Nuraini

Umur

: 26 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Status Perkawinan

: Sudah Menikah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Suku

: Melayu

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Sei Belutu I GG Romi 17 Medan

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan utama

: Bercak-bercak merah kehitaman pada wajah

Telaah

Hal ini dialami pasien sejak 7 bulan yang lalu, awalnya bercak hanya sedikit

namun lama kelamaan meluas hingga berbentuk seperti kupu-kupu. Bercak ini
terasa panas dan semakin merah jika terkena sinar matahari. Bercak merah
kehitaman tersebut juga timbul di dada, punggung, lengan atas kiri dan kanan.

Rambut rontok diakui sejak 7 bulan yang lalu

26

Demam(+) bersifat hilang timbul, hilang dengan obat penurun demam,


berlangsung 7 bulan.

Penurunan BB diakui sebanyak 15kg dalam 7 bulan ini.

Riwayat bercak putih di lidah diakui 6 bulan yang lalu

Riwayat nyeri sendi (+) 6 bulan lalu, tidak berhubungan dengan aktivitas dan
cuaca.

Riwayat haid memanjang (+) selama 3 bulan tidak berhenti.

Riwayat pendarahan saat melahirkan (-), gusi berdarah (-).

Sebelumnya os mengaku sering keluar masuk RS PB karena demam dan


pernah mendapat transfusi darah karena Hbnya rendah.

Keluarga os mengaku ingatan os terganggu 1 bulan yang lalu.

BAK (+) normal, BAB (+) normal.

RPT

Tidak ada

RPO

Tidak ingat nama obat

27

ANAMNESIS ORGAN
Jantung

Sesak Napas: Angina Pektoris: -

Edema: Palpitasi: Lain-lain: -

Saluran Pernafasan

Batuk-batuk: Dahak : -

Asma, bronkitis: Lain-lain: -

Saluran Pencernaan

Nafsu Makan: Berkurang


Keluhan Menelan: Keluhan Perut: -

Penurunan BB: 15kg


Keluhan Defekasi: Lain-lain: -

Saluran Urogenital

Sakit BAK: Mengandung batu: Haid: memanjang

BAK tersendat: Keadaan urin: Normal


Lain-lain:-

Sendi dan Tulang

Sakit Pinggang: Keluhan Persendian: +

Keterbatasan Gerak: Lain-lain: -

Endokrin

Haus/Polidipsi: Poliuri: Polifagi: -

Gugup: Perubahan suara: +


Lain-lain: -

Saraf Pusat

Sakit Kepala: -

Hoyong: +
Lain-lain: -

Darah dan Pembuluh Pucat:+


Petechiae: Darah

Perdarahan: +
Purpura: Lain-lain: -

Sirkulasi Perifer
ANAMNESIS FAMILI

Claudicatio Intermitten: -

Lain-lain: -

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK


STATUS PRESENS
Keadaan Umum

Keadaan Penyakit

28

Sensorium : Compos Mentis


Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 80 x/i, reg/irreg, t/v: cukup
Pernafasan : 28 x/i
Temperatur : 36.5C

Pancaran Wajah: Pucat


Sikap Paksa : Refleks Fisiologis : ++
Refleks Patologis : -

Anemia(+), Ikterus (-), Dispnu (-)


Sianosis (-), Edema (-), Purpura (+)
Keadaan Gizi: Gizi lebih
BW =

BB

Turgor Kulit: Baik/ Sedang / Jelek


TB = 160 cm

x 100 % = 63,5 %

TB-100

60

BB = 63,5 kg

BW = 105,8 %
IMT: 24.8 kg/m2 Kesan: Overweight

KEPALA:
Wajah : makula eritematous
Mata :konjungtiva

palpebra

pucat

(+/+),

ikterus

(-/-),

pupil:

isokor/unisokor,ukuran: 3 mm, refleks cahaya direk (+/+) / indirek (+/+)


Telinga: dbn, otorrhea (-), otalgia (-)
Hidung: dbn, deviasi septum (-), rinorrhea (-)
Mulut : lidah

: bercak putih (+)

gigi geligi

: edentulous, gusi berdarah (-)

tonsil/faring

: faring terangkat, tonsil tidak meradang

LEHER:

29

Struma membesar/ tidak membesar, tingkat: (-) , nodular / multi nodular / diffuse
Pembesaran kelenjar limfa (-), lokasi: (-) , jumlah (-), konsistensi (-), mobilitas:(-),
nyeri tekan (-)
Posisi trakea: medial, TVJ: R-2 cm H2O
Kaku kuduk (-), lain-lain: _
THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk

: Simetris fusiformis

Pergerakan

: Simetris, tidak ada ketinggalan bernapas

Palpasi
Nyeri tekan

: Tidak ada

Fremitus suara: SF kanan : SF kiri = SF kanan kesan normal


Iktus

: Tidak terlihat, teraba ICS V 1 cm medial LMCS

Perkusi
Paru

: Sonor paru kanan dan kiri

Batas Paru-Hati R/A

: ICS V LMCD/ ICS VI LMCD

Peranjakan

: 2 cm

Jantung
Batas atas jantung

: ICS III Sinistra

Batas kiri jantung

: ICS V 1 cm medial LMCS

Batas kanan jantung

: ICS V LPSS

Auskultasi
Paru
Suara pernafasan : Vesikuler melemah pada lap paru kiri
Suara tambahan
Jantung

: Tidak ada

30

M1 > M2, P2 > P1, T1 > T2, A2 > A1, desah sistolis (-), tingkat (-)
Desah diastolis (-), lain-lain: (-)
HR: 80 x/menit, reg/irreg, intensitas: cukup
THORAX BELAKANG
Inspeksi

: Simetris fusiformis, gibbus (-),

Palpasi

: SF kiri = SF kanan, kesan normal

Perkusi

: Sonor paru kanan dan kiri

Auskultasi

Suara pernafasan : Vesikuler melemah pada lap paru kiri


Suara tambahan

: Tidak ada

31

ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk

: Simetris

Gerakan Lambung/Usus

: Tidak terlihat

Vena Kolateral

: Tidak dijumpai

Caput Medusae

: Tidak dijumpai

Palpasi
Dinding Abdomen

: Soepel; Massa (-)

HATI
Pembesaran

:-

Permukaan

:-

Pinggir

:-

Nyeri tekan

:-

LIMFA
Pembesaran

: (-), Schuffner: (-), Haecket: (-)

GINJAL
Ballotement

: (-), Kiri / Kanan, lain-lain : (-)

UTERUS/OVARIUM : Tidak teraba


TUMOR

: Tidak dijumpai

Perkusi
Pekak Hati

:+

Pekak Beralih

:-

Auskultasi
Peristaltik usus

: Normoperistaltik

Lain-lain

:-

32

Pinggang
Nyeri Ketuk (-), Kiri / Kanan
INGUINAL

: Pembesaran KGB (-)

GENITALIA LUAR : Tidak dilakukan pemeriksaan


PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT) : Tidak dilakukan pemeriksaan
ANGGOTA GERAK ATAS
D\eformitas

sendi -

:
Lokasi
Jari Tabuh
Tremor Ujung Jari
Telapak tangan sembab
Sianosis :
Eritema
palmaris
Lain-lain

:
:
:
:

Bercak eritematous di lengan atas

:
kiri dan kanan

33

ANGGOTA GERAK BAWAH

Kiri

Kanan

Edema:
Arteri Femoralis :
Arteri Tibialis Posterior :
Arteri Dorsalis Pedis :
Refleks KPR :
Refleks APR :
Refleks Fisiologis :
Refleks Patologis :
Lain-lain :

+
+
+
++
++
++
-

+
+
+
++
++
++
-

Pemeriksaan Laboratorium Rutin


Darah
Hb:8,40g/dL

Kemih
Warna: Kuning Jernih

Tinja
Warna: -

Eritrosit: 3,29x106/mm3

Protein: -

Konsistensi: -

Leukosit:7,12x103/mm3

Reduksi: -

Eritrosit:-

Trombosit: 193x103/mm3

Bilirubin: -

Leukosit:-

Ht: 25,50%

Urobilinogen: +

Amoeba/Kista:-

Limfosit: 19.20%

Sedimen

Telur Cacing

Monosit:4.50 %

Eritrosit: - /lpb

Ascaris: -

Eosinofil: 0.10%

Leukosit: - /lpb

Ankylostoma: -

Basofil:2.200 %

Epitel: - /lpb

T. Trichiura: -

Silinder: - /lpb

Kremi: -

Neutrofil:74.00 %

Kesan: Anemia
Normokrom

Kimia Klinik

34

Albumin: 1,0 g/dL

Asam urat: 6,5 mg/dL

Ureum: 52,40 mg/dL

Natrium: 128 mEq/L

Kreatinin: 0,98 mg/dL

Kalium: 3,5 mEq/L


Klorida: 100 mEq/L

Bilirubin Total: 0,13 mg/dL


Bilirubin Direk: 0,05 mg/dL
Fosfatase alkali (ALP): 31 U/L
AST/SGOT: 23 U/L
ALT/SGPT: 12 U/L
Gamma-GT: 18 U/L
Protein Total: 3,5 gr/dL
Faal Hemostasis
Waktu Protrombin: 13,5 detik
INR: 0,96
aPTT: 28,0 detik
Waktu Trombin: 24,9 detik
Fibrinogen: 135 mg/dL
D-Dimer: 758 ng/Ml

35

RESUME
Keluhan Utama : bercak merah kehitaman pada wajah.
Telaah : hal ini telah dialami os selama 7 bulan
yang semakin panas dan memerah jika terkena sinar
matahari. Bercak juga timbul di punggung, dada,
ANAMNESIS

lengan atas kiri dan kanan. Rambut rontok (+),


penurunan BB (+) 15kg sejak 7 bulan yang lalu.
Riwayat bercak putih (+), nyeri sendi (+), sejak 7
bulan yang lalu. haid memanjang (+) selama 3 bulan
tidak berhenti, ingatan os terganggu (+) sejak 1 bulan
yang lalu.
Keadaan Umum : Baik / Sedang/Buruk

STATUS PRESENS

Keadaan Penyakit : Ringan / Sedang / Berat


Keadaan Gizi : Kurang/Normal/Berlebih
Kepala

PEMERIKSAAN FISIK

Wajah : makula eritematous


Mata : conjunctiva palpebra inferior anemis (+/+)
T/H/M : dbn/dbn/dbn
Thorax
Inspeksi

: Simetris fusiformis

Palpasi

: SF kiri = SF kanan

Perkusi

: Sonor

Auskultasi

Suara pernafasan

vesikuler

lapangan paru kiri


Suara tambahan

: (-)

Abdomen
Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, H/L/R; ttb

melemah

pada

36

Perkusi : timpani
Auskultasi : normoperistaltik
Ekstremitas
Makula eritematous di lengan atas sinistra dan dextra,
edema(-)
Hb:8,40g/Dl
Eritrosit: 3,29 x106/mm3
Leukosit:7,12 x103/mm3
Trombosit: 193 x103/mm3
Ht: 25,50%
Neutrofil:74.00 %
Limfosit: 19.20%
Monosit:4.50 %
Eosinofil: 0.10%
Basofil:2.200 %
LABORATORIUM
RUTIN

Kesan: Anemia Normokrom


Warna: Kuning Jernih
Protein: Reduksi: Bilirubin: Urobilinogen: +
Sedimen
Eritrosit: - /lpb
Leukosit: - /lpb
Epitel: - /lpb
Silinder: - /lpb

37

1. SLE
DIAGNOSIS BANDING

DIAGNOSIS

2. Dermatomiositis
3. NPSLE
SLE berat

SEMENTARA
Aktivitas : Tirah baring
Diet

: Diet MB

Tindakan Suportif : IVFD NaCl 0.9% 20gtt/menit


Medikamentosa:
PENATALAKSANAAN

Levofloxacin 1x500mg tab


Inj Ranitidine 50mg/12jam/IV
Inj Methilprednisolon 500 mg dalam 100cc NaCl
0,9% habis dalam 1 jam lalu bilas NaCl 0,9% 2030gtt/i

Rencana Penjajakan Diagnostik / Tindakan Lanjutan


1. Darah lengkap, LED
2. ANA test dan subtype ANA
3. Anti DS DNA, anti smith
4. PT, APTT, TT
5. Rheumatoid faktor
6. Foto thorax
7. LFT test
8. EKG

38
BAB III
FOLLOW UP

Tgl

16/12/

Nyeri sendi(-)

Sens: Compos Mentis, disorieantasi (+)

2015

Mual(-)

TD :160/100 mmHg

Demam(-)

Nadi:80x/mnt, reguler, t/v: cukup

Lemas(-)

RR: 28x/mnt; Temp: 36.5 C


Mata: conj.palb.inf.pucat (+/+), sklera ikterik
(-/-)

SLE berat
Anemia penyakit

Terapi
Tirah baring + pakai

kronik
NPSLE
Susp. Lupus nefritis

masker
Diet MB
IVFD NaCl0.9% 20

gtt/i
Inj. Ranitidine

50mg/12jam/IV
Inj. Metilprednisolon

Leher: TVJ R-2cmH2O, trakea medial,

500mg dalam 100cc

pembesaran KGB (-)

NaCl 0,9% habis

Thorax: SP: Vesikuler melemah lap.paru kiri,

dalam 1 jam diberikan

ST: (-)

selama 3 hari (H2),

Abdomen: soepel, H/L/R tak teraba, timpani,

bilas dengan NaCl

peristaltik (+) normal

0,9% 2 0-30cc
Levofloxacin 1x500mg

Ekstremitas: edema (-/-)

R/

Diagnostik
Foto Thorax

39

Informed consent
Siklofosfamide

16/12/
2015

750mg
konsul Neurologi
konsul Kedokteran

Psikiatri
konsul Nefrologi

Ekpertisi hasil foto thorax


Sudut costofrenikus dan diafragma kiri berselubung, sinus dan diafragma kanan licin
Tampak perselubungan di lapangan bawah paru kiri
Jantung ukuran membesar, CTR : 57,12
Trakea di tengah
Tulang tulang dan soft tissue baik
Kesimpulan: suspek pleuralefusion kiri, kardiomegali

16/12/
2015
17/12/
2015

Jawaban konsul Neurologi


A: disartria + Parese nervus VII tipe UMN dex dd/ stroke iskemik dd/ stroke hemoragik
P: sesuai terapi sebelumnya
Anjuran: Head CT-Scan non kontras
Lupa ingatan
Sens: Compos Mentis
SLE berat
Anemia penyakit
(+)
TD :160/100 mmHg
Bingung (+)

Nadi:84x/mnt, reguler, t/v: cukup

kronik
Efusi pleura kiri

Tirah baring + pakai

masker
Diet MB
IVFD NaCl0.9% 20

40
Hoyong (+)

RR: 20x/mnt; Temp: 36.5C


Mata: conj.palb.inf.pucat (+/+), sklera ikterik
(-/-)
Leher: TVJ R-2cmH2O, trakea medial,
pembesaran KGB (-)

NPSLE
Susp. Lupus nefritis
Hiponatremia (128)

hipoosmolar
Hipoalbuminemia

berat (1,0)
Disartria + PN VII

Thorax: SP: Vesikuler melemah lap.paru kiri,

UMN dex ec

ST: (-)

dd/stroke iskemik

Abdomen: soepel, H/L/R tak teraba, timpani,

dd/stroke hemoragik

peristaltik (+) normal


Ekstremitas: edema (-/-)

gtt/i
Inj. Ranitidine

50mg/12jam/IV
Inj. Metilprednisolon
500mg dalam 100cc
NaCl 0,9% habis
dalam 1 jam diberikan
selama 3 hari (H2),
bilas dengan NaCl

0,9% 20-30cc
Levofloxacin 1x500mg
Drips Albumin 20gtt
1fls/hari

17/12/

Pasien dan keluarga telah berunding dan menolak pemberian Siklofosfamide

2015
17/12/

(sudah menandatangani lembar penolakan)


Jawaban konsul Nefrologi

2015

A: AKI std RISK + HT stg II + hiponatremia + SLE berat +NPSLE + efusi pleura kiri + anemia ec peny.kronik + hipoalbuminemia
P:

Tirah baring
Diet MB
IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i
Valsartan 1x160mg

R/ Urin 24 jam, USG ginjal

41
17/12/

Jawaban konsul Kedokteran Psikiatri

2015

A: gangguan mental organik

18/12/

P: sesuai terapi sebelumnya, belum diperlukan tambahan terapi dari bagian jiwa
Bingung (+)
Sens: Compos Mentis
SLE berat
Anemia penyakit
Lupa ingatan(+) TD :140/90 mmHg

2015

Nadi:72x/mnt, reguler, t/v: cukup


RR: 16x/mnt; Temp: 36,0C
Mata: conj.palb.inf.pucat (+/+), sklera ikterik
(-/-)
Leher: TVJ R-2cmH2O, trakea medial,
pembesaran KGB (-)
Thorax: SP: Vesikuler melemah lap.paru kiri,
ST: (-)
Abdomen: soepel, H/L/R tak teraba, timpani,
peristaltik (+) normal
18/12/

Tirah baring + pakai

kronik
Efusi pleura kiri
NPSLE
Susp. Lupus nefritis
Hiponatremia (128)

masker
Diet MB
IVFD NaCl0.9% 20

gtt/i
Inj. Ranitidine

hipoosmolar
Hipoalbuminemia

50mg/12jam/IV
Metilprednisolon 4mg

berat (1,0)
Disartria + PN VII

4tab-4tab-4tab
Levofloxacin 1x500mg
Valsartan 1x160mg
Drips Albumin 20gtt

UMN dex ec
dd/stroke iskemik
dd/stroke hemoragik

Ekstremitas: edema (-/-)


Pasien dan keluarga meminta pulang atas permintaan sendiri.

2015
Teori
Epidemiologi
Wanita sembilan kali lebih sering menderita dibanding

Pasien

1fls/hari

42
pria. Penyakit ini lebih sering dijumpai di daerah urban Pasien pada kasus ini berjenis kelamin
dibanding daerah pedesaan. 65% pasien dengan SLE perempuan dan berusia 26 tahun
memiliki onset penyakit antara usia 16 hingga 55 tahun,
20% usia di bawah 16 tahun dan 15% di atas 55 tahun. 1

Manifestasi Klinis
SLE dapat menimbulkan gejala konstitusional berupa
demam, fatigue ,penurunan berat badan dll. Selain itu
SLE dapat bermanifestasi sebagai kelainan yang tampak
pada sistem mukokutan, musculoskeletal, ginjal,
kardiovaskular, pleura dan paru, saluran cerna dan hati,
saraf serta hematologi .

Pasien pada kasus ini ,mengalami


demam dan penurunan berat badan
(gejala konstitusional) ,bercak merah
kehitaman pada wajah dan tubuhnya
(mukokutan), adanya riwayat nyeri
sendi (musculoskeletal), adanya efusi
pleura pada paru kiri (pleura dan
paru), disarthria dan parese NVII tipe
UMN (saraf) , gangguan mental
organic, gangguan pada ginjal,
cardiomegali serta anemia.

Diagnosis
Diagnosis dari lupus eritematosus sistemik Pasien pada kasus ini dijumpai adanya
didasarkan pada kriteria klinis dan laboratorium. 8 dari 11 kriteria ACR yaitu:
Kriteria yang dikembangkan oleh American College of

1. Ruam malar

43
Rheumatology (ACR) adalah kriteria yang paling luas

2. Fotosensitivitas

digunakan. Pada kriteria ini, diagnosis dari lupus

3. Ulkus oral

eritematosus sistemik memerlukan adanya 4 atau lebih

4. Artritis

dari 11 kriteria, secara serial atau bersamaan, selama

5. Serositis

periode observasi manapun.

6. Kelainan ginjal

Kriteria klasifikasi American College of Rheumatology

7. Kelainan neurologis

untuk lupus eritematosus sistemik, yaitu:

8. Kelaian hematologi

1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas.
4. Ulkus oral
5. Artritis
6. Serositis
7. Kelainan ginjal
8. Kelainan neurologis
9. Kelaian hematologi
10. Kelainan imunologi
11. Antibodi antinuklear (ANA)

Kategori ringan berat


Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat

44
sampai mengancam nyawa.

Berdasarkan manifestasi klinis yang

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

dialami pasien pada kasus ini, terlihat

1. Secara klinis tenang

keterlibatan dari jantung, paru, ginjal,

2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam kulit dan saraf sehingga dapat
nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru,
jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi,
hematologi dan kulit. Contoh SLE dengan manifestasi
arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang
manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I
dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila
ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah
ini, yaitu:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri
koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi
maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru,

dikategorikan sebagai SLE berat

45
pneumonitis,

emboli

paru,

infark

paru,

fibrosis

interstisial, shrinking lung.


c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau
melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma,
stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis,
neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura
trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

Penatalaksanaan
Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa didahului
dengan pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg
sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut ditambah
dengan pemberian obat kelompok imunosupresan yaitu
siklofosfamid intravena 0.5 - 0.75 g / bulan x 7 dosis
untuk memberikan hasil pengobatan yang baik.

Pasien pada kasus ini diberi terapi:

Tirah baring + pakai masker


Diet MB
IVFD NaCl0.9% 20 gtt/i
Levofloxacin 1x500mg tab
Inj Ranitidine 50mg/12jam/IV
Inj Methilprednisolon 500 mg
dalam 100cc NaCl 0,9% habis

46
dalam 1 jam lalu bilas NaCl 0,9%
20-30gtt/i
*** pasien menolak pemberian
siklofosfamid

47
BAB IV
KESIMPULAN
Os ibu Nuraini, 26 tahun, datang dengan keluhan bercak merah kehitaman pada wajah, punggung, dada, lengan atas kiri dan
kanan dan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, Os didiagnosis dengan Sistemik Lupus Eritomatosus dan
mendapat terapi :

Tirah baring + pakai masker


Diet MB
IVFD NaCl0.9% 20 gtt/i
Levofloxacin 1x500mg tab
Inj Ranitidine 50mg/12jam/IV
Inj Methilprednisolon 500 mg dalam 100cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam lalu bilas NaCl 0,9% 20-30gtt/i

48
DAFTAR PUSTAKA
1. Somers, Emily. 2014. Population-Based Incidence and Prevalence of Systemic Lupus

Erythematosus. Arthritis and Rheumatology;

66(2):369-378
2. Yayasan Lupus Indonesia. Lupus di Indonesia. http://yayasanlupusindonesia.org/ (24

Oktober 2015)

3. C C Mok, C S Lau. 2013. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin

Pathol;56:481490

4. George Bertsias, Ricard Cervera, Dimitrios T Boumpas. 2012. systemic lupus

erythematosus : pathogenesis and clinical feature

Eular: 476-494
5. James M., Anna M. 2003. Diagnosis of systemic lupus erythematosus. American Family Physician; 68(11): 2180-2183
6. Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters DT. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. American Academy of Family Physicians.
2003; 68(11): 2179-2186.
7. Kasjmir YI, et al. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis
Perhimpunan Reumatologi

dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.

Indonesia. 2011.

8. Albar Z. Lupus Eritematosus Sistemik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit FK

UI. Jakarta: 1996.

9. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: 2012.


10. Hellman DB, Imboden Jr JB. Arthritis & Musculoskeletal Disorders. Current Medical

Diagnosis & Treatment 47ed. United States of

America: The McGraw-Hill Companies, Inc,2008;703-756.


11. Rosani S, Isbagio H. Lupus Eritematosus Sistemik. Kapita Selekta Kedokteran 4ed.

Jakarta: Media Aesculapius,2014; 842-845.

12. Bartels CM, Muller D. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Medscape. Accessed

from:

http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#a6
13. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi

Indonesia. 2011.

Anda mungkin juga menyukai