Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan
kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia
terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari
100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya.
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik
utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda beda
berpariasi antara 2.9/100 000 sampai 400/100 000. SLE ditemukan pada
berbagai usia, tetapi paling banyak ditemukan pada 15 40 tahun. ( Masa
Reproduksi ) Kejadian kasus pada wanita lebih besar dibandingkan pada Pria
berkisar antara 9 : 1.
Penyebab dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas.
Namun demikian terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat
multifactor. Yaitu mencakup pengaruh factor lingkungan, factor genetic dan
hormonal terhadap Respon imun. Faktor genetic mempunyai pengaruh penting
dalam kerentanan dan ekpresi penyakit. Sekitar 10 % - 20 % pasien SLE
mempunyai kerabat dekat yang juga menderita SLE. Penelitian menunjukkan
bahwa banyak gen yang berperan terutama yang mengkode system Imun
seperti gen yang mengkode reseptor sel T, Imunoglobulin dan sitokin.
Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah
faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis obat,
dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah
sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Saat bepergian, penderita
memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar
matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Mengurangi asupan lemak
untuk meningkatkan penyerapan kalsium, hindari sumber radikal bebas,
mengkonsumsi antioksidan dalam jumlah yang memadai, mengurangi
kelebihan berat badan (overweight/obesitas), memperbanyak mengkonsumsi
buah dan sayur untuk mendapat sumber beta karoten, vitamin C alami dan zinc
1

(tiram dan hasil laut lainnya) untuk meningkatkan sistem imun, dan minum
sekurang-kurangnya 1,5-2 liter air/hari untuk memastikan ginjal berfungsi
secara optimum.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari sistemik lupus erythematosus ?
2. Bagaimana etiologi dari sistemik lupus erythematosus ?
3. Bagaimana patofisiologi dari sistemik lupus erythematosus ?
4. Bagaimana WOC dari sistemik lupus erythematosus ?
5. Bagaimana tanda dan gejala dari sistemik lupus erythematosus ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari sistemik lupus erythematosus ?
7. Bagaimana penatalaksaan therapy sistemik lupus erythematosus ?
8. Bagaimana prognosa dari sistemik lupus erythematosus?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sistemik lupus erythematosus.
2. Untuk mengetahui etiologi dari sistemik lupus erythematosus.
3. Untuk mengetahui patofosiolgi dari sistemik lupus erythematosus.
4. Untuk mengetahui WOC dari sistemik lupus erythematosus.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari sistemik lupus erythematosus.
6. Untuk

mengetahui

pemeriksaan

penunjang

dari

sistemik

lupus

erythematosus.
7. Untuk mengetahui

penatalaksanaan therapy untuk sistemik lupus

erythematosus.
8. Untuk mengetahui prognosa dari lupus erythematosus.

BAB II
2

PEMBAHASAN
A. Pengertian
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and
Horsfall, 1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem
imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein
menyebabkan

intraseluler,

kerusakan

sel-sel

jaringan

darah,

melalui

dan

fosfolipid

mekanisme

dapat

pengaktivan

komplemen.
Penyakit lupus adalah penyakit sistemik yang mengenai satu atau
beberapa organ tubuh yang ditandai dengan adanya peradangan luas yang
bersifat hilang timbul. Lupus bisa mengenai siapa saja, dari mulai bayi baru
lahir hingga orang tua, namun perbandingan perempuan: laki-laki adalah 9:1
dan terutama mengenai perempuan pada usia 15-45 tahun. Hal ini
diperkirakan karena lupus dapat dicetuskan oleh hormon estrogen yang
biasanya terbentuk pada perempuan usia produktif.
Lupus bukanlah penyakit menular dan penyebabnya belum diketahui
secara pasti, ada kemungkinan ditimbulkan oleh kombinasi dari faktor
berikut: Lingkungan (sinar matahari, ultraviolet), Gangguan regulasi imun,
genetik.
Gejala umum dari penyakit lupus adalah (data didapat juga dari gejala
umum pasien anak dengan Lupus yang datang ke RSHS): demam, cepat lelah,
sariawan (luka di rongga mulut) yang berulang namun kadang tidak diketahui
oleh pasien karena tidak nyeri, Anoreksia (penurunan nafsu makan),
penurunan berat badan.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri
yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau
beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah
3

dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Kelompok ini
meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, artritis reumatoid, dan sindrom
Sjogren.
Namun demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah
keadaan eksaserbasi atau hampir remisi yang berlangsung untuk waktu yang
lama. Identifikasi awal dan penatalaksanaan SLE biasanya dapat memberikan
prognosis yang baik.
Klasifikasi dari penyakit lupus dibagi menjadi 3 yaitu discoid lupus,
systemic lupus erytematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat :
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran tau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul
di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini
dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan
jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara
menetap.
2. Systemic Lupus Erythematosus
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and
Horsfall, 1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi
yang berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanisme pengaktivan
komplemen.
3. Drug Induced Lupus (Lupus yang diinduksi oleh obat)
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi ditubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
4

kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing


tersebut (Herfindal et al., 2000). Obat-obatan yang dapat mencetuskan
lupus adalah antiaritmia (untuk mengobati detak jantung yang tidak
teratur) seperti prokainamid dan quinidine, obat antihipertensi seperti
hydralazine dan methyldopa, obat antiinflamasi sulfasalazine, obat
tuberkulosis isoinazid (INH), dan antikonvulsan atau anti kejang
carbamazepine. Akan tetapi tidak semua penggunaan obat-obat ini akan
menderita lupus, melainkan hanya sekitar 4%, suatu jumlah yang relatif
kecil. Gejala-gejala lupus biasanya akan hilang setelah pemakaian obatobatan tersebut dihentikan.
B. Etiologi
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat
(first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada
saudara kembar identik (24%-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar
non identik (2%-9%).Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen
yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLADR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gengen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar,
2003).
2. Faktor lingkungan
Yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu Sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
5

ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts)
yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari
sel limfosit T dan B sehingga menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada
sistem imun dengann mekanisme menebabkan peningkatan antibodi
antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nospesifik yang akan
memicu terjadinya SLE.
3. Obat tertentu khususnya pada asetilator.
Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala
klinis yang menyerupai penyakit SLE ini. Obat-obatan yang telah
disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya :
Carbamazepine,
hidralazine,

Chlorpromazine,

isoniazid,

Diphenythydantoin,

methyldopa,

penicillamine,

ethosuximide,
procainamide,

quinidine, dan sulfasalazine. Obat-obat tersebut dapat bereaksi dengan


antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut
menjadi lebih imunogenik.
4. Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun.
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada
sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi
antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan
memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
C. Tanda dan Gejala Lupus
1. Bercak-bercak pada kulit terutama pada daerah sekitar hidung yang
menyerupai bentuk kupu-kupu.
2. Penderita lebih sensitif terhadap sinar matahari atau cahaya terang.
3. Ruam diskoid
4. Demam
5. Lemah
6

6. Nyeri otot.
7. Kelelahan.
8. Ulkus mulut
9. Nyeri pada dada pada saat bernafas dalam.
D. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan

peningkatan

autoantibodi

yang

berlebihan.

Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,


hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen
yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.

E. WOC
7
MK :
kerusakan
Integritas

Faktor lingkungan, gen, obat-obatan, infeksi virus


dan bakteri
Autoantibodi meningkat

Sel T supresor abnormal

Penumpukan kompleks
imun
Kerusakan jaringan
otot
inflamasi

SLE
Lelah,
Lemah

MK :
Intolera
nsi
aktivita

Bercak
merah
pada kulit

MK :
ganguan
citra tubuh

demam
Ulkus
mulut

MK:
Hipertermia

Nafsu
makan
menurun
MK: kebutuhan
nutrisi kurang

F. Pemeriksaan Penunjang
8

MK :
Nyeri

1. Pemeriksaan Antibodi Antinuklear


Antibodi antinuklear positif pada lebih dari 95% penderita SLE.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibodi yang
mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Setelah mendeteksi
adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan
antibodi spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat
yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet. Suatu pemeriksaan banding
untuk mengetahui tipe ANA spesifik saat ini sudah dapat dilakukan, dan
pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan
lain.
2. Laju Endap Darah
Laju endap darah pada penderita SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji
nonspesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan
tingkat keparahan penyakit.
3. Pemeriksaan Urin
Air kemih diperiksa untuk mengetahui adanya protein, sel darah putih, sel
darah merah, dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya
komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit SLE.
4. Uji Faktor Lupus Eritematosus
Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan terkadang masih
dipakai sampai sekarang adalah uji faktor lupus eritematosus. Sel Le
dibentuk dengan merusak beberapa sel darah putih penderita sehingga selsel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya.
5. Kimia darah
Untuk mengetahui apakah organ-organ sehat dan tetap berungsi normal
6. Hematologi lengkap
Ditemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia.

G. Penatalaksanaan Therapy
9

Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala
penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki
kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor
manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan
edukasi kepada pasien tentang manifestasi da efek samping dari terapi obat
yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap
individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung
dari manifestasi klinik yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi
nonfarmakologi dan terapi farmakologi.
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah
sehingga diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari
kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebainya menghindari
merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga jga merupakan faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang
spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan
minyak ikan pada pasien yang SLE yang mengandung vitamin E 75 IU
dan 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi
seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi antiDNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan
untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari
ketika akan beraktivitas di luar rumah.
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem
imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari
tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi
yang timbul pada setiap pasien.
NSAID

10

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan


termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID
memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002).
NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inibitor dan selektif
COX-2 inibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1
dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 mncul ketika terdapat
rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta
necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada
fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi
lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat
pada mukosa lambung, sel endothelial vaskuler,platelet, dan tubulus
collecting renal (Katzung,2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah
perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan,dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor COX non selektif , tapi kejadian
perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal,2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesusuaian obat, toleranssi pasien
terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya.
Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama1 samping 2 minggu
untuk mengevaluasi efikasi NSAID.
Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek
samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2
minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi
tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan
imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari
manifestasi yang muncul. efek antiinflamasi dan analgesic aspirin dapat
digunakan untuk pengobatan demam, arthritis, pleuritis dan perikarditis.
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah
azatioprin, intravena gamma globulin, monoclonal antibodi, terapi
hormone, mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi:

11

a) Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila
pasien mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada
pasien SLE 2-3 mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin
meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam sirkulasi,sintesis
IgG dan lgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan
guanin melalui supresi sintesis asam inosinat. Pada penggunaannya
dapat dikombinasikan dengan steroid. Apabila penyakitnya sudah
terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah
mungkin setelah itu baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan
terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau
hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil
dilakukan penyesuaian dosis.selain itu juga dilakukan monitoring
fungsi hari setiap 6 bulan. Azatioprin diserap baik disaluran cerna dan
dimetabolisme menjadi merkaptopurin.
Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu dan masih berlanjut ketika obat sudah
dihentikan. Tidak ada hubungan antara kosentrasi dalam serum
dengan efektifitas atau toksisitasnya. Efek samping lain yaitu infeksi
herpes zoster, kemandulan, hepatotoksik.
b) Metotreksats
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat
reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis
purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5-15 mg secara oral satu
kali seminggu (herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi
obat berfariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini
didistribusikan secara luas kedalam jaringan melalui mekanisme
transfor aktif dengan konsentrasi terbesar berada dalam ginjal, limpa,
hati, kulit, dan saluran kemih. Efek samping metotresat meliputi
defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau
dispepsia, teratogenik.
12

c) Intravena gamma globulin


Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia
idiopatik,

sindroma

Gillae-Barre,

miastenia

gravis,

sindroma

kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme kerja gamma


globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi
reseptor

fc,

mengganggu

aktivasi

komplemen

dan

sitokin,

menyediakan anti bodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi,


diferensiasi, dan fungsi efektor dari sel T dan sel B. Komponenkomponen dalam intravena gamma gloulin yaitu molekul lgG yang
utuh, lgA, CD4, CD8, molekul HLA, san sitokin (kazatckine and
kaveri, 2001). Dosis yang di gunakan 1-2 g/kg BB (katzung, 2006).
Intravena gamma gobulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy,
2002). Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah,
miagia, letih sakit kepala, urtikaria, hipertensi,dan lain-lain.
d) Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang
diproduksi pada saat masing fetus dan berhenti setelah dilahirkan.
Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai
puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia.
Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian
hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan saja dan
mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (lsenberg
and Horsfall, 1998).
e) Antimalaria
Antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin (Plaquenil): untuk mengatasi
rasa lelah, nyeri sendi, ruam kulit dan inflamasi paru.
f) Antiinfeksi/Antijamur/antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga
dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi.infeksi yang umum
menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella,dan Candida
(lsenberg and horsfall, 1998).untuk herpes zoster dapat diatasi dengan
13

pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima


kali sehari selama 5-7 hari. Salmonella dapat diterapi dengan
antibiotik

golongan

kuinolon,

ampisilin,

kotrimoksozol,

dan

kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan pinisilin dan


sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif
sehingga dapat memperparah rash SLE (lsenberg and Horsfall,1998).
Adannya infeksi dari Candida dapat diatasi dengan pemberian
amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol.
g) Mikofenolat mofetil
Efektif pada lubus nefritis terutama pada pasien yang tidak
menunjukan respon dan inteloren terhadap siklofosfamid. Mikofenolat
mofetil mempunyai mekanisme kerja antara lain. menekan secara
selektif proliferasi limfosit T dan B, pembentukan antibodi,
menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan limfosit
(Chan,et.al.,2000). Selain itu mikofenolat mofetil merupakan selektif,
reversibel,

dan

inhibitor

nonkompetitif

dari

enzim

inosine

monophosphate dehydrogenase (IMPDH) yaitu enzim yang berperan


dalam sintesis de novo nukleotida guanosin dari limfosit sel B dan T.
Toksisitas dari mikofenolat mofetil meliputi gangguan saluran cerna
(mual dan muntah, diare, dan nyeri abdumen) dan supresi myeloid
(terutama neuttropenia) (Katzung, 2000) tetapi efek samping yang
dimiliki tetap lebih rendah dari pada siklofosfamid serta tidak
mempunyai efek mutagenik (Chan,el.al., 2000).
H. Prognosa
SLE sebelumnya dipandang berkemungkinan atau secara seragam
merupakan penyakit masa kanak-kanak yang mematikan. Sekarang, anakanank yang menderita penyakit yang lebih sering dikenali, dan tampak bahwa
tidak semua anak mengalami keterlibatan organ utama yang berat. Walaupun
terjadi eksaserbasi dan penyembuhan yang spontan, penyembuhan spontan
yang lama jarang dijumpai pada anak-anak. Terapi dengan antibiotik,
14

kortikosteroid dan obat-obat sitotoksik telah memperpanjang ketahanan hidup


dan mencerahkan prognosis jangka pendek pada banyak penderita lupus.
Walaupun angka ketahanan hidup 5 tahun untuk anak-anak melebihi 90%,
sejumlah besar penderita masih terus menderita penyakt dan tetap berisiko
mendapat sekule yang merugikan di masa mendatang. Penyebab utama
kematian pada penderita SLE adalah nefritis, komplikasi sistem saraf sentral,
infeksi lupus paru, dan infark miokardium. Prognosis akhir untuk lupus berat
yang mulai timbul pada masa kanak-kanak tetap harus diperhatikan.
Prognosis untuk SLE bervariasi dan tergantung ada keparahan gejala,
organ-organ yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE
tidak dapat disembuhkan, penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala.
Prognosis berkaitan dengan sejauh mana gejala-gejala ini dapat diatasi.

15

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A Asuhan Keperawatan
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada penderita SLE melalui
beberapa tahap :
1 Pengkajian
Pengkajian merupakan pendekatan yang sistematis untuk mengumpulkan
data dan menganalisanya sehingga dapat diketahui masalah-masalah yang
dihadapi oleh pasien.
a

Pengumpulan data
1

Identitas Penderita
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pekerjaan
:
Agama
:
Tanggal MRS
:
Suku Bangsa
:
Alamat
:
Diagnosa Medis :

Keluhan utama
Pasien dengan SLE sering mengeluh lesu, lemas, dan disertai
demam, pegal linu seluruh badan, nyeri otot, dan terdapat kelainan
kulit spesifik berupa bercak merah di daerah sekitar pipi yang
menyerupai kupu-kupu.

Riwayat penyakit sekarang


Pada pasien SLE keluhan dimulai lemas, lesu, pegal linu, dan
terdapat kelainan kulit spesifik berupa bercak merah di daerah
sekitar pipi menyerupai kupu-kupu di muka dan eritema umum

yang menonjol.
Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang pernah dialami penderita termasuk penyakit
yang menular atau menurun.
Riwayat penyakit keluarga
16

Untuk mengetahui faktor genetik apakah didalam keluarga ada


6

yang mempunyai penyakit keturunan atau menular.


Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Persepsi pasien terhadap kesehatan dan bagaimana kebiasaan
pasien dalam memelihara / pencegahan penyakit.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Berapa kali pasien makan atau minum dan komposisinya
bagaimana per-hari dan pada pasien SLE terdapat kesulitan
untuk makan karena tenggorokannya sakit.
c) Pola eliminasi
Berapa kali klien BAB dan BAK dalam sehari dan bagaimana
konsistensinya dan apakah terjadi kesulitan atau tidak.
d) Pola istirahat dan tidur
Mengetahui bagaimana pola istirahat dan tidur pasien dan
barapa jam dalam 1 hari, apakah ada gangguan atau tidak.
e) Pola aktivitas dan latihan
Mengkaji bagaimana aktivitas klien apakah terjadi gangguan
atau tidak dan biasanya pada klien dengan SLE mengalami
gangguan pada pola aktivitas.
f) Pola persepsi dan konsep diri
Bagaimana tanggapan pasien terhadap penyakit yang dialami.
g) Pola sensori dan kognitif
Panca indra klien apakah mengalami perubahan atau tidak
dalam penyakit SLE.
h) Pola reproduksi dan seksual
Bagaimana pola reproduksi dan seksual apakah ada perubahan
atau tidak dalam penyakit SLE.
i) Pola hubungan peran
Pada penderita SLE biasanya terjadi gangguan terhadap
hubungan peran karena terjadi kelainan psikiatrik.
j) Pola penaggulangan stress
Apakah terjadi ketidakefektifan dalam mengatasi masalah.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Kepercayaan atau agama yang dianut oleh klien serta ketaatan
dalam menjalani ibadahnya.

Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
17

Kondisi umum
Kesadaran
TTV
Tekanan darah
Nadi
Suhu
Respirasi
b) Head to toe
(1) Kepala

: kesakitan
: kompos metis
: 100/60 mmHg
: 120x/menit
: 37,5 oC
: 20x/menit
: bentuk kepala simetris, tidak ada lesi,

tidak ada benjolan, serta tidak ada nyeri tekan


(2) Rambut
: warna hitam, penyebaran rambut rata,
tidak rontok
(3) Mata

: tampak simetris, konjungtiva tidak

anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada gangguan


penglihatan.
(4) Telinga
: simetris, serumen relatif normal, tidak
ada

keluhan

nyeri,

dan

tidak

ada

gangguan

pendengaran.
(5) Hidung
: tidak terdapat deformitas, tidak ada
keluhan, terdapat bercak kemerahan pada wajah
(butterfly rash)
(6) Wajah
: ada ruam disekita wajah dan leher
(7) Mulut
: relatif bersih, tidak ada candida
maupun stomatitis. terdapat ulcus
(8) Leher
: tidak terdapat pembesaran kelenjar
getah bening. tidak teraba massa dan pembesaran
kelenjar
(9) Abdomen
(10)

: supel, datar, bising usus 8x/menit


Punggung : tampak bercak kemerahan

pada punggung, punggung agak lembab berkeringat.


(11)
Ekstremitas
:
akral
hangat,
capilarry refill time < 2 detik
(12)
Kulit
: terdapat bercak kemerahan
pada kulit tubuh, turgor kulit elastis, mukosa bibir
kurang lembab.
(13)
Dada

: simetris, nafas tidak ada

penggunaan otot-otot sela iga, tidak ada massa

18

(14)

Jantung

: BJ 1 dan BJ 2 reguler,

gallop (-), murmur (-), tidak ada pembesaran jantung


(15)
Paru-paru : bunyi paru vesikuler,
wheezing (-), ronkhi (-)
2

Diagnosa Keperawatan
a Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier
b

kulit, penumpukan kompleks imun.


Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi dan kerusakan jaringan

c
d
e

otot.
Hipertermia berhubungan dengan suhu tubuh meningkat.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
menurunnya nafsu makan

Intervensi Keperawatan

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier


kulit, penumpukan kompleks imun.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, gangguan
integritas kulit membaik, dan tidak terjadi perburukan
Kriteria hasil :
a) Bercak kemerahan pada tubuh klien berkurang
b) Butterfly rash pada wajah menipis
Intervensi
Rasional
Pertahankan kebersihan, kekeringan, Untuk menjaga keutuhan kulit
kelembaban kulit, gunakan air hangat
saat mandi
Lindungi kulit yang sehat terhadap Agar kulit tidak terpapar dengan
kemungkinan malserasi
Pastikan intake nutrisi yang adekuat

sinar UV
Untuk meningkatkan penyembuhan

lesi dan mencegah infeksi


Edukasi klien dan keluarga, untuk Untuk menghindari iritaso kulit,
menjaga klien terhindar dari bahan karena alkohol dapat menyebabkan
kimia seperti detergen dan tidak kekeringan pada kulit yang dapat
menggunakan sabun serta pelembab memperburuk keadaan
kulit yang mengandung alkohol
Hindari terpapar dari sinar matahari Untuk mencegah eksaserbasi, karena
19

secara langsung, gunakan sunblock rash yang dapat terangsang karena


cream dan pakai panjang yang dapat sinar matahari
menutup kulit
Kolaborasi pemberian NSAID dan Untuk memberikan efek antipiretik,
kortikosteroid

antiinflamasi dan analgesic

Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan otot


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri dapat
berkurang
Kriteria hasil :
a) Klien mengungkapkan nyeri berkurang
b) Penurunan intensitas nyeri dengan skala nyeri menurun
Intervensi
Rasional
Pantau skala nyeri klien setiap 8 jam Untuk mengetahui perubahan skala
sekali (Setiap shift) dengan VAS nyeri
(Visual Analog Scale) atau wong
baker faces
Lakukan pengkajian nyeri meliputi Mengetahui keberhasilan intervensi
lokasi, karakteristik nyeri, awitan, dan yang dilakukan dengan pengkajian
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
atau keparahan nyeri, dan faktor
presipitasinya.
Observasi
isyarat

nonverbal Isyarat

ketidaknyamanan
Lakukan
kompres

menggambarkan
dirasakan
tindakan mengendalikan

sejumlah

yang memberikan
panas/

nonverbal

kenyaman
dingin:

dapat

nyeri
rasa

nyeri

yang
dan

atau relaksasi terhadap nyeri

masase,

perubahan posisi, istirahat, kasur busa,


bantal

penyangga,

bidai

teknik

relaksasi aktivitas yang mengalihkan


perhatian.
Berikan preparat

anti

inflamasi Mengurangi

analgesic seperti yang dianjurkan

rasa

nyeri

memberikan kenyaman pasien


20

dan

Hipertermia berhubungan dengan suhu tubuh meningkat


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x8 jam suhu tubuh
stabil
Kriteria hasil :
a) Suhu tubuh dalam batas normal sekitar 36,5oC -37,5oC
b) Pasien mengatakan tidak merasa panas lagi.
Intervensi
Rasional
Pantau TTV (TD, HR, RR).
Untuk mengetahui data

dasar

parameter hemodinamik
Pantau suhu tubuh minimal setiap 2 Untuk mengetahui perkembangan
jam, sesuai dengan kebutuhan dan suhu tubuh
pantau

adanya

diaporesis

yang

berlebihan.
Lakukan dan ajarkan keluarga untuk Untuk mempercepat penurunan suhu
melakukan TWS (tepid water sponge). tubuh melalui proses evaporasi dan
konduksi
Anjurkan klien untuk menggunakan Untuk mempercepat penurunan suhu
pakaian yang tidak terlalu tebal.
Motivasi asupan minum peroral dan

tubuh melalui proses konduksi


Untuk menjaga keseimbangan cairan

pastikan tetes infus sesuai dengan

tubuh

yang dianjurkan

peningkatan suhu tubuh

saat

penguapan

karena

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan kelemahan


Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pasien mampu melakukan aktivitas mandiri
Kriteria hasil :
a) Pasien dapat menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas
b) Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan /

Kaji

diperlukan.
Intervensi
kemampuan pasien

Rasional
untuk Mempengaruhi pilihan intervensi.

melakukan aktivitas nnormal, catat


laporan kelemahan dan keletihan.
Awasi TD, nadi dan pernafasan.

Manifestasi
upaya
21

kardiopulmonal

jantung

dari

dan paru untuk

membawa

jumlah

jaringan.
Meningkatkan

Berikan lingkungan tenang.

menurunkan

oksigen

istirahat
kebutuhan

ke

untuk
oksigen

tubuh.
Ubah posisi pasien dengan perlahan Hipotensi postural/hipoksin serebral
dan pantau terhadap pusing

menyebabkan pusing, berdenyut dan


peningkatan resiko cedera.

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan


ketergantungan fisik
Tujuan : Setelah pemberian intervensi keperawatan selama 124 jam
diharapkan pasien dapat merespon nonverbal tentang diri (fisik) dalam tubuh.
Kriteria hasil :
a) Pasien dapat merespon dengan baik terhadap aktual pada tubuh.
b) Klien menyatakan penerimaan terhadap diri
Intervensi
Rasional
Kaji adanya

gangguan citra diri Gangguan citra diri akan menyertai

(menghindari kontak mata, ucapan setiap


merendahkan diri sendiri.

penyakit/keadaan

yang

tampak nyata bagi klien, kesan orang


terhadap

dirinya

berpengaruh

terhadap konsep diri.


Identifikasi

stadium

psikososial Terdapat hubungan antara stadium

terhadap perkembangan.

perkembangan, citra diri dan reaksi


serta pemahaman klien terhadap
kondisi kulitnya.
klien membutuhkan pengalaman

Berikan kesempatan pengungkapan

didengarkan dan dipahami.

perasaan.
Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan Memberikan
klien,

bantu

klien

yang

cemas petugas
22

kesempatan
untuk

pada

menetralkan

mengembangkan kemampuan untuk kecemasan yang tidak perlu terjadi


menilai

diri

dan

mengenali dan memulihkan realitas situasi,

masalahnya.
Dukung upaya klien untuk

ketakutan merusak adaptasi klien .


membantu

memperbaiki citra diri , spt merias,


merapikan.
Mendorong sosialisasi dengan orang
lain.

meningkatkan

penerimaan diri dan sosialisasi.


membantu meningkatkan
penerimaan diri dan sosialisasi.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


menurunnya nafsu makan
Tujuan : Menunjukkan peningkatan nafsu makan setelah dilakukan tindakan
dalam 3 x 24 jam.
Kriteria hasil :
a) Klien tidak merasa lemas.
b) Nafsu makan klien meningkat
INTERVENSI
RASIONAL
Pertahankan berat badan dengan Mempertahankan berat badan yang
memotivasi pasien untuk makan
ada agar tidak semakin berkurang
Menyediakan makanan yang dapat Meningkatkan nafsu makan pasien
meningkatkan selera makan pasien
Berikan makanan kesukaan pasien
Merangsang nafsu makan pasien
Ciptakan
lingkungan
yang Meningkatkan rasa nyaman pasien
menyenangkan

untuk

makan untuk makan

(misalkan, pindahkan barang- barang


yang tidak enak dipandang)
Dorong makan sedikit demi sedikit Meningkatkan asupan makanan pada
dan sering dengan makanan tinggi pasien
kalori dan tinggi karbohidrat
Auskultasi
bising

usus, Mengetahui

palpasi/observasi abdomen

adanya

peristaltik
mengindikasikan
saluran cerna
23

usus

bising

atau
yang

berfungsinya

Implementasi
Adalah mengelolah dan mewujudkan dari rencana perawatan meliputi
tindakan yang telah direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran
dokter dengan ketentuan rumah sakit.

Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses perawatan dan
merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan
klien dengan tujuan yang telah dilakukan dengan cara melibatkan klien
dan sesama tenaga kesehatan (Nasrul F, 1995).

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan

oleh

banyak

faktor

(Isenberg

and

Horsfall,1998)

dan

dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa


peningkatan sistem imun dan diproduksi antibodi yang berlebihan. Yang
biasanya ditandai dengan munculnya pembentukan jaringan parut yang terjadi
pada wajah, telinga, kulit kepala dan pada bagian tubuh lainya. Klasifikasi

24

SLE ada 3 yaitu Discoid Lupus, Systemic Lupus Erythematosus, Lupus yang
diinduksikan oleh obat.
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, Manifestasi klinik
secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise,
demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.Diagnosis SLE
dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan
darah. Tidak ada satu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan
diagnostik SLE. Pengobatan yang digunakan pada SLE adalah Nonsteroidal
anti-inflammatory drugs (NSAIDs), Corticosteroids dan lain-lain yang dapat
mendukung pengobatan penyakit SLE.
B. Saran
Sebagai seorang calon perawat kita diaharapkan mampu memberikan
asuhan keperawatan terhadap penderita SLE sesuai dengan standar prosedur.

DAFTAR PUSTAKA
Bare, Brenda G dan Smelttzer, Susane G. 2002. Keperawatan medikal- bedah.
Jakarta: EGC
HR Dr. Hasdianah, Prima Dewi dan Yuli Peristiowati, Sentot Imam.2014.
Imunologi Diagnosis dan Teknik Biologi Molekuler,Yogyakarta: Mumed
http://artikelkedokteran.net/news/asuhan keperawatan penyakit lupus.htm
http://askepkesehatan08.wordpress.com/2013/07/16/asuhan-keperawatan-denganpasien-sle-sistemisc-lupus-erythematosus/
http://www.penyakitlupus.net/cara-mendeteksi-penyakit-lupus/
25

http://www.slideshare.net/yesiakd/askep-sle?next_slideshow=1

26

Anda mungkin juga menyukai