Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Individu atau seseorang yang tidak bisa beradaptasi terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi ini sebagai ancaman bagi dirinya. Individu akan
merasakan perasaan yang terus menerus terancam tanpa adanya proses
pemecahan masalah yang dapat menimbulkan stress yang berkepanjangan dan
dapat mengakibatkan gangguan jiwa.

Gangguan kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan
sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan
koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional.
Seseorang atau individu yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial
dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan sehari-hari, dan puas dengan
hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri (Videbeck, 2008).

Berdasarkan catatan WHO sebanyak 450 juta orang di muka bumi ini
mengalami gangguan mental, 150 juta mengalami depresi, 25 juta mengalami
schizophrenia. Angka rasio ini melebihi batas yang ditetapkan WHO, yang
hanya 1-3 per 1.000 orang penduduk. Berdasarkan Riset Kesehatan 2007,
propinsi Jawa Barat menempati urutan teratas dalam peringkat gangguan jiwa.
Angka rata-ratanya 20 persen dari total populasi penduduknya sebanyak 40 juta
orang lebih.

Data kemenkes 2010 menyebutkan, penderita gangguan jiwa meningkat dari


tahun ke tahun dengan laju peningkatan sekitar 11,4% dari total penduduk
indoinesia, sedangkan menurut riskesdes 2012 , prefelensi gangguan jiwa berat
pada penduduk indonesia sebanyak 1,7 juta jiwa dan untuk prefelensi di jawa
barat mencapai 3,3% dari seluruh populasi yang ada.
Perilaku Halusinasi merupakan salah satu masalah keperawatan yang dapat
ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa. Halusinasi merupakan salah satu
gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan gangguan sensori
persepsi: pendengaran, penglihatan, perabaaan merasakan sensasi palsu berupa
2

suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Dimana berperilaku


halusinasi perlu mendapatkan penanganan, karena jika tidak akan mengakibatkan
dampak perilaku kekerasan yang ditimbulkan oleh isi halusinasi atau
ketidakmampuan klien mengontrol halusinasinya dan bila berlanjut terus akan
mengakibatkan kerusakan dalam interaksi sosial klien. Tanda dan gejala pada
klien dengan halusinasi diantaranya adalah individu tersebut berbicara, senyum
dan tertawa sendirian, mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan
merasa sesuatu yang tidak nyata.

Mengingat jumlah pasien yang ditampung di RS dr H marzoeki mahdi bogor ini.


Peran pertama, yaitu perawat sebagai pelaksana, perawat memberikan asuhan
keperawatan jiwa dengan memperhatikan aspek bio-psiko-sosio-spiritual,
dimana perawat mengajarkan klien mengenalkan cara-cara mengontrol
halusinasi. Peran kedua, perawat sebagai pendidik yaitu, perawat mengajarkan
keluarga cara merawat klien di rumah mengatasi gejala kekambuhan,
meningkatkan kemampuan bersosialisasi, meningkatkan aktifitas dan
mengajarkan dalam penggunaan obat yang baik dan benar dan memberikan
penyuluhan kesehatan masyarakat untuk meminimalisasi stigma gangguan jiwa
di masyarakat. Peran ketiga perawat sebagai pengelola, dimana dapat
mengupayakan Rumah sakit, dapat standar minimal dalam perawatan kesehatan
jiwa seperti memfasilitasi rumah sakit dengan tersedianya lingkungan rumah
sakit yang terapeutik bagi pasien dan memperhatikan perawatan kesehatan fisik
pasien disamping kesehatan jiwa pasien. Peran keempat perawat sebagai
peneliti, perawat dapat menggunakan hasil penelitian yang bertujuan
meningkatkan kualitas asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan
perilaku halusinasi, mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, penggunaan
obat, bercakap-cakap dan melakukan aktivitas.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa tertarik untuk menggali dan
memahami lebih dalam bagaimana proses pemberian “Asuhan Keperawatan
pada pasien dengan Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran di
Rs.dr.H Marzoeki Mahdi dan menuangkannya dalam suatu bentuk makalah
ilmiah.
3

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dalam penulisan makalah ilmiah ini adalah
diperolehnya gambaran nyata dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Gangguan sensori persepsi: Halusinasi Pendengaran.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ilmiah ini agar penulis
mampu:
a. Melakukan pengkajian pada pasien dengan Gangguan sensori persepsi:
Halusinasi pendengaran.
b. Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Gangguan
sensori persepsi: Halusinasi pendengaran.
c. Merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Gangguan
sensori persepsi: Halusinasi pendengaran.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Gangguan
sensori persepsi: Halusinasi pendengaran.
e. Melaksanakan evaluasi pada pasien dengan Gangguan sensori persepsi:
Halusinasi pendengaran.
f. Mengidentifikasi kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus.
g. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung, penghambat serta dapat
mencari solusinya.
h. Mendokumentasi semua kegiatan keperawatan dalam bentuk narasi.

C. Ruang Lingkup
Penulisan makalah ilmiah ini merupakan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan
yang diberikan pada Ny. F dengan Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi
Pendengaran di Sasaran RS.Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor yang dilaksanakan
pada tanggal 05-10 Juli 2018

D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ilmiah ini adalah metode
deskriptif dan studi kasus asuhan keperawatan, yaitu dengan menggunakan
teknik wawancara dengan pasien dan perawat atau petugas RS observasi
langsung dengan Pasien, studi pustaka dan studi dokumentasi dengan
mendapatkan data dari sumber yang berkaitan dengan klien misalnya dari
catatan medis dan keperawatan.
4

E. Sistematika Penulisan
Makalah ilmiah ini tersusun secara sistematis yang urutannya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan: terdiri dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metode
penulisan dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Teori: terdiri dari
Pengertian halusinasi, psikodinamika, rentang respon neurobiologis dan asuhan
keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi keperawatan. BAB III Tinjauan Kasus: terdiri dari pengkajian,
diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan. BAB IV
Pembahasan: terdiri dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi keperawatan. BAB V Penutup: terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORI
5

A. Pengertian Halusinasi
Menurut Keliat dan Akemat 2009) Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan
jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi : merasakan
sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan.
Klien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada.

Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respons neurobiologis
maladaptif. Klien sebenarnya mengalami distorsi sensorik sebagai hal yang
nyata dan meresponnya. Pada halusinasi, tidak ada stimulus eksternal atau
internal yang diidentifikasi (Stuart, 2016).

Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang,


dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang paling sering adalah
halusinasi pendengaran (Auditory-hearing voices or sounds), penglihatan
(Visual-seeing persons or things), penciuman (Olfactory-smelling odors),
pengecapan (Gustatory-experiencing tastes) (Menurut Varcarolis 2006 dikutip
oleh buku Yosep, 2010).

B. Psikodinamika
1. Etiologi
Gangguan otak karena karena keracunan, obat halusinogenik, gangguan
jiwa seperti emosi tertentu yang dapat mengakibatkan ilusi, psikososial yang
dapat menimbulkan halusinasi dan pengaruh sosial budaya, sosial budaya
yang berbeda menimbulkan persepsi berbeda atau orang yang berasal dari
sosial budaya yang berbeda, (Sunaryo, 2004 dikutip oleh Dalami dkk,
2009).
2. Proses Terjadinya Masalah
Halusinasi terjadi mulai karena individu mempunyai koping yang tidak
adekuat, mengalami trauma, koping keluarga yang tidak efektif, hal-hal
tersebut menyebabkan individu mempunyai harga diri rendah, klien akan
lebih banyak timbul depresi karena individu tersebut tidak ingin
membicarakan masalahnya dengan orang lain sehingga masalah klien
6

tersebut tidak terselesaikan. Dalam keadaan ini individu akan mengalami


kecemasan, stres, perasaan terpisah dan kesepian.

Menurut Yosep (2010), proses terjadinya halusinasi yang dialami oleh klien
bila berada pada intensitasnya dan keparahan dibagi menjadi lima fase yaitu:
a. Fase Pertama (Sleep Disorder )
klien merasakan banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan,
takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin
terasa sulit karena berbagai stresor terakumulasi, misalnya kekasih hamil,
terlibat narkoba, dihianati kekasih, masalah di kampus, PHK di tempat
kerja, penyakit, utang, nilai di kampus, drop out dsb. Masalah terasa
menekan karena terakumulasi sedangkan support system kurang dan
persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sulit tidur berlangsung terus
menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien menganggap lamunan-
lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
b. Fase Kedua (Comforting)
klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan cemas,
kesepian, perasaan berdosa, ketakutan, dan mencoba memusatkan
pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa
pengalaman pikiran dan sensorinya dapat terkontrol bila kecemasannya
diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
c. Fase Ketiga (Condemning)
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang mengalami bias. Klien
mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai berupaya
menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan klien
mulai menarik diri dari orang lain dengan waktu yang lama.

d. Fase Keempat (Controlling Severe)


Klien mencoba melawan suara suara atau sensori abnormal yang datang.
Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah
dimulai fase gangguan psikotik.
e. Fase Kelima (Conquering Panic)
7

Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai merasa terancam dengan


datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman
atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi dapat
berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik terjadi gangguan psikotik berat.

3. Komplikasi
Menurut Fitria (2010), komplikasi dari Gangguan Sensori Persepsi:
Halusinasi adalah timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya
bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang
menyuruh pada kejelekan, maka akan beresiko terhadap perilaku kekerasan.

4. Jenis-Jenis Halusinasi
Adapun jenis-jenis halusinasi menurut Keliat, Akemat, Helena dan Nurhaeni
(2011) :
a Halusinasi Pendengaran
Mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar suara yang
mengajak bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh melakukan
sesuatu yang berbahaya, bicara atau tertawa sendiri tanpa lawan bicara,
marah-marah tanpa sebab, mencondongkan telinga ke arah tertentu,
menutup telinga. Pikiran yang terdengar jelas dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh melakukan sesuatu kadang-kadang dapat
membahayakan.
b Halusinasi Penglihatan
Melihat bayangan sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu
atau monster, menunjuk-nunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada objek
yang tidak jelas.
c Halusinasi Penciuman
Mencium bau-bauan, seperti bau darah, urine, feses, terkadang bau
yang menyenangkan, tampak seperti sedang mencium bau-bauan
tertentu menutup hidung.

d Halusinasi Pengecapan
8

Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses, sering meludah dan
muntah.
e Halusinasi Perabaan
Mengatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa seperti tersengat
listrik, menggaruk-garuk permukaan kulit.

C. Rentang Respon Neurobiologis


Rentang respon neurobiologis meliputi kontinum dari respon adaptif, seperti
pemikiran logis dan persepsi yang akurat ke respon maladaptif seperti distorsi
pemikiran dan halusinasi. Gejala-gejala gangguan jiwa berada diujung
maladaptif kontinum ini.
Bagan 2.1
Rentang Respon Neurobiologis
(Stuart, 2016)

Respon adaptif Respon maladaptif

Berpikir logis Pikiran sesekali Gangguan


Persepsi akurat terdistorsi pemikiran/waham
Emosi konsisten Ilusi Halusinasi
dengan Reaksi emosional Kesulitan
pengalaman berlebihan atau tidak pengolahan emosi
Perilaku sesuai bereaksi Perilaku kacau
Hubungan social Perilaku aneh Isolasi sosial
harmonis Menarik diri

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-normal sosial
dan budaya secara umum yang berlaku di masyarakat, dimana individu
menyelesaikan masalah dalam batas normal meliputi:
1. Pikiran logis adalah segala sesuatu yang diucapkan dan dilaksanakan oleh
individu sesuai dengan kenyataan.
9

2. Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra perasa,
dimana dapat membedakan objek yang satu dengan yang lainnya dan
mengenai kesulitannya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan.
3. Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan individual
sesuai dengan stimulus yang datang.
4. Perilaku sesuai dengan cara bersikap individu yang sesuai dengan perannya.
5. Hubungan sosial harmonis, dimana individu dapat berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah dan tidak
senang.

Respon psikososial yaitu respon yang berada antara respon adaptif dan
maladaptif, meliputi:
1. Kadang proses pikir terganggu merupakan keadaan dimana seorang individu
akan mengalami ketidakadekuatan dalam berkonsentrasi mencapai suatu
pecahan masalah yang ditandai dengan menurunnya konsentrasi atau daya
ingat, kadang membayangkan sesuatu yang mustahil dan keadaan ini berada
antara rentang respon adaptif-maladaptif.
2. Ilusi merupakan persepsi individu yang salah mengartikan benda mati seolah-
olah hidup. Misalnya individu melihat ular padahal benda tersebut bukan ular
melainkan tali.
3. Reaksi emosional berlebihan atau tidak bereaksi merupakan respon yang
diberikan individual tidak sesuai stimulus yang datang, kadang seseorang
tersebut akan mengalami respon yang berlebih atau mungkin tidak akan
berespon sama sekali atau dalam hal ini adalah sikap acuh.
4. Perilaku aneh atau tidak lazim merupakan suatu perilaku yang tidak
sewajarnya dilakukan oleh manusia pada umumnya.
5. Menarik diri terjadi dimana individu merasa asing dengan dunia luar dan
merasa nyaman sendiri.

Respon maladaptif adalah suatu respon yang tidak dapat diterima oleh norma-
norma social dan budaya secara umum yang berlaku di masyarakat, dimana
individu dalam menyelesaikan masalah tidak berdasarkan norma-norma yang
sesuai diantaranya:
1. Gangguan proses pikir (waham) adalah ketidakmampuan otak untuk proses
data secara akurat yang dapat menyebabkan ganggguan proses pikir, seperti
10

ketakutan, merasa hebat, beriman, pikiran terkontrol, pikiran yang tersisipi,


dan lain-lainnya.
2. Halusinasi, adalah gangguan identifikasi stimulus berdasarkan informasi yang
diterima otak.
3. Kesulitan pengolahan emosi, adalah suatu respon yang diberikan individu
tidak sesuai dengan stimulus yang datang.
4. Perilaku kacau adalah cara bersikap individu yang tidak sesuai dengan
perannya. Misalnya seseorang laki-laki yang menganggap dirinya adalah
wanita.
5. Isolasi sosial, adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya sendiri dari
lingkungan atau tidak mau berinteraksi dengan lingkungannya.

D. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Sangat penting untuk mengkaji perintah yang diberikan lewat isi halusinasi
klien. Karena mungkin saja klien mendengar perintah menyakiti orang lain,
membunuh atau loncat jendela. Faktor-faktor terjadinya halusinasi menurut
Yosep (2010) dan Stuart (2006) yaitu:
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibandingkan oleh individu untuk menangani
strees. Faktor-faktor predisposisi menurut Yosep (2010) meliputi :
1) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya
kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih
rentan terhadap stres.

2) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi
(unwanted child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak
percaya pada lingkungannya.
3) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebihan dialami seseorang, maka di dalam tubuh akan
11

dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia


seperti buffofenon dan dimetytraferase (DMP). Akibat stress
berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.
Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholie dan dopamin.
4) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam khayal.
5) Faktor sosial budaya
Stres yang menumpuk dapat menunjang skizofrenia dan gangguan
psikotik lainnya, tetapi tidak diyakini berat sebagai penyebab utama
gangguan. Kondisi sosial budaya yang mempengaruhi gangguan
orientasi realita seperti : kemiskinan, konflik sosial budaya (perang,
kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.
6) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia, dan faktor keluarga
sangat berpengaruh pada penyakit ini, adanya pengaruh herediter
(keturunan) berupa anggota keluarga terdahulu yang mengalami
schizoprenia dan kembar monozigot.
Sedangkan faktor predisposisi menurut Stuart (2006) meliputi :
1) Faktor biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurologis yang maladaptif baru dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian berikut:
a) Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan
keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan
skizofrenia.
b) Beberapa zat kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Seperti ;
Dopamin sebagai neurotransmitter yang berlebihan,
ketidakseimbangan antara dopamine dan neurotransmitter
12

lainnya, terutama serotonin, masalah-masalah pada sistem


reseptor dopamin.
c) Penelitian pada keluarga yang melibatkan anak kembar dan anak
yang diadopsi menunjukkan peran genetik pada skizofrenia.
2) Faktor psikologis
Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurobiologis yang
maladaptif belum didukung oleh penelitian. Akibatnya kepercayaan
keluarga terhadap tenaga kesehatan jiwa profesional menurun.
Keluarga pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respons psikologis klien, sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah : penolakan atau
tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3) Faktor Sosiobudaya
Stres yang menumpuk dapat menunjang awitan skizoprenia dan
gangguan psikotik lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab
utama gangguan.

b. Faktor presipitasi
Menurut Stuart (2006), faktor pencetus sebelum timbul gejala, klien
tampak bermusuhan, tekanan isolasi dan perasaan tidak berguna.
1) Biologis
Stresor biologis yang berhubungan dengan respon neurobilogis
maladaptif meliputi gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan
balik otak yang mengatur proses informasi dan abnormalitas pada
mekanisme pintu masuk dalam otak (komunikasi saraf yang
melibatkan elektrolit).
2) Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis
berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan prilaku.
3) Pemicu gejala
Merupakan prekursor dan stimuli yang sering menimbulkan episode
baru suatu penyakit. Pemicu yang biasanya terdapat pada respon
13

neurobiologis maladaptif yang berhubungan dengan kesehatan,


lingkungan, sikap dan perilaku individu.

Namun pada umumnya klien dengan gangguan halusinasi timbul


gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan,
isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.

c. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari Halusinasi menurut Keliat, Akemat, Helena dan
Nurhaeni (2011) adalah sebagai berikut :
1) Halusinasi pendengaran:
Data objekif bicara atau tertawa sendiri tanpa lawan bicara, marah-
marah tanpa sebab, mencondongkan telinga ke arah tertentu, menutup
telinga. Data subjektif mendengar suara-suara atau kegaduhan,
mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
2) Halusinasi penglihatan:
Data objektif menunjuk-nunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada objek
yang tidak jelas. Data subjektif melihat bayangan sinar, bentuk
geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster.
3) Halusinasi penciuman:
Data objektif tampak seperti sedang mencium bau-bauan tertentu
menutup hidung. Data subjektif mencium bau-bauan, seperti bau
darah, urine, feses, terkadang bau yang menyenangkan.

4) Halusinasi pengecapan:
Data objektif sering meludah dan muntah. Data subjektif merasakan
rasa seperti darah, urine, atau feses.
5) Halusinasi perabaan:
Data objektif menggaruk-garuk permukaan kulit. Data subjektif
mengatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa seperti tersengat
listrik.

d. Mekanisme Koping
14

Menurut Stuart (2006), perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi


diri sendiri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan
respon neurobiologis maladaptif.
1) Regresi: berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya
untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk
aktivitas hidup sehari-hari.
2) Proyeksi: mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan
yang dilakukan diri sendiri sebagai upaya untuk menjelaskan
kerancuan persepsi.
3) Menarik diri : reaksi fisik, klien pergi atau lari menghindar sumber
stressor, sedangkan reaksi psikologis individu menunjukkan perilaku
apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan
bermusuhan.

e. Sumber Koping
Menurut Stuart (2006), sumber koping individual harus dikaji dengan
pemahaman terhadap pengaruh gangguan otak pada perilaku. Kekuatan
dapat meliputi seperti modal intelegensia atau kreativitas yang tinggi,
Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anak dan dewasa muda
tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar
dari pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang
penyakit, finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga, dan
kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan.

f. Pohon Masalah
Bagan 2.2
15

Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi


(Keliat, Panjaitan &Helena 2005)

Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi (pendengaran,


penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman)

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah

Menurut Yosep (2010), pengkajian klien halusinasi yaitu hasil riset


Junginger tentang isi halusinasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Membina hubungan saling percaya dengan pasien
Tindakan pertama dalam melakuakan pengkajian klien dengan
halusinasi adalah membina hubungan saling percaya, sebagai berikut:
1) Awali pertemuan dengan selalu mengucap salam.
Misalnya: assalamualaikum, selamat pagi/siang/malam atau
sesuai konteks agama pasien.
2) Berkenalan dengan pasien.
Perkenalkan nama lengkap dan nama panggilan perawat termasuk
peran, jam dinas, ruangan, dan senang dipanggil dengan apa.
3) Buat kontrak asuhan.
Jelaskan pada pasien tujuan kita merawat klien, aktivitas apa yang
akan dilaksanakan, dan berapa lama akan dilaksanakan aktivitas
tersebut.
4) Bersikap empati.
Ditujukan dengan: mendengar keluhan pasien dengan penuh
perhatian: tidak membantah dan tidak menyokong halusinasi
pasien, segera menolong pasien jika pasien membutuhkan
perawat.
b) Mengkaji data objektif dan subjektif
16

1) Di rumah sakit jiwa Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami


oleh pasien gangguan jiwa adalah halusinasi suara, 20% halusinasi
pengelihatan, dan 10% adalah halusinasi penghidu, pengecapan
dan perabaan. Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan
mengobservasi perilaku pasien dan menanyakan secara verbal apa
yang sedang dialami oleh pasien.
2) Berikut ini jenis-jenis halusinasi, data objektif dan data
subjektifnya. Data objektif dikaji oleh perawat dengan cara
mengobservasi perilaku pasien, memeriksa, mengukur. Sedangkan
data subjektifnya didapatkan dengan cara wawancara, curahan hati,
ungkapan-ungkapan klien, apa-apa yang dirasakan dan yang
didengar klien secara subjektif. Data ini ditandai dengan “klien
menyatakan atau klien merasa”.
3) Tipe halusinasi menurut (Videbeck 2004 yang dikutip dalam buku
Yosep, 2010) meliputi:
(a) Halusinasi dengar (Auditory hearing voices or sounds)
Data subjektif :
(1) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya.
(2) Mendengar suara atau bunyi.
(3) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
(4) Mendengar seseorang yang sudah meninggal.
(5) Mendengarkan suara yang mengancam diri klien atau
orang lain atau suara lain yang membahayakan.
Data Objektif :
(1) Mengarahkan telinga pada sumber suara.
(2) Bicara atau tertawa sendiri.
(3) Marah-marah tanpa sebab.
(4) Menutup telinga.
(5) Mulut komat-kamit.
(6) Ada gerakan tangan.

(b) Halusinasi penglihatan (Visual seeing persons or things)


Data Subjektif :
17

Melihat seseorang yang sudah meninggal, melihat mahluk


tertentu, melihat bayangan, hantu atau sesuatu yang
menakutkan, cahaya, monster yang memasuki perawat .
Data Objektif :
(1) Tatapan mata pada tempat tertentu.
(2) Menunjuk kearah tertentu.
(3) Ketakutan pada objek yang dilihat.
(c) Halusinasi penghidu (Olfactory smelling odors)
Data Subjektif :
(1) Mencium sesuatu seperti bau mayat, darah, bayi, feses
atau bau masakan, parfum yang menyenangkan.
(2) Klien sering mengatakan mencium bau sesuatu.
(3) Tipe halusinasi ini sering menyertai klien demensia,
kejang atau penyakit serebrovaskular.
Data Objektif :
Ekspresi wajah seperti mencium sesuatu dengan gerakan
cuping hidung, mengarahkan hidung pada tempat tertentu.
(d) Halusinasi perabaan (Tactile feeling bodily sensations )
Data Subjektif :
(1) Klien mengatakan ada sesuatu yang menggerayangi tubuh
seperti dingin, binatang kecil, dan mahluk halus.
(2) Merasakan sesuatu di permukaan kulit, merasakan sangat
panas atau dingin, merasakan tersengat aliran listrik.
Data Objektif :
(1) Mengusap, menggaruk-garuk, meraba-raba permukaan
kulit.
(2) Terlihat menggerak-gerakan badan seperti merasakan
sesuatu rabaan.
(e) Halusinasi pengecapan (Gustatory experiencing taste )
Data Subjektif :
Klien seperti sedang merasakan makanan tertentu, rasa tertentu
atau mengunyah sesuatu.
Data Objektif :
Seperti mengecap sesuatu, gerakan mengunyah, meludah atau
muntah.
(f) Cenesthetic dan kinesthetic hallucinations
18

Data Subjektif :
Klien melaporkan bahwa fungsi tubuhnya tidak dapat
terdeteksi misalnya tidak adanya denyutan di otak, atau sensasi
pembentukan urine dalam tubuhnya. Perasaan tubuhnya
melayang di atas bumi.
Data Objektif :
Klien terlihat menatap tubuhnya sendiri dan terlihat merasakan
sesuatu yang aneh tentang tubuhnya.
c) Mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi
Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk
intervensi khusus pada waktu terjadi halusinasi, menghindari situasi
yang menyebabkan munculnya halusinasi. Dengan mengetahui
frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan
untuk mencegah terjadinya halusinasi.
d) Mengkaji respon terhadap halusinasi
Untuk mengetahui dampak halusinasi pada klien dan apa respons
klien ketika halusinasi itu muncul, perawat dapat menanyakan pada
klien hal yang dirasakan atau yang dilakukan saat halusinasi timbul,
perawat dapat juga menanyakan pada keluarga atau orang terdekat
dengan klien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi dampak
halusinasi pada pasien jika halusinasi timbul.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Yosep (2010), diagnosa keperawatan pada individu dengan perilaku
Halusinasi adalah:
a. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri.
b. Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi pendengaran (Core problem)
c. Isolasi sosial
d. Harga Diri Rendah
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan adalah pengembangan dari pengkajian untuk memenuhi
kebutuhan klien yang telah diketahui. Rencana keperawatan merupakan mata
rantai antara penetapan kebutuhan klien dan pelaksanaan tindakan.
19

Perencanaan terdiri dari penetapan tujuan, intervensi atau rencana tindakan,


dan rasional.
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Berdasarkan diagnosa keperawatan utama yang ditentukan maka tujuan,
intervensi, dan rasionalnya sebagai berikut: tujuan umum klien dapat
mengontrol halusinasi yang dialaminya. Sedangkan tujuan khususnya
adalah sebagai berikut :
1) Tujuan khusus pertama:
Klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi:
klien dapat menunjukkan ekspresi wajah bersahabat, menunjukan rasa
senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, menyebutkan nama,
menjawab nama, menjawab salam, duduk berdampingan dengan
perawat dan bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapi.

Rencana tindakan adalah bina hubungan saling percaya dengan


menggunakan prinsip komunikasi terapeutik yaitu sapa klien dengan
ramah baik verbal maupun non verbal, perkenalkan nama, nama
panggilan dan tujuan perawat berkenalan, tanyakan nama lengkap
klien dan nama panggilan yang disukai klien, buat kontrak yang jelas,
tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi,
tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya, beri perhatian
kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien, tanyakan perasaan
klien dan masalah yang dihadapi klien, dengarkan dengan penuh
perhatian ekspresi perasaan klien.

2) Tujuan khusus kedua: klien dapat mengenal halusinasinya.


Kriteria
evaluasi: Klien dapat menyebutkan isi, waktu, frekuensi timbulnya
halusinasi, klien dapat mengungkapkan perasaan terhadap
halusinasinya.

Rencana Tindakan adalah adakan kontak sering dan singkat secara


bertahap, observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya,
yaitu dengan tanyakan apakah klien mengalami sesuatu (halusinasi
20

dengar/lihat/penghidu/raba/kecap), jika klien menjawab iya lanjut apa


yang dikatakan, katakan bahwa perawat percaya klien mengalami hal
itu namun perawat sendiri tidak mengalaminya dengan nada
bersahabat tanpa menuduh atau menghakimi, katakan ada klien lain
yang mengalami hal yang sama dan katakan bahwa perawat akan
membantu klien, diskusikan dengan klien tentang situasi yang
menimbulkan halusinasi dan waktu serta frekuensi terjadinya
halusinasi (pagi, siang, dan malam atau sering dan kadang-kadang),
diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi
(marah, takut, sedih, senang, cemas dan jengkel) dan diskusikan
dengan klien apa yang harus dilakukan dengan klien untuk mengatasi
perasaan tersebut.

3) Tujuan khusus ketiga: klien dapat mengontrol halusinasinya.


Kriteria evaluasi: klien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya
dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya, klien dapat
menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi, klien dapat memilih
cara mengatasi halusinasi, melaksanakan cara yang telah dipilih untuk
mengendalikan halusinasinya dan mengikuti terapi aktivitas
kelompok.

Rencana Tindakan adalah identifikasi bersama klien cara tindakan


yang dilakukan jika terjadi halusinasi (seperti tidur, marah,
menyibukkan diri dan lain-lain), diskusikan cara yang digunakan klien
jika cara yang digunakan adaptif beri pujian, diskusikan cara baru
untuk memutus/mengontrol timbulnya halusinasi seperti katakan pada
diri sendiri bahwa ini tidak nyata (saya tidak mau
dengar/lihat/penghidu/raba/kecap saat halusinasi terjadi), menemui
orang lain (perawat, teman, anggota keluarga) untuk menceritakan
tentang halusinasinya, membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan
sehari-hari yang telah disusun, meminta keluarga/teman/perawat jika
sedang berhalusinasi, bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan
dan dilatih, beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih,
evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil dan anjurkan klien
21

untuk mengikuti aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi


persepsi.

4) Tujuan khusus keempat: klien dapat dukungan dari keluarga


dalam
mengontrol halusinasinya. Kriteria evaluasi: keluarga mau untuk
mengikuti pertemuan dengan perawat, dan keluarga dapat
menyebutkan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya
halusinasi serta tindakan untuk mengendalikan halusinasi.

Rencana Tindakan adalah buat kontrak dengan keluarga untuk


pertemuan yang membahas tentang pengertian halusinasi, tanda dan
gejala, proses terjadinya halusinasi, cara yang dapat dilakukan klien
dan keluarga untuk memutus halusinasi, cara merawat anggota
keluarga yang halusinasi di rumah (seperti beri kegiatan, jangan
biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama) dan beri
informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaimana cara mencari
bantuan jika halusinasi tidak dapat diatasi di rumah.

5) Tujuan khusus kelima: klien dapat memanfaatkan obat dengan


baik.
Kriteria evaluasi: klien dapat menyebutkan manfaat minum obat,
kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis dan efek samping
obat, klien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar,
klien dapat menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
dengan dokter.

Rencana Tindakan adalah diskusikan dengan klien tentang manfaat


dan kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis, cara, efek terapi
dan efek samping penggunaan obat, pantau klien saat penggunaan
obat, beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar,
diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter
dan anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter/perawat jika terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
22

b. Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi yang diberikan pada klien dengan gangguan
jiwa yang bertujuan untuk memulihkan klien dan membekali klien utuk
kembali ke masyarakat. Terapi modalitas dimulai saat klien dirawat sampai
pulang dan kembali ke masyarakat. Salah satu terapi modalitas pada klien
dengan Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi adalah Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK). Terapi aktivitas kelompok yang sesuai dengan
Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi pendengaran adalah TAK
Stimulasi Persepsi.

Menurut Keliat dan Akemat (2004) TAK Stimulasi persepsi adalah terapi
yang menggunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan
pengalaman dan kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil
diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif
penyelasian makalah.

Tujuan Umum TAK stimulasi persepsi adalah klien mempunyai


kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan
stimulasi kepadanya, sedangkan Tujuan Khususnya adalah:
1) Klien dapat mempersiapkan stimulus yang dipaparkan kepadanya
dengan cepat.
2) Klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus
yang dialami.
a) Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata sehari-hari. Indikasi
pada klien gangguan sensori persepsi halusinasi dan isolasi sosial.
b) Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata dan respon yang
dialami dalam kehidupan. Indikasi pada klien perilaku kekerasan
yang telah koperatif.
c) Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata dan respon yang
dialami dalam kehidupan. Indikasi pada klien halusinasi.
d) Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata yang menyebabkan
harga diri rendah, indikasi pada klien dengan harga diri rendah.

Adapun topik dan tujuan di setiap sesi pada TAK persepsi stimulasi,
menurut Keliat dan Akemat (2004) adalah:
23

1) TAK Sesi 1: Mengenal Halusinasi


Tujuan: klien dapat mengenalsituasi terjadinya halusinasi, klien
mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi.
2) TAK Sesi 2: Mengontrol Halusinasi dengan Patuh Minum Obat
Tujuan: Klien memahami pentingnya patuh minum obat, klien
memahami akibat tidak patuh minum obat, klien dapat
menyebutkan lima benar cara minum obat.
3) TAK Sesi 3: Mengontrol Halusinasi dengan Menghardik
Tujuan: Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan
untuk mengatasi halusinasi, klien dapat memahami cara
menghardik halusinasi, klien dapat memperagakan cara
menghardik halusinasi.
4) TAK Sesi 4: Mengontrol Halusinasi dengan Melakukan kegiatan
Tujuan: Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan
untuk mencegah munculnya halusinasi, klien dapat menyusun
jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
5) TAK Sesi 5: Mencegah Halusinasi dengan Bercakap-Cakap
Tujuan: Klien memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang
lain untuk mencegah munculnya halusinasi, klien dapat bercakap-
cakap dengan orang lain untuk mencegah halusinasi.

c. Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah obat-obatan kimia yaitu obat-obatan psikotropika
yang dapat mempengaruhi bagian-bagian otak tertentu dan menekan atau
mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala tertentu pada penderita.
Gejala tersebut meliputi yang berhubungan dengan proses fikir,
berhubungan dengan alam perasaan dan emosi dan perilaku penghayatan
pribadi manusia.

Terapi psikofarmaka menurut Townsend (2009) untuk pasien dengan


halusinasi :
(1) Chlorpromazine (CPZ)
Mekanisme Kerja :
24

Antipsikotik dapat menyekat reseptor dopamine post sinaps pada


ganglia basal, hipotalamus, system limbic, batang otak dan medula.
Indikasi :
Cegukan yang sulit diatasi, mual, muntah berat.
Kontraindikasi :
Depresi sumsum tulang, kerusakan otak subkortikal, penyakit
Parkinson, hipertensi berat atau hipotensi, glukoma, diabetes.
Efek samping :
Sakit kepala, pusing, penglihatan kabur dan ruam kulit.

(2) Haloperidol ( HP )
Mekanisme Kerja :
Tampaknya menekan susunan saraf pusat pada tingkat subkorpikal
formasi reticular otak. Diperkirakan menghambat sistem aktivasi
reticular asenden batang otak.
Indikasi :
Penanganan gejala dimensia, pengendalian TIK dan pengucapan
vocal.
Kontraindikasi :
Depresi sumsum tulang, kerusakan otak subkortikal, penyakit
Parkinson, hipotensi atau hipertensi berat.
Efek samping :
Sakit kepala, pusing, penglihatan kabur, mulut kering, mual, muntah
dan ruam kulit.

(3) Triheksipenidil ( THP )


Mekanisme Kerja :
Bekerja, memeriksa ketidakseimbangan defisiensi dopamine dan
kelebihan asetilkolin dalam corpus striatum, reseptor, asetilkolin di
sekat sinaps untuk mengurangi efek kolinergik berlebih.
Indikasi :
Semua bentuk Parkinson.
Kontraindikasi :
25

Hipersensitifitas terhadap obat ini, glukoma sudut tertutup, hipertropi


prostat.
Efek samping :
Mengantuk, pusing, penglihatan kabur, kegugupan, ruam kulit,
takikardia, mulut kering, mual ,muntah, konstipasi dan retensi urine.

4. Pelaksanaan Keperawatan
Menururt Keliat, Panjaitan dan Helena (2005) pelaksanaan atau implementasi
tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.
Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan,
perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih
sesuai dan dibutuhkan klien saat ini (here and now). Perawat juga perlu
menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal,
intelektual, dan teknikal yang diperlukan unttuk melaksanakan tindakan.
Menurut Keliat, Akemat, Helena dan Nurhaeni (2011) tindakan keperawatan
halusinasi, yaitu:
a. Tindakan keperawatan pada klien
1) Membantu klien mengenali halusinasi. Untuk membantu pasien
mengenali halusinasi, perawat dapat melakukan dengan cara berdiskusi
dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat, waktu
terjadinya halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang
menyebabkan halusinasi muncul dan respon saat halusinasi.
2) Melatih pasien mengontrol halusinasi
Untuk mebantu klien agar mampu mengontrol halusinasinya, perawat
dapat melatih pasien 4 cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan
halusinasi. Keempat cara mengontrol halusinasi adalah sebagai berikut:
3) Menghardik halusinasi
Cara mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak
halusinasi yang muncul. Klien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap
halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya.
4) Bercakap-cakap dengan orang lain
Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol
halusinasi. Ketika klien bercakap-cakap dengan orang lain terjadi
distraksi, fokus perhatian klien akan teralih dari halusinasi.
26

5) Melakukan aktivitas terjadwal


Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah menyibukkan
diri melakukan aktivitas yang teratur. Dengan beraktivitas secara
terjadwal, klien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang
sering kali mencetuskan halusinasi.
6) Minum obat secara teratur
7) Minum obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi. Klien juga
harus dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program
terapi dokter.
Strategi pelaksanaan merupakan alat yang dijadikan sebagai panduan
oleh perawat jiwa ketika berinteraksi dengan klien. SP pada pasien
dengan halusinasi terdiri dari 4 yaitu:
SP1p membantu klien mengenal halusinasi, menjelaskan cara
mengontrol halusinasi, mengajarkan klien mengontrol
halusinasi dengan menghardik.
SP2p melatih klien minum obat secara teratur.
SP3p melatih klien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
bersama orang lain.
SP4p melatih klien mengontrok halusinasi dengan melakukan
kegiatan terjadwal.

b. Tindakan keperawatan pada keluarga


Tindakan keperawatan pada keluarga menurut menurut Yosep (2010) yaitu
keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan
keperawatan pada pasien dengan halusinasi. Dukungan keluarga selama
pasien dirawat di rumah sakit sangat dibutuhkan sehingga pasien
termotivasi untuk sembuh. Demikian juga saat pasien tidak lagi dirawat di
rumah sakit (dirawat di rumah). Keluarga yang mendukung pasien secara
konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program
pengobatan secara optimal. Namun, jika keluarga tidak mampu merawat
pasien, mereka akan kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi akan
sangat sulit. Oleh karena itu, perawat harus memberikan pendidikan
kesehatan kepada keluarga agar keluarga mampu menjadi pendukung yang
efektif bagi pasien dengan halusinasi, baik saat di rumah sakit maupun di
27

rumah. Tindakan keperawatan yang dapat diberikan untuk keluarga pasien


halusinasi adalah sebagai berikut.
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
2) Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, proses
terjadinya halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi,
proses terjadinya halusinasi, dan cara merawat pasien halusinasi.
3) Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara
merawat pasien dengan halusinasi langsung dihadapan pasien.
4) Buat perencanaan pulang dengan keluarga.

5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua
yaitu evalusi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan
tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan
antara respon klien dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai
pola pikir Keliat, Panjaitan dan Helena (2005).
S Respon Subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan
O Respon Obyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan
A Analisa ulang atas data subyektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data
yang kontraindikasi dengan masalah yang ada.
P Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon klien.

Hasil akhir yang diharapkan setelah dilakukan implementasi atau tindakan


keperawatan pada klien dengan Gangguan sensori persepsi : halusinasi adalah
klien mampu menjelaskan pengertian, tanda/gejala, waktu dan lamanya
halusinasi, klien mampu mengotrol halusinasinya, keluarga dapat mengenal
masalah yang ditemukan dalam merawat klien di rumah.

Anda mungkin juga menyukai