Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

FARMAKOTERAPI II

“INFEKSI SALURAN PERNAPASAN BAWAH”

KELOMPOK 2 S1 VI B :

FELYCIA WARDI (1601016)

HAJRAH MIRANDA HAKIM (1601017)

LENI TRIANI (1601021)

MELATI RISMAN (1601026)

NURDINA PUTRI (1601033)

DOSEN :

SEPTI MUHARNI, M.Farm, Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

PEKANBARU

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
ucapkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami tentang Infeksi
Saluran Pernapasan Bawah.
Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan oleh dosen pengampu pada mata kuliah Farmakoterapi II.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, Februari 2019

Penyusun

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i


DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................................................ 2
BAB II ISI .................................................................................................................................. 3
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ..................................................................... 3
2.1.1 Definisi ISPA ........................................................................................................ 3
2.1.2 KLASIFIKASI ISPA ........................................................................................... 3
2.1.3 PENYEBAB PENYAKIT .................................................................................... 4
2.1.4 ALUR PENULARAN .......................................................................................... 4
2.2 Infeksi Akut Saluran Nafas Bawah .............................................................................. 5
2.2.1 Pneumonia ............................................................................................................ 5
2.2.2 Pneumonia pneumokokus ................................................................................... 13
2.2.3 Bronkitis ............................................................................................................. 17
2.2.4 BRONKIOLITIS ................................................................................................ 30
2.2.5 Pertusis ............................................................................................................... 37
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 45
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 45
3.2 Saran ............................................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 46

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat.
Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran napas
atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis,
faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi
pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran napas atas
bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi saluran nafas bawah
(Depkes RI, 2005).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit menular udara yang
sering terjadi pada anak dan menjadi salah satu penyebab kematian tersering pada anak di
dunia. Angka kematian pada balita (usia di bawah lima tahun) di dunia pada tahun 2013
sebesar 45,6 per 1000 kelahiran hidup dan 15% diantaranya disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan akut (WHO, 2015). Insiden di negara berkembang menurut kelompok umur balita
diperkirakan 0,29 episode per anak setiap tahun dan di negara maju sebanyak 0,05 episode per
anak setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat156 juta episode baru di dunia per
tahun di mana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus ISPA terbanyak
terjadi di India (43 juta), China (21 juta), Pakistan (10 juta), dan Bangladesh, Indonesia, serta
Nigeria masing-masing enamjuta episode.Semua kasus yang terjadi di masyarakat,
diantaranya 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit (Kementerian
Kesehatan RI, 2012).

Faktor risiko yang mendasari perjalanan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut
pada anak berhubungan dengan penjamu, agen, dan lingkungan. Faktor risiko ISPA pada
balita yaitu usia, status gizi, pemberian air susu ibu (ASI), berat badan lahir rendah (BBLR),
imunisasi, pendidikan orang tua, status sosial ekonomi, penggunaan fasilitas kesehatan, dan
lingkungan (Rahajoe, dkk, 2008).

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernafasan dimulai dengan keluhan-keluhan


dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi
lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernafasan dan
mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernafasan maka dibutuhkan
penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu

1
diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat ditolong
dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernafasan (Depkes RI, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Infeksi saluran pernapasan bawah?
2. Bagaimana epidemiologi, prognosis, patofisiologi, diagnosis dari Infeksi saluran
pernapasan bawah ?
3. Apa saja etiologi dan klasifikasi dari Infeksi saluran pernapasan bawah?
4. Bagaimana tanda dan gejala dari Infeksi saluran pernapasan bawah?
5. Bagaimana penatalaksanaan terapi dari Infeksi saluran pernapasan bawah?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, tatalaksana penyakit infeksi saluran
pernapasan bawah.
2. Mahasiswa mampu memilih tatalaksana pada penyakit infeksi saluran pernapasan
bawah pada anak maupun orang dewasa.
3. Mahasiswa mampu memberikan obat yang rasional sesuai dengan kondisi dan keadaan
pasien.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Sebagai salah satu bahan bacaan yang membahas penyakit infeksi saluran pernapasan
bawah dalam membantu menambah pemahaman terkait penyakit ini.

2
BAB II
ISI

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


2.1.1 Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA. Istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). ISPA
meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut dengan pengertian,
sebagai berikut:
a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara
anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian
bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan.
Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan
(respiratory tract).
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit
yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari.
Menurut WHO (2007), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) didefinisikan
sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang
ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam
waktu beberapa jam sampai beberapa hari.
Menurut Depkes RI (2005), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah
penyakit Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran
napas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk
jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

2.1.2 KLASIFIKASI ISPA


Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi (Depkes RI, 2005), sebagai berikut :
1. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis media,
faringitis.

3
2. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli,
dinamakan sesuai dengan organ saluran napas, seperti epiglotitis, laringitis,
laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

2.1.3 PENYEBAB PENYAKIT


Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus,
mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus,
sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan
mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya
mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah
dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus,
Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Bakteri
tersebut di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian
atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri tersebut menyerang anak-anak
yang kekebalan tubuhnya lemah misalnya saat perubahan musim panas ke musim
hujan.
Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus,
Influenza, Sitomegalovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus
dan lain-lain. Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus
(termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan
adenovirus. Virus para-influensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk
rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus
influensa bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali
hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influenza
merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas
daripada saluran nafas bagian bawah. Secara etiologi, ISPA juga disebabkan oleh
Jamur seperti Aspergillus sp.,Candida Albicans,Hitoplasma,dan lain-lain.

2.1.4 ALUR PENULARAN


Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu maka penyakit ISPA
ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah
cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda
4
terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat pula menular melalui
kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah
karena menghisap udara yang mengandungunsur penyebab atau mikroorganisme
penyebab (WHO, 2007)

2.2 Infeksi Akut Saluran Nafas Bawah


2.2.1 Pneumonia
A. Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius dan
alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu pertukaran
oksigen dan karbon dioksida di paru-paru.
Pada perkembangannya, berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk
pneumonia, yaitu pneumonia masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP), apabila
infeksinya terjadi di masyarakat dan pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-
acquired pneumonia/HAP), bila infeksinya didapat di rumah sakit.
Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) adalah pneumonia yang
terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit , sedangkan pneumonia nosokomial adalah
pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit, baik di ruang rawat
umum ataupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator. Pneumonia berhubungan
dengan penggunaan ventilator (ventilator-acquired pneumonia/VAP) adalah pneumonia yang
terjadi setelah 48- 72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pneumonia yang didapat di
pusat perawatan kesehatan (healthcare-associated pneumonia) adalah pasien yangdirawat
oleh perawatan akut di rumah sakit selama 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses
infeksi,tinggal dirumah perawatan (nursing home atau longterm care facility), mendapatkan
antibiotik intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi
ataupun datang ke klinik rumah sakit atau klinik hemodialisa.

B. Etiologi

Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya infeksi
melalui droplet sering disebabkan Streptococus pneumoniae, melalui slang infus oleh
Staphylococus aureus sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Pseudomonas
aeruginosa. Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di

5
rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri Gram negatif.

1. Cara pengambilan bahan

Cara pengambilan bahan untuk pemeriksaan bakteriologik dapat secara noninvasif


yaitu dibatukkan (dahak), atau dengan cara invasif yaitu aspirasi transtorakal, aspirasi
transtrakeal, bilasan / sikatan bronkus dan BAL. Diagnosis pasti bila dilakukan dengan cara
yang steril, bahan didapatkan dari darah, cairan pleura, aspirasi transtrakeal atau aspirasi
transtorakal, kecuali ditemukan bakteri yang bukan koloni di saluran napas atas seperti M.
tuberkulosis, Legionella, P. carinii. Diagnosis tidak pasti (kemungkinan) : dahak, bahan yang
didapatkan melalui bronkoskopi (BAL, sikatan, bilasan bronkus dll).

Cara invasif walaupun dapat menemukan penyebab pasti tidak dianjurkan, hanya
digunakan pada kasus tertentu. Untuk penderita rawat inap dianjurkan, hanya digunakan pada
kasus tertentu. Untuk penderita rawat inap dianjurkan pemeriksaan rutin kultur dahak pada
kasus berat, sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Pemeriksaan Gram harus
dilakukan sebelum pemeriksaan kultur.

2. Cara pengambilan & pengiriman dahak yang benar

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-kumur dengan


akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya.
Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke labolatorium
(tidak boleh lebih dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu
nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk
pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25/lpk dan sel
epitel < 10/lpk

C. Patofisiologi

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN
mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu

6
terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik
terset yaitu :

1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.

D. Klasifikasi Pneumonia

Menurut Departemen Kesehatan RI , pneumonia diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Pneumonia berat
b. Peumonia ringan
c. Bukan pneumonia ( penyakit paru lain) (Kemenkes, 2010).

Sedangkan pada panduan persatuan dokter paru indonesia (2003), pneumonia diklasifikasikan
sebagai berikut :

1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :

a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

Adalah pneumonia infeksius pada seseorang yang tidak menjalani rawat inap di
rumah sakit.

b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia)

Adalah pneumonia yang diperoleh selama perawatan di rumah sakit atau


sesudahnya karena penyakit lain atau prosedur.

c. Pneumonia aspirasi

Disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan dari lambung baik ketika makan atau
setelah muntah. Hasil inflamasi pada paru bukan merupakan infeksi tetapi dapat
menjadi infeksi karena bahan yang teraspirasi mungkin mengandung bakteri anaerobtik
atau penyebab lain dari pneumonia.

7
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised

Adalah pneumonia yang terjadi pada penderita yang mempunyai daya tahan tubuh
lemah.

pembagian ini penting untuk memudahkan dalam penatalaksanaan.

2. Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bakterial / tipikal.

Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang
sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus
pada penderita pasca infeksi influenza.

b. Pneumonia atipikal,

Disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

c. Pneumonia virus

d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada


penderita dengan daya tahan lemah(immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi

a. Pneumonia lobaris

Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia
yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh
obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

b.Bronkopneumonia

Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan


oleh bakteria maupun 12 virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dengan obstruksi bronkus

d. Pneumonia interstisial (PDPI, 2003)

E. Manifestasi klinis

8
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare,
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, merintih, dan sianosis.
F. Diagnosa
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400 C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

c. Pemeriksaan penunjang
 Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab
bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak
dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
 Pemeriksaan labolatorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat
peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang
mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran
ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur
9
darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas
darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik.

G. Tujuan Terapi

1. Menghilangkan gejala pneumonia


2. Menghilangkan penyebab pneumonia
3. Membatasi terjadinya komplikasi

H. Tatalaksana Terapi

a. Farmakologi

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :

1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.

3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum
pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :

 Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

ƒ Golongan Penisilin

ƒ TMP-SMZ

ƒ Makrolid

 Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

ƒ Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

ƒ Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi

ƒ Marolid baru dosis tinggi

ƒ Fluorokuinolon respirasi

10
 Pseudomonas aeruginosa

ƒ Aminoglikosid

ƒ Seftazidim, Sefoperason, Sefepim

ƒ Tikarsilin, Piperasilin

ƒ Karbapenem : Meropenem, Imipenem

ƒ Siprofloksasin, Levofloksasin

 Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

ƒ Vankomisin

ƒ Teikoplanin

ƒ Linezolid

 Hemophilus influenzae

ƒ TMP-SMZ

ƒ Azitromisin

ƒ Sefalosporin gen. 2 atau 3

ƒ Fluorokuinolon respirasi

 Legionella

ƒ Makrolid

ƒ Fluorokuinolon

ƒ Rifampisin

 Mycoplasma pneumoniae

ƒ Doksisiklin

ƒ Makrolid

ƒ Fluorokuinolon

11
 Chlamydia pneumoniae

ƒ Doksisikin

ƒ Makrolid

ƒ Fluorokuinolon

12
b. Non farmakologi
 Hidrasi untuk membantu mengencerkan sekresi
 Terapi oksigen yang dilakukan untuk menangani hipoksia
 Penanganan tambahan seperti makanan yang kaya akan kalori, asupan cairan
yang cukup, dan beristirahat
 Teknik napas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurangi
resiko atelektasis.

2.2.2 Pneumonia pneumokokus


A. Pengertian Pneumonia Pneumokokus
Pneumonia Pneumokokus adalah suatu infeksi paru-paru yang disebabkan oleh
bakteri pneumokokus. Penyebab pneumonia pneumokokus yaitu Streptococcus
Pneumoniae (Pneumokokus). Pneumonia Pneumokokus biasanya terjadi setelah suatu
infeksi virus pada saluran pernafasan bawah, sehingga menyebabkan kerusakan pada
paru-paru dan dapat menyebar ke darah, telinga tengah, atau sistem saraf.

B. Epidemiologi

13
Streptococcus pneumonia menyebabkan 20-30% kasus pneumonia yang didapat di
komunitas (insidensinya di Inggris 1 kasus/1000 orang dewasa), merupakan patogen
nomor dua tersering pada meningitis bakterial dan merupakan agen penyebab utama
pada sinusitis, otitis media dan eksaserbasi infektif penyakit dada kronik.
Pneumokokus:
 Seringkali bersifat asimtomatik pada anak-anak (30%) dan dewasa (15%).
Karier terdapat lebih banyak pada kelompok yang hidup berdekatan dan penuh
sesak
 Ditularkan melalui infeksi droplet; hal ini diperkuat oleh infeksi saluran
pernapasan atas yang sudah ada dan keadaan penduduk yang padat. Kolonisasi
faring biasanya mendahului pneumonia.

Pneumonia pneumokokus:

 Lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi HIV, sindrom nefrotik, atau
penyakit paru, jantung dan ginjal kronik; pada disfungsi limpa atau
pascaspenektom; pada penyakit hati alkoholik atau sirosis; pada pasien
diabetik; dan pada pasien dengan keganasan tertentu (misalnya mieloma,
limfoma) dan imunosupresi berat
 Lebih sering terjadi pada pria, orang berusia >40 tahun, selama musim dingin
dan pada kelompok dekat: pada konteks ini wabah kadang-kadang terjadi
 Merupakan komplikasi yang umum pada infeksi pernapasan akibat virus,
terutama influenza
 Mempunyai masa inkubasi 1-3 hari.

C. Manifestasi klinis
Pada pneumonia pneumokokus akut:
 Onsetnya mendadak, disertai kaku otot yang diikuti oleh demam tinggi dan
perburukan umum
 Batuk kering yang selanjutnya menjadi batuk produktif dengan sputum
berkarat, dan nyeri dada terjadi pada 75% pasien
 Pemeriksaan menunjukkan toksisitas, takipnea dan gambaran konsolidasi
 Herpes simpleks labialis seringkali terjadi

D. Gejala
 Menggigil dan gemetar diikuti demam
 Batuk berdahak dengan dahak yang sering berwarna seperti karat (berasal dari
darah)
 Sesak nafas
 Nyeri dada pada daerah yang terkena ketika menarik nafas
 Mual, muntah

14
 Mudah letih
 Nyeri sendi.

E. Diagnosis
 Adanya nyeri dada dan beberapa manifestasi ekstrapulmonal
 Leukositosis >15 X 109/L
 Bukti radiologis yaitu area konsolidasi berbatas tegas
 Pewarnaan Gram sputum menunjukkan diplokokus Gram-positif.
 Napas cepat:
 Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
 Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit
 Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
 Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit
 Suara merintih (grunting) pada bayi muda
 Pada auskultasi terdengar:
 Crackles (ronki)
 Suara pernapasan menurun
 Suara pernapasan bronkial
 Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
 Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
 Kejang, letargis atau tidak sadar
 Sianosis
 Distres pernapasan berat.
Konfirmasi infeksi dapat diperoleh dari:
 Isolasi S. pneumoniae murni dan bertumbuh banyak dari kultur sputum
 Terdapat S. Pneumoniae dari kultur darah atau cairan pleura
 Deteksi antigen pneumokokus dalam sputum, cairan pleura, urin dan atau
serum.

H. Prognosis
Pneumonia pneumokokus merupakan penyebab kematian utama. Kondisi
yang merupakan predisposisi infeksi juga meningkatkan kemungkinan penyakit
berat dan fatal.
Pada pneumonia yang didapat dikomunitas, adanya dua dari parameter berikut
berkaitan dengan peningkatan mortalitas sebanyak 21 kali lipat:
 Laju napas >30/menit
 Tekanan darah diastolik <60 mmHg, sistolik <90 mmHg
 Ureum darah >7 mmol/L
15
 Konfusi (skor AMT ≤8)

Manifestasi tambahan yang menunjukkan prognosis buruk adalah hipoksia


(saturasi <92% atau PaO2 <8 kPa), keterlibatan lobus bilateral atau multipel,
morbiditas penyerta dan usia diatas 50 tahun.

I. Pencegahan
 Imunisasi dengan vaksin pneumokokus yang mengandung polisakarida
kapsular dari 23 serotipe yang paling sering memberikan perlindungan sebesar
60-70%. Imunisasi ini diindikasikan untuk kelompok yang telah disebutkan
atas. Imunitas belnagsung jangka panjang. Vaksin non konjugasi yang tersedia
saat ini kurang imunogenik pada anak-anak berusia <2 tahun. Suatau vaksin
terkonjugasi yang mengandung 7-valen protein baru-baru ini
direkomendasikan untuk anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang berisiko
mengalami penyakit invasif (misalnya penyakit sel sabit).
 Kemoprofilaksis dengan penisilin oral diindikasikan pada anak-anak dengan
anemia sel sabit dan harus dipertimbangkan untuk pasien dengan
hiposplenisme fungsional atau pascasplenektomi.

J. Tatalaksana Terapi
a. Terapi Antibiotik
 Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi
respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi
dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/
kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
 Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang
berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya,
kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka
ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
 Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
 Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali
sehari).
 Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto
dada.
 Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk
pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5 mg/kgBB
IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau
klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari
sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral
selama 2 minggu.
16
b. Terapi Oksigen
 Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
 Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen
(berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang
cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak
yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%.
Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna
 Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan
nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi
muda.
 Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak
ditemukan lagi.

2.2.3 Bronkitis
 Pengertian Bronkitis
Bronkitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial, peradangan tidak
meluas sampai alveoli (Depkes RI, 2005). Definisi lebih lanjut bronkitis adalah suatu
peradangan pada bronkus, bronkhiali, dan trakhea (saluran udara ke paru-paru). Penyakit ini
biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang
memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan usia
lanjut, bronkitis bisa menjadi masalah serius (Arif, 2008).

 Klasifikasi Bronkitis
Bronkitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut atau kronik, penjelasannya sebagai
berikut :
2.2.3.1 Bronkitis akut
A. Pengertian
Bronkitis akut adalah serangan bronkitis dengan perjalanan penyakit
yang singkat (beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari.
Bronkitis akut pada umumnya ringan. Meski ringan, namun adakalanya
sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk
berkepanjangan.
Bronkitis akut adalah peradangan pada bronkus disebabkan oleh infeksi
saluran nafas yang ditandai dengan batuk (berdahak maupun tidak berdahak)
yang berlangsung hingga 3 minggu.
Sebagian besar bronkitis akut disebabkan oleh infeksi virus dan dapat
sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak memerlukan antibiotik. Meski

17
ringan, namun adakalanya sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak,
dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan. Antibiotik diperlukan apabila
bronkitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri (pada sebagian kecil kasus
bronkitis akut). Namun dokter masih sering memberikan antibiotik pada
pengobatan bronkitis akut. Padahal antibiotik tidak mempercepat
penyembuhan pada bronkitis akut tanpa komplikasi, dan justru pemberian
antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman (resistensi)
terhadap antibiotik.

B. Etiologi
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :
 Infeksi virus 90% : adenovirus, influenza virus, parainfluenza
virus, rhinovirus, dan lain-lain.
 Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,
Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau
bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia,
Legionella)
 Jamur
 Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.

C. Epidemiologi
Bonkitis akut paling banyak terjadi pada anak kurang dari 2 tahun,
dengan puncak lain terlihat pada kelompok anak usia 9-15 tahun.
Kemudian bronchitis kronik dapat mengenai orang dengan semua umur
namun lebih banyak pada orang diatas 45 tahun. Lebih sering terjadi di
musim dingin (di daerah non-tropis) atau musim hujan (di daerah tropis).

D. Patofisiologi
Bronchitis akut terjadi karena adanya respon inflamasi dari membrane
mukosa bronkus. Pada orang dewasa, bronchitis kronik terjadi akibat
hipersekresi mucus dalam bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa
dan penambahan jumlah sel goblet dalam epitel saluran nafas. Pada
sebagian besar pasien, hal ini disebabkan oleh paparan asap rokok.
Pembersihan mukosiliar menjadi terhambat karena produksi mucus yang
berlebihan dan kehilangan silia, menyebabkan batuk produktif.
18
Pada anak-anak, bronchitis kronik disebabkan oleh respon
endogen, trauma akut saluran pernafasan, atau paparan allergen atau
iritan secara terus-menerus. Saluran nafas akan dengan cepat merespon
dengan bronkospasme dan batuk, diikuti inflamasi, udem, dan produksi
mucus.
Apabila terjadi paparan secara kronik terhadap epithelium
pernafasan, seperti aspirasi yang rekuren atau infeksi virus berulang,
dapat menyebabkan terjadinya bronchitis kronik pada anak-anak.
Bakteri pathogen yang paling banyak menyebabkan infeksi salurang
respirasi bagian bawah pada anak-anak adalah Streptococcus
pneumoniae. Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis dapat
pathogen pada balita (umur <5 tahun), sedangkan Mycoplasma
pneumoniae pada anak usia sekolah (umur >5-18 tahun).

E. Manifestasi Klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung
2-3 minggu. Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna
jernih, putih, kuning kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut
dapat disertai gejala berikut ini :
1. Demam,
2. Sesak napas,
3. Bunyi napas mengi atau – ngik
4. Rasa tidak nyaman di dada atau sakit dada
Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala
infeksi saluran pernafasan lainnya.

Referensi lain:
1) Batuk berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan), sesak nafas
ketika melakukan olah raga atau aktivitas ringan, sering menderita
infeksi pernafasan (misalnya flu), bengek, lelah, pembengkakan
pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan, wajah, telapak
tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan, pipi tampak
kemerahan, sakit kepala, gangguan penglihatan.

19
2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek,
yaitu hidungberlendir, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot,
demam ringan dan nyeri tenggorokan.
3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya
batuk tidak berdahak, tetapi 1 – 2 hari kemudian akan mengeluarkan
dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah
banyak, berwarna kuning atau hijau.
4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik,
kadang terjadi demam tinggi selama 3 – 5 hari dan batuk bisa menetap
selama beberapa minggu.
5) Sesak nafas terjadi jika saluran udara tersumbat.
6) Sering ditemukan bunyi nafas mengi, terutama setelah batuk.
7) Bisa terjadi pneumonia

F. Diagnosis Banding
1) Epiglotitis
2) Bronkiolitis

G. Cara Diagnosis
1. Keluhan Pokok
 Gatal-gatal di kerongkongan
 Sakit di bawah sternum
 Batuk kering/batuk berdahak
 Sering merasa panas atau linu

2. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat, tidak sesak atau
takipnea. Mungkin ada nasofaringitis
 Paru: ronki basah kasar yg tidak tetap (dapat hilang atau pindah
setelah batuk), wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan
ekspirasi hingga ngik-ngik) dan krepitasi (suara kretek-kretek
dengan menggunakan stetoskop).
 Biasanya para dokter menegakkan diagnosa berdasarkan riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik. Itu sudah cukup.

20
3. Pemeriksaan Laboratorium
 Adapun pemeriksaan dahak maupun rontgen dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosa dan untuk menyingkirkan
diagnosa penyakit lain. Bila penyebabnya bakteri, sputumnya
akan seperti nanah
 Untuk pasien anak yang diopname, dilakukan tes C-reactive
protein, kultur pernafasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes
serum aglutinin untuk membantu mengklasifikasikan penyebab
infeksi apakah dari bakteri atau virus.
 Untuk anak yang diopname dengan kemungkinan infeksi
Chlamydia, mycoplasma, atau infeksi virus saluran pernafasan
bawah, lakukan pemeriksaan sekresi nasofaringeal untuk
membantu pemilihan antimikroba yang cocok. Serum IgM
mungkin dapat membantu.
 Untuk anak yang telah diintubasi, ambil specimen dari secret
pernafasan dalam untuk pewarnaan gram, tes antigen ahlamydia
dan virus, dan kultur bakteri dan virus.
- respon terhadap pemberian kortikosteroid dosis tinggi setiap hari
dapat dipertimbangkan diagnose dan terapi untuk konfirmasi
asma.
 Tes keringat yang negative dengan menggunakan pilocarpine
iontophoresis dapat mengeluarkan kemungkinan fibrosis kistik.
 Untuk anak yang diduga mengalami imunodefisiensi, pengukuran
serum immunoglobulin total, subkelas IgG, dan produksi antibodi
spesifik direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis.

4. Tes Pencitraan
 Dapat dijumpai temuan abnormal seperti atelektasis, hiperinflasi,
dan penebalan peribronkial.
 Konsolidasi fokal biasanya tidak nampak.

5. Tes Lainnya

21
Tes fungsi paru dapat memperlihatkan obstruksi jalan nafas yang
reversible dengan menggunakan bronkodilator.

H. Penatalaksanaan Terapi
Sebagian besar pengobatan bronkitis akut
bersifat simptomatis (meredakan keluhan). Obat-obat yang lazim
digunakan, yakni:
1. Antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorfan) 15 mg, diminum
2-3 kali sehari. Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari. Doveri 100 mg,
diminum 3 kali sehari. Obat-obat ini bekerja dengan menekan batuk
pada pusat batuk di otak. Karenanya antitusif tidak dianjurkan pada
kehamilan dan bagi ibu menyusui. Demikian pula pada anak-anak, para
ahli berpendapat bahwa antitusif tidak dianjurkan, terutama pada anak
usia 6 tahun ke bawah. Pada penderita bronkitis akut yang disertai
sesak napas, penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan
diperlukan feed back dari penderita. Jika penderita merasa tambah
sesak, maka antitusif dihentikan.
2. Ekspektorant: adalah obat batuk pengencer dahak agar dahak mudah
dikeluarkan sehingga napas menjadi lega. Ekspektorant yang lazim
digunakan diantaranya: GG (glyceryl guaiacolate), bromhexine,
ambroxol, dan lain-lain.
3. Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen), dan
sejenisnya., digunakan jika penderita demam.
4. Bronkodilator (melongarkan napas), diantaranya: salbutamol,
terbutalin sulfat, teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat ini
digunakan pada penderita yang disertai sesak napas atau rasa berat
bernapas. Penderita hendaknya memahami bahwa bronkodilator tidak
hanya untuk obat asma, tapi dapat juga digunakan untuk melonggarkan
napas pada bronkitis. Selain itu, penderita hendaknya mengetahui efek
samping obat bronkodilator yang mungkin dialami oleh penderita,
yakni: berdebar, lemas, gemetar dan keringat dingin. Andaikata
mengalami efek samping tersebut, maka dosis obat diturunkan menjadi
setengahnya. Jika masih berdebar, hendaknya memberitahu dokter agar
diberikan obat bronkodilator jenis lain.

22
5. Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh
kuman berdasarkan pemeriksaan dokter.
6. Terapi lanjutan
1) Jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga
gejala menghilang paling kurang 1 minggu. Bronkodilator bisa
diberikan jika diperlukan.
2) Penatalaksanaan akut dapat dihentikan apabila gejala sudah
menghilang, temuan normal pada pemeriksaan fisik, dan fungsi paru
normal.
3) Pasien yang didiagnosis dengan asma dapat diberikan terapi
“controller”, yaitu inhalasi terapi kortikosteroid, antihistamin, dan
inhibitor leukotrin setiap hari.
4) Pasien dengan hipogammaglobulinemia memerlukan terapi
pengganti.

I. Komplikasi
1. Bronkopneumoni
2. Pneumoni
3. Pleuritis
4. Penyakit-penyakit lain yang di perberat seperti : Jantung, Penyakit
jantung rematik, Hipertensi, dan Bronkiektasis

2.2.3.2 Bronkitis Kronis


A. Pengertian
Bronkitis kronis adalah suatu kondisi peningkatan pembengkakan dan lendir
(dahak atau sputum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran udara). Obstruksi
jalan napas terjadi pada bronkitis kronis karena pembengkakan dan lendir ekstra
menyebabkan bagian dalam tabung pernapasan lebih kecil dari normal. Diagnosis
bronkitis kronis dibuat berdasarkan gejala batuk yang menghasilkan lendir atau dahak
di hampir setiap hari, selama tiga bulan, selama dua tahun atau lebih (setelah penyebab
lain untuk batuk telah dikeluarkan). (PDPI, 2003)
Bronkitis kronik merupakan salah satu komponen dari Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) didefinisikan sebagai
penyakit yang dikarakterisir oleh adanya peningkatan resistensi aliran udara
(obstruksi) pada saluran pernapasan yang tidak sepenuhnya reversibel. Sumbatan
23
aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Ikawati, 2011).

B. Etiologi
a. Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama terjadi bronkitis kronik
dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik
setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam
volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok. Merokok secara histologi
dapat menyebabkan inflamasi saluran napas, hipertrofi kalenjar sekresi mukosa dan
hiperplasia sel goblet dimana secara langsung faktor ini memicu untuk terjadi
bronkitis kronik. Prevalensi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan
penyebab tingginya prevalensi bronkitis kronik dikalangan pria. Sementara prevalensi
bronkitis kronik dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah
wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Peter K, 2007).
b. Hiperesponsif saluran pernapasan
Inflamasi di saluran pernapasan penderita bronkitis menyebabkan modifikasi
saluran pernapasan. Ini adalah respon saluran pernapasan terhadap iritasi kronik,
seperti asap rokok. Inflamasi ini akan menyebabkan peningkatan sel inflamasi di
sirkulasi (faktor kemotatik) dan secara tidak langsung ia akan meningkatkan proses
inflamasi (sitokin proinflamasi). Mekanisme ini akan menyebabkan hiperesponsif
saluran pernapasan dan hiperesponsif ini akan memicu perubahan struktur saluran
pernapasan (GOLD, 2011).
c. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresifitas bronkitis kronik pada orang dewasa. Dipercaya
bahwa infeksi saluran napas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor
predisposisi perkembangan bronkitis kronik. Meskipun infeksi saluran napas adalah
penyebab penting terjadinya eksaserbasi bronkitis kronik, hubungan infeksi saluran
napas dewasa dengan perkembangan bronkitis kronik masih belum bisa dibuktikan
(Vestbo J,2004).
d. Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan dan obstruksi saluran napas
juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu, debu, wap kimia selama bekerja. Di
24
negara yang kurang maju, pemaparan akibat pekerjaan dikatakan tinggi berbanding
negara yang maju karena undang- undang sektor pekerjaan yang kurang ketat.
Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas berisiko untuk
mendapat bronkitis kronik, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan
efek akibat merokok (David Mannino, 2007).
e. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan
pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi
udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan
terjadinya bronkitis kronik masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus
dengan asap hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang
signifikan terjadinya bronkitis kronik pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun
begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok
(David Mannino, 2007).
f. Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya bronkitis kronik. Insidensi kasus bronkitis kronik yang disebabkan
defisiensi α1- antitripsin di Amerika Serikat kurang daripada satu peratus. α1-
antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja
menginhibisi neutrofil elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat
menyebabkan bronkitis kronik pada umur rata-rata 50 tahun untuk penderita dengan
riwayat merokok dan 40 tahun untuk penderita yang tidak merokok (Vestbo.J, 2004).

C. Patofisiologi
Perubahan struktur pada saluran pernapasan menimbulkan perubahan
fisiologik yang merupakan gejala bronkitis kronik seperti batuk kronik, produksi
sputum, obstruksi jalan napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dank
atau pulmonale. Akibat perubahan bronkial terjadi gangguan pertukaran gas yang
menimbulkan dua masalah serius yaitu:
1. Aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli tidak sesuai dimana berlaku
mismatched. Sebagian tempat alveoli terdapat aliran darah yang adekuat tetapi
sangat sikit aliran udara dan sebagian tempat lain sebaliknya.
2. Prestasi yang menurun dari pompa respirasi terutama otot-otot respirasi sehingga
terjadi overinflasi dan penyempitan jalan napas, menimbulkan hipoventalasi dan
tidak cukupnya udara ke aveoli menyebabkan karbon dioksida darah meningkat
25
dan oksigen dalam darah berkurang. Mekanisme patofisiologi yang bertanggung
jawab pada bronkitis kronik sangat kompleks, berawal dari rangsang iritasi pada
jalan napas menimbulkan 4 hal besar seperti inflamasi jalan napas, hipersekresi
mukus, disfungsi silia dan rangsangan reflex vagal saling mempengaruhi dan
berinteraksi menimbulkan suatu proses yang sangat kompleks (Sanjay Sethi,
1999).

D. Gejala-gejala bronkitis kronik


Bronkitis kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana
kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut.
Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak napas yang
semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum
atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan
gangguan tidur. Gejala klinis bronkitis kronik eksaserbasi akut ini dapat dibagikan
menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak
napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum,
batuk yang semakin sering, dan napas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik
ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan
status mental pasien (GOLD, 2011).

E. Diagnosis bronkitis kronik


Gejala dan tanda bronkitis kronik sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru. Penderita bronkitis kronik akan datang ke dokter dan mengeluhkan
sesak napas, batuk-batuk kronik, sputum yang produktif, serta adanya riwayat faktor
resiko. Sedangkan bronkitis kronik ringan dapat tanpa keluhan atau gejala.(PDPI,
2003).
Diagnosis dapat ditegakkan yang pertama yakni dengan anamnesis meliputi
keluhan utama dan keluhan tambahan. Biasanya keluhan pasien adalah batuk maupun
sesak napas yang kronik dan berulang. Pada bronkitis kronik gejala batuk sebagai
keluhan yang menonjol, batuk disertai dahak yang banyak, kadang kental dan kalau
berwarna kekuningan pertanda adanya super infeksi bakterial. Gangguan pernapasan
kronik pada bronkitis kronik secara progresif memperburuk fungsi paru dan
keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi, dan komplikasi dapat terjadi
gangguan pernapasan dan jantung. Perburukan penyakit menyebabkan menurunnya
26
kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai kehilangan kualitas
hidup (PDPI, 2003).
Adanya riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan. Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja juga sering ditemukan.
Kemudian adanya riwayat penyakit pada keluarga dan terdapat faktor predisposisi
pada masa anak, misalnya berat badan lahir rendah, infeksi saluran napas berulang dan
lingkungan asap rokok dan polusi udara. Kemudian adanya batuk berulang dengan
atau tanpa dahak dan sesak dengan atau tanpa bunyi mengi. Kemudian dilakukan
pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapati pursed - lips breathing atau sering dikatakan
mulut setengah terkatup atau mulut mencucu. Lalu adanya barrel chest (diameter
antero - posterior dan transversal sebanding). Pada saat bernapas dapat ditemukan
penggunaan otot bantu napas dan hipertropi otot bantu napas. Pelebaran sela iga dan
bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema
tungkai serta adanya penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada saat palpasi
didapati stem fremitus yang lemah dan adanya pelebaran iga. Pada saat perkusi akan
didapati hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah. Auskultasi berguna untuk mendengar apakah suara napas
vesikuler normal, atau melemah, apakah terdapat ronki atau mengi pada waktu
bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung
terdengar jauh. (PDPI, 2003)
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa adalah faal paru, dengan menggunakan spirometri. Apabila spirometri tidak
tersedia, arus puncak ekspirasi (APE) meter walaupun kurang tepat, namun dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore. Lalu uji
faal paru lain yang dapat dilakukan adalah uji bronkodilator biasa untuk bronkitis
kronik stabil. Selain faal paru, pemeriksaan rutin lain dilakukan adalah darah rutin
dengan melihat leukosit, hemoglobin dan hematokrit. Pemeriksaan radiologi yakni
foto toraks posisi posterior anterior (PA) untuk melihat apakah ada gambaran restriksi
bronkial.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah pemeriksaan faal paru dengan
pengukuran Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF dan lain-lain. Lalu lainnya adalah uji latih kardiopulmoner, uji
provokasi bronkus, uji coba kortikosteroid, analisis gas darah, sinar Computerized
Tomography (CT Scan) resolusi tinggi, elektrokardiografi, ekokardiografi,
bakteriologi dan kadar alfa-1 antitripsin (PDPI 2003).
27
F. Penatalaksanaan bronkitis kronik
Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap bronkitis kronik, seorang dokter
harus dapat membedakan keadaan pasien sama ada apakah pasien tersebut mengalami
serangan (eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan
dari kedua jenis ini berbeda. Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk
mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau dirumah untuk mempertahankan bronkitis kronik yang stabil dan
mencegah eksaserbasi. (PDPI, 2003)
Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil meliputi pemberian obat-obatan,
edukasi, nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru rumah sakit. Dalam
penatalaksanaan bronkitis kronik yang stabil termasuk adalah melanjutkan pengobatan
pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru, baik setelah mengalami
serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan fungsi paru dan
analisis gas darah. Obat-obatan diberikan dengan tujuan untuk mengurangi laju
beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil yang telah tercapai dengan
mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Tujuan utama pengobatan
adalah untuk meredakan gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan
toleransi pada aktiviti seharian, memperbaiki status kesehatan, mengobati komplikasi,
dan mencegah eksaserbasi berikut. Obat-obatan yang digunakan adalah:

1. Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan golongan
antikolinergik. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuatkan efek
bronkodilatasi karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Masing-
masing dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit
sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi
dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg.

2. Kortikosteroid (Antiinflamasi)
Diberikan golongan metilprednisolon atau prednison, dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, setiap hari atau selang sehari dengan dosis minimal 250mg.

3. Antibiotik
28
Diberikan untuk mencegah dan mengobati eksaserbasi serta infeksi. Antibiotik
juga diberikan sekiranya ada peningkatan jumlah sputum, sputum berubah menjadi
purulen dan peningkatan sesak. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman
setempat. Jenis antibiotik yang bisa diberikan adalah makrolid, sefalosporin generasi
II, generasi III, kuinolon dan flurokuinolon.

4. Ekspektoran
Diberikan obat batuk hitam (OBH)

5. Mukolitik
Diberikan pada eksaserbasi kerana akan mempercepatkan perbaikan eksaserbasi
dengan mengencerkan dahak. Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

6. Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu. Manfaatkan
obat antitusif yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis yang terjadi pada
keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk menghindari efek
samping obat.

7. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, diberikan N-
asetilsistein.

Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena
keterbatasan obat- obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti
keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan ekonomi
dan sarana kesehatan, edukasi di puskesmas ditujukan untuk mencegah bertambah
beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang tersedia dengan tepat,
menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi. Keseimbangan
nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus dijaga. Asupan nutrisi
diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan
meningkatnya derajat sesak semasa beraktiviti. Pemberian karbohidrat yang tinggi
pula menghasilkan karbon diosikda yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap

29
rehabilitasi dimana pasien harus diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips,
latihan ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekstremitas (PDPI, 2003).

2.2.4 BRONKIOLITIS
A. Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang
padaumumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala - gejala obstruksi
bronkiolus.Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat
ekspirasi, takipnea, retraksi,dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada.

B. Patogenesis dan Patofisiologi


RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80 ± 350 nm),
termasukparamyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan
bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )
yang mengikat sel danprotein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus
dengan sel target dan seltetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi
neutralisasi protektif pada host.
Terdapatdua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A
menyebabkan gejala yangpernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.Masa
inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian
menyebardari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung
pada epitelsaluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi
sistem salurannapas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan
bronkiolus yangmemberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia.
Nekrosis sel epitel salurannapas menyebabkan terjadi edema submukosa dan
pelepasan debris dan fibrin ke dalamlumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel
bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,mucus tertimbun di dalam bronkiolus.
Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkansaraf aferen lebih terpapar
terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptide(neurokinin,
substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Padaakhirnya
kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular
AdhesionMolecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan
sel-sel inflamasi.
Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi,
edema saluran nafas,akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos
30
saluran napas.Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkancompliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt.Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja
sistem pernapasan, batuk,wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis,
hipoksia, hiperkapnea, asidosismetabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran
udara saluran nafas berbandingterbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4,
maka penebalan dinding bronkiolussedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar
pada aliran udara. Apalagi diameter salurannapas bayi dan anak kecil lebih sempit.
Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat padafase inspirasi maupun pada fase
ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klephingga udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada.
Volume dada padaakhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal.
Atelektasis dapat terjadi bila obstruksitotal.Anak besar dan orang dewasa jarang
mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus.Perbedaan anatomi antara paru-
paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakankontribusi terhadap hal
ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dantidak lengkap.
Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkanresistensi
terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif
immunity’sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih
tahan terhadap infeksibronkiolitis dan pneumonia karena RSV.Penyembuhan
bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,sedangkan
regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari.

C. Manifestasi Klinik
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer
dan bersin.Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan
nafsu makanberkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk
paroksismal, wheezing,sesak napas. Bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit
makan dan minum. Bronkiolitisbiasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa
atau anak besar yang menderita infeksisaluran nafas atas yang ringan.
Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada
yangmengalami hipotermi. Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60
kali permenit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat.
Terdapat nafascuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi.Retraksi
biasanya tidak dalamkarena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam
31
paru). Terdapat ekspirasi yangmemanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan
ataupun tanpa stetoskop, serta terdapatcrackles. Hepar dan lien teraba akibat
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paruyang hiperinflasi. Sering terjadi
hipoksia dengan saturasi oksigen < 92% pada udara kamar.Pada beberapa pasien
dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media sertafaringitis.

D. Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan
adanya epidemi RSVdi masyarakat. Kriteria bronkiolitis terdiri dari : (1) wheezing
pertama kali, (2) umur 24 bulanatau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan
gambaran infeksi virus misalnya batuk,pilek, demam dan (4) menyingkirkan
pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
AssessmentInstrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel
respirasi yaitu wheezingdan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori
berat, bila skor kurang 3dimasukkan dalam kategori ringan.
Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai
derajatkeparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya
hipoksia danmerupakan indikasi untuk rawat inap.Tes laboratorium rutin tidak
spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien denganpeningkatan lekosit
biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003),mendapatkan
bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia. Analisa gasdarah dapat
menunjukkan adanya hipoksia dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.
Umumnya terlihatparu-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan
bercak-bercak yang tersebar,mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia
(patchy infiltrates). Pada x-fotolateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan
diafragma tertekan ke bawah. Padapemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated
apabila kita mendapatkan siluet jantung yangmenyempit, jantung terangkat, diafragma
lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposteriordada bertambah, ruang
retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tersebar.

E. Penatalaksanaan Bronkiolitis
Bronkiolitis umunya disebabkan oleh virus RSV dan bersifat sembuh sendiri
sehingga pengobatan bronkiolitis sebahagian besar bersifat terapi suportif, yaitu
32
pemberian oksigen, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu
lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi.
Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti kortikosteroid,
antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV
immunoglobuline (polyclnal) atau humanized RSV monoclonal antibody
(palvizumad).
Terapi supportif, pemberian Oksigen dan cairan merupakan dasar
penatalaksanaan saat ini . Jenis terapi lainnya dari hasil kajian sistemik menunjukkan
sedikit bukti tentang efektivitas penggunaannya seperti obat bronkodilator, ribavirin
begitu juga kortikosteroid baik oral maupun intravena. Penggunaan kortikosteroid
bersamaan dengan beta 2 agonis juga masih menjadi kontroversi. Antibiotik dapat
diberikan jika dicurigai adanya infeksi lain. Fisioterapi dada pun belum dianjurkan
dalam penatalaksanaan bronkiolitis.
Pasien bronkiolitis dengan klinis yang ringan dapat rawat jalandengan tetap
memperhatikan makanan dan pernafasan pasien . Jika klinisnya berat harus di lakukan
rawat inap. Secara umum keputusan untuk melakukan rawat inap didasarkan pada usia
pasien, faktor resiko tinggi, drajat gangguan pernafasandan toleransi menerima cairan
oral. Faktor resiko meliputi, usia kurang dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung,
kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres nafas. Tujuan dari
perawatan di rumah sakit adalah untuk terapi suportif, mencegah dan mengatasi
komplikasi, atau bila perlu diberikan tindakan antivirus.
Bayi dengan bronkiolitis dapat juga di rawat di ruang perawatan intensif jika
:Gagal mempertahankan saturasi O2 > 92 % dengan terapi oksigen, Perburukan status
pernafasan yang ditandai dengan peningkatan distres nafas atau kelelahan, dan Apneu
berulang.
1. Pengobatan Suportif
o Pengawasan
Untuk pasien yang dirawat perlu pengawasan sistem jantung paru dan
jika ada indikasi dilakukan pemasangan pukseOxymetri.

o Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen bertujuan untuk memepertahnakan saturasi
heamoglobin >92 %. Oksigenasi ini penting untuk mencegah hipoksia
sehingga nantinya akan memperberat penyakit. Hipoksia ini bisa terjadi
karena gangguan perfusi ventilasi paru. Walaupun efek pemberian oksigen
33
terhadap pemulihan bronkiolitis belum diketahui tetapi hal ini sangat menjadi
pertimbangan dalam lama perawaatan bayi yang menderita bronkiolitis.
Pemberian oksigen dapat dihentikan jika saturasi heamoglobin terus menerus
di atas 90%, bayi sudah mau untuk menyusui dengan baik dan gangguan
pernafasan minimal. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distres
berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka
segera lakukan permintaan untuk penanganan di ICU untuk penggunaan
ventilator.

o Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akiba
keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan
minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan
tambahan cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang
naik turun atau menetap (suhu >38,5 0C). Cara pemberian cairan ini bisa
secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan tetapi harus hati-
hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan
menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan menekan
diafragma ke paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan.
Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak
normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit.

2. Pengobatan Medikamentosa
o Bronkodilator (Beta 2 Agonis, Efinefrin)
Penyempitan saluran pernafasan sampai terjadinya obstruksi dari jalan
nafas pada banyak kasus disebabkan oleh penumpukkan lendir, debris, dan
edema mukosa. Berdasarkan hal inilah disimpulkan pengobatan dengan
menngunakan beta 2 agonis memberikan hasil yang tidak terlalu berarti.
Sampai saat ini penggunaan bronkodilator masih kontroversial.
Penggunaan epinefrin didsarkan pada kerjanya yang merangsang
adrenoreseptor alfa yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dari mukosa
saluran pernafasan sehingga bisa mengurangi edema mukosa. Dalam sebuah
penelitian yang membandingkan pemberian bronkodilator (selain epinefrin)
dengan plasebo didapatkan kesimpulan bahwa pemberian bronkodilator
memberikan perbaikan jangka pendek dalam gejala klinis tetapi tidak
34
memberikan hasil yang signifikan dalam oksigenasi secara keseluruhan dan
angka rawatan di rumah sakit. Disamping itu salah satu alsan dari
penggunaan beta 2 agonis adalah karena 15-25% pasien bronkiolitis bisa
menjadi asma. Inhalasi beta 2 agonis diberikan satu kali sebagai trial dosis.
Karena effek akan terlihat dalam satu jam, maka dosis ulangan akan
diberikan pada pasien yang menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang
jelas dan menetap.

o Kortikosteroid
Dari hasil penelitian yang dilakukan tidak ditemukan pengaruh berarti
dari penggunaan kortikosteroid inhalasi bayi yang memnderita infeksi
saluran nafas bawah karena RSV. Jadi penggunaan kortikosteroid inhalasi
tidak dianjurkan. Penelitian lain tentang pemberian suntikan intra muskular
tunggal dexametason menjukkan mamfaat sederhana dan juga berkaitan
dengan lamanya rawatan di rumah sakit. Dalam penelitian lain juga
menunjukkan bahwa pemberian dexametason oral dosis tunggal tidak
memberikan efek pada bayi yang menderita bronkiolitis. Begitu juga
pemberian prednison oral selama fase akut bronkiolitis tidak efektis
mencegah mengi pasca bronkiolitis. Rekomendasi saat ini adalah
penggunaan kortikosteroid sistemik tidak boleh digunakan secara rutin dalam
pengobatan bronkiolitis virus akut. Penelitian lain yang memberian
kombinasi epinefrin dan dexametason inhalasi cukup bermamfaat tapi hal
inipun belum menjadi rekomendasi dalam pengobatan. Pemberian
kortikosteroid sistemik dapat dipertimbangkan pemberiaanya pada
penanganan pasien di ICU dengan bronkiolitis berat.

o Antagonis reseptor leukotrien


Leukotrien cystenil secara signifikan meningkatkan sekresi dari saluran
pernafasan. Penelitian yang dilakukan dengan pemberian montelukast
(antagonis reseptor leukotrien) untuk bronkiolitis tidak menurunkan gejala
saluran pernafasan selama masa pengobatan. Dari hal ini pemberian
montelukast belum di rekomendasikan pada bronkiolitis.

o Antibiotik

35
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita
bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada
tanda-tanda infeksi sekunder dan diberikan antibiotik spektrum luas.
Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman
yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Antibiotik bila dicurigai adanya
infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr secara
intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4 bulan
kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis.

o Antibody Immunoglobulin dan Monoklonal


Suatu antibody monoclonal IgG1 humanis spesifik terhadap penyatuan
protein RSV menunjukkan efikasi dalam mencegah penyakit RSV serius
pada pasien dengan resiko tinggi. Dari hasil penelitian terakhir penggunaan
immunoglobulin ataupun antibody monoclonal RSV bisa digunakan untuk
bronkiolitis viral akut.

o Antivirus
Ribavirin adalah agen antiviral spectrum luas yang disetujui untuk
pengobatan infeksi RSV dan satu-satunya obat anti viral yang telah diteliti
pada anak-anak dengan bronkiolitis viral akut. Tetapi penggunaannya masih
menjadi kontroversi karena keamanan dan juga harganya yang mahal.
Ribavirin dapat mengurangi durasi ventilasi mekanik dan lama perawatan
serta dapat menurunkan insidens wheezing berulang saat bronkiolitis.
Sampai saat ini penggunaan Ribavirin secara rutin pada bronkiolitis belum
direkomendasikan.
The American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin
pada keadaan yang diperkirakan penyakitnya menjadi tambah lebih berat
seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik,
penyakit paru kronik, immunodefisiensi dan pada bayi prematur.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan menggunakan nebulizer aerosol 12-18
jam perhari atau dosis kecil dengan 2 jam 3x/hari.

o Hipertonik Saline
Dalam sebuah studi menunjukkan bahwa inhalasi 3 % HS
adalahpengobatan yang efektif untuk bayi hingga usia 18 bulan dirawat di
36
rumah sakitdengan bronchiolitis virus. Penggunaan rutin dari 3 % HS dalam
pengobatan bayidirawat di rumah sakit dengan bronkiolitis memiliki potensi
besar karena sangant mengurangi lama rawatan di rumah sakit dan juga
mengurangi tingakt keparahan.
Edema saluran nafas dan sumbatan mukus adalah karakteristik
patologis pada bronkiolitis virus akut. Hipertonik saline menurunkan edema
saluran nafas, meningkatkan banyaknya rheologic mucus dan bersihan
mukosiliar, dan akhirnya, penurunan obstruksi saluran nafas.

o Sufaktan
Bukti klinis dan laboratorium menunjukkan bahwa bronkitis virus berat
dapat menyebabkan insufisiensi surfaktan sekunder. Dengan demikian
pemberian surfaktan eksogen merupakan potensi terapi yang
menjanjikan.penggunaan surfaktan ini dikaitkan dengan penurunan
penggunaan ventilasi mekanik dan penurunan lama perawatan di ICU.

o Fisioterapi dada
Tujuan dari fisoterapi dada adalah untuk mengurangi resistensi jalan
nafas dan kerja pernafasan serta untuk membantu meningkatkan pertukaran
gas dengan pembersihan sekresi jalan pernafasan. Dari penelitian terakhir
fisioterapi tidak mengurangi kebutuhan oksigen, lama rawatan dan
penurunan gejala klinis sehingga saat ini juga belum di rekomendasikan.

2.2.5 Pertusis
A. Definisi
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun
1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif.
Syndenham yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670.
Penyakit ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat
spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi, karena penderita berupaya
keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas
(whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough.
Karena tidak semua penderita dengan penyakit ini mengeluarkan bunyi whoop,
maka oleh beberapa ahli, penyakit ini disebut Pertusis yang berarti batuk yang sangat

37
berat atau batuk yang sangat intensif. Selain penyakit ini juga sering disebut Tussis
Quinta, batuk rejan.
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai
dewasa. Dengan kemajuan perkembangan antibiotika dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbilitas penyakit ini menurun, namun demikian penyakit ini masih
merupakan salah satu masalah pada bayi.

B. Etiologi
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam
media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis,
B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella
pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh
Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella pertusis
termasuk kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 – 1 um dan
diameter 0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin
biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk
melakukan biakan B. pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut
bordet gengou (potato blood glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk
menghambat pertumbuhan organism lain. Dengan sifat – sifat pertumbuhan kuman
aerob murni, membentuk asam, tidak membentuk gas pada media yang mengandung
glukosa dan laktosa, sering menimbulkan hemolysis.
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase
dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4).
Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif.
Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah
jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 – 100C).

38
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :
 Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis
promoting factor, Islet activating protein (IAP).
 Adenilat siklase luarsel.
 Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-
HA).
 Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella
Pertusis seperti Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk
membedakan jenis – jenis kuman ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi yang
khas atau tes tertentu.

C. Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi,
dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya
dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara
secara:
 Droplet
 Bahan droplet
 Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.

Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa. Epidemi penyakit
ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika serikat selama tahun 1977–1980
terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600 pendeirta
dengan kematian 17.00 orang. Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500
penderita dengan kematian 23.100 orang. Data yang diambil dari profil kesehatan
jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case
fatality rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%,
kemudian turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada
tahun 1999, diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-
anak di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 600.000 kematian setiap tahun
disebabkan oleh pertusis, terutama pada bayi yang tidak diimunisasi

Usia Dari tahun 1999-2002, dari semua pasien pertusis:


 29% berusia kurang dari 1 tahun.
39
 12% berusia 1-4 tahun.
 10% berusia 5-9 tahun.
 29% berusia 10-19 tahun.
 20% berusia lebih dari 20 tahun

D. Patogenesis
Bordetella pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh
Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap
mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit
sistemik.
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis
toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella pertusis pada silia.
Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar
keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena
itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis,
maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal
dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit
disebabkan oleh karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A
dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian
menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan magrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur sintesis
protein di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis
dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran
histamin dan serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktifitas
insulin, sehingga akan menurunkan konsengtrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan Staphylococcus aureus).
Penumpukan mukos akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan
kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran
oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh
40
toksin langsung atakah sekunder akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang
reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat
menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan kontraksi
otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan
nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan
siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertusis lipopolysacharida (endotoksin)
tidak terlalu penting dalam hal patogenesis penyakit ini. Kadang – kadang Bordetella
pertusis hanya menyebakan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan tosin
pertussis.

E. Manifestasi Klinik
Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan
penyakit ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung
3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut
paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens. Manisfestasi klinis
tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Gejala pada anak yang
berumur <2 tahun yaitu batuk paroksismal (100%), whoops (60 – 70%), emesis (66 –
80%), dispnue (70 – 80%) dan kejang (20 – 25%). Pada anak yang lebih besar
manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang
pada anak >2tahun. Suhu jarang >38,40C pada semua golongan umur. Penyakit yang
disebabakan Bordetella parapertusis atau Bordetella bronkiseptika pada semua
golongan umur lebih ringan daipada Bordetella pertusis dan juga lama sakit lebih
pendek.

 Stadium Katalaris (1 – 2 minggu)


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya
rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya
diagnosis pertusis belum dapat ditegakan karena sukar dibedakan dengan common
cold.
Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet
dan penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini kuman
paling mudah di isolasi. Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan
dengan coomon cold.
41
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan
menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket.
Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel.

 Stadium Paroksimal (2 – 4 minggu)


Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop
(batuk yang berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik
napas pada akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama
batuk anak tidak dapat bernapas dan pada akhir serangan batuk anak menarik
napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop)
dan diakhiri dengan muntah.
Pada anak –anak yang lebih tua, bunyi whoop ini sering tidak
terdengar. Juga pada bayi yang lebih muda serangan batuk hebat tidak di sertai
bunyi whoop, tetapi penderita sering dalam keadaan lemas, lelah, apneu,
sianosis, muntah.
Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa
bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama
serangan , muka penderita menjadi merah atau sianotis, mata tampak
menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita
sering sekali memuntahkan lendir kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh stres
emosional (menangis,sedih,gembira) dan aktifitas fisik, Juga pada serangan
batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas di kepala dan leher, bahkan
terjadi petekie di wajah,perdarahan subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi
frenulum lidah.
Walaupun batuknya khas, tetapi d luar serangan batuk, anak akan
keliatan seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat
hebat dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu
dan berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang.

 Stadium Konvalesen (1 – 2 minggu)


Ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah – muntah di mana
puncak serangan paroksimal berangsur – angsur menurun. Batuk biasanya
masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 – 3
minggu. Pada beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksimal
42
kembali dengan gejala whoop dan muntah – muntah. Episode ini terjadi
berulang – ulang untuk beberapa bulan malahan bisa sampai 1 – 2 tahun.

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat
kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi
whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis
yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 – 50.000/ Ul
dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis, oleh
karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi Bordetella pertusis
dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif
pada stadium kataral 95 – 100%, stadium parosismal 94% pada minggu ketiga dan
menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. Serologi untuk antobiodi toksin
pertusis. Tes serologi berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk
menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat
dipakai untuk menentukan serum Igm, IgG dan IgA terhadap FHA dan PT
menggambarkan respon imun primer baik disebabakan oleh penyakit atau
vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setealah imunisasi pertusis.
Pemeriksaan lain yaitu toraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis
atau empisema

G. Pengobatan
 Antimikroba
Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis namun
tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan penyakit ini
terutama diberikan pada stadium paroksimal. Oleh karena itu obat – obat
ini lebih dianjurkan pemakaiannya pada stadium kataralis yang dini.
Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding
kloramfenikol maupun tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan
dosis 50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari
43
 Kortikosteroid
Beberapa peneliti menggunakan :
o Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam
o Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis
30mg/kg.bb/24jam, kemudian diturunkan secara perlahan – lahan
da diberhentikan pada hari ke 8.
o Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari.
Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah dalam
pengobatan pertusis terutama pada bayi dengan serangan paroksimal.

 Salbutamol
Beberapa peneliti menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap
pengobatan pertusis dengan cara kerja sebagai berikut :
o Beta 2 adrenergik stimulant
o Mengurangi parokosismal
o Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop
o Mengurangi frekunensi apnue
Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis.

 Terapi non-farmakologi
o Lingkungan perawatan yang tenang
o Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya
diberikan makanan yang berbentuk cair.
o Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan
elektrolit secara parenteral.
o Pembersihan jalan napas.
o Oksigen, terutama pad asernagan baatuk yang hebat yang disertai
sianosis.
H. Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang
lebih baik. Pada bayi resiko kemtaian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada
observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan
intelektual dikemudian hari.

44
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA. Istilah ini diadaptasi
dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Menurut WHO (2007),
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan
akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia.
Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus,
mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus,
sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan mycoplasma.
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius dan
alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu pertukaran
oksigen dan karbon dioksida di paru-paru.
Pneumonia Pneumokokus adalah suatu infeksi paru-paru yang disebabkan oleh bakteri
pneumokokus. Penyebab pneumonia pneumokokus yaitu Streptococcus Pneumoniae
(Pneumokokus). Pneumonia Pneumokokus biasanya terjadi setelah suatu infeksi virus pada
saluran pernafasan bawah, sehingga menyebabkan kerusakan pada paru-paru dan dapat
menyebar ke darah, telinga tengah, atau sistem saraf.
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus, bronkhiali, dan trakhea (saluran udara
ke paru-paru). Penyakit ini biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna.
Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau
penyakit paru-paru) dan usia lanjut, bronkitis bisa menjadi masalah serius (Arif, 2008).
Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada
umumnya disebabkan oleh virus, menyebabkan gejala-gejala obstruksi bronkiolus.
Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi,
dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada.
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri
dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi, karena
penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi
yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough.

3.2 Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya. Diharapkan ada
perbaikan positif dari pembuatan makalah ini sehingga lebih baik ke depannya.
45
DAFTAR PUSTAKA

American Pharmacist Assosiaciation, 2009, Drug Information Handbook 18th. Ed, Lexi-
Comp Inc., North American, USA.

Arif, Muttaqin. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M., 2008,
Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 7th edition, McGrawHill, New York,
pp. 139-167.

Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7, volume 2,
Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal : 564 –
568.

Ikawati, S, 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta : Bursa Ilmu
Karangkajen.

Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2,
Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331 – 337.

James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May
2005, pp. 1422-1427.
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422

Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of
Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
2000. Hal : 960 – 965

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas, pedoman diagnosis &


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, 2003. h.1-6

Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.

Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto, Soedjatmiko
(Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151.

46
Rahmadani, R.Q., dan Marlina, R., 2011, Bronkitis Pada Anak, Akademi Kebidanan Sentral
Padangsidimpuan, Sumatra

Sugeng, Ucke, 2008, Virologi manusia jilid 1. Penerbit PT Alumni : Bandung

Widoyono, 2005, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, &


Pemberantasannya). Penerbit Erlangga : Jakarta

47

Anda mungkin juga menyukai