Anda di halaman 1dari 33

RENCANA PROPOSAL TESIS

SWAMEDIKASI OBAT
STUDI KUALITATIF PADA PASIEN DI APOTEK
DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN TAHUN 2022

OLEH :
Nelli Purba, S.Farm., Apt.
NIM. 200101065

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


DIREKTORAT PASCASARJANA
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir, peran apoteker telah berubah, yaitu tidak hanya
sebagai drug supplier, namun bertindak sebagai bagian dari tim multidisiplin yang terlibat
dalam pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian
semakin dirasa penting dengan adanya tantangan pada pelayanan swamedikasi. Berbagai
studi menunjukkan tingginya tingkat swamedikasi di masyarakat.
Pada saat orientasi paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan
obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented) dengan mengacu kepada
pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang
semula hanya berfokus pada pengolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat
menjaga kesehatannya sendiri (Sukasediati, 1999). Dari data World Health Organization
(WHO), di banyak Negara sampai 80% episode sakit di coba diobati sendiri oleh penderita.
Sedangkan di Indonesia menunjukan bahwa sekitar 60 % masyarakat melakukan
swamedikasi dengan obat modern sebagai tindakan pertama bila sakit.
The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefenisikan swamedikasi
atau self-medications sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu
atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Sedangkan defenisi swamedikasi menurut WHO
adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun tradisional oleh seorang
individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). Banyak faktor yang
mendasari seseorang melakukan swamedikasi. Hasil survei yang dilakukan oleh The World
Self Medication Industry (WSMI) di 14 negara tentang “Drug Classification: prescription
and OTC (Over The Counter) Drugs”, menunjukan bahwa swamedikasi dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan dan pengetahuan (PAHO, 2004). 2 Di negara maju Amerika Serikat di
perkirakan dalam waktu satu tahun penduduk yang mengeluh atau merasa menderita sakit
sebanyak 75% dari jumlah penduduk. Dari jumlah tersebut, 10% tidak berbuat apa-apa,
25% pergi ke dokter untuk mendapatkan pertolongan, dan sisanya sebanyak 65%
melakukan pengobatan sendiri. Dapat diperkirakan bahwa di Indonesia yang pergi ke
dokter kurang dari 25% sedangkan, yang melakukan pengobatan sendiri lebih dari 65%
jumlah penduduk yang mengeluh atau menderita sakit dalam setahun.
Organisasi WHO mempromosikan praktik swamedikasi untuk mengatasi gejala
penyakit prevalensi dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelayanan swamedikasi di
apotek dengan cepat dan efektif tanpa konsultasi medis dan mengurangi beban pada
layanan perawatan kesehatan, yang sering kekurangan tenaga dan tidak dapat diakses di
daerah pedesaan dan terpencil (WHO, 2000).
Dalam praktek swamedikasi, penggunaan obat-obatan berpotensi untuk
memberikan manfaat sekaligus menimbulkan bahaya. Berbagai literatur menunjukkan
adanya manfaat dari kegiatan swamedikasi. World Health Organization (WHO) telah
menyatakan bahwa swamedikasi yang bertanggung jawab dapat membantu mencegah dan
mengobati penyakit yang tidak memerlukan konsultasi medis dan memberikan alternatif
yang lebih murah untuk mengobati common ill-nesses. Namun, selain banyaknya manfaat
dalam swamedikasi, ketersediaan obat-obatan dengan mudah tanpa resep dokter menjadi
faktor utama yang bertanggung jawab atas penggunaan obatobatan yang tidak rasional
dalam swamedikasi.
Penelitian tentang swamedikasi di kalangan mahasiswa pernah dilakukan
sebelumnya di beberapa negara selain Indonesia. Penelitian di Uni Emirat Arab yang
dilakukan di sebuah Universitas, namun dilakukan pada mahasiswa non kesehatan
menunjukkan prevalensi swamedikasi sebesar 59% (Sharifdan Sharif, 2014). Penelitian
lain yang terbaru di Saudi Arabia menunjukkan bahwa prevalensi swamedikasi di kalangan
mahasiswa cukup tinggi yaitu 64,8%. Hasil tersebut menunjukkan prevalensi swamedikas
imahasiswa medis (66%) lebih tinggi daripada mahasiswa non medis (60%).
Obat OTC (over the counter) yang dimaksudkan untuk swamedikasi dan efektifitas
dan keamanannya sudah terbukti, apabila penggunaannya kurang tepat dapat berdampak
serius, terutama pada usia ekstrim (anak-anak dan geriatri) dan kondisi fisiologis khusus
seperti kehamilan dan menyusui .Beberapa risiko lainnya terkait dengan swamedikasi
adalah adanya misdiagnosis, penggunaan dosis obat yang berlebih, durasi penggunaan obat
yang terlalu lama.

Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan istilah self
medication atau swamedikasi. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi
keluhankeluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam,
nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain.
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan
keterjangkauan pengobatan
Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011 terdapat persentase penduduk
yang mengalami keluhan kesehatan sebanyak 29,31%, persentase penduduk yang
mengobati sendiri 66,82%, penduduk yang berobat jalan 45,80% penduduk yang rawat
inap 2,10%. Masyarakat dengan jenis keluhan sakit yang melakukan swamedikasi, antara
lain sakit kepala, (60 %), sakit gigi (60%), flu (53%), dan urutan selanjutnya adalah
gastritis (50%).
Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014 menunjukkan bahwa
presentase penduduk yang melakukan swamedikasi / pengobatan diri sendiri akibat
keluhan kesehatan yang dialami sebesar 61,05%. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku
swamedikasi di Indonesia masih cukup besar (BPS, 2016). Alasan masyarakat Indonesia
melakukan swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit dianggap ringan (46%),
harga obat yang lebih murah (16%) dan obat mudah diperoleh (9%).
Swamedikasi yang tidak tepat merupakan salah satu penyebab resistensi antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat sering dilakukan dalam swamedikasi. Berdasarkan
hasil Riskesdas tahun 2013, sebanyak 86,1% rumah tangga menyimpan antibiotik yang
diperoleh tanpa resep. Antibiotik sering digunakan untuk mengatasi gejala penyakit ringan
seperti flu, batuk, demam dan sakit tenggorokan. Penggunaan antibiotik dalam
swamedikasi kebanyakan digunakan kurang dari 5 hari.
Swamedikasi/Pengobatan sendiri dengan antibiotik (Self-medication with
antibiotics/SMA), didefinisikan sebagai antibiotik yang digunakan oleh individu untuk
mengobati gejala/penyakit tanpa saran atau resep dari dokter menjadi masalah kesehatan
global yang serius. Survei di berbagai negara mengenai studi tentang Swamedikasi dengan
antibiotik yang dilaporkan sendiri, dan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik yang
sebenarnya praktek tidak pasti. Perkiraan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik yang
dilaporkan dalam populasi umum adalah 3% - 19% dalam negara maju dan 9% - 100% di
negara-negara berkembang, dengan konsekuensi dari gejala yang timbul, kegagalan
pengobatan, obat resistensi, dan kejadian obat yang merugikan (ADEs) termasuk kematian.
Banyak penelitian telah melaporkan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik,
rendahnya Swamedikasi dengan antibiotik seperti seringnya perubahan dosis atau
antibiotik, dan faktor risiko Swamedikasi dengan antibiotik yang sebagian besar terkait
dengan jenis kelamin, usia, pendidikan tingkat, pengetahuan antibiotik, dan pendapatan,
namun, risiko ini bervariasi dalam populasi atau negara yang berbeda dan dengan demikian
tetap kontroversial, dan praktik Swamedikasi dengan antibiotik populasi risiko jarang
dievaluasi. Kejadian obat yang merugikan, didefinisikan sebagai cedera yang dari
penggunaan obat, termasuk bahaya yang disebabkan oleh obat (reaksi obat yang merugikan
dan overdosis) dan bahaya dari penggunaan obat (termasuk pengurangan dosis dan
penghentian terapi obat), adalah konsekuensi umum dari Swamedikasi dengan antibiotik
tetapi jarang dilaporkan dengan konsekuensi lain dari Swamedikasi dengan antibiotik,
karena kesulitan dalam tindak lanjut dan evaluasi kritis.
Antibiotik adalah salah satu obat yang paling umum dibeli di seluruh dunia,
terutama di negara-negara berkembang, di mana prevalensi penyakit menular
meningkatkan penggunaannya.Penggunaan antibiotik berdampak besar karena harganya
besar, dapat menimbulkan kerusakan kesehatan jika tidak digunakan dengan tepat (reaksi
merugikan dan terapi gagal), dan praktik terapeutik yang buruk, seperti pengobatan sendiri
jangka panjang. Hal ini menjadi masalah dalam kesehatan global.
Swamedikasi dengan antibiotik, juga dilakukan oleh beberapa individu yang
membeli secara bebas/tanpa resep dokter yang berkunjung ke Apotek yang ada di
Kabupaten Humbang Hasundutan. Mereka melakukan swamedikasi tersebut dengan
menggunakan obat yang telah pernah mereka gunakan sebelumnya dengan gejala yang
sama, atau mereka juga membeli obat antibiotik karena pengalaman keluarga/teman
dengan gejala yang sama. Beberapa pengunjung membeli obat, tanpa mengetahui
bagaimana cara pemakaian, dosis obat,efek samping, indikasi dan kandungan obat tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini bermaksud untuk
meneliti lebih lanjut tentang swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat/pasien yang
melakukan swamedikasi penyakit yang sering diderita serta relatif ringan termasuk
penggunaan obat antibiotik dengan membeli obat secara mandiri (tanpa resep dokter) di
Apotek yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan dengan judul “Swamedikasi Obat
Studi Kualitatif pada Pasien di Apotek di Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2022.
Penelitian ini akan meneliti sejauh mana swamedikasi yang dilakukan masyarakat/pasien di
Apotek yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan berikut faktor yang
melatarbelakangi swamedikasi yang dilakukan masyarakat/pasien di Apotek.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana tingkat pengetahuan responden di Apotek yang berkunjungan di
Apotek di Humbang Hasundutan?
2. Adakah pengaruh tingkat pengetahuan tentang penggunaan obat dalam
swamedikasi terhadap kebiasaan responden dalam menggunakan obat?
3. Apakah pendapatan penghasilan mempengaruhi swamedikasi obat yang
dilakukan responden di Apotek di Kabupaten Humbang Hasundutan?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Mengetahui tingkat pengetahuan responden di Apotek yang berkunjungan di
Apotek di Humbang Hasundutan
2. Mengetahui hubungan/ pengaruh tingkat pengetahuan tentang penggunaan
obat dalam swamedikasi terhadap kebiasaan responden dalam menggunakan
obat
3. Mengetahui tingkat/besarnya pendapatan penghasilan mempengaruhi
swamedikasi obat yang dilakukan responden di Apotek di Kabupaten
Humbang Hasundutan.

1.3. Manfaat Penelitian


1. Aspek Teoritis
 Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dalam
bidang farmasi komunitas, khususnya tentang swamedikasi
2. Aspek Praktis
1. Bagi Program studi prodi MAGISTER Kesehatan Masyarakat
Sebagai referensi untuk melengkapi bahan perpustakaan dan bahan bacaan
yang bermanfaat dalam proses belajar mengajar di Universitas Sari Mutiara
Indonesia;
2. Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa serta menjadi bahan
masukan dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengobatan
sendiri (Swamedikasi);
3. Bagi tempat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan masukan dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang berkompereshif dan sebagai bahan
pertimbangan dalam meningkatkan kualitas dan rasionalitas penggunaan dalam
swamedikasi.
4. Bagi masyarakat
Gambaran umum yang diperoleh mengenai hubungan/ pengaruh tingkat
pengetahuan tentang penggunaan obat dalam swamedikasi terhadap kebiasaan
responden dalam menggunakan obat.
5. Bagi Universitas
Khususnya bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Magister
Kesehatan Masyarakat hasil penelitian secara teoritas dapat menambah ilmu
pengetahuan ilmu kesehatan terutama tentang promosi kesehatan dalam
penggunaan obat secara cerdas.
6. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan tentang pemberian informasi obat khususnya
dalam penggunaan obat secara swamedikasi.
7. Bagi Dinas Kesehatan
Hasil penelitian dapat memberikan masukan dalam rangka mengambil
kebijakan dalam penggunaan obat sendiri (swamedikasi).
BAB II
KAJIAN TEORI

A. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Swamedikasi
2.1.1 Definisi Swamedikasi

Menurut WHO Definisi swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan


obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh seorang individu untuk
mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 2010). Swamedikasi berarti
mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat yang sederhana
yang dibeli bebas di apotik atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat
dokter (Rahardja,2010).
Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah perilaku untuk mengatasi
sakit ringan sebelum mencari pertolongan ke petugas atau fasilitas kesehatan.
Lebih dari 60% dari anggota masyarakat melakukan swamedikasi, dan 80% di
antaranya mengandalkan obat modern (Anonim, 2010).Swamedikasi
merupakan bagian dari self-care dimana merupakan, usaha pemilihan dan
penggunaan obat bebas oleh individu untuk mengatasi gejala atausakit yang
disadarinya (WHO, 1998).
Untuk melakukan pengobatan sendiri secara benar, masyarakat harus
mampu. (Binfar, 2008):
a. Mengetahui jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya.
b. Mengetahui kegunaan dari tiap obat, sehingga dapat mengevaluasi sendiri
perkembangan sakitnya.
c. Menggunakan obat tersebut secara benar (cara, aturan, lama pemakaian) dan tahu
batas kapan mereka harus menghentikan self-medication dan segera minta
pertolongan petugas kesehatan.
d. Mengetahui efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan
apakah suatu keluhan yang timbul kemudian itu suatu penyakit baru atau efek
samping obat.
e. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut.

Menurut World Health Organization (WHO) dalam Responsible Self


Medication, swamedikasi atau self-medication perlu memperhatikan beberapa
hal, diantaranya:
a. Obat yang digunakan adalah obat yang terbukti keamanannya, kualitas dan
khasiat.
b. Obat-obatan yang digunakan adalah obat yang diindikasikan untuk kondisi yang
dikenali diri sendiri dan untuk beberapa kondisi kronis atau berulang (beserta
diagnosis medis awal). Dalam semua kasus, obat-obatan ini harus dirancang
khusus untuk tujuan tersebut, dan akan memerlukan bentuk dosis dan dosis yang
tepat.

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Swamedikasi


Praktek swamedikasi menurut World Health Organization (WHO)
dalam Zeenot (2013), dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor sosial
ekonomi, gaya hidup, kemudahan memperoleh produk obat, faktor kesehatan
lingkungan, dan ketersediaan produk.
a. Faktor sosial ekonomi
Dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, berakibat pada
semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin mudah akses untuk
mendapatkan informasi. Dikombinasikan dengan tingkat ketertarikan
individu terhadap masalah kesehatan, sehingga terjadi peningkatan untuk
dapat berpartisipasi langsung terhadap pengambilan keputusan dalam
masalah kesehatan.
b. Gaya hidup
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak dari gaya
hidup tertentu seperti menghindari merokok dan pola diet yang seimbang
untuk memelihara kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit (WHO,
1998).
c. Kemudahan memperoleh produk obat
Saat ini pasien dan konsumen lebih memilih kenyamanan membeli
obat yang bisa diperoleh dimana saja, dibandingkan harus menunggu lama
di rumah sakit atau klinik.
d. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktek sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang
tepat serta lingkungan perumahan yang sehat, meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan serta
mencegah terkena penyakit.

e. Ketersediaan produk baru


Saat ini, semakin banyak tersedia produk obat baru yang lebih sesuai
untuk pengobatan sendiri. Selain itu, ada juga beberapa produk obat yang
telah dikenal sejak lama serta mempunyai indeks keamanan yang baik, juga
telah dimasukkan ke dalam kategori obat bebas, membuat pilihan produk
obat untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia.

2.1.3 Swamedikasi yang Rasional


Swamedikasi yang benar harus diikuti dengan penggunaan obat yang
rasional. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penggunaan
obat rasional mensyaratkan bahwa pasien menerima obat yang sesuai dengan
kebutuhan klinis mereka atau peresepan obat yang sesuai dengan diagnosis,
dalam dosis yang memenuhi kebutuhan dan durasi yang tepat, untuk jangka
waktu yang cukup, dan pada biaya terendah. Kriteria yang digunakan dalam
penggunaan obat yang rasional adalah sebagai berikut (SIHFW, 2010).
a. Tepat Diagnosis
Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter
berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan
pemeriksaan. Dalam proses pengobatan terkandung keputusan ilmiah yang
dilandasi oleh pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan intervensi
pengobatan yang memberi manfaat maksimal dan resiko sekecil mungkin
bagi pasien. Hal tersebut dapat dicapai dengan melakukan pengobatan yang
rasional. Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak
ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah (Depkes RI,
2007).
b. Tepat Pemilihan Obat
Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi yang sesuai dengan penyakit.
Beberapa pertimbangan dalam pemilihan obat menurut World Health
Organization (WHO) yaitu manfaat (efficacy), kemanfaatan dan keamanan
obat sudah terbukti keamanan (safety), resiko pengobatan yang paling kecil
dan seimbang dengan manfaat dan keamanan yang sama dan terjangkau
oleh pasien (affordable), kesesuaiaan/suittability (cost).Pasien swamedikasi
dalam melakukan pemilihan obat hendaknya sesuai dengan keluhan yang
dirasakan (Depkes RI, 2007).

c. Tepat Dosis
Dosis merupakan aturan pemakaian yang menunjukkan jumlah gram atau
volume dan frekuensi pemberian obat untuk dicatat sesuai dengan umur
dan berat badan pasien. Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian
obat harus tepat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
yang dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya
efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Anonim, 2006).
d. Waspada Efek Samping
Pasien hendaknya mengetahui efek samping yang mungkin timbul pada
penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan serta
mewaspadainya. Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping,
yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi (Anonim, 2006).
e. Efektif, aman, mutu terjamin, dan harga terjangkau
Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi. Apoteker
sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai
pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang
digunakan dalam swamedikasi (Depkes RI, 2006).
f. Tepat tindak lanjut (follow up)
Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut
konsultasikan ke dokter (Depkes RI, 2007).

2.1.4 Kriteria obat yang digunakan dalam Swamedikasi


Jenis obat yang digunakan dalam swamedikasi meliputi: Obat Bebas,
Obat Bebas Terbatas, dan OWA (Obat Wajib Apotek). Penggunaan obat bebas
dan obat bebas terbatas, yang sesuai dengan aturan dan kondisi penderita akan
mendukung penggunaan obat yang rasional. Kerasionalan penggunaan obat
menurut Cipolle, 1998 terdiri dari beberapa aspek, diantaranya: ketepatan
indikasi, kesesusaian dosis, ada tidaknya kontraindikasi, efek samping serta
interaksi dengan obat dan makanan.
Obat yang diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria berikut
(Permenkes No. 919/Menkes/Per/X/1993).
1. Tidak dikontraindikasikan untuk pengguna pada wanita hamil, anak di bawah
usia 2 tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang pravalensinya tinggi di
indonesia.
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung
jawabkan untuk pengobatan sendiri.
2.1.5 Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Pelaksanaan Swamedikasi
Berikut ini merupakan beberapa hal yang penting untuk diketahui
masyarakat ketika akan melakukan swamedikasi (Depkes RI, 2006)
1. Untuk menetapkan jenis obat yang dipilih perlu diperhatikan :
a. Pemilihan obat yang sesuai dengan gejala atau keluhan penyakit.
b. Kondisi khusus. Misalnya hamil, menyusui, lanjut usia, dan lain-lain.
c. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap
penggunaan obat tertentu.
d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek
samping, dan
e. Interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat
f. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap,
tanyakan kepada apoteker (Depkes RI, 2006).
2. Untuk menetapkan jenis obat yang dibutuhkan perlu diperhatikan :
a. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus.
b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau
brosur.
c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan, hentikan penggunaan dan tanyakan kepada Apoteker
dan dokter.
d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun
gejala penyakit sama.
e.Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang
lebih lengkap, tanyakan kepada Apoteker. (Depkes RI,
2007)
3. Kenali efek samping obat yang digunakan agar dapat diperkirakan
apakah suatu keluhan yang timbul kemudian merupakan suatu penyakit
baru atau efek samping dari obat (Depkes RI, 2006).
4. Cara penggunaan obat harus memperhatikan hal-hal berikut :
a. Obat tidak untuk digunakan secara terus-menerus.
b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada
etiket atau brosur obat.
c. Bila obat yang diminum menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan, hentikan penggunaannya dan tanyakan kepada
apoteker atau dokter.
d. Hindari menggunakan obat orang lain, walaupun gejala
penyakit sama.
e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang
lengkap, tanyakan kepada apoteker (Depkes RI, 2007)
5. Gunakan obat tepat waktu, sesuai dengan aturan penggunaan. Contoh :
a. Tiga kali sehari berarti obat diminum setiap 8 jam sekali.
b. Obat diminum sebelum atau sesudah makan (Depkes RI,
2007)
6. Pemakaian obat secara oral adalah cara yang paling lazim karena praktis,
mudah, dan aman. Cara yang terbaik adalah meminum obat dengan
segelas air putih (Depkes RI, 2007)

7. Cara penyimpanan obat harus memperhatikan hal-hal berikut :


a. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup
rapat.
b. Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar
matahari langsung atau seperti yang tertera pada kemasan.
c. Simpan obat di tempat yang tidak panas atau tidak lembab
karena dapat menimbulkan kerusakan obat.
d. Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.
e. Jauhkan dari jangkauan anak-anak (Depkes RI, 2006).

2.2 Konsep Dasar Tingkat Pengetahuan


2.2.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar
menjawab pertanyaan “What”. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003). Adapun
definisi lain menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengatakan
bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui kepandaian atau
segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan (mata pelajaran) (Depdiknas,
2008).
2.2.2 Tingkatan Pengetahuan Dalam Domain Kognitif
Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa
orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehension)
Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui,
dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang
telah paham tehadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang real (sebenarnya). Aplikasi
di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya.
e. Sintesis (Syntesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian- penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara
anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat
menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak mau ikut KB dan
sebagainya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita
ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di
atas.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang yaitu:
a. Usia
Dari sisi kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan
lebih dipercaya daripada orang yang belum dewasa. Artinya dengan
bertambahnya usia maka tingkat pengetahuannya akan berkembang
sesuai dengan pengetahuan yang pernah didapatnya. Dapat diperkirakan
bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya
beberapa kemampuan yang lain seperti misalnya kosakata dan
pengetahuan umum (Erfandi,2009).
b. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan
itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah
yang lebih dewasa, baik dan matang pada diri individu, kelompok atau
masyarakat. Melalui pendidikan seseorang akan memperoleh
pengetahuan, apabila semakin tinggi pendidikan maka hidup akan
semakin berkualitas, dimana seseorang akan berfiki logis dan
memahami informasi yang diperolehnya.
c. Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang. Lingkungan memberikan pengaruh pertama
bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik
dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. Dalam
lingkungan seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan
berpengaruh pada pada cara berfikir seseorang. (Nasution, 1999).
Lingkungan akan membentuk kepribadian individu. Seseorang yang
hidup dalam lingkungan yang tingkat pemikirannya luas maka tingkat
pengetahuannya akan lebih baik dibandingkan dengan orang yang
tinggal di lingkungan berpikiran sempit.

d. Informasi
Informasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang. Semakin banyak informasi yang diterima oleh
seseorang maka semakin meningkat pula pengetahuan yang dimilikinya.
Informasi yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan
tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Dalam penyampaian
informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-
pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.
Adanya informasi baru mengenai suatu hal memberikan landasan
kognitif baru terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut
(Erfandi,2009).
e. Pengalaman
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu
cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu
pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa lalu. (Notoadmojo, 1997).
f. Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi
pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif ataupun negatif.
g. Pekerjaan
Pekerjaan dapat membawa suatu pengalaman, pengalaman belajar dalam
bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan
profesional. Orang yang bekerja memiliki pengetahuan yang lebih luas
daripada orang yang tidak bekerja

2.3 Obat
2.3.1 Definisi Obat
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Depkes, 2009).
2.3.2 Penggolongan Obat
Berdasarkan peraturan menteri kesehatan RI nomor
917/Menkes/Per/X/1999 yang kini telah diperbaiki dengan permenkes RI nomor
917/Menkes/Per/X/2000, penggolongan obat berdasarkan keamanannya terdiri
dari obat bebas, bebas terbatas, obat wajib apotik, obat keras, psikotropik, dan
narkotik. Tetapi obat yang diperbolehkan dalam swamedikasi hanyalah
golongan obat bebas dan obat bebas terbatas, dan obat wajib apotik.
2.3.3 Obat Bebas
Obat golongan ini merupakan obat yang termaksud relatif paling aman,
dapat diperoleh tanpa resep dokter, selain di apotik juga dapat diperoleh di
warung-warung. Obat bebas dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran
warna hijau. Contohnya parasetamol, asetosal, vitamin C, antasida daftar obat
esensial (DOEN) dan obat batuk hitam (OBH) (Depkes, 2008).
2.3.4 Obat Bebas Terbatas
Golongan obat ini disebut juga obat W (Waarschuwing) yang artinya
waspada. Diberi nama obat bebas terbatas karena ada batasan jumlah dan kadar
dari zat aktifnya. Seperti Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas mudah didapatkan
karena dijual bebas dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Meskipun begitu
idealnya obat ini hanya dijual di apotek atau toko obat berizin yang dikelola
oleh minimal asisten apoteker dan harus dijual dengan bungkus/kemasan
aslinya. Oleh karenanya, obat bebas terbatas dijual dengan disertai beberapa
peringatan dan informasi memadai bagi masyarakat luas. Obat ini dapat
dikenali lewat lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam yang
mengelilingi. Contoh obat bebas terbatas : obat batuk, obat flu, obat pereda rasa
nyeri, obat yang mengandung antihistamin (Depkes, 2006).
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,
berupa empat persegi panjang berwarna hitam dan berukuran panjang 5 cm,
lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut:
1. P.No.1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya.
2. P. No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan.
3. P. No. 3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan.
4. P. No. 4: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
5. P. No. 5: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan.
6. P. No. 6: Awas! Obat keras.Obat wasir jangan ditelan (Depkes, 2008).
2.3.5 Obat Wajib Apotik
Obat wajib apotik adalah obat yang dapat diserahkan oleh apoteker
kepada pasien tanpa resep dokter. Apoteker di apotik dalam melayani pasien
yang memerlukan obat diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis
obat perpasien yang disebutkan pada obat wajib apotek, dimana yang
bersangkutan wajib membuat catatan pasien serta obat yang akan diserahkan,
dan dapat memberikan informasi yang meliputi dosis, kontraindikasi, efek
samping, dan aturan pakainya (Depkes, 2008).

2.4. Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004, apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan
pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, serta perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat. Apotek harus dikelola oleh seorang
apoteker yang profesional. Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah
mengarah pada pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup dari pasien (Dinkes, 2004).
Standar pelayanan kefarmasian di apotek mencakup pengelolaan sumber
daya dan pelayanan pasien. Pengelolaan sumber daya di apotek meliputi
(Dinkes, 2004) :
1. Sumber daya manusia
Apoteker pengelola apotek harus memiliki kemampuan menyediakan dan
memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat,
kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai
pimpinan, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar
sepanjang karir, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang
untuk meningkatkan pengetahuan yang tepat.
2. Sarana dan prasarana
Apotek berlokasi di daerah yang mudah dikenali oleh masyarakat. Papan
petunjuk terdapat di halamannya dan dengan jelas tertulis kata apotek.
Pelayanan produk kefarmasian diberikan di tempat yang terpisah dari
aktivitas pelayanan dan penjualan produk lain. Masyarakat harus diberi
akses secara langsung dan mudah untuk memperoleh informasi dan
konseling. Apotek juga harus memiliki ruang tunggu yang nyaman, tempat
untuk mendisplai informasi, ruangan tertutup untuk konseling, serta lemari
untuk menyimpan catatan medikasi pasien, ruang racikan, dan keranjang
sampah untuk staf maupun pasien.
3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
Pengelolaan ini meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan
pelayanan. Pengeluaran obat menggunakan sistem FIFO (First In First Out)
dan FEFO (First Expired First Out).
4. Administrasi
Kegiatan administrasi meliputi administrasi umum dan administrasi
pelayanan. Administrasi umum mencakup pencatatan, pengarsipan,
pelaporan narkotika, psikotropika, dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Adapun administrasi pelayanan mencakup pengarsipan resep,
pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan pengarsipan hasil monitoring
penggunaan obat. Pelayanan yang dilakukan di apotek meliputi (Dinkes,
2004) :
1. Pelayanan resep
a. Skrining resep, meliputi persyaratan administratif, kesesuaian
farmasetika, dan pertimbangan klinis
b. Penyiapan obat, meliputi peracikan, etiket, kemasan obat yang
diserahkan, penyerahan obat, informasi obat, konseling, dan
monitoring penggunaan obat.
2. Promosi dan edukasi
Apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi.
Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan
penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.
3. Pelayanan residensial (home care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok
lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Dalam
menjalankan aktivitas ini, apoteker harus membuat catatan berupa
catatan pengobatan (medication record).
B. PENELITIAN RELEVAN
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan
penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji
penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian
dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis yang akan dilakukan. Namun
penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian
pada penelitian penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal
terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis. Penelitian terdahulu yang dijadikan acuan
penulis dalam meneliti penelitian, antara lain:
Penelitian terdahulu yang terkait dengan Swamedikasi salah satunya, adalah tulisan
Krishnandan Shal, Shimul Halder (2020), yang berjudul “Assessment of knowledge,
perception, and awareness about self-medication practices among university students in
Nepal” (Penilaian Pengetahuan, Persepsi, dan Kesadaran tentang Pengobatan Sendiri
Praktek di Kalangan Mahasiswa di Nepal). Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa
penelitian ini memberikan informasi awal mengenai praktek swamedikasi di kalangan
mahasiswa di Nepal, yang mengungkapkan bahwa praktek swamedikasi sangat khas
diantara mahasiswa karena ketersediaan yang mudah dan kurangnya pengendalian
peredaran obat di Apotek, praktek swamedikasi dilakukan unuk penyakit yang ringan, dan
adanya resep yang digunakan sebelumnya untuk mengobati kondisi penyakit yang serupa.
Penelitian berikutnya adalah penelitian Marwa Al Flait (2014), yang berjudul
“Evaluation of self-medication practices in acute diseases among university students in
Oman” (Evaluasi praktek pengobatan sendiri penyakit akut pada mahasiswa di Oman).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi praktek mahasiswa terhadap pengobatan
sendiri untuk mengobati penyakit ringan di Muscat and Sohar wilayah Sultan di Oman.
Hasil penelitiannya menunjukkan Secara keseluruhan 204 laki-laki (45,3%) dan 246
perempuan (56,7%) berpartisipasi dalam studi. Usia rata-rata responden adalah 22,3
tahun. Sembilan puluh empat persen responden melaporkan mempraktikkan pengobatan
sendiri dan 165 (36,7%) peserta mengaku telah membeli obat-obatan tanpa resep lebih
dari empat kali selama enam bulan terakhir. Sakit kepala, demam, batuk dan pilek adalah
penyakit yang paling umum yang mendorong responden untuk mencari pengobatan
sendiri. Analgesik, persiapan batuk dan antibiotik adalah kelas obat yang paling umum
digunakan dalam pengobatan sendiri. Mayoritas responden melakukan pengobatan sendiri
untuk penyakit ringan/tidak serius atau mereka memiliki pengalaman sebelumnya dengan
obat tersebut. Mayoritas responden mengaku memiliki pengetahuan pengobatan yang baik
yang mereka peroleh dari membaca brosur atau dari saran Apoteker.
Berikut adalah tulisan Mohammad Al Essa (2018) “Practices, awareness and
attitudes toward self-medication of analgesics among health sciences students in Riyadh,
Saudi Arabia” (Praktek, kesadaran dan sikap terhadap pengobatan sendiri dari analgesik
di antara mahasiswa ilmu kesehatan di Riyadh, Arab Saudi). Metode penelitian yang
dilakukan oleh peneliti sebelumnya metode cross sectionel berupa survei elektronik yang
dilakukan di kalangan mahasiswa ilmu kesehatan dari berbagai Universitas di Riyadh,
Arab Saudi pada tahun 2016. Dua ratus tujuh puluh dua mahasiswa menanggapi
kuisioner. Survei kuisioner elektronik mencakup demografi, pengobatan sendiri dengan
obat analgesik, sikap dan kesadaran tentang keamanan dalam praktek pengobatan sendiri.
Selanjutnya Hounsa.A (2011) yang berjudul “Automédication par les
antibiotiques provenant des pharmaciesprivées de la ville d’Abidjan en Côte d’IvoireSelf-
medication with antibiotics obtained from private pharmacies in Abidjan, Ivory Coast”
(Pengobatan sendiri dengan antibiotik di dapat dari apotek swasta di kota Abidjan di
Pantai Gading). Dalam penelitian ini didaptkan hasil seribu seratus dua puluh tiga
pembelian antibiotik diamati, termasuk 242 pembelian dilakukan melalui pengobatan
sendiri (21,5%). Dari 1765 orang diwawancarai, 1.054 (59,7%) memperoleh antibiotik
dengan pengobatan sendiri. Staf dari Apotek membagikan antibiotik kepada pelanggan,
dan sangat jarang memberikan informasi tentang dosis, konsumsi dengan makanan dan
durasi pengobatan. Regresi logistik menunjukkan bahwa kemungkinan pengobatan sendiri
dengan antibiotik meningkat seiring dengan bertambahnya usia, tingkat sekolah dan
membeli antibiotik di pasar. Sebaliknya, probabilitas ini menurun dengan pendaftaran di
asuransi kesehatan, pengetahuan tentang resiko yang terkait dengan pengobatan sendiri
dan kemampuan untuk menentukan resistensi bakteri.

Tabel 1. Penelitian Terdahulu


NO NAMA dan JUDUL PENELITIAN HASIL/TEMUAN HASIL RELEVANSI
PENELITIAN PENELITIAN
1 Krishnandan Shal, Shimul Halder Hasil studi menunjukkan Persamaan penelitian
(2020), yang berjudul “Assessment of bahwa, penyebab utama sebelumnya dengan
knowledge, perception, and pengobatan sendiri penelitian yang akan
awareness about self-medication adalah penyakit ringan, dan dilakukan adalah
practices among university students resep yang sebelumnya sama-sama
in Nepal” (Penilaian Pengetahuan, digunakan untuk mengobati membicarakan tentang
Persepsi, dan Kesadaran tentang kondisi penyakit yang Swamedikasi Obat.
Pengobatan Sendiri Praktek di serupa adalah Selain itu fokus
Kalangan Mahasiswa di Nepal) sumber utama motivasi penelitian sebelumnya
untuk melakukannya. adalah melihat
Sebagian besar responden “penilaian
percaya bahwa pengobatan pengetahuan, persepsi
sendiri dan kesadaran tentang
mungkin dapat diterima Swamedikasi.
untuk mengobati penyakit Perbedaan dari
ringan penelitian sebelumnya
adalah penelitian
sebelumnya responden
yang digunakan adalah
mahasiswa Universitas
di Nepal, sedangkan
penelitian yang akan
dilakukan
respondennya adalah
pengunjung/pasien
yang berkunjung ke
Apotek yang ada di
Kabupaten Humbang
Hasundutan.
2. Marwa Al Flait (2014), yang berjudul Dari hasil penelitian Secara Persamaan penelitian
“Evaluation of self-medication keseluruhan 204 laki-laki sebelumnya dengan
practices in acute diseases among (45,3%) dan 246 penelitian yang akan
university students in Oman” perempuan (56,7%) dilakukan adalah
(Evaluasi praktek pengobatan sendiri berpartisipasi dalam studi. sama-sama
penyakit akut pada mahasiswa di Usia rata-rata responden membicarakan tentang
Oman) adalah 22,3 tahun. Swamedikasi Obat
Sembilan puluh empat (Pengobatan Sendiri).
persen responden Selain itu fokus
melaporkan mempraktikkan penelitian sebelumnya
pengobatan sendiri dan 165 Evaluasi praktek
(36,7%) peserta mengaku pengobatan sendiri
telah membeli obat-obatan penyakit akut pada
tanpa resep lebih dari mahasiswa di Oman.
empat kali selama enam Perbedaan dari
bulan terakhir. Sakit kepala, penelitian sebelumnya
demam, batuk dan pilek adalah penelitian
adalah penyakit yang paling sebelumnya responden
umum yang mendorong yang digunakan adalah
responden untuk mencari mahasiswa di Oman,
pengobatan sendiri. sedangkan penelitian
Analgesik, persiapan batuk yang akan dilakukan
dan antibiotik adalah kelas respondennya adalah
obat yang paling umum pengunjung/pasien
digunakan dalam yang berkunjung ke
pengobatan sendiri. Apotek yang ada di
Mayoritas responden Kabupaten Humbang
melkukan pengobatan Hasundutan.
sendiri untuk penyakit
ringan/tidak serius atau
mereka memiliki
pengalaman sebelumnya
dengan obat tersebut.
Mayoritas responden
mengaku memiliki
pengetahuan pengobatan
yang baik yang mereka
peroleh dari membaca
brosur atau dari saran
Apoteker.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan penelitian


Penelitian yang dilakukan yakni merupakan survei penelitian analitik, dengan
rancangan penelitian cross sectional. Penelitian Cross Sectional adalah suatu penelitian
yang variabel sebab atau resiko dan akibat atau kasus, yang terjadi pada objek penelitian
dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2010). Rancangan penelitian
ini adalah penelitian korelasi, untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan
responden terhadap perilaku swamedikasi obat antibiotik. Hubungan atau disebut juga
dengan korelasi adalah hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok
subjek (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Tempat dan Waktu penelitian


Penelitian ini dilakukan di Apotek yang berada di Kabupaten Humbang
Hasundutan. Waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pada bulan Januari-
Desember 2021.

3.3 Populasi dan Sampel penelitian


Keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti disebut dengan populasi
penelitian. Sedangkan sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi disebut sampel penelitian. Dalam melakukan penelitian perlu
teknik-teknik tertentu dalam mengambil sampel, sehingga sampel tersebut dapat
mewakili populasinya (Notoatmodjo, 2010).
Populasi pada penelitian ini adalah semua responden yang membeli obat antibiotik
tanpa resep di apotek, pada periode bulan Januari-Desember 2021. Untuk sampel
penelitian adalah sebagian responden yang membeli obat antibiotik tanpa resep dokter di
apotek pada periode bulan Januari-Desember 2021, sebesar 49 responden.

Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling. Accidental


sampling adalah pengambilan sampel secara accidental ini dilakukan dengan
mengambil responden yang secara kebetulan ada. Sampel diambil menggunakan
rumus lameshow (Notoatmodjo, 2010).
Z1n / 2 .P(1 P)
n= d
Keterangan:
n = besar sampel.
P = proporsi kasus tertentu pada populasi. Jika tidak diketahui maka
ditetapkan 50% (0,50).
Z = nilai Z pada derajat kemaknaan biasanya (95% =1,96).
d = derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan (10% (0,10), 5%
(0,05), dan 1% (0,01)).
Didapatkan perhitungan sebagai berikut:

1,96x0,50(1 0,50)
n= 0.01
n = 49 responden.
Jadi, jumlah minimun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 49
responden.
Adapun kriteria sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria
inklusi dan eksklusi, yaitu:
1. Kriteria inklusi
1) Konsumen yang berusia minimal 17 tahun.
2) Bersedia mengisi kuisioner.
2. Kriteria eksklusi
1) Pembantu atau orang suruhan yang membeli obat antibiotik di apotek
tanpa resep.

3.4. Pengumpulan data


3.4.1. Cara pengumpulan data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
metode kuisioner yang dilengkapi dengan wawancara kepada responden
untuk mengetahui informasi yang jelas. Adapun hal yang dilakukan dalam pengumpulan
data adalah:
1. Langkah pertama sebelum melakukan penyebaran kuisioner adalah,
menyusun pertanyaan mengenai pengetahuan dan perilaku swamedikasi
obat antibiotik. Masing-masing diberikan 10 pertanyaan.
2. Kemudian melakukan penyebaran kuisioner di tempat dan kriteria sampel
yang telah ditentukan.
3. Pengisian lembar persetujuan dan kuisioner sesuai dengan petunjuk yang
sudah diberikan di dalam kuisioner.
4. Pengisian kuisioner dilakukan dengan wawancara, yaitu peneliti
membacakan soal kuisioner dan diberi penjelasan, sedangkan responden
yang menjawab pertanyaan tersebut.
5. Lembar kuisioner dikumpulkan, dan kemudian dianalisis.
3.4.2. Instrumen penelitian
Pada penelitian ini, instrument yang digunakan adalah kuisioner dengan bentuk
daftar pertanyaan adalah daftar tilik atau check list. Bentuk pertanyaan yang digunakan
pada kuisioner adalah pertanyaan tertutup, yaitu pertanyaan yang hanya disediakan dua
jawaban, dan responden memilih salah satu diantaranya. Kuisioner yang digunakan
dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Data identitas
Data identitas responden yang digunakan adalah jenis kelamin, usia, dan
pendidikan terakhir.
2. Pengetahuan obat antibiotik
Pada bagian ini responden akan diberikan pertanyaan seputar obat
antibiotik secara umum.
1) Pada soal nomor satu, pertanyaan mengenai indikasi obat antibiotik
secara umum.
2) Pada soal nomor dua, pertanyaan mengenai golongan obat antibiotik.
3) Pada soal nomor tiga, pertanyaan mengenai salah satu contoh dari obat
antibiotik.
4) Pada soal nomor empat, pertanyaan mengenai dosis penggunaan obat
antibiotik untuk anak-anak.
5) Pada soal nomor lima, pertanyaan mengenai aturan minum dari obat
antibiotik yang benar
6) Pada soal nomor enam, pertanyaan mengenai minimal pemberian obat
antibiotik yang benar.
7) Pada soal nomor tujuh, pertanyaan mengenai pembelian obat antibiotik
8) Pada soal nomor delapan, pertanyaan mengenai aturan minum obat
antibiotik yang harus dihabiskan
9) Pada soal nomor sembilan, pertanyaan mengenai efek samping yang
sering terjadi pada penggunaan obat antibiotik.
10) Pada soal nomor sepuluh, pertanyaan mengenai pengetahuan
responden terhadap resistensi antibiotik
3. Perilaku swamedikasi antibiotik
Pada bagian ini responden diberikan pernyataan, dimana konsumen harus
menjawab dengan jujur dan sesuai pengalaman.
1) Pada soal nomor satu, menjelaskan mengenai seberapa seringnya
meminum obat antibiotik.
2) Pada soal nomor dua, menjelaskan mengenai pembelian obat
antibiotik di apotek yang benar
3) Pada soal nomor tiga, menjelaskan mengenai informasi yang
didapatkan responden dalam pembelian antibiotik.
4) Pada soal nomor empat, menjelaskan mengenai pengobatan pertama
yang dilakukan oleh responden ketika sakit.
5) Pada soal nomor lima, menjelaskan mengenai aturan minum obat
antibiotik yang harus dihabiskan.
6) Pada soal nomor enam, menjelaskan mengenai interval atau jarak
minum obat yang benar.
7) Pada soal nomor tujuh, menjelaskan mengenai salah satu efek
samping yang timbul akibat penggunaan obat antibiotik yang kurang
tepat.
8) Pada soal nomor delapan, menjelaskan mengenai penggunaan obat
antibiotik yang berulang.
9) Pada soal nomor sembilan, menjelaskan mengenai penggunaan sisa
obat antibiotik yang disimpan di rumah.
10) Pada soal nomor sepuluh, menjelaskan mengenai ketersediaan
menyimpan obat di rumah.
3.4.3. Validitas dan reliabilitas
Validitas atau disebut juga validasi atau kesahihan menunjukkan sejauh mana
suatu alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur (Siregar, 2013). Reliabilitas
adalah sesuatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrument tersebut sudah baik (Arikunto, 2006).
Uji validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji
korelasi product moment. Dimana instrument dikatakan valid jika nilai r hitung
≥ r tabel. Sebaliknya, instrument dikatakan tidak valid apabila r hitung ≤ r tabel. Uji
validasi kuisioner menggunakan 30 responden yang merupakan konsumen yang datang
membeli obat antibiotik tanpa resep di apotek. Kuisioner yang diberikan untuk uji
validasi terdiri dari 10 item pertanyaan untuk kategori pengetahuan tentang obat
antibiotik, dan 10 item pertanyaan untuk kategori perilaku swamedikasi obat antibiotik.
Setelah dilakukan uji validasi, maka didapatkan item- item soal yang valid, yaitu item
yang memiliki nilai nilai r hitung ≥ r tabel.

3.5.Pengolahan dan analisis data


3.5.1. Pengolahan data
Pengolahan yang dilakukan yakni menggunakan microsoft excel dan program
SPSS 25. Pada penelitian ini teknik skala pengukuran yang digunakan adalah skala
guttman. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang antibiotik, maka dilakukan
dengan memberikan 10 pertanyaan dengan jawaban benar dan salah. Jika pertanyaan
positif dengan jawaban benar, maka diberi nilai 1. Jika pertanyaan positif dengan
jawaban salah, maka diberi nilai 0. Pertanyaan positif terdapat pada nomor 1, 2, 3, 5, 9,
10. Sebaliknya, jika pertanyaan negatif dengan jawaban salah, maka diberi nilai 1. Jika
pertanyaan negatif dengan jawaban benar, maka diberi nilai
0. Pertanyaan negatif terdapat pada kuesioner nomor 4, 6, 7,8.
Untuk mengetahui perilaku swamedikasi antibiotik, maka diberikan 10 pertanyaan
dengan jawaban ya dan tidak. Jika pertanyaan positif dengan jawaban ya, maka diberi
nilai 1. Jika pertanyaan positif dengan jawaban tidak, maka diberi
nilai 0. Pertanyaan positif terdapat pada nomor 5 dan 7. Sebaliknya, jika pertanyaan
negatif dengan jawaban tidak, maka diberi nilai 1. Jika pertanyaan negatif dengan
jawaban ya, maka diberi nilai 0. Pertanyaan negatif terdapat pada kuesioner nomor 1, 2,
3, 4, 6, 8, 9, 10.
Penilaian pada kuisioner pengetahuan dan perilaku swamedikasi adalah nilai yang
diperoleh dibagi dengan nilai maksimum dikali 100%. Kemudian nilai dijumlahkan
untuk mendapatkan perolehan dan didapatkan presentase. Nilai maksimum untuk
pengetahuan dan untuk perilaku swamedikasi adalah masing- masing 10. Perhitungan
presentase sebagai berikut.
p f
x100%
n
Keterangan :
P = Presentase.
f = frekuensi jawaban.
n = jumlah sampel yang diambil.
Setelah dilakukan perhitungan kemudian dikelompokkan sesuai dengan kategori.
Kategori baik dengan hasil persentase 76 % -100 %, hasil persentase cukup adalah 56 %
- 75 %, dan kategori kurang adalah hasil persentase kurang dari 56 %. Adapun untuk
penilaian perilaku baik > 50%, kurang baik ≤ 50%.
3.5.2. Analisis data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan terhadap
swamedikasi penggunaan obat antibiotik di apotek.
1. Data demografi responden (jenis kelamin, usia, dan pendidikan),
pengetahuan mengenai antibiotik, dan perilaku swamedikasi antibiotik.
Disajikan dalam bentuk tabel dan ditentukan jumlah presentasenya,
kemudian dilakukan analisis deskriptif setiap masing-masing kategori.
2. Uji korelasi yang digunakan yaitu uji Chi-Square (X2) dengan
menggunakan SPSS 25. Dalam penelitian ini, derajat kepercayaan yang
digunakan adalah 95% dengan α sebesar 5%. Dengan begitu dapat
diasumsikan jika P value ≤ 0,05 disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara variabel yang diteliti. Sedangkan jika P value > 0,05 berarti hasil
perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
variabel yang diteliti (Jones David S. 2002). Data disajikan dalam bentuk tabel beserta
presentasenya. Hasil dari data hubungan antara pengetahuan dengan perilaku swamedikasi
tersebut, kemudian dilakukan analisis deskriptif.
DAFTAR PUSTAKA

Da Silva, MaríliaGarcezCorrêa, Soares, Maria Cristina Flores, Muccillo-Baisch, Ana Luiza, 2012. Self-medication in
university students from the city of Rio Grande, Brazil. BMC Public Health

Department of Pharmaceutical Technology, Faculty of Pharmacy, University of Dhaka, Dhaka 1000, Bangladesh

Department of Clinical Pharmacy, College of Pharmacy, King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia

Department of Pharmacy, Oman Medical College, Muscat, Sultanate of Oman

Doctoral School of Health Sciences, Faculty of Health Sciences, University of Pécs, Hungary

Dental Department, Nkwen Baptist Health Centre, Bamenda, Cameroon; 2 Department of Periodontics, University of Benin
Teaching Hospital, Benin City, Nigeria.

Medical Simulation Center, School of Clinical Medicine, Jiangsu University, Zhenjiang, Jiangsu, 212013, PR China

Published by Elsevier B.V. on behalf of King Saud University

Service de microbiologie médicale, centre hospitalier universitaire de Liège, domaine universitaire du Sart-Tilman,
université de Liège, bâtiment B23, avenue de l’Hôpital no 3, 4000 Liège, Belgique b Laboratoire d’hygiène,de
l’environnement et santé publique, unité de formation et de recherche des sciences pharmaceutiques et biologiques
d’Abidjan, BP V 34 Abidjan, Cocod

Anda mungkin juga menyukai