SWAMEDIKASI OBAT
STUDI KUALITATIF PADA PASIEN DI APOTEK
DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN TAHUN 2022
OLEH :
Nelli Purba, S.Farm., Apt.
NIM. 200101065
1. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir, peran apoteker telah berubah, yaitu tidak hanya
sebagai drug supplier, namun bertindak sebagai bagian dari tim multidisiplin yang terlibat
dalam pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian
semakin dirasa penting dengan adanya tantangan pada pelayanan swamedikasi. Berbagai
studi menunjukkan tingginya tingkat swamedikasi di masyarakat.
Pada saat orientasi paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan
obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented) dengan mengacu kepada
pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang
semula hanya berfokus pada pengolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang
komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat
menjaga kesehatannya sendiri (Sukasediati, 1999). Dari data World Health Organization
(WHO), di banyak Negara sampai 80% episode sakit di coba diobati sendiri oleh penderita.
Sedangkan di Indonesia menunjukan bahwa sekitar 60 % masyarakat melakukan
swamedikasi dengan obat modern sebagai tindakan pertama bila sakit.
The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefenisikan swamedikasi
atau self-medications sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu
atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Sedangkan defenisi swamedikasi menurut WHO
adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun tradisional oleh seorang
individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). Banyak faktor yang
mendasari seseorang melakukan swamedikasi. Hasil survei yang dilakukan oleh The World
Self Medication Industry (WSMI) di 14 negara tentang “Drug Classification: prescription
and OTC (Over The Counter) Drugs”, menunjukan bahwa swamedikasi dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan dan pengetahuan (PAHO, 2004). 2 Di negara maju Amerika Serikat di
perkirakan dalam waktu satu tahun penduduk yang mengeluh atau merasa menderita sakit
sebanyak 75% dari jumlah penduduk. Dari jumlah tersebut, 10% tidak berbuat apa-apa,
25% pergi ke dokter untuk mendapatkan pertolongan, dan sisanya sebanyak 65%
melakukan pengobatan sendiri. Dapat diperkirakan bahwa di Indonesia yang pergi ke
dokter kurang dari 25% sedangkan, yang melakukan pengobatan sendiri lebih dari 65%
jumlah penduduk yang mengeluh atau menderita sakit dalam setahun.
Organisasi WHO mempromosikan praktik swamedikasi untuk mengatasi gejala
penyakit prevalensi dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelayanan swamedikasi di
apotek dengan cepat dan efektif tanpa konsultasi medis dan mengurangi beban pada
layanan perawatan kesehatan, yang sering kekurangan tenaga dan tidak dapat diakses di
daerah pedesaan dan terpencil (WHO, 2000).
Dalam praktek swamedikasi, penggunaan obat-obatan berpotensi untuk
memberikan manfaat sekaligus menimbulkan bahaya. Berbagai literatur menunjukkan
adanya manfaat dari kegiatan swamedikasi. World Health Organization (WHO) telah
menyatakan bahwa swamedikasi yang bertanggung jawab dapat membantu mencegah dan
mengobati penyakit yang tidak memerlukan konsultasi medis dan memberikan alternatif
yang lebih murah untuk mengobati common ill-nesses. Namun, selain banyaknya manfaat
dalam swamedikasi, ketersediaan obat-obatan dengan mudah tanpa resep dokter menjadi
faktor utama yang bertanggung jawab atas penggunaan obatobatan yang tidak rasional
dalam swamedikasi.
Penelitian tentang swamedikasi di kalangan mahasiswa pernah dilakukan
sebelumnya di beberapa negara selain Indonesia. Penelitian di Uni Emirat Arab yang
dilakukan di sebuah Universitas, namun dilakukan pada mahasiswa non kesehatan
menunjukkan prevalensi swamedikasi sebesar 59% (Sharifdan Sharif, 2014). Penelitian
lain yang terbaru di Saudi Arabia menunjukkan bahwa prevalensi swamedikasi di kalangan
mahasiswa cukup tinggi yaitu 64,8%. Hasil tersebut menunjukkan prevalensi swamedikas
imahasiswa medis (66%) lebih tinggi daripada mahasiswa non medis (60%).
Obat OTC (over the counter) yang dimaksudkan untuk swamedikasi dan efektifitas
dan keamanannya sudah terbukti, apabila penggunaannya kurang tepat dapat berdampak
serius, terutama pada usia ekstrim (anak-anak dan geriatri) dan kondisi fisiologis khusus
seperti kehamilan dan menyusui .Beberapa risiko lainnya terkait dengan swamedikasi
adalah adanya misdiagnosis, penggunaan dosis obat yang berlebih, durasi penggunaan obat
yang terlalu lama.
Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan istilah self
medication atau swamedikasi. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi
keluhankeluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam,
nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain.
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan
keterjangkauan pengobatan
Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011 terdapat persentase penduduk
yang mengalami keluhan kesehatan sebanyak 29,31%, persentase penduduk yang
mengobati sendiri 66,82%, penduduk yang berobat jalan 45,80% penduduk yang rawat
inap 2,10%. Masyarakat dengan jenis keluhan sakit yang melakukan swamedikasi, antara
lain sakit kepala, (60 %), sakit gigi (60%), flu (53%), dan urutan selanjutnya adalah
gastritis (50%).
Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014 menunjukkan bahwa
presentase penduduk yang melakukan swamedikasi / pengobatan diri sendiri akibat
keluhan kesehatan yang dialami sebesar 61,05%. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku
swamedikasi di Indonesia masih cukup besar (BPS, 2016). Alasan masyarakat Indonesia
melakukan swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit dianggap ringan (46%),
harga obat yang lebih murah (16%) dan obat mudah diperoleh (9%).
Swamedikasi yang tidak tepat merupakan salah satu penyebab resistensi antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat sering dilakukan dalam swamedikasi. Berdasarkan
hasil Riskesdas tahun 2013, sebanyak 86,1% rumah tangga menyimpan antibiotik yang
diperoleh tanpa resep. Antibiotik sering digunakan untuk mengatasi gejala penyakit ringan
seperti flu, batuk, demam dan sakit tenggorokan. Penggunaan antibiotik dalam
swamedikasi kebanyakan digunakan kurang dari 5 hari.
Swamedikasi/Pengobatan sendiri dengan antibiotik (Self-medication with
antibiotics/SMA), didefinisikan sebagai antibiotik yang digunakan oleh individu untuk
mengobati gejala/penyakit tanpa saran atau resep dari dokter menjadi masalah kesehatan
global yang serius. Survei di berbagai negara mengenai studi tentang Swamedikasi dengan
antibiotik yang dilaporkan sendiri, dan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik yang
sebenarnya praktek tidak pasti. Perkiraan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik yang
dilaporkan dalam populasi umum adalah 3% - 19% dalam negara maju dan 9% - 100% di
negara-negara berkembang, dengan konsekuensi dari gejala yang timbul, kegagalan
pengobatan, obat resistensi, dan kejadian obat yang merugikan (ADEs) termasuk kematian.
Banyak penelitian telah melaporkan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik,
rendahnya Swamedikasi dengan antibiotik seperti seringnya perubahan dosis atau
antibiotik, dan faktor risiko Swamedikasi dengan antibiotik yang sebagian besar terkait
dengan jenis kelamin, usia, pendidikan tingkat, pengetahuan antibiotik, dan pendapatan,
namun, risiko ini bervariasi dalam populasi atau negara yang berbeda dan dengan demikian
tetap kontroversial, dan praktik Swamedikasi dengan antibiotik populasi risiko jarang
dievaluasi. Kejadian obat yang merugikan, didefinisikan sebagai cedera yang dari
penggunaan obat, termasuk bahaya yang disebabkan oleh obat (reaksi obat yang merugikan
dan overdosis) dan bahaya dari penggunaan obat (termasuk pengurangan dosis dan
penghentian terapi obat), adalah konsekuensi umum dari Swamedikasi dengan antibiotik
tetapi jarang dilaporkan dengan konsekuensi lain dari Swamedikasi dengan antibiotik,
karena kesulitan dalam tindak lanjut dan evaluasi kritis.
Antibiotik adalah salah satu obat yang paling umum dibeli di seluruh dunia,
terutama di negara-negara berkembang, di mana prevalensi penyakit menular
meningkatkan penggunaannya.Penggunaan antibiotik berdampak besar karena harganya
besar, dapat menimbulkan kerusakan kesehatan jika tidak digunakan dengan tepat (reaksi
merugikan dan terapi gagal), dan praktik terapeutik yang buruk, seperti pengobatan sendiri
jangka panjang. Hal ini menjadi masalah dalam kesehatan global.
Swamedikasi dengan antibiotik, juga dilakukan oleh beberapa individu yang
membeli secara bebas/tanpa resep dokter yang berkunjung ke Apotek yang ada di
Kabupaten Humbang Hasundutan. Mereka melakukan swamedikasi tersebut dengan
menggunakan obat yang telah pernah mereka gunakan sebelumnya dengan gejala yang
sama, atau mereka juga membeli obat antibiotik karena pengalaman keluarga/teman
dengan gejala yang sama. Beberapa pengunjung membeli obat, tanpa mengetahui
bagaimana cara pemakaian, dosis obat,efek samping, indikasi dan kandungan obat tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini bermaksud untuk
meneliti lebih lanjut tentang swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat/pasien yang
melakukan swamedikasi penyakit yang sering diderita serta relatif ringan termasuk
penggunaan obat antibiotik dengan membeli obat secara mandiri (tanpa resep dokter) di
Apotek yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan dengan judul “Swamedikasi Obat
Studi Kualitatif pada Pasien di Apotek di Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2022.
Penelitian ini akan meneliti sejauh mana swamedikasi yang dilakukan masyarakat/pasien di
Apotek yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan berikut faktor yang
melatarbelakangi swamedikasi yang dilakukan masyarakat/pasien di Apotek.
A. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Swamedikasi
2.1.1 Definisi Swamedikasi
c. Tepat Dosis
Dosis merupakan aturan pemakaian yang menunjukkan jumlah gram atau
volume dan frekuensi pemberian obat untuk dicatat sesuai dengan umur
dan berat badan pasien. Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian
obat harus tepat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat
yang dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya
efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Anonim, 2006).
d. Waspada Efek Samping
Pasien hendaknya mengetahui efek samping yang mungkin timbul pada
penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan serta
mewaspadainya. Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping,
yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi (Anonim, 2006).
e. Efektif, aman, mutu terjamin, dan harga terjangkau
Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi. Apoteker
sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai
pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang
digunakan dalam swamedikasi (Depkes RI, 2006).
f. Tepat tindak lanjut (follow up)
Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut
konsultasikan ke dokter (Depkes RI, 2007).
b. Memahami (Comprehension)
Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui,
dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang
telah paham tehadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang real (sebenarnya). Aplikasi
di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya.
e. Sintesis (Syntesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian- penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara
anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat
menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak mau ikut KB dan
sebagainya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita
ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di
atas.
d. Informasi
Informasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan seseorang. Semakin banyak informasi yang diterima oleh
seseorang maka semakin meningkat pula pengetahuan yang dimilikinya.
Informasi yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan
tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Dalam penyampaian
informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-
pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.
Adanya informasi baru mengenai suatu hal memberikan landasan
kognitif baru terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut
(Erfandi,2009).
e. Pengalaman
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu suatu
cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu
pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang
dihadapi pada masa lalu. (Notoadmojo, 1997).
f. Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi
pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif ataupun negatif.
g. Pekerjaan
Pekerjaan dapat membawa suatu pengalaman, pengalaman belajar dalam
bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan
profesional. Orang yang bekerja memiliki pengetahuan yang lebih luas
daripada orang yang tidak bekerja
2.3 Obat
2.3.1 Definisi Obat
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Depkes, 2009).
2.3.2 Penggolongan Obat
Berdasarkan peraturan menteri kesehatan RI nomor
917/Menkes/Per/X/1999 yang kini telah diperbaiki dengan permenkes RI nomor
917/Menkes/Per/X/2000, penggolongan obat berdasarkan keamanannya terdiri
dari obat bebas, bebas terbatas, obat wajib apotik, obat keras, psikotropik, dan
narkotik. Tetapi obat yang diperbolehkan dalam swamedikasi hanyalah
golongan obat bebas dan obat bebas terbatas, dan obat wajib apotik.
2.3.3 Obat Bebas
Obat golongan ini merupakan obat yang termaksud relatif paling aman,
dapat diperoleh tanpa resep dokter, selain di apotik juga dapat diperoleh di
warung-warung. Obat bebas dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran
warna hijau. Contohnya parasetamol, asetosal, vitamin C, antasida daftar obat
esensial (DOEN) dan obat batuk hitam (OBH) (Depkes, 2008).
2.3.4 Obat Bebas Terbatas
Golongan obat ini disebut juga obat W (Waarschuwing) yang artinya
waspada. Diberi nama obat bebas terbatas karena ada batasan jumlah dan kadar
dari zat aktifnya. Seperti Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas mudah didapatkan
karena dijual bebas dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Meskipun begitu
idealnya obat ini hanya dijual di apotek atau toko obat berizin yang dikelola
oleh minimal asisten apoteker dan harus dijual dengan bungkus/kemasan
aslinya. Oleh karenanya, obat bebas terbatas dijual dengan disertai beberapa
peringatan dan informasi memadai bagi masyarakat luas. Obat ini dapat
dikenali lewat lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam yang
mengelilingi. Contoh obat bebas terbatas : obat batuk, obat flu, obat pereda rasa
nyeri, obat yang mengandung antihistamin (Depkes, 2006).
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,
berupa empat persegi panjang berwarna hitam dan berukuran panjang 5 cm,
lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut:
1. P.No.1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya.
2. P. No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan.
3. P. No. 3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan.
4. P. No. 4: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
5. P. No. 5: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan.
6. P. No. 6: Awas! Obat keras.Obat wasir jangan ditelan (Depkes, 2008).
2.3.5 Obat Wajib Apotik
Obat wajib apotik adalah obat yang dapat diserahkan oleh apoteker
kepada pasien tanpa resep dokter. Apoteker di apotik dalam melayani pasien
yang memerlukan obat diwajibkan memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis
obat perpasien yang disebutkan pada obat wajib apotek, dimana yang
bersangkutan wajib membuat catatan pasien serta obat yang akan diserahkan,
dan dapat memberikan informasi yang meliputi dosis, kontraindikasi, efek
samping, dan aturan pakainya (Depkes, 2008).
2.4. Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/Menkes/SK/IX/2004, apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan
pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, serta perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat. Apotek harus dikelola oleh seorang
apoteker yang profesional. Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah
mengarah pada pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup dari pasien (Dinkes, 2004).
Standar pelayanan kefarmasian di apotek mencakup pengelolaan sumber
daya dan pelayanan pasien. Pengelolaan sumber daya di apotek meliputi
(Dinkes, 2004) :
1. Sumber daya manusia
Apoteker pengelola apotek harus memiliki kemampuan menyediakan dan
memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat,
kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai
pimpinan, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar
sepanjang karir, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang
untuk meningkatkan pengetahuan yang tepat.
2. Sarana dan prasarana
Apotek berlokasi di daerah yang mudah dikenali oleh masyarakat. Papan
petunjuk terdapat di halamannya dan dengan jelas tertulis kata apotek.
Pelayanan produk kefarmasian diberikan di tempat yang terpisah dari
aktivitas pelayanan dan penjualan produk lain. Masyarakat harus diberi
akses secara langsung dan mudah untuk memperoleh informasi dan
konseling. Apotek juga harus memiliki ruang tunggu yang nyaman, tempat
untuk mendisplai informasi, ruangan tertutup untuk konseling, serta lemari
untuk menyimpan catatan medikasi pasien, ruang racikan, dan keranjang
sampah untuk staf maupun pasien.
3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
Pengelolaan ini meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan
pelayanan. Pengeluaran obat menggunakan sistem FIFO (First In First Out)
dan FEFO (First Expired First Out).
4. Administrasi
Kegiatan administrasi meliputi administrasi umum dan administrasi
pelayanan. Administrasi umum mencakup pencatatan, pengarsipan,
pelaporan narkotika, psikotropika, dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Adapun administrasi pelayanan mencakup pengarsipan resep,
pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan pengarsipan hasil monitoring
penggunaan obat. Pelayanan yang dilakukan di apotek meliputi (Dinkes,
2004) :
1. Pelayanan resep
a. Skrining resep, meliputi persyaratan administratif, kesesuaian
farmasetika, dan pertimbangan klinis
b. Penyiapan obat, meliputi peracikan, etiket, kemasan obat yang
diserahkan, penyerahan obat, informasi obat, konseling, dan
monitoring penggunaan obat.
2. Promosi dan edukasi
Apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi.
Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan
penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.
3. Pelayanan residensial (home care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok
lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Dalam
menjalankan aktivitas ini, apoteker harus membuat catatan berupa
catatan pengobatan (medication record).
B. PENELITIAN RELEVAN
Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan
penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji
penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian
dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis yang akan dilakukan. Namun
penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian
pada penelitian penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal
terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis. Penelitian terdahulu yang dijadikan acuan
penulis dalam meneliti penelitian, antara lain:
Penelitian terdahulu yang terkait dengan Swamedikasi salah satunya, adalah tulisan
Krishnandan Shal, Shimul Halder (2020), yang berjudul “Assessment of knowledge,
perception, and awareness about self-medication practices among university students in
Nepal” (Penilaian Pengetahuan, Persepsi, dan Kesadaran tentang Pengobatan Sendiri
Praktek di Kalangan Mahasiswa di Nepal). Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa
penelitian ini memberikan informasi awal mengenai praktek swamedikasi di kalangan
mahasiswa di Nepal, yang mengungkapkan bahwa praktek swamedikasi sangat khas
diantara mahasiswa karena ketersediaan yang mudah dan kurangnya pengendalian
peredaran obat di Apotek, praktek swamedikasi dilakukan unuk penyakit yang ringan, dan
adanya resep yang digunakan sebelumnya untuk mengobati kondisi penyakit yang serupa.
Penelitian berikutnya adalah penelitian Marwa Al Flait (2014), yang berjudul
“Evaluation of self-medication practices in acute diseases among university students in
Oman” (Evaluasi praktek pengobatan sendiri penyakit akut pada mahasiswa di Oman).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi praktek mahasiswa terhadap pengobatan
sendiri untuk mengobati penyakit ringan di Muscat and Sohar wilayah Sultan di Oman.
Hasil penelitiannya menunjukkan Secara keseluruhan 204 laki-laki (45,3%) dan 246
perempuan (56,7%) berpartisipasi dalam studi. Usia rata-rata responden adalah 22,3
tahun. Sembilan puluh empat persen responden melaporkan mempraktikkan pengobatan
sendiri dan 165 (36,7%) peserta mengaku telah membeli obat-obatan tanpa resep lebih
dari empat kali selama enam bulan terakhir. Sakit kepala, demam, batuk dan pilek adalah
penyakit yang paling umum yang mendorong responden untuk mencari pengobatan
sendiri. Analgesik, persiapan batuk dan antibiotik adalah kelas obat yang paling umum
digunakan dalam pengobatan sendiri. Mayoritas responden melakukan pengobatan sendiri
untuk penyakit ringan/tidak serius atau mereka memiliki pengalaman sebelumnya dengan
obat tersebut. Mayoritas responden mengaku memiliki pengetahuan pengobatan yang baik
yang mereka peroleh dari membaca brosur atau dari saran Apoteker.
Berikut adalah tulisan Mohammad Al Essa (2018) “Practices, awareness and
attitudes toward self-medication of analgesics among health sciences students in Riyadh,
Saudi Arabia” (Praktek, kesadaran dan sikap terhadap pengobatan sendiri dari analgesik
di antara mahasiswa ilmu kesehatan di Riyadh, Arab Saudi). Metode penelitian yang
dilakukan oleh peneliti sebelumnya metode cross sectionel berupa survei elektronik yang
dilakukan di kalangan mahasiswa ilmu kesehatan dari berbagai Universitas di Riyadh,
Arab Saudi pada tahun 2016. Dua ratus tujuh puluh dua mahasiswa menanggapi
kuisioner. Survei kuisioner elektronik mencakup demografi, pengobatan sendiri dengan
obat analgesik, sikap dan kesadaran tentang keamanan dalam praktek pengobatan sendiri.
Selanjutnya Hounsa.A (2011) yang berjudul “Automédication par les
antibiotiques provenant des pharmaciesprivées de la ville d’Abidjan en Côte d’IvoireSelf-
medication with antibiotics obtained from private pharmacies in Abidjan, Ivory Coast”
(Pengobatan sendiri dengan antibiotik di dapat dari apotek swasta di kota Abidjan di
Pantai Gading). Dalam penelitian ini didaptkan hasil seribu seratus dua puluh tiga
pembelian antibiotik diamati, termasuk 242 pembelian dilakukan melalui pengobatan
sendiri (21,5%). Dari 1765 orang diwawancarai, 1.054 (59,7%) memperoleh antibiotik
dengan pengobatan sendiri. Staf dari Apotek membagikan antibiotik kepada pelanggan,
dan sangat jarang memberikan informasi tentang dosis, konsumsi dengan makanan dan
durasi pengobatan. Regresi logistik menunjukkan bahwa kemungkinan pengobatan sendiri
dengan antibiotik meningkat seiring dengan bertambahnya usia, tingkat sekolah dan
membeli antibiotik di pasar. Sebaliknya, probabilitas ini menurun dengan pendaftaran di
asuransi kesehatan, pengetahuan tentang resiko yang terkait dengan pengobatan sendiri
dan kemampuan untuk menentukan resistensi bakteri.
BAB III
METODE PENELITIAN
1,96x0,50(1 0,50)
n= 0.01
n = 49 responden.
Jadi, jumlah minimun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 49
responden.
Adapun kriteria sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria
inklusi dan eksklusi, yaitu:
1. Kriteria inklusi
1) Konsumen yang berusia minimal 17 tahun.
2) Bersedia mengisi kuisioner.
2. Kriteria eksklusi
1) Pembantu atau orang suruhan yang membeli obat antibiotik di apotek
tanpa resep.
Da Silva, MaríliaGarcezCorrêa, Soares, Maria Cristina Flores, Muccillo-Baisch, Ana Luiza, 2012. Self-medication in
university students from the city of Rio Grande, Brazil. BMC Public Health
Department of Pharmaceutical Technology, Faculty of Pharmacy, University of Dhaka, Dhaka 1000, Bangladesh
Department of Clinical Pharmacy, College of Pharmacy, King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia
Doctoral School of Health Sciences, Faculty of Health Sciences, University of Pécs, Hungary
Dental Department, Nkwen Baptist Health Centre, Bamenda, Cameroon; 2 Department of Periodontics, University of Benin
Teaching Hospital, Benin City, Nigeria.
Medical Simulation Center, School of Clinical Medicine, Jiangsu University, Zhenjiang, Jiangsu, 212013, PR China
Service de microbiologie médicale, centre hospitalier universitaire de Liège, domaine universitaire du Sart-Tilman,
université de Liège, bâtiment B23, avenue de l’Hôpital no 3, 4000 Liège, Belgique b Laboratoire d’hygiène,de
l’environnement et santé publique, unité de formation et de recherche des sciences pharmaceutiques et biologiques
d’Abidjan, BP V 34 Abidjan, Cocod