Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan istilah


swamedikasi. Swamedikasi atau self-medication (pengobatan sendiri) adalah penggunaan
obat-obatan dengan maksud terapi tanpa saran dari profesional atau tanpa resep (Osemene,
2012). Berdasarkan data dari laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2012, terdapat 44,14% masyarakat Indonesia yang berusaha untuk melakukan pengobatan
sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 juga mencatat sejumlah 103.860 (35,2%)
rumah tangga dari 294.959 rumah tangga di Indonesia menyimpan obat untuk swamedikasi
(Kemenkes, 2014).
Obat-obatan yang digunakan dalam swamedikasi adalah obat bebas, bebas terbatas
ataupun obat keras yang bisa didapat tanpa resep dokter dan diserahkan oleh apoteker di
apotek berdasarkan insiatifnya sendiri. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi
keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam,
nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain.
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan
keterjangkauan pengobatan (Depkes RI, 2007).
Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami.
Pelaksanaannya harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional, antara lain
ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya
kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Depkes RI, 2008)
Pada pelaksanaannya swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan
penggunaannya. Dalam hal ini Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang
tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar dari penyalahgunaan obat
(drug abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse). Masyarakat cenderung hanya tahu
merk dagang obat tanpa tahu zat berkhasiatnya (Depkes RI, 2007).
Saluran pencernaan merupakan salah satu bagian tubuh yang penting. Apabila
terjadi gangguan pada saluran pencernaan, maka akan menimbulkan masalah bagi tubuh.
Salah satu gangguan pencernaan yang sering dilakukan swamedikasi adalah konstipasi.
Kebanyakan penelitian memperkirakan prevalensi konstipasi pada populasi umum, yaitu
12-19%). Konstipasi sering terjadi, dengan prevalensi terbesar pada lansia. Dalam studi
self-reported konstipasi yang dilaporkan, 26% wanita dan 16% pria 65 tahun atau lebih tua
mengalami konstipasi; dalam subkelompok orang 84 tahun atau lebih, prevalensi adalah
34% wanita dan 26% pria. Dalam sebuah studi dari Olmsted County, prevalensi yang
dilaporkan sendiri secara keseluruhan konstipasi per 100 orang berusia 65 tahun atau lebih
adalah 40 orang. Menurut studi berbasis masyarakat di Amerika Serikat, orang tua berusia
lebih dari 65 tahun yang mengalami konstipasi dilaporkan sebanyak 65% mengalami
tegang terus-menerus dan hampir 40% melaporkan keluarnya tinja yang keras (Gallegos-
Orozco et al., 2012). Konstipasi lebih sering ditemukan pada wanita dan pada populasi
sosial ekonomi yang lebih rendah (Higgins, 2004). Konstipasi juga merupakan masalah
umum pada anak-anak dan menyumbang 3% dari total kunjungan ke klinik pediatrik umum
dan sebanyak 30% dari kunjungan ke gastroenterologis pediatrik di negara maju (Van den
Berg et al., 2006). Pada studi retrospektif oleh Loening-Baucke tahun 2005 didapatkan
prevalensi konstipasi pada anak sampai usia 1 tahun mencapai 2,9% dan meningkat pada
tahun kedua yaitu sekitar 10,1%. Tidak ada definisi tunggal tentang konstipasi yang
diterima secara umum. Dokter biasanya mendefinisikan konstipasi kronis sebagai
pergerakan usus yang jarang biasanya kurang dari 3 kali per minggu, untuk setidaknya 3
dari 12 bulan sebelumnya. Pasien biasanya memiliki definisi yang lebih luas yang
mencakup berbagai gejala termasuk feses yang keras, perasaan evakuasi yang tidak
lengkap, ketidaknyamanan perut, kembung dan distensi, tegang berlebihan, rasa
penyumbatan anorektal selama buang air besar, dan kebutuhan untuk manuver manual
(Bharucha et al., 2013) Dari semua gejala tersebut, hanya frekuensi buang air besar saja
yang bisa dikuantifikasi. Kebanyakan kasus konstipasi tidak disebabkan oleh kondisi
tertentu sehingga sulit untuk mengidentifikasi penyebab sebenarnya. Konstipasi secara
umum terbagi menjadi dua jenis yaitu konstipasi fungsional/idiopati adalah konstipasi yang
bukan disebabkan penyakit tertentu. Biasanya dapat diatasi dengan perbaikan diet atau gaya
hidup dan penggunaan laksatif jangka pendek. Kemudian konstipasi sekunder adalah
konstipasi yang disebabkan penyakit tertentu dan membutuhkan rujukan untuk dilakukan
pemeriksaan medis lebih lanjut (Nathan, 2010). Prinsip penanganan konstipasi fungsional
adalah menentukan adanya akumulasi feses (fecal impaction), evakuasi feses
(disimpaction), pencegahan berulangnya akumulasi feses dan menjaga pola defekasi
menjadi teratur dengan terapi rumatan oral, edukasi kepada orangtua bagi pasien anak-anak
dan evaluasi hasil terapi (Rahhal,2008).
Kondisi yang umum diobati dengan swamedikasi lainnya adalah nyeri. Nyeri
memegang presentase terbesar dalam kondisi yang sering diobati dengan swamedikasi
yaitu sebesar 78%. Nyeri dengan prosentase terbesar dilaporkan 45% merupakan nyeri
kepala. Nyeri kepala diklasifikasikan secara umum menjadi dua, yaitu nyeri kepala primer
dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer (90% kejadian nyeri kepala) tidak
berhubungan dengan suatu penyakit tertentu, contoh nyeri kepala primer adalah nyeri
kepala tipe tegang, migrain dengan atau tanpa aura, cluster headaches, medication-overesu
headaches. Nyeri kepala sekunder merupakan suatu gejala yang mengawali penyakit lain
misalnya stroke, trauma pada kepala, penyakit yang dikarenakan bakteri atau virus. Nyeri
kepala tipe tegang, migrain, dan sinus merupakan nyeri kepala yang dapat di obati tanpa
resep dokter (Berardi et al., 2009). Secara global diestimasikan prevalensi terjadinya nyeri
kepala pada orang dewasa sebesar 47%. Setengah dari tiga perempat orang dewasa (18-65
tahun) di dunia pernah mengalami sakit kepala, dan lebih dari 10% dilaporkan mengalami
migrain. Migrain merupakan nyeri kepala yang timbul karena interaksi komplek dari faktor
neuronal dan vaskular. Stress, kelelahan, kebanyakan tidur, puasa atau kurang makan,
subtasi vasoaktif dari suatu makanan, kafein, alkohol, menstruasi, perubahan tekanan, dan
pengeruh obat- obatan merupakan pencetus terjadinya migrain (Berardi et al., 2009). Sakit
kepala migrain diklasifikasikan sebagai migrain dengan atau tanpa aura. Migrain tanpa aura
frekuensi terjadinya 2 kali dari migrain dengan aura. Hampir 70% pasien migrain memiliki
riwayat keluarga dengan migrain. Migrain dengan aura merupakan akibat dari adanya
gejala neurologi, seperti adanya kilatan cahaya, kesulitan berbicara, halusinasi penglihatan
dan pendengaran dan biasanya kelemahan pada salah satu sisi otot serta terdapat gejala
mual atau muntah. Gejala ini timbul sekitar 30 menit dan dapat diikuti nyeri sakit kepala
yang berdenyut selama beberpa jam bahkan sampai 2 hari (Berardi et al., 2009).
Kebanyakan pasien nyeri kepala merespon baik dengan terapi non farmakologi, terapi
farmakologi, maupun kombinasi keduanya. Tujuan terapi untk nyeri kepala adalah untuk
mengurangi nyeri akut, memperbaiki fungsi normal, mencegah kekambuhan, mengurangi
efek samping, dan mengurangi frekuensi terjadinya nyeri kepala (Berardi et al., 2009).
Tatalaksana pada penderita nyeri kepala dan konstipasi yang tepat dan efektif
merupakan bagian penting dalam pengurangan terjadinya nyeri kepala maupun konstipasi
serta mengurangi komplikasi akibat nyeri kepala atau konstipasi. Oleh karena itu, dalam
laporan ini akan dijelaskan mengenai nyeri kepala dan konstipasi, meliputi klasifikasi,
penyebab sampai manajemen terapi untuk nyeri kepala dan konstipasi. Selain itu juga
disertai beberapa contoh kasus nyeri kepala dan konstipasi dengan etiologi yang berbeda
dan penanganannya, sehingga akan lebih memudahkan pemahaman tentang dua penyakit
ini, serta tindakan yang harus dilakukan seorang farmasis terkait informasi penyakit yang
diderita oleh pasien melalui patient assesment maupun informasi terkait obat untuk
tercapainya hasil terapi yang optimal.
Farmasis memiliki tanggung jawab untuk membantu memilihkan obat yang tepat
bagi pasien sesuai dengan kondisi pasien yang didapatkan dari patient assessment dan
algoritme terapi. Selain itu farmasis juga bertanggung jawab memberikan informasi dan
edukasi kepada pasien. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang keluhan
gejala yang dialami pasien, terapi obat untuk pengatasan gejala, serta pengetahuan untuk
memberikan informasi dan edukasi pada pasien.

Daftar Pustaka
Osemene, K. P., & Lamikanra, A. 2012. A study of the prevalence of self-medication practice
among university students in Southwestern Nigeria. Tropical Journal of
Pharmaceutical Research, 11(4), 683-689
Kemenkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Depkes RI. (2007). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. (2008). Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan Memilih
Obat Bagi Tenaga Kesehatan.Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Gallegos-Orozco, J.F., Foxx-Orenstein, A.E., Sterler, S.M., and Stoa, J.M., 2011. Chronic
Constipation in the Elderly. Am J Gastroenterol. Vol. 107 : 18–25
Higgins PD, Johanson JF. 2004. Epidemiology of constipation in North America: a systematic
review. Am J Gastroenterol;99(4):750–9.
Van den Berg MM, Benninga MA, Di Lorenzo C. 2006. Epidemiology of childhood
constipation: a systematic review. Am J Gastroenterol;101:2401-9.
Bharucha AE, Dorn SD, Lembo A, et al. 2013. American Gastroenterological Association
medical position statement on constipation. Gastroenterology;144(1): 211–7.
Nathan, A., 2010. Non-Prescription Medicine. 4th Edition, Pharmaceutical Press. p 43-53
Rahhal R. 2008. Functional constipation. In: Kleinman RE, Goulet OJ, Vergani GM, Snderson
IR, Sherman P, Shneider BL. Pediatric gastrointestinal disease; 5th ed. Vol.1.
Hamilton: BC Decker;p.675-81
Berardi, R.R., Ferreri, S.P., Hume, A.L., Kroon, L.A., Newton, G.D., Popovich, N.G.,
Remington, T.L., Rollins, C.J., Shimp, L.A., and Tietze, K.J., 2009. Handbook of
Nonprescription Drugs: An Interactive Approach to Self-Care, 16th Ed, American
Pharmacists Association, p.65-82, 263-288, 278-279

Anda mungkin juga menyukai