MAKALAH KOMUNITAS
TERAPI MEDIK DAN TERAPI KOMPLEMENTER YANG LAZIM DIGUNAKAN PADA LANSIA
Disusun Oleh :
Kelompok 9
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1. Mengetahui tentang terapi medis
2. Mengetahui tentang terapi komplementer
3. Mengetahui terapi medic dan komplementer yang lazim digunakan pada lansia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3. Program Ortotik-prostetik
Bila diperlukan alat bantu dalam mendukung aktivitas pada lansia maka seorang
ortotis-prostetis akan membuat alat penopang, atau alat pengganti bagian tubuh yang
memerlukan sesuai dengan kondisi penderita. Dan untuk lansia hal ini perlu pertimbangan
lebih khusus, misalnya pembuatan alat diusahakan dari bahan yang ringan, model alat yang
lebih sederhana sehingga mudah dipakai, dll.
5. Program Sosial-Medik
Petugas sosial-medik memerlukan data pribadi maupun keluarga yang tinggal bersama
lansia, melihat bagaimana struktur/kondisi di rumahnya yang berkaitan dengan aktivitas yang
dibutuhkan penderita, tingkat sosial-ekonomi. Hal ini sangat penting sebagai masukan untuk
mendukung program lain yang ahrus dilaksanakan, misalnya seorang lansia yang tinggal
dirumahnya banyak trap/anak tangga, bagaimana bisa dibuat landai atau pindah kamar yang
datar dan biasa dekat dengan kamar mandi, dll
6. Program Psikologi
Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan keadaan emosionalnya,
yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada lansia, misalnya apakah seorang yang tipe agresif,
atau konstruktif, dll. Juga untuk memberikan motivasi agar lansia mau melakukan latihan,
mau berkomunikasi, sosialisasi dan sebgainya. Hal ini diperlukan pula dalam pelaksanaan
program lain sehingga hasilnya bisa lebih baik.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1.2 Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia lanjut:
a. Determinan Massa Tulang
1) Faktor genetik
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan tulang. Beberapa orang
mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam
pada umumnya mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia bangsa Kaukasia. Jacii
seseorang yang mempunyai tulang kuat (terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun
terhadap fraktur karena osteoporosis
2) Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor genetk. Bertambahnya
beban akan menambah massa tulang dan berkurangnya beban akan mengakibatkan
berkurangnya massa tulang. Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa ada hubungan
langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan
respons terhadap kerja mekanik Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot
besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh adalah pemain tenis atau pengayuh
becak, akan dijumpai adanya hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada
lengan atau tungkainya; sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan dijumpai
pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu yang lama, poliomielitis atau
pada penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian belum diketahui dengan pasti berapa
besar beban mekanis yang diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di
sampihg faktor genetik
3) Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup (protein dan
mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang
bersangkutan. Pemberian makanan yang berlebih (misainya kalsium) di atas kebutuhan
maksimal selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat menghasilkan massa tulang yang
melebihi kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan
genetiknya.
b. Determinan Penurunan Massa Tulang
1) Faktor genetik
Faktor genetik berpengaruh terhadap risiko terjadinya fraktur. Pada seseorang dengan tulang
yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang
besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang
normal. Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sitat genetiknya serta
beban mekanis den besar badannya. Apabila individu dengan tulang yang besar, kemudian
terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia,
maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang tobih banyak dari pada individu yang
mempunyai tulang kecil pada usia yang sama
2) Faktor mekanis
Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang terpenting dalarn proses
penurunan massa tulang schubungan dengan lanjutnya usia. Walaupun demikian telah
terbukti bahwa ada interaksi panting antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi hormonal.
Pada umumnya aktivitas fisis akan menurun dengan bertambahnya usia; dan karena massa
tulang merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan
bertambahnya usia.
3) Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses penurunan massa tulang
sehubungan dengan bertambahnya Lisia, terutama pada wanita post menopause. Kalsium,
merupakan nutrisi yang sangat penting. Wanita-wanita pada masa peri menopause, dengan
masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak bak, akan mengakibatkan keseimbangan
kalsiumnya menjadi negatif, sedang mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya
juga baik, menunjukkan keseimbangan kalsium positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada
wanita masa menopause ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan
keseimbangan kalsium dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa menopause keseimbangan
kalsiumnya akan terganggu akibat masukan serta absorbsinya kurang serta eksresi melalui
urin yang bertambah. Hasil akhir kekurangan/kehilangan estrogen pada masa menopause
adalah pergeseran keseimbangan kalsium yang negatif, sejumiah 25 mg kalsium sehari.
4) Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi penurunan massa tulang.
Makanan yang kaya protein akan mengakibatkan ekskresi asam amino yang mengandung
sulfat melalui urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi kalsium.
5) Pada umumnya protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama makanan lain.
Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka fosfor tersebut akan mengurangi
ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor tersebut akan mengubah pengeluaran
kalsium melalui tinja. Hasil akhir dari makanan yang mengandung protein berlebihan akan
mengakibatkan kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium yang negatif
6) Estrogen.
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan terjadinya gangguan
keseimbangan kalsium. Hal ini disebabkan oleh karena menurunnya eflsiensi absorbsi
kalsium dari makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal.
7) Rokok dan kopi
Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan mengakibatkan penurunan
massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh
merokok terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat
memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja.
8) Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan. Individu dengan
alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium rendah, disertai dengan ekskresi
lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti .
d. Perlindungan sendi
Usaha perlindungan sendi dapat dilakukan dengan menghindari pemakaian sendi secara
berlebihan, menghindari trauma, mengurangi pembebanan, berusaha menggunakan sendi
yang lebih kuat atau lebih besar, dan istirahat sejenak disela-sela aktivitas.
e. Konservasi Energi
Konservasi energy adalah suatu cara melakukan aktivitas dengan energy yang relative
minimal, namun dapat memperoleh hasil aktivitas yang baik. Teknik konservasi energy dapat
dicapai apabila dalam setiap aktivitas memperhatikan hal-hal berikut :
1) Rencanakan aktivitas yang akan dilakukan sehingga tidak ada gerakan kejut yang akan
meningkatkan strees fisik atau emosional.
2) Atur lingkungan aktivitas sedemikian rupa sehingga pada waktu melaksanakan aktivitas,
energy dapat digunakan secra efisien
3) Jika mungkin, aktivitas dilakukan dalam posisi duduk
4) Jangan menjinjing atau mengangkat barang jika dapat didorong atau digeser.
5) Gunakan alat aktivitas yang relatife ringan
6) Lakukan aktivitas dengan cara yang sama karena akan membuat lebih efisien.
7) Dalam setiap aktivitas, harus sering diselingi istirahat. Salah satu pedoman adalah sepuluh
menit istirahat untuk setiap satu jam bekerja.
8) Bagi aktivitas menjadi beberapa bagian kemudian kerjakan pada waktu yang berbeda.
3.2.2. Etiologi
1. Penyebab secara biologis
a. Adanya penumpukan protein yang lengket yang disebut anyloid plauques yang berakumulasi
di otak pada penderita demensia. Plak amiloid juga ditemukan pada lansia yang tidak
memiliki gejala-gejala demensia, tetapi juga dalam jumlah yang jauh lebih sedikit (Bourgeois
dkk dalam Durand dan Barlow, 2006)
b. Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang
semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi. Demensia sosok Lewy sangat
menyerupai penyakit Alzheimer, tetapi memiliki perbedaan dalam perubahan mikroskopik
yang terjadi di dalam otak.
c. Penyebab yang lain dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-turut.Stroke tunggal
ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang timbul
secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan otak,
daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah disebut infark.
Demensia yang berasal dari stroke kecil disebut demensia multi-infark. Sebagian besar
penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang keduanya
menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak.
d. Demensia juga bisa terjadi setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac arrest.
Penyebab lain dari demensia adalah penyakit parkinson, penyakit pick, AIDS, penyakit paru,
ginjal, gangguan darah, gangguan nurtrisi, keracunan metabolism, diabetes.
e. Penyebab biologis demensia tidak diketahui penyebabnya hanya saja masalah kerusakan
cortex (jaringan otak). Penelitian otopsi mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penderita
yang meninggal karena demensia senile mengalami penyakit Alzheimer jenis ini. Pada
kebanyakan penderita, besar kasar otak pada saat otopsi jauh lebih rendah yang ventrikel dan
sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang normal yang seukuran usia tersebut. Demielinasi
dan peningkatan kandungan air pada jaringan otak ditemukan berdekatan dengan ventrikel
lateral dan dalam beberapa daerah lain di bagian dalam hemifsfer serebrum pad penderita
manula.
f. Faktor genetik yang berhubungan dengan apoprotein E4 (Apo E4), alela (4) kromosom 19
pada penderita Alzheimer familial/sporadic. Mutasi 21,1, 14 awal penyakit. Penyebab lainnya
yaitu neorotransmiter lain yang berkurang (defisit) yaitu non adrenergic presinaptik,
serotonin, somatostatin, corticotrophin, releasing faktor, glutamate, dll.
3.3.2. Etiologi
Beberapa ahli juga memberikan penjelasan mengenai penyebab depresi. Menurut
Kaplan dalam Tarigan (2003) Faktor-faktor yang dihubungkan dengan penyebab dapat dibagi
atas: faktor biologi, faktor genetik dan faktor psiko sosial. Dimana ketiga faktor tersebut juga
dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya
1. Faktor Biologi
Dalam penelitian biopsikologi, norepinefrin dan serotonin merupakan dua
neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa peneliti
juga menemukan bahwa gangguan mood melibatkan patologik dan sistem limbiks serta
ganglia basalis dan hypothalamus.
2. Faktor Genetik
Data genetik menyatakan bahwa faktor yang signifikan dalam perkembangan gangguan
mood adalah genetik. Pada penelitian anak kembar terhadap gangguan depresi berat, pada
anak kembar monozigot adalah 50 %, sedangkan dizigot 10 – 25 %.
3. Faktor Psikososial
Mungkin faktor inilah yang banyak diteliti oleh ahli psikologi. Faktor psikososial yang
memyebabkan terjadinya depresi antara lain;
a. Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan : suatu pengamatan klinik menyatakan bahwa
peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang penuh ketegangan sering mendahului episode
gangguan mood.
b. Faktor kepribadian Premorbid : Tidak ada satu kepribadian atau bentuk kepribadian yang
khusus sebagai predisposisi terhadap depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian manapun
dapat mengalami depresi, walaupun tipetipe kepribadian seperti oral dependen, obsesi
kompulsif, histerik mempunyai risiko yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan
lainnya.
c. Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud menyatakan suatu hubungan antara
kehilangan objek dan melankoli. Ia menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi diarahkan
kepada diri sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang. Freud percaya
bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk melepaskan diri terhadap objek yang
hilang. depresi sebagai suatu efek yang dapat melakukan sesuatu terhadap agresi yang
diarahkan kedalam dirinya. Apabila pasien depresi menyadari bahwa mereka tidak hidup
sesuai dengan yang dicita-citakannya, akan mengakibatkan mereka putus asa.
d. Ketidakberdayaan yang dipelajari: Didalam percobaan, dimana binatang secara berulang-
ulang dihadapkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya, binatang tersebut
akhirnya menyerah dan tidak mencoba sama sekali untuk menghindari kejutan selanjutnya.
Mereka belajar bahwa mereka tidak berdaya.
e. Teori Kognitif: Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif pada depresi Asikal H.S.
dalam Tarigan (2003) Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada depresi yang
disebut sebagai triad kognitif, yaitu : a) Pandangan negatif terhadap masa depan, b)
Pandangan negatif terhadap diri sendiri, individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh,
pemalas, tidak berharga, c) Pandangan negatif terhadap pengalaman hidup. Meyer
berpendapat bahwa depresi adalah reaksi seseorang terhadap pengalaman hidup.
f. Penyebab depresi adalah faktor biologi, faktor genetik dan faktor psiko sosial. Dimana ketiga
faktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
2. Gastritis Kronik
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari
lambung, atau oleh bakteri Helicobacter pylory (H. Pylory). Gastritis kronik dikelompokkan
lagi dalam 2 tipe yaitu tipe A dan tipe B. Dikatakan gastritis kronik tipe A jika mampu
menghasilkan imun sendiri. Tipe ini dikaitkan dengan atropi dari kelenjar lambung dan
penurunan mukosa. Penurunan pada sekresi gastrik mempengaruhi produksi antibodi.
Anemia pernisiosa berkembang pada proses ini. Gastritis kronik tipe B lebih lazim. Tipe ini
dikaitkan dengan infeksi helicobacter pylori yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.
3.4.2 Etiologi
1. Infeksi kuman Helicobacter pylori (bakteri yang tumbuh di dalam sel penghasil lendir di
lapisan lambung).
Tidak ada bakteri lainnya yang dalam keadaan normal tumbuh di dalam lambung yang
bersifat asam, tetapi jika lambung tidak menghasilkan asam, berbagai bakteri bisa tumbuh di
lambung. Bakteri ini bisa menyebabkan gastritis menetap atau gastritis sementara.
2. Penggunaan antibiotik
Penggunaan antibiotik untuk infeksi paru dicurigai mempengaruhi penularan kuman di
komunitas karena antibiotika tersebut mampu mengeradikasi infeksi Helicobacter pylori
walaupun presentase keberhasilannya rendah.
3. Gangguan fungsi sistem imun
Sistem imun yang dimiliki oleh seseorang akan dapat menjadi pemacu reaksi
imunologis terhadap infeksi virus atau jamur. Terdapat beberapa jenis virus yang dapat
menginfeksi mukosa lambung misalnya enteric rotavirus dan calici virus. Autoimmune
atrophic gastritis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat yang berada
dalam dinding lambung. Hal ini mengakibatkan peradangan dan secara bertahap menipiskan
dinding lambung, menghancurkan kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung dan menganggu
produksi faktor intrinsic (yaitu sebuah zat yang membantu tubuh mengabsorbsi vitamin B-
12). Kekurangan B-12, akhirnya, dapat mengakibatkan pernicious anemia, sebuah konsisi
serius yang jika tidak dirawat dapat mempengaruhi seluruh sistem dalam tubuh. Autoimmune
atrophic gastritis terjadi terutama pada orang tua.
4. Penggunaan Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid
Obat analgesik anti inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin, ibuprofen dan naproxen
dapat menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi prostaglandin yang
bertugas melindungi dinding lambung. Jika pemakaian obat - obat tersebut hanya sesekali
maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya
dilakukan secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan dapat mengakibatkan
gastritis.
5. Penggunaan alkohol secara berlebihan
Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding
lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal.
6. Penggunaan kokain
Kokain dapat merusak lambung dan menyebabkan pendarahan dan gastritis.
7. Stress fisik
Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi berat dapat
menyebabkan gastritis dan juga borok serta pendarahan pada lambung.
8. Radiasi and kemoterapi
Perawatan terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan
pada dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan peptic ulcer.
Ketika tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi
dalam dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi permanen dan dapat
mengikis dinding lambung serta merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung.
4.1 Kesimpulan
Terapi medis adalah meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien. Optimalisasi
terapi medis harus aman, efektif, pemilihan terapi secara bijak dan pelayanan kesehatan
secara akurat serta adanya kesepakatan antara pasien dan pemberi pelayanan berdasarkan
informasi terkini.
Terapi komplementer merupakan terapi holistis atau terapi nonbiomedis. Hasil
penelitian tentang psikoneuroimunologi mengungkapkan bahwa proses interaktif pada
manusia dengantubuh, pikiran, dan interaksi sosial mempengaruhi kesejahteraan seseorang.
NCCAM. Menetapkan bahwa terapi komplementer secara garis besar di dasarkan sebagai
kategori terapi pikiran penghubung tubuh (mind – body terapies) sementara terapi biomedis
lebih banyak mempengaruhi seluruh tubuh dan berfokus pada dampak terapi terhadap
pengibatan.
4.2 Saran
Dengan adanya makalah yang kami buat ini tentang terapi medik dan terapi
komlementer diharapkan pembaca atau teman-teman sejawat dapat memperoleh manfaat dari
makalah yang kami buat. Jika ada pengembangan yang bermanfaat mohon untuk dilayangkan
pada penulis makalah ini karena masukan dari pembaca atau bapak/ ibu dosen sangat
mendukung demi kesempurnaan makalah yang kami buat.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumanto, R., Iskandar, Y., 1981. Depresi, Suatu problema Diagnosa dan Terapi pada praktek
umum. Jakarta: Yayasan Dharma Graha
Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial 3, Gangguan-gangguan Kejiwaan. Jakarta: Rajawali Pers.
Martono, Hadi dan Kris Pranarka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut).Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Mubarak, Wahid Iqbal. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi.J akarta :
Salemba Medika
Maryam, R.Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba Medika
Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Pudjiastuti, Sri Surini dan Budi Utomo. 2003. Fisioterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC
Setyoadi, Kushariyadi. 2011. Terapi Modalitas keperawatan pada klien psikogeriatik. Jakarta :
Salemba medika
Stockslager, Jaime L. 2007. Buku Saku Asuhan Keparawatan Geriatrik. Edisi II.Jakarta : EGC
Tarigan, C., Julita 2003. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional dan Dispepsia
Organik. Diakses dalam http://www.usu.go.id.
Watson, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta : EGC