Anda di halaman 1dari 23

PRAKTIKUM FARMASI PENULISAN RESEP RASIONAL

BLOK EMN

M FAUZAN ABDILLAH RASYID


181801070

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Resep di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resep dokter didefinisikan


sebagai suatu keterangan dokter tentang obat serta dosisnya yang harus digunakan
oleh pasien dan dapat ditukarkan dengan obat di apotek. Menurut Kepmenkes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di
apotek, resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi
atau dokter hewan kepada seorang apoteker untuk menyediakan dan memberikan
obat kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Jas (2008), resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang
dokter kepada seorang apoteker atau farmasis yang mengelola apotek untuk
memberikan obat jadi atau obat racikan kepada pasien.

Menurut World Health Organization (WHO) dalam de Vries et al. (1994), setiap
negara memiliki standar tersendiri tentang informasi minimum apa yang harus
ditulis di dalam resep. Obat apa yang memerlukan resep dan siapa yang boleh
meresepkan obat diatur oleh peraturan dan hukum di tiap negara tersebut. Namun,
di dalam resep sebaiknya tercantum:

1. Nama, alamat, dan nomor telepon dokter.


2. Tanggal.
3. Nama dan kekuatan obat.
4. Dosis dan jumlah total obat.
5. Label: instruksi dan peringatan.
6. Nama, alamat, dan umur pasien.
7. Tanda tangan dokter.

Menurut Jas (2009), resep harus mengikuti format penulisan yang terdiri dari
enam bagian yaitu inscriptio, invocatio, prescriptio/ordonantio, signatura,
subscriptio dan pro. Identitas dokter dicantumkan di dalam bagian inscriptio
sedangkan identitas pasien di dalam bagian pro. Di bagian invocatio dicantumkan
singkatan latin resipe (R/). Nama, jumlah, dan bentuk sediaan obat dituliskan pada
bagian prescriptio/ordonantio. Cara pakai, dosis, rute, dan interval pemberian
terdapat pada bagian signatura. Resep tersebut legal bila telah ditandatangani oleh
dokter pada bagian subscriptio.

Di dalam resep, nama obat ditulis menurut suatu pola tertentu yaitu diawali
dengan penulisan nama obat untuk terapi utama (remedium cardinal), kemudian
obat penunjang obat utama (remedium adjuvantia), dan terakhir robansia yaitu
obat yang dapat memicu metabolisme (Jas, 2009).

Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan logis.
Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan, tepat
dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga harus
aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi
pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam
susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian
obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan
antagonis (Jas, 2009).

Menurut Katzung et al. (2009), menulis resep harus mengikuti langkah- langkah
yang rasional yaitu:

1. Buat diagnosis yang spesifik,


2. Pertimbangkan implikasi patofisiologi dari diagnosis tersebut,
3. Pilih tujuan terapi yang spesifik,
4. Pilih pengobatan,
5. Tentukan regimen dosis,
6. Rencanakan monitoring kerja obat dan tentukan titik akhir dari terapi,
7. Rencanakan program edukasi bagi pasien.

Kedua, aspek kesesuaian farmasetik yaitu berupa bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Dan yang terakhir adalah
pertimbangan klinis yaitu ada tidaknya alergi, efek samping, interaksi, serta
kesesuaian dalam dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain. Dalam promosi dan
edukasi, apoteker ikut membantu menyebarkan informasi berupa brosur/leaflet,
poster, penyuluhan dan lain-lain kepada masyarakat. Pelayanan residensial juga
dilakukan oleh apoteker dengan melakukan kunjungan ke rumah khususnya untuk
kelompok pasien lansia atau pasien dengan penyakit kronis (Kepmenkes RI,
2004).

Pada kenyataannya, masih ada penulisan resep yang belum sesuai dengan
pedoman pengobatan yang telah ditetapkan. Pihak rumah sakit perlu mengadakan
evaluasi terhadap penulisan resep apakah sesuai dengan formularium atau tidak.
Hal ini untuk meningkatkan pelayanan pada pasien khususnya dalam penggunaan
obat yang sesuai dengan formularium (Fitriani, 2015).

Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baikoleh dokter,
apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yangefektif dan
efisien (Mundariningsih, dkk., 2007). Salah satu indikator keberhasilanperesepan
obat rasional di rumah sakit antara lain persentase penggunaanantibiotik,
persentase penggunaan obat generik, dan persentase penggunaan obatesensial
(ketaatan penggunaan formularium) benar-benar diterapkan sesuai
aturan(Anonim, 2006). Menetapkan kriteria evaluasi penggunaan obat amat
sangat penting, dan merupakan tanggung jawab dari PFT. Evaluasi kriteria
penggunaan obat menjelaskan tentang penggunaan obat dengan benar dan
mengamati berbagai macam komponen. Komponen yang digunakan untuk
menilai kriteria penggunaan obat adalah indikasi obat yang tepat, obat yang tepat
untuk kondisi klinik, dosis yang sesuai dengan indikasi, ada tidaknya interaksi,
langkah yang berkaitan dengan pemberian obat, menginstruksikan penggunaan
obat kepada pasien, keadaan klinik dan laboratorium dari pasien (WHO dan MSH,
2003).
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan
kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara,
pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah
menunjukkan bahwa penggunaan obat jauh dari keadaan optimal dan rasional.
Banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam penggunaan obat pada umumnya dan
khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara singkat, penggunaan obat
(khususnya adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan tidak rasional
apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat kecil atau tidak ada sama
sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau
biayanya (Vance dan Millington, 1986).

Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan yang


sesuai dengan kebutuhannya secara klinis, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhan individunya, selama waktu yang sesuai, dengan biaya yang paling
rendah sesuai dengan kemampuannya dan masyarakatnya. Penggunaan obat yang
rasional harus memenuhi beberapa kriteria berikut, yaitu pemilihan obat yang
benar, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, pemberian obat dengan
benar dan ketaatan pasien pada pengobatan (WHO, 2002).

Indikator digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya suatu masalah yang
dilakukan baik dari individu atau fasilitas kesehatan, sehingga indicator dapat
dijadikan patokan untuk melihat keberhasilan dari suatu evaluasi (WHO,1993).
Dalam evaluasi penggunaan obat, dapat digunakan indikator yang berasal dari
WHO (1993), yaitu indikator peresepan mengenai persentase obat yang
diresepkan yang sesuai dengan formularium rumah sakit. Salah satu indikator
penggunaan obat yang tidak rasional disuatu sarana pelayanan kesehatan adalah
angka penggunaan antibiotika. Antibiotika adalah obat yang sangat dikenal, bukan
hanya oleh kalangan medis, tetapi juga oleh masyarakat. Sayangnya, hampir
semuanya mengenal antibiotika secara salah, dan ini terbukti dalam kenyataannya
bahwa antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan secara salah
(misused). Masalah penggunaan antibiotika merupakan masalah peresepan yang
tidak rasional yang paling besar di dunia, dari dahulu sampai sekarang baik di
rumah sakit maupun di komunitas.

Hasil laporan akhir studi penggunaan obat, yang dilakukan oleh Yayasan
Indonesia Sejahtera (1990), dinyatakan bahwa penggunaan antibiotika per oral
maupun injeksi menduduki urutan kedua terbanyak dibandingkan dengan obat
obat lain. Sebagian besar penyimpangan penggunaan antibiotika, terletak pada
ketidaktepatan pada indikasi. Kesalahan indikasi sering ditemui misalnya pada
demam non spesifik. Pada kasus perawatan pasca operasi sering ditemukan
demam non spesifik, yang dapat disebabkan oleh metabolism lemak tubuh, akibat
tidak adanya masukan makanan, dan atau sebab-sebab lain yang dapat
meningkatkan suhu tubuh, sehingga pemberian antibiotika pada kasus-kasus
semacam itu merupakan tindakan yang kurang tepat.

Penggunaan obat yang rasional merupakan suatu upaya yang penting dalam
rangka peningkatan mutu pelayanan obat. Proses pemilihannya yang senantiasa
dilakukan secara konsisten mengikuti standar baku, akan menghasilkan
penggunaan obat yang sesuai dengan kriteria kerasionalannya (Sastramihardja,
1997). Penelitian terhadap penggunaan antibiotika pada pasien rawat inap di
Rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta, kebanyakan pengobatan pneumonia
dilakukan melalui pendekatan secara empiris yaitu menggunakan antibiotika
spektrum luas dengan tujuan agar antibiotika yang dipilih dapat melawan
beberapa kemungkinan antibiotika penyebab infeksi. Padahal penggunaan
antibiotika spektrum luas secara tidak terkendali sangat memungkinkan timbulnya
masalah yang tidak diinginkan seperti timbulnya efek samping obat maupun
potensi terjadinya resistensi (Prasetya, 2006).

Salah satu pemberian obat yang tidak rasional adalah pemberian polifarmasi atau
pemberian obat secara multipel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Aman (1999) di Denpasar, 58% pasien anak mendapatkan kortikosteroid oral
tanpa indikasi yang wajar, 90,4% pasien anak mendapatkan antibiotika,
sedangkan 31,9% pasien anak mendapatkan fenobarbital. Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa penggunaan polifarmasi pada pasien anak masih tinggi di
Denpasar. Berdasarkan monitoring kebijakan obat nasional, seharusnya
ketersediaan dan penulisan obat esensial dan generik di rumah sakit adalah 100%.
Hasil observasi terhadap resep yang disalin dari rumah sakit, puskesmas, dan
apotek menunjukkan bahwa kisaran persentase obat generik yang diresepkan di
rumah sakit pemerintah sangat bervariasi yaitu berkisar antara 14,58-100%
dengan ratarata 55,38%. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban dokter menulis
resep obat generic atau penggunaan obat generic di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah belum sepenuhnya dilaksanakan (Handayani et al.,2009).

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan


karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau
oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya (Depkes
RI, 2009).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197/Menkes/SK/X/2004,


rumah sakit memiliki tugas dalam melaksanakan upaya kesehatan yang
diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan
pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan (Depkes RI, 2004).

Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas
menyelenggarakan, mengkoordinasi, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan
pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah
Sakit. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah satu-satunya unit di rumah sakit yang
bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang
berkaitan dengan obat yang beredar dan digunakan di rumah sakit. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit harus melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik
dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat.
Pengobatan sendiri sering dilakukan oleh masyarakat. Dalam pengobatan sendiri
sebaiknya mengikuti persyaratan penggunaan obat rasional. Materi ini akan
membahas pengertian dan batasan pengobatan rasional. Penggunaan obat
dikatakan rasional bila (WHO 1985) bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang
paling murah untuk pasien dan masyarakat. WHO memperkirakan bahwa lebih
dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan
cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak
tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI RESEP

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker untuk membuat atau menyerahkan obat kepada pasien. Resep harus
ditulis secara jelas dan lengkap, apabila resep tidak bisa dibaca dengan jelas atau
tidak lengkap, apoteker atau asisten harus menanyakan kepada dokter penulis
obat. Ukuran lembaran resep umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran
ideal lebar 10-12 cm dan panjang 15-20 cm (Jas, 2009).

Penulisan resep bertujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan


di bidang farmasi sekaligus meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat.
Umumnya, waktu buka instalasi farmasi/ apotek dalam pelayanan farmasi jauh
lebih panjang daripada praktik dokter, sehingga dengan penulisan resep
diharapkan akan memudahkan pasien dalam mengakses obat obatan yang
diperlukan sesuai dengan penyakitnya. Melalui penulisan resep pula, peran, dan
tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat
dapat ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada
masyarakat secara bebas. Selain itu, dengan adanya penulisan resep, pemberian
obat lebih rasional dibandingkan dispensing (obat diberikan sendiri oleh dokter),
dokter bebas memilih obat secara tepat, ilmiah, dan selektif. Penulisan resep juga
dapat membentuk pelayanan berorientasi kepada pasien (patient oriented) bukan
material oriented. Resep itu sendiri dapat menjadi medical record yang dapat
dipertanggungjawabkan, dan sifatnya rahasia. (Jas, 2009)

Jenis Jenis Resep

Jenis- jenis resep dibagi menjadi:

1. Resep standar (Resep Officinalis/Pre Compounded) merupakan resep


dengan komposisi yang telah dibakukan dan dituangkan ke dalam buku
farmakope atau buku standar lainnya. Resep standar menuliskan obat jadi
(campuran dari zat aktif) yang dibuat oleh pabrik farmasi dengan merk
dagang dalam sediaan standar atau nama generik.

2. Resep magistrales (Resep Polifarmasi/Compounded) adalah resep yang


telah dimodifikasi atau diformat oleh dokter yang menulis. Resep ini dapat
berupa campuran atau obat tunggal yang diencerkan dan dalam
pelayanannya perlu diracik terlebih dahulu
2.2. RESEP RASIONAL

Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan logis.
Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan, tepat
dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga harus
aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi
pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam
susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian
obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan
antagonis (Jas, 2009)

Menurut Katzung et al. (2009), menulis resep harus mengikuti langkah- langkah
yang rasional yaitu:

1. Buat diagnosis yang spesifik,


2. Pertimbangkan implikasi patofisiologi dari diagnosis tersebut,
3. Pilih tujuan terapi yang spesifik,
4. Pilih pengobatan,
5. Tentukan regimen dosis,
6. Rencanakan monitoring kerja obat dan tentukan titik akhir dari terapi,
7. Rencanakan program edukasi bagi pasien..

2.3. FORMAT PENULISAN RESEP

Penulisan resep adalah suatu wujud akhir kompetensi dokter dalam pelayanan
kesehatan yang secara komprehensif menerapkan ilmu pengetahuan dan keahlian
di bidang farmakologi dan teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada
pasien khususnya dan seluruh masyarakat pada umumnya. Sebagian obat tidak
dapat diberikan langsung kepada pasien atau masyarakat melainkan harus melalui
peresepan oleh dokter. Berdasarkan keamanan penggunaannya, obat dibagi dalam
dua golongan yaitu obat bebas (OTC = Other of the counter) dan Ethical (obat
narkotika, psikotropika dan keras), dimana masyarakat harus menggunakan
resep dokter untuk memperoleh obat Ethical.

Penyimpanan resep tidak boleh sembarangan. Kertas resep perlu dijaga jangan
sampai digunakan orang lain. Kertas resep dokter kadang mudah ditiru sehingga
perlu pengamanan agar kita tidak terlibat dalam pemberian resep palsu yang
dilakukan orang lain. Selain itu, resep obat asli harus disimpan di
apotek dan tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain kecuali oleh yang
berhak. Pihak –pihak yang berhak melihat resep antara lain:

1. Dokter yang menulis resep atau merawat pasien.


2. Pasien atau keluarga pasien yang bersangkutan.
3. Paramedis yang merawat pasien.
4. Apoteker pengelola apotek yang bersangkutan.
5. Aparat pemerintah serta pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang
ditugaskan untuk memeriksa.
6. Petugas asuransi untuk kepentingan klaim pembayaran
Menurut Jas A. (2009) Resep terdiri dari enam bagian, antara lain:
1. Inscriptio terdiri dari nama, alamat, dan nomor izin praktek (SIP) dokter,
tanggal penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota
provinsi. Format inscriptio suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan
resep pada praktik pribadi.

2. Invocatio merupakan tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep.


Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe” artinya ambilah
atau berikanlah. Berfungsi sebagai kata pembuka komunikasi antara dokter
penulis resep dengan apoteker di apotek.

3. Prescriptio/ordonatio terdiri dari nama obat yang diinginkan, bentuk sediaan


obat, dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.

4. Signatura merupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri dari
tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian. Penulisan signature harus jelas untuk keamanan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi

5. Subscriptio merupakan tanda tangan/paraf dokter penulis resep yang berperan


sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.

6. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat
badan pasien.
2.4. TUJUAN PENGGUNAAN RESEP OBAT RASIONAL

Untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan


kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuatT dengan harga yang
terjangkau( Kemekes RI,2011).

2.5.IDENTIFIKASI BERBAGAI MASALAH PENGGUNAAN OBAT


YANG TIDAK RASIONAL

Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan dosis, cara, dan lama
pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan sebagian
contoh dari ketidakrasionalan peresepan. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak
rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar
dibanding manfaatnya. Dampak negatif di sini dapat berupa:

a. Dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan resistensi kuman),


b. Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau)

Tujuan identifikasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional adalah untuk
mengetahui masalah-masalah yang terjadi dan penyebabnya dalam penggunaan
obat yang tidak rasional( Kemekes RI,2011).

Ciri-ciri Penggunaan Obat yang Tidak Rasional

Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai


berikut:

a. Peresepan berlebih (overprescribing)

Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan


untuk penyakit yang bersangkutan.
Contoh:
- Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya
- disebabkan oleh virus)
- Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada
- yang dianjurkan.
- Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang di- Pemberian obat
berlebihan memberi resiko lebih besar
untuk timbulnya efek yang tidak diinginkan seperti:
- Interaksi
- Efek Samping
- Intoksikasiperlukan

b. Peresepan kurang (underprescribing),

Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya


diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama
pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk
penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini.
Contoh :
- Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
- Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita
- diare.
- Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita
- yang diare

c. Peresepan majemuk (multiple prescribing)

Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit


yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan
dengan satu jenis obat.
Contoh:
Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:
- Amoksisilin,
- Parasetamol,
- Gliseril guaiakolat,
- Deksametason,
- CTM, dan
- Luminal.

d. Peresepan salah (incorrect prescribing)

Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang
sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan
resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai
obat yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya

Contoh :
- Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin &
ofl oksasin) untuk anak.
- Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol
yang lebih aman

Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang tidak
rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak disadari oleh
para klinisi. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap klinisi selalu mengatakan
bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak menentukan
jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya keliru, tetapi jika
tidak dilandasi dengan alasan ilmiah yang dapat diterima akan menjurus ke
pemakaian obat yang tidak rasional.

Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari hari:


a. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh: Pemberian roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak padahal
intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.

b. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.


Contoh: Pemberian injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.

c. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.


Contoh:
- Cara pemberian yang tidak tepat, misalnya pemberian ampisilin
sesudah makan, padahal seharusnya diberikan saat perut kosong atau
di antara dua makan.
- Frekuensi pemberian amoksisilin 3 x sehari, padahal yang benar adalah
diberikan 1 kaplet tiap 8 jam.

d. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat
lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh: Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit
tenggorok atau sakit menelan.padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman
dan effi cacious.

e. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis


dengan mutu yang sama dan harga lebih murah tersedia.
Contoh: Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerek yang relative mahal
padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga lebih
murah tersedia.

f. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamanannya.
Contoh: Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya dihindari karena
umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka panjangnya, yang justru
dapat merugikan pasien.

g. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi


yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh: Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasa yang
selanjutnya akan mendorong penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi jika
datang dengan keluhan yang sama.

2.6. UPAYA DAN INTERVENSI UNTUK MENGATASI MASALAH


PENGGUNAAN OBAT YANG TIDAK RASIONAL

Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak tepat secara


medik. Artinya, tidak sesuai dengan indikasi, diberikan dalam dosis
yang tidak tepat, cara dan lama pemberian yang keliru hingga kurang
tepatnya pemberian informasi sehubungan dengan pengobatan yang
diberikan. Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional
diperlukan beberapa upaya perbaikan dan intervensi, baik di tingkat provider yaitu
peresep (prescriber) dan penyerah obat (dispenser) dan pasien/masyarakat
(consumer) hingga sistem kebijakan obat nasional.
Secara garis besar upaya perbaikan dan intervensi ini dapat
dikelompokkan dalam beberapa hal:

a. Upaya Pendidikan (educational strategies)

Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre service)
maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service). Upaya tersebut
mutlak harus diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara
simultan. Upaya peningkatan mutu calon dokter selama dalam masa pendidikan
dapat dilakukan dengan pendekatan berdasar masalah (problem-based approach),
memperbaiki isi (content) maupun metode pengajaran (teaching method) agar
lebih diarahkan pada pengobatan yang rasional. Pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak berorientasi pada
aspek obat, bukannya penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu
(terapi), sehingga tidak jarang muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang
obat dengan pelaksanaan pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan
pre service ini antara lain dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah
klinik dalam bentuk pembahasan kasus. Upaya pendidikan yang lebih mendasar
adalah dengan menambahkan Kurikulum Farmakologi Klinik kedalam Kurikulum
Fakultas Kedokteran.

b. Upaya manajerial (managerial strategies)

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki praktek penggunaan obat
yang tidak rasional adalah dari segi manajerial, yang umumnya meliputi:

1. Pengendalian kecukupan obat


Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap
penggunaan dan permintaan obat oleh unit pelayanan kesehatan dapat
terpantau, sehingga kecukupan obat dapat dikendalikan dengan baik.
LPLPO merupakan sistem informasi manajemen obat yang saat ini
digunakan di Puskesmas-Puskesmas di Indonesia.

2. Perbaikan sistem suplai


Melalui penerapan konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti
bahwa di tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang
paling dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap
saatdengan harga yang terjangkau. Untuk Rumah Sakit, konsep obat
esensial ini diaplikasikan dalam bentuk Formularium Rumah Sakit

3. Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat.


Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing
pusat pelayanan kesehatan, formulir-formulir resep dengan jumlah R/ yang
terbatas, dan sebagainya.

4. Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan


Terapi (KFT) di Rumah-rumah Sakit.
Komite Farmasi dan Terapi mempunyai tugas dan fungsi untuk
meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obatsecara Rasional di Rumah
Sakit.

5. Informasi Harga
Akan memberi dampak sadar biaya bagi para provider serta
pasien/masyarakat.

6. Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan
cost-sharing.

c. Intervensi regulasi (regulatory strategies)

Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya yang


mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum. Dengan cara ini setiap
penyimpangan terhadap pelaksanaannya akan mempunyai akibat hukum. Namun
demikian, pendekatan ini sering dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan
profesi. Padahal jika kita simak, misalnya konsep obat esensial, maka kesan
membatasi kebebasan tersebut tidaklah benar. Di negara maju pun sistem
pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan. Hal ini antara lain
didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara nasional merupakan
komponen terbesar dari anggaran pelayanan kesehatan.

Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban registrasi obat bagi obat jadi
yang beredar, peraturan keharusan peresepan generik, pelabelan generik, dan lain-
lain.
BAB III
KASUS

3.1. CONTOH KASUS DIABETES MELITUS

Tn. A, usia 60 tahun, status menikah, dirawat di Rumah Sakit dengan diagnosis
medis diabetes mellitus dengan berat 75 kg dan tinggi 162 cm. Pasien dan istrinya
bekerja sebagai petani dengan penghasilan tidak tetap tergantung hasil panen.
Pasien mempunyai 2 orang anak yang sudah tidak tinggal dengan pasien. Pasien
tersebut datang dengan keluhan utama badan lemas dan tidak dapat beraktivitas
seperti biasa sejak 2 hari yang lalu. Keluhan disertai mual, kepala pusing dan sulit
tidur. Keluhan adanya penglihatan kabur disangkal. Dilakukan pemeriksaan gula
darah pada pasien, yang ternyata didapatkan hasil GDS = 540 mg/dl. Oleh dokter
yang memeriksa, pasien dianjurkan untuk dirawat. Dua tahun yang lalu, pasien
banyak makan dan minum namun tidak disertai dengan peningkatan berat badan
yang sesuai. Buang air kecil sering terutama pada malam hari ± 5 kali. Buang air
besar tidak ada keluhan. Terkadang pasien juga merasakan kesemutan pada kedua
kakinya, yang dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku jarang berolahraga. Satu
tahun yang lalu pasien berobat ke RS dan dinyatakan kencing manis dengan gula
darah 300 g/dl.
Pasien di diagnosis memiliki penyakit DM tipe 2 , Dan berikut resep yang di berikan

dr . M Fauzan Abdillah Rasyid S.Ked

SIP. No. 01/DK/II23/2019

Alamat : jl. Nunyai indah blok. a no 1b.

No telpon : 081288219317

Bandar lampung , 2 september 2019

R/ Metformin 500 mg tab No . 10

S 2 dd tab 1 d.c

S2
dd

Nama pasien : A

Umur : 60

BB : 75 kg

TB : 162 cm

Alamat : Kampung baru


3.2. CONTOH KASUS KELAINAN HORMON

Seorang perempuan dengan nama Ny.Putri, umur 45 tahun, datang ke RSAM


dengan keluhan ada benjolan di leher sejak 2 minggu yang lalu Pasien juga
mengeluh berdebar-debar, banyak berkeringat dan perubahan berat badan ,mudah
lelah, dan ada benjolan di leher sejak 3 minggu yang lalu. Tidak ada nyeri
menelan, perubahan suara ataupun gangguan pernafasan. Pasien juga mengeluh
berdebar-debar, banyak berkeringat dan perubahan berat badan .

dr . M Fauzan Abdillah Rasyid S.Ked

SIP. No. 01/DK/II23/2019

Alamat : jl. Nunyai indah blok. a no 1b.

No telpon : 081288219317

Bandar lampung , 2 september 2019

R/ Thiamazole 10 mg tab No . 8

S 2 dd tab 2 P.c

S2
dd

Nama pasien : putri

Umur : 45 tahun

BB : 55 kg

TB : 167 cm

Alamat : Kampung baru


3.3. CONTOH KASUS MAL NUTRISI

Pasien laki-laki, usia 5 tahun, BB 10 kg, datang diantar keluarganya dengan


keluhan berat badan tidak kunjung naik sejak 7 bulan SMRS. Ibu pasien
mengeluhkan bahwa pasien tidak nafsu makan, demam sejak 1 bulan yang lalu
berlangsung terus menerus sepanjang hari, tidak terlalu tinggi, namun demam
turun dengan pemberian obat penurun panas tetapi demam akan kembali muncul
jika tidak diberi obat penurun panas. Keluhan mual, muntah, pilek disangkal,
namun sesekali batuk dengan dahak sulit dikeluarkan sejak 1 bulan yang lalu.
Tiga hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), terlihat sangat lemas sehingga
keluarga membawa pasien ke RSUDAM. Sebelum masuk rumah sakit pasien
tidak dibawa berobat dan hanya diberi obat penurun panas serta istirahat di rumah.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan penyakit DM

Analisis untuk Resep yang di berikan


-Tepat Obat:
metformin saat ini adalah obat yang paling sering di gunakan untuk menurunkan
kadar glukosa darah efektif bagi diabetes mellitus tipe 2. Bekerja menurunkan
kadar glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa ke dalam sel-sel otot.
Obat ini dapat memperbaiki uptake glukosa sampai sebesar 10-40%. Menurunkan
produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan
gluconeogenesis .Namun metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta
untuk memproduksi insulin. beta. Sehingga memacu terus sel beta untuk
memproduksi insulin..
-Tepat Dosis
Dosis yang diresepkan adalah dosis dewasa (1000 mg/hari) yang tidak melebihi
dosis maksimumnya (250-3000mg/hari) sehingga memiliki efek terapi.

-Tepat Bentuk Sediaan Obat


Obat yang diberikan secara oral sangat baik bagi orang dewasa karena mudah
dalam penggunaanya dan juga karena target yang di tuju salah satunya adalah
usus agar mengurangi penyerapan glukosa , maka peresepan obat ini untuk
diminum (oral) dalam bentuk tablet cukup rasional.

-Tepat Waktu pemberian obat


Obat Metformin diberikan yang baik adalah saat bersamaan dengan karena cara
kerja metformin ialah meningkatkan pema kaian glukosa oleh usus sehingga
menurunkan glukosa darah selain itu juga metformin memiliki sifat anokreksia ,
maka dari itu peresepan nya rasional

-Tepat Pasien
Metformin bekerja dengan cara menurunkan kadar gu-la darah melalui sel target
insulin yang ada di hati, otot dan lemak dengan meningkatkan sensitivitas sel
terse-but terhadap insulin. Obat hipoglikemik metformin juga bekerja dengan
menurunkan glukoneogenesis di hati, sehingga akan menurunkan kadar gula darah
puasa
4.2 Pembahasan penyakit Hypertiroid
Analisis untuk Resep yang di berikan
-Tepat Obat
Obat ini bekerja C menghambat sintesis hormon tetapi tidak menghambat
sekresinya, yaitu dengan menghambat terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan
diiodotyrosine (DIT), serta menghambat coupling diiodotyrosine sehingga
menjadi hormon yang aktif. Obat ini juga menghambat perubahan T4 menjadi T3
di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga pada saat iniU dianggap
sebagai obat pilihan. Sehiang obat ini dapat di katakana Tepat Obat

-Tepat Dosis

Dosis harian maximum : 8 tablet, dengan maximum dosis tunggal 4 tablet. Kasus
ringan : 2 x sehari 2 tablet. Kasus berat : 2 x sehari 4 tablet. Pemeliharaan :
kurangi dosis hingga 1-4 tablet perhari (biasanya membutuhkan tambahan hormon
Tiroid). Dosis regimen ke-2 : Monoterapi, biasanya 0.5-2 tablet perhari. Persiapan
operasi untuk segala jenis Hipertiroidisme : Capai/dapatkan aktivitas metabolik
yang normal dari kelenjar tiroid dan lakukan operasi segera setelah kondisi tsb
tercapai. Kalau tidak, berikan tambahan hormon Tiroid dan dalam waktu 10 hari
sebelum operasi dapat diberikan Yodium/Iodine untuk suatu konsolidasi jaringan
Tiroid. Terapi sebelum terapi Radioiodine : Capai/dapatkan aktivitas metabolik
yang normal dari kelenjar Tiroid. Mungkin diperlukan dosis Radioiodine yang
lebih tinggi. Anak2 : diawali 0.3-0.5 mg/kg BB/hari

-Tepat bentuk Sediaan Obat


Obat yang diberikan secara oral sangat baik bagi orang dewasa karena mudah
dalam penggunaanya dan juga karena target yang di tuju salah satunya adalah
usus agar mengurangi penyerapan glukosa , maka peresepan obat ini untuk
diminum (oral) dalam bentuk tablet cukup rasional.

-Tepat Waktu pemberian obat


Aturan Pakai nya di minum Sesudah makan

-Tepat Pasien
Thiamazole 10 MG TABLET Obat ini digunakan untuk membantu mencegah
produksi berlebihan kelenjar tiroid.
4.3. Pembahasan Gizi Buruk
-Tepat Obat
Paracetamol adalah salah satu obat yang masuk ke dalam golongan
analgesik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun demam). Obat ini dipakai untuk
meredakan rasa sakit ringan hingga menengah, serta menurunkan demam.
Paracetamol mengurangi rasa sakit dengan cara menurunkan produksi zat dalam
tubuh yang disebut prostaglandin. Prostaglandin adalah unsur yang dilepaskan
tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan jaringan atau infeksi, yang memicu
terjadinya peradangan, demam, dan rasa nyeri. Paracetamol menghalangi produksi
prostaglandin, sehingga rasa sakit dan demam berkurang.

-Tepat Dosis
Untuk orang dewasa, dianjurkan untuk mengonsumsi paracetamol 1-2
tablet sebanyak 500 miligram hingga 1 gram tiap 4-6 jam sekali dalam 24 jam.

-Tepat Waktu Pemberian Obat


Paracetamol bisa dikonsumsi orang dewasa sebanyak 500 mg tiap empat
hingga enam jam. Sedangkan untuk anak-anak, sesuaikan dosisnya dengan
anjuran dokter. Obat ini bisa diminum sebelum atau sesudah makan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2004.

2. Calligaris L, Panzera A, Arnoldo L, Londero C, Quattrin R, Troncon MG et al.


Errors and omissions in hospital prescriptions: a survey of prescription writing in
a hospital. BMC Clinical
Pharmacology. 2009; 9:9.

3. Ansari M, Neupane D. Study on Determination of Errors in Prescription


Writing : A Semi Electronic Perspective. Khatmandu University Medical Journal.
2009; 7(27): 238- 41.

4. Rahmawati F, Oetari RA. Kajian Penulisan Resep: Tinjauan Aspek Legalitas


dan Kelengkapan Resep di Apotek- Apotek Kotamadya Yogyakarta. Majalah
Farmasi Indonesia. 2002; 13(2): 86-94.

5. Bobb A, Gleason K, Husch M, Feinglass J, Yarnols PR, Noskin GA. The


Epidemiology of Prescribing Errors : The Potential Impact of Computerized Order
Entry. Archieves of Internal Medicine. 2004; 164(7): 785-92.

6. Dean B, Barber N, Schachter M. What is a prescribing error?. Quality in Health


Care. 2000; 9: 232–37.

7. Lofholm PW, Katzung BG. Chapter 65: Rational Prescribing & Prescription
Writing. Dalam: Katzung BG, Masters BS, Trevor AJ, editor. Basic and Clinical
Pharmacology. Edisi ke-11. United State: McGraw Hill Medical; 2009. hlm.1139-
48.

8. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004.


Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2004.

9. Jas A. Perihal Resep & Dosis serta Latihan Menulis Resep. Edisi ke-2. Medan:
Universitas Sumatera Utara Press; 2009. Hlm 1-15.

10. Syamsuni HA. Bab I: Konsep Kefarmasian. Dalam: Elviana E, Syarief WR,
editor. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. hlm. 1- 38.

11. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Kode etik kedokteran


Indonesia dan pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran Indonesia. Jakarta: IDI;
2002. hlm. 20-21.
12. Wali A, Ali A, Siddiqui TM, Jafri Hamza. Assessing prescriptions writing
skills of house officers in Dental Teaching Hospitals of Karachi, Pakistan. World
Journal of Dentistry. 2012; 3(4):294-96

13. Phalke VD, Phalke DB, Syed MMA, Mishra A, Sikchi S,Kalakoti P.
Prescription writing practices in a rural tertiary care hospital in Western
Maharashtra, India. Australasian Medical Journal. 2011; 4(1): 4-8

14. Akoria OA, Ambrose OI. Prescription Writing in Public and Private Hospitals
in Benin City. Nigeria : The Effect of an Educational Intervension. Can J Clin
Pharmacol.

15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Undang-undang Nomor .36 tahun


2009 tentang kesehatan, biro hukum departemen kesehatan republik indonesia,
Jakarta : 2009

16. Jas, Admar. 2009. Perihal resep dan dosis serta latihan menulis resep, Cetakan
Kedua. Medan: USU Press.

17. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Standar Instalasi Gawat


Darurat (IGD) Rumah Sakit. Jakarta:Menteri Kesehatan Republik Indonesia:2009.

18. World Health Organization. WHO patient safety curriculum guide for
medical schools. France: WHO, 2009.

19.Kementrian Kesehatan Kesehatan Republik Indonesia. MODUL


PENGGUNAAN OBAT RASIONAL.Jakarta:Menteri Kesehatan Republik
Indonesia:2011

Anda mungkin juga menyukai