BLOK EMN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut World Health Organization (WHO) dalam de Vries et al. (1994), setiap
negara memiliki standar tersendiri tentang informasi minimum apa yang harus
ditulis di dalam resep. Obat apa yang memerlukan resep dan siapa yang boleh
meresepkan obat diatur oleh peraturan dan hukum di tiap negara tersebut. Namun,
di dalam resep sebaiknya tercantum:
Menurut Jas (2009), resep harus mengikuti format penulisan yang terdiri dari
enam bagian yaitu inscriptio, invocatio, prescriptio/ordonantio, signatura,
subscriptio dan pro. Identitas dokter dicantumkan di dalam bagian inscriptio
sedangkan identitas pasien di dalam bagian pro. Di bagian invocatio dicantumkan
singkatan latin resipe (R/). Nama, jumlah, dan bentuk sediaan obat dituliskan pada
bagian prescriptio/ordonantio. Cara pakai, dosis, rute, dan interval pemberian
terdapat pada bagian signatura. Resep tersebut legal bila telah ditandatangani oleh
dokter pada bagian subscriptio.
Di dalam resep, nama obat ditulis menurut suatu pola tertentu yaitu diawali
dengan penulisan nama obat untuk terapi utama (remedium cardinal), kemudian
obat penunjang obat utama (remedium adjuvantia), dan terakhir robansia yaitu
obat yang dapat memicu metabolisme (Jas, 2009).
Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan logis.
Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan, tepat
dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga harus
aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi
pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam
susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian
obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan
antagonis (Jas, 2009).
Menurut Katzung et al. (2009), menulis resep harus mengikuti langkah- langkah
yang rasional yaitu:
Kedua, aspek kesesuaian farmasetik yaitu berupa bentuk sediaan, dosis, potensi,
stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Dan yang terakhir adalah
pertimbangan klinis yaitu ada tidaknya alergi, efek samping, interaksi, serta
kesesuaian dalam dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain. Dalam promosi dan
edukasi, apoteker ikut membantu menyebarkan informasi berupa brosur/leaflet,
poster, penyuluhan dan lain-lain kepada masyarakat. Pelayanan residensial juga
dilakukan oleh apoteker dengan melakukan kunjungan ke rumah khususnya untuk
kelompok pasien lansia atau pasien dengan penyakit kronis (Kepmenkes RI,
2004).
Pada kenyataannya, masih ada penulisan resep yang belum sesuai dengan
pedoman pengobatan yang telah ditetapkan. Pihak rumah sakit perlu mengadakan
evaluasi terhadap penulisan resep apakah sesuai dengan formularium atau tidak.
Hal ini untuk meningkatkan pelayanan pada pasien khususnya dalam penggunaan
obat yang sesuai dengan formularium (Fitriani, 2015).
Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baikoleh dokter,
apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yangefektif dan
efisien (Mundariningsih, dkk., 2007). Salah satu indikator keberhasilanperesepan
obat rasional di rumah sakit antara lain persentase penggunaanantibiotik,
persentase penggunaan obat generik, dan persentase penggunaan obatesensial
(ketaatan penggunaan formularium) benar-benar diterapkan sesuai
aturan(Anonim, 2006). Menetapkan kriteria evaluasi penggunaan obat amat
sangat penting, dan merupakan tanggung jawab dari PFT. Evaluasi kriteria
penggunaan obat menjelaskan tentang penggunaan obat dengan benar dan
mengamati berbagai macam komponen. Komponen yang digunakan untuk
menilai kriteria penggunaan obat adalah indikasi obat yang tepat, obat yang tepat
untuk kondisi klinik, dosis yang sesuai dengan indikasi, ada tidaknya interaksi,
langkah yang berkaitan dengan pemberian obat, menginstruksikan penggunaan
obat kepada pasien, keadaan klinik dan laboratorium dari pasien (WHO dan MSH,
2003).
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan
kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara,
pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah
menunjukkan bahwa penggunaan obat jauh dari keadaan optimal dan rasional.
Banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam penggunaan obat pada umumnya dan
khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara singkat, penggunaan obat
(khususnya adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan tidak rasional
apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat kecil atau tidak ada sama
sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau
biayanya (Vance dan Millington, 1986).
Indikator digunakan sebagai alat untuk mendeteksi adanya suatu masalah yang
dilakukan baik dari individu atau fasilitas kesehatan, sehingga indicator dapat
dijadikan patokan untuk melihat keberhasilan dari suatu evaluasi (WHO,1993).
Dalam evaluasi penggunaan obat, dapat digunakan indikator yang berasal dari
WHO (1993), yaitu indikator peresepan mengenai persentase obat yang
diresepkan yang sesuai dengan formularium rumah sakit. Salah satu indikator
penggunaan obat yang tidak rasional disuatu sarana pelayanan kesehatan adalah
angka penggunaan antibiotika. Antibiotika adalah obat yang sangat dikenal, bukan
hanya oleh kalangan medis, tetapi juga oleh masyarakat. Sayangnya, hampir
semuanya mengenal antibiotika secara salah, dan ini terbukti dalam kenyataannya
bahwa antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan secara salah
(misused). Masalah penggunaan antibiotika merupakan masalah peresepan yang
tidak rasional yang paling besar di dunia, dari dahulu sampai sekarang baik di
rumah sakit maupun di komunitas.
Hasil laporan akhir studi penggunaan obat, yang dilakukan oleh Yayasan
Indonesia Sejahtera (1990), dinyatakan bahwa penggunaan antibiotika per oral
maupun injeksi menduduki urutan kedua terbanyak dibandingkan dengan obat
obat lain. Sebagian besar penyimpangan penggunaan antibiotika, terletak pada
ketidaktepatan pada indikasi. Kesalahan indikasi sering ditemui misalnya pada
demam non spesifik. Pada kasus perawatan pasca operasi sering ditemukan
demam non spesifik, yang dapat disebabkan oleh metabolism lemak tubuh, akibat
tidak adanya masukan makanan, dan atau sebab-sebab lain yang dapat
meningkatkan suhu tubuh, sehingga pemberian antibiotika pada kasus-kasus
semacam itu merupakan tindakan yang kurang tepat.
Penggunaan obat yang rasional merupakan suatu upaya yang penting dalam
rangka peningkatan mutu pelayanan obat. Proses pemilihannya yang senantiasa
dilakukan secara konsisten mengikuti standar baku, akan menghasilkan
penggunaan obat yang sesuai dengan kriteria kerasionalannya (Sastramihardja,
1997). Penelitian terhadap penggunaan antibiotika pada pasien rawat inap di
Rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta, kebanyakan pengobatan pneumonia
dilakukan melalui pendekatan secara empiris yaitu menggunakan antibiotika
spektrum luas dengan tujuan agar antibiotika yang dipilih dapat melawan
beberapa kemungkinan antibiotika penyebab infeksi. Padahal penggunaan
antibiotika spektrum luas secara tidak terkendali sangat memungkinkan timbulnya
masalah yang tidak diinginkan seperti timbulnya efek samping obat maupun
potensi terjadinya resistensi (Prasetya, 2006).
Salah satu pemberian obat yang tidak rasional adalah pemberian polifarmasi atau
pemberian obat secara multipel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Aman (1999) di Denpasar, 58% pasien anak mendapatkan kortikosteroid oral
tanpa indikasi yang wajar, 90,4% pasien anak mendapatkan antibiotika,
sedangkan 31,9% pasien anak mendapatkan fenobarbital. Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa penggunaan polifarmasi pada pasien anak masih tinggi di
Denpasar. Berdasarkan monitoring kebijakan obat nasional, seharusnya
ketersediaan dan penulisan obat esensial dan generik di rumah sakit adalah 100%.
Hasil observasi terhadap resep yang disalin dari rumah sakit, puskesmas, dan
apotek menunjukkan bahwa kisaran persentase obat generik yang diresepkan di
rumah sakit pemerintah sangat bervariasi yaitu berkisar antara 14,58-100%
dengan ratarata 55,38%. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban dokter menulis
resep obat generic atau penggunaan obat generic di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah belum sepenuhnya dilaksanakan (Handayani et al.,2009).
Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas
menyelenggarakan, mengkoordinasi, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan
pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah
Sakit. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah satu-satunya unit di rumah sakit yang
bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang
berkaitan dengan obat yang beredar dan digunakan di rumah sakit. Instalasi
Farmasi Rumah Sakit harus melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik
dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan gawat darurat.
Pengobatan sendiri sering dilakukan oleh masyarakat. Dalam pengobatan sendiri
sebaiknya mengikuti persyaratan penggunaan obat rasional. Materi ini akan
membahas pengertian dan batasan pengobatan rasional. Penggunaan obat
dikatakan rasional bila (WHO 1985) bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang
paling murah untuk pasien dan masyarakat. WHO memperkirakan bahwa lebih
dari separuh dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan
cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak
tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker untuk membuat atau menyerahkan obat kepada pasien. Resep harus
ditulis secara jelas dan lengkap, apabila resep tidak bisa dibaca dengan jelas atau
tidak lengkap, apoteker atau asisten harus menanyakan kepada dokter penulis
obat. Ukuran lembaran resep umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran
ideal lebar 10-12 cm dan panjang 15-20 cm (Jas, 2009).
Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan logis.
Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan, tepat
dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga harus
aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi
pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam
susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian
obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan
antagonis (Jas, 2009)
Menurut Katzung et al. (2009), menulis resep harus mengikuti langkah- langkah
yang rasional yaitu:
Penulisan resep adalah suatu wujud akhir kompetensi dokter dalam pelayanan
kesehatan yang secara komprehensif menerapkan ilmu pengetahuan dan keahlian
di bidang farmakologi dan teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada
pasien khususnya dan seluruh masyarakat pada umumnya. Sebagian obat tidak
dapat diberikan langsung kepada pasien atau masyarakat melainkan harus melalui
peresepan oleh dokter. Berdasarkan keamanan penggunaannya, obat dibagi dalam
dua golongan yaitu obat bebas (OTC = Other of the counter) dan Ethical (obat
narkotika, psikotropika dan keras), dimana masyarakat harus menggunakan
resep dokter untuk memperoleh obat Ethical.
Penyimpanan resep tidak boleh sembarangan. Kertas resep perlu dijaga jangan
sampai digunakan orang lain. Kertas resep dokter kadang mudah ditiru sehingga
perlu pengamanan agar kita tidak terlibat dalam pemberian resep palsu yang
dilakukan orang lain. Selain itu, resep obat asli harus disimpan di
apotek dan tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain kecuali oleh yang
berhak. Pihak –pihak yang berhak melihat resep antara lain:
4. Signatura merupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri dari
tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian. Penulisan signature harus jelas untuk keamanan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi
6. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat
badan pasien.
2.4. TUJUAN PENGGUNAAN RESEP OBAT RASIONAL
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan dosis, cara, dan lama
pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan sebagian
contoh dari ketidakrasionalan peresepan. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak
rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar
dibanding manfaatnya. Dampak negatif di sini dapat berupa:
Tujuan identifikasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional adalah untuk
mengetahui masalah-masalah yang terjadi dan penyebabnya dalam penggunaan
obat yang tidak rasional( Kemekes RI,2011).
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang
sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan
resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai
obat yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya
‘
Contoh :
- Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin &
ofl oksasin) untuk anak.
- Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol
yang lebih aman
Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang tidak
rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak disadari oleh
para klinisi. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap klinisi selalu mengatakan
bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak menentukan
jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya keliru, tetapi jika
tidak dilandasi dengan alasan ilmiah yang dapat diterima akan menjurus ke
pemakaian obat yang tidak rasional.
d. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat
lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh: Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit
tenggorok atau sakit menelan.padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman
dan effi cacious.
f. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamanannya.
Contoh: Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya dihindari karena
umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka panjangnya, yang justru
dapat merugikan pasien.
Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre service)
maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service). Upaya tersebut
mutlak harus diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara
simultan. Upaya peningkatan mutu calon dokter selama dalam masa pendidikan
dapat dilakukan dengan pendekatan berdasar masalah (problem-based approach),
memperbaiki isi (content) maupun metode pengajaran (teaching method) agar
lebih diarahkan pada pengobatan yang rasional. Pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak berorientasi pada
aspek obat, bukannya penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu
(terapi), sehingga tidak jarang muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang
obat dengan pelaksanaan pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan
pre service ini antara lain dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah
klinik dalam bentuk pembahasan kasus. Upaya pendidikan yang lebih mendasar
adalah dengan menambahkan Kurikulum Farmakologi Klinik kedalam Kurikulum
Fakultas Kedokteran.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki praktek penggunaan obat
yang tidak rasional adalah dari segi manajerial, yang umumnya meliputi:
5. Informasi Harga
Akan memberi dampak sadar biaya bagi para provider serta
pasien/masyarakat.
6. Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan
cost-sharing.
Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban registrasi obat bagi obat jadi
yang beredar, peraturan keharusan peresepan generik, pelabelan generik, dan lain-
lain.
BAB III
KASUS
Tn. A, usia 60 tahun, status menikah, dirawat di Rumah Sakit dengan diagnosis
medis diabetes mellitus dengan berat 75 kg dan tinggi 162 cm. Pasien dan istrinya
bekerja sebagai petani dengan penghasilan tidak tetap tergantung hasil panen.
Pasien mempunyai 2 orang anak yang sudah tidak tinggal dengan pasien. Pasien
tersebut datang dengan keluhan utama badan lemas dan tidak dapat beraktivitas
seperti biasa sejak 2 hari yang lalu. Keluhan disertai mual, kepala pusing dan sulit
tidur. Keluhan adanya penglihatan kabur disangkal. Dilakukan pemeriksaan gula
darah pada pasien, yang ternyata didapatkan hasil GDS = 540 mg/dl. Oleh dokter
yang memeriksa, pasien dianjurkan untuk dirawat. Dua tahun yang lalu, pasien
banyak makan dan minum namun tidak disertai dengan peningkatan berat badan
yang sesuai. Buang air kecil sering terutama pada malam hari ± 5 kali. Buang air
besar tidak ada keluhan. Terkadang pasien juga merasakan kesemutan pada kedua
kakinya, yang dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku jarang berolahraga. Satu
tahun yang lalu pasien berobat ke RS dan dinyatakan kencing manis dengan gula
darah 300 g/dl.
Pasien di diagnosis memiliki penyakit DM tipe 2 , Dan berikut resep yang di berikan
No telpon : 081288219317
S 2 dd tab 1 d.c
S2
dd
Nama pasien : A
Umur : 60
BB : 75 kg
TB : 162 cm
No telpon : 081288219317
R/ Thiamazole 10 mg tab No . 8
S 2 dd tab 2 P.c
S2
dd
Umur : 45 tahun
BB : 55 kg
TB : 167 cm
-Tepat Pasien
Metformin bekerja dengan cara menurunkan kadar gu-la darah melalui sel target
insulin yang ada di hati, otot dan lemak dengan meningkatkan sensitivitas sel
terse-but terhadap insulin. Obat hipoglikemik metformin juga bekerja dengan
menurunkan glukoneogenesis di hati, sehingga akan menurunkan kadar gula darah
puasa
4.2 Pembahasan penyakit Hypertiroid
Analisis untuk Resep yang di berikan
-Tepat Obat
Obat ini bekerja C menghambat sintesis hormon tetapi tidak menghambat
sekresinya, yaitu dengan menghambat terbentuknya monoiodotyrosine (MIT) dan
diiodotyrosine (DIT), serta menghambat coupling diiodotyrosine sehingga
menjadi hormon yang aktif. Obat ini juga menghambat perubahan T4 menjadi T3
di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga pada saat iniU dianggap
sebagai obat pilihan. Sehiang obat ini dapat di katakana Tepat Obat
-Tepat Dosis
Dosis harian maximum : 8 tablet, dengan maximum dosis tunggal 4 tablet. Kasus
ringan : 2 x sehari 2 tablet. Kasus berat : 2 x sehari 4 tablet. Pemeliharaan :
kurangi dosis hingga 1-4 tablet perhari (biasanya membutuhkan tambahan hormon
Tiroid). Dosis regimen ke-2 : Monoterapi, biasanya 0.5-2 tablet perhari. Persiapan
operasi untuk segala jenis Hipertiroidisme : Capai/dapatkan aktivitas metabolik
yang normal dari kelenjar tiroid dan lakukan operasi segera setelah kondisi tsb
tercapai. Kalau tidak, berikan tambahan hormon Tiroid dan dalam waktu 10 hari
sebelum operasi dapat diberikan Yodium/Iodine untuk suatu konsolidasi jaringan
Tiroid. Terapi sebelum terapi Radioiodine : Capai/dapatkan aktivitas metabolik
yang normal dari kelenjar Tiroid. Mungkin diperlukan dosis Radioiodine yang
lebih tinggi. Anak2 : diawali 0.3-0.5 mg/kg BB/hari
-Tepat Pasien
Thiamazole 10 MG TABLET Obat ini digunakan untuk membantu mencegah
produksi berlebihan kelenjar tiroid.
4.3. Pembahasan Gizi Buruk
-Tepat Obat
Paracetamol adalah salah satu obat yang masuk ke dalam golongan
analgesik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun demam). Obat ini dipakai untuk
meredakan rasa sakit ringan hingga menengah, serta menurunkan demam.
Paracetamol mengurangi rasa sakit dengan cara menurunkan produksi zat dalam
tubuh yang disebut prostaglandin. Prostaglandin adalah unsur yang dilepaskan
tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan jaringan atau infeksi, yang memicu
terjadinya peradangan, demam, dan rasa nyeri. Paracetamol menghalangi produksi
prostaglandin, sehingga rasa sakit dan demam berkurang.
-Tepat Dosis
Untuk orang dewasa, dianjurkan untuk mengonsumsi paracetamol 1-2
tablet sebanyak 500 miligram hingga 1 gram tiap 4-6 jam sekali dalam 24 jam.
7. Lofholm PW, Katzung BG. Chapter 65: Rational Prescribing & Prescription
Writing. Dalam: Katzung BG, Masters BS, Trevor AJ, editor. Basic and Clinical
Pharmacology. Edisi ke-11. United State: McGraw Hill Medical; 2009. hlm.1139-
48.
9. Jas A. Perihal Resep & Dosis serta Latihan Menulis Resep. Edisi ke-2. Medan:
Universitas Sumatera Utara Press; 2009. Hlm 1-15.
10. Syamsuni HA. Bab I: Konsep Kefarmasian. Dalam: Elviana E, Syarief WR,
editor. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. hlm. 1- 38.
13. Phalke VD, Phalke DB, Syed MMA, Mishra A, Sikchi S,Kalakoti P.
Prescription writing practices in a rural tertiary care hospital in Western
Maharashtra, India. Australasian Medical Journal. 2011; 4(1): 4-8
14. Akoria OA, Ambrose OI. Prescription Writing in Public and Private Hospitals
in Benin City. Nigeria : The Effect of an Educational Intervension. Can J Clin
Pharmacol.
16. Jas, Admar. 2009. Perihal resep dan dosis serta latihan menulis resep, Cetakan
Kedua. Medan: USU Press.
18. World Health Organization. WHO patient safety curriculum guide for
medical schools. France: WHO, 2009.