Anda di halaman 1dari 35

PRAKTIKUM FARMASI

PENULISAN RESEP RASIONAL


BLOK EMN

Fahri Amrulloh
1858011012

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Resep di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resep dokter didefinisikan


sebagai suatu keterangan dokter tentang obat serta dosisnya yang harus
digunakan oleh pasien dan dapat ditukarkan dengan obat di apotek. Menurut
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan
kefarmasian di apotek, resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang
dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada seorang apoteker untuk
menyediakan dan memberikan obat kepada pasien sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut Jas (2008), resep merupakan suatu
permintaan tertulis dari seorang dokter kepada seorang apoteker atau farmasis
yang mengelola apotek untuk memberikan obat jadi atau obat racikan kepada
pasien.

Menurut World HealthOrganization (WHO) dalam deVriesetal. (1994), setiap


negara memiliki standar tersendiri tentang informasi minimum apa yang harus
ditulis di dalam resep. Obat apa yang memerlukan resep dan siapa yang boleh
meresepkan obat diatur oleh peraturan dan hukum di tiap negara tersebut.
Namun, di dalam resep sebaiknya tercantum:
1. Nama, alamat, dan nomor telepon dokter.
2. Tanggal.
3. Nama dan kekuatan obat.
4. Dosis dan jumlah total obat.
5. Label: instruksi dan peringatan.
6. Nama, alamat, dan umur pasien.
7. Tanda tangan dokter.

Menurut Jas (2009), resep harus mengikuti format penulisan yang terdiri dari
enam bagian yaitu inscriptio, invocatio, prescriptio/ordonantio, signatura,
subscriptio dan pro. Identitas dokter dicantumkan di dalam bagian inscriptio
sedangkan identitas pasien di dalam bagian pro. Di bagian invocatio dicantumkan
singkatan latin resipe (R/). Nama, jumlah, dan bentuk sediaan obat dituliskan
pada bagian prescriptio/ordonantio. Cara pakai, dosis, rute, dan interval
pemberian terdapat pada bagian signatura. Resep tersebut legal bila telah
ditandatangani oleh dokter pada bagian subscriptio.

Di dalam resep, nama obat ditulis menurut suatu pola tertentu yaitu diawali
dengan penulisan nama obat untuk terapi utama (remediumcardinal), kemudian
obat penunjang obat utama (remediumadjuvantia), dan terakhir robansia yaitu
obat yang dapat memicu metabolisme (Jas, 2009).

Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan logis.
Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan, tepat
dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga harus
aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi
pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam
susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian
obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan
antagonis (Jas, 2009).

Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baikoleh dokter,
apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yangefektif dan
efisien (Mundariningsih, dkk., 2007). Salah satu indikator keberhasilanperesepan
obat rasional di rumah sakit antara lain persentase penggunaanantibiotik,
persentase penggunaan obat generik, dan persentase penggunaan obatesensial
(ketaatan penggunaan formularium) benar-benar diterapkan sesuai
aturan(Anonim, 2006). Menetapkan kriteria evaluasi penggunaan obat amat
sangat penting, dan merupakan tanggung jawab dari PFT. Evaluasi kriteria
penggunaan obat menjelaskan tentang penggunaan obat dengan benar dan
mengamati berbagai macam komponen. Komponen yang digunakan untuk
menilai kriteria penggunaan obat adalah indikasi obat yang tepat, obat yang tepat
untuk kondisi klinik, dosis yang sesuai dengan indikasi, ada tidaknya interaksi,
langkah yang berkaitan dengan pemberian obat, menginstruksikan penggunaan
obat kepada pasien, keadaan klinik dan laboratorium dari pasien (WHO dan
MSH, 2003).

Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan yang


sesuai dengan kebutuhannya secara klinis, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhan individunya, selama waktu yang sesuai, dengan biaya yang paling
rendah sesuai dengan kemampuannya dan masyarakatnya. Penggunaan obat yang
rasional harus memenuhi beberapa kriteria berikut, yaitu pemilihan obat yang
benar, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat pasien, pemberian obat dengan
benar dan ketaatan pasien pada pengobatan (WHO, 2002).

Penggunaan obat yang rasional merupakan suatu upaya yang penting dalam
rangka peningkatan mutu pelayanan obat. Proses pemilihannya yang senantiasa
dilakukan secara konsisten mengikuti standar baku, akan menghasilkan
penggunaan obat yang sesuai dengan kriteria kerasionalannya (Sastramihardja,
1997). Penelitian terhadap penggunaan antibiotika pada pasien rawat inap di
Rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta, kebanyakan pengobatan pneumonia
dilakukan melalui pendekatan secara empiris yaitu menggunakan antibiotika
spektrum luas dengan tujuan agar antibiotika yang dipilih dapat melawan
beberapa kemungkinan antibiotika penyebab infeksi. Padahal penggunaan
antibiotika spektrum luas secara tidak terkendali sangat memungkinkan
timbulnya masalah yang tidak diinginkan seperti timbulnya efek samping obat
maupun potensi terjadinya resistensi (Prasetya, 2006).

Pada kenyataannya, masih ada penulisan resep yang belum sesuai dengan
pedoman pengobatan yang telah ditetapkan. Pihak rumah sakit perlu mengadakan
evaluasi terhadap penulisan resep apakah sesuai dengan formularium atau tidak.
Hal ini untuk meningkatkan pelayanan pada pasien khususnya dalam penggunaan
obat yang sesuai dengan formularium (Fitriani, 2015).Hal ini biasa nya di
sebabka oleh kesalahan medis (Medicationerrors).
Medicationerrorsmerupakan kejadian yang dapat dicegah yang dapat
menyebabkan atau menyebabkan pengobatan yang tidak tepat menggunakan atau
membahayakan pasien saat obat berada dalam kendali kesehatan profesional
perawatan, pasien, atau konsumen. Peristiwa semacam itu mungkin terkait
denganpraktik profesional, produk perawatan kesehatan, prosedur, dan sistem,
termasuk resep, komunikasi pesanan, label produk, kemasan, dan nomenklatur,
peracikan, pengeluaran, distribusi, administrasi, pendidikan, pemantauan, dan
penggunaan Dari definisi trsebut menunjukkan bahwa kesalahan dapat dicegah
pada tingkat yang berbeda.Kesalahan pengobatan juga telah didefinisikan sebagai
pengurangan dalam kemungkinan perawatan tepat waktu dan efektif, atau
peningkatan risiko kerusakan yang berkaitan dengan obat-obatan dan resep
dibandingkan dengan praktik yang diterima secara umum.(WHO, 2016)

Telah disebutkan sebelumnya, salah satu penyebab medicationerrorsadalah


kesalahan dalam penulisan resep obat atau prescribing. Hal ini akan sangat
merugikan pasien karena akan sangat mempengaruhi dirinya dalam terapi, misal,
overdosis, atau bahkan kurang dosis yang menyebabkan tidak adanya efek yang
diperoleh pasien bahkan hingga terjadinya resistensi obat karena kesalahan
dalam peresepan. Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah
serius dalam pelayanan kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang
terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai
studi dan temuan telah menunjukkan bahwa penggunaan obat jauh dari keadaan
optimal dan rasional. Banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam penggunaan
obat pada umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara
singkat, penggunaan obat (khususnya adalah peresepan obat atau prescribing),
dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat kecil
atau tidak ada sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek
samping atau biayanya (Vance dan Millington, 1986).

Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baik oleh
dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yangefektif
dan efisien (Mundariningsih, dkk., 2007). Salah satu indikator
keberhasilanperesepan obat rasional di rumah sakit antara lain persentase
penggunaanantibiotik, persentase penggunaan obat generik, dan persentase
penggunaan obatesensial (ketaatan penggunaan formularium) benar-benar
diterapkan sesuai aturan(Anonim, 2006). Menetapkan kriteria evaluasi
penggunaan obat amat sangat penting, dan merupakan tanggung jawab dari PFT.
Evaluasi kriteria penggunaan obat menjelaskan tentang penggunaan obat dengan
benar dan mengamati berbagai macam komponen. Komponen yang digunakan
untuk menilai kriteria penggunaan obat adalah indikasi obat yang tepat, obat yang
tepat untuk kondisi klinik, dosis yang sesuai dengan indikasi, ada tidaknya
interaksi, langkah yang berkaitan dengan pemberian obat, menginstruksikan
penggunaan obat kepada pasien, keadaan klinik dan laboratorium

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum

1. Mengetahui gambaran penulisan resep yang rasional pada pasien


2. Menyelesaikan tugas yang telah diberikan

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran peresepan obat yang terdaftar dalam Formularium


nasional pada penulisan resep yang rasional pada pasien
2. Mengetahui gambaran ketepatan jenis dan dosis obat pada penulisan resep
yang rasional pada pasien
3. Mengetahui gambaran ketepatan aturan pemakaian obat pada penulisan
resep yang rasional pada pasien
4. Mengetahui gambaran kelengkapan penulisan bentuk sediaan obat pada
penulisan resep yang rasional pada pasien
1.3. Manfaat Praktikum
1.3.1. Bagi Praktikan
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran penulisan
resep yang rasional dan kesesuaian peresepan obat menurut Formularium
Nasional.

1.3.2. Bagi Dokter, Apoteker, dan Rumah Sakit

Sebagai masukan dan evaluasi bagi rumah sakit, dokter, dan apoteker untuk
meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan dengan penulisan resep
yang rasional.

1.4. Kasus Kasus Resep Irasional


KASUS 1

Overdosis Obat Akibat Resep Dokter yang Salah, Balita 14 Bulan


Tidur Selama 44 Jam
Rufki Ade Vinanda

SINGAPURA - Belinda Lum harus merasa ketakutan dan kebingungan dengan


kondisi putranya tepat setelah pergi ke dokter. Pasalnya, bukannya sembuh
putranya yang berusia 14 bulan justru berubah menjadi seorang 'pangeran tidur'.

Putra Lum yang tak disebutkan namanya itu mulanya terserang penyakit batuk
yang kemudian membuat sang ibu memutuskan untuk membawanya ke sebuah
klinik. Perempuan berusia 33 tahun itu kemudian membawa buah hatinya ke
sebuah klinik yakni YSL BedokClinicandSurgery.

Seorang dokter yang memeriksa putra lim kemudian memberikan obat berupa
sebotol sirup dengan instruksi minum 3 kali sehari masing-masing 10 mililiters.
Sebagaimana disitat dari The Star, Rabu (29/11/2017), usai meminum obat
mengikuti intruksi dokter tersebut, putra Lum langsung jatuh tertidur nyenyak.

Namun Lum kemudian merasa ada yang tidak beres ketika putranya tak kunjung
terbangun. Pada keesokan harinya, Lum memutuskan untuk melarikan putranya
ke Rumah Sakit Mount Elizabeth Orchard untuk diperiksa oleh ahli syaraf.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, terbukti jika dokter telah memberikan resep
melebihi dosis yang seharusnya.

Putra Lum diketahui mendapatkan dosis obat 4 kali lebih banyak daripada
seharusnya. Menanggapi hal ini, Lum langsung menemui dokter yang
sebelumnya memeriksa putranya tersebut. Di hadapan Lum, sang dokter
mengaku jika kesalahan penulisan dosis obat itu dilakukan oleh asistennya.

Dokter tersebut telah berjanji untuk memberi kompensasi atas kerugian yang
dialami Lum dan meminta maaf secara publik. Lum kemudian membagikan
kisahnya ini ke media sosial dengan harapan jika orangtua lain akan lebih teliti
dan berhati-hati tentang pemberian obat pada anak serta agar mereka tak
mengalami hal serupa dengannya.

Dokter Yik Keng Yeong menyebut, seorang anak seusia putra Lum seharusnya
diberi hanya 1,5ml sampai 2,5 ml obat sirup. "10ml adalah dosis orang dewasa.
Overdosis bisa berbahaya karena menyebabkan palpitasi jantung (kondisi ketika
detak jantung Anda terasa tidak seperti biasanya) dan sedasi (kehilangan tingkat
kesadaran)," ujar Dokter Yik.

Putra Lum total tertidur selama 44 jam lamanya. Dan guna menghindari
dehidrasi, Lum dengan setia menyuapkan air minum ke putranya dalam kurun
waktu tertentu. Atas insiden ini, Lum telah mengajukan laporan keluhan ke
SingaporeMedicalCouncil.
KASUS 2

Salah Beri Resep Salep, Pasien Buta


Anggi nur
Sumber: Sindonews

Lingkungan Pallengoreng Kelurahan Biru Kecamatan TaneteRiattang, Kabupaten


Bone diduga korban malpraktik oleh oknum dokter di Puskesmas Biru berinisial
DW.

Pasalnya, warga ini langsung mengalami kebutaan setelah menggunakan resep


dokter berupa salep kulit saat berobat dan memeriksakan diri menggunakan
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di Puskesmas setempat.

Mulanya warga yang berprofesi sebagai petani ini memeriksakan diri dengan
keluhan sakit dibagian kepalanya. Namun, dokter yang menjelaskan cara
pemakaian kepada pasiennya dengan mengoleskan salep kulit dengan tempat obat
warna putih dan coklat yang diresepkan itu di bagian pinggir mata atas dan
bawah. "Setiba dirumah, saya oleskan salep kulit itu ke bagian mataku, tidak
lama kedua mata saya terasa panas dan tidak melihat sama sekali," ujar Sakura
yang ditemui dengan kondisi kedua matanya merah.

Akibat kebutaan yang dialaminya, berselang 20 menit kemudian, Sakura


kemudian kembali ke Puskesmas menemui oknum dokter yang memberikan
resep kulit untuk meminta pertanggungjawabannya.Kerabat korban, Ros,
mengatakan oknum dokter yang membawa adiknya itu sudah mengakui
kesalahannya dan minta maaf hingga telah membawanya ke Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Tenriawaru Watampone, dan telah diberikan pengobatan tetes
mata.

"Saya sangat sesalkan oknum dokter itu, adik saya hanya sakit kepala kenapa
dikasi obat salep kulit. Dia harus bertanggung jawab terhadap kesembuhan adik
saya" keluhnya.
Ros mengungkapkan, oknum dokter itu juga telah mengambil bukti obat untuk
menutupi kesalahannya, karena menurutnya kadar dosis di dalam obat tersebut
tinggi.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bone, Dr Alimuddin


mengaku belum mengetahui kasus tersebut, namun pihaknya akan menelesuri
dulu siapa yang salah apakah dokter atau penjaga apotik yang salah memberikan
obat.

"Yang jelas jika kesalahan memang karena dokter ataupun perawatnya kita akan
berikan sanksi sesuai undang-udang kesehatan," jelas Alimuddin.

KASUS 3

Satu Dari Empat Resep Antibiotik Tidak Diperlukan


Sumber: Beritagar.id

Antibiotik adalah obat penting yang sering kali digunakan secara berlebihan. Satu
dari empat resep antibiotik sebenarnyatidakdiperlukan.

Biasanya dokter akan meresepkan antibiotik manakala pasien terkena infeksi


bakteri. Antibiotik memang efektif untuk mengatasi berbagai gangguan
kesehatan.
Di sisi lain ada kekhawatiran tentang konsekuensi penggunaannya secara
berlebihan. Termasuk bakteri resistan antibiotik dan potensi gangguan pada
mikrobiom usus.

Kini penelitian terkini yang dihelat UniversityofMichigan mengungkap, hampir


satu dari empat resep antibiotik sebenarnya tidak diperlukan. Ini senada dengan
temuansebelumnya betapa antibiotik penting, tetapi digunakan secara berlebihan,
seperti dicatat oleh National InstitutesofHealth.

Para peneliti menemukan satu dari tujuh anak-anak dan orang dewasa yang belum
lanjut usia diberi resep antibiotik yang mungkin tidak perlu padatahun2016.

Dalam riset yang diterbitkan BritishMedicalJournal ini, peneliti mengamati 19,2


juta orang di Amerika Serikat (AS) yang memiliki asuransi pribadi. Usia mereka
18 hingga 64 tahun.

Ternyata 23 persen dari resep antibiotik rawat jalan secara medis tidak
diperlukan. Sementara 28 persen lainnya dikeluarkan tanpa ada diagnosis tercatat.

Para peneliti menemukan, hanya 36 persen pasien yang menerima resep antibiotik
yang mungkin bermanfaat secara medis.

"Penggunaan antibiotik secara berlebihan masih merajalela dan memengaruhi


sejumlah besar pasien," kata pemimpin penelitian, Kao-PingChua, MD., Ph.D.,
peneliti dan dokter anak di Rumah Sakit Anak CS MottUniversityofMichigan dan
UniversityofMichiganInstituteforHealthcarePolicyandInnovation.

"Terlepas dari beberapa dekade peningkatan kualitas dan inisiatif pendidikan,


penyedia masih menulis resep antibiotik untuk penyakit yang bisa sembuh
dengan sendirinya," tegas Kao-Ping Chua.

Ini berbahaya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun memperingatkan resep


antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan dapat berkontribusi pada
pengembangan resistansi antibiotik. Ini merupakan salah satu ancaman terbesar
bagi kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga telah mengeluarkan peringatan


tentang hal ini. Upaya sudah dilakukan lewat Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di rumah sakit, serta Gema Cermat (Gerakan Masyarakat Cermat
Menggunakan Obat).

Tingginya pembelian dan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter memicu


banyaknya kasus antimicrobialresistence(AMR). Padahal jika digunakan tak
semestinya, antibiotik yang salah bisa memicu ancaman cukup serius.

Misal, readmisi pasien rumah sakit serta proses pengobatan semakin lama. Lebih
fatal lagi, resistansi terhadap antibiotik dapat pula menyebabkan kematian.

''Jika dirasa tidak diperlukan, untuk apa diberikan resep antibiotik,'' tegas Menteri
Kesehatan NilaMoeloek.

Konsumsi antibiotik berlebihan tidak hanya berkontribusi terhadap resistansi


antibiotik. Menurut penulis studi, risettahun2018 yang diterbitkan
YonseiMedicalJournal juga menemukan bahwa antibiotik dapat mengganggu
ekosistem halus mikrobiom usus.

“Penelitian telah memberikan informasi tentang bagaimana antibiotik bisa


mengubah lingkungan usus, bagaimana bakteri berbahaya dan bakteri baik
bereaksi, dan bagaimana bakteri patogen menggunakan lingkungan ini. Patogen
mengeksploitasi gula, radikal, dan oksigen yang ada sebagai akibat dari gangguan
mikrobiota usus dan respons peradangan inang.”

Para peneliti menunjukkan, penggunaan terapi suplemen probiotik dan makanan


probiotik mungkin merupakan komponen penting untuk memulihkan mikrob usus
yang terganggu oleh penggunaan antibiotik.
Kembali ke riset terbaru, peneliti UniversityofMichigan mengatakan, mengingat
risiko kesehatan potensial terkait penggunaan antibiotik yang berlebihan,
"Penyedia layanan kesehatan harus menghilangkan resep yang tidak diperlukan,
baik demi pasien dan masyarakat," tulis Kao-Ping Chua.

Jika saat berobat dokter memberikan antibiotik, pasien berhak mendiskusikanopsi


lain terlebih dahulu. Misal, jika pasien menderita sinus atau infeksi bakteri,
mereka punya pilihan.

"Sering kali yang benar-benar diinginkan orang adalah pengobatan, tetapi


pengobatan tidak selalu berarti antibiotik," kata JohnCullen, seorang dokter
keluarga di Valdez, Alaska, AS. Obat yang dijual bebas juga dapat membantu.
Selain itu juga obat alami seperti madu untuk mengatasi batuk.

Bagaimanapun, antibiotik bukanlah musuh. Penting untuk dicatat, bukan berarti


resep antibiotik selalu tidak diperlukan.

Faktanya, antibiotik adalah obat kuat yang bisamenyelamatkanjiwa dalam banyak


kasus. Jika diberi resep antibiotik, ikuti anjuran dokter setelah berdiskusi soal
perlu atau tidaknya resep tersebut.

1.5. Perundang-Undangan

Di Indonesia perundang-undangan yang mengatur tentang pereepan rasional ada


di dalam “PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN
KEFARMASIAN DI APOTEK”
BAB II
RESEP RASIONAL

2.1 Pengertian

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada
apoteker untuk membuat atau menyerahkan obat kepada pasien. Resep harus
ditulis secara jelas dan lengkap, apabila resep tidak bisa dibaca dengan jelas atau
tidak lengkap, apoteker atau asisten harus menanyakan kepada dokter penulis
obat. Ukuran lembaran resep umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran
ideal lebar 10-12 cm dan panjang 15-20 cm (Jas, 2009).

Penulisan resep bertujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan


di bidang farmasi sekaligus meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat.
Umumnya, waktu buka instalasi farmasi/ apotek dalam pelayanan farmasi jauh
lebih panjang daripada praktik dokter, sehingga dengan penulisan resep
diharapkan akan memudahkan pasien dalam mengakses obat obatan yang
diperlukan sesuai dengan penyakitnya. Melalui penulisan resep pula, peran, dan
tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat
dapat ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada
masyarakat secara bebas. Selain itu, dengan adanya penulisan resep, pemberian
obat lebih rasional dibandingkan dispensing (obat diberikan sendiri oleh dokter),
dokter bebas memilih obat secara tepat, ilmiah, dan selektif. Penulisan resep juga
dapat membentuk pelayanan berorientasi kepada pasien (patientoriented) bukan
material oriented. Resep itu sendiri dapat menjadi medicalrecord yang dapat
dipertanggungjawabkan, dan sifatnya rahasia. (Jas, 2009)
2.2 Jenis Jenis Resep
Jenis- jenis resep dibagi menjadi:

1. Resep standar (Resep Officinalis/PreCompounded) merupakan resep


dengan komposisi yang telah dibakukan dan dituangkan ke dalam buku
farmakope atau buku standar lainnya. Resep standar menuliskan obat jadi
(campuran dari zat aktif) yang dibuat oleh pabrik farmasi dengan merk
dagang dalam sediaan standar atau nama generik.

2. Resep magistrales(Resep Polifarmasi/Compounded) adalah resep yang


telah dimodifikasi atau diformat oleh dokter yang menulis. Resep ini
dapat berupa campuran atau obat tunggal yang diencerkan dan dalam
pelayanannya perlu diracik terlebih dahulu

2.3 Resep Rasional

Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan logis.
Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan, tepat
dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga harus
aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi
pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam
susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian
obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan
antagonis (Jas, 2009)

Menurut Katzungetal. (2009), menulis resep harus mengikuti langkah- langkah


yang rasional yaitu:

1. Buat diagnosis yang spesifik,


2. Pertimbangkan implikasi patofisiologi dari diagnosis tersebut,
3. Pilih tujuan terapi yang spesifik,
4. Pilih pengobatan,
5. Tentukan regimen dosis,
6. Rencanakan monitoring kerja obat dan tentukan titik akhir dari terapi,
7. Rencanakan program edukasi bagi pasien
2.4 Format Penulisan Resep

Penulisan resep adalah suatu wujud akhir kompetensi dokter dalam pelayanan
kesehatan yang secara komprehensif menerapkan ilmu pengetahuan dan keahlian
di bidang farmakologi dan teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada
pasien khususnya dan seluruh masyarakat pada umumnya. Sebagian obat tidak
dapat diberikan langsung kepada pasien atau masyarakat melainkan harus melalui
peresepan oleh dokter. Berdasarkan keamanan penggunaannya, obat dibagi dalam
dua golongan yaitu obat bebas (OTC = Otherofthecounter) dan Ethical(obat
narkotika, psikotropika dan keras), dimana masyarakat harus menggunakan resep
dokter untuk memperoleh obat Ethical.

Penyimpanan resep tidak boleh sembarangan. Kertas resep perlu dijaga jangan
sampai digunakan orang lain. Kertas resep dokter kadang mudah ditiru sehingga
perlu pengamanan agar kita tidak terlibat dalam pemberian resep palsu yang
dilakukan orang lain. Selain itu, resep obat asli harus disimpan di apotek dan
tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain kecuali oleh yang berhak. Pihak –
pihak yang berhak melihat resep antara lain:

1. Dokter yang menulis resep atau merawat pasien.


2. Pasien atau keluarga pasien yang bersangkutan.
3. Paramedis yang merawat pasien.
4. Apoteker pengelola apotek yang bersangkutan.
5. Aparat pemerintah serta pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang
ditugaskan untuk memeriksa.
6. Petugas asuransi untuk kepentingan klaim pembayaran

Menurut Jas A. (2009) Resep terdiri dari enam bagian, antara lain:
1. Inscriptioterdiri dari nama, alamat, dan nomor izin praktek (SIP) dokter,
tanggal penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota
provinsi. Format inscriptio suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan
resep pada praktik pribadi.

2. Invocatiomerupakan tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep.


Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe” artinya ambilah
atau berikanlah. Berfungsi sebagai kata pembuka komunikasi antara dokter
penulis resep dengan apoteker di apotek.

3. Prescriptio/ordonatioterdiri dari nama obat yang diinginkan, bentuk


sediaan obat, dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.

4. Signaturamerupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri


dari tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian. Penulisan signatureharus jelas untuk keamanan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi

5. Subscriptiomerupakan tanda tangan/paraf dokter penulis resep yang


berperan sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.

6. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan
berat badan pasien.
2.5 Tujuan Penggunaan Resep Rasional

Untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan


kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuatT dengan harga yang
terjangkau( Kemekes RI,2011).

2.6 Identifikasi Masalah Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional

Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan dosis, cara, dan lama
pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan sebagian
contoh dari ketidakrasionalanperesepan. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak
rasional jika kemungkinan dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar
dibanding manfaatnya. Dampak negatif di sini dapat berupa:

a. Dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan resistensi kuman),


b. Dampak ekonomi (biaya tidak terjangkau)

Tujuan identifikasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional adalah untuk
mengetahui masalah-masalah yang terjadi dan penyebabnya dalam penggunaan
obat yang tidak rasional( Kemekes RI,2011).

2.7 Ciri-ciri Penggunaan Obat yang Tidak Rasional

Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai


berikut:

a. Peresepan berlebih (overprescribing)


Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan
untuk penyakit yang bersangkutan.
Contoh:

- Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya


- disebabkan oleh virus)

- Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada - yang

dianjurkan.

- Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang di- Pemberian obat
berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya efek yang
tidak diinginkan seperti:

- Interaksi - Efek Samping

- Intoksikasiperlukan

b. Peresepan kurang (underprescribing), Yaitu jika


pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan,
baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian.
Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit
yang diderita juga termasuk dalam kategori ini.
Contoh :

- Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.

- Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita - diare.

- Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita

- yang diare

c. Peresepan majemuk (multipleprescribing)


Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit
yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan
dengan satu jenis obat.
Contoh:
Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:

- Amoksisilin,
- Parasetamol, -

Gliserilguaiakolat
,

- Deksametason,

- CTM, dan -

Luminal.

d. Peresepan salah (incorrectprescribing)


Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang
sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan
resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai
obat yang diberikan kepada pasien, dan sebagainya Contoh :

- Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya


siprofloksasin&ofloksasin) untuk anak.

- Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol


yang lebih aman

Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang tidak
rasional yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak disadari oleh
para klinisi. Hal ini mengingat bahwa hampir setiap klinisi selalu mengatakan
bahwa pengobatan adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak menentukan
jenis obat yang paling sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya keliru, tetapi jika
tidak dilandasi dengan alasan ilmiah yang dapat diterima akan menjurus ke
pemakaian obat yang tidak rasional.

Contoh lain ketidakrasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari


hari:a. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh: Pemberian roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak padahal
intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.
b. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh: Pemberian injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.

c. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.


Contoh:

- Cara pemberian yang tidak tepat, misalnya pemberian ampisilin


sesudah makan, padahal seharusnya diberikan saat perut kosong atau
di antara dua makan.

- Frekuensi pemberian amoksisilin 3 x sehari, padahal yang benar


adalah diberikan 1 kaplet tiap 8 jam.

d. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat
lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh: Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit
tenggorok atau sakit menelan.padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman
dan efficacious.

e. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu
yang sama dan harga lebih murah tersedia.
Contoh: Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerek yang relative mahal
padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga lebih
murah tersedia.

f. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan


keamanannya. Contoh: Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya
dihindari karena umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka
panjangnya, yang justru dapat merugikan pasien.

g. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi


yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh: Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasa yang
selanjutnya akan mendorong penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi jika
datang dengan keluhan yang sama.

2.8 Upaya dan Intervensi Untuk Mengatasi Masalah Penggunaan Obat yang
Tidak Rasional

Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak tepat secara medik. Artinya,
tidak sesuai dengan indikasi, diberikan dalam dosis yang tidak tepat, cara dan
lama pemberian yang keliru hingga kurang tepatnya pemberian informasi
sehubungan dengan pengobatan yang diberikan. Untuk mengatasi masalah
penggunaan obat yang tidak rasional diperlukan beberapa upaya perbaikan dan
intervensi, baik di tingkat provider yaitu peresep (prescriber) dan penyerah obat
(dispenser) dan pasien/masyarakat (consumer) hingga sistem kebijakan obat
nasional.

Secara garis besar upaya perbaikan dan intervensi ini dapat


dikelompokkan dalam beberapa hal:

a. Upaya Pendidikan (educationalstrategies)

Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (preservice)


maupun sesudah menjalankan praktekkeprofesian (postservice). Upaya tersebut
mutlak harus diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara
simultan. Upaya peningkatan mutu calon dokter selama dalam masa pendidikan
dapat dilakukan dengan pendekatan berdasar masalah (problem-basedapproach),
memperbaiki isi (content) maupun metode pengajaran (teachingmethod) agar
lebih diarahkan pada pengobatan yang rasional. Pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak berorientasi pada
aspek obat, bukannya penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu
(terapi), sehingga tidak jarang muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang
obat dengan pelaksanaan pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan
preservice ini antara lain dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah
klinik dalam bentuk pembahasan kasus. Upaya pendidikan yang lebih mendasar
adalah dengan menambahkan Kurikulum Farmakologi Klinik kedalam
Kurikulum Fakultas Kedokteran.

b. Upaya manajerial (managerialstrategies)


Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaikipraktek penggunaan obat
yang tidak rasional adalah dari segi manajerial, yang umumnya meliputi:

1. Pengendalian kecukupan obat


Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap
penggunaan dan permintaan obat oleh unit pelayanan kesehatan dapat
terpantau, sehingga kecukupan obat dapat dikendalikan dengan baik.
LPLPO merupakan sistem informasi manajemen obat yang saat ini
digunakan di Puskesmas-Puskesmas di Indonesia.

2. Perbaikan sistem suplai


Melalui penerapan konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti
bahwa di tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang
paling dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap
saatdengan harga yang terjangkau. Untuk Rumah Sakit, konsep obat
esensial ini diaplikasikan dalam bentuk Formularium Rumah Sakit

3. Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat.


Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing
pusat pelayanan kesehatan, formulir-formulir resep dengan jumlah R/
yang terbatas, dan sebagainya.

4. Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi


(KFT) di Rumah-rumah Sakit.
Komite Farmasi dan Terapi mempunyai tugas dan fungsi untuk
meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obatsecara Rasional di Rumah
Sakit.
5. Informasi Harga
Akan memberi dampak sadar biaya bagi para
provider serta pasien/masyarakat.

6. Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan
cost-sharing.

c. Intervensi regulasi (regulatorystrategies)

Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya yang


mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum. Dengan cara ini setiap
penyimpangan terhadap pelaksanaannya akan mempunyai akibat hukum. Namun
demikian, pendekatan ini sering dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan
profesi. Padahal jika kita simak, misalnya konsep obat esensial, maka kesan
membatasi kebebasan tersebut tidaklah benar. Di negara maju pun sistem
pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan. Hal ini antara lain
didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara nasional merupakan
komponen terbesar dari anggaran pelayanan kesehatan.

Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban registrasi obat bagi obat jadi
yang beredar, peraturan keharusan peresepan generik, pelabelan generik, dan
lainlain.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

DIABETES MELITUS

Tn. Akim, 43 tahun, mengeluh sering buang air kecil di malam hari. Ia
berkata bahwa dalam satu malam bisa dua sampai tiga kali buang air kecil.
Tempo hari Tn. Akim juga mengeluhkan rasa mudah lelah walaupun beliau
tidak banyak beraktivitas serta mudah berkeringat meskipun suasana sedang
tidak panas. Kakinya pun sering dirasa kesemutan dan napsu makannya
meningkat namun ia merasa badannya malah menjadi lebih kurus dari
sebelumnya.

Setelah ditanyakan mengenai riwayat penyakit keluarga, ternyata ayah Tn.


Akin sudah meninggal 3 tahun yang lalu akibat hipertensi yang merupakan
komplikasi dari diabetes milletus tipe 2 yang dideritanya satu tahun
sebelumya. Kemudian dari pola hidup Tn. Akin adalah seorang perokok dan
jarang sarapa karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan beliau datang di
pagi hari.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 130/90


mmHg, berat badan 80 kg, tinggi badan 165 cm, dan indeks massa tubuh
(IMT) 27,5 kg/m2, lingkar perut 87 cm. Hasil laboratorium glukosa darah
puasa 238 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan 345 mg/dl, HbAlC 10,2
g/dl, dan protein urin postif 3.

Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat


komplikasi kronik mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Pasien
juga diberikan edukasi perencanaan makan diet 1900 kalori, jenis olahraga
yang sesuai dan pemberiaan insulin untuk mengontrol glukosa darahnya, serta
efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat.

1.1.Kelainan Hormon

Seorang perempuan Ny. Yusi usia 40 tahun datang dengan keluhan utama
jantung berdebar-debar. Keluhan dirasakan hilang timbul tanpa dipengaruhi
aktivitas.Keluhan ini disertai dengan sesak napas yang sering kambuh.Sesak
tidak dipengaruhi posisi, tidak disertai dengan bunyi ngik (mengi) dan
dirasakan memberat dengan aktivitas dan berkurang jika istirahat.Keluhan ini
tanpa disertai dengan nyeri dada.Pasien juga mengeluhkan adanya sakit
kepala berdenyut.Bila serangan timbul, pasien merasa mual, dan bahkan
muntah setiap kali makan.Muntah berisi makanan yang dimakan pasien.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan mudah lelah dan sering berkeringat
walaupun tidak sedang berada dibawah matahari ataupun saat beraktivitas
berat.Pasien juga mengalami penurunan berat badan sedangkan nafsu makan
meningkat dan pasien sering merasa lapar.Pasien mengalami penurunan berat
badan dari 70 kg menjadi 55 kg dalam waktu 6 bulan terakhir. Dengan tinggi
badan beliau 157cm.Namun sejak akhir-akhir ini pasien mengalami
penurunan nafsu makan dan makan lebih sedikit.Pasien juga merasa lemas
dan sedikit gemetar didaerah jari kedua tangan.

Pasienmerasa pandangan menjadi sedikit kabur dan kadang merasa


berkunang-kunang. Sebelum keluhan yang terjadi dalam 1 tahun terakhir ini,
pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama. Pasien memiliki riwayat
penyakit maag.Sedangkan riwayat hipertensi, diabetes melitus dan asma
disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,


tekanan darah 140/70 mmHg, nadi 120 x/menit, pernapasan 24 x/menit, dan
suhu 36,70C, mata eksoftalus, pemeriksaan leher didapatkan pembesaran
kelenjar tiroid.

1.2.Gangguan Gizi

Diga, seorang anak laki-laki usia 15 bulan masuk rumah sakit dengan keluhan
demam dan batuk berulang selama lebih kurang 3 bulan. Anak tampak sangat
kurus. Batuk saat ini disertai dengan sesak nafas. Nafsu makan sangat kurang.
Kaki, tungkai serta perut, membesar secara berangsur-angsur selama bulan
terakhir. Anak juga mengalami diare berulang, kadang tinja tua disimpulkan
disertai darah dan lendir.

Setelah digali lebih lanjut pada anamnesis dengan bahwa kondisi sosial
ekonomi keluarga tergolong kurang mampu. Dari riwayat makan didapatkan
data bahwa pasien jarang makan. Kontak dengan penderita TBC paru tidak
jelas Dari pemeriksaan fisik anak tampak sakit berat, apatis. BB 7 kg, PB 76
cm. Nampak sesak pernafasan cuping hidung, takipneu, retraksi, sianosis.
Pemeriksaan paru didapatkan ronkhi basah halus namun tidak jelas.
Pemeriksaan jantung dalam batas normal. Tampak wajah, telapak tangan dan
kaki pucat. Pemeriksaan hepar teraba 3 cm bawah arcus costae, lmpa
Schuffner I. Edema dorsum pedis, pretibial dan tungkai atas.
BAB IV
PEMBAHASAN

1.1.Penulisan Resep Rasional pada Kasus Diabetes Mellitus

Dari skenario diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut.


Nama : Tn. Akmal
Usia : 43 tahun
Keluhan : Poliuri, mudah lelah, mudah berkeringat, sering
kesemutan dan meningkatnya napsu makan, penurunan
berat badan secara drastis.
RPK : Hipertensi dari komplikasi diabetes milletus tipe 2 (Ayah
kandung)
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan hasil.
TD : 130/90 mmHg
BB : 80 kg
TB : 165 cm
IMT : 27,5
Lingkar perut : 87 cm
Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh hasil
GDP : 238 mg/dl
GD2PP : 345 mg/dl
HbAlC : 10,2 g/dl

Dari data yang telah terkumpul, dokter menyarankan untuk dilakukan


pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat komplikasi kronik mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Pasien juga diberikan edukasi perencanaan
makan diet 1900 kalori, jenis olahraga yang sesuai, serta efek samping yang
dapat terjadi akibat pemberian obat.
dr. , S. Ked.
SIP : 113.5.571.09.XI.2018
Alamat : Jalan Badak No. 309, Kecamatan Way Hui,
Kota Bandar Lampung
HP : +62 811 2233 4455

Bandar Lampung, 05 September 2019

R/ Metformin 500mg tab no. XX

S 2 dd tab 1 d.c
k

R/ Glipzid 5mg tab no. X

S 2 dd tab 1 a.c
k

Pro : Tn. Akmal


Umur : 43 tahun
BB : 80 Kg
TB : 165 cm
Alamat : Jl. Landak no. 99
Pada penulisan resep di atas dapat dikatakan rasional karena memenuhi
kriteria penulisan resep rasional yaitu:
1. Tepat obat : diberikan metformin karena metformin merupakan obat
antidiabetik yang dapat menurunkan kadar gula darah pada penderita
diabetes tipe 2. . Metformin bekerja dengan menghambat proses
glukoneolisis, memperlambat penyerapan glukosa pada usus, serta
meningkatkan sensitivitas insulin dalam tubuh.Obat ini dapat dikonsumsi
tunggal, dengan obat antidiabetik lain, atau diberikan bersama insulin.
Pada peresepan ini diberikan obat lain yaitu dari golongan sulfonylurea
Kombinasi sulfonylurea dengan metformin saat ini adalah kombinasi yang
rasional karena mempunyai cara sinergis sehingga kombinasi ini dapat
menurunkan kadar glukosa yang lebih banyak daripada penggunaan
tunggal, baik pada dosis maksimal keduanya maupun kombinasi minimal
keduanya. Kerja mereka sinergis dan efektif bagi diabetes mellitus tipe 2.
Dimana metformin dapat menurunkan berat badan ringan (karena pasien
obesitas) dan menurunkn glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
penurunan produksi glukosa hati serta peningkatan penggunaan glukosa
oleh jaringan perifer serta mengurangi penyerapan glukosa di usus.
Namun metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta untuk
memproduksi insulin. Lain halnya dengan sulfonyl urea yang dapat
meningkatkan dan mempertahankan sekresi insulin melalui penutupan
kanal K+ di sel beta. Sehingga memacu terus sel beta untuk memproduksi
insulin. Sehingga penggunaan mereka sinergis/saling melengkapi
sehingga penggunaan keduanya sangat rasional.

2. Tepat dosis : pada dewasa dapat diberikan metformin dengan jumlah dosis
500-850mg yang diminum 1-2 kali sehari.Dosis yang diresepkan adalah
dosis dewasa (1000 mg/hari) yang tidak melebihi dosis maksimumnya
(250-3000mg/hari) sehingga memiliki efek terapi.

3. Tepat bentuk sediaan obat : pasien merupakan orang dewasa tanpa


gangguan menelan, maka obat dapat diberikan dalam bentuk tablet.

4. Tepat cara pemberian : pasien merupakan orang dewasa tanpa gangguan


pada sistem pencernaan, maka obat dapat diberikan dalam bentuk tablet
dan dimakan secara peroral.

5. Tepat waktu pemberian : pada saat makan, karena fungsi metformin untuk
menghambat glukosa yang masuk. Sedangkan glipzid diberikan sebelum
makan untuk kontrol gula dalam darah dan membantu pankreas
memproduksi insulin.

6. Tepat pasien : pasien diberi obat yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Dari
segi ekonomi pun pasien masih mampu membelinya karen obat yang
diberikan dirasa tidak mahal.
1.2.Penulisan Resep Rasional pada Kasus Kelainan Hormon

Dari skenario diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut.


Nama : Ny. Yusi
Usia : 40 tahun
Keluhan : jantung berdebar-debar, sesak napas tanpa rasa nyeri,
mudah lelah, sering berkeringat, mengalami penurunan
berat badan secara drastis, mudah lapar.
RPD : Maag
RPK :-
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan hasil.
TD : 140/70 mmHg
Nadi : 120x / menit
Respirasi : 24x / menit
BB : 55 kg
TB : 157 cm
Pembesaran kelenjar tiroid : positif (+)

Dari data yang telah terkumpul, dokter menyarankan untuk dilakukan


pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat komplikasi kronik mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Pasien juga diberikan edukasi perencanaan
makan diet 1900 kalori, jenis olahraga yang sesuai, serta efek samping yang
dapat terjadi akibat pemberian obat.
dr. , S. Ked.
SIP : 113.5.571.09.XI.2018
Alamat : Jalan Badak No. 309, Kecamatan Way Hui,
Kota Bandar Lampung
HP : +62 811 2233 4455

Bandar Lampung, 05 September 2019

R/ Propylthiouracil100mg tab no. XXX

S 3 dd tab 1 a.c
k

R/ Propanolol20mg tab no. XXX


S 1 dd tab 1 a.c
k

Pro : Ny. Yusi


Umur : 40 tahun
BB : 55 Kg
TB : 157 cm
Alamat : Jl. Cicak no. 01
Pada penulisan resep di atas dapat dikatakan rasional karena memenuhi
kriteria penulisan resep rasional yaitu:
1. Tepat obat : diberikan propiltiouralis atau akrab disebut PTU ini karena
PTU bekerja meghambat enzim trioperoksidase sehingga sintesis T3 dan
T4 terhambat. PTU juga menghambat kerja enzim 5’-deiododinase
(tetraiodotironin 5’ deiododinase) yang mengkonvensi T4 menjadi T3.
Karena T3 lebih kuat daya hormon tiroidnya dibandingkan T4, maka hal
ini juga akan mengurangi aktivitas hormon-hormon tiroid secara
keseluruhan.
Diberikan pula obat propaolol yang merupakan obat untuk meredam
tremor yang bekerja dengan cara menghambat epinefrin atau adrenalin,
yaitu zat di dalam tubuh yang menyempitkan pembuluh darah,
meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung.

2. Tepat dosis : pada PTUtablet 50mg biasanya diberikan dengan dosis 100
mg setiap 8 jam. Sedangkan dosis awal yang direkomendasikan pada
propanolol adalah 50mg dengan pemberian 1-2 kali sehari.

3. Tepat bentuk sediaan obat : pasien merupakan orang dewasa tanpa


gangguan menelan, maka obat dapat diberikan dalam bentuk tablet.

4. Tepat cara pemberian : pemberian PTU dilakukan sebelum makan karena


pemberian PTU apabila bersamaan dengan makan akan mengurangi kadar
PTU. Pemberian propanolol pasien merupakan orang dewasa tanpa
gangguan pada sistem pencernaan, maka obat dapat diberikan dalam
bentuk tablet dan dimakan secara peroral.

5. Tepat waktu pemberian : dikonsumsi sebelum makan untuk


memaksimalkan penyerapan pada gastrointestinal. Disarankan untuk
mengonsumsi obat teratur seperti jam diari sebelumnya.

6. Tepat pasien : pasien diberi obat yang tidak mahal dan sesuai dengan
kondisi pasien.
1.3.Penulisan Resep Rasional pada Kasus Gangguan Gizi

Sesuai dengan skenario yang ada, didapatkan data sebagai berikut.


Nama : An. Diga
Usia : 15 bulan
Keluhan : Demam dan batuk berulang selama lebih kurang 3 bulan,
diare
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan
Keadaan umum : Anak tampak sangat sakit berat, apatis, kurus, kaki,
tungkai serta perut, membesar,tampak wajah, telapak
tangan dan kaki pucat. terlihat kondisi ekonomi yang
kurang.
BB : 7 kg
PB : 76cm
Pemeriksaan edema dorsum pedis, pretibial dan tungkai atas.

Dari hasil anamnesis yang telah diberikan, dokter memberikan saran untuk
makan makanan yang bergizi dan menjaga kebersihan diri serta lingkungan
rumah. Hal ini diberitahukan kepada orang tua pasien dan kemudian
melakukan peresepan obat yang sesuai dengan kondisi pasien.
dr. , S. Ked.
SIP : 113.5.571.09.XI.2018
Alamat : Jalan Badak No. 309, Kecamatan Way Hui,
Kota Bandar Lampung
HP : +62 811 2233 4455 Jam praktek : 18.00-21.00

Bandar Lampung, 05 September 2019

R/ Kortimoksazol7,5ml fls no. I

S 2 dd c.orig 1 a.c
k

R/ Amoksisilin10ml fls no. I


S 3 dd c.orig 1 a.c
k

Pro : An. Diga


Umur : 15 bulan
BB : 7 Kg
TB : 76 cm
Alamat : Jl. Singa no. 02
Pada penulisan resep di atas dapat dikatakan rasional karena memenuhi
kriteria penulisan resep rasional yaitu:
1. Tepat obat : diberikan kortimoksazol karena obat ini digunakan untuk
menangani infeksi yang disebabkan oleh bakteri pada pasien dengan daya
tahan tubuh yang rendah. Obat ini bekerja dengan menghentikan
pertumbuhan bakteri pada tubuh

2. Tepat dosis : pada PTUtablet 50mg biasanya diberikan dengan dosis 100
mg setiap 8 jam. Sedangkan dosis awal yang direkomendasikan pada
propanolol adalah 50mg dengan pemberian 1-2 kali sehari.

3. Tepat bentuk sediaan obat : pasien merupakan orang anak yang masih
sukar apabila diberikan obat dengan sediaan tablet. Diberikan obat dalam
bentuk sirup juga memudahkan ia untuk menelan dan rasanya yang tidak
terlalu pahit.

4. Tepat cara pemberian : pemberian kortimoksazol ditakar dengan sendok


yang telah disediakan dan sebelum diminum, sebaiknya dikocok terlebih
dahulu. Meminum sirup ini pada saat sebelum makan untuk
memaksimalkan kerja dari obat ini.

5. Tepat waktu pemberian : dikonsumsi sebelum makan untuk


memaksimalkan penyerapan pada gastrointestinal. Disarankan untuk
mengonsumsi obat teratur seperti jam diari sebelumnya.

6. Tepat pasien : pasien diberi obat yang tidak mahal dan sesuai dengan
kondisi pasien.

Anda mungkin juga menyukai