TINJAUAN PUSTAKA
Secara definisi dan teknis, resep artinya pemberian obat secara tidak
langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resmi kepada pasien,
format dan kaidah penulisan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mana permintaan tersebut disampaikan kepada farmasi atau apoteker
di apotek agar diberikan obat dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai
permintaan kepada pasien yang berhak. Dengan kata lain:
1. Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan dokter dalam
memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaidah dan
peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek
agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apoteker
berkewajiban melayani secara cermat, memberikan informasi terutama
yang menyangkut dengan penggunaan dan mengkoreksinya bila terjadi
kesalahan dalam penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih
rasional, artinya tepat, aman, efektif, dan ekonomis.
2. Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical care, secara komprehensif
menerapkan ilmu pengetahuan dan keahliannya di bidang farmakologi &
teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada pasien khususnya
masyarakat pada umumnya (Ariyanti, 2017).
Perinsip Pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan fase
lanjutan selama 4-6 bulan.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi
pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi
menularkan infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2
bulan.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang
lebih panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk
membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.
Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi
selektif. Penggunaan 4 obat selama fase intensif dan 2 obat selama fase lanjutan
akan mengurangi risiko resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA
negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko resistensi selektif karena jumlah
bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase intensif dengan 3 obat dan
fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai.
OAT harus diberikan dalam bentuk kominasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah yang cukup dan dosis yang tetap sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu:
1. Tahap awal (intensif)
Pada tahap ini penderita mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, kemungkinan
besar pasien dengan BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
2. Tahap lanjutan
Pada tahap ini penderita mendapat jenis obatlebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Dosis
• INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
• Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
• Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
• Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
• Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ
adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan komposisi tablet RH adalah R =
75 mg dan H = 50 mg,
Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini.
Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan ini dianjurkan untuk TB paru kasus baru dengan BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif, dan pasien TB ekstra paru.
Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya, seperti pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan
setelah putus obat (default).
· TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH
atau
: 2 RHZE/ 6HE
atau
2 RHZE / 4R3H3
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil
uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau
6 RHE atau 2RHZE/4RH3H3
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan
(Kementerian Kesehatan RI. 2011).
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata
dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka
mengerti dan tidak perlu khawatir (Kementerian Kesehatan RI. 2011).
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan
kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain (Kementerian
Kesehatan RI. 2011).
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan
3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi(Kementerian Kesehatan RI.
2011).
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli) (Kementerian Kesehatan RI. 2011).
Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan
INH dengan atau tanpa OAT lainnya(Kementerian Kesehatan RI. 2011).
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin)
dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.
Resistensi silang
Pada pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi
silang dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari
golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.
- Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin
dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan
resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan
amikasin juga menimbulkan resisten terhadap streptomisin. Galur yang resisten
terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap
kapreomisin (Kementerian Kesehatan RI. 2011).
- Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
untuk semua fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus
hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan
moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di masa datang (Kementerian
Kesehatan RI. 2011).
- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk
pasien MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”,
bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT masih
sensitif(Kementerian Kesehatan RI. 2011).
- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3
OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000
– 1500 mg atau ofloksasin 600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau
2 kali sehari)(Kementerian Kesehatan RI. 2011).
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan
waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan(Kementerian Kesehatan RI. 2011).
1. Isoniazid (INH)
Sinonim/Nama Dagang
INH; INAH; Isoniazidium; Isonicotinic acid hydrazide; Isonicotinyl hidrazide;
Isonicotinohydrazide; Pycazide; Tubazid; Isoniazide; Pyridine-4- carbohydrazide;
4-pyridinecarboxylic acid hydrazide; Mayambutol; Neoteben; Niplen; Pelazid;
Pyridine-4-carbohydrazide; Raumanon; Rimicid; Rimiphone; Teebaconin;
Zinadon (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).
Aktivitas melawan TB, mekanisme aksi, dan metabolism:
Bakterisida; Terutama untuk membelah sel dengan cepat. Mempengaruhi sintesis
asam mycolic (dinding sel). Dimasukkannya isoniazid dalam rejimen pasien
dengan strain W MDR-TB juga dikaitkan dengan hasil yang lebih baik.Bersifat
bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama
pengobatan. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa
mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri (WHO. 2014).
Farmakologi:
Indikasi:
tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Pusat Informasi
Obat Nasional. Badan POM RI).
Kontraindikasi:
penyakit hati yang akut; hipersensitivitas terhadap isoniazid; epilepsi; gangguan
fungsi ginjal dan gangguan psikis (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM
RI).
Dosis:
Dewasa: 4-6 mg / kg / hari (oral atau IV); dosis orang dewasa 300 mg
sehari; isoniazid dosis tinggi (600 hingga 1500 mg setiap hari, lihat
Lampiran 2 untuk dosis berdasarkan berat badan) yang digunakan untuk
pasien dengan resistensi isoniazid tingkat rendah atau resistensi isoniazid
yang didokumentasikan selain karena mutasi gen Kat G (WHO. 2014).
Anak-anak: 10–15 mg / kg / hari hingga 300 mg (oral atau IV) (WHO.
2014).;
- Pasien <30 kg: 7 hingga 15 mg / kg sekali sehari
- Pasien ≥30 kg: 4 hingga 6 mg / kg sekali sehari
- Dosis maksimum: 300 mg setiap hari
Gagal ginjal / dialisis: 300 mg sekali sehari atau 900 mg tiga kali
seminggu (WHO. 2014).
Pyridoxine (vitamin B6) harus digunakan ketika isoniazid dosis tinggi
diberikan dan pada pasien dengan diabetes, uraemia, infeksi HIV,
gangguan kejang, penyalahgunaan alkohol, kekurangan gizi atau neuropati
perifer. Selain itu, wanita hamil dan postpartum dan bayi yang disusui
secara eksklusif harus menerima vitamin B6 saat mengambil isoniazid.
(Dosis normal piridoksin ketika digunakan sebagai profilaksis untuk
pencegahan neuropati pada pasien yang memakai isoniazid adalah 10-25
mg / hari) (WHO. 2014).
Penyimpanan:
Suspensi harus dijaga pada suhu kamar (15–25 ° C) (WHO. 2014).
Absorbs oral:
Diserap dengan baik secara oral atau intramuskular; paling baik diserap saat perut
kosong; hingga 50% pengurangan konsentrasi puncak dengan makanan berlemak
(WHO. 2014).
Penetrasi CSF:
Konsentrasi setara dengan plasma dalam meninges ammed. 20% konsentrasi
dalam plasma pada meninges nonin ammed (WHO. 2014).
Efek Samping:
Mual, muntah, anoreksia, konstipasi, pusing, sakit kepala, vertigo, neuritis perifer,
neuritis optik, kejang, episode psikosis; reaksi hipersensitivitas seperti eritema
multiform, demam, purpura, anemia, agranulositosis; hepatitis (terutama pada usia
lebih dari 35 tahun); sindrom SLE, pellagra, hiperglikemia dan ginekomastia,
pendengaran berkurang, hipotensi, flushing (Pusat Informasi Obat Nasional.
Badan POM RI).
Interaksi Obat:
Gangguan fungsi hati: pasien atau keluarganya diberitahu cara mengenal
gejala gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan
obat dan memeriksakan diri bila timbul nausea persisten, muntah-muntah,
lesu atau ikterus. Interaksi dengan obat; Peggunaan bersamaan dengan
antikonvulsan, sedatif, neuroleptik, antikoagulan, narkotika, teofilin,
prokainamid, kortikosteroid, asetaminofen, aluminium hidroksida,
disulfiram, ketokonazol, obat bersifat hepatotoksik dan neurotoksik.
Interaksi dengan makanan; tidak diberikan bersamaan dengan makanan,
alkohol, keju dan ikan (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).
Isoniazid dapat meningkatkan toksisitas karbamazepine, ethosuximide,
fenitoin, diazepam, triazolam, teofilin, dan warfarin.
Konsentrasi dalam darah isoniazid dapat berkurang bila digunakan
bersamaan dengan ketokonazole.
Risiko hepatotoksisitas dapat menigkat bila digunakan bersamaan dengan
rifampisin dan obat hepatotoksik lainnya.
Pada penderita yang mengkonsumsi alkohol, efektivitas isoniazid dapat
menurun dan risiko neuropati dan hepatotoksisitas dapat meningkat.
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,
tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian Isoniazide
bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya
konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.
Antikonvulsan sepertifenitoin dan karbamazepinadalah yang sangat
terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran, parasetamoldan Karbamazepin,
menyebabkan hepatotoksisitas, antasidadan adsorbenmenurunkan absopsi,
sikloserinmeningkatkan toksisitas pada SSP, menghambat metabolisme
karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan kadar plasma teofilin.
Efek Rifampisin lebih besar dibanding efek isoniazid, sehingga efek
keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya
konsentrasi dari obat-obatan tersebut seperti fenitoin dan
karbamazepin(Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).
2. Rifampin (atau rifamfisin lainnya)
Indikasi:
Untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosisdalam kombinasi dengan obat antituberkulosis lain dan dalam
kombinasi dengan obat antilepra untuk pengobatan lepra dengan mengubah
keadaan infeksi menjadi keadaan noninfeksi (Pusat Informasi Obat Nasional.
Badan POM RI).
Peringatan:
kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan uji fungsi hati dan
hitung sel darah pada pengobatan jangka panjang; gangguan fungsi ginjal (jika
dosis lebih dari 600 mg/hari) lihatLampiran 3; kehamilan dan menyusui lihat
Lampiran 4 dan lampiran 5. Penting: pasien yang menggunakan kontrasepsi oral
dianjurkan untuk menggunakan metode tambahan; dapat mengubah warna lensa
kontak, menyebabkan warna kemerahan pada seluruh sekresi tubuh, penderita
diabetes melitus, flu syndrome, sesak napas, syok anafilaksis (Pusat Informasi
Obat Nasional. Badan POM RI).
Interaksi:
lihat lampiran 1 (rifampisin). Interaksi obat: peggunaan dengan antasida, opiat,
antikolinergik dan ketokonazol, berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, obat
antiretroviral (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors dan protease
inhibitors). Interaksi laboratorium: positif palsu dengan metode KIMS (Kinetic
Interaction of Microparticles in Solution) (Syamsudin. 2011).
Efek Samping:
gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare; pada terapi
intermiten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan respirasi (napas pendek),
kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal ginjal akut, purpura trombo-
sitopenia; gangguan fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam; gangguan
sistem saraf pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah otot,
psikosis. Efek samping lain seperti udem, kelemahan otot, miopati, lekopenia,
eosinofilia, gangguan menstruasi; warna kemerahan pada urin, saliva dan cairan
tubuh lainnya; tromboplebitis pada pemberian per infus jangka panjang (Pusat
Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).
Dosis:
Tuberkulosis : DEWASA dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah 450 mg, BB
>50kg adalah 600mg (pasien dengan gangguan fungsi hati tidak lebih dari
8mg/kgBB). ANAK: 10-20 mg/kgBB sebagai dosis harian (dosis total tidak lebih
dari 600 mg) (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).
Lepra multibasiler: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg satu kali
sehari+klofazimin(Lamprene) 300mg satu kali sebulan+50mg satu kali sehari
dengan durasi pengobatan selama 2 tahun (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan
POM RI).
Lepra pausibasiller: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg (1-2
mg/kgBB) satu kali sehari dengan durasi pengobatan 6 bulan (Pusat Informasi
Obat Nasional. Badan POM RI).
Catatan:
Oral: Untuk memastikan absorpsi yang optimal, riampisin harus diberikan pada
perut kosong (1jam sebelum atau 2 jam setelah makan). Jika diberikan bersamaan
dengan makanan meningkatkan toleransi gastrointestinal (Pusat Informasi Obat
Nasional. Badan POM RI).
Reabsorbsi Oral:
Rifampisin diabsorbsi baik dengan pemberian oral dan diekskresikan melalui
hepar ke dalam empedu selanjutnya obat ini akan mengalami sirkulasi
enterohepatik. Selama sirkulasi tersebut, rifampisin mengalami deasetilasi secara
progresif, sehingga setelah 6 jam hampir semua antibiotik di empedu ditemukan
dalam bentuk terdeasetilasi. Ekskresi terbesar obat ini adalah melalui feses, yaitu
sebesar 60%(Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).
Sediaan:
Kapsul atau tablet yang disediakan dengan tiga kekuatan, 150mg, 300mg dan
600mg, dan yang ampuh terhadap kuman TB. Warnanya bervariasi tergantung
pada merek dan kekuatannya. Sirup rifampisin disediakan untuk anak kecil yang
memerlukan dosis yang lebih rendah (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor,
A.J. 2013).
3. Pirazinamid
Sinonim/Nama Dagang:
2-Carbamylpyrazine, 2-Pyrazinecarboxamide, 1/C2H5N3O/c6-5(9)4-3-7-1-2- 8-
4/h1-3H,(H2,6,9 Pyrazinamide (JP14/USP), 5-25-04-00178 (Beilstein Handbook
Reference), D-50, D-50 (VAN), Eprazin, MK-56, NCI-C01785, T 165,
Aldinamid, Aldinamide, Farmizina, Novamid, Pezetamid, Piraldina, Pirazimida,
Pirazinamide, Pirazinamida [INN-Spanish], Pirazinamide [DCIT], Pirilene,
Prestwick_811, Pyrafat, Pyrazineamide, Pyrazine Carboxylamide,
Pyrazinecarboxamide, Pyrazinoic acid amide, Pyrazinamidum [INN-Latin],
Pyrazinecarboxylic acid amide, Pyrazinamide [BAN:INN:JAN], PYZ, PZA,
Tuberculostat/ Tuberculocide/ Unipyranamide, Zinamide (Sentra informasi
keracunan Nasional. 2016).
Mekanisme aksi:
Pirazinamid memiliki efek bakteriostatik dengan mekanisme hidrolisis oleh enzim
pirazinamidase menjadi asam pirazinoat. Efek tuberkulostatik pirazinamid hanya
bekerja efektif pada media yang asam (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor,
A.J. 2013).
Dosis:
15-30 mg/kg BB sekali sehari. Dosis maksimal sehari 3 g. Digunakan pada 2
bulan pertama dari 6 bulan pengobatan. Untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal 20-30 mg/kg BB tiga kali seminggu (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan
POM RI).
Reabsorbsi oral:
Pirazinamid diabsorbsi dengan baik di saluran gastrointestinal dan didistribusikan
ke seluruh tubuh. Obat ini menembus cairan serebrospinal dengan baik. Waktu
paruh pirazinamid pada orang dengan ginjal normal adalah 9-10 jam. Obat ini
diekskresi terutama melalui glomerulus ginjal (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan
Trevor, A.J. 2013).
Efek Samping:
Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian pirazinamid adalah
cedera hepar. Pada pemberian oral 40-50 mg/kg, sekitar 15 % pasien akan
menunjukkan tanda-tanda cedera hepar. Efek lain dari pirazinamid adalah
terhambatnya ekskresi garam urat, pirai, mual, muntah, anoreksia, disuria, lesu,
dan demam (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).
Peringatan:
gangguan fungsi hati; gangguan fungsi ginjal; diabetes mellitus; gout; pasien
hipersensitif terhadap etionamid, isoniazid, niasin, serta pirazinamid (Sentra
informasi keracunan Nasional. 2016).
Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat, porfiria, hipersensitivitas terhadap pirazinamid, gout,
wanita hamil dan menyusui (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).
4. Etambutol
Sinonim/Nama Dagang:
D-N,N'-Bis(1-Hydroxymethylpropyl) Ethylenediamine; (Hydroxymethyl)
Propyl) Ethylenediamine; 1-Butanol, Ethanediyldiimino)Bis-, (R-(R*,R*)); 1-
Butanol, 2,2'-(Ethylenediimino)Di-, (+); Dadibutol; Diambutol; EMB; D-
Ethambutol; D-2,2'-(Ethylenediimino)Bis(1- Butanol); D-2,2'-(Ethylenediimino)
Di-1-Butanol; 2,2'-(1,2-Ethanediyldiimino)- Bis-1-Butanol; (+)-2,2'-
(Ethylenediimino)Di-1-Butanol; Cl-40881 (Sentra informasi keracunan Nasional.
2016).
Mekanisme aksi:
Etambutol menekan pertumbuhan kuman yang telah resisten terhadap isoniazid
dan streptomicin. Mekanisme kerja etambutol adalah menghambat pembentukan
metabolit sel yang menyebabkan kematian sel (Pusat Informasi Obat Nasional.
Badan POM RI).
Dosis:
Dosis lazim dewasa dan anak usia > 13 tahun untuk tuberculosis aktif
Awal : 15 mg/kg BB secara oral, 1 x sehari selama 6-8 minggu, dikombinasikan
dengan isoniazid.
Lanjutan : 25 mg/kg BB secara oral, 1 x sehari selama 60 hari, dikombinasikan
dengan setidaknya satu obat anti TBC lain. Setelah 60 hari dosis dapat diturunkan
sampai 15 mg/kg BB secara oral, 1 x sehari.
Dosis lazim dewasa dan anak usia > 13 tahun untuk mengobati
infeksi Mycobacterium avium intraseluler 1 x sehari 900 mg secara oral.
Pengobatan AVI paru terdiri dari : clarithromycin dikombinasikan dengan
2-4 obat lain seperti ethambutol, rifampicin, clofazimine atau obat lainnya.
Lama pengobatan 18-24 bulan.
pengobatan MAI : clarithromycin atau azithromycin dikombinasikan
dengan 1-3 obat lain seperti ethambutol,
clofazimine, ciprofloxacin, ofloxacin, rifampicin, rifabutin, atau amikacin.
Dosis lazim dewasa dan anak usia > 13 tahun untuk
profilaksis Mycobacterium avium intraseluler 15 mg/kg BB secara oral, 1
x sehari. Dikombinasikan dengan clarithromycin atau azithromycin
(Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J. 2013).
Reabsorbsi oral:
Sekitar 75-80 % dosis etambutol yang diberikan secara oral diserap dengan baik
di saluran gastrointestinal. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu
2-4 jam setelah obat diminum, sedangkan waktu paruh etambutol adalah 3-4 jam.
Tiga perempat dosis etambutol akan diekskresi dalam urin dengan bentuk yang
utuh dalam waktu 24 jam (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J. 2013).
Efek Samping:
Penurunan ketajaman penglihatan, neuritis optic, dan rusaknya retina merupakan
efek samping yang sering terjadi pada pemakaian etambutol. Oleh karena itu,
pada pasien yang mendapat terapi etambutol selama beberapa bulan, perlu
dilakukan tes tajam penglihatan secara berkala. Efek tersebut bisa membaik jika
pemakaian obat dihentikan(Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).
Perhatian
Hal-hal yang harus diperhatikan selama menggunakan obat ini, adalah sebagai
berikut(Sentra informasi keracunan Nasional. 2016) :
Pasien yang menggunakan obat ini harus melaporkan kepada dokter bila
merasakan gangguan penglihatan sedini mungkin.
Sebaiknya lakukan pemeriksaan mata sebelum menggunakan obat ini. Jika
selama penggunaan ethambutol terjadi gangguan penglihatan, pemakaian
obat harus segera dihentikan.
Penggunaan obat ini untuk anak-anak di bawah 13 tahun, atau anak yang
belum bisa mengidentifikasi dan melaporkan adanya gangguan
penglihatan, sebaiknya tidak dilakukan.
Pasien dengan cacat visual seperti penderita katarak,
kondisi radang berulang pada mata, neuritis optik, dan
retinopati diabetes harus mendapatkan pertimbangan yang sangat matang
secara klinis jika ingin menggunakan ethambutol.
Perhatian serius harus diberikan kepada pasien yang memiliki
gangguan ginjal, karena potensi efek samping akan meningkat. selain itu,
penyesuaian dosis perlu dilakukan mengingat obat ini diekskresikan
melalui ginjal.
Obat ini bisa menyebabkan terjadinya hiperurisemia, hati-hati
menggunakannya untuk penderita penyakit asam urat (gout).
Obat ini terutama digunakan jika diduga terjadi resistensi. Jika resiko
terjadinya resistensi rendah, obat ini bisa dikesampingkan.
Karena obat ini kadang-kadang menimbulakn efek toksisitas pada hati,
pemeriksaan periodik organ hati perlu dilakukan.
Jika anda ibu menyusui, sebaiknya hanya menggunakan obat ini jika
direkomendasikan oleh dokter meskipun belum ada laporan pasti bahwa
obat ini memberikan efek buruk jika digunakan selama menyusui.
Sebaiknya obat digunakan bersama makanan untuk mengurangi efek
terhadap saluran pencernaan.
Interaksi obat
Obat-obat antasida terutama yang mengandung Aluminium hidroksida
mengurangi absorpsi ethambutol. Sebaiknya penggunaan bersamaan obat ini
dihindari atau setidaknya penggunaan antasida diberi jarak minimal 4 jam setelah
penggunaan ethambutol (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).
Jenis resep :
1. Resep standar (R/. Officinalis), yaitu resep yang komposisinya telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar
lainnya. Penulisan resep sesuai dengan buku standar.
2. Resep magistrales (R/. Polifarmasi), yaitu resep yang sudah dimodifikasi
atau diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang
diencerkan dalam pelayanannya harus diracik terlebih dahulu.
3. Resep medicinal. Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek
dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mangalami peracikan.
Buku referensi : Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO),
Indonesia Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat di Indonesia
(DOI), dan lain-lain.
4. Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau tidak
mengalamipercikan
2.3.2. Penulisan
Pengertian Penulisan Resep Secara definisi dan teknis, resep artinya
pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan
pada kop resmi kepada pasien, format dan kaidah penulisan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mana permintaan tersebut
disampaikan kepada farmasi atau apoteker di apotek agar diberikan obat dalam
bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuaipermintaan kepada pasien yang berhak.
Resep asli harus disimpan di apotek dantidak boleh diperlihatkan kecuali oleh
yang berhak, yaitu :
1. Dokter yang menulis atau merawatnya.
2. Pasien atau keluarga pasien yang bersangkutan.
3. Paramedis yang merawat pasien.
4. Apoteker yang mengelola apotek bersangkutan.
5. Aparat pemerintah serta pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang
ditugaskan untuk memeriksa.
6. Petugas asuransi untuk kepentingan klem pembayaran.
3. Prescriptio/ Ordonatio : nama obat dan jumlah serta bentuk sediaan yang
diinginkan.
4. Signatura : yaitu tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan
interval waktu pemberian harus jelas untuk keamanan penggunaan obat
dan keberhasilan terapi.Universitas Sumatera Utara
2. Buku teks farmakologi & terapi a.l. Goodman & Gilman: The
pharmacological basis of therapeutics, Katzung, Laurence & Bennet:
Clinical Pharmacology, Farmakologi dan Terapi (FK UI), dll.
b) Jurnal kedokteran, beberapa bisa diunduh secara gratis dari situs web:
British Medical Journal (BMJ), New England Journal of Medicine
(NEJM),the Lancet, Journal of American Medical Association (JAMA),
Majalah Kedokteran Indonesia (MKI), Jurnal-jurnal nasional yang
terakreditasi, dll.
c) Website, situs web saat ini telah menjadi gerbang menuju pusat informasi
dan ilmu kedokteran yang paling cepat berkembang. Bahan-bahan berupa
jurnal, pedoman, kebijakan tentang obat tersedia di situs web. Bahan
tersebut banyak dalam bentuk PDF dan bisa di unduh. Beberapa situs web
yang penting berkaitan dengan obat dan pengobatan a.l.:
1.WHO: http://www.who.int/medicines/en/
2. Food & Drug Administration: www.fda.gov dan
http://www.accessdata.fda.gov/ Scripts/cder/DrugsatFDA/
3.Therapeutic Good Administration (Australia): www.tga.gov.au
4.EMEA (Uni-Eropa): www.emea.europa.eu
5.Drug Effectiveness Review Program: www.ohsu.edu/drugeffectiveness
6.Cochrane Collaboration: www.cochrane.org
7.Medical guidelines:
http://www.guideline.gov/browse/guideline_index.aspx
Kode-kode dalam Resep
Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J. 2013. Farmakologi Dasar dan
Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC
Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J. 2014. Farmakologi Dasar &
Klinik. Vol.2. Edisi 12. Jakarta: EGC.
Simatupang, A. 2014. Pedoman WHO tentang Penulisan Resep yang Baik sebagai
Bagian Penggunaan Obat yang Rasional. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.
Ulfah SS. 2015. Review Artikel: Medication Errors Pada Tahap Prescribing,
Transcribing, Dispensing Dan Administering. Farmaka Suplemen. 15(2): 233-
240.
Aditama, TY. 2003. Fixed Dose Combination for TB Treatment. Med J Indones.
12 (2): 114-119.
Syamsudin. 2011. Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis. Jakarta: Universitas
Indonesia