Anda di halaman 1dari 46

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cara Menulis Resep

Penggunaan obat merupakan tindakan terapetik yang sangat penting dalam


pengelolaan penderita. Terapi dengan obat biasanya terwujudkan pada penulisan
suatu resep sebagai tindakan terakhir konsultasi penderita dengan dokternya
setelah seorang dokter melakukan anamnesis, diagnosis dan prognosis penderita.
Dalam hal penulisan resep, terdapat titik--titik rawan yang harus difahami baik
oleh penulis resep (prescriber) maupun pembaca resep (dispenser). Resep harus
ditulis dengan jelas dan lengkap untuk menghindari adanya salah persepsi diantara
keduanya dalam "mengartikan sebuah resep". Kegagalan komunikasi dan salah
interpretasi antara prescriber dengan dispenser merupakan salah satu faktor
penyebab timbulnya kesalahan medikasi (medication error) yang bisa berakibat
fatal bagi penderita. Medication errors adalah ketidaktepatan penggunaan obat-
obatan yang dapat dicegah. Medication errors menyebabkan banyak kerugian
pada pasien sehingga kejadiannya harus dihindari. Medication errors dapat terjadi
pada tahapan prescribing, transcribing, dispensing, dan administering (Ulfah,
2015).

Jenis-jenis resep antara lain adalah (Ariyanti, 2017):


1. Resep standar (R/. Officinalis), yaitu resep yang komposisinya telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar
lainnya. Penulisan resep sesuai dengan buku standar.
2. Resep magistrales (R/. Polifarmasi), yaitu resep yang sudah dimodifikasi
atau diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang
diencerkan dalam pelayanannya harus diracik terlebih dahulu.
3. Resep medicinal. Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek
dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mangalami peracikan.
Buku referensi : Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO),
Indonesia Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat di Indonesia
(DOI), dan lain-lain.
4. Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau
tidak mengalami peracikan.

Secara definisi dan teknis, resep artinya pemberian obat secara tidak
langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resmi kepada pasien,
format dan kaidah penulisan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mana permintaan tersebut disampaikan kepada farmasi atau apoteker
di apotek agar diberikan obat dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai
permintaan kepada pasien yang berhak. Dengan kata lain:
1. Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan dokter dalam
memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaidah dan
peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek
agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apoteker
berkewajiban melayani secara cermat, memberikan informasi terutama
yang menyangkut dengan penggunaan dan mengkoreksinya bila terjadi
kesalahan dalam penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih
rasional, artinya tepat, aman, efektif, dan ekonomis.
2. Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical care, secara komprehensif
menerapkan ilmu pengetahuan dan keahliannya di bidang farmakologi &
teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada pasien khususnya
masyarakat pada umumnya (Ariyanti, 2017).

Penulisan resep bertujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan


kesehatan di bidang farmasi sekaligus meminimalkan kesalahan dalam pemberian
obat. Umumnya, rentang waktu buka instalasi farmasi/ apotek dalam pelayanan
farmasi jauh lebih panjang daripada praktik dokter, sehingga dengan penulisan
resep diharapkan akan memudahkan pasien dalam mengakses obat-obatan yang
diperlukan sesuai dengan penyakitnya. Melalui penulisan resep pula, peran, dan
tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat
dapat ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada
masarakat secara bebas. Selain itu, dengan adanya penulisan resep, pemberian
obat lebih rasional dibandingkan dispensing (obat diberikan sendiri oleh dokter),
dokter bebas memilih obat secara tepat, ilmiah, dan selektif. Penulisan resep juga
dapat membentuk pelayanan berorientasi kepada pasien (patient oriented) bukan
material oriented. Resep itu sendiri dapat menjadi medical record yang dapat
dipertanggungjawabkan, sifatnya rahasia (Ariyanti, 2017).

Resep terdiri dari 6 bagian yaitu (Ariyanti, 2017):


1. Inscriptio : Nama dokter, no. SIP, alamat/ telepon/HP/kota/tempat, tanggal
penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota
provinsi. Sebagai identitas dokter penulis resep. Format inscriptio suatu
resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktik pribadi.
2. Invocatio : permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe”
artinya ambilah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dengan
apoteker di apotek.
3. Prescriptio/ Ordonatio : nama obat dan jumlah serta bentuk sediaan yang
diinginkan.
4. Signatura : yaitu tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan
interval waktu pemberian harus jelas untuk keamanan penggunaan obat
dan keberhasilan terapi.
5. Subscrioptio : yaitu tanda tangan/ paraf dokter penulis resep berguna
sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.
6. Pro (diperuntukkan) : dicantumkan nama dan umur pasien. Teristimewa
untuk obat narkotika juga hatus dicantumkan alamat pasien (untuk
pelaporan ke Dinkes setempat).

Menurut Katzung (2014) peresepan secara rasional terdiri dari:


1. Membuat diagnosis yang spesifik. Diagnosis yang spesifik sangat penting
untuk keberhasilan terapi agar pasien dapat puas dalam pelayanan yang
diberikan dokter.
2. Pertimbangan patofisiologi dari diagnosis yang terpilih. Jika sudah
mengetahui patologi penyakit sudah benar dimengerti, penulis resep akan
mempertimbangkan terapi yang efektif.
3. Memilih sasaran terapi yang spesifik, suatu sasaran terapi yang spesifik
harus dipilih untuk setiap proses patofisiologi yang ditetapkan dalam tahap
terdahulu.
4. Menentukan obat pilihan. Satu atau beberapa obat akan ditentukan oleh
setiap tujuan terapi yang telah ditetapkan dalam tahap sebelumnya (drug of
choice).
5. Penentuan regimen dosis yang sesuai. Regimen dosis ditentukan terutama
oleh farmakokinetik obat pada pasien.
6. Merancang rencana untuk memonitor kerja obat dan menentukan kapan
berakhir. Penulis resep harus bisa menjelaskan jenis efek obat yang akan
dimonitor dan cara monitor serta gejala dan tanda yang harus dilaporkan
oleh pasien.
7. Merencanakan program pendidikan pasien. Penulis resep harus
memberikan informasi yang kuat yang nantinya akan diberikan oleh
pasien sesuai dengan keperluan

Menurut Simatupang (2014), setelah resep ditulis kita harus menjelaskan


tentang berbagai hal kepada pasien yaitu:
1. Efek obat: Efek utama obat yang menjadi dasar pilihan kita untuk
mengatasi permasalahan/diagnosis perlu dijelaskan kepada pasien,
misalnya gejala demam dan pusing akan berkurang atau hilang.
2. Efek samping: Demikian pula efek samping yang mungkin muncul akibat
menggunakan obat. Namun perlu bijaksana, agar pasien tidak justru
menjadi takut karenanya, yang penting pasien tahu dan bisa
mengantisipasi bila efek samping itu muncul, misalnya hepatotoksik
akibat obat OAT.
3. Instruksi: Pasien harus jelas tentang saat minum obat, cara minum obat,
misalnya obat diminum 3 kali (pagi, siang dan malam, sesudah/sebelum
makan, dengan cukup air, dst.), cara menyimpannya, apa yang harus
dilakukan bila ada masalah. Antibiotika misalnya harus diminum sampai
habis sesuai dengan jumlah yang diresepkan, sedangkan beberapa obat
digunakan hanya bila diperlukan saja. Ada obat yang diminum secara
bertahap dengan dosis berangsur-angsur naik dan setelah itu berangsur-
angsur turun (kortikosteroid).
4. Peringatan: terkait dengan efek samping, misalnya tidak boleh mengemudi
dan menjalankan mesin karena efek kantuk obat.
5. Kunjungan berikutnya: jadwal kunjungan berikutnya ke dokter (untuk
evaluasi dan monitor terapi).
6. Sudah jelaskah semuanya?: Pasien perlu ditanya apakah semua informasi
yang diberikan telah dimengerti dengan baik. Pasien bisa diminta untuk
mengulang segenap informasi yang telah disampaikan.

Menurut Aditama (2003), Obat TB dalam bentuk kombinasi dosis tetap


(KDT) dapat menyederhanakan cara pengobatan dan juga manajemen pengelolaan
/ distribusi obat TB serta mampu mencegah timbulnya resistensi. KDT
menyederhanakan cara pengobatan karena jumlah tablet yang harus ditelan pasien
akan berkurang, dari 15 – 16 buah menjadi 3 – 4 buah saja, dan juga menurunkan
kesalahan penulisan resep. Juga jauh lebih mudah untuk menerangkan kepada
pasien bahwa ia harus makan 4 tablet yang sejenis, daripada harus makan
berbagai tablet dalam berbagai bentuk dan warna yang berbeda. Kemungkinan
tidak memakan semua obat yang diharuskan juga dapat dicegah karena satu obat
KDT sudah merupakan campuran dari beberapa obat sekalligus. KDT juga akan
memudahkan para dokter dan petugas kesehatan karena hanya harus mengingat
satu macam obat, lebih sederhana dan tidak membingungkan. Akhirnya, seluruh
aspek distribusi obat (pembelian, pengapalan, penggudangan) juga jauh lebih
sederhana dalam bentuk KDT ini. Efek samping obat tidaklah akan bertambah
bila kita menggunakan KDT. Bila terjadi juga efek samping maka mungkin
diperlukan obat dalam bentuk tunggal.

Perinsip Pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan fase
lanjutan selama 4-6 bulan.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi
pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi
menularkan infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2
bulan.

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang
lebih panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk
membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.

Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi
selektif. Penggunaan 4 obat selama fase intensif dan 2 obat selama fase lanjutan
akan mengurangi risiko resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA
negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko resistensi selektif karena jumlah
bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase intensif dengan 3 obat dan
fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai.

2.2 OAT (Obat Anti Tuberkulosis)

Obat anti tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam


pengobatan tuberkulosis. Pengobatan tuberkulosis adalah salah satu upaya paling
efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman tuberkulosis.18
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip yaitu :
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat yang
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat.
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO) sampai selesai pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangkat waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

OAT harus diberikan dalam bentuk kominasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah yang cukup dan dosis yang tetap sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu:
1. Tahap awal (intensif)
Pada tahap ini penderita mendapatkan obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, kemungkinan
besar pasien dengan BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.

2. Tahap lanjutan
Pada tahap ini penderita mendapat jenis obatlebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Alur tatalaksana pasien TB anak

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, OAT tetap dihentikan (Roespandi, Hanny. 2016).

Panduan obat TB pada anak

Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan


pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan
dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT
pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan
(Roespandi, Hanny. 2016).

Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan


dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa
pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin
(R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu
Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) (Roespandi, Hanny. 2016).

Dosis
• INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
• Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
• Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
• Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
• Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif


lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk
Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT
untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu (Roespandi, Hanny. 2016).

• Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H


(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
• Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ
adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan komposisi tablet RH adalah R =
75 mg dan H = 50 mg,

Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak

BERAT BADAN (KG) 2 BULAN TIAP HARI 4 BULAN TIAP HARI


RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
• Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
• OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.

Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini.

Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak


JENIS OBAT BB<10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak


JENIS OBAT BB<10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier,


meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:

• Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin,


Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin).
• Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
• Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2–4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu 2–6 minggu. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan.

Perhatian: Hindarkan pemakaian streptomisin pada anak bila memungkinkan,


karena penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan permanen syaraf
pendengaran, dan terdapat risiko penularan HIV akibat perlakuan yang tidak
benar terhadap alat suntikan (Roespandi, Hanny. 2016).

Panduan obat TB pada Dewasa

Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan ini dianjurkan untuk TB paru kasus baru dengan BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif, dan pasien TB ekstra paru.
Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya, seperti pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan
setelah putus obat (default).

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi(Kementerian Kesehatan RI. 2011)


:

· TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH
atau
: 2 RHZE/ 6HE
atau
2 RHZE / 4R3H3

Paduan ini dianjurkan untuk


a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil
uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau
6 RHE atau 2RHZE/4RH3H3

· TB paru kasus kambuh


Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi
dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.

· TB Paru kasus gagal pengobatan


Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh
paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18
bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan
pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan
obat RHE selama 5 bulan.
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru

· TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :

a. Berobat > 4 bulan


1) BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
2) BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama

b. Berobat < 4 bulan


1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT.

· TB Paru kasus kronik


- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat
lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

Ringkasan paduan obat(Kementerian Kesehatan RI. 2011).


Kat Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan
ego
ri
I - TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
+, 2 RHZE / 6 HE
BTA - , lesi *2RHZE / 4R3H3
luas

II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil Bila


- Gagal uji resistensi atau 2RHZES / streptomisi
pengobatan 1RHZE / 5 RHE n alergi,
-3-6 kanamisin, ofloksasin, dapat
etionamid, sikloserin / 15-18 diganti
ofloksasin, etionamid, kanamisin
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
II - TB paru Sesuai lama pengobatan
putus berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saat
ini (lihat uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi 6 RHE atau
minimal *2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji


resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT
lini 2 atau H seumur hidup
Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB

Efek samping OAT(Kementerian Kesehatan RI. 2011).

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.


Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila
efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan
(Kementerian Kesehatan RI. 2011).

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata
dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka
mengerti dan tidak perlu khawatir (Kementerian Kesehatan RI. 2011).

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan
kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain (Kementerian
Kesehatan RI. 2011).

4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan
3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi(Kementerian Kesehatan RI.
2011).

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli) (Kementerian Kesehatan RI. 2011).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba


disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara
dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus sawar
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin (Kementerian Kesehatan RI. 2011).

Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya(Kementerian Kesehatan RI.


2011)

Efek samping Kemungkinan Tatalaksana


Penyebab
Minor OAT diteruskan

Tidak nafsu Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur


makan, mual, sakit
perut
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100
rasa terbakar di mg perhari
kaki
Warna kemerahan Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
pada air seni apa-apa
Mayor Hentikan obat
Gatal dan Semua jenis Beri antihistamin dan dievaluasi ketat
kemerahan pada OAT
kulit
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan
keseimbangan
(vertigo dan
nistagmus)
Ikterik / Hepatitis Sebagian besar Hentikan semua OAT sampai ikterik
Imbas Obat OAT menghilang
(penyebab lain dan boleh diberikan hepatoprotektor
disingkirkan)
Muntah dan Sebagian besar Hentikan semua OAT dan lakukan
confusion OAT uji fungsi hati
(suspected drug-
induced pre-icteric
hepatitis)
Gangguan Etambutol Hentikan etambutol
penglihatan
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan rifampisin
termasuk syok dan
purpura

Resistensi Ganda (Multi Drug ResistanceMDR)

Definisi
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan
INH dengan atau tanpa OAT lainnya(Kementerian Kesehatan RI. 2011).

Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)


Klasifikasi OAT untuk MDR (Kementerian Kesehatan RI. 2011).

Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:


1. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akiviti bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin)
dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1.

Resistensi silang
Pada pengobataPada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi
silang dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari
golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.

- Tionamid dan tiosetason


Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya
resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan
resistensi silang antara tionamid dengan tioasetason, galur yang biasanya
resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif terhadap etionamid dan
proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamid dan proteonamid biasanya
juga resisten juga terhadap tioasetason pada lebih dari 70% kasus (Kementerian
Kesehatan RI. 2011).

- Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin
dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan
resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dan
amikasin juga menimbulkan resisten terhadap streptomisin. Galur yang resisten
terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap
kapreomisin (Kementerian Kesehatan RI. 2011).

. Resisten terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin


. Resisten terhadap kanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin

- Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
untuk semua fluorokuninolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus
hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan
moksifloksasin) dapat menggantikan ofloksasin di masa datang (Kementerian
Kesehatan RI. 2011).

- Sikloserin dan terizidon


Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi
silang dengan obat golongan lain (Kementerian Kesehatan RI. 2011).

- Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk
pasien MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”,
bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT masih
sensitif(Kementerian Kesehatan RI. 2011).

- Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon,


aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+
as.klavulanat(Kementerian Kesehatan RI. 2011).

- Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3
OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000
– 1500 mg atau ofloksasin 600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau
2 kali sehari)(Kementerian Kesehatan RI. 2011).
- Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan
waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan(Kementerian Kesehatan RI. 2011).

- Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan.


Pada pasien non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus,
sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56%
kasus (Kementerian Kesehatan RI. 2011).

- Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik,


merupakan salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly
Observed Treatment Short Course(DOTS) merupakan salah satu upaya penting
dalam menjamin keteraturan berobat (Kementerian Kesehatan RI. 2011).

- Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-


TB(Kementerian Kesehatan RI. 2011).

Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB(Kementerian


Kesehatan RI. 2011).

Tin Obat Dosis Aktiviti antibakteri Rasio kadar


gkat harian puncak serum
an terhadap MIC
1 Aminoglikosid 15 Bakterisid menghambat
a. Streptomisin mg/kg organisme yang 20-30
b. Kanamisin multiplikasi aktif 5-7.5
atau
amikasin 10-15
c. Kapreomisin
2 Thiomides 10-20 Bakterisid 4-8
(Etionamid mg/kg
protionamid)
3 Pirazinamid 20-30 Bakterisid pada pH asam 7.5-10
mg/kg
4 Ofloksasin 7.5-15 Bakterisid mingguan 2.5-5
mg/kg
5 Etambutol 15-20 Bakteriostatik 2-3
mg/kg
6 Sikloserin 10-20 Bakteriostatik 2-4
mg/kg
7 PAS asam 10-12 Bakteriostatik 100
g

1. Isoniazid (INH)

Sinonim/Nama Dagang
INH; INAH; Isoniazidium; Isonicotinic acid hydrazide; Isonicotinyl hidrazide;
Isonicotinohydrazide; Pycazide; Tubazid; Isoniazide; Pyridine-4- carbohydrazide;
4-pyridinecarboxylic acid hydrazide; Mayambutol; Neoteben; Niplen; Pelazid;
Pyridine-4-carbohydrazide; Raumanon; Rimicid; Rimiphone; Teebaconin;
Zinadon (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).
Aktivitas melawan TB, mekanisme aksi, dan metabolism:
Bakterisida; Terutama untuk membelah sel dengan cepat. Mempengaruhi sintesis
asam mycolic (dinding sel). Dimasukkannya isoniazid dalam rejimen pasien
dengan strain W MDR-TB juga dikaitkan dengan hasil yang lebih baik.Bersifat
bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama
pengobatan. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman
yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa
mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri (WHO. 2014).

Farmakologi:

 Isoniazid adalah antibiotik dengan aktivitas bakterisid dan bakteriostatik


terhadap mikobakterium. Isoniazid atau INH bekerja dengan menghambat
sintesa asam mikolinat yang merupakan unsur penting pembentukan
dindis sel mikobakterium tuberkulosis.
 Isoniazid aktif terhadap bakteri M. tuberculosis, M. bovis, dan beberapa
strain M. Kansasii.

Indikasi:
tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Pusat Informasi
Obat Nasional. Badan POM RI).

Kontraindikasi:
penyakit hati yang akut; hipersensitivitas terhadap isoniazid; epilepsi; gangguan
fungsi ginjal dan gangguan psikis (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM
RI).

Dosis:
 Dewasa: 4-6 mg / kg / hari (oral atau IV); dosis orang dewasa 300 mg
sehari; isoniazid dosis tinggi (600 hingga 1500 mg setiap hari, lihat
Lampiran 2 untuk dosis berdasarkan berat badan) yang digunakan untuk
pasien dengan resistensi isoniazid tingkat rendah atau resistensi isoniazid
yang didokumentasikan selain karena mutasi gen Kat G (WHO. 2014).
 Anak-anak: 10–15 mg / kg / hari hingga 300 mg (oral atau IV) (WHO.
2014).;
- Pasien <30 kg: 7 hingga 15 mg / kg sekali sehari
- Pasien ≥30 kg: 4 hingga 6 mg / kg sekali sehari
- Dosis maksimum: 300 mg setiap hari
 Gagal ginjal / dialisis: 300 mg sekali sehari atau 900 mg tiga kali
seminggu (WHO. 2014).
 Pyridoxine (vitamin B6) harus digunakan ketika isoniazid dosis tinggi
diberikan dan pada pasien dengan diabetes, uraemia, infeksi HIV,
gangguan kejang, penyalahgunaan alkohol, kekurangan gizi atau neuropati
perifer. Selain itu, wanita hamil dan postpartum dan bayi yang disusui
secara eksklusif harus menerima vitamin B6 saat mengambil isoniazid.
(Dosis normal piridoksin ketika digunakan sebagai profilaksis untuk
pencegahan neuropati pada pasien yang memakai isoniazid adalah 10-25
mg / hari) (WHO. 2014).

Jalur administrasi: Oral, IV atau IM (WHO. 2014).

Sediaan dan cara pemberian:


Tablet 50 mg, 100 mg, atau 300 mg, atau tanpa skor; 50 mg / 5 ml suspensi oral
dalam sorbitol; solusi untuk injeksi adalah 100 mg / ml. Ketika diberikan IV,
encerkan dalam 25 ml salin normal dan infus sebagai bolus lambat selama 5
menit. Karena informasi kompatibilitas tidak tersedia, jangan berikan "dukungan"
dengan obat lain melalui jalur IV bersama (WHO. 2014).

Penyimpanan:
Suspensi harus dijaga pada suhu kamar (15–25 ° C) (WHO. 2014).
Absorbs oral:
Diserap dengan baik secara oral atau intramuskular; paling baik diserap saat perut
kosong; hingga 50% pengurangan konsentrasi puncak dengan makanan berlemak
(WHO. 2014).

Penetrasi CSF:
Konsentrasi setara dengan plasma dalam meninges ammed. 20% konsentrasi
dalam plasma pada meninges nonin ammed (WHO. 2014).

Efek Samping:
Mual, muntah, anoreksia, konstipasi, pusing, sakit kepala, vertigo, neuritis perifer,
neuritis optik, kejang, episode psikosis; reaksi hipersensitivitas seperti eritema
multiform, demam, purpura, anemia, agranulositosis; hepatitis (terutama pada usia
lebih dari 35 tahun); sindrom SLE, pellagra, hiperglikemia dan ginekomastia,
pendengaran berkurang, hipotensi, flushing (Pusat Informasi Obat Nasional.
Badan POM RI).

Peringatan dan Perhatian:


 Hati-hati penggunaan Isoniazid pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal dan hati. Pada penderita gangguan fungsi ginjal dosis isoniazid perlu
diturunkan.
 Hati-hati penggunaan isoniazid pada penderita dengan riwayat psikosis,
penderita dengan risiko neuropati (seperti diabetes melitus), alkoholisme,
malnutrisi, dan penderita HIV.
 Perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum memulai terapi dan
selama terapi perlu dilakukan monitor fungsi hati secara berkala.
 Hati-hati penggunaan isoniazid pada ibu hamil dan ibu menyusui.
Isoniazid diberikan bila manfaat pengobatan lebih besar dari pada risiko
bagi ibu dan bayi(WHO. 2014).

Interaksi Obat:
 Gangguan fungsi hati: pasien atau keluarganya diberitahu cara mengenal
gejala gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan
obat dan memeriksakan diri bila timbul nausea persisten, muntah-muntah,
lesu atau ikterus. Interaksi dengan obat; Peggunaan bersamaan dengan
antikonvulsan, sedatif, neuroleptik, antikoagulan, narkotika, teofilin,
prokainamid, kortikosteroid, asetaminofen, aluminium hidroksida,
disulfiram, ketokonazol, obat bersifat hepatotoksik dan neurotoksik.
Interaksi dengan makanan; tidak diberikan bersamaan dengan makanan,
alkohol, keju dan ikan (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).
 Isoniazid dapat meningkatkan toksisitas karbamazepine, ethosuximide,
fenitoin, diazepam, triazolam, teofilin, dan warfarin.
 Konsentrasi dalam darah isoniazid dapat berkurang bila digunakan
bersamaan dengan ketokonazole.
 Risiko hepatotoksisitas dapat menigkat bila digunakan bersamaan dengan
rifampisin dan obat hepatotoksik lainnya.
 Pada penderita yang mengkonsumsi alkohol, efektivitas isoniazid dapat
menurun dan risiko neuropati dan hepatotoksisitas dapat meningkat.
 Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,
tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian Isoniazide
bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya
konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.
Antikonvulsan sepertifenitoin dan karbamazepinadalah yang sangat
terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran, parasetamoldan Karbamazepin,
menyebabkan hepatotoksisitas, antasidadan adsorbenmenurunkan absopsi,
sikloserinmeningkatkan toksisitas pada SSP, menghambat metabolisme
karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan kadar plasma teofilin.
Efek Rifampisin lebih besar dibanding efek isoniazid, sehingga efek
keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya
konsentrasi dari obat-obatan tersebut seperti fenitoin dan
karbamazepin(Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).
2. Rifampin (atau rifamfisin lainnya)

Sinonim/Nama Dagang: Rifampin , Rifaldazine ,Rifamycin , Rifampin


Rifamycin, Rimactan, Rifadin, Rifocine, Rimycin, Rifadine , Rofact, Eremfat,
Rifa, Rifoldine, Tibirim ,Archidyn, Rifapiam, Apectin, Abrifam, Dipicin,
Famidex, Lederrif, Medifam, Natricin, Ramicin, RAMP, Refam, Resimin,
Rifastat, Rifatrexin, Rimactane, Zyfam, Rimaped, Fenampicin, Tregaldin,
Rifaprodin, Seamicin, Rifonilo ,Riforal, Diabacil, Rifoldine, Rimactan, Chibro-
Rifamycine (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).

Indikasi:
Untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosisdalam kombinasi dengan obat antituberkulosis lain dan dalam
kombinasi dengan obat antilepra untuk pengobatan lepra dengan mengubah
keadaan infeksi menjadi keadaan noninfeksi (Pusat Informasi Obat Nasional.
Badan POM RI).

Peringatan:
kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan uji fungsi hati dan
hitung sel darah pada pengobatan jangka panjang; gangguan fungsi ginjal (jika
dosis lebih dari 600 mg/hari) lihatLampiran 3; kehamilan dan menyusui lihat
Lampiran 4 dan lampiran 5. Penting: pasien yang menggunakan kontrasepsi oral
dianjurkan untuk menggunakan metode tambahan; dapat mengubah warna lensa
kontak, menyebabkan warna kemerahan pada seluruh sekresi tubuh, penderita
diabetes melitus, flu syndrome, sesak napas, syok anafilaksis (Pusat Informasi
Obat Nasional. Badan POM RI).

Interaksi:
lihat lampiran 1 (rifampisin). Interaksi obat: peggunaan dengan antasida, opiat,
antikolinergik dan ketokonazol, berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, obat
antiretroviral (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors dan protease
inhibitors). Interaksi laboratorium: positif palsu dengan metode KIMS (Kinetic
Interaction of Microparticles in Solution) (Syamsudin. 2011).

Efek Samping:
gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare; pada terapi
intermiten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan respirasi (napas pendek),
kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal ginjal akut, purpura trombo-
sitopenia; gangguan fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam; gangguan
sistem saraf pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah otot,
psikosis. Efek samping lain seperti udem, kelemahan otot, miopati, lekopenia,
eosinofilia, gangguan menstruasi; warna kemerahan pada urin, saliva dan cairan
tubuh lainnya; tromboplebitis pada pemberian per infus jangka panjang (Pusat
Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).

Dosis:
Tuberkulosis : DEWASA dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah 450 mg, BB
>50kg adalah 600mg (pasien dengan gangguan fungsi hati tidak lebih dari
8mg/kgBB). ANAK: 10-20 mg/kgBB sebagai dosis harian (dosis total tidak lebih
dari 600 mg) (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).

Lepra multibasiler: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg satu kali
sehari+klofazimin(Lamprene) 300mg satu kali sebulan+50mg satu kali sehari
dengan durasi pengobatan selama 2 tahun (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan
POM RI).
Lepra pausibasiller: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg (1-2
mg/kgBB) satu kali sehari dengan durasi pengobatan 6 bulan (Pusat Informasi
Obat Nasional. Badan POM RI).

Catatan:
Oral: Untuk memastikan absorpsi yang optimal, riampisin harus diberikan pada
perut kosong (1jam sebelum atau 2 jam setelah makan). Jika diberikan bersamaan
dengan makanan meningkatkan toleransi gastrointestinal (Pusat Informasi Obat
Nasional. Badan POM RI).

Aktivitas melawan TB, mekanisme aksi, dan metabolism:


Rifampisin secara in vitro menghambat pertumbuhan mycobacterium
tuberculosis. Mekanisme kerja rifampisin adalah menghambat DNA- dependent
RNA polymerase dari bakteri. Sama halnya seperti isoniazid, rifampisin aktif pada
bakteri yang sedang aktif membelah. Bila rifampisin diberikan bersama dengan
isoniazid, rifampisin bersifat bakterisidal dan mensterilisasi jaringan yang
terinfeksi, rongga, dan sputum (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J.
2013).

Reabsorbsi Oral:
Rifampisin diabsorbsi baik dengan pemberian oral dan diekskresikan melalui
hepar ke dalam empedu selanjutnya obat ini akan mengalami sirkulasi
enterohepatik. Selama sirkulasi tersebut, rifampisin mengalami deasetilasi secara
progresif, sehingga setelah 6 jam hampir semua antibiotik di empedu ditemukan
dalam bentuk terdeasetilasi. Ekskresi terbesar obat ini adalah melalui feses, yaitu
sebesar 60%(Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).

Sediaan:
Kapsul atau tablet yang disediakan dengan tiga kekuatan, 150mg, 300mg dan
600mg, dan yang ampuh terhadap kuman TB. Warnanya bervariasi tergantung
pada merek dan kekuatannya. Sirup rifampisin disediakan untuk anak kecil yang
memerlukan dosis yang lebih rendah (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor,
A.J. 2013).

Interaksi Rifampicin dengan Obat Lain:


 Meningkatkan risiko kerusakan hati jika digunakan bersama dengan obat
ritonavir dan isoniazid.
 Mengurangi efektivitas phenytoin dan theophylline.
 Menurunkan efektivitas ketoconazole dan enalapril.
 Menurunkan efektivitas rifampicin jika digunakan bersama dengan
antasida (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).

3. Pirazinamid

Susunan kimia Pirazinamid

Sinonim/Nama Dagang:
2-Carbamylpyrazine, 2-Pyrazinecarboxamide, 1/C2H5N3O/c6-5(9)4-3-7-1-2- 8-
4/h1-3H,(H2,6,9 Pyrazinamide (JP14/USP), 5-25-04-00178 (Beilstein Handbook
Reference), D-50, D-50 (VAN), Eprazin, MK-56, NCI-C01785, T 165,
Aldinamid, Aldinamide, Farmizina, Novamid, Pezetamid, Piraldina, Pirazimida,
Pirazinamide, Pirazinamida [INN-Spanish], Pirazinamide [DCIT], Pirilene,
Prestwick_811, Pyrafat, Pyrazineamide, Pyrazine Carboxylamide,
Pyrazinecarboxamide, Pyrazinoic acid amide, Pyrazinamidum [INN-Latin],
Pyrazinecarboxylic acid amide, Pyrazinamide [BAN:INN:JAN], PYZ, PZA,
Tuberculostat/ Tuberculocide/ Unipyranamide, Zinamide (Sentra informasi
keracunan Nasional. 2016).

Mekanisme aksi:
Pirazinamid memiliki efek bakteriostatik dengan mekanisme hidrolisis oleh enzim
pirazinamidase menjadi asam pirazinoat. Efek tuberkulostatik pirazinamid hanya
bekerja efektif pada media yang asam (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor,
A.J. 2013).

Dosis:
15-30 mg/kg BB sekali sehari. Dosis maksimal sehari 3 g. Digunakan pada 2
bulan pertama dari 6 bulan pengobatan. Untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal 20-30 mg/kg BB tiga kali seminggu (Pusat Informasi Obat Nasional. Badan
POM RI).

Reabsorbsi oral:
Pirazinamid diabsorbsi dengan baik di saluran gastrointestinal dan didistribusikan
ke seluruh tubuh. Obat ini menembus cairan serebrospinal dengan baik. Waktu
paruh pirazinamid pada orang dengan ginjal normal adalah 9-10 jam. Obat ini
diekskresi terutama melalui glomerulus ginjal (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan
Trevor, A.J. 2013).

Efek Samping:
Efek samping yang paling sering terjadi pada pemberian pirazinamid adalah
cedera hepar. Pada pemberian oral 40-50 mg/kg, sekitar 15 % pasien akan
menunjukkan tanda-tanda cedera hepar. Efek lain dari pirazinamid adalah
terhambatnya ekskresi garam urat, pirai, mual, muntah, anoreksia, disuria, lesu,
dan demam (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).
Peringatan:
gangguan fungsi hati; gangguan fungsi ginjal; diabetes mellitus; gout; pasien
hipersensitif terhadap etionamid, isoniazid, niasin, serta pirazinamid (Sentra
informasi keracunan Nasional. 2016).

Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat, porfiria, hipersensitivitas terhadap pirazinamid, gout,
wanita hamil dan menyusui (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).

4. Etambutol

Susunan kimia Etambutol

Sinonim/Nama Dagang:
D-N,N'-Bis(1-Hydroxymethylpropyl) Ethylenediamine; (Hydroxymethyl)
Propyl) Ethylenediamine; 1-Butanol, Ethanediyldiimino)Bis-, (R-(R*,R*)); 1-
Butanol, 2,2'-(Ethylenediimino)Di-, (+); Dadibutol; Diambutol; EMB; D-
Ethambutol; D-2,2'-(Ethylenediimino)Bis(1- Butanol); D-2,2'-(Ethylenediimino)
Di-1-Butanol; 2,2'-(1,2-Ethanediyldiimino)- Bis-1-Butanol; (+)-2,2'-
(Ethylenediimino)Di-1-Butanol; Cl-40881 (Sentra informasi keracunan Nasional.
2016).

Mekanisme aksi:
Etambutol menekan pertumbuhan kuman yang telah resisten terhadap isoniazid
dan streptomicin. Mekanisme kerja etambutol adalah menghambat pembentukan
metabolit sel yang menyebabkan kematian sel (Pusat Informasi Obat Nasional.
Badan POM RI).

Dosis:
 Dosis lazim dewasa dan anak usia > 13 tahun untuk tuberculosis aktif
Awal : 15 mg/kg BB secara oral, 1 x sehari selama 6-8 minggu, dikombinasikan
dengan isoniazid.
Lanjutan : 25 mg/kg BB secara oral, 1 x sehari selama 60 hari, dikombinasikan
dengan setidaknya satu obat anti TBC lain. Setelah 60 hari dosis dapat diturunkan
sampai 15 mg/kg BB secara oral, 1 x sehari.
 Dosis lazim dewasa dan anak usia > 13 tahun untuk mengobati
infeksi Mycobacterium avium intraseluler 1 x sehari 900 mg secara oral.
 Pengobatan AVI paru terdiri dari : clarithromycin dikombinasikan dengan
2-4 obat lain seperti ethambutol, rifampicin, clofazimine atau obat lainnya.
Lama pengobatan 18-24 bulan.
 pengobatan MAI : clarithromycin atau azithromycin dikombinasikan
dengan 1-3 obat lain seperti ethambutol,
clofazimine, ciprofloxacin, ofloxacin, rifampicin, rifabutin, atau amikacin.
 Dosis lazim dewasa dan anak usia > 13 tahun untuk
profilaksis Mycobacterium avium intraseluler 15 mg/kg BB secara oral, 1
x sehari. Dikombinasikan dengan clarithromycin atau azithromycin
(Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J. 2013).

Penyesuaian dosis untuk penderita gangguan ginjal :


kliren kreatinin < 10 ml/menit : dosis biasa setiap 48 jam.
kliren kreatinin 10-50 ml/menit : dosis biasa setiap 24-36 jam.

Reabsorbsi oral:
Sekitar 75-80 % dosis etambutol yang diberikan secara oral diserap dengan baik
di saluran gastrointestinal. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu
2-4 jam setelah obat diminum, sedangkan waktu paruh etambutol adalah 3-4 jam.
Tiga perempat dosis etambutol akan diekskresi dalam urin dengan bentuk yang
utuh dalam waktu 24 jam (Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J. 2013).

Efek Samping:
Penurunan ketajaman penglihatan, neuritis optic, dan rusaknya retina merupakan
efek samping yang sering terjadi pada pemakaian etambutol. Oleh karena itu,
pada pasien yang mendapat terapi etambutol selama beberapa bulan, perlu
dilakukan tes tajam penglihatan secara berkala. Efek tersebut bisa membaik jika
pemakaian obat dihentikan(Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI).

Perhatian
Hal-hal yang harus diperhatikan selama menggunakan obat ini, adalah sebagai
berikut(Sentra informasi keracunan Nasional. 2016) :
 Pasien yang menggunakan obat ini harus melaporkan kepada dokter bila
merasakan gangguan penglihatan sedini mungkin.
 Sebaiknya lakukan pemeriksaan mata sebelum menggunakan obat ini. Jika
selama penggunaan ethambutol terjadi gangguan penglihatan, pemakaian
obat harus segera dihentikan.
 Penggunaan obat ini untuk anak-anak di bawah 13 tahun, atau anak yang
belum bisa mengidentifikasi dan melaporkan adanya gangguan
penglihatan, sebaiknya tidak dilakukan.
 Pasien dengan cacat visual seperti penderita katarak,
kondisi radang berulang pada mata, neuritis optik, dan
retinopati diabetes harus mendapatkan pertimbangan yang sangat matang
secara klinis jika ingin menggunakan ethambutol.
 Perhatian serius harus diberikan kepada pasien yang memiliki
gangguan ginjal, karena potensi efek samping akan meningkat. selain itu,
penyesuaian dosis perlu dilakukan mengingat obat ini diekskresikan
melalui ginjal.
 Obat ini bisa menyebabkan terjadinya hiperurisemia, hati-hati
menggunakannya untuk penderita penyakit asam urat (gout).
 Obat ini terutama digunakan jika diduga terjadi resistensi. Jika resiko
terjadinya resistensi rendah, obat ini bisa dikesampingkan.
 Karena obat ini kadang-kadang menimbulakn efek toksisitas pada hati,
pemeriksaan periodik organ hati perlu dilakukan.
 Jika anda ibu menyusui, sebaiknya hanya menggunakan obat ini jika
direkomendasikan oleh dokter meskipun belum ada laporan pasti bahwa
obat ini memberikan efek buruk jika digunakan selama menyusui.
 Sebaiknya obat digunakan bersama makanan untuk mengurangi efek
terhadap saluran pencernaan.

Interaksi obat
Obat-obat antasida terutama yang mengandung Aluminium hidroksida
mengurangi absorpsi ethambutol. Sebaiknya penggunaan bersamaan obat ini
dihindari atau setidaknya penggunaan antasida diberi jarak minimal 4 jam setelah
penggunaan ethambutol (Sentra informasi keracunan Nasional. 2016).

2.3. Penulisn Resep


2.3.1 Definisi Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter
hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
kepada apoteker pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat, meracik
serta menyerahkan obat kepada pasien.Ukuran Lembaran Resep
Lembaran resep umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran ideal
lebar 10-12 cm dan panjang 15-20 cm.

Jenis resep :
1. Resep standar (R/. Officinalis), yaitu resep yang komposisinya telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar
lainnya. Penulisan resep sesuai dengan buku standar.
2. Resep magistrales (R/. Polifarmasi), yaitu resep yang sudah dimodifikasi
atau diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang
diencerkan dalam pelayanannya harus diracik terlebih dahulu.
3. Resep medicinal. Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek
dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mangalami peracikan.
Buku referensi : Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO),
Indonesia Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat di Indonesia
(DOI), dan lain-lain.

4. Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau tidak
mengalamipercikan

2.3.2. Penulisan
Pengertian Penulisan Resep Secara definisi dan teknis, resep artinya
pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan
pada kop resmi kepada pasien, format dan kaidah penulisan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mana permintaan tersebut
disampaikan kepada farmasi atau apoteker di apotek agar diberikan obat dalam
bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuaipermintaan kepada pasien yang berhak.

Dengan kata lain :


1. Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan dokter dalam
memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep menurut kaidah dan
peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek
agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apoteker
berkewajiban melayani secara cermat, memberikan informasi terutama
yang menyangkut dengan penggunaan dan mengkoreksinya bila terjadi
kesalahan dalam penulisan. Dengan demikian pemberian obat lebih
rasional, artinya tepat, aman, efektif, dan ekonomis.

2. Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical care, secara komprehensif


menerapkan ilmu pengetahuan dan keahliannya di bidang farmakologi &
teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada pasien khususnya
masyarakat pada umumnya .
A.Penulis Resep
yang berhak menulis resep adalah :
Dokter Umum.
Dokter gigi, terbatas pada pengobatan gigi dan mulut.
Dokter hewan, terbatas pada pengobatan pada hewan/ pasien hanya hewan.

B.Latar Belakang Penulisan Resep


Demi keamanan penggunaan, obat dibagi dalam beberapa golongan.
Secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu obat bebas (OTC =
Other of the counter) dan Ethical (obat narkotika, psikotropika, dan keras), harus
dilayani dengan resep dokter. Jadi sebagian obat tidak bisa diserahkan langsung
pada pasien atau masyarakat tetapi harus melalui resep dokter (on medical
prescription only). Dalam sistem distribusi obat nasional, peran dokter sebagai
“medical care” dan alat kesehatan ikut mengawasi penggunaan obat oleh
masyarakat, apotek sebagai organ distributor terdepan berhadapan langsung
dengan masyarakat atau pasien, dan apoteker berperan sebagai “pharmaceutical
care” dan informan obat, serta melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek. Di
dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, kedua profesi ini harus berada
dalam satu tim yang solid dengan tujuan yang sama yaitu melayani kesehatan dan
menyembuhkan pasien

C.Tujuan Penulisan Resep


Penulisan resep bertujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan
kesehatan di bidang farmasi sekaligus meminimalkan kesalahan dalam pemberian
obat. Umumnya, rentang waktu buka instalasi farmasi/ apotek dalam pelayanan
farmasi jauh lebih panjang daripada praktik dokter, sehingga dengan penulisan
resep diharapkan akan memudahkan pasien dalam mengakses obat-obatan yang
diperlukan sesuai dengan penyakitnya. Melalui penulisan resep pula, peran, dan
tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat
dapat ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada
masarakat secara bebas. Selain itu, dengan adanya penulisan resep, pemberian
obat lebih rasional dibandingkan dispensing (obat diberikan sendiri oleh dokter),
dokter bebas memilih obat secara tepat, ilmiah, dan selektif. Penulisan resep juga
dapat membentuk pelayanan berorientasi kepada pasien (patient oriented) bukan
material oriented. Resep itu sendiri dapat menjadi medical record yang dapat
dipertanggungjawabkan,sifatnyarahasia.

D.Kerahasiaan dalam Penulisan Resep


Resep menyangkut sebagian dari rahasia jabatan kedokteran dan
kefarmasian, oleh karena itu tidak boleh diberikan atau diperlihatkan kepada yang
tidak berhak. Resep diperlukan untuk menjaga hubungan dan komunikasi
kolegalitas yang harmonis di antara profesional yang berhubungan, antara lain:
medical care, pharmaceutical care &nursing care.rahasia dokter dengan
apoteker menyangkut penyakit penderita, khusus beberapa penyakit, dimana
penderita tidak ingin orang lain mengetahuinya. Oleh karena itu kerahasiaannya
dijaga, kode etik dan tata cara (kaidah) penulisan resep.

Resep asli harus disimpan di apotek dantidak boleh diperlihatkan kecuali oleh
yang berhak, yaitu :
1. Dokter yang menulis atau merawatnya.
2. Pasien atau keluarga pasien yang bersangkutan.
3. Paramedis yang merawat pasien.
4. Apoteker yang mengelola apotek bersangkutan.
5. Aparat pemerintah serta pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang
ditugaskan untuk memeriksa.
6. Petugas asuransi untuk kepentingan klem pembayaran.

E.Format Penulisan Resep


Resep terdiri dari 6 bagian :
1. Inscriptio : Nama dokter, no. SIP, alamat/ telepon/HP/kota/tempat,
tanggal penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu
kota provinsi. Sebagai identitas dokter penulis resep. Format inscriptio
suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktik
pribadi.
2. Invocatio : permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe”
artinya ambilah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dengan
apotekerdiapotek.

3. Prescriptio/ Ordonatio : nama obat dan jumlah serta bentuk sediaan yang
diinginkan.

4. Signatura : yaitu tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan
interval waktu pemberian harus jelas untuk keamanan penggunaan obat
dan keberhasilan terapi.Universitas Sumatera Utara

5. Subscrioptio : yaitu tanda tangan/ paraf dokter penulis resep berguna


sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.

6. Pro (diperuntukkan) : dicantumkan nama dan umur pasien. Teristimewa


untuk obat narkotika juga hatus dicantumkan alamat pasien (untuk
pelaporan ke Dinkes setempat).

Pola penulisan Resep


Contoh Resep

2.3.3 Sumber Referensi Untuk Obat dan Pengobatan


Ketika kita menyusun dan mengembangkan terapi-P dan obat-P, dibutuhkan
banyak informasi tentang penyakit, obat dan pengobatannya. Informasi ini harus
didapatkan dari sumber yang dapat dipercaya, apalagi saat ini sudah berkembang
kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine/EBM).
a) Buku, Monograf
1.Daftar Obat Esensial Nasional (2008) bisa diunduh dari
www.ino.searo.who.int/LinkFiles/Home_DOEN_2008.pdf

2. Buku teks farmakologi & terapi a.l. Goodman & Gilman: The
pharmacological basis of therapeutics, Katzung, Laurence & Bennet:
Clinical Pharmacology, Farmakologi dan Terapi (FK UI), dll.

3.Buku teks sesuai bidang ilmu kedokteran: Harrison’s principles of


internal
medicine, Nelson’s untuk penyakit anak, dll.
4.Formularium (Nasional, Institusional/RS), British National Formulary
(BNF), Informasi Spesialite Obat – Indonesia (ISO).
5.Farmakope, dll.
6.Pedoman Terapi (dari organisasi profesi, nasional, internasional, WHO)

b) Jurnal kedokteran, beberapa bisa diunduh secara gratis dari situs web:
British Medical Journal (BMJ), New England Journal of Medicine
(NEJM),the Lancet, Journal of American Medical Association (JAMA),
Majalah Kedokteran Indonesia (MKI), Jurnal-jurnal nasional yang
terakreditasi, dll.
c) Website, situs web saat ini telah menjadi gerbang menuju pusat informasi
dan ilmu kedokteran yang paling cepat berkembang. Bahan-bahan berupa
jurnal, pedoman, kebijakan tentang obat tersedia di situs web. Bahan
tersebut banyak dalam bentuk PDF dan bisa di unduh. Beberapa situs web
yang penting berkaitan dengan obat dan pengobatan a.l.:
1.WHO: http://www.who.int/medicines/en/
2. Food & Drug Administration: www.fda.gov dan
http://www.accessdata.fda.gov/ Scripts/cder/DrugsatFDA/
3.Therapeutic Good Administration (Australia): www.tga.gov.au
4.EMEA (Uni-Eropa): www.emea.europa.eu
5.Drug Effectiveness Review Program: www.ohsu.edu/drugeffectiveness
6.Cochrane Collaboration: www.cochrane.org
7.Medical guidelines:
http://www.guideline.gov/browse/guideline_index.aspx
Kode-kode dalam Resep

Singkatan Arti Latin

a.c. Sebelummakan Ante cibum


a.d. Telingakanan Aurisdexter
ad. 1 vic. Untuksatu kali pakai Ad unusvicibus
ad. lib. Sesukahati Ad libitium
a.l. Telingakiri Aurixleavus
alt. die. Duaharisekali Alternus die
alt. h Dua jam sekali Alternushoris
a.m. Pagi Ante meridiem
a.n. Malam Ante noctem
aq. Air Aqua
auric Telinga Auricular
Amp. Ampul Ampul
aq. Bidest Air yang disuling 2x Aqua bidestilata
b.i.d/ b.d.d 2 kali sehari Bis in die ataubis de
die
caps Kapsul Capsulae
cr Krim Cream
D (dex) Kanan Dextra
d.t.d Sejumlahdosistsb Da tales doses
emuls Emulsi Emulsum
et Dan et
f Buatlah Fiat
flc Flacon (Botolplastik) Flacon
fls Flask (Botolkaca) Flask
garg Obatkumur gargarisma
gtt Tetes, obattetes guttae
haust Sekaliminumhabis haustus
h.m. Pagihari Horamatutina
h.s. Sebelumtidur Horasomni
h.v. Malamhari Horavespertina
Inf. Infus Infusum
Inj. Obatsuntik Injection
kolf. Botolinfus Kolf
Lin. Obatgosok Linimentum
Liq. Cairan Liquor
Lot. Sediaancairobatluar lotio
m Pagi Mane
m. et. v. Pagidan sore Mane et vespere
m.f. Campurdanbuatlah Misce fiat
mixt Campuran Mixture
nasal Hidung Nasal
no Jumlah Numero
noct Tengah malam Noctum
O.D. Mata kanan Oculodextra
o.h. Tiap jam Omni hora
o.m. Tiappagi Omni mane
opth Mata Opthalmo
p.c Sesudahmakan Post coenam
Part dol Padabagian yang sakit Parte dolente
pot Obatminumcair potio
p.r.n Bilaperlu Pro renata
pulv Bubuktabur Pulveres
q.s Dalamjumlahsemuanya Quantum satis
qq.h. Tiap jam Quarquehora
R/ Ambilah Recipe
S Tandailah Signatura
sol Larutan Solution
s.o.sataus.n.s Bilaperlu Si opus sit
atausinecesse sit
stat Segera Statim
supp Supposituria Supposituria
syr Sirup Syrup
tab Tablet Tabullae
troch Tablet hisap Trochiscus
u.c Aturanpakaidiketahui Ususcognitus
u.e Obatluar Ususexternus
ung Salep Unguentum
u.p. Untukpemakaianprofesikedokteran Ususpropius
vesp Malamhari vespere
vial Botoluntukinjeksi Vial
Daftar Pustaka

Katzung, B.G., Masters, S.B., dan Trevor, A.J. 2013. Farmakologi Dasar dan
Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC

WHO. 2014. Isoniazid. Anti-tb drug information sheets-Companion handbook to


the who guidelines for the programmatic management of drug-resistant
tuberculosis. Hal 274-275.

Sentra informasi keracunan Nasional. 2016. Isoniazid

Sentra informasi keracunan Nasional. 2016. Rifampicin

Sentra informasi keracunan Nasional. 2016. Pirazinamid

Sentra informasi keracunan Nasional. 2016. Etambutol

Pusat Informasi Obat Nasional. Badan POM RI. Antituberkulosis.


http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/52-tuberkulosis-dan-leprosi/521-
antituberkulosis

Ariyanti PR. 2017. Hubungan Pengetahuan Mahasiswa Terhadap Penulisan


Resep Yang Baik Dan Benar Pada Mahasiswa Tahun Ke 4 Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung:
Lampung.

Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J. 2014. Farmakologi Dasar &
Klinik. Vol.2. Edisi 12. Jakarta: EGC.

Simatupang, A. 2014. Pedoman WHO tentang Penulisan Resep yang Baik sebagai
Bagian Penggunaan Obat yang Rasional. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.
Ulfah SS. 2015. Review Artikel: Medication Errors Pada Tahap Prescribing,
Transcribing, Dispensing Dan Administering. Farmaka Suplemen. 15(2): 233-
240.

Aditama, TY. 2003. Fixed Dose Combination for TB Treatment. Med J Indones.
12 (2): 114-119.

Syamsudin. 2011. Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis. Jakarta: Universitas
Indonesia

Roespandi, Hanny. 2016.Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit.


Buku Adaptasi Hospital Care For Children Guidelines For The Management Of
Common Illnesses With Limited Resources.

Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Kesehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Bakti Husada.

Anda mungkin juga menyukai